• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi syaratsyarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum NIA ANASTI DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi syaratsyarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum NIA ANASTI DEPARTEMEN HUKUM PIDANA"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGOPERASIAN KAPAL PENANGKAP IKAN BERBENDERA INDONESIA DI WILAYAH TERITORIAL INDONESIA YANG TIDAK MEMILIKI SURAT IZIN PENANGKAP IKAN (SIPI) SESUAI UNDANG-

UNDANG NO. 45 TAHUN 2009 (Studi Kasus No. 06/Pid.Sus- Prk/2017/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi syarat- syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

NIA ANASTI 140200121

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : NIA ANASTI

NIM : 140200121

DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA

JUDUL SKRIPSI : PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGOPERASIAN KAPAL PENANGKAP IKAN

BERBENDERA INDONESIA DI WILAYAH

TERITORIAL INDONESIA YANG TIDAK MEMILIKI SURAT IZIN PENANGKAP IKAN (SIPI) SESUAI UNDANG-UNDANG NO. 45 TAHUN 2009 (Studi Kasus No. 06/Pid.Sus-Prk/2017/PN.Mdn)

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa skripsi ini yang saya tulis adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, 18 Juli 2018

NIA ANASTI 140200121

(4)

mencurahkan hikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin.

Shalawat beriring salam kita panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa manusia dari alam kegelapan sampai kealam terang benderang, dan juga salam kepada keluarga, sahabat serta pengikut- pengikutnya yang seiman dan seaqidah.

Skripsi ini disusun dalam rangka memenugi tugas-tugas dan melengkapi syarat-syarat untuk mencapai Program S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul yang penulis bahas adalah:

“PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGEPORASIAN KAPAL PENANGKAP IKAN BERBENDERA INDONESIA DI WILAYAH TERITORIAL INDONESIA YANG TIDAK MEMILIKI SURAT IZIN PENANGKAP IKAN (SIPI) SESUAI UNDANG- UNDANG N0. 45 TAHUN 2009 (Studi Kasus No: 06/Pid.Sus- Prk/2017/PN.MDN)”

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Untuk itu segala kerendahan hati, penulis mengaharap kritik dan saran yang kontruktif agar lebih terciptanya suasana untuk mendekati kesempurnaan di dalam skripsi ini.

(5)

besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Prof. Dr. Ok. Saidin, S.H., MH sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., MH sebagai Ketua Dapartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

6. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., MS sebagai Dosen Pembimbing I yang dalam penulisan skripsi ini penuh dengan kesabaran dan telah bersedia meluangkan banyak waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam studi maupun dalam penulisan skripsi;

7. Bapak Syafruddin Hsb, SH. MH.DFM sebagai Dosen Pembimbing II yang dalam penulisan skripsi ini penuh kesabaran dan telah bersedia meluangkan banyak waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam studi maupun dalam penulisan skripsi;

(6)

ini;

9. Ibu Maria Kaban, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing Klinik Hukum Perdata yang telah memberikan semangat dan motivasi pada penulis;

10. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih juga penulis haturkan kepada seluruh pihak yang turut mendukung proses penyelesaian skripsi ini:

1. Kepada kedua orang tua penulis yang tercinta Ayahanda Nasrul SE dan Ibunda Rosti Simbolon yang telah mencurahkan Kasih Sayang, Do‟a, dukungan serta pengorbanan yang tak terhingga baik di masa perkuliahan sampai terselesainya Skripsi ini;

2. Kepada Abangda Faisal Reza S.Agr yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan skripsi dan tak lupa selalu memberikan semangat, motivasi, dan dukungan tak terhingga untuk penulis baik dimasa perkuliahan sampai sekarang.

3. Kepada Keluarga Besar penulis yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang sudah memberikan segala dukungan dan semangat untuk penulis selama ini.

