• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran. Oleh : HANIFAH MUTIARA NUR AINUN HASIBUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran. Oleh : HANIFAH MUTIARA NUR AINUN HASIBUAN"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN BATUK BERDAHAK PADA PASIEN TB PARU DENGAN HASIL PEMERIKSAAN FOTO TORAKS PADA PASIEN TB PARU DI POLI PARU RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE JANUARI 2015 SAMPAI DESEMBER 2017

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

HANIFAH MUTIARA NUR AINUN HASIBUAN 150100088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Hubungan Batuk Berdahak pada Pasien TB Paru dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks pada Pasien TB Paru di Poli Paru RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2015 sampai Desember 2017

Nama Mahasiswa : Hanifah Mutiara Nur Ainun Hasibuan Nomor Induk : 150100088

Program Studi : Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Komisi Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Medan, 19 Desember 2018 Menyetujui,

Dosen Pembimbing

dr. Dedy Dwi Putra, Sp.Rad NIP. 19771226 200912 1 001 Ketua Penguji

dr. Ginanda Putra Siregar, Sp.U NIP. 19851220 200912 1 005

Anggota Penguji

dr. Fitriani Lumongga, Sp.PA NIP. 19691221 200212 2 001

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “Hubungan Batuk Berdahak pada Pasien TB Paru dengan Hasil Pemeriksaan Foto Toraks pada Pasien TB Paru di Poli Paru RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2015 sampai Desember 2017” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar- besarnya kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Hanafi Hasibuan dan Ibunda Irna Yusna Agustina Harahap atas segala do'a dan dukungannya yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan penelitian pada skripsi ini.

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K).

3. Dosen Pembimbing, dr. Dedy Dwi Putra, Sp.Rad, yang banyak memberikan arahan, masukan, ilmu, dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sedemikian rupa.

4. Ketua Penguji, dr. Ginanda Putra Siregar, Sp.U dan Anggota Penguji, dr.

Fitriani Lumongga, Sp.PA untuk setiap kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.

5. Dosen Pembimbing Akademik, dr. Vanda Virgayanti, Sp.M yang senantiasa membimbing dan memberikan motivasi selama masa perkuliahan 7 semester.

6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

(4)

7. Seluruh pihak RSUP Haji Adam Malik yang banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat penulis, Ayumi Syifa, Nadia Salsabila, Elsa Fakhirah, Stella Junita, Suelsa Haya, Dian Nasution, Nia Nanda, Winda Sere, dan sahabat terbaik lainnya yang tak bisa disebut satu per satu yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan motivasi dari awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

9. Partner terbaik penulis, Gio Justisia Batubara yang selalu memberikan dukungan tanpa henti dan selalu menyediakan waktu serta tenaganya untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Adik-adik penulis Havidah Adawiyah Hasibuan, Habib Fatih Rojhan Hasibuan, dan Hans Ahmad Nabil Hasibuan, atas dukungan yang diberikan kepada penulis.

11. Rekan-rekan LD Nasional ISMKI, rekan-rekan Pengurus Harian ISMKI Regio Medan dan seluruh Indonesia, yang telah berjuang, berbagi ilmu bersama, dan mengajarkan penulis banyak hal.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih dalam bidang pendidikan khususnya ilmu kedokteran.

Medan, 19 Desember 2018 Penulis,

Hanifah Mutiara Nur Ainun Hasibuan NIM. 150100088

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Singkatan ... viii

Daftar Lampiran ... ix

Abstrak ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.4.1 Bidang Pendidikan... 4

1.4.2 Bidang Penelitian... 4

1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Anatomi Paru ... 5

2.1.1 Paru Kanan ... 5

2.1.2 Paru Kiri ... 7

2.2 Batuk ... 8

2.2.1 Definisi ... 8

2.2.2 Mekanisme Batuk ... 8

2.2.3 Klasifikasi Batuk ... 9

2.3 Tuberkulosis Paru ... 11

2.3.1 Definisi ... 11

2.3.2 Epidemiologi ... 11

2.3.3 Etiologi ... 12

2.3.4 Faktor Risiko ... 13

2.3.5 Patofisiologi ... 16

2.3.5.1 Infeksi Tuberkulosis Primer ... 16

2.3.5.2 Infeksi Tuberkulosis Post Primer ... 17

2.3.5.3 Progresivitas Batuk pada TB Paru .. 17

2.3.6 Manifestasi Klinis ... 18

2.3.6.1 Manifestasi Klinis Respiratorik ... 18

2.3.6.2 Manifestasi Klinis Sistemik... 20

2.3.7 Pemeriksaan Bakteriologi ... 21

2.3.7.1 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis ... 21

(6)

2.3.7.2 Pemeriksaan Biakan ... 22

2.3.8 Tatalaksana ... 22

2.3.8.1 Paduan OAT KDT dan Kombipak . 23 2.4 Foto Toraks ... 24

2.4.1 Definisi ... 24

2.4.2 Teknik Pembuatan Foto Toraks ... 25

2.4.3 Pemeriksaan Radiologi pada TB Paru ... 28

2.4.4 Gambaran Radiologi TB Paru ... 30

2.4.4.1 TB Paru Primer ... 30

2.4.4.2 TB Paru Post Primer ... 31

2.4.4.2.1 Klasifikasi Gambaran Radiologi TB Paru ... 32

2.4.4.3 TB Paru Fokal ... 32

2.5 Kerangka Teori ... 33

2.6 Kerangka Konsep ... . 34

2.7 Hipotesis ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Rancangan Penelitian ... 35

3.2 Lokasi Penelitian ... 35

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 35

3.3.1 Populasi ... 35

3.3.2 Sampel ... 35

3.3.2.1 Kriteria Inklusi ... 36

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi ... 36

3.3.2.3 Estimasi Besar Sampel ... 36

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 37

3.5.1 Metode Pengolahan Data ... 37

3.5.2 Metode Analisis Data ... 37

3.6 Definisi Operasional ... 38

3.6.1 Variabel Independen ... 38

3.6.2 Variabel Dependen ... 39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 41

4.1.1 Analisis Univariat ... 42

4.1.2 Analisis Bivariat ... 46

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Kesimpulan ... 47

5.2 Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 53

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

2.1 Anatomi paru kanan ... 6

2.2 Anatomi paru kiri ... 7

2.3 M. tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen ... 12

2.4 Pewarnaan Fluoresen Auramine O ... 13

2.5 Faktor risiko ... 14

2.6 Foto PA dari depan dan samping ... 25

2.7 Posisi lateral kiri dari depan dan samping ... 25

2.8 Radioanatomi toraks proyeksi PA ... 27

2.9 Radioanatomi toraks proyeksi lateral kiri ... 28

2.10 Posisi top lordotik ... 28

2.11 Kerangka teori ... 33

2.12 Kerangka konsep ... 34

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1 Dosis paduan OAT KDT kategori 1 ... 23

2.2 Dosis paduan OAT kombipak kategori 1 ... 23

2.3 Dosis paduan OAT KDT kategori 2 ... 24

2.4 Dosis paduan OAT kombipak kategori 2 ... 24

4.1 Distribusi kasus TB paru berdasarkan rentang usia .... 42

4.2 Distribusi kasus TB paru berdasarkan jenis kelamin .. 42

4.3 Distribusi kasus TB paru berdasarkan klasifikasi batuk berdahak ... 44

4.4 Distribusi kasus TB paru berdasarkan klasifikasi foto toraks ... 45

4.5 Hubungan batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks ... 46

(9)

