• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM SEMANTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM SEMANTIK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

14 A. Definisi dan Sejarah Semantik

Semantik merupakan salah satu cabang dari linguistik yang dipandang sebagai puncak dari studi bahasa.1 Semantik dalam bahasa Indonesia atau semantiks dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani sema (nomina) yang berarti tanda atau lambang atau semaino dalam bentuk verbal yang berarti menandai atau melambangkan.2 Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai.

Sebagai istilah teknis, semantik memiliki pengertian studi tentang makna.3 Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata- kata). Dan makna sebuah kata dapat meluas dan menyempit serta mengalami pergeseran arti, tergantung cakrawala dan sudut pandang seseorang.4

Semantik menurut Izutsu adalah kajian tentang sifat dan struktur pandangan dunia sebuah bangsa saat sekarang atau pada periode sejarahnya, dengan menganalisis konsep-konsep pokok yang telah dihasilkan untuk dirinya sendiri dan telah terkonsep pada kata-kata kunci yang terdapat dalam al-Qur‟an. Analisis semantik al-Qur‟an akan memunculkan ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‟an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang nampaknya memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur‟ani terhadap alam semesta.

Menurut Izutsu, semantik adalah susunan rumit yang sangat membingungkan, kajian ini sangat sulit bagi seorang yang tidak memahami disiplin ilmu linguistik untuk mendapatkan gambaran semantik secara umum. Hal ini

1Fathurrahman, ibid, H. 98.

2Moh. Matsna HS., Orientasi Semantik Al-Zamakhsyari: kajian makna ayat-ayat kalam, ibid, h. 2.

3Aminuddin, Semantik: pengantar studi tentang makna, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011) cet.

4, h. 15, Dalam bahasa Arab, semantik dikenal dengan sebutan „ilm al-dilalah. Secara bahasa „ilm al-dilalah terdiri dari dua kata, yaitu ‘ilm yang memiliki arti pengetahuan, dan al-dalalah atau al-dilalah yang berarti penunjukan atau makna. Jadi, „ilm al-dilalah adalah pengetahuan tentang makna. Ahmad Mukhtar Umar sebagaimana dikutip oleh Matsna mendefinisikan „ilm al-dilalah sebagai kajian tentang makna, atau cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambing-lambang bunyi sehingga mempunyai makna. Lihat, Moh. Matsna, ibid, h. 3-4.

4Sugeng Sugiyono, ibid, h. 14-15, lihat juga, Moh. Hatsna, Ibid, H. 2, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), h. 981, Moh. Sahlan,dkk, Metodologi Penafsiran, ibid, h. 78, Abdul Chaer, Kajian Bahasa: struktur internal, pemakaian, dan pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 67, Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 7.

(2)

karena secara etimologis semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek semantik.

Izutsu berpendapat tidak ada seorangpun yang memiliki kesatuan bentuk ilmu semantik yang rapi dan teratur, yang dimiliki oleh sebagian orang adalah sejumlah teori tentang makna yang beragam. Setiap orang yang berbicara tentang semantik cenderung menganggap dirinya paling berhak mendefinisikan dan memahami kata-kata tersebut sebagaimana yang disukainya. Jadi, yang dimaksud semantik oleh Toshihiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada pengertian konseptual atau pandangan dunia masyarakat yang menggunakan bahasa itu tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.5Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi dan sintaksis), dan semantik.6

Izutsu menganggap bahasa sebagai satu sistem tanda tiruan yang dibuat untuk membagi, mengkategori dan menyatakan realitas bukan-linguistik dan menjadikannya bermakna dan boleh dikategorikan dalam sebuah konsep tertentu.

Hal ini berarti bahwa tidak ada kata dari sistem bahasa manapun yang sepenuhnya sama dengan bahasa lain di dalam denotasi dan konotasi, karena masing-masing mempunyai medan dan struktur semantik yang unik di dalam sistem bahasanya.7

Ilmu ini tidak hanya menjadi fokus kajian para linguis, melainkan juga menjadi objek penelitian para filosof, sastrawan, psikolog, ahli fiqh, ushul fiqh, antropolog, dan lain sebagainya. Karena itu, penamaan terhadap ilmu ini pun beragam. Selain disebut semantik, ilmu ini juga dinamai sematologi, semologi, semasiologi, dirasat al-ma’na, dan ilmu ma’na. Namun demikian, ilmu ini diposisikan sebagai salah satu cabang linguistik.8

Ferdinand de Saussure berpendapat muara akhir dari semantik adalah semiotik, karena linguistik sebagai induk semantik juga merupakan bagian dari

5Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: pendekatan semantik terhadap al-Qur’an,ibid, h 2-3.

