FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI SESEORANG
MENJADI GAY DI KOTA SEMARANG
ARTIKEL TUGAS AKHIR
Oleh Khori Khoraima
132013052
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI SESEORANG
MENJADI GAY DI KOTA SEMARANG
ARTIKEL TUGAS AKHIR
Oleh Khori Khoraima
132013052
Disetujui oleh :
1
FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI SESEORANG
MENJADI GAY DI KOTA SEMARANG
Oleh : Khori Khoraima
Program Studi Bimbingan dan Konseling-FKIP-UKSW Pembimbing I : Drs. Sumardjono Pm, M.Pd.
Pembimbing II : Setyorini, M.Pd.
Program Studi Bimbingan dan Konseling-FKIP-BK
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan pendekatan Kualitatif Kirk and Miller (Lexy J. Moleong, 2010). Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep Milles & Huberman 2007, Analisis data dalam tiga langkah yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Subyek penelitian yaitu tiga orang Gay yang berusia 20-40 tahun yang ada di Kota Semarang. Berdasarkan hasil pengumpulan data dan hasil analisis data dapat diketahui hasil penelitian faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay di Kota Semarang . Hasil penelitian menunjukkan faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay di Kota Semarang adalah faktor pola asuh orang tua, faktor budaya, faktor latar belakang sosial, faktor teman sebaya.
2
PENDAHULUAN
Hakekatnya manusia sebagai mahkluk sosial pasti tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia akan bersosialisi dengan lingkungan dan masyarakat luas. Dalam bersosialisasi di masyarakat pasti adanya norma sosial yang harus dijalani untuk menjadi pedoman hidup di masyarakat. Norma sosial berfungsi agar menghindari konflik atau pertentangan antar individu. Norma sosial berkaitan dengan perilaku apa yang diterima oleh masyarakat dan apa yang tidak pantas untuk dilakukan yang akan menjadi kan sebuah sanksi sosial.
Piaget (Hurlock, 1980) mendefinisikan remaja sebagai usia individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia individu anak sudah tidak lagi berada di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua. Terutama masalah hak dirinya sendiri. Secara psikologis, masa remaja adalah usia individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Perubahan intelektual yang khas, dari cara berfikir remaja ini memungkinkan untuk mencapainnya integrasi, dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas umum dari periode perkembangan ini.
Pada tahun 1973 American Psychiatric Ascociation (APA) mencabut homoseksual sebagai gangguan mental (mental disorder) dari DSM (Diagnostic and Statistical Manual) atau di Indonesia disebut dengan PPDGJ (Panduan Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa). Homoseksual tidak digolongkan sebagai salah satu bengtuk gangguan
jiwa di indonesia dimulai sejak tahun 1983 atau semenjak PPDGJ II. Menurut peneliti dicabutnya homoseksual sebagai pengganti gangguan mental (mental disorder) bukan berarti masyarakat secara umum menerima keadaan umum homoseksual. Masih banyak tanggapan dan respon negative mengenai para kaum homoseksual yang menjadikan keberadan mereka tidak gampang terlihat di masyarakat umum. American Psychiatric Assotiation (1975), perhimpunan psikiatri dan psycologi Austria dan Selandia Baru (1973), menganjurkan disamping hal tsb diatas agar sesuai pihak yang bekerja dalam bidang kesehatan jiwa yang sudah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual.
Sekarang gay sudah tidak langka, bahkan kita kerap sekali berjumpa di mall-mall. Mereka tidak sungkan memperlihatkan identitasnya dengan bergandengan tangan, bahkan berciuman. Gay lebih gampang di jumpai daripada lesbian hal tersebut didasari oleh tingkah dan perilaku yang mudah dikenali.
3 penduduk Indonesia," jelas Dede
kepada suara.com di Surabaya, Jawa Timur pekan lalu. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat
mengenai faktor yang
melatarbelakangi seseorang menjadi gay. Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi individu menjadi gay dilihat dari latar belakang sosial, budaya, pola asuh dan pengaruh teman sebaya.