DAFTAR SINGKATAN

ATA : American Tuberculosis Association

BCG : Bacillus Calmette-Guérin

BMI : Body Mass Index

BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BTA : Basil/Bakteri Tahan Asam

COPD : Chronic Obstructive Pulmonary Disease CNR : Cross Notification Rate

CXR : Chest X-Ray

DM : Diabetes Melitus

E : Etambutol

Fasyankes : Fasilitas Layanan Kesehatan

H : Isoniasid

HIV : Human Immunodeficiency Virus M. tuberculosis : Mycobacterium tuberculosis

mSv : Millisievert

NHANES-1 : 1st National Health and Nutrition Examination NHEFS : NHANES-1 Epidemiological Follow-up Study OAT : Obat Anti Tuberkulosis

OAT-KDT : Obat Anti Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

PA : Postero-Anterior

R : Rifampisin

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

S : Streptomisin

SK MenKes RI : Surat Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia

SPS : Sewaktu-Pagi-Sewaktu

SPSS : Statistical Product and Service Solutions

TB : Tuberkulosis

WHO : World Health Organization

Z : Pirazinamid

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

A Biodata Penulis ... 53

B Pernyataan Orisinalitas ... 55

C Ethical Clearance Penelitian ... 56

D Surat Izin Penelitian ... 57

E Data Induk Penelitian ... 59

F Output Perangkat Lunak Statistik ... 62

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) paru merupakan satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia. Indonesia menjadi negara dengan kasus TB terbanyak kedua di dunia setelah India.

Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan bakteriologi yakni uji sputum memerlukan beberapa hari pengerjaan sedangkan kultur yang merupakan standar baku emas memerlukan waktu yang lebih lama. Uji tersebut juga memiliki sensitivitas yang rendah.

Keterbatasan ini menyebabkan pemeriksaan foto berperan penting dalam mengevaluasi pasien dengan TB paru Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan durasi batuk berdahak dengan luas lesi paru pada hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien TB paru. Metode.

Penelitian ini bersifat analitik dengan desain cross sectional. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien TB paru di Poli Paru RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2015 sampai Desember 2017. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 49 sampel yang dibulatkan menjadi 60 sampel. Hasil. Dari 60 sampel yang diteliti, berdasarkan distribusi pasien terhadap rentang usia, diperoleh kelompok usia terbanyak adalah 36-55 tahun (56,7%) dan berdasarkan jenis kelamin, distribusi terbanyak adalah laki-laki yaitu 38 sampel (63,3%). Pada analisis bivariat antara batuk berdahak dan hasil pemeriksaan foto toraks, distribusi sampel terbanyak adalah individu dengan keluhan batuk berdahak kronis dan lesi sangat lanjut, yaitu sebanyak 35 sampel (81,4%). Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara durasi batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien TB paru yang dibuktikan dengan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05).

Kata kunci: Tuberkulosis Paru, Batuk Berdahak, Foto Toraks

(12)

ABSTRACT

Introduction. Tuberculosis (TB) is one of the top 10 causes of death worldwide. Indonesia has become the second top of the bigest number of TB case worldwide after India. Diagnosis of TB is based on clinical manifestation, sputum microscopy, radiology, and another examination. Sputum smear results take several days while culture results which is the gold standard of diagnosis need several weeks. Because of these limitations, imaging plays an important role in evaluation of chest on TB patients. Objective. This study was conducted to determine the correlation of duration of productive cough and the broad of lession at the radiological result in TB patient. Methods. This study is performed in an analytical cross sectional approach. This samples were subject of medical record in Pulmonology Departement of Haji Adam Malik General Hospital in January 2015 to Desember 2017. The Technique used in this study is consecutive sampling and the analyses used is Mann-Whitney with the number of samples taken were 49 samples which has been rounded up to be 60. Result. Out of 60 samples, based on the number of cases related to age range, were found the most in the age range 36-55 years old (56,7%) and based on the sex, were found the most on male which were 38 samples (63,3%). The result of bivariate analysis between productive cough and radiological result shows the number of patients most were patients with chronic productive cough and far advanced lession, which were 35 samples (81,4%). Conclusion.

Based on these result, we can conclude there was a significant correlation between duration of productive cough and the broad of lession at the radiological result in TB patient with the number of p value was 0,000 (p < 0,05).

Keywords: tuberculosis of lung, productive cough, thorax x-ray

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) paru merupakan infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Penularan atau infeksi TB dapat dengan mudah meluas dengan proses penyebaran melewati saluran pernafasan, yakni dengan terhirupnya droplet penderita yang telah terinfeksi oleh bakteri TB. Infeksi TB menyerang paru dan penyebarannya dapat meluas mengenai organ-organ tubuh lainnya (Vyas, J.M., 2016).

Seperempat dari populasi penduduk dunia telah terinfeksi TB (Center for Disease Control and Prevention, 2018). Menurut World Health Organization (WHO), TB merupakan satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2016, 10,4 juta penduduk dunia terserang TB, dan 1,7 juta penduduk meninggal karena TB (termasuk 0,4 juta penduduk dengan Human Immunodeficiency Virus). Lebih dari 95% kematian akibat TB menyerang negara dengan penghasilan menengah sampai rendah. 64% dari total penduduk pengidap TB berasal dari tujuh negara yakni, India dengan sumbangsi penduduk terbanyak, diikuti dengan Indonesia, Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan.

(World Health Organization, 2018).

Pada tahun 2016, insiden TB (termasuk HIV+TB) di Indonesia mencapai 1.020.000 kasus atau 391/100.000 penduduk dengan tingkat mortalitas TB (termasuk HIV+TB) yang mencapai 123.000 kasus atau 47,1/100.000 penduduk per tahunnya (World Health Organization, 2016). Sementara di Provinsi Sumatera Utara, Cross Notification Rate/CNR (kasus baru) TB paru BTA positif mencapai 105,02/100.000 penduduk. Pencapaian per Kab/Kota, 3 (tiga) tertinggi adalah Kota Medan sebesar 3.006/100.000, diikuti dengan Kabupaten Deli Serdang sebesar 2.184/100.000 dan Simalungun sebesar 962/100.000 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

(14)

Dalam upaya pemberantasan TB paru, diagnosis yang tepat dalam menemukan kasus TB paru secara dini sangat diperlukan dalam memutuskan rantai penularannya. Hal ini dapat dilakukan dengan sarana diagnostik yang tepat.

Diagnosa TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis pada TB paru biasanya bertahap pada durasi yang bervariasi mulai dari minggu hingga bulan.

Triase atau tiga serangkaian gejala klinis yang khas pada TB paru adalah demam, berkeringat pada malam hari, dan penurunan berat badan yang muncul pada sekitar 75, 45, dan 55% pasien, sedangkan batuk persisten yang terus-menerus merupakan gejala yang paling sering dilaporkan (95%) (Heemskerk et al., 2015).

Pemeriksaan bakteriologi yakni uji sputum memerlukan beberapa hari pengerjaan sedangkan kultur yang merupakan standar baku emas memerlukan waktu yang lebih lama, yaitu beberapa minggu dalam pengerjaannya. Hal ini membatasi efisiensi kerja dalam mendiagnosa TB yang sering kali menyebabkan keterlambatan dalam mengisolasi pasien yang terinfeksi. Uji tersebut juga memiliki sensitivitas yang rendah. Keterbatasan ini menyebabkan pemeriksaan foto berperan penting dalam mengevaluasi pasien dengan TB paru (Bhalla et al., 2015).

