• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Semiotika Pada Ornamen Masjid Raya AL-Mashun Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Semiotika Pada Ornamen Masjid Raya AL-Mashun Medan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian semiotika ini telah diteliti oleh Sri Hariani (2004) yang meneliti tinjauan

semiotika dalam novel Qutrotun min Ad-dumui karya Shanirah. Tujuan penelitiannya ialah

untuk mengetahui tanda-tanda semiotik seperti ikon, indeks dan simbol dalam tema,

penokohan, latar dan alur pada novel Qutrotun min Ad-Dumu’i. Pardomuan Nasution (2004) yang meneliti tinjuan skruktural-semiotika syair Al-Syaikh Al-Fata dalam kumpulan syair

Al-Mawakib Karya Kalil Gibran. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui sktuktur

fisik dan struktur bathin dari syair Al-Mawakih dengan teori Pradopo. Lidya Pega Simbolon (2009) yang menganalisis struktural dan semiotika dalam novel imra’atun ‘inda nuqtati al -sifri “Perempuan dititik Nol” karya Nawal Al-Sa’dawi. Ia membahas tentang sebuah novel dengan perumusan masalah tanda-tanda semiotik dalam tema, tokoh, latar dan alur di dalam

novel yang subjeknya.

Peneliti juga mendapati bahwa Masjid Raya Al-Mashun Medan ini pernah dikaji oleh

Ratih Baiduri (1996) yang membahas secara umum sebuah tinjauan arsitektural dan

ornamental Masjid Raya Al-Ma’sun Medan. Dan dalam skripsi yang akan peneliti kaji ini akan membahas analisis semiotika pada ornamen Masjid Raya Al-Mashun Medan.

Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda/simbol

dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Dua tokoh utama perintis semiotika dalam

linguistik adalah Charles Sanders Pierce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure

(1857-1913). Menurut Pierce, logika mempelajari bagaimana orang bernalar, berpikir,

berkomunikasi, dan memberi makna apa yang ditampilkan oleh alam kepada orang lain

melalui tanda, bagi Pierce bisa berarti sangat luas, baik dalam linguistik maupun tanda-tanda

lainnya yang bersifat umum. Sedang de Saussure lebih banyak menekan tanda-tanda sebagai

dasar untuk mengembangkan teori linguistik umum. Saussure beranggapan, bahwa

tanda-tanda linguistik mempunyai kelebihan dari sistem semiotika lainnya. (Sachari, 2003: 62)

Dalam kitab Ilmu dilalah Ferdinand de Saussure menyebut defenisi semiotik yang

(2)

غ لا يغ ي غ لا م ل ي علا سا لا ه . م لا م ع أ ي غ لا ح طص لا مج عم ك ت

, ي

, م ع صب م لا س ي لا م علا هنأب يس س هف عي .لصتإ ا أ ه تع ب

عي

غ لا م ع

.هع ف حأ

/Tā kuru mu’ajimu al-mușțālahāti al-lugawiyati anna ‘ilma ar-rumuwz. Huwal dirāsatul ‘ilmiyahti lilrumuwz al-lugawiyyahti wa gayri al-lugawiyyati, bi’tibārihā adawatu li’itașala wa yu’arafuhu di sursuir bi’annahu al-‘ilmal la i yadarrisu arrumuwz bișifatin ‘āmmatin, wa ya’uddu ‘ilmu al-lugati ‘athadun furuw’ihi/

“Menurut kamus linguistik, pengertian ilmu semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang simbol-simbol bahasa dan selain bahasa (non bahasa) sebagai alat komunikasi. De sausure memberikan pengertian bahwa ilmu semiotik adalah ilmu yang mempelajari simbol-simbol secara umum. Dan merupakan salah satu cabang ilmu linguistik”.

Adapun Pierce membedakan tiga macam tanda menurut sifat penghubung tanda dan

denotatum (objek) yaitu :

1. Ikon (icon), yaitu tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan tanpa

tergantung pada adanya sebuah denotatum (penanda) tetapi dapat dikaitkan

dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Defenisi ini

mengimplikasikan bahwa segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada

dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain. Sehingga dapat difahami

ikon juga merupakan tanda yang menyerupai objek (benda) yang diwakilinya atau

tanda yang menggunakan kesamaan ciri-ciri yang sama dengan yang dimaksudkan.

2. Indeks (index), yaitu sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari

adanya sebuah denotatum (penanda). Dalam hal ini, hubungan antara tanda dan

denotatum adalah bersebelahan. Kita katakan, tidak ada asap tanpa api. Memang asap

dapat dianggap sebagai tanda untuk api dan dalam hal ini ia merupakan indeks.

Dengan kata lain tanda yang sifatnya tergantung pada keberadaan suatu penanda.

Tanda ini memiliki kaitan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya.