(7)

sudah memberikan penulis semangat dalam menyelesaikan Skripsi.

semoga kalian terus semangat dalam belajar;

5. Kepada sahabat-sahabat seperjuangan penulis mulai dari memasuki bangku perkuliahan yang selalu saling menyemangati, memberikan saran, semangat dan bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi: Putri Nurmala Sari Siahaan, Ninir Siagian, Annisa Wahyuni Purba, Sahriyani Br. Sir dan Ririn Chintia Br. Damanik;

6. Untuk Adik-adikku yang sudah bersama-sama dalam suka maupun duka:

Rizky Ayu Sundari, Retno Fauziah, Hermawanti Syahfitri, Indah Sari Hasibuan, dan Alm. Putri Wulandari;

7. Teruntuk Adik yang spesial, Putu Risma Oktaviandari. di pertemukan lewat KPOP dan belum pernah bertatap muka secara langsung karena jarak Medan-Bali yang jauh dan sudah menjalin Silahturahmi kepada Penulis saat masih SMP sampai selesainya menyelesaikan Skripsi.

Semoga Tuhan bisa mempertemukan kita dalam keadaan Sehat, Amin.

Penulis juga Doakan semoga beliau selalu Semangat dalam Perkuliahan dan Menjadi Dokter Hewan yang Terbaik dan Handal.

8. Untuk teman-teman penulis Ester Sitorus, Maulida Riani, Anis Putri Miranda Daulay, Shakilla Sitompul, Wahyu Agustina, Yana Amaretha Pinayungan, Hilda Sihotang, dan Ingrid Siahaan.

9. Kepada teman-teman Klinis Hukum yang bersama-sama saling menyemangati khususnya untuk lelaki-lelaki berwajah sangar tapi berhati

(8)

2014 Fakultas Hukum Universitas Utara Medan, karena telah memberi semangat baik dalam perkuliahan maupun pengerjaan skripsi ini;

12. Kepada teman-teman Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, terima kasih karena telah memberi semangat baik dalam perkuliahan maupun pengerjaan skripsi ini;

13. Kepada teman-teman Klinik Hukum Perdata 2017, terima kasih sudah saling menyemangati dalam menyelesaikan Skripsi;

14. Kepada seluruh Anggota PRSM.

Terima kasih juga untuk seluruh pihak terkait yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada skripsi ini. Oleh karena itu, penulis dengan berlapang dada menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, Penulis

NIA ANASTI

(9)

Nia Anasti*

Alvi Syahrin**

Syafruddin Sulung**

Tindak pidana perikanan merupakan jenis kejahatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Penyalahgunaan kegiatan perikanan menjadi suatu keuntungan bagi pelaku tindak pidana perikanan tanpa memikirkan ekosistem laut. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan, yang telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan, ada 2 kategori tindak pidana perikanan yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan. Terhadap skripsi ini maka SIPI (Surat Izin Penangkap Ikan) merupakan kategori Pelanggaran, dan akan dijelaskan lebih lanjut didalam pembahasan.

Dalam penelitian skripsi ini, maka rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana peraturan tindak pidana perikanan sesuai undang-undang yang berlaku, bagaimana tinjauan tindak pidana perikanan terkait dengan surat izin penangkap ikan terhadap pelaku kapal penangkap, dan bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pengoperasian kapal ikan yang tidak memiliki surat izin penangkap ikan (studi kasus nomor : 06/Pid.Sus-Prk/2017/PN.Mdn). untuk menjawab permasalahan diatas maka di gunakan metode penelitian hukum normatif dengan mengkaji norma hukum dan peraturan perundang-undangan.

Adapun hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa pengaturan tindak pidana perikanan telah diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan, bagian yang menjadi syarat-syarat untuk dapat membuat surat izin penangkap ikan serta keterkaitan tindak pidana perikanan dengan surat izin tersebut,selanjutnya penerapan seperti apa yang akan diputuskan dalam mengadili kasus tersebut dengan mempelajari lebih lanjut undang-undang dan norma hukum yang ada. Setelah menelaah permasalahan yang menjerat pelaku selaku nahkoda kapal karena dengan sengaja berlayar dengan tujuan mengambil ikan-ikan di wilayah teritorial Indonesia dan tanpa dilengkapi dengan dokumen perijinan yang sudah diatur di Undang-Undang Perikanan maka pelaku dinyatakan bersalah dan melanggar ketentuan dari undang-undang perikanan. Adapun bentuk sanksi pidana terhadap pelaku pengoperasian kapal yang tidak memiliki surat izin penangkap ikan sesuai dengan pasal 93 ayat (1) undang-undang no. 45 tahun 2009 tentang perikanan adalah pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan, denda sejumlah Rp. 100.000.000,- (Seratus juta Rupiah) dikarenakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagai pelaku pengoperasian kapal tanpa surat izin penangkap ikan.