Pada pemeriksaan radiologi, foto toraks merupakan evaluasi radiologi utama yang digunakan terhadap pasien yang dicurigai ataupun telah terbukti terinfeksi TB paru. Radiologi juga berperan dalam memberikan informasi penting untuk manajemen dan follow-up dan sangat berguna untuk memantau komplikasi pada pasien TB paru (Ryu, Y.J., 2015).

Menurut Karmila (2013) berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakannya, terdapat hubungan yang signifikan antara batuk berdahak dengan hasil pemeriksaan foto toraks berdasarkan klasifikasi American Tuberculosis Association, yaitu dengan nilai p = 0,000. Hal ini didukung dengan teori yang menyatakan apabila dijumpai batuk berdahak yang bersifat kronik dengan hasil pemeriksaan BTA positif, maka seharusnya gambaran radiologi juga akan semakin luas (Karim, K., 2013).

(15)

Berdasarkan data yang telah dipaparkan, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan durasi batuk berdahak dengan luas lesi pada hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien TB paru dengan sampel yang dilibatkan yakni pasien TB paru di Poli Paru RSUP Haji Adam Malik Medan Periode Januari 2015 sampai Desember 2017.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dengan memperhatikan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: "Apakah terdapat hubungan antara batuk berdahak pada pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien TB paru di Poli Paru RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2015 sampai Desember 2017?"

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan batuk berdahak pada pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan foto toraks pada pasien TB paru di Poli Paru RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2015 sampai Desember 2017.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik pasien TB paru berdasarkan usia dan jenis kelamin.

2. Mengetahui distribusi pasien TB paru berdasarkan durasi batuk berdahak pasien TB paru.

3. Mengetahui distribusi pasien TB paru berdasarkan luas lesi pada hasil pemeriksaan foto toraks pasien TB paru.

4. Mengetahui hubungan durasi batuk berdahak dengan luas lesi pada hasil pemeriksaan foto toraks.

(16)

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Bidang Pendidikan

Berkaitan dengan bidang pendidikan, panalitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi maupun menjadi landasan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan hubungan durasi batuk berdahak dengan luas lesi pada hasil pemeriksaan foto toraks pasien TB paru.

1.4.2 Bidang Penelitian

Berkaitan dengan bidang penelitian, penelitian ini bermanfaat sebagai data dasar maupun tambahan informasi mengenai karakteristik penderita TB paru di Poli Paru RSUP Adam Malik Medan.

1.4.3 Bidang Pelayanan Masyarakat

Berkaitan dengan bidang pelayanan masyarakat, penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi para medis mengenai hubungan durasi batuk berdahak dengan luas lesi pada hasil foto toraks pasien TB paru.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI PARU

Paru-paru adalah organ pernafasan vital. Fungsi utamanya adalah untuk mengoksigenasi darah dengan membawa udara inspirasi menuju bagian yang dekat dengan pembuluh darah vena di kapiler paru. Meskipun paru-paru pada kadaver terlihat kecil, keras, dan berubah warna, paru-paru sehat pada manusia biasanya ringan, lembut, spongy, dan sepenuhnya menempati rongga paru. Paru- paru juga elastis dan dapat rekoil sekitar sepertiga ukurannya ketika rongga toraks dibuka. Paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh mediastinum (Moore et al., 2014). Setiap paru memiliki:

a. Apeks, ujung tumpul superior paru yang diproyeksikan di atas kosta I sampai ke radiks leher yang dilindungi oleh pleura serviks.

b. Basis, permukaan inferior paru yang cekung. Berlawanan dengan apeks, dan ditopang oleh kubah diafragma ipsilateral.

c. Dua atau tiga lobus, dibuat oleh satu atau dua fisura.

d. Tiga permukaan (kostal, mediastinal, dan diafragma).

e. Tiga perbatasan (anterior, inferior, dan posterior).

2.1.1 Paru kanan

Paru kanan memiliki tiga lobus (superior, medial, inferior) dan dua fisura (Gambar 2.1) sebagai berikut:

a. Fissura obliqua, yang memisahkan lobus inferior dengan lobus superior dan lobus medialis dari paru kanan.

b. Fissura horizontalis, yang memisahkan lobus superior dari lobus medialis.

(18)

Gambar 2.1 Anatomi paru kanan (Moore et al., 2014).

Perkiraan posisi dari fissura obliqua pada pasien saat pernapasan tenang, dapat ditandai dengan garis lengkung pada dinding toraks yang dimulai kira-kira pada prosesus spinosus vertebra toraks IV, menyilang interkosta V, dan mengikuti garis kosta VI anterior. Fissura horizontal mengikuti spasium interkosta IV dari sternum sampai bertemu dengan fissura obliqua saat menyilang kosta V. Orientasi dari fissura obliqua dan horizontal menentukan dimana para klinisi harus mendengar suara paru dari setiap lobus. Ketika mendengar suara paru dari setiap lobus, penting untuk menempatkan stetoskop pada area dinding dada yang berhubungan dengan posisi dari lobus-lobus ini (Drake et al., 2015).

Permukaan terluas dari lobus superior bersentuhan dengan bagian teratas dari dinding anterolateral dan apeksnya diproyeksikan ke pangkal leher. Permukaan dari lobus medius sebagian besar berada berdekatan dengan dinding terbawah anterior dan lateral. Permukaan kosta dari lobus inferior bersentuhan dengan dinding posterior dan inferior (Drake et al., 2015).

(19)

Permukaan medial dari paru kanan berada berdekatan dengan sejumlah struktur penting di mediastinum dan pangkal leher. Struktur-struktur ini meliputi :

a. Jantung

b. Vena cava inferior c. Vena cava superior d. Vena azigos

e. Esofagus

Arteri subclavia dextra dan arcus vein berakhir dan berhubungan dengan lobus superior dari paru kanan sepanjang pembuluh darah ini berjalan diatas kubah pleura servikal dan sampai ke aksila (Drake et al., 2015).

2.1.2 Paru kiri

Paru kiri lebih kecil daripada paru kanan dan memiliki dua lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqua (Gambar 2.2). Fissura obliqua dari paru kiri sedikit lebih miring daripada fisura pada paru kanan (Drake et al., 2015).

Gambar 2.2 Anatomi paru kiri (Moore et al., 2014).

Selama pernapasan tenang, kira-kira posisi dari fissura obliqua kiri dapat ditandai dengan garis pada dinding dada yang dimulai diantara prossesus spinosus dari vertebra thoracica III dan IV, menyilang interspace kelima lateral, dan

(20)

mengikuti garis kosta VI anterior. Demikian halnya dengan paru kanan, fissura obliqua menentukan dimana kita harus mendengar suara paru dari setiap lobus.

Ketika mendengar suara paru dari setiap lobus, stetoskop harus ditempatkan pada area dinding dada yang berhubungan pada posisi lobus (Drake et al., 2015).

Permukaan terluas dari lobus superior berhubungan dengan bagian teratas dari dinding anterolateral dan apeks dari lobus ini diproyeksikan ke pangkal leher.

