• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRESS REPORT PENELITIAN INTERNALISASI NILAI MODERASI BERAGAMA DI LEMBAGA PENDIDIKAN KALIMANTAN TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRESS REPORT PENELITIAN INTERNALISASI NILAI MODERASI BERAGAMA DI LEMBAGA PENDIDIKAN KALIMANTAN TIMUR"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRESS REPORT PENELITIAN

INTERNALISASI NILAI MODERASI BERAGAMA DI LEMBAGA PENDIDIKAN KALIMANTAN TIMUR

oleh:

M. Abzar, D (Ketua)

Muzayyin Ahyar (Anggota peneliti) Muhammad Idris (Anggota/supporting staff)

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (LP2M) INSTITU AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)SAMARINDA

TAHUN 2021

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia adalah bangsa yang plural dan multikultural. Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat1

Oleh karena itu, jika kekerasan yang mengatasnamakan, suku, dan ras bahkan agama tentu saja sangat sulit untuk dihindari sebabnya negara ini memiliki bermacam agama, ras, suku dan tradisi. Pergesekan dan permasalahan antar sesama di negeri ini sudah pasti terjadi yang disebabkan adanya ketersinggungan antar golongan. Dengan adanya hal tersebut tentu saja merusak tatanan masyarakat yang sudah terbangun mapan.

Saat ini dunia Islam juga dibenturkan dengan banyaknya realitas ajaran agama yang memberikan gambaran nyata kepada masyarakat bahwa banyaknya ideologi dan manhaj yang berkembang dalam beragama dan berbangsa serta cara memandang persoalan kehidupan, munculnya fenomena

1 Muh. Sainy Hanafi, Pendidikan Multikultural Dan Dinamika Ruang Kebangsaan, Pendidikan Multikultural dan Dinamika Ruang Kebangsaan Dalam Jurnal Diskursus Islam 119 Volume 3 Nomor 1, Tahun 2015

(3)

yang notabenenya cenderung menyatakan bahwa kelompoknyalah yang merepresentasikan amalan islam yang paling benar dan menganggap orang salah. Selain itu, ada juga kelompok yang memiliki sikap diidentikkan dengan pandangan ekstrimis, fundamentalis, moderat (wasathiyah), liberal hingga radikal. Kondisi seperti inilah yang mestinya menjadi perhatian masyarakat bahwa Agama datang membawa untuk mempersatukan umat manusia terlebih lagi bagi praktisi Pendidikan Islam dalam mengimplementasikan nilai-nilai agama yang moderat2. Banyak ulama tafsir (hadis, dsb.) yang membicarakan istilah tersebut. Pembahasannya terinspirasi dari kandungan surat al-Baqarah ayat 143:

ْمُكْيَلَع ُلْوُسَّرلا َنْوُكَيَو ِساَّنلا ىَلَع َءۤاَدَهُش اْوُ نْوُكَتِ ل اًطَسَّو ًةَّمُا ْمُكٰنْلَعَج َكِلٰذَكَو اًدْيِهَش

Terjemahan:

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.3

Ayat di atas menjelaskan bahwa kata wasathiyah ada pada lingkungan umat muslim, tentu harus ditempatkan ke dalam konteks hubungan manusia dengan sesama manusia. Kata lain seseorang atau kelompok tertentu baru bisa dikatakan sebagai saksi apabila ia

2 Koko Adya Winata dkk, Moderasi Beragama dalam Pelajaran Pendidikan Agama Islam Melalui Metode Pembelajaran Kontekstual, Dalam Jurnal Penelitian dan Pengembang Pendidikan Volume 3 No. 2, Juli 2020, 82-92

3 https://quran.kemenag.go.id/sura/2/143

(4)

mempunyai sebuah komitmen terhadap moderasi serta nilai-nilai toleransi kemanusiaan.4 Moderasi beragama atau dikenal dengan wasathiyyah belakangan ini kembali dipertegas melalui Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai arus paling utama dalam beragama Islam di Indonesia, selain menjadi solusi dalam menjawab segala macam problem keagamaan dan kebangsaan juga menjadi salah satu langkah konkret bagi generasi moderat untuk kemudian lantang menyuarakan tindakan perdamaian di tengah kelompok-kelompok radikal dan ekstrimis.5

Dengan adanya kelompok-kelompok tersebut menaruh beberapa insident yang mencoreng nama baik bangsa dalam persatuan dan toleransi, misalnya saja yang melatar belakangi insident Papua di Tolikara suatu saat perayaan Idul Fitri pada tahun 1436 H, adanya pembakaran Gereja di Aceh Singkil, dan bom bunuh diri di Surabaya pada tahun 2018. Hal tersebut merupakan bukti bahwa adanya ketersinggungan antar suku, budaya maupun agama. Kekerasan tersebut seakan memberikan kesan bahwa agama meninggalkan sebuah ajaran untuk saling bermusuhan, menghalalkan untuk saling membunuh manusia, membakar masjid dan gereja hingga mengganggu orang lain dalam merayakan hari raya dan lain sebagainya. Padahal Agama merupakan wahyu yang mengajarkan sebuah nilai kemanusiaan terlebih6

4 Lukman Hakim Saifuddin, Moderasi Beragama, ...24-27

5 Haidar Bagir, Islam dan Tuhan Islam Manusia: Agama serta Spiritual di Zaman Kacau, (Bandung: Mizan, 2017). Hal . 131

6 Samsul AR, Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab (STIBA) Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan, Dalam Jurnal Al-Irfan, Volume 3, Nomor 1, Maret 2020

(5)

Seiring berjalannya waktu, dinamika gerakan sikap radikal di Negara Indonesia telah mengalami perkembangan, jika dahulu mereka dapat merekrut kader baru lewat orang dewasa di masyarakat tanpa sepengetahuan keluarga yang bersangkutan. Maka, saat ini dalam beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa mereka telah mencoba melakukan rekrutmen anggota melalui lembaga pendidikan. Tidak heran jika Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pernah mengungkap bahwa sebanyak 63,6 % radikalisme atau terorisme berasal dari Sekolah Menengah (SMA)7.

Selain itu, Litbang Kota Makassar juga pernah mengungkap bahwa pada tahun 2016 lembaga Litbang Makassar melakukan penelitian secara kuantitatif terhadap 1.100 pelajar SMA/SMK. Hasilnya mengungkapkan bahwa ada potensi intolerasni terhadap sikap radikal pada kalangan pelajar SMA/SMK, menurutnya bahwa 10 % dari seluruh responden siswa SMA/SMK memiliki potensi bersikap radikal. Pada tahun 2010 Lembaga Kajian san Perdamaian atau disingkat LaKIP di Jakarta juga pernah mengungkap hasil survei kepada 48,9 % siswa di daerah Jabiodetabek memiliki kesepakatan adanya aksi kekerasan atau radikal8.