Kata Kunci : Sanksi Pidana, Perikanan, Tindak Pidana Perikanan _______________________________

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum USU

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum USU

(10)

ABSTRAKSI ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

1. Pengertian Sanksi Pidana ... 11

2. Pengertian Tindak Pidana Perikanan ... 12

3. Pengertian surat izin penangkap ikan ... 14

F. Metode Penelitian... 15

G. Sistematika Penulisan... 17

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN 19 A. Pengertian hukum Perikanan ... 19

1. Asas-asas hukum perikanan ... 21

2. Ruang lingkup perikanan ... 26

B. Jenis Penggolongan Tindak Pidana Perikanan ... 27

1. Delik Kejahatan(Rechtdelicten) ... 28

(11)

C. Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Tindak Pidana Perikanan . 54

BAB III TINJAUAN TINDAK PIDANA PERIKANAN TERKAIT

DENGAN SURAT IZIN PENANGKAP IKAN ... 58

A. keterkaitan Surat Izin Penangkap Ikan dengan Tindak Pidana Perikanan yang diatur oleh Undang-Undang Perikanan ... 58

1. Syarat-syarat membuat surat izin penangkap ikan ... 58

2. Ketentuan Sanksi Perikanan ... 61

B. Upaya Pemerintah dalam menanggulangi Pelaku Tindak Pidana Perikanan yang tidak memiliki Surat Izin Penangkap Ikan ... 64

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGOPERASIAN KAPAL PENANGKAP IKAN YANG TIDAK MEMILIKI SURAT IZIN PENANGKAP IKAN (SIPI) SESUAI UNDANG-UNDANG N0. 45 TAHUN 2009 BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 06/Pid.Sus- Prk/2017/PN.Mdn... 68

1. Posisi Kasus a) Kronologis ... 68

b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 69

c) Tuntutan Pidana ... 72

d) Fakta-Fakta Hukum ... 73

(12)

BAB V PENUTUP ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(13)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan satu-satunya yang dua pertiga atau 63% wilayah teritorialnya berupa perairan. Indonesia juga memiliki pantai yang terpanjang di dunia, yaitu 81.000 Km. sebagai bangsa kepulauan terbesar, Indonesia membutuhkan sector maritime yang luas dan dikembangkan dengan baik sehingga dapat membantu negara dan untuk mencapai tujuan ekonomi, social dan politik.1 Negeri ini memiliki hasil bumi, hasil laut, dan hasil tambang yang sangat Potensial. Kekayaan daratan dan perairan yang dapat digali atau dihasilkan dikirim ke daerah lain atau diekspor sehingga memberikan hasil terbaik untuk menunjukkan bahwa kekayaan daratan dan perairan Indonesia yang terbaik di mata dunia.

Sejak diratifikasinya United Nation Conventio On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 merupakan milenestoperjuangan Negara RI dalam memiliki hak untuk memanfaatkan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau stadar Internasional yang berlaku. Konvensi tersebut menjadi sebagian dari

„dialektika‟ sejarah untuk memikirkan ulang. Bagi Negara Indonesia melakukan

1 Ricard Blankfled dan Don Fritz, Tinjauan Kebijaksanaan Sektor Pelayaran dan Pelabuhan, (USAID/ECG: Jakarta, Indonesia, 2002), hlm. 5.

(14)

pengetatan konservasi sumber daya laut melalui pembentukan berbagai lintas sektoral undang-undang dalam bidang hukum perikanan.2

Perikanan Indonesia pada awal kemerdekaan mengalami pergolakan politik.