Permukaan kostal dari lobus inferior berhubungan dengan dinding posterior dan inferior. Bagian inferior dari permukaan medial paru kiri, tidak seperti paru kanan, meninggi karena jantung diproyeksikan ke rongga pleura kiri dari mediastinum medial. Permukaan medial paru kiri berada dekat dengan sejumlah struktur penting di mediastinum dan pangkal leher. Struktur-struktur ini meliputi :

a. Jantung, b. Arkus aorta,

c. Aorta thoracica, dan d. Esofagus

Arteria subclavia sinistra dan archus vein berhubungan dengan lobus superior paru kiri sepanjang pembuluh darah ini berjalan diatas kubah pleura servikal dan sampai ke aksila (Drake et al., 2015).

2.2 BATUK 2.2.1 Definisi

Batuk adalah refleks tiba-tiba dan sering berulang yang berfungsi untuk membantu membersihkan saluran pernapasan dan merupakan upaya pelindungan jalan napas terhadap material asing (Vaishnav, K. B., 2013).

2.2.2 Mekanisme Batuk 1. Fase Iritasi

Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk dilapisan

(21)

faring, esophagus, rongga pleura, dan saluran telinga luar dirangsang (Guyton, 2008).

2. Fase Inspirasi

Inspirasi diperlukan untuk mendapatkan volume udara sebanyak- banyaknya sehingga terjadi peningkatan tekanan intratorakal (Chung, K.

F., 2009). Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga dengan cepat dan dalam jumlah udara banyak masuk ke dalam paru-paru (Guyton, 2008).

3. Fase Kompresi

Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis dan dan pita suara guna untuk menjebak udara di dalam paru-paru (Guyton, 2008).

4. Fase Ekspirasi

Pada fase ini glottis terbuka secara tiba-tiba akibat konstraksi aktif otot- otot ekspirasi, sehingga terjadi pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing atau bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan, dan bronkus sangat penting dalam mekanisme batuk karena merupakan fase batuk yang sesungguhnya. Suara batuk bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran napas atau getaran pita suara (Guyton, 2008).

2.2.3 Klasifikasi Batuk

Batuk dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi dan produktivitasnya. Batuk berdasarkan durasinya dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu batuk akut, sub-akut, dan kronis. Sedangkan batuk berdasarkan produktivitasnya dibagi menjadi 2 klasifikasi yaitu batuk produktif dan non-produktif.

(22)

1. Klasifikasi Batuk Berdasarkan Durasi a. Batuk Akut

Batuk akut umumnya berlangsung selama kurang dari tiga minggu.

Penyebab batuk akut adalah flu, infeksi saluran pernapasan bagian atas, eksaserbasi asma, penyakit paru obstruksi kronis, pencemaran lingkungan, inhalasi gas beracun, dll.

b. Batuk Sub-Akut

Batuk yang berlangsung selama tiga sampai delapan minggu disebut sebagai batuk sub-akut.

c. Batuk kronis

Setiap batuk yang berlangsung selama lebih dari 8 minggu disebut sebagai batuk kronis dan harus dievaluasi secara menyeluruh.

Merokok adalah penyebab batuk kronis yang paling umum.

Penyebab lainnya termasuk COPD, asma, tuberkulosis, kanker paru, pneumokoniosis, dll (Vaishnav, K. B., 2013).

2. Klasifikasi Batuk Berdasarkan Produktivitas a. Batuk Produktif

Batuk produktif adalah batuk yang menghasilkan dahak atau lendir (sputum) sehingga lebih dikenal dengan sebutan batuk berdahak.

Batuk produktif memiliki ciri khas yaitu dada terasa penuh dan berbunyi.merupakan suatu mekanismeperlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman, debu, dsb) dan dahak dari batang tenggorok.

b. Batuk Non-Produktif

Batuk non-produktif bersifat kering tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk rejan (pertussis, kinkhoest), atau juga karena pengeluarannya memang tidak mungkin, seperti pada tumor. Batuk

(23)

ini sering dipicu oleh kemasukan partikel makanan, bahan iritan, asap rokok (baik oleh perokok aktif maupun pasif), dan perubahan temperatur. Batuk ini dapat merupakan gejala sisa dari infeksi virus atau flu (Panggalo et al., 2013).

2.3 TUBERKULOSIS PARU 2.3.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan dapat menyebar melalui udara. TB merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama di dunia (Dodd et al., 2017). Infeksi TB menyerang paru dan penyebarannya dapat meluas mengenai organ-organ tubuh lainnya (Vyas, J. M., 2016).

2.3.2 Epidemiologi

Seperempat dari populasi penduduk dunia telah terinfeksi TB (Center for Disease Control and Prevention, 2018). Menurut World Health Organization (WHO), TB merupakan satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2016, 10,4 juta penduduk dunia terserang TB, dan 1,7 juta penduduk meninggal karena TB (termasuk 0,4 juta penduduk dengan HIV). Lebih dari 95% kematian akibat TB menyerang negara dengan penghasilan menengah sampai rendah. 64% dari total penduduk pengidap TB berasal dari tujuh negara yakni, India dengan sumbangsi penduduk terbanyak, diikuti dengan Indonesia, Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, dan Afrika Selatan (World Health Organization, 2018).

Pada tahun 2016, insiden TB (termasuk HIV+TB) di Indonesia mencapai 1.020.000 kasus atau 391/100.000 penduduk dengan tingkat mortalitas TB (termasuk HIV+TB) yang mencapai 123.000 kasus atau 47,1/100.000 penduduk per tahunnya (World Health Organization, 2016). Sementara di Provinsi Sumatera Utara, Cross Notification Rate/CNR (kasus baru) TB paru BTA (+) mencapai 105,02/100.000 penduduk. Pencapaian per Kab/Kota, 3 (tiga) tertinggi adalah Kota Medan sebesar 3.006/100.000, diikuti dengan Kabupaten Deli Serdang

(24)

sebesar 2.184/100.000 dan Simalungun sebesar 962/100.000 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

2.3.3 Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh infeksi dari bakteri Mycobacterium tuberculosis. Mycobacteria adalah bakteri berbentuk batang yang lurus dan tipis dengan ukuran 0,4 × 3 μm (Gambar 2.1) dan merupakan bakteri aerob yang tidak membentuk spora. Mycobacteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram-positif maupun gram-negatif. Ketika diwarnai dengan pewarnaan dasar, warna bakteri tersebut tidak dapat dihilangkan oleh alkohol, kecuali dengan iodin.

Setelah diwarnai, bakteri ini juga mampu menahan proses dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu disebut sebagai basil/bakteri tahan asam (BTA). Sifat tahan asam bergantung pada integritas selubung lilin (Carroll et al., 2016).

Teknik pewarnaan yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam adalah teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen. Pada apusan sputum atau potongan jaringan, mikobakteri dapat terlihat dengan fluoresens berwarna kuning-oranye setelah dilakukan pewarnaan fluorokrom (contohnya: auramine, rhodamine).

Kemudahan dimana bakteri tahan asam dapat divisualisasikan dengan pewarnaan fluorokrome (Gambar 2.2) membuat teknik ini lebih dipilih dalam spesimen klinis (Carroll et al., 2016).

Gambar 2.3 Mycobacterium tuberculosis (panah) dalam spesimen sputum yang diolah dengan pewarna Ziehl-Neelsen. Mycobacterium tuberculosis berwarna merah dengan latar belakang biru.

Pembesaran asli × 1000 (Carroll et al., 2016).

(25)

Gambar 2.4 Pewarnaan dengan Fluoresen Auramine O digunakan untuk mewarnai sampel dahak.