Ketua Forum Penyuluh Agama Islam tahun 2019 melalui penyebaran angket di Kabupaten Sleman mengungkapkan Radikalisme

7 Tomi Azami, Kurikulum Pendidikan Agama Islam Kontra Radikal, Dakam Tesis Magister S2 UIN Semarang 2018

8 Abu Rohmad, Radikalisme Islam denhan Upaya Deradikalisasi Paham Rdikal Dalam Jurnal Walisongo, Volume 20, Nomor 1, Mei 2012

(6)

telah memasuki jantung sekolah di Kabubaten Sleman, mendekati 60%

SMA di Daerah Slamen telah terpapar paham radikal dan dan 30 persen guru SMA di Sleman dinyatakan terpapar radikal9.

Selanjutnya pada hasil survey Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) 25 % siswa menyatakan bahwa Pancasila sudah tidak relevan llagi sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara, tercatat 84 % siswa bahkan mereka setuju dengan adanya sistem Negara Islam, 52,2 % lainnya justru sepakat dengan adanya kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan 14,2 persen siswa turut mendukung adanya pengeboman.10

Hal yang sama pernah diungkap oleh Mata Air Foundation penelitian Center telah melakukan penelitian terhadap pandanan dan sikap di kalangan pelajar SMA dan Mahasiswa. Dalam survey tersebut dilakukan dengan melakukan dialog atau wawanacara secara langsung sejak september hingga Oktober 2017 kepada 2.400 siswa SMA favorite di daerah Jawa dan beberpa kota besar lainnya telah menunjukkan bahwa terdapat 23,3 siswa telah terpapar paham radikalisme, mereka sangat setuju dengan aksi jihad demi berdirinya negara islam. Demikian juga kepada ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara, menemukan sebanyak

9 Jalis, Hasil penyebaran angket oleh di Kabupaten Sleman 2019

10 Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo-yang juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011

(7)

16, 8 % mereka lebih memilih ideologi islam sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia.11

Perkembangan zaman yang semakin modern, memudahkan pelajar khususnya anak SMA untuk mengakses pelajaran agama secara instan.

Alhasil tertanam prinsip bahwa beragama yang paling benar adalah apa yang mereka lakukan dan sikap intoleran, munculnya kelompok-kelompok agamis dengan pengajian atau halaqahnya yang notabenenya mencuri perhatian kaum pelajar maupun masyarakat setempat. Dengan memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Instagram WhatsApp, maupun melalui telepon dan melakukan pembukaan halaqah-halaqah di tengah masyarakat. Hal itu dimanfaatkan untuk melakukan perekrutan bahkan penyebaran paham ideologi keras yang mengatas namakan perintah agama.

Sejak adanya kejadian bom Bali pada tahun 2002, Kalimantan Timur menjadi salah satu tempat yang sangat strategis baru bagi kelompok-kelompok teroris sebagai tempat persembunyian yang dianggap aman dan jauh dari aparat keamanan. Sebagaimana pelaku bom Bali yang melarikan ke Balikpapan, Samarinda, Kutai Kartanegara mereka memanfaatkan jaringan pesantren yang ada di Kalimantan. Pelaku teroris Ali Imron dan Abu Zar bersembunyi di Pondok Pesantren Hidayatullah Kutai Barat dan Pesantren Al Istiqomah di Sempaja. Selain itu, Kalimantan Timur juga pernah menjadi sorotan ketika terjadinya

11 Qowaid, Moerasi Islam dan Wawasan Kebangsaan dengan Generasi Mudah Islam di Indonesia Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Jalan M.H.

Thamrin 6 Jakarta Pusat

(8)

pengeboman di Jakarta jalan Thamrin pada tahun 2016 karena salah satu jaringannya berada di Balikpapan. Kelompok-kelompok radikal memanfaatkan momentum saat adanya penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Ahok dengan melakukan aksi pelemparan bom molotov di gereja Oikumene di loa Janan Ilir Samarinda yang menyebabkan adanya korban jiwa dan beberapa masyarakat yang mengalami luka-luka. Maka kemudian dengan adanya fenomena itu dapat dikatakan bahwa Kaltim tidak lagi steril dari gerakan kelompok-kelompok radikal.12

Dalam jurnal Syamsurijal dikatakan bahwa Umat Kristen Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) melakukan persebaran hingga ke pelosok pemukiman etnis Dayak Kalimantan Timur seperti Ulu Mahakam, setelah mengalami kebangkitan tetapi kemudian GKII kesulitan pendirian Gereja di Karang Asam Kota Samarinda. Kelompok-kelompok baru dari agama mayoritas yang datang ke Samarinda menunjukkan gejala yang sebut dengan politik identitas. Kelompok ini cenderung tampil dengan simbol keagamaan yang kaku, melarang beberapa relasi dengan agama lain karena dianggap bisa mencederai akidah. Kristen (GKII) akhirnya hanya melihat kelompok Islam sebagai kelompok berbeda yang harus diterima untuk menghindari konflik, tapi tidak bermakna apa-apa. Hubungan yang terkesan damai tapi kikuk. Dalam toleransi semacam ini, berbagai kelompok yang ada hanya sekedar bertenggang rasa satu sama lain. Semua

12 Mukhamad Ilyasin dan Zamroni, Penyebaran Radikalisme dan Terorisme di Kalimantan Timur, (IAIN Samarinda Press, 2017). Hal 8

(9)

masih sama memiliki sangkaan bahwa yang dilakukan oleh kelompok lain tidak benar. Atau lebih tepat dikatakan toleransi canggung13

Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Timur juga pernah mengungkap terkait dengan persebaran paham radikalisme di Kalimantan Timur pada tahun 2020 indeks potensi radikalisme pada generasi milenial cenderung lebih tinggi dengan persentase 11,6% dari jumlah 400 responden.14

Peneliti juga pernah melakukan persebaran angket dari ketiga sekolah dengan pertanyaan apakah anda sepakat dengan adanya aksi terorisme yang mengatasnamakan jihad dan berdirinya negara Islam di Indonesia, dari 223 responden sebanyak 40 siswa memberikan jawaban bahwa mereka sepakat terjadinya terorisme yang mengatasnamakan jihad.

Lalu kemudian peneliti juga memberikan pertanyaan terkait dengan penyebaran paham radikalisme dan kelompok yang menyebarluaskan ideologi ekstrem, sebanyak 25 siswa memberikan jawaban bahwa mereka sepakat adanya penyebaran ideologi dengan ekstrim.15

Amanat Undang pada pasal 30 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai berikut“

Kemudian Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional terdapat dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang berbunyi: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

13 Syamsurijal, Toleransi yang Canggung; Menyingkap Toleransi Beragama Kelompok Kristen di Samarinda Dalam Jurnal Pusaka, Vol. 6, No. 1, 2018

14 Data Survey FKPT Provinsi Kalimantan Timur 2021

15 Hasil Angket Kuesioner 2 Maret 2021

(10)

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.16

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Tujuan Pendidikan Islam ialah berfungsi untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama17

Dengan demikian tentu saja lembaga pendidikan punya tanggung jawab yang besar khususnya Guru pendidikan Agama Islam mempunyai tantangan yang sangat nyata, selain ia harus menjalankan tugas akademik dan sosial ia juga harus menyeimbangkan terhadap perkembangan Informasi dan Teknologi, generasi yang pelajar di bangku SMA perlu dipersiapkan agar mereka tidak hanya cerdas akademiknya saja melainkan cerdas intelegensinya akan tetapi yang terpenting adalah harus cerdas dari segala aspek. Amanah seorang guru Pendidikan Agama Islam tentu saja mempunyai tanggung jawab untuk menggembeleng akhlak siswa melalui sistem pembelajaran di sekolah. Dapat menghadirkan agama di tengah

16 Pendidikan Agama Islam dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan

(11)

siswa secara komprehensif terhadap peserta didik dalam rangka melahirkan generasi yang berkarakter sholeh dengan aspek spritual dan sosialnya.18

Perkembangan zaman yang semakin modern, memudahkan pelajar khususnya anak SMA untuk mengakses pelajaran agama secara instan.