LANDASAN TEORI
Menurut Freud (Johana, Hadiyono,1986), Kehidupan ini berpengaruh terhadap terjadinya Homoseksualitas. Pengalaman hidup dapat membuat seseorang terpaku pada keadaan seksual Pragenital. Orang homoseks mempunyai daya tarik yang luar biasa kepada ibunya diperkuat sikap ayah yang tidak mempunyai arti. Ia mengatakan homoseks sebagai kemunduran dalam perkembangan nafsu seksual. Dimana seseorang homoseksual kembali dimasa seksual awal, yaitu Masa Narsistik dan Otoerotik, terjadi fiksasi masa oral dan anal, tindakan ini seolah-olah ia kembali ke masa hubungan yang hangat anatara ibu dan anaknya, simana ia ketakutan akan kehilangan buah dada ibu dan faces yang berakibat ia takut akan kastrasi dan kehilangan jenisnya.
Faktor Yang Melatarbelakangi Seseorang Menjadi Gay
1. Faktor Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh anak adalah cara, bentuk atau strategi pendidikan keluarga yang dilakukan orang tua kepada anak. Pembentukan pribadi anak yang positif tidak terlepas dari pola asuh anak yang diterapkan orang tua di dalam keluarga. Diana Baumrind (Gorman, 2003) mendefiniskan pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari, yang selanjutnya dibedakan menjadi :
1. Authoritarian (Otoriter) , yang mana gaya pengasuhan orang tua
dengan cara
memberitahukan anak untuk melakukan sesuai yang dikatakan dan diperintah oleh orang tuanya. Orang tua lebih banyak menghukum dan sangat mengandalkan anak. Orang tua hanya peduli agar anak patuh kepada orang tuanya. Orang tua menetapkan banyak aturan di rumah tangga dan sangat bergantung pada hukuman
4 melibatkan anak dalam
proses pengambilan keputusan dan dalam menetapkan aturan yang mengikat keluarga. Orang tua bersikap hangat pada anak, menetapkan disiplin yang adil tetapi ketat serta sangat mengandalkan mengkomuniksikan moralitas dalam budaya mendewasakan anak.
3. Permissive (permisif),
gaya pengasuhan orang tua sangat longgar dan strukturnya tidak konsisten. Anak diberikan kebebasan luas dalam menetapkan kegiatan, aturan dan jadwal kegiatan. Anak harus sering mengalami keharusan mengambil keputusan sendiri yang sebenarnya tidak nyaman untuk dilakukan oleh anak. Orang tua sedikit sekali menetapkan aturan rumah tangga dan amat jarang menghukun anak. Sebagai akibat dari penerapan gaya asuh orang tua tersebut (Braumind, 1983, dalam Grobman,2003) mendiskripsikan anak yang diasuh dengan
authorotarian cenderung kurang
memiliki kompetensi sosial. Anak agresif dan kurang memperdulikan hak-hak orang lain, kebanyakan bergaul dengan sebaya yang
berperilaku “nakal/menyimpang”
serta mengembangkan moralitas yang bersumber dari luar diri sendiri. Anak dari gaya asuh authoritative cendderung lebih memiliki percaya
diri dan merasa berkemampuan. Anak menunjukkan sikap sosial yang lebih besar, suka bereksplorasi dan menghargai orang lain. Dipihak lain, anak yang di asuh dengan gaya pemissive cenderung kurang matang, perilakunya impulsif/terdorong nafsu serta sukar menimbang dari sudut pandang orang lain.
2. Faktor Sosial Budaya
Di dalam konsep
fungsionalisme struktural dijelaskan bahwa masyarakat dilihat sebagai sebuh hal yang terdiri dari sistem maupun unsur dalam sistem (sub-sistem) yang akan menentukan bagaimana kehidupan sosial dalam suatu masyarakat dapat berjalan dengan baik. Menurut teori fungsionalisme struktural, maka ketika salah satu sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya dapat menyebabkan terciptanya penyimpangan dalam diri eorang individu yang terkait dengan sistem maupun sub-sistem tersebut. Perilaku menyimpang yang muncul dalam diri seorang gay diakibatkan oleh sosialisasi dari sistem maupun sub-sistem dalam masyarakat yang berjalan tidak semestinya. Beberapa unsur masyarakat yang dapat dikatakan sebagai sistem yang membentuk masyarakat anatara lain adalah lingkungan keluarga dan pergaulan.
5 dapat memainkan peran sosial yang
menyimpang sangat terkait dengan sosialisasi yang ia dapat dalam sistem masyarakat tempat ia berada. Seperti telah dijelaskan diatas, keluarga dan lingkungan pergaulan akan sangat mempengaruhi pembentukan peranan sosial seorang individu, hal ini dikarenakan keluarga dan lingkungan pergaulan merupakan salah satu sistem penompang masyarakat dimana seorang individu memiliki intensitas interaksi yang tinggi terhadapnya. Dalam konteknya sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial seorang gay pada awalnya memperoleh sosialisasi untuk menjadi homoeksual dari lingkungan dan keluarganya.
