• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN. Dahris Siregar Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN. Dahris Siregar Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia. Abstrak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

FOCUS HUKUM UPMI Page 126 e-ISSN : 2722-9580 Volume 1 Nomor 3 Desember 2020

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN

Dahris Siregar Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia

Abstrak

Dalam penjelasan umum didalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwa Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian perkawinan tidak dapat diubah, kecuali

bila dari kedua belah pihak ada perjanjian unuk mengubah asalkan tidak merugikan pihak ketiga. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU- XIII/2015 telah memperlonggar makna perjanjian perkawinan artinya bahwa perjanjian perkawinan yang awalnya dibuat sebelum perkawinan atau selama berlangsungnya perkawinan maka sekarang perjanjian tidak hanya bisa dibuat sebelum perkawinan tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung.

Keyword Perjanjian Perkawinan Putusan Mahkama Kunstitusi

PENDAHULUAN

(2)

FOCUS HUKUM UPMI Page 127 Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena dengan perkawinan akan menyatukan hubungan laki- laki dengan perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan ini akan menimbulkan akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, serta menyangkut masalah kehidupan kekeluargaan yang harus dipenuhi, baik hak dan kewajiban suami isteri maupun keberadaan status perkawinan, anak- anak, kekayaan, waris dan faktor kependudukan didalam kehidupan bermasyarakat.

Didalam suatu Perkawinan masalah harta perkawinan sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri, sebab mereka dalam melaksanakan sebuah perkawinan itu adalah untuk selama-lamanya, mereka berpikir bahwa perkawinannya akan langgeng dan tidak akan ada masalah serta kehidupan dan hubungan antara suami isteri selalu berjalan dengan baik sesuai keinginan. Sehingga mereka tidak mempersoalkan hak yang satu terhadap hak yang lain.

Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu sehingga akan lebih jelas mengenai pembagian-pembagiannya dan mengurangi masalah atau konflik yang biasanya timbul pada saat perceraian. Biasanya perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri.

Perjanjian merupakan peristiwa dimana seorang atau satu pihak berjanji kepada seorang atau pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

Pada dasarnya suatu Perjanjian Perkawinan berawal dari kepentingan para pihak Suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan dan pada umumnya diawali dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan perjanjian. Perjanjian dalam perkawinan merupakan perjanjian yang mengatur suatu harta kekayaan dalam perkawinan serta hak dan kewajiban suami isteri yang akan menikah. Perjanjian Perkawinan umumnya jarang terjadi di Indonesia, mungkin karena masih kuatnya hubungan kekerabatan antara

(3)

FOCUS HUKUM UPMI Page 128 calon suami isteri dan juga pengaruh hukum adat yang sangat kuat selain itu karena mengadakan suatu Perjanjian Perkawinan mengenai harta benda dalam perkawinan antara calon suami isteri dirasa oleh sebagian masyarakat di Indonesia sebagai suatu yang kurang pantas atau dianggap sebagai suatu yang kurang percaya dari pihak yang satu kepihak yang lain.

Perjanjian Perkawinan di Indonesia tidak terlalu sering di buat mungkin karena masihbelum menjadi sesuatu yang umum dikalangan masyarakat karena mengadakan suatu perjanjian perkawinan mengenai harta benda dalam perkawinan antara calon suami isteri dirasa oleh sebagian masyarakat di Indonesia sebagai suatu yang kurang pantas atau dianggap sebagai suatu yang kurang percaya antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.Perjanjian kawin dapat dijadikan sebagai sarana hukum untuk menjaga dan melindungin hak dan kewajiban baik suami maupun isteri agar berjalan dengan baik saat perkawinan berlangsung.

Sehingga perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa.

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Perkawinan

Berdasarkan pasal 1 Undang-Udang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menerapkan bahwa : “Perkawinan ialah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia kekal dan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan yang dikemukakan pada Pasal 1 undang-undang no. 1 tahun 1974 bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian Perkawinan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat, oleh karena itu merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebihlanjut baik yang terdapat dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 maupun dalam peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan.

Perjanjian Perkawinan

Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perjanjian Perkawinan hanya diatur secara singkat dalam satu pasal, yaitu Pasal 29. Pada Pasal 29 mengatakan :

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian

(4)

FOCUS HUKUM UPMI Page 129 bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ke tiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perjanjian dilangsungkan.

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ke tiga.

Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat sah perkawinan menurut undang-undang perkawinan

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 Tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

c) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaanya dapat menyatakan kehendaknya.

e) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua, wali atau keluargadalam garis lurus keatas, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut.

f) Ketentuan pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing Agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

METODE PENELITIAN

(5)

FOCUS HUKUM UPMI Page 130 Jenis Penelitan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum yang berlaku. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (Library/ Documentary Recearch) adalah penelitian hukum terhadap suatu masalah yang diajukan untuk diteliti kebenarannya menurut cara-cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi ilmiah dan bersumber kepada perpustakaan/ dokumentasi.

HASIL PENELITIAN

Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan

Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata Syarat sahnya suatu perjanjian adalah:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Hal ini dimaksudkan bahwa para pihak yang hendak mengadakan suatu perjanjian harus terlebih dahulu sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu. Kata sepakat tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata). Menurut subekti yang dimaksud dengan kata sepakat adalah Persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbl balik.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Pada dasarnya, setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap (Pasal 1329 KUHPedata). Menurut pasal 1330 KUHPerdata mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah :

1) Orang yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUH Perdata dijelaskan bahwa seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 Tahun atau sudah pernah menikah. Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan Hukum.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena Pasal 31 Undang-Undang ini menentukan

(6)

FOCUS HUKUM UPMI Page 131 bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hokum.

c. Adanya suatu hal tertentu

Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek Perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, suatu perjanjian harus mempunyai sebagian pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi kalangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.

d. Adanya suatu sebab yang halal

Adanya suatu sebab (Causa dalam bahasa latin) yang halal ini adalah menyangkut isi perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang seperti yang sudah diterapkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Dengan demikian Undang- undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang mengadakan suatu perjanjian.

Yang diperhatikan oleh undang-undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata, suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Perjanjian Perkawinan Sebelum dan Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015

Perjanjian Perkawinan di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya hanya diatur secara singkat dalam satu Pasal 29 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 29 UU Perkawinan

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bila mana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Di dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan diatas secara sederhana dapat dilihat

(7)

FOCUS HUKUM UPMI Page 132 bahwa ternyata Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan defenisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan dan juga tidak memberikan batasan-batasan mengenai apa yang dapat diperjanjikan dalam suatu perjanjian perkawinan.

Sehingga terasa sulit bagi suami- isteri untuk menyimpulkan apa saja yang harus dimuat didalam perjanjian perkawinan.

Dari bunyi ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 diatas dapat kita lihat adanya perbedaan norma-norma hukum baru mengenai perjanjian perkawinan yaitu sebagai berikut:

1) Perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam ikatan perkawinan atau dapat dibuat setelah perkawinan dilangsungkan artinya sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 Perjanjian perkawinan hanya dibuat sebelum atau paling lambat pada saat perkawinan dilangsungkan namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 Perjanjian perkawinan dapat dibuat setelah perkawinan berlangsung atau selama masih dalam ikatan perkawinan. Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan adalah:

a. Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak isteri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai harta dari masing-masing pihak terlindungin, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama atau gono gini.

b. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiriJika salah satu pihak menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta izin dari pasangannya (suami/isteri).

c. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus meminta izin terlebih dahului dari pasangan hidupnya (suami/isteri) dalam hal menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.

2) Perjanjian perkawinan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, sedangkan apabila para pihak ingin didaftarkan, maka dapat diajukan permohonan penepatan pendaftara pada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal bersama dari suami dan isteri tersebut.

3) Boleh berlaku efektif terhitung sejak tanggal perjanjian perkawinan khususnya bagi perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan.

4) Jika perjanjian perkawinan sebelumnya tidak dapat diubah namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 Perjanjian menjadi dapat

(8)

FOCUS HUKUM UPMI Page 133 diubah atau dicabut bila dari kedua bela pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

KESIMPULAN

1. Sebagai mana telah diketahui bahwa Perjanjian Perkawinan pada dasarnya berawal dari kepentingan para pihak suami isteri yang melangsungkan dan pada umumnya diawali dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melakukan perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan di Indonesia tidak terlalu sering dibuat mungkin karena belum menjadi sesuatu yang umum dikalangan masyarakat karena perjanjian perkawinan hanya diadakan oleh pihak suami isteri yang menginginkanya.

Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri biasanya mengenai harta bersama dalam perkawinan seperti harta karena ketika terjadi perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk mengikatkan diri sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia, kakal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka terjadilah pencampuran harta yang sering disebut sebagai harta bersama sehingga tidak bisa dibedakan mana harta suami dan mana harta si isteri.

Dengan adanya persatua harta dalam perkawinan antara suami isteri maka pemerintah memperkenankan kepada kedua belah pihak untuk membuat perjanjian perkawinan dengan tujuan pemisahan harta antara suami isteri bagi mereka yang menginginkannya.