Alhasil tertanam prinsip bahwa beragama yang paling benar adalah apa yang mereka lakukan, munculnya kelompok-kelompok agamis dengan pengajian atau halaqahnya yang notabenenya mencuri perhatian kaum pelajar maupun masyarakat setempat.

Hal demikian apabila tidak dibendung sedini mungkin maka dapat berbahaya, karena era digital menjadikan segala informasi mudah didapat, langkah menanamkan paham radikal kepada anak melalui akun sosial media dengan konten-konten provokatif, hal ini dipertegas dengan munculnya degrasi moral yang semakin memprihatinkan, maraknya isu intoleransi minimnya sikap moderasi keberagamaan. Menurut beberapa hasil penelitian yang menjangkiti kaum remaja melalui komunitas atau organisasi berbasis keislaman seperti Rohaniansa Islam (Rohis) menyimpan kecurigaan sebagai tempat penyebaran paham radikal, hal ini ditunjukkan beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan tingginya angka pengurus yang terpapar radikalisme dan intoleransi. Ironisnya sikap dan perilaku tersebut dikembangkan di lembaga-lembaga pendidikan,

18 Ulfatul Husna, Dalam Tesis Moderasi Beragama, Suatu Pendekatan Pendidikan Agama Islam dalam Menghadapi Tantangan Ekstrimisme Di Sma Negeri 1 Krembung-Sidoarjo

(12)

termasuk pada lembaga pendidikan agama islam yang akhirnya lebih cenderung melahirkan manusia absolut19

Penelitian ini ingin melihat bagaimana internalisasi nilai-nilai moderasi beragama diaktualisasikan di dua Lembaga Pendidikan yang berbeda secara organisatoris: sekolah di bawah organisasi dinas Pendidikan kota/kabupaten setempat, dan sekolah di bawah organisasi Kementerian Agama. Sebagai catatan metodologis, kami memilih lembaga Pendidikan pada level Sekolah Menengah Atas karena pada level ini seseorang mulai masuk pada tingkat kedewasaan dan mulai serius mencari identitas yang nyaman untuk berkembang. Selain itu, level sekolah menengah atas juga memiliki proyeksi untuk melanjutkan Pendidikan ke level perguruan tinggi. Hal ini akan ikut berkontribusi terhadap pemikiran para sarjana Muslim terkait keberagamaan yang mereka terapkan dalam kehidupan.

19 Yunus, Arhanuddin Salim, Eksistensi Moderasi Islam Dalam Kurikulum Pembelajaran Pai Di SMA Pada Jurnal Pendidikan Islam, Volume 9, No. 2 2018

(13)

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN LITERATUR REVIEW A. KAJIAN TEORITIS

Moderasi beragama menjadi pembahasan serius dalam kajian bidang keagamaan di Indoneisa. Islam, sebagai agama yang cukup besar di negara ini, menjadi objek yang paling banyak dikaitkan dengan moderasi beragama.

Hasilnya, berbagai konsep dan istilah muncul sebagai bentuk kontekstualisasi teori-teori moderasi beragama seperti “moderasi Islam”, “Islam moderat”, dan juga “Muslim moderat”. Sejatinya, pembahasan tentang moderasi Islam telah ada sejak dulu, khususnya pasca revolusi Iran tahun 1979. Kemunculan istilah moderasi Islam disinyalir lahir dari kalangan sarjana Muslim, yang Kemudian diamplifikasi oleh berbagai media. Istilah moderasi Islam, atau apapun istilah lainnya, hadir dalam lanskap komunikasi identitas, yaitu relasi antara Muslim dengan Barat. 20 Berbagai pihak kemudian menggunakan istilah “moderat” ini sebagai lawan untuk mengidentifikasi Muslim yang adaptif dengan pembaharuan di negara-negara modern.21

Para sarjana Muslim sering mengawali pembahasan moderasi Islam dari sebuah ayat Quran pada surat al-Baqarah ayat 143. Pada ayat ini terdapat satu istilah yang tertulis “ummatan wasatan” yang secara literal berarti “community in the middle way”. Kata wasatan inilah yang kemudian berkembang menjadi

20 Tazul Islam and Amina Khatun, “‘Islamic Moderation’ in Perspectives: A Comparison Between Oriental and Occidental Scholarships,” International Journal of Nusantara Islam 3, no. 2 (June 28, 2015): 69–78,

https://doi.org/10.15575/ijni.v3i2.1414.

21 Kamali, The Middle Path of Moderation in Islam; Davids, “Islam, Moderation, Radicalism, and Justly Balanced Communities.”

(14)

wasatiyah, istilah yang dinarasikan sebagai landasan normatif dari keharusan moderasi beragama dalam Islam. Umumnya, wasatiyyah ini erat adalah sikap yang terkait dengan al-‘adl (justice and balance), al-fadhl (excellence) dan al- bainiyyah (median).22 Moderasi Islam perlu diterapkan dengan pengetahuan yang mendalam dan sikap yang murah hati dalam beragama. Karenanya, hal penting dalam moderasi Islam adalah sikap adil dan kehati-hatian dalam mengambil tindakan keagamaan seperti dalam beribadah.23

Konsep jalan tengah ini dapat berimplikasi pada berbagai dimensi keagamaan baik dalam ritual peribadatan, pemikiran hingga sikap politik. Untuk menentukan moderat atau tidaknya seseorang dari sisi ritual peribadatan adalah pekerjaan yang sulit. Hal ini karena seruan ritual ibadah yang bersifat dogmatis dan tidak dapat dinegosiasikan. Pengidentifikasian moderasi mungkin dapat dilakukan dengan melakukan klasifikasi terhadap pemikiran keagamaan.

Klasifikasi ini telah lebih dahulu dilakukan oleh para sarjana. Dalam Islam, berbagai aliran pemikiran tumbuh subuh sejak tahun-tahun awal pasca wafatnya Nabi Muhammad The Messengger of God.

Nazih Ayubi mengklasifikasikan berbagai model keislaman seseorang dilihat dari pemikirannya. Menurut Ayubi ada model Islam yang sangat simpel.

Muslim seperti ini hanya terlahir dari keluarga yang beragama Islam, memiliki nama Islam, menjalani kebiasaan Islam tanpa ada preferensi politik untuk

22 Ali Muhammad Sallabi, Al-Wasatiyya fi al-Quran al-Karim (Oman: Dar an-Nafais, 1999).

23 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, 14 vols. (Tangerang: Lentera Hati, 2000).