Salah satu fenomena yang saat ini terjadi dalam kajian homoseksual adalah bergesernya pandangan dan reaksi masyarakat terhadap gaum gay maupun homoseksual secara keseluruhan. Seiring dengan berkembangnya perubahan sosial kontemporer seperti kampanye hak asasi manusia dan kesetaraan gender maka keseluruhan hal tersebut turut mempengaruhi perspektif masyarakat terhadap kaum homoseksual. Beberapa negara saat ini mulai melegalkan homoseksual serta pernikahan sesama jenis, hal ini dilandasi oleh gagasan antidiskriminasi sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia. Namun dalam ruang lingkup yang lebih luas, hingga saat ini masih muncul banyak perdebatan mengenai moralitas seorang homoseksual. Perdebatan ini dipicu oleh kenyataan bahwa homoseksual telah melanggar mayoritas nilai dan norma yang ada
dalam agama, budaya, maupun humun yang dianut dan diterapkan oleh mayoritas masyarakat dunia saat ini. Namun diluar segala kontroversinya, hingga saat ini gay telah terbukti mampu menunjukan eksistensi ditengah masyarakat yang menentangnya. Kaum gay yang telah terorganisir dalam banyak kelompok homoseksual mampu menemukan solidaritas yang didasari persamaan sebagai kaum gay. Solidaritas yang muncul tersebut selanjutnya menjadi media sosialisasi mereka yang bertujuan agar kaum gay dapat diterima oleh masyarakat luas.
3. Faktor Teman Sebaya
Menurut Santrock (2007), mengatakan bahwa kawan-kawan sebaya adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya adalah hubungan individu anak-anak atau remaja dengan tikat usia yang sama serta melibatkan keakraban yang relatif besar dalam kelompoknya.
Menurut Santrock 2007 mengatakan bahwa peran terpenting dari teman sebaya adalah:
a. Sumber informasi, mengenai dunia di luar keluarga.
b. Sumber kognitif, untuk pemecahan
masalah dan
memperoleh pengetahuan.
6 mengungkapkan
ekspresi dan identitas diri.
Melalui interaksi dengan teman sebaya , anak-anak dan remaja mempelajari modus relasi yang timbal baliknya secara simetris. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat membuat mereka merasa kesepian dan bersikap bermusuhan. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa teman sebaaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan yang cukup penting bagi perkembangan kepribadiannya. Teman sebaya memberikan sebuah dunia tempat para remaja melakukan sosialisai dalam suasana yang mereka ciptakan sendiri (Piaget dan Sulivan dalam Santrock 2007)
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah
“Aku adalah Gay” oleh Akhir
Aprilia Irawan, mahasiswa studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Psikologi Pendidikan Dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2014 juga meneliti homoseksual atau gay. Penelitian berfokus untuk
mengungkapkan dan
menggambarkan tentang motif yang melatarbelakangi pilihan sebagai gay. Motif yang diungkap dalam penelitian ini adalah drives dan incentives.
Perbedaan penelitian diatas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah fokus penelitiannya, pada penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian untuk mengungkapkan faktor yang
melatarbelakangi seseorang menjadi gay di Kota Semarang.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif (qualitative research). Kirk and Miller (Lexy J. Moleong,2010: 4), mendifinisikan metode kualitatif sebagai suatu tradisi dalam ilmu pengetahuan yang bergantung pada pengamatan seseorang.
Subjek penelitian ini dilakukan pada beberapa subyek seseorang gay dengan ciri (1) gay, (2) berusia 20-40 tahun, (3) berdomisili di Daerah Kota Semarang. Instrumen pada penelitian ini adalah pedoman wawancara dan pedoman observasi. Imam (2014) menyatakan bahwa keabsahan data dengan menggunakan triangulasi merupakan metode sintesa data terhadap kebenaran data, data yang diperoleh harus dicek kebenarannya dengan menggunakan sumber lain. Didalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu, pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Dalam penelitian ini alat pengumpulan data penelitian yang digunakan meliputi: kisi-kisi pedoman wawancara dan kisi-kisi pedoman observasi. Kisi-kisi pedoman wawancara faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi gay adalah sebagai berikut:
Kisi-Kisi Pedoman Wawancara : 1. Faktor Pola Asuh
1.) Pola asuh orang tua Authoritarian (Otoriter)? 2.) Pola asuh orang tua
7 3.) Pola asuh orang tua
Permissive (permisif)? 2. Faktor Sosial Budaya
1.) Adanya pengaruh pikiran?