6Moh. Hatsna, ibid,h. 3.

7Ahmad Sahida, Toshihiko Izutsu dan sumbangan pemikiran keislaman jepang, ibid.

8Moh. Matsna, ibid, h. 4.

(3)

semiotik. Selain Saussure, Charles Morris memberikan gambaran tentang posisi semantik dalam semiotik. Menurutnya, semiotik terbagi dalam tiga macam, (1) sintaksis, yaitu mempelajari relasi antar kata, frasa, dan kalimat. (2) semantik, yaitu mempelajari makna. (3) pragmatik, yaitu mempelajari relasi makna dan pemakainya.9Pengertian semantik dan semiotika adalah dua pengertian yang saling berhubungan, keduanya meliputi makna dan kemaknaan dalam komunikasi antar manusia. Akan tetapi, semiotika tidak hanya menjelaskan tentang isyarat bahasa, melainkan juga menjelaskan isyarat-isyarat non bahasa dalam komunikasi antar manusia. Sedangkan semantik adalah kajian yang hanya berhubungan dengan makna bahasa.10

Secara historis, kajian makna sudah dilakukan sejak zaman Yunani kuno dan Aristoteles adalah orang pertama yang menggunakan istilah makna untuk mendefinisikan kata, menurutnya kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Dalam hal ini, Aristoteles mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal.11 Selain Aristoteles, Plato dalam cratylus menjelaskan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Namun, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas.12

Pada tahun 1825, C. Chr. Reisig seorang berkebangsaan Jerman mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut reisig memiliki tiga unsur utama, yaitu (1) semisiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tetang kalimat, (3) etimologi, studi tentang asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Oleh karena itu, masa ini masih disebut masa pertama pertumbuhan.

Masa kedua pertumbuhan semantik ditandai dengan hadirnya karya Michel Breal yang berjudul “Les Lois Intellectuelles du Langagge”. Semantik pada masa itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, seperti

9Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia), 2013, h. 212.

10J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 41.

11Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi Tentang Makna, ibid, h. 15.

12Ibid, h. 16.

(4)

perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya.

Masa pertumbuhan ketiga, pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia, Gustaf Stern (1883) yang berjudul Meaning and Change of Meaning with special Reference to the English Language.

Stern dalam kajian ini melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari suatu bahasa, yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yakni buku Cours de Linguistique Generale (1916) karya Ferdinand de Saussure. Buku ini sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya.

Terdapat dua konsep baru yang ditampilkan Saussure dan merupakan revolusi dalam bidang teori dan penerapan studi kebahasaan. Kedua konsep itu ialah pertama, linguistik pada dasarnya merupakan studi kebahasaan yang berfokus pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu sehingga studi yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sedangkan studi tentang sejarah dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis. Kedua, bahasa merupakan suatu gestalt atau suatu totalitas yang didukung oleh berbagai elemen, yaitu satu elemen dengan elemen lainnya mempunyai ketergantungan dalam rangka membangun keseluruhannya. Konsep yang kedua ini pada sisi lain juga menjadi akar paham linguistik structural.13

Di dunia Arab, kajian semantik atau ilm al-dalālāh telah ada sejak zaman sahabat, meskipun masih sangat umum. Perhatian ulama Arab terhadap ilmu ini tidak hanya muncul dari kalangan lughawiyin saja, akan tetapi juga muncul dari kalangan ushūliyyin, falāsifah, dan balāghiyyin. Perhatian mereka salah satunya dikarenakan adanya semangat memelihara dan memurnikan al-Qur‟an dari segala bentuk lahn dan inhirāf.

Di antara usaha para linguis Arab untuk memahami dan menggali rahasia- rahasia al-Qur‟an pada abad-abad permulaan Islam adalah penghimpunan kata-kata dan ungkapan Arab serta analisis makna yang terkandung dalam kata atau ungkapan tersebut untuk membantu orang-orang yang ingin mencari makna kata

13Ibid, h. 16-17.