(15)

menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem politik. Muslim simple ini juga terkadang abai terhadap pendidikan Islam yang telah diajarkan. Kedua, ada yang dinamakan dengan kalangan Muslim reformis atau modernis. Muslim seperti ini memiliki paham bahwa pendidikan Islam perlu ditanamkan sebagai sebuah sistem kepecayaan dalam kehidupan. Meskipun kalangan modernis menganggap bahwa Islam penting untuk dijadikan sebagai landasan hidup, tetapi mereka meyakini fleksibilitas terhadap beberapa hal yang tidak diatur secara literal dalam Quran maupun hadis yang merupakan sumber normatif Muslim. Selanjutnya, terdapat kategori yang disebut oleh Ayubi sebagai kalangan Islamis. Islamisme ini adalah sekelompok Muslim yang meyakini bahwa Islam harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Islam telah mengajarkan keseluruhan konsep dunia mulai dari ritual peribadatan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Karena itulah Islam jangan hanya dijadikan sebagai sebuah sistem yang flexibel, tetapi harus menjadi sistem yang harus diperjuangkan untuk diterapkan dalam sebuah komunitas. Menurut Ayubi, “Islam jalan tengah” ada pada konsep Islam “cultural Islam” atau dalam bahasa Arabnya disebut Islam hadhari. Islam hadhari ini memiliki proyeksi untuk mengitegrasikan Islam into nativist, nationalist or culturalist world view. 24 Dari taxonomi keislaman menurut Ayubi ini, Islam moderat adalah penengah antara ideologi Islamis dan sikap acuh tak acuh terhadap Islam. Islam sejatinya harus dijadikan nilai dasar dalam kehidupan, namun seorang Muslim harus memiliki sikap fleksibilitas dalam merespon berbagai hal yang tidak ada norma detailnya

24 Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (Routledge, 2003).

(16)

pada Quran dan Hadis. Dengan demikian, sikap moderat akan selalu termanifestasikan dalam perilaku keberagamaan.

Narasi tentang moderasi Islam di pelbagai literatur tidak akan habis untuk didiskusikan. Untuk itu, paragraf ini tidak akan banyak mendiskusikan perihal terminologi Islam moderat sebagai sebuah diskursus yang general. Paragraf ini mendiskusikan sejauh mana diskursus moderasi Islam masuk ke dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya pada pendidikan Tinggi.

Islam moderat dan moderasi beragama sebagai sebuah substansi kajian ilmiah sebenarnya telah disuarakan jauh sebelum konsep moderasi beragama diinstitusionalisasikan oleh Kementerian Agama. Di era pra kemerdekaan, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama telah berdiri dengan konsep keagamaan yang moderat. Di tengah modernisasi sosial-politik-budaya yang dibawa oleh kelompok colonial dan kerasnya penentangan budaya kolonial dari beberapa elemen Muslim, beberapa kelompok Muslim mencoba berdiri di tengah dua arus tersebut. Dengan demikian, Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama adalah tonggak moderasi Islam di era modern. Di awal awal tahun pasca Reformasi di Indonesia, sekolompok sarjana Muslim telah membuat semacam narasi keislaman yang kurang popular tentang pemikiran Islam. Para sarjana tersebut berupaya menghadirkan reinterpretasi terhadap pandangan-pandangan keagamaan yang selama ini dianggap mapan dan tidak dapat diubah. Berawal dari kelompok diskusi mailing list pada suatu platform surel, wacana keislaman yang “berbeda”

ini berkembang di kalangan sarjana di Indonesia. Jejaring pertemanan dan kelompok diskusi ini dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Di kemudian

(17)

hari, wacana keislaman yang didiskusikan oleh Jaringan Islam Liberal dipublikasikan di media online melalui laman dengan nama Islamlib.com. sebagai portal kumpulan-kumpulan tulisan. Kehadiran JIL sebagai sebuah kelompok memantik kontroversi yang luas di kalangan kelompok Islam. Tetapi sebenarnya, wacana dan pemikiran yang digaungkan oleh jejeraing Muslim liberal ini adalah bentuk upaya dalam memantik masyarakat Muslim melahirkan pemikiran yang moderat dalam beragama.

Kajian-kajian teoritis tentang moderasi beragama sebenarnya sudah dilakukan oleh sarjana di Indonesia. Moderatisme di Indonesia memang merupakan sebuah istilah konseptual yang tidak mudah didefinisikan. Istilah ini juga selalu diperebutkan pemaknaannya (highly contested concept), baik di kalangan internal Muslim, maupun kalangan outsider. Di Indonesia, representasi Islam moderate disematkan pada dua organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Namun demikian, konsep Islam moderat yang dibawa oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama merujuk pada konteks klasik pada saat organisasi ini didirikan. Meskipun terdapat beberapa pembahasan kontemporer dalam berbagai masalah keagamaan melalui Majelis Tarjih di Muhammadiyah dan Bahtsul Matsāil di NU, tetap saja ruh dari Islam moderat diambil dari puluhan tahun lalu. Teologi moderat dari kedua organisasi ini tidak lagi mampu mengakomodasi perubahan dan tantangan kehidupan modern yang semakin kompleks dan menantang. Teologi moderat Muhammadiyah dan NU perlu dielaborasi secara lebih detail sehingga dengan mudah diimplementasikan di tingkat praksis. Moderatisme Islam dianggap harus berangkat dari dalam (from

(18)

within) dengan selalu membawa common denominator seperti Pancasila dan UDNRI 1945 sebagai symbol budaya (cultural emblems) yang menyampaikan pesan-pesan moderatisme. Dengan demikian, praktik moderasi Islam dapat terimplementasikan melalui Lembaga pendidikan formal yang bukan hanya terafiliasi oleh Muhammadiyah dan NU, tetapi seluruh Lembaga Pendidikan di Indonesia. 25

Namun demikian, Moderasi Islam sebagai sebuah kerangka konseptual dan gagasan praktis baru dipopulerkan, paling tidak, dalam setengah decade terakhir oleh Kementerian Agama. Ide tentang penyusunan kerangka konseptual moderasi beragama telah lama dikemukakan oleh Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI periode 2014-2019. Sejak awal-awal masa tugasnya sebagai Menteri Agama, Lukman selalu mewacanakan sikap moderat dalam beragama dalam beberapa pidato kementerian. Hal tersebut sebagai bentuk sosialisasi wacana moderasi beragama kepada semua elemen masyarakat Indonesia. Sebagai bentuk konkrit, Lukman meminta kepada seluruh jajaran di Kementerian Agama untuk menerjemahkan ruh dari wacana moderasi beragama ke dalam setiap kebijakan di unit masing-masing. Langkah tersebut kemudian disambut oleh semua direktorat untuk diteruskan kepada satuan-satuan kerja Kementerian Agama di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) termasuk dalam salah satu wilayah kerja Kementerian Agama yang menyambut wacana moderasi beragama tersebut secara akademik.

25 Masdar Hilmy, “Quo-Vdis Islam Moderat Indonesia? Menimbang Kembali Modernisme Nahdlatul Ulama Dan Muhammadiyah,” MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman 36, no. 2 (December 2, 2012),

http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/jurnalmiqot/article/view/127.