2.) Adanya pengaruh mengikuti budaya luar? 3.) Dorongan akan rasa ingin
diakui?
4.) Dorongan akan rasa dihargai?
5.) Dorongan akan rasa diterima apa adanya? 3. Faktor Pengaruh Teman
Sebaya
1.) Sumber informasi ? 2.) Sumber kognitif ? 3.) Sumber emosional ?
Kisi-kisi pedoman observasi :
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengacu pada konsep Milles & Huberman (2007).
HASIL PENELITIAN
Hasil Observasi pada Subyek 1, 2 dan 3
NO. Komponen Aspek yang diteliti S 1 S 2 S3 Keterangan
1. Keadaan
Fisik
a. Kondisi kesehatan
informan saat
wawancara.
b.Ekspresi wajah
informan saat
a. Informan keadaan sehat, hanya terlihat capek. b. informan
a. infroman terlihat sehat b. Informan terlihat ceria saat melakukan
a. informan terlihat bugar sehat, informan sering
Kesimpulan observasi keadaan fisik pada S,1,2 dan
3 adalah
No Komponen Aspek Yang diteliti Keterangan
1. Keadaan Fisik
a. Kondisi kesehatan informan saat wawancara.
b.Ekspresi wajah informan saat wawancara.
c.Sikap dan Perilaku subyek saat wawancara.
2. Keadaan Sosial
a.Sikap dan Perilaku subyek dengan lingkungan kerja dan masyarakat.
b.Kegiatan sosial yang dilakukan subyek dilingkungannya.
3. Keadaan Ekonomi
Mengamati gaya dan kehidupan perekonomian subyek dalam kesehariannya.
4. Kegiatan Keagamaan
8 wawancara.
c.Sikap dan Perilaku subyek saat wawancara.
terlihat bahagia, sering
bercanda. c. informan sangat terbuka
wawancara
informan dalam keadaan sehat, ekspresi wajah juga senang
a.Sikap dan Perilaku subyek dengan lingkungan kerja dan masyarakat.
b.Kegiatan sosial yang
dilakukan subyek
dilingkungannya.
a. Informan jarang bergaul dengan masyarakat dilingkunganny a. Informan terkenal orang yang ramah di kerjanya. b. informan aktif dalam komunitas gay, informan tidak mengikuti kegiatan
apapun di
masyarakat
a. informan terkenal dengan orang yang ceria dan suka bercanda b. informan tidak pernah
bergaul di
lingkungannya
a. informan tipe orang yang humble dan ramah
Kesimpulan observasi keadaan sosial pada S 1,2 dan
3 adalah
informan jarang bergaul dengan
masyarakat dan hanya aktif dalam
komunitas gay nya
3. Keadaan
Ekonomi
Mengamati gaya dan kehidupan
perekonomian subyek dalam kesehariannya.
Informan merupakan individu yang konsumtif.
Orang tua
informan tergolong pada kalangan yang mampu dan
konsumtif
Kesimpulan observasi keadaan ekonomi pad S1,2 dan 3 rata-rata memiliki keadaan ekonomi yang sedangdan bahkan cukup. 4. Kegiatan
Keagamaan
Kegiaatan Keagamaan yang dilakukan subyek.
Informan jarang melakukan
9 Hasil wawancara pada Subyek 1,2 dan 3
No. Faktor Komponen S 1 S 2 S 3 Keterangan
1. Faktor Pola
Asuh
Pola asuh orang tua Authoritarian
otoriter terhadap anaknya.
Pola asuh orang tua Authoritative
berkuasa, orang tua lebih bersifat
Pola asuh orang tua Permissive
permesif. Anak diharuskan
Adanya pengaruh pikiran?
Iya saya
selalu berfikir tentang gay
Iya saya
Adanya pengaruh pikiran terhadap S 1,2 dan 3.
Adanya pengaruh mengikuti budaya luar?
Adanya pengaruh mengikuti budaya luar negeri pada S1,2 dan 3 dalam mencari informasi dan mengikuti budaya gay dari
budaya luar
negeri
Dorongan akan rasa ingin diakui?
Iyaa saya adanya dorongan akan rasa ingin
diakui di
manapun mereka berada
10
lingkungan kerja.