(5)

yang tidak difahami dalam upaya mempelajari isi al-Qur‟an, Hadits Nabi, dan buku-buku berbahasa Arab lainnya.14

Usaha para linguis Arab dalam mengkaji masalah makna atau semantik secara sistematik, sudah dilakukan sejak abad kedua hijriyah. Hal ini ditandai dengan disusunnya sebuah kamus oleh al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang diberi nama kitab al-‘Ain, sesuai kata pertama dari urutan isinya yang disusun berdasarkan urutan makhraj bunyi mulai dari halq (tenggorokan) sampai ke bibir.15

Sementara itu dalam studi metodologi penafsiran al-Quran, sebenarnya kajian yang menggunakan metode kebahasaan sudah dilakukan oleh beberapa mufassir klasik, di antaranya adalah Al-Farrā‟ dengan karya tafsirnya Ma‟āni al- Qurˊan, Abu Ubaidah, Al-Sijistani dan Al-Zamakhsyari. Lalu kemudian dikembangkan oleh Amin Al-Khuli yang kemudian teori-teorinya diaplikasikan oleh „Aisyah bint Al-Syati‟ dalam tafsirnya Al-Bayān Li Quran Al Karim. gagasan Amin Al-Khuli kemudian dikembangkan lagi oleh Toshihiko Izutsu yang dikenal dengan teori Semantik al-Quran.16

Menurut Nur Kholis Setiawan, sebagaimana dikutip oleh Mudakir Amin dalam skripsinya menyebutkan bahwa awal mula kesadaran semantik dalam penafsiran al-Qur‟an dimulai sejak era Muqātil ibn Sulaiman, dalam karyanya yang berjudul Al-Asybah wa al-Nadzāir fi al-Qur’an al-Karim dan Tafsir Muqātil ibn Sulaimān, Muqātil menegaskan bahwa setiap kata dalam al-Qurˊan disamping memiliki makna definitif (makna dasar) dan makna alternatif lainnya. Contohnya kata maut, yang mempunyai arti dasar mati. Menurut Muqātil dalam konteks ayat, kata tersebut bisa memiliki empat makna alternatif, yaitu: tetes yang belum dihidupkan, manusia yang salah beriman, tanah gersang dan tandus, serta ruh yang hilang. Berkenaan dengan kemungkinan makna yang dimiliki oleh kosa kata al- Qur‟an, Muqatil menegaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan menguasai al- Qur‟an sebelum ia menyadari dan mengenal berbagai dimensi yang dimiliki al- Qur‟an tersebut.

Contoh yang lainnya adalah kata ma’. Dalam konteks pembicaraan al- Qur‟an memiliki tiga alternatif makna, yaitu: pertama, bermakna hujan, seperti

14Moh. Matsna HS, ibid, h 12-13.

15Ibid, h. 13-14.

16Ulis Sa‟adah, Tafsir Semantik surat al-Kautsar,

http://www.academia.edu/7339385/TAFSIR_SEMANTIK, diunduh pada 23 januari 2015 pukul 11:45 WIB.

(6)

dijelaskan dalam QS. Al-Hijr: 22, al-Furqān: 48, al-Anfāl: 11, dan Luqmān: 10.

Kedua, bermakna air sperma. Makna ini disebutkan dalam QS. Al-Furqan ayat 54.

Ketiga, bermakna pijakan yang fundamental dalam kehidupan orang beriman. Hal ini seperti disebutkan dalam QS. An-Nahl ayat 65.17

Kemudian pada era kontemporer, metode semantik ini dikembangkan oleh Izutsu. Analisis semantik Izutsu berbeda dengan lainnya, menurutnya semantik al- Qur‟an berusaha mengungkapkan pandangan dunia al-Qur‟an melalui materi dalam al-Qur‟an sendiri, yakni kosakata atau istilah-istilah penting yang banyak digunakan oleh al-Qur‟an. Semantik ini bertujuan untuk memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamik dari al-Qur‟an dengan penelaahan analitis dan metodologis terhadap konsep-konsep yang tampaknya memainkan peranan penting dalam pembentukan visi qur‟ani terhadap alam semesta.18

B. Persamaan dan Perbedaan Kajian Semantik dalam Wilayah Ulumul Qur’an dan keilmuan lainnya.

Abdul Chaer mengartikan semantik sebagai kajian mengenai makna bahasa.