(19)

Beberapa akademisi dan pengambil kebijakan mendiskusikan konsep moderasi beragama secara intens. Sebuah tim dibentuk khusus untuk penyusunan panduan moderasi beragama yang secara praktis siap diterapkan kepada seluruh unit kerja Kementerian Agama. Pada bulan Oktober 2019, Kementerian Agama melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (litbang) dan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kementerian Agama menerbitkan sebuah naskah akademik moderasi beragama. Buku ini diharapkan sebagai acuan awal d dalam merujuk sikap moderat dalam beragama. Secara politis, wacana moderasi beragama juga telah masuk dalam program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dengan demikian konsekuensi finansial yang lahir dari penerapan moderasi beragama ini akan menjadi tanggung jawab negara.

Melalui buku Moderasi Beragama yang telah ditulis oleh tim dari Kementerian Agama, makna moderasi Islam dikonseptualisasikan secara terukur.

Prinsip dasar moderasi terdapat pada dua sikap yaitu adil dan berimbang (balance and justice). Kedua ini memiliki akan lebih mudah terbentuk jika manusia beragama memiliki tiga karakter penting: kebijaksanaan (wisdom), ketulusan (purity) dan keberanian (courage). Dengan kata lain, sikat moderat dalam berislam akan lebih mudah diwujudkan apabila seseorang memiliki pengetahuan agama yang luas sehingga dapat bersikap bijak. Kedua, tahan terhadap godaan sehingga mampu bersikap tulus tanpa beban. Ketiga, tidak egois dengan satu penafsiran, sehingga berani mengakui keberadaan penafsiran lain berdasarkan ilmu.

Dalam rumusan lain, Kementerian Agama tampaknya memberikan 3 poin penting sebagai prasyarat bagi terbentuknya moderasi beragama. Ketiga poin

(20)

penting itu adalah memiliki pengetahuan luas, mampu mengendalikan emosi untuk tidak melebihi batas, dan selalu berhati-hati dalam pandanga-pandangan atas nama agama. Ketiga syarat ini dapat disimplifikasikan menjadi tiga kata kunci: berilmu, berbudi dan berhati-hati. Kementerian Agama juga merumuskan indikator moderasi beragama agar sikap moderat menjadi lebih jelas dan dapat terukur. Melalui buku Moderasi Beragama, Kemeterian Agama mengakui bahwa indikator dari moderasi beragama dapat diberikan sebanyak-banyaknya sesuai dengan landasan teoritis dan konseptual tentang moderasi beragama. Hanya saja, Kementerian Agama mensimplifikasi indikator-indikator tersebut menjadi 4 hal yang sesuai dengan alam keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Keempat indikator tersebut adalah: komitmen kebangsaan; toleransi; anti kekerasan; dan bersikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Komitmen kebangsaan merupakan hal penting untuk melihat sejauh mana cara pandang dan sikap seseorang berdampak pada kesetiaan terhadap konsensus dasar kebangsaan.

Adapun toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan lembut dalam menerima perbedaan. Toleransi juga disertai dengan sikap hormat dan menerima perbedaan yang terjadi dengan pikiran yang baik. Toleransi menjadi fondasi penting dalam negara yang multikultur seperti Indonesia. Penerimaan seseorang atas perbedaan di luar dari dirinya menjadi kunci perdamaian bagi negara demokratis dan multikultural. Sedangkan kekerasan dalam konteks moderasi beragama ini dipahami sebagai suatu ideologi dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara- cara kekerasan atas nama agama. Kekerasan dapat berupa verbal, fisik dan

(21)

pikiran. Indikator selanjutnya adalah adaptif terhadap budaya lokal. Sikap adaptif terhadap budaya lokal ini dapat digunakan untuk melihat sejauh mana kesediaan untuk menerima praktik amaliah keagamaan yang mengakomodasi kebudayaan lokal dan tradisi. Orang-orang yang moderat memiliki kecenderungan lebih ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama.26

Dengan demikian, beberapa langkah konkrit telah dilakukan Kementerian Agama dalam mengupayakan sikap moderat dalam beragama. Pertama kementerian agama menyosialisasikan gagasan moderasi beragama. Kedua, menginstitusionalisasikan moderasi beragama ke dalam program kerja. Terakhir Langkah politis dengan memasukkan program moderasi beragama ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Melalui usaha inilah, Kementerian Agama dengan mudah mengerahkan satuan kerjanya, termasuk di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis mengenai moderasi beragama.

B. Tinjauan Pustaka

Berbagai kajian serupa telah dilakukan oleh sementara sarjana. Beberapa diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yeni Purwanto27 dengan judul“Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam Pada

26 Moderasi Beragama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, n.d.).

27 Yedi Purwanto1, Qowaid, Lisa’diyah Ma’rifataini , Ridwan Fauzi, Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 17, 2, 2019, 110-124

(22)

Perguruan Tinggi”. Adapun persamaan antara penelitian Yedi Puranto dengan penelitian saya sama-sama dalam memberikan penjelasan terkait dengan moderasi beragama pada lingkungan pelajar, selain itu sama-sama menggunakan metode pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa terdapat perilaku yang tidak toleransi dalam masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya hal seperti ini menandakan masih ada ruang-ruang intoleransi di dalam masyarakat, kerawanan terjadi pergesekan di dalam masyarakat dan elemen radikal, tentu hal seperti ini menjadi tanggung jawab kita semuanya sehingga keberagaman di dalam masyarakat terus terjaga dengan baik dan dapat diperbaiki

Letak perbedaannya adalah penelitian Yedi Puranto membahas fokus pada internalisasi nilai moderasi pada mahasiswa di perguruan tinggi sedangkan penelitian saya fokus pada penguatan moderasi beragama pada siswa sekolah memengah atas di Kalimantan Timur.

Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa terdapat perilaku yang tidak toleransi dalam masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya hal seperti ini menandakan masih ada ruang-ruang intoleransi di dalam masyarakat, kerawanan terjadi pergesekan di dalam masyarakat dan elemen radikal, tentu hal seperti ini menjadi tanggung jawab kita semuanya sehingga keberagaman di dalam masyarakat terus terjaga dengan baik dan dapat diperbaiki

Kajian lainnya berjudul “Konstruksi Moderasi Islam Di Dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam” yang ditulis oleh Sauqi Fataqi Kajian ini diarahkan

(23)

pada konteks pendidikan agama Islam di tanah air. Sauqi Futaqi lebih banyak menyinergikan 12 program Kementerian Agama dalam. Pengarusutamaan moderasi islam dalam konteks Pendidikan Agama Islam, sedangkan penelitian ini membahas bagaimana kemudian moderasi beragama hadir di tengah-tengah pendidikan untuk menciptakan moderasi beragama. 28 Hal yang senada dengan penelitian ini juga terdapat pada kajian berjudul “Aktualisasi Moderasi Beragama Di Lembaga Pendidikan”. Temuan dalam penelitian ini menegaskan bahwa aktualisasi moderasi beragama pada konteks lingkungan masyarakat multikultur yakni, menjadikan sebuah lembaga pendidikan berbasis pada laboratorium bidang moderasi beragama. sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa dan agama yang cukup banyak. 29