Setelah suami isteri membuat perjanjian perkawinan sehingga akan jelas mengenai pembagian harta untuk mengurangin masalah atau konflik bila suatu saat terjadi perceraian.

2. Hak adalah segala sesuatu yang harus didapatkan oleh setiap orang yang telah ada sejak lahir bahkan sebelum lahir. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilaksanakan, keharusan (sesuatu hal yang harus dilaksanakan). Dalam perkawinan tentu suami mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam rumah tangga seperti

a. Hak dan Kedudukan suami isteri adalah seimbang, suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.

b. Suami/isteri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya.

c. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman tetap dalam keluarganya.

d. Kewajiban utama suami adalah memberi nafkah kepada isterinya dan anak- anaknya

e. Kewajiban utama isteri adalah mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dan

(9)

FOCUS HUKUM UPMI Page 134 sebaik-baiknya.

3. Perjanjian perkawinan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 dapat diartikan bahwa perjanjian perkawinan hanya dibuat sebelum sebelum atau pada saat perkawinan. Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-XIII/2015 maka perjanjian perkawinan dapat diartikan bahwa diperkenankan setelah adanya perkawinan asalkan masih dalam ikatan perkawinan.

SARAN

Setelah penulis mempelajari dan memahami bagaimana sebenarnya perjanjian perkawinan ini, maka penulis mencoba memberikan saran bahwa Perjanjian perkawinan ini memang sangat penting bagi suami isteri yang berkeinginan membuat perjanjian perkawinan namun menurut penulis perjanjian perkawinan ini sebaiknya lebih penting bagi Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing dengan tujuan supaya tidak terjadi pencampuran harta sehingga harta milik Warga Negara Indonesia itu tetap mempunyai hak atas harta kepunyaannya dan tidak terjadi kehilangan hak milik karena pernikahannya. Menurut penulis perjanjian perkawinan ini bagi suami isteri yang sama-sama Warga Negara Indonesia sebaiknya tidak perlu membuat perjanjian perkawinan karena seakan-akan mereka berpandangan bahwa dikemudian terjadi konflik terhadap harta perkawinan kecuali bagi suami isteri yang keluarganya sering berantam atau keluarganya tidak ada kedamaian sehingga bila suatu hari terjadi perceraian maka tidak sulit menentukan harta bagian mereka masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan makna pasal1233- 1456 BW), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencan Prenadamedia Group, Jakarta, 2006

H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama), Bandar Lampung, Bandung 2007

H. Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung, PT. Refika Aditama, cet. 1,

(10)

FOCUS HUKUM UPMI Page 135 2016)

Hasan Alwi, Hans Napoliwa, Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi Ketiga), Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Cetakan Kelima, Jakarta, 2007

Herlien Budiono, Aajaran Umum Hukum Perjanjian dan penerapannya dibidang kenotariatan, Citra aditya Bakti, Bandung

J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, LaksBang PRESSindo, Yokyakarta 2017

Kartini Muljadi dan Gunawan widjaja (II), Perikaatan yang lahir dari perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Cetakan XVI, Jakarta, 1996

Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan dan Keluarga Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia, 2004

Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975

Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-XIII/2015

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, di Indonesia sendiri perubahan karya sastra ke dalam bentuk film juga telah lama dilakukan banyak produser yang mengadaptasi novel menjadi sebuah

Berdasarkan permasalahan diatas penulis membuat alat yang bisa mengatur lampu lalu lintas agar tidak terjadi hal tersebut dengan memanfaatkan sensor ultrasonic yang nantinya

Penelitian yang dilakukan Mailina Harahap (2017) dengan judul “Kajian modal sosial pada usaha tani sayur” Studi kasus pada Kelompok Tani Barokah Kelurahan Tanah

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui struktur novel Tempurung (2) mengetahui perjuangan tokoh perempuan (3) mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam

Berdasarkan percobaan dan analisis data secara statistik maka faktor jenis pengikat pasir sangat memperlihatkan pengaruh terhadap nilai porositas yang terjadi pada

Nilai dari bilangan penyabunan bergantung pada panjang atau pendeknya rantai karbon suatu minyak atau asam lemak, dan dapat dikatakan nilai dari bilangan penyabunan

Media sosial sangat berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada Mahasiswa program studi Manajemen Universitas Pasir Pengaraian terbukti dengan banyaknya jumlah

Penyerapan tenaga kerja sektor industri menurut harga konstan mengalami peningkatan yang relatif sama dengan harga berlaku yakni sebesar 3.875,80 tenaga kerja dari