Kajian ini dikhususkan hanya yang berkaitan dengan makna bahasa.19 Semantik merupakan salah satu cabang dari linguitik yang dipandang sebagai puncak dari studi bahasa.20 Objek kajian semantik sendiri adalah satuan bahasa yang memiliki atau menyatakan makna, yang termasuk satuan bahasa yang memiliki makna adalah kata, klitik, leksem, frase, klausa, kalimat, dan wacana.21

Bahasa pada dasarnya merupakan sesuatu yang khas dimiliki manusia. Ernst cassier menyebut manusia sebagai makhluk yang menggunakan media berupa simbol kebahasaan dalam memberi arti dan mengisi kehidupannya.22 Bagi manusia bahasa mempunyai beberapa fungsi yang beragam seperti (1) alat untuk memenuhi kebutuhan material, (2) mengatur dan mengontrol perilaku individu yang satu dengan dalam suatu hubungan sosial, (3) menciptakan jalinan hubungan antara

17Mudzakir Amin, ibid, h. 26-27.

18Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, ibid, h. 3.

19 Abdul Chaer, Kajian Bahasa: struktur internal, pemakaian, dan pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 67

20 Fathurrahman, Al-Qur’an dan Tafsirnya dalam perspektif Toshihiko Izutsu, Thesis, Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

21Bambang Santoso, Semantik: Pengertian dan Objek Kajiannya, https://bambangsantoso.wordpress.com/2013/04/02/semantik-pengertian-dan-objek-kajiannya/ diunduh pada tanggal 7 Mei 2016.

22 Aminuddin, Semantik: pengantar studi tentang makna,ibid, H. 17

(7)

individu yang satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan yang lain, (4) media identifikasi dan ekkspresi diri, (5) untuk menjelajahi, mempelajari, memahami dunia sekitar, (6) mengkreaasikan dunia dalam kesadaaran dunia batin seseorang, dan (7) sebagai media penyampai pesan dalam kegiatan komunikasi.23 Dari beberapa fungsi di atas dapat dimaklumi apabila semantik memiliki hubungan dengan disiplin keilmuan lainnya, seperti ulum al-Qur‟an, filsafat, dan kesusteraan.

1. Semantik dan Ulum al-Qur‟an

Pembahasan tentang Al-Qur‟an, tidak akan bisa lepas dari bahasa yang digunakan karena Al-Qur‟an menggunakan bahasa sebagai media komunikasi terhadap pembacanya. Abu Zaid berkata: “Ketika mewahyukan Al-Qur‟an kepada Rasulullah saw, Allah memilih sistem bahasa tertentu sesuai dengan penerima petamanya. Pemilihan bahasa ini tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab, bahasa adalah perangkat sosial yang paling penting dalam menangkap dan mengorganisasi dunia.24

Bahasa memiliki peranan penting dalam penyampaian wahyu dan ajaran agama. Bahasa juga merupakan media efektif untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain. Oleh karena itu, ketika ingin memahami Al-Qur‟an, seseorang harus memahami bahasa yang dipakai oleh Al-Qur‟an, mengetahui dengan jelas makna-makna yang terkandung di dalamnya sehingga didapatkan pengetahuan murni yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.25

Dilihat dari struktur kebahasaan, semantik mirip dengan ilmu balagah yang dimiliki oleh bahasa Arab pada umumnya. Persamaan tersebut diantaranya terletak pada pemaknaan yang dibagi pada makna asli dan makna yang berkaitan. Selain itu, medan perbandingan makna antara satu kata dengan kata yang lain dalam semantik mirip dengan munasabah ayat dengan ayat. Hal ini menjadikan semantik identik dengan ulum al-Qur’an, walaupun terdapat perbedaan dalam analisisnya dimana semantik lebih banyak berbicara dari segi historisitas kata untuk mendapatkan makna yang sesuai pada kata tersebut.26

23Ibid, H. 18

24Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Nash Dirāsāh fi „Ulūm al-Qur‟an (Tekstualitas Al-Qur‟an:

Kritik Terhadap Ulum al-Qur‟an), terj. Khiron Nahdliyin, (Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 19

25Sean Ochan, Semantik al-Qur’an: sebuah metode

penafsiran,https://seanochan.wordpress.com/2013/12/26/semantik-al-quran-sebuah-metode- penafsiran/comment-page-1/, diunduh pada 18 november 2014 pukul 11.48 WIB.

26Ibid.