Kajian yang deskriptif yang lebih subyektif juga dilakukan terkait moderasi beragama. Singkatnya, hasil penelitian tersebut menemukan bahwa pembelajaran berwawasan Islam moderat diharapkan. Pertama, serta didik menjadi lebih sadar akan ajaran agama Islam sebagai agama mereka dan terlebih daripada itu sadar bahwa adanya realitas ajaran agama selain agama Islam. Kedua, diharapkan kepada seluruh siswa mampu mengembangkan wawasan variasi kepada agama orang lain. Ketiga senantiasa memberikan dorongan kepada peserta didik agar senantiasa memiliki partisipasi dalam berbagai macam kegiatan sosial di masyarakat maupun di lingkungan sekolah dan terus terlibat berbagai macam jam

28 Sauqi Futaqi, Konstruksi Moderasi Islam (Wasathiyyah) Dalam Kurikulum Pendidikan Islam, Pada penelitian 2 An Proceeding s Annual Conference Form Muslim ScholarsKoperatais Wilayan IV Surabaya , Konstruksi Moderasi Islam Sauqi Futaqi – UNISDA

29 Edy Sutrisno, Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan, Pada Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1

(24)

ke giatan keagamaan. Sedangkan pada hasil penelitian saya mengungkap prsentase dan bentuk penguatan moderasi beragama. 30

30 Kasinyo Harto dan Tastin, Pengembangan Pembelajaran Pai Berwawasan Islam Wasatiyah : Upaya Membangun Sikap Moderasi Beragama Peserta Didik, Pada Jurnal At-Ta’lim, Vol. 18, No. 1, Juni 2019. page 89-110

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan model penelitian lapangan yang bersifat kualitatif. Diketahui bahwa penelitian kualitatif merupakan suatu proses yang dilakukan oleh peneliti di lapangan secara natural tanpa adanya manipulatif data31

B. Pendekatan Penelitian

Untuk mendapatkan suatu hasil terkait dengan penelitian internalisasi nilai moderasi beragama di sekolah menengah atas di Kalimantan Timur ini diperlukan analisis yang mendalam dan dilandasi dengan latar yang natural.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan secara sosiologis yang secara substantif dipahami suatu metode yang dilakukan dengan mengaitkannya dengan sosiologi tujuannya adalah untuk menganalisis suatu objek yang dijadikan tempat penelitian yang tampak, serta adanya suatu realita di lapangan, seperti stratifikasi sosial dan sifat masyarakat maksudnya adalah masyarakat yang memiliki sifat terbuka ataupun tertutup atau berada diantara keduanya. Selanjutnya di dalam penelitian ini ini berkaitan dengan tentang pendidikan yang tentu saja akan dipahami untuk memecahkan masalah terutama yang berkaitan dengan

31 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011). Hal. 140

(26)

kebijakan sekolah dan peran-peran kegiatan sekolah yang memiliki nilai moderasi beragama untuk diinternalisasikan kepada para siswa.32

Selain pendekatan sosiologis, peneliti juga menggunakan pendekatan fenomenologi dengan kemampuan memberikan suatu gambaran dari suatu pengalaman hidup dari sejumlah orang sesuai dengan konsep fenomena yang terjadi dilapangan. Pendekatan kualitatif fenomenologi ini diharapkan memperoleh hasil penelitian dengan gambaran situasi secara mendalam. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengalaman responden di lingkungan sekolah terkait dengan alkulturasi sehingga ditemukan sebuah inti di balik pengalaman responden tersebut khususnya yang menyangkut dengan fenomena-fenomena moderasi beragama33

Fenomenologi menjelaskan fenomena dan maknanya bagi individu dengan melakukan wawancara pada sejumlah individu. Temuan ini kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip filosofis fenomenologi.

Fenomenologi menjelaskan struktur kesadaran dalam pengalaman manusia. Pendekatan fenomenologi berupaya membiarkan realitas mengungkapkan dirinya sendiri secara alami. Melalui “petanyaan pancingan”, subjek penelitian dibiarkan menceritakan segala macam dimensi pengalamannya berkaitan dengan sebuah fenomena/peristiwa. Studi fenomenologi berasumsi bahwa setiap individu mengalami suatu fenomena dengan segenap kesadarannya. Dengan kata lain, studi fenomenologi

32 Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Hal. 310

33 Ulaftul Husna, Dalam Tesisnya Moderasi Beragama,...

(27)

bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalamannya dalam suatu peristiwa.34

Oleh karena itu fenomenologi menggunakan penelitian kualitatif dengan melakukan sebuah pengamatan partisipan analisis lapangan, melakukan wawancara

C. Data dan Sumber Data

a. Data Primer, populasi dan sampel

Salah satu langkah peneliti untuk menjawab rumusan masalah yang ada pada penelitian tesis ini terkait dengan tingkat pemahaman moderasi beragama siswa SMA di Kalimantan Timur, peneliti juga menggali informasi dari sejumlah siswa yang dijadikan sebagai responden untuk memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

Sugiyono mengatakan bahwa generalisasi terdiri atas objek yang kemudian memiliki kualitas tertentu ataupun karakteristik yang telah ditetapkan oleh seorang peneliti untuk kemudian dipelajari yang nantinya dapat ditarik kesimpulan. Yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah beberapa sekolah di bawah naungan dinas Pendidikan kota/kabupaten dan sekolah menengah atas di bawah naungan Kementerian Agama RI. Untuk pemilihan sekolah, peneliti mengambil beberapa sekolah dan instansi berikut

34 O. Hasbiansyah, Pendekatan Fenomenologi:Pengantar Praktikm Penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi,. Pendekatan Fenomenologi: Dalam Jurnal Mediator, Vol. 9 No. 1 Juni 2018

(28)

1. SMA Negeri 1 Samarinda 2. MAN model Samarinda 3. SMA Negeri 1 Balikpapan 4. MAN Balikpapan

5. SMA Negeri 1 PPU 6. MAN PPU

7. SMA Negeri 1 Kabupaten Paser 8. MAN Kabupaten Paser

9. SMA Negeri 1 Bontang 10. MAN Bontang

11. Kantor Kemenag kota Sangatta

Untuk menentukan sampel disini peneliti melakukan teknik proportional random sampling. Maksudnya, peneliti menentukan sampel secara acak dan merata dari masing-masing sekolah artinya adalah setelah angket kuesioner oleh peneliti maka peneliti tidak menentukan siapa saja yang boleh memberikan jawaban melainkan kuesioner tersebut disebar secara acak di masing-masing sekolah.35

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan pengumpulan data tentu saja peneliti melakukan dengan langkah-langkah sesuai dengan prosedur dan ter sistematik sesuai dengan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Di dalam penelitian

35 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2010), h 117

(29)

penguatan moderasi beragama ini peneliti melakukan tiga langkah-langkah berikut:

a. Metode Interview

Interview ini merupakan proses yang dilakukan oleh peneliti untuk melihat sebuah masalah dan fenomena yang terjadi di lapangan atau sekolah yang dijadikan sebagai objek penelitian. Melakukan wawancara untuk mendapatkan sebuah jawaban terkait dengan penguatan moderasi beragama pada siswa SMA di Kalimantan Timur

Sebagaimana yang diketahui bahwa wawancara merupakan kan yang dilakukan secara tatap muka, atau lebih dari dua orang atau dilakukan secara online dalam rangka bertukar informasi melalui pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan informasi yang ingin didapatkan.