3. Faktor Pengaruh Teman Sebaya
Sumber informasi ? Saya selalu mencari adanya faktor pengaruh teman
sebaya dalam
sumber informasi,
yaitu subyek
selalu mencari informasi
mengenai dunia di luar keluarga
dengan teman
sebayanya. Sumber kognitif ? Saya selalu
memecahkan sendirian
Saya adanya adanya faktor pengaruh
teman sebaya
dalam sumber
kognitif yaitu, subyek selalu memecahkan masalahnya, memperoleh pengetahuan sendirian tanpa
dibantu oleh
orang tua
keluarga dan
Sumber emosional ?
Saya tidak pernah
Saya tidak pernah adanya adanya faktor pengaruh
teman sebaya
dalam sumber
emosional yaitu, mereka
11
PEMBAHASAN
Setelah dilaksanakannya penelitian, penulis dapat menganalisis dan membahas tentang hasil penelitian yang sudah diperoleh dan membandingkan dengan teori-teori yang terkait dengan penelitian ini. Faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi gay:
1. Faktor pola asuh orang tua
Berdasarkan hasil wawancara penelitian ketiga subyek peneliti, didapatkan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang menajdi Gay karena beberapa faktor, ada faktor pola asuh orang tua.
Perkembangan
kecerdasannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pola asuh yang ia terima dari lingkungannya, tertutama orang tua. karena sikap, pengetahuan dan kemampuan orang tua akan menentukan apakah kecerdasan anak semakin berkembang atau sebaliknya. Tujuan utama pola asuh yang normal adalah menciptakan kontrol. Meskipun tiap orang tua berbeda-beda dalam cara mengasuh anaknya, namun tujuan utama orang tua dalam mengasuh anak adalah sama saja yaitu untuk mempengaruhi, mengajari dan mengontrol anak mereka. Menurut Slavin (dalam
Hidayat, 2003)
mengungkapkan pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang digunakan orang tua untuk berhubungan dengan anak-anak.
2. Faktor sosial budaya Berdasarkan hasil wawancara penelitian ketiga subyek peneliti, didapatkan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay karena ada beberapa faktor, salah satunya adanya faktor budaya.
Pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-masing orang dalam kelompok masyarakat tersebut. Demikian pula dengan budaya dan adat istiadat yang mengandung unsur homoseksualitad dapat mempengaruhi seseorang menjadi homoseksualtitas (Lesbian/Gay) ataupun dengan budaya dan istiadat yang mengandung unsur seseorang menjadi biseksual. Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang dianut, sikap, pandangan maupun pola pemikiran tertentu berkaitan dengan orientasi, tindakan, identitas seksual seseorang (HM psikologi FK UNUD
diakses dari
m/lgbt-dari-sudut-pandang-12
psikologi/ pada tanggal 26 April 2017 jam 22:12)
Berdasarkan hasil wawancara penelitian ketiga subyek peneliti, didapatkan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay karena ada beberapa faktor, salah satunya adanya faktor latar belakang sosial.
Jenis kelamin seseorang atau Gender adalah pencirian manusia yang
didasarkan pada
pendefinisian yang bersifat sosial budaya, bukan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis seperti seks. Dalam ilmu sosial Gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial, yakni perbedaan yangb bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan sendiri melalui proses kultural dan sosial ( Dr. Riant Nugroho, 2008)
Sementara itu Vygotski (Santrock,2006), Sigelman dan Rider (2009), menggambarkan konteks sosial budaya sebagai faktor sentral yang mempunyai efek terhadap perkembangan orientasi seksual seorang. 3. Faktor teman sebaya
Berdasarkan hasil wawancara penelitian ketiga
subyek peneliti, didapatkan bahwa faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay karena ada beberapa faktor, salah satunya adanya faktor teman sebaya.
Dilirio dkk (2004), juga telah melakukan penelitian mengenai kemungkinan situasi seksual yang dapat memicu perilaku seksual pada remaja. Dalam penelitian tersebut, Dilorio dkk (2004) telah menemukan bahwa faktor keluarga dari kelompok teman sebaya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap berkembangnya orientasi seksual dan perilaku seksual. Selanjutnya, Jeltove dkk (2005), yang juga melakukan penelitian tentang bahaya perilaku seksual pada remaja imigran asal Uni Soviet yang tinggal di Amerika mengindikasikan bahwa remaja imigran lebih beresiko memunculkan perilaku seksual. Artinya budaya dari kelompok teman sebaya dan keluarga juga telah berkonstribusi terhadap berkembangnya orientasi seksual pada remaja pendatang (immigrant).