(8)

2. Semantik dan Filsafat

Filsafat sebagai studi kearifan, pengetahuan, hakikat, realitas, maupun prinsip memiliki hubungan erat dengan semantic. Hal itu terjadi karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan adalah dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa. Keberadaan bahasa sebagai sesuatu yang khas milik manusia, menjadi media, pengembang pikiran manusia bagi para filusuf Yunani.

Misalnya, dalam bahasa Yunani berpangkal dari logon ekhoon yang memiliki makna “dilengkapi dengan tutur kata dan akal budi”, begitu juga dengan istilah logos dalam bahasa Yunani mengandung makna “isyarat”, “perbuatan”, “inti sesuatu”, “cerita”, “kata maupun susunan kata”. Dari sejumlah fitur semantik itu para filusuf Yunani merumuskan pengertian logos sebagai kegiatan menyatakan sesuatu yang didukung oleh sejumlah komponen yang masing- masing komponen tersebut antara yang satu dengan yang lain memiliki hubungan dengan menggunakan kata-kata.

Semantik maupun bahasa pada umumnya memiliki hubungan dengan cabang-cabang filsafat seperti ontologi, epistimologi, maupun metafisika.

Namun, semantik memiliki hubungan paling erat dengan logika. Sehubungan dengan cabang filsafat yang mengkaji masalah berfikir secara benar, peranan semantik tampak sekali dalam rangka menentukan pernyataan yang benar maupun tidak benar, dengan bertolak dari adanya premis serta kesimpulan yang diberikan.27

3. Semantik dan kesusteraan

Sastra sebagai salah satu bentuk kreasi seni, menggunakan bahasa sebagai media pemaparnya. Akan tetapi berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari, bahasa dalam karya sastra memiliki kekhasannya sendiri, karena bahasa dalam sastra merupakan salah satu bentuk idiosynctratic dimana tebaran kata yang digunakan merupakan hasil pengolahan dan ekspresi individual pengarangnya. Pembaca yang ingin memahami karya sastra dengan sungguh- sungguh benar tentunya juga harus memahami ilmu tetang makna sebagai bekal awal dalam upaya memahami teks sastra karena kompleksitas makna dalam karya sastra. Peranan semantik yang sangat penting dalam kajian sastra

27 Ibid, H. 18-19

(9)

terutama pada telaah makna dalam gaya bahasa maupun latar proses kehadirannya.28

Kajian semantik pada beberapa keilmuan tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah objek kajian semantik adalah bahasa, masing-masing keilmuan menjadikan dan menggunakan bahasa sebagai salah satu media penyampai informasi kajiannya tersebut. Dan perbedaannya adalah seperti dalam kajian ulum al- qur’an bahasa yang digunakan adalah bahasa Arab, kajian filsafat menggunakan bahasa agar pernyataan yang disampaikan benar, terutama pada ilmu logika yang merupakan cabang dari filsafat. Sedangkan dalam kajian kesusteraan, bahasa yang digunakan berbeda dengan bahasa pada umumnya, bahasa sastra memiliki keunikannya sendiri yaitu dalam penggunaan bahasa kiasan, atau gaya bahasa dan latar proses kehadiran bahasa tersebut.

28Ibid, h. 25

Referensi

Dokumen terkait

Nah, hemat saya proses saling mengenal inilah yang dinamakan sebagai multikulturalisme, dan dengan demikian, multikulturalisme seyogyanya juga tentu termasuk dalam bentuk

Hasil dari penelitian ini diantaranya adalah; potensi sosial budaya kesenian tradisional Ronggeng Gunung di Desa Ciulu Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis kurang

Selain itu, adanya sertifikasi profesi keinformatikaan tersebut akan membantu perusahaan dalam merekrut para tenaga ahli informatika yang sesuai dengan standar nasional..

Indikator Kinerja Kegiatan 001 Jumlah Penyelesaian Administrasi Perkara (yang Sederhana, dan Tepat Waktu) Ditingkat Pertama dan Banding di Lingkungan Peradilan Agama (termasuk

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka

Pada tabel 1 menunjukkan sampel bukan perokok A dan C memiliki vital capacity yang lebih tinggi dari sampel B dan D hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pada sampel B

Paket Pekerjaan : Oversight Service Provider Regional Management Paket 5.. (Central Java &

Dalam perintah Allah tersebut mengandung larangan berbuat zina>. Selain larangan melakukan tindak pidana perzinaan, dalam ayat 33 secara tegas diatur pula tentang larangan