Wawancara atau interview ini digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi terkait dengan bentuk-bentuk penguatan moderasi beragama dan dukungan serta hambatan dalam penguatan moderasi beragama di SMA Kalimantan Timur.

Dalam proses penggalian informasi dalam penelitian ini peneliti mengajukan pertanyaan kepada kepala sekolah atau wakil kepala sekolah guru Pendidikan Agama Islam dan sejumlah siswa maupun anggota rohis di masing-masing sekolah titik di dalam proses wawancara tersebut peneliti melakukan wawancara secara tertutup ataupun terbuka, maksudnya adalah peneliti tidak hanya memberikan pertanyaan kepada responden yang menuntut jawaban sebagaimana indikator yang

(30)

disediakan akan tetapi di samping itu juga memberikan pertanyaan- pertanyaan yang sifatnya tidak terbatas jawabannya sehingga kemudian terjadilah dialog yang tidak terlepas dari substansi informasi yang diinginkan oleh peneliti.

b. Metode Observasi

Metode observasi ini juga menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi terkait dengan penguatan moderasi beragama SMA di Kalimantan Timur sehingga peneliti mampu memberikan jawaban atas rumusan masalah sesuai dengan kebutuhan rumusan masalah.

Selanjutnya peneliti juga melakukan tindak lanjut dari wawancara yaitu dengan melakukan observasi secara langsung di lapangan.

Observasi ini dilakukan secara terus-menerus selama penelitian berlangsung dengan cara terang-terangan atau pun terkadang samar- samar. Di dalam pengumpulan informasi dengan metode observasi ini peneliti secara terang-terangan menyampaikan kepada pihak yang berwenang di lapangan bahwa sedang melakukan pengumpulan data penelitian. Sehingga kemudian peneliti tidaklah menjadi orang asing bagi informan, akan tetapi peneliti juga sesekali melakukan observasi secara diam-diam untuk mengetahui keabsahan data yang diperoleh dari informan sebelumnya

c. Dokumentasi

(31)

Teknik dokumentasi tersebut merupakan langkah yang dilakukan peneliti untuk menemukan jawaban terkait dengan penguatan moderasi beragama di SMA dan di MAN melalui mata pelajaran dokumen silabus ataupun RPP pendidikan agama Islam atau dokumen-dokumen yang menunjang penelitian ini

Selain itu peneliti menggunakan metode dokumentasi ini agar peneliti mampu memperoleh data informasi yang berkaitan dengan penguatan moderasi beragama berbagai macam bentuk-bentuk kegiatan keagamaan di lingkungan sekolah masing-masing, program kerja sekolah, kegiatan ekstrakurikuler dan dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan moderasi beragama

E. Teknik Analisis Data

Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa analisis data merupakan langkah-langkah urutan data yang dilakukan untuk mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori serta satuan uraian dasar. Yang membedakan penafsiran adalah memberi arti secara signifikan terhadap analisis data yang dilakukan oleh peneliti memberikan penjelasan pola uraian dan mencari hubungan antara dimensi uraian36

Penelitian tentang penguatan moderasi beragama ini menggunakan data-data kualitatif dengan pola pendekatan induktif menarik kesimpulan melalui data yang sudah dikumpulkan oleh peneliti. Peneliti berangkat dari sebuah masalah di lapangan, informasi secara empiris untuk membangun

36 Patton Michael Quinn, Qualitative Evaluation and Reserch Methods (Newbuy Park:

Sage Publicationn,1990) Hal. 54

(32)

sebuah teori atau bahkan berangkat dari sebuah kasus di lapangan yang bersifat secara khusus berdasarkan pengalaman nyata kemudian dirumuskan menjadi model kategori atau definisi yang sifatnya umum.

Sebelum peneliti melakukan analisis data yang ada di lapangan, disini peneliti terlebih dahulu melakukan proses pengolahan data secara singkat dan jelas berdasarkan hasil observasi wawancara, hingga pengamatan secara langsung di lapangan. Semua data yang dikumpulkan oleh peneliti tersebut lalu kemudian ditafsirkan menjadi suatu analisis secara induktif agar mendapatkan data yang valid.

Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang pernah disampaikan Milles Huberman yang dikutip oleh Sugiyono bahwa analisis data akan secara terus- menerus dilakukan selama penelitian itu berlangsung.37

Dalam penelitian ini juga menggunakan pola deskriptif yang sifatnya eksploratif, artinya adalah memberikan gambaran status keadaan tentang bagaimana fenomena fenomena yang terjadi di lapangan. Di dalam penelitian ini juga dapat diketahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan di lapangan dan senantiasa berusaha memberikan solusi terhadap persoalan- persoalan yang terjadi di lapangan di mana tempat peneliti melakukan penelitian. Lebih teknisnya peneliti juga memberikan gambaran secara teknis yang terjadi di lapangan sebagai berikut:

Analisis data yang terdapat di dalam penelitian lapangan ini adalah terkait dengan penguatan moderasi beragama siswa SMA di Kalimantan

37 Sugiyono, Metode Penelitian, Kuantitatif, Kualitatif dan R&d (Bandung: Alfabeta, 2015) Hal. 233

(33)

Timur tentu saja disiapkan berbagai macam langkah-langkah untuk dilakukannya sebuah penelitian dan terjun langsung kelapangan. Pertama kali peneliti melakukan observasi pendahuluan observasi lanjutan hingga pada penelitian ini benar-benar dinyatakan rampung. Adapun data-data pokok di dalam penelitian ini tentu saja dapat diperoleh melalui pola-pola wawancara bersama dengan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, atau guru Pendidikan Agama Islam dan siswa-siswanya.

Selanjutnya data yang telah diperoleh oleh peneliti dapat dianalisis melalui beberapa langkah sesuai apa yang dikatakan milles huberman dan saldana38 yaitu menganalisis sebuah data dengan beberapa langkah sebagai berikut: Kondensasi Data (Data Condensation), Menyajikan Data (Date Display) dan melakukan Penarikan Kesimpulan atau verifikasi (Conslusion Drawing and Verification). Kondensasi ini merujuk kepada suatu proses pemilihan, penyederhanaan, ringkasan, penegrucutan dan transformasi data.