Ini menunjukkan dua fluoresen M. tuberculosis. Pembesaran asli × 1000 (Carroll et al., 2016).

2.3.4 Faktor Risiko 1. Jenis Kelamin

Perbandingan rasio antara laki-laki dengan perempuan yaitu 1,2:1 (Barman et al., 2017). Meta analisis dari 56 survei prevalensi kasus TB termasuk 2,2 juta peserta di 28 negara memberikan bukti kuat bahwa prevalensi TB lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Jumlah prevalensi kasus yang dilaporkan dengan TB BTA-positif juga menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak dilaporkan daripada perempuan, dengan tambahan bukti bahwa laki-laki memiliki sedikit kemungkinan dalam mencari atau mengakses perawatan dibandingkan perempuan pada banyak rangkaian (Horton et al., 2016).

2. Usia

Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun. Anak-anak memiliki risiko yang cukup tinggi untuk terkena TB karena sistem imunnya yang belum sempurna.

(Nurjana, M.A., 2015). Anak-anak mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena infeksi maupun penyakit TB. Mayoritas anak-anak kurang dari 2 tahun terinfeksi dari penderita yang berada di rumah yang sama.

Sedangkan pada anak-anak lebih dari 2 tahun, mayoritas dari mereka terinfeksi oleh masyarakat. Risiko tertinggi pada kematian akibat TB setelah infeksi primer terjadi selama masa bayi. Risiko menurun menjadi

(26)

1% antara usia 1 sampai 4 tahun, sebelum meningkat menjadi lebih dari 2% pada usia 15 hingga 25 tahun (Narasimhan et al., 2013). Orang tua juga rentan untuk terkena TB karena sistem imunnya yang semakin menurun seiring bertambahnya usia (Nurjana, M. A., 2015).

Gambar 2.5 Distribusi kasus TB berdasarkan kelompok usia produktif (15-49 tahun) di Indonesia (Nurjana, M. A., 2015).

3. Kondisi Imunosupresif

Koinfeksi HIV adalah faktor risiko akibat imunosupresif yang paling kuat untuk berkembang menjadi penyakit TB aktif. Koinfeksi HIV juga sangat berpengaruh dalam meningkatkan kemungkinan reaktivasi infeksi TB laten dan secara cepat meningkatkan perkembangan dari infeksi TB primer atau reinfeksi TB. Studi di negara-negara dengan prevalensi kasus HIV yang tinggi juga menunjukkan bahwa variasi spasial dan temporal pada kejadian TB sangat terkait dengan prevalensi infeksi HIV. Studi individu yang dilakukan di kedua negara dengan prevalensi TB yang tinggi maupun rendah juga telah menghubungkan peningkatan kejadian TB dengan infeksi HIV (Narasimhan et al., 2013).

4. Malnutrisi

Penelitian telah menunjukkan bahwa malnutrisi (defisiensi mikro dan makro) meningkatkan risiko TB karena adanya gangguan pada respon imun penderita. Penyakit TB sendiri dapat menyebabkan malnutrisi

15%

30%

31%

24%

15 - 20 tahun 21 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 - 59 tahun

(27)

karena menurunnya nafsu makan dan terdapat perubahan dalam proses metabolisme pasien dengan TB. Hubungan antara gizi buruk dan TB telah ditunjukkan dengan uji coba vaksin BCG (Bacillus Calmette- Guérin) yang dilakukan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an yang memperkirakan bahwa anak-anak yang dengan malnutrisi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk terkena penyakit TB dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki nutrisi yang baik. The First National Health and Nutrition Examination/NHANES-1 (Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional Pertama) dan The NHANES-1 Epidemiological Follow-up Study/NHEFS (Studi Tindak Lanjut Epidemiologi NHANES-1) yang dilakukan selama 1982–84 di Amerika Serikat pada orang dewasa, dilaporkan adanya peningkatan risiko TB sebanyak enam sampai sepuluh kali lipat pada individu yang kekurangan gizi (Narasimhan et al., 2013).

5. Diabetes

Diabetes telah terbukti meningkatkan risiko penyakit TB aktif.

Diperkirakan saat ini 70% penderita diabetes tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan angka ini terus meningkat di daerah endemik TB. Tinjauan sistematis yang membandingkan 13 penelitian mengenai hubungan antara diabetes dan TB menemukan bahwa pasien diabetes memiliki sekitar tiga kali lipat peningkatan risiko TB bila dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes.

Studi juga menemukan bahwa pasien diabetes menunjukkan hasil yang lebih buruk. Tinjauan lain pada hasil pengobatan antara pasien dengan DM dan TB menunjukkan bahwa risiko kematian pasien dengan diabetes 1,89 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes, dengan risiko meningkat menjadi lima kali lebih tinggi untuk mereka dengan DM (Narasimhan et al., 2013).

(28)

6. Pekerja Kesehatan

Petugas kesehatan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap paparan TB. Suatu penelitian meringkas bukti mengenai kejadian dan prevalensi infeksi TB laten dan penyakit di kalangan petugas kesehatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Dalam tinjauan mereka dari 51 studi, mereka menemukan bahwa prevalensi infeksi laten TB di antara petugas kesehatan berada pada 55%, perkiraan risiko tahunan infeksi laten TB berkisar 0,5-14,3%, dan kejadian tahunan penyakit TB berkisar antara 69 hingga 5780 per 100 000 (Narasimhan et al., 2013).

2.3.5 Patofisiologi

2.3.5.1 Infeksi Tuberkulosis Primer

Penularan TB terjadi ketika seseorang terinfeksi droplet yang mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis. Di dalam tubuh, bakteri tumbuh lambat dan bertahan dalam lingkungan intra selular dan dorman sebelum reaktivasi.

Pengertian utama dari patogenesis kuman TB adalah kemampuan kuman yang berhasil lolos dari mekanisme pertahanan tubuh host, termasuk makrofag dan sistem hipersensitivitas tipe lambat (Icksan dan Luhur, 2008). Droplet dalam aerosol berdiameter 1-5 μm, pada seseorang dengan TB paru aktif, dalam sekali batuk dapat menghasilkan 3000 droplet infektif, dengan sedikitnya 10 basil yang dibutuhkan untuk dapat menginfeksi (Herchline, 2017).

Setelah terhirup, kuman terkumpul di bronkiolus respiratorius distal atau alveolus yang letaknya sub pleural. Kemudian makrofag alveolar akan memfagosit kuman. Tetapi makrofag tidak mampu melisiskan bakteri sehingga bakteri berkembang dalam makrofag. Kemudian terjadi perpindahan makrofag yang berisi kuman Mycobacterium tuberculosis ke kelenjar getah bening regional (penyebaran limfogen) membentuk fokus primer (Icksan dan Luhur, 2008).

Fokus primer dapat mengalami komplikasi tergantung lokasi. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan bekas atau sisa berupa residual cavity, meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru, memadat dan membungkus diri

(29)

menjadi tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur/kalsifikasi, sembuh atau aktif kembali menjadi kavitas (Icksan dan Luhur, 2008).

2.3.5.2 Infeksi Tuberkulosis Post Primer

TB post primer terjadi setelah timbulnya respons imun spesifik yang bisa terjadi melalui dua cara yaitu inhalasi kuman baru atau reinfeksi TB primer.