3. Simbol/Lambang (symbol), yaitu tanda dimana hubungan antara tanda dengan denotatum

(penanda) ditentukan oleh suatu yang berlaku umum atau kesepakatan bersama

(konveksi). Bila seseorang menanyakan sesuatu pada saya dan saya menggerakkan kepala

(3)

: ثاثلا م تهاا مضي م لا م ع ي

/wa yurā ‘ilmu alrumūzi yaḍummul ihtimāmāti al-ṡalāsah:

1. Dirāsatu kaifiyyatu istakhdam al-‘alāmāti wa ar-rumūzi kawasā’ili ittaṣali fi lugati al-mu’aiyanati

2. Dirāsatu al-‘alāqati baina ar-rumūzi wa mā yadullu ‘alaihi au yasyiru ilaihi 3. Dirāsatu al-rumūzi fi ‘alāqātiha bibaḍin

Wa ‘alā ha ā yaḍummu ‘ilmu ar-rumūzi kaṡīran min furū’i ‘ilmi al-luguti wa bikhașșati ad -dalālati wa an-nahwi wa al-uslūbi. Kamā annahu ya’uddu minan-nāahiyati ad-dillāiti wa ahaduhā a’ammu min ‘ilmi ad-diilālati li’anna al’akhira yahtammu birrumūzi al -lugawiyyahi faqaț, amma al’awalu fayahtammu bil’alāmāti wa ar-rumūzi, lugawiyyatu kānat au gaira lugawiyyatin.’

‘Menurut pandangan C.W. Morris, dan R. Carnap bahwasanya ilmu semiotika mencakup tiga masalah utama, yaitu:

1. Studi tentang bagaimana menggunakan tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai sarana komunikasi dalam suatu bahasa tertentu.

2. Studi tentang hubungan antara simbol dan apa yang menunjuk atasnya dan merujuk kepadanya.

3. Studi tentang hubungan sebagian mereka dengan sebagian yang lain.

Ini menunjukkan banyak signifikansi simbol-simbol tertentu dari cabang ilmu linguistik khususnya ilmu semantik dan gaya bahasa. Semiotik juga merupakan salah satu ilmu semantik yang lebih umum dari semantik karena ia hanya berkaitan dengan bahasa saja. adapun tanda yang pertama tanda simbol, linguistik atau non-lingistik.’

Masjid adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat ibadah sekaligus buah karya

budaya umat Islam. Perkembangan zaman yang mewarnai kemajuan peradaban dan

kebudayaan manusia turut mengiringi perkembangan bangunan Masjid di berbagai belahan

dunia. Masjid pertama yang dibangun Rasulullah SAW adalah Masjid Quba. Selanjutnya,

ketika Rasulullah ke Madinah, langkah pertama yang dilakukan membangun Masjid kecil

yang berlantaikan tanah dan beratapkan pelepah kurma. Dari sanalah beliau membangun

peradaban baru, sehingga kota tempat beliau membangun itu benar-benar menjadi Madinah

(arti harfiah dari kata madinah adalah tempat peradaban).

Bangunan masjid berikutnya pada masa Rasulullah didirikan sesuai dengan kebutuhan

pada daerah-daerah di mana Islam diterima dan diakui oleh masyarakat setempat. Sejalan

(4)

bangunan masjid selanjutnya ikut dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dan kebutuhan

masyarakat setempat. Ini disebabkan perkembangan Islam dari Jazirah Arab ke negara barat

atau ke negara timur yang mengalami kondisi berbeda.

Perkembangan bangunan masjid di Indonesia tidak terlepas dari sejarah masuknya

Islam ke Indonesia. Pada masa awal sejarah nusantara, munculnya kerajaan-kerajaan Islam

yang mulai menggantikan kerajaan Hindu-Budha biasanya diikuti dengan berdirinya

bangunan masjid sebagai pusat kegiatan agama Islam. Perkembangan tersebut membuat

bentuk masjid di Indonesia terpengaruhi oleh budaya lokal tetapi dengan banyaknya

percampuran budaya dari berbagai daerah, perpindahan orang dari negara satu ke negara lain.

(Susanta, 2007: 11-14).

Salah satu kelengkapan yang penting dalam arsitektur bangunan masjid adalah

segi-segi dekoratif dan ornamental yang memberikan kesan khusus. Berikut ini adalah unsur-unsur

dekorasi dan hiasan yang cukup menonjol dalam arsitektur Islam.

1) Lengkung-lengkung yang beraneka ragam telah menimbulkan kesan dekoratif secara

tersendiri, seperti lengkung tapal kuda, lengkung perahu, lengkung mahkota, dan

bentuk-bentuk lainnya. Sedangkan perkembangan selanjutnya menjadi bentuk kubah

juga merupakan salah satu elemen keindahan dari arsitektur Islam itu

2) Tiang-tiang sebagai penyangga merupakan perwujudan dari garis-garis vertikal yang

memberikan kesan kuat dan tegap. Juga susunan dan bentuk yang khas, dibantu

dengan efek dari bahan marmer dan batu warna.