PENUTUP Simpulan
13 1. Faktor Pola asuh
orang tua
Orang tua yang sibuk bekerja tidak ada waktu dengan keluarga membuat anak kekurangan kasih sayang cinta dan perhatian, membuat orang tua tidak tahu
pertumbuhan dan
perkembangan
anaknya.membuat anak tumbuh besar dengan sendirinya tanpa di dampingi oleh orang tua.
2. Faktor Sosial Budaya Penyebaran LGBT khususnya Gay di negeri ini juga banyak dipengaruhi oleh serangan budaya barat.
Keberadaan dan
perkembangan kelompok Gay tidak terlepas dari perkembangan globalisasi. Globalisasi telah berkontribusi secara nyata dalam mengembangbiakan budaya dan identitas kelompok homoseksual. Globalisasi melahirkan bentuk baru budaya lokal yang sejalan dengan budaya global (Barat).
Kebisaan perilaku Gay selain dapat menyebabkan masalah pada kesehatan juga dapat berakibat pada kehidupan sosial, yaitu dapat mengikis keharmonisan hidup yang tumbuh di masyarakat serta semakin meningkatkan angka tindak kemaksiatan yang pada akhirnya sulit dikendalikan. Di ketahui bahwa salah satu faktor
lingkungan sosial serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor latarbelakang seseorang menjadi Gay. 3. Faktor Teman sebaya
Faktor pengaruh teman sebaya menjadi salah satu faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi Gay. Pengalaman homoseksual dini juga mempunyai pengaruh terhadap penbentukan identitas pada Gay, adanya pengalamn seksual terhadap sesama jenis memberikan kenikmatan pada subyek yang ingin di ulanginya kembali. Pengalaman homoseksual usia dini yang terjadi berulang-ulang dapat membuat subyek pada akhirnya menikmati hubungan sesama jenis. Seringnya dia berada apa lingkungan Homseksual akan membuat seseorang bisa menjadi Gay.
Saran
1. Bagi Kaum Gay
Bagi kaum Gay hendaknya menghindari pergaulan bebas guna mencegah penularan HIV AIDS, mendekatkan diri kepada Tuhan yang maha Esa, bisa menjaga sikap saat berada di luar lingkungan dan disaat membaur bersama masyarakat.
14 mengembangkan potensi
dirinya sebagai manusia dan anggota masyarakat.
3. Bagi Masyarakat Masyarakat
hendaknya memahami bahwa orang yang memiliki orientasi seksual homoseksual atau Gay memiliki hak-hak kehidupan yang sama, toleransi harus terus terjalin, jangan memandang sebelah mata pada kaum Gay juga adalah bagian dari masyarakat yang harus dihargai.
4. Bagi Orang tua
Orang tua hendaknya menjalin hubungan yang terbuka dengan anak, menjadi teman anak sebagai teman atau sahabat agar orang tua mengetahui keluhan-keluhan yang dialami anak.
5. Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti
selanjutnya, agar membangun komunikasi yang baik agar responden lebih nyaman dan terbuka dalam berbagi informasi.
DAFTAR RUJUKAN
American Psychological Association. (1975). Policy statement on
discrimination against
homosexuals. American
Psychologist, 30, 633.
Ariyanto dan Rido Triawan. 2008. Jadi Kau Tak Merasa Bersalah ? Studi Kasus
Diskriminasi dan Kekerasan
terhadap LGBTI. Jakarta:
Arus Pelangi dan Yayasan Tifa
Hurlock, E. B. (1980). PsikologiPerkembanganSuat uPendekatanSepanjangRenta
ngKehidupan, Edisi 5.
Jakarta: Erlangga.
HM psikologi FK UNUD diakses dari
http://hmpsikologi.fkunud.co m/lgbt-dari-sudut-pandang-psikologi/pada tanggal 26 April 2017 jam 22:12 WIB Irawan, Akhir, Aprillia. 2015. Aku
Adalah Gay (Motif Yang
Melatarbelakangi Pilihan
Sebagai Gay). Yogyakarta.
Johana, Hadiyono,1986. Seminar
Gay/Homoseks. Fakultas
Kedokteran UGM.
Jogjakarta.
Kartono, Kartini, 1989, Psikologi Abnormal dan abnormalitas seksual, Bandung, Mandu Maju
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kuantitatif. PT Remaja Rosdakarya,