Gambaran klasik TB paru post primer yang letaknya di apeks dan paru lobus atas disebabkan karena tekanan oksigen di apeks paru lebih tinggi sehingga kuman berkembang lebih baik. Gejala sistemik timbul akibat reaktivasi makrofag yang melepaskan sitokin sehingga menimbulkan gejala febris, anoreksia, dan penurunan berat badan (Icksan dan Luhur, 2008).

Invasi dari lesi adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodul hilus paru.

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel. Perkembangan sarang dini dipengaruhi oleh jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien. Sarang dini dapat berkembang menjadi:

a. Diabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

b. Sarang yang mula-mula meluas tetapi dapat segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras menimbulkan pengapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju.

Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas skelerotik (kronik) (Setiati et al., 2015).

2.3.5.3 Progresivitas Batuk pada TB Paru

Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar dari saluran napas bawah. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada

(30)

setelah penyakit TB berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu- minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan berubah menjadi produktif (menghasilkan dahak). Keadaan lebih lanjut dapat berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah kecil yang pecah (Setiati et al., 2015).

2.3.6 Manifestasi Klinis

2.3.6.1 Manifestasi Klinis Respiratorik 1. Batuk

Batuk lebih dari 3 minggu (Sharma dan Sakar, 2018). Gejala yang timbul paling dini adalah batuk. Batuk juga merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Gejala batuk masih dalam tahap ringan sehingga sering diasumsikan oleh karena rokok. Biasanya penderita akan mengeluhkan adanya sekret saat bangun pagi hari yang terkumpul pada waktu penderita tidur. Bila hal ini terus berlanjut, sekret yang dikeluarkan akan semakin banyak dan batuk menjadi lebih dalam sehingga menganggu aktivitas penderita. Apabila yang terserang trakea dan/atau bronkus, batuk akan terdengar sangat keras dan berulang-ulang.

Apabila yang terserang laring, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough yaitu batuk tanpa tenaga yang disertai suara serak. Biasanya batuk sudah dialami lebih dari 3 minggu (Alsagaff dan Mukty, 2010).

2. Batuk Berdahak

Dahak pada awalnya berupa mukoid dan jumlahnya sedikit, kemudian seiring berjalan waktu, dahak akan menjadi mukopurulen (kuning atau kuning kehijauan) sampai purulen. Apabila sudah terjadi proses pengejuan dan perlunakan maka dahak akan menjadi kental (Alsagaff dan Mukty, 2010).

(31)

3. Batuk Darah

Darah yang dikeluarkan oleh penderita berupa garis darah, bercak darah, gumpalan darah, atau darah segar dalam jumlah yang banyak (profus).

Batuk darah bukan merupakan initial symptom atau tanda permulaan dari penyakit TB karena batuk darah merupakan tanda dari terjadinya ekskavasi (penggaungan) dan ulserasi pada pembuluh darah yang berada di dinding kavitas yang menandakan proses tuberkulosis lanjut.

Batuk darah masif terjadi apabila terjadi aneurisma Rasmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ada ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini bersifat gawat darurat karena dapat berujung pada kematian karena terjadi obstruksi saluran napas akibat pembekuan darah (Alsagaff dan Mukty, 2010).

4. Nyeri Dada

Nyeri dada pada penyakit TB termasuk nyeri pleuritik (tajam dan seperti ditusuk) ringan timbul akibat batuk atau bernapas dalam. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas. Nyeri pleuritik dapat dirasakan di daerah aksilla, di ujung scapula, atau di tempat lainnya (Alsagaff dan Mukty, 2010).

5. Wheezing

Wheezing adalah suara pernapasan dengan frekuensi tinggi yang terdengar di akhir ekspirasi. Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh adanya penumpukkan sekret, bronkostenosis, keradangan, jaringan granulasi, ulserasi, dan lain-lain (Alsagaff dan Mukty, 2010).

6. Dispnea

Dispnea sering juga disebut sebagai sesak napas. Dispnea merupakan tanda dari proses lanjut tuberkulosis paru atau disebut sebagai late symptom. Dispnea terjadi karena adanya restriksi dan obstruksi saluran

(32)

pernapasan serta loss of vascular bed/vascular thrombosis yang dapat berakibat pada gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal (Alsagaff dan Mukty, 2010).

2.3.6.2 Manifestasi Klinis Sistemik 1. Demam

Demam merupakan gejala yang paling sering dijumpai. Biasanya suhu tubuh akan sedikit meningkat pada waktu siang ataupun sore hari. Suhu tubuh meningkat adalah tanda proses penyakit berkembang menjadi progresif (Alsagaff dan Mukty, 2010).

2. Mengigil

Hal ini dapat terjadi apabila suhu tubuh naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti dengan pengeluaran panas (kalor) dengan kecepatan yang sama (Alsagaff dan Mukty, 2010).

3. Keringat Malam

Keringat malam merupakan gejala patognomonik untuk penyakit tuberkulosis. Gejala patognomonik adalah gejala karakteristik suatu penyakit. Keringat malam umumnya timbul apabila proses tuberkulosis telah lanjut, kecuali pada penderita dengan vasomotor labil, gejala ini dapat timbul lebih dini. Keringat dingin dapat disertai nausea, takikardia, dan sakit kepala apabila timbul panas (Alsagaff dan Mukty, 2010).

4. Anoreksia

Anoreksia dan penurunan berat badan merupakan manifestasi dari toksemia pada tuberkulosis yang timbul belakangan. Gejala ini sering dikeluhkan jika prosesnya progresif (Alsagaff dan Mukty, 2010).

(33)

5. Lemah Badan

Penderita mengeluhkan lemah badan yang disebabkan oleh kerja berlebihan, kurang tidur, dan keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan. Gejala ini biasanya disertai oleh perubahan sikap dan temperamen (misalnya, penderita menjadi mudah tersinggung), fokus perhatian penderita berkurang atau menurun pada pekerjaan, anak yang menjadi tidak aktif, atau penderita yang terlihat neurotik (Alsagaff dan Mukty, 2010).

2.3.7 Pemeriksaan Bakteriologi

2.3.7.1 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pengujian 3 spesimen dianggap sebagai praktik normatif dan sangat direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention dan The National Tuberculosis Controllers Association untuk meningkatkan sensitifitas mengingat banyaknya masalah kualitas sampel yang buruk. Penyedia harus meminta volume dahak minimal 3 mL, namun volume optimalnya adalah 5-10 mL (Lewinsohn et al., 2017). Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi- Sewaktu (SPS) yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014) dengan penjelasan sebagai berikut:

 S (Sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

 P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

 S (Sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

(34)

2.3.7.2 Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi M. tuberkulosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal:

 Pasien TB ekstra paru.

 Pasien TB anak.

 Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif.

Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

2.3.8 Tata Laksana

Tata laksana yang digunakan untuk penderita TB yang telah dikonfirmasi yakni dengan kombinasi obat-obatan. Terapi ini selalu diindikasikan dan tidak diperbolehkan untuk memberikan tata laksana monoterapi (Adigun et al., 2017).