3) Bidang-bidang pada dinding bangunan serta bidang-bidang yang terdapat pada

sambungan lengkung merupakan ruang yang meriah dan indah karena hiasan-hiasan

mosaik berwarna dari bahan tegel keramik yang mengkilap membuat bentuknya

menjadi sangat indah dan bersinar.

4) Seni hias yang merupakan hiasan rumah tangga, juga dipergunakan dalam masjid,

misalnya lampu hias dengan ukiran-ukiran yang indah dengan berbagai cahaya

membuat masjid bersinar.

5) Seni ukir dalam ukuran yang lebih besar diterapkan pada bangunan-bangunan Islam.

Tiang-tiang kayu yang ditatah hampir keseluruhannya penuh dengan ukiran, bahkan

mimbar pun tidak lepas dari ornamen ukiran ini.

6) Hias geometris yang dipadukan pola hias huruf Arab sesuai dengan cuplikan ayat-ayat

(5)

Sebagai objek penelitian yaitu Masjid Raya Al-Mashun yang merupakan identitas

Kota Medan ini, memang bukan sekedar bangunan antik bersejarah biasa, tetapi juga

menyimpan keunikan tersendiri mulai dari gaya arsitektur, bentuk bangunan, kubah, menara,

pilar utama hingga ornamen-ornamen yang menghiasi tiap bagian bangunan tua ini. Masjid

ini dirancang dengan perpaduan gaya arsitektur Timur Tengah, India dan Eropa abad 18.

Merupakan salah satu peninggalan Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alam - penguasa ke 9

Kerajaan Melayu Deli yang berkuasa 1873-1924.

(http://masjidmasjid.blogspot.com/2009/08/7.html diakses 14 Agustus 2009).

Masjid Raya Al-Mashun Medan yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga Kerajaan

Sultan Deli ini dengan arsiteknya T.H van Erp dari Belanda adalah seorang perwira Zeni

Angkatan Darat KNIL. ( Dept. Pendidikan dan Kebudayaan, 1999: 39). Terdapat

ornamen-ornamen (ragam hias) yang menghiasi hampir seluruh sudut bangunan masjid tersebut

sehingga menjadikannya telihat benilai dan seni yang tinggi. Ornemen berasal dari kata

ornare (bahasa latin) yang berarti menghias. Ornamen juga berarti dekorasi atau hiasan,

sehingga ornamen sering disebut sebagai disain dekoratif atau disain ragam hias. (Aziz,

http://sen1budaya.blogspot.com/2012/10/blog-post.html, diakses Oktober 2012)

Pengertian ragam hias di Sumatera Utara mempunyai pengertian yang khusus contohnya Pohon Hayat di Tapanuli disebut ‘Gorga Hariana Sundung di langit yang mempunyai arti simbolik dan kekuatan batin yang mendalam. Adakalanya ornamen-ornamen

tertentu dipergunakan sebagai pengobatan sehingga merupakan kekuatan roh yang

dipahatkan pada rumah atau benda-benda pakai. Ragam hias selain berperan sebagai media

untuk memperindah atau mempercantik suatu karya seni, juga memiliki nilai simbolik dengan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keindahan ornamen-ornamen yang melekat pada masjid Al-Mashun di kota Medan tidak hanya sekedar sebagai nilai visual belaka, tetapi

Sebagaimana pokok masalah yang telah menjadi acuan penelitian ini yaitu: (1) latar belakang sejarah Kesultanan Deli Untuk menghiasi masjid Al-Mashun mengambil sejumlah

Baiduri, Ratih, 2012, masjid raya al ma’shun medan , Yogyakarta : Eja Publisher Bangun, Sem C, aplikasi estetika dalam seni rupa , Jakarta : IKIP Jakarta Perss Bastomi,

Pengantar Metodologi Penelitian Budaya Rupa: Desain, Arsitekture, Seni Rupa dan Kriya.. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatid

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keindahan ornamen-ornamen yang melekat pada masjid Al-Mashun di kota Medan tidak hanya sekedar sebagai nilai visual belaka, tetapi

Penelitian ini membahas tentang ornamen pada bangunan Masjid Raya Al-Osmani Medan Labuhan Kota Medan melalui pendekatan Semiotika dengan menggunakan teori Thomas Sanders

Penelitian ini membahas tentang ornamen pada bangunan Masjid Raya Al-Osmani Medan Labuhan Kota Medan melalui pendekatan Semiotika dengan menggunakan teori Thomas Sanders

Gambar Bagian Sisi Barat Masjid Raya Al-Osmani Medan Labuhan Kota Medan.. Gambar Bagian Sisi Utara Masjid Raya Al-Osmani Medan Labuhan