Sebagaimana dengan kriteria jenis penelitian upaya ya untuk memberikan kemudahan dalam proses pengolahan data penelitian atau mendesain kerangka penelitian disini peneliti menggunakan model-model pendekatan secara interaktif apa yang yang disampaikan Miles dan Huberman39 sebagai analisis data penelitian. Bentuk aktivitas penelitian kualitatif ini ini yakni dilakukan kan secara interaktif dilakukan secara berkelanjutan hingga benar- benar dinyatakan rampung, hasil penelitian dikatakan valid. Model interaktif

38 Miles, M.B, Huberman, A.M, dan Saldana, J. 2014 Qualitative Data Analysis, A Methods Sourcebook, Edition 3. USA: Sage Publication. Terjemah Tjetjep Rohindi Rohidi (Jakarta:UI-Pres, 2014 ). Hal. 14

39 Miles, M.B, Huberman, A.M, dan Saldana, J. 2014 Qualitative..., Hal. 14

(34)

yang dimaksudkan oleh peneliti terkait dengan pengobatan modern beragama di sekolah adalah sebagai berikut:

Gambar 3.2

Secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah benar-benar jelas. Adapun model interaktif yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1. Kondensasi Data (Data Condensation)

Pada bagian ini data yang diperoleh oleh peneliti tentu saja melalui wawancara dokumentasi ataupun observasi secara langsung di lapangan, artinya adalah segala sesuatu dapat direduksi dengan cara merangkum memilah dan fokus terhadap data yang ingin dikumpulkan hingga pada akhirnya melakukan penyajian data, mereduksi segala data yang dapat nantinya disimpulkan, selanjutnya melakukan penarikan dan memverifikasi segala data yang telah diolah sesuai dengan tujuan dari pada penelitian ini.

Pada tahap-tahap ini peneliti mereduksi data dengan cara melakukan pemilihan atau mengklasifikasikan dan membuat abstraksi

Pengumpulan Data

Kondensasi Data Kesimpulan

Penarikan atau Verfikasi Penyajian Data

(35)

catatan yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi40. Dalam

“Data condensation refers to the procecs of selecting data, focusing, simplifying, abstracting dan transforming the data that appear in written-up field notes or transcription” kondensasi data merujuk pada proses penyeleksi melakukan penyederhanaan, memfokuskan, abstraksi dan mentransformasi segala data yang terdapat pada catatan-catatan lapangan berdasarkan hasil wawancara dan dan observasi maupun melalui transkrip. Di dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Selecting.

Miles dan Huberman mengatakan bahwa pada momentum ini peneliti harus memiliki sikap yang selektif titik artinya adalah harus menentukan dimensi-dimensi mana saja yang lebih penting atau hubungan mana saja yang mungkin kan lebih bermakna, dan sebagai konsekuensinya, serta informasi yang dapat dianalisis. Segala bentuk informasi yang berkaitan dengan penguatan moderasi beragama di lingkungan sekolah SMA Kalimantan Timur pada tahap-tahap inilah peneliti memiliki kesempatan untuk mengumpulkan data secara keseluruhan demi menguatkan hasil penelitian

b. Focusing

Selanjutnya Miles dan Huberman41 juga mengatakan bahwa memfokuskan sebuah data adalah bentuk pra analisis. Oleh karena itu

40 Miles, M.B, Huberman, A.M, dan Saldana, J. 2014 Qualitative..., Hal. 10

41 Miles, M.B, Huberman, A.M, dan Saldana, J. 2014 Qualitative..., Hal. 19

(36)

pada tahap ini ini peneliti harus memfokuskan segala data yang telah diperoleh yang berhubungan dengan pernyataan pada fokus penelitian, pada tahap ini menjadi bagian dari satu kesatuan untuk memberikan penyeleksian data peneliti berdasarkan fokus penelitian

c. Abstracting

Yang dimaksudkan pada abstraksi di sini adalah bentuk usaha untuk merangkum secara inti, pada tahap ini segala sesuatu data yang telah terkumpul dapat dievaluasi khususnya yang berkaitan dengan kualitas dan kecukupan data. Apabila datang yang berkaitan dengan penguatan moderasi beragama di SMA Kalimantan Timur sudah dianggap cukup tentu saja data tersebut dapat digunakan untuk menjawab sesuai dengan masalah yang telah diteliti

d. Simplifing dan transforming

Pada tahap ini data dapat disederhanakan mungkin yang kemudian ditransformasikan ke berbagai cara melalui seleksi yang cukup ketat, melalui catatan-catatan ringkasan lalu mengklasifikasikan data dalam satu pola yang lebih luas.

2. Penyajian data (Data Display)

Penyajian data ini dapat dilakukan apabila data seleksi reduksi ataupun dirangkum. Data yang telah diperoleh dari hasil wawancara dan observasi atau dokumentasi dapat dianalisis yang selanjutnya disajikan dalam bentuk catatan-catatan wawancara atau catatan lapangan maupun catatan dokumentasi. Data yang telah disajikan menjadi catatan

(37)

wawancara di lapangan dan catatan dokumentasi dapat diberikan kode untuk mengorganisasi data sehingga nantinya peneliti mampu memberikan analisis dengan cepat dan mudah. Selanjutnya peneliti dapat membuat sebuah daftar disertai dengan kode awal sesuai dengan pedoman pedoman wawancara dokumentasi maupun observasi

3. Kesimpulan, penarikan atau verifikasi (Consulsion Drawing/

Verification)

Langkah terakhir yang dalam analisis kualitatif dengan model interaktif adalah memberikan penarikan kesimpulan dan verifikasi berdasarkan data yang telah direduksi dan sajikan sebelumnya, peneliti dapat membuat kesimpulan harus disertai dengan bukti-bukti di lapangan yang kuat pada saat proses pengumpulan data. Sebab kesimpulan yang diberikan peneliti adalah merupakan jawaban atas dasar masalah yang diangkat sebelum melakukan penelitian

F. Keabsahan Data

Di dalam melakukan keabsahan data tentu saja diperlukan teknik pemeriksaan, pelaksanaan teknik pemeriksaan tentu harus berdasarkan pada kriteria tertentu. Oleh karena itu, terdapat empat kriteria yang umumnya digunakan dalam melakukan keabsahan data yaitu, derajat kepercayaan (Credibility), keteralihan (Transferradibility), kebergantungan (dependability), dan kepastian (Confirmability)42

42 J. Lexy, Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), Hal. 175

Referensi

Dokumen terkait

Masalah penelitian di batasi pada hal-hal yang terkait dengan tujuan pendidikan moderasi beragama, materi atau program pendidikan, proses pendidikan moderasi beragama yang

Akan tetapi, lektur keagamaan dalam orasi ini dibatasi pada lek- tur keagamaan Islam yang dihasilkan oleh ulama dalam bentuk manuskrip, kitab kuning yang diajarkan di lingkungan

Saran pada penelitian ini adalah perlu ditingkatkan penguatan moderasi beragama di lingkungan masyarakat agar memiliki nilai-nilai moderat dalam beragama, sehingga

Manusia tidak dapat dipungkiri pergaulannya dalam kehidupan sosial keagamaan, baik dengan kelompoknya sendiri maupun dengan orang lain yang terkadang berbeda

06 Persentase siswa beragama Katolik di sekolah umum yang memperoleh pendidikan agama Katolik bermuatan moderasi beragama 23.. Kegiatan 4435 Peningkatan Mutu dan Relevansi

Persentase siswa muslim di sekolah yang memperoleh pendidikan agama islam bermuatan moderasi beragama.. 20

Tujuan penulisan ini adalah membahas, fundamental pendidikan Kristen dalam moderasi beragama di Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup yang benar bagi Tuhan

Dalam membangun dan menguatkan moderasi beragama di Indonesia terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan seperti memasukkan muatan moderasi beragama dalam kurikulum