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3,

 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3H3

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

(35)

2.3.8.1 Paduan OAT KDT dan Kombipak Lini Pertama dan Peruntukannya a. Kategori-1 : 2(HRZE)/4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru, yakni: pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis, dan pasien TB ekstra paru. Adapun dosis OAT KDT maupun kombipak dijabarkan pada Tabel 2.2 dan Tabel 2.3

Tabel 2.1 Dosis paduan OAT KDT kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 2.2 Dosis paduan OAT kombipak kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Dosis per hari/kali Jumlah hari/kali menelan

obat Tablet

Isoniasid

@300mgr

Kaplet Rifampisin

@450 mgr

Tablet Pirazinamid

@500 mgr

Tablet Etambutol

@250 mgr

Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori-2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang), yaitu: pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya, dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up). Dengan dosis OAT kombipak maupun kombipak yang dijabarkan pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5

(36)

Tabel 2.3 Dosis paduan OAT KDT kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari

RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E (400) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

+ 500 mg Streptomisin inj. 2 tab 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tab Etambutol 38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

+ 750 mg Streptomisin inj. 3 tab 4KDT 3 tablet 2KDT + 3 tab Etambutol 55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj. 4 tab 4KDT 4 tablet 2KDT + 4 tab Etambutol

≥ 71 kg 5 tablet 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj.

5 tab 4KDT (> do maks)

5 tablet 2KDT + 5 tab Etambutol

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT kombipak kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 (Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).

Tahap Pengobatan

Lama Pengob atan

Tablet Isoniasid

@300mgr

Kaplet Rifampisi

n

@450 mgr

Tablet Pirazin amid

@500 mgr

Etambutol

Strepto misin Injeksi

Jumlah hari/kali menelan

obat Tablet

@250 mgr

Tablet

@400 mgr Tahap

Awal (dosis harian)

2 Bulan 1 Bulan

1 1

1 1

3 3

3 3

- -

0,75 -

56 28

Tahap Lanjutan (dosis 3x seminggu)

5 Bulan 2 1 - 1 2 60

2.4 FOTO TORAKS 2.4.1 Definisi

Foto toraks atau sering disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu proyeksi radiografi dari toraks untuk mendiagnosis kondisi-kondisi yang mempengaruhi toraks, isi dan struktur-struktur di dekatnya. Foto toraks menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray. Dosis radiasi yang digunakan pada orang dewasa untuk membentuk radiografi adalah sekitar 0.06 mSv. Foto toraks digunakan secara rutin untuk mendiagnosa banyak kondisi yang melibatkan dinding toraks,

(37)

tulang toraks, dan struktur yang berada di dalam kavitas toraks termasuk paru- paru, jantung, dan saluran-saluran yang besar (Icksan dan Luhur, 2008).

2.4.2 Teknik Pembuatan Foto Toraks

Ada 3 macam proyeksi pemotretan yang penting pada foto toraks pasien yang dicurigai TB (Icksan dan Luhur 2008) yaitu:

1. Proyeksi Postero-Anterior (PA)

Pada posisi PA, pengambilan foto dilakukan pada saat pasien dalam posisi berdiri, tahan nafas pada akhir inspirasi dalam (Gambar 2.6). Bila terlihat suatu kelainan pada proyeksi PA, perlu ditambah proyeksi lateral ( Gambar 2.7).

Gambar 2.6 Foto PA dari depan (kiri), foto PA dari samping (kanan) (Icksan dan Luhur, 2008).

Gambar 2.7 Posisi lateral kiri dari depan (kiri). Posisi lateral kiri dari samping (kanan) (Icksan dan Luhur, 2008).

(38)

Radioanatomi toraks proyeksi PA

 Trakea dan brous kanan kiri terlihat sebagai lesi lusen (hitam) yang superposisi dengan vertebra.

 Hillus terdiri dari arteri, vena, bronkus, dan limfe.

 Sudut yang dibentuk oleh diafragma dengan iga disebut dengan sinus kostofrenikus. Sinus kostofrenikus normal berbentuk lancip.

 Sudut yang dibentuk oleh diafragma dengan bayangan jantung disebut sinus kardiofrenikus.

 Diafragma terlihat sebagai kubah di bawah jantung dan paru.

Perbedaan tinggi kedua diafragma yang normal adalah 1-1,5 cm.

Tinggi kubah diafragma tidak boleh kurang dari 1,5 cm. Jika kurang dari 1,5 cm maka diafragma dikatakan mendatar.

 Batas jantung di kanan bawah dibentuk oleh atrium kanan. Atrium kanan bersambung dengan mediastinum superior yang dibentuk oleh vena cava superior.

 Batas jantung disisi kiri atas dibentuk oleh arkus aorta yang menonjol di sebelah kiri kolumna vertebralis. Di bawah arkus aorta batas jantung melengkung ke dalam (konkaf) yang disebut pinggang jantung.

 Pada pinggang jantung terdapat penonjolan dari arteri pulmonalis.

 Batas kiri bawah jantung dibentuk oleh ventrikel kiri yang merupakan lengkungan konveks ke bawah sampai ke sinus kardiofrenikus kiri. Puncak lengkungan dari ventrikel kiri disebut sebagai apeks jantung.

 Aorta desendens tampak samar-samar sebagai garis lurus yang letaknya para-vertebral kiri dari arkus sampai diafragma.

 Lapangan atas paru berada di atas iga 2 anterior, lapangan tengah berada antara iga 2-4 anterior dan lapangan bawah berada di bawah iga 4 anterior (Kementerian Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi Universitas Andalas Fakultas Kedokteran Padang, 2016).

(39)

Gambar 2.8 Radioanatomi toraks proyeksi PA (Kementerian Riset, Teknologi &

Pendidikan Tinggi Universitas Andalas Fakultas Kedokteran Padang, 2016).

2. Proyeksi Lateral

Pada proyeksi lateral, posisi berdiri dengan tangan disilangkan di belakang kepala. Pengambilan foto dilakukan saat pasien tahan napas dan akhir inspirasi dalam.

Radioanatomi toraks proyeksi lateral :

 Di belakang sternum, batas depan jantung dibentuk oleh ventrikel kanan yang merupakan lengkungan dari sudut diafragma depan ke arah kranial. Kebelakang, lengkungan ini menjadi lengkungan aorta.

 Bagian belakang batas jantung dibentuk oleh atrium kiri. Atrium kiri ini menempati sepertiga tengah dari seluruh batas jantung sisi belakang. Dibawah atrium kiri terdapat ventrikel kiri yang merupakan batas belakang bawah jantung.

 Batas belakang jantung mulai dari atrium kiri sampai ventrikel kiri berada di depan kolumna vertebralis. Ruangan di belakang ventrikel kiri disebut ruang belakang jantung (retrocardiac space) yang radiolusen karena adanya paru-paru.

 Aorta desendens letaknya berhimpit dengan kolumna vertebralis (Kementerian Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi Universitas Andalas Fakultas Kedokteran Padang, 2016).

(40)

Gambar 2.9 Radioanatomi toraks proyeksi lateral kiri (Kementerian Riset, Teknologi &

Pendidikan Tinggi Universitas Andalas Fakultas Kedokteran Padang, 2016).

3. Proyeksi Top Lordotik

Proyeksi top lordotik (Gambar 2.10) dibuat bila foto PA menunjukkan kemungkinan adanya kelainan pada daerah apeks kedua paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya dibuat setelah foto rutin diperiksa dan bila terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan suatu lesi di apeks.

Pengambilan foto dilakukan pada posisi berdiri dengan arah sinar menyudut 35-45 derajat arah caudocranial, agar gambaran apeks paru tidak berhimpitan dengan klavikula.

Gambar 2.10 Posisi top lordotik (Icksan dan Luhur, 2008).

2.4.3 Pemeriksaan Radiologi pada TB Paru

Pemeriksaan radiologi khususnya foto toraks merupakan pemeriksaan yang penting untuk menegakkan diagnosis TB. Dengan berkembangnya ilmu

(41)

pengetahuan dan peralatan radiologi mengenai teknik pemeriksaan radiologi toraks menyebabkan pemeriksaan toraks dengan sinar roentgen ini menjadi suatu keharusan rutin (Carroll et al., 2016).

Dengan penggunaan yang tepat, foto toraks dapat mendeteksi TB paru dini atau early preclinical stage untuk mencegah bentuk penyakit kronis dan pembentukan sekuel. Apabila penderita terkena infeksi kuman TB sebanyak 10 mg kuman maka pada foto toraks sudah terlihat luas lesi. Kelainan foto toraks baru akan terlihat setelah 10 minggu terinfeksi kuman TB. Foto toraks juga memiliki peran untuk menilai luas lesi serta komplikasi pada pasien dengan sputum BTA positif. Sedangkan TB paru sputum BTA negatif dapat ditegakkan diagnosis dengan gejala klinis dan temuan foto toraks yang sesuai dengan TB (Icksan dan Luhur, 2008).

Pada akhir pengobatan TB, pemeriksaan foto toraks memegang peranan sebagai penilai sekuele di paru dan pleura. Pemeriksaan foto toraks juga dapat dipakai sebagai penilaian kasus TB kambuh. Foto toraks penderita yang telah menyelesaikan pengobatan TB menunjukkan gambaran lesi-lesi paru yang menghilang atau bisa juga menunjukkan lesi-lesi yang tidak aktif seperti fibrosis, kalsifikasi, atelektasis, ataupun penebalan pleura. Komplikasi TB (misal:

bronkiektasis, jamur, dan luluh paru) dapat juga terlihat pada foto toraks (Icksan dan Luhur, 2008).

Diagnosis TB aktif berdasarkan temuan foto toraks, yaitu:

1. Foto toraks normal hanya ditemukan pada 5% penderitan TB paru post primer, sedangkan 95% penderita lainnya menunjukkan kelainan.

2. Untuk kasus TB paru, foto toraks dapat memperlihatkan minimal 1 dari 3 pola kelainan radiologi yaitu kelainan di apeks, adanya kavitas, atau adanya nodul retikuler dengan sensitivitas 86% dan spesifitas 83%.

Apabila tidak terdapat satupun gambaran dari ketiga pola itu, maka kemungkinan TB dapat disingkirkan.

3. Pada foto toraks akan menunjukkan kelainan di apeks unilateral atau bilateral.

(42)

4. Tidak semua kasus TB memiliki kavitas. Hanya 19-50% kasus yang memiliki kavitas. Kavitas TB biasanya berdinding tebal dan irregular.

Biasanya tidak dijumpai air-fluid level. Apabila terdapat air-fluid free, hal ini menunjukkan abses anaerob atau superinfeksi.

5. Penyebaran secara endobronkial dapat memberikan kelainan gambaran foto toraks berupa noduler yang berkelompok pada lokasi tertentu paru.

2.4.4 Gambaran Radiologi TB Paru Secara radiologis TB paru dibedakan atas:

1. TB Paru Primer

2. TB Paru Post Primer (TB Reaktivasi, TB Reinfeksi, TB Sekunder)

 TB Paru Fokal

 Tuberkulosis lobar peumonia dan bronkopneumonia

 TB Endobronkial

 Tuberkuloma

 TB Milier 3. Pleuritis TB

2.4.4.1 TB Paru Primer

Pasien dengan TB primer sering menunjukkan gambaran foto yang normal.

Pada 15% kasus tidak ditemukan kelainan, bila infeksi berkelanjutan barulah ditemukan kelainan pada foto toraks.

Lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, dan paru kanan lebih sering terkena. Kelainan foto toraks yang dominan adalah berupa limfadenopati hilus dan mediastinum. Limfadenopati sering terjadi pada hilus ipsilateral, dan dilaporkan terjadi pada 1/3 kasus. Pada paru bisa dijumpai infiltrat, ground glass opacity, konsolidasi segmental atau lobar, dan atelektasis. Kavitas dilaporkan pada 15%

kasus. Atelektasis segmental atau lobar paling sering disebabkan oleh endobronkial TB atau limfadenopati yang menekan bronkus. Efusi pleura bisa dijumpai pada 25% kasus dan pada umumnya unilateral dan disertai kelainan pada paru. Gambaran abnormal pada foto toraks dapat disembuhkan dengan terapi

(43)

adekuat, tetapi dapat pula meninggalkan gambaran fibrosis, kalsifikasi serta nodul residual, serta penebalan pleura (Icksan dan Luhur, 2008).

2.4.4.2 TB Paru Post Primer (TB Reaktivasi, TB Reinfeksi, TB Sekunder) TB paru post primer biasanya terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya.

Selama infeksi primer, kuman terbawa aliran darah ke daerah apeks dan segmen posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Untuk selanjutnya terjadi reaktivasi infeksi di daerah ini karena tekanan oksigen di lobus atas tinggi. Infeksi ini dapat menimbulkan suatu gejala TB bila daya tahan tubuh host menurun.

Mikroorganisme yang laten dapat berubah menjadi aktif dan menimbulkan nekrosis. TB sekunder progresif menunjukkan gambaran yang sama dengan TB primer progresif (Icksan dan Luhur, 2008).

Gambaran radiologis yang dicurigai aktif:

1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikoposterior atas dan superior lobus bawah

2. Kavitas terutama lebih dari satu dan dikelilingi konsolidasi atau nodul 3. Bercak milier

4. Efusi pleura bilateral

Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tidak aktif:

1. Fibrosis 2. Kalsifikasi 3. Penebalan pleura

Secara radiologis proses dinilai tenang bila dalam jangka waktu 3 bulan foto tetap sama. Perburukan penyakit secara radiologis bila dalam follow-up dijumpai pleuritis dan penyebaran milier secara merata dikedua paru yang menyerupai gambaran badai kabut dan penyebaran ini dapat ke ginjal, tulang, sendi, dan selaput otak (Icksan dan Luhur, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU IBU DI KOTA MEDAN MENGENAI IMUNISASI DASAR DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR ANAK SELAMA MASA PANDEMI COVID 19 SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah

Hasil penelitian pada tabel 4.2 dari 20 orang pasien kanker payudara yang telah dilakukan modified radical mastectomy dan telah menjalani radioterapi di Instalasi

Data pada tabel 2 menunjukkan bahwa secara interaksi kepadatan populasi ikan nila dan media tanam memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tinggi tanaman selada

Penilaian keterampilan adalah penilaian yang dilakukan untuk menilai kemam- puan peserta didik menerapkan pengetahuan dalam melakukan tugas tertentu di berbagai macam konteks

Berdasarkan data dan fakta diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran Tingkat Pengetahuan Mahasiswa-Mahasiswi Angkatan 2018 Mengenai

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimmana analisis model pembelajaran kooperatif terhadap

Penyebab stres (stresor) adalah segala situasi atau pemicu yang menyebabkan individu merasa tertekan atau terancam. Stresor yang sama akan dinilai berbeda oleh

Namun bila disimak dengan baik perkembangan areal yang mencapai hampir 10 kali lipat dalam waktu 20 tahun, sebetulnya juga menggambarkan lemahnya kebijakan komoditi