Diantara wacana politik ekonomi dan kelautan adalah:3

1) Perjuangan konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957;

2) Undang-undang pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960;

3) Perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup penting bagi pembangunan nasioanl. Karena perikanan mempunyai peranan yang penting dan stategis dalam pembangunan perekonomian nasional maka diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pembangunan dan perkembangan zaman harus bersamaan dengan perkembangan bidang hukum untuk menjaga serta menciptakan stabilitas nasional dan memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi setiap warga negara.4

Setiap tindakan yang melanggar ketentuan pidana, baik yang dilakukan oleh pemegang izin, masyarakat, maupun aparatur pemerintah, apabila memenuhi klasifikasi ketentuan pidana, tentu harus ditindak. Pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan di bidang perizinan kiranya tetap dilakukan secara

2 Damang, Sejarah Hukum Perikanan, http://www.negarahukum.com/hukum/sejarah- hukum-perikanan.html , di akses tanggal 25 Februari 2018, pukul 17.00 WIB.

3 Porbenson Naibaho, Ekonomi Sumber Daya Perikanan (Sejarah Perikanan Indonesia), https://duniakumu.com/sejarah-perikanan-indonesia-undang-undang-perikanan-tahun- pertumbuhan-ekspor-ikan-industri-ekonomi/ , di akses pada tanggal 27 februari 2018, pukul 14.45 WIB.

4 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), hlm. 4.

(15)

sistematis dan terpadu dengan harapan sistem tersebut dibuat untuk menghindarkan terjadinya kejahatan atau pelanggaran.

Pada tahap inilah peran hukum, khususnya hukum pidana sangat dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat mengganggu stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu.

Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektifitas hukum tersebut akan sangat tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran sanksi yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia (selanjutnya disingkat UU RI) Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan UU RI Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

(16)

Laut sebagai wilayah teritorial, merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya negara yang bersangkutan dengan penerapan hukum yang berlaku di wilayahnya yaitu hukum nasional negara yang bersangkutan. Lautan yang membentang luas dengan posisi untuk menghubungkan wilayah daratan satu dengan yang lain memungkinkan berlakunya hukum yang berbeda, disadari atau tidak pada dasarnya setiap insan manusia mempunyai hak untuk menikamati kekayaan yang terkandung didalamnya, namun masalahnya sekarang ialah bagaimana ketentuan yang mengatur masalah prosedur pemanfaatan kekayaan tersebut.

Penegakan hukum, keamanan dan ketertiban, tidak mungkin tercapai tanpa kemampuan menegakkan kedaulatan di darat, laut dan udara. Dengan tercapainya kedaulatan didarat dan dilaut maka sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan bangsa di segala bidang.

Penegakan kedaulatan di laut, tidak dapat dilaksanakan tanpa memahami batas wilayah/wilayah teritorial serta peraturan-peraturan perundangan yang mendasari penegakan kedaulatan tersebut, yang secara keseluruhan pada hakikatnya bersifat dan bertujuan untuk ketertiban/keamanan (security), untuk kesejahteraan (prosperity) dengan memperhatikan hubungan-hubungan internasional.5

Indonesia memiliki 3 (tiga) jenis laut yang penting berkaitan dengan pengelolaan potensi laut, yaitu:

5 Leden Marpaung, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika:Jakarta ,1993, Hlm. 1-2.

(17)

a. Laut yang merupakan wilayah Indonesia, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan Indoensia;6

b. Laut yang merupakan kewenangan Indonesia, yaitu suatu wilayah laut dimana Indonesia hanya mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan alamnya dan kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu;7

c. Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, artinya Indonesia mempunyai ketertarikan dengan wilayah laut tersebut meskipun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan atau hak-hak berdaulat atas wilayah laut tersebut.8

Pengelolaan sumber daya hayati Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (selanjutnya disingkat ZEEI) tidak hanya terbatas dikelola oleh nelayan Indonesia, tetapi nelayan asing pun dapat ikut memanfaatkannya sesuai peraturan Internasional. Kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEEI wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah anak buah kapal.

Dan untuk kapal berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nahkoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.

6 Yang termasuk wilayah laut jenis ini adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial/laut wilayah yang lebarnya 12 mil dari garis pangkal.

7 Yang termasuk jenis laut ini adalah Zona Tambahan (Contiguous Zone), yaitu wilayah laut yang terletak 12 mil di luar laut wilayah atau 24 mil dari garis pangkal di sekililing negara Indonesia, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang luasnya adalah 200 mil laut dari garis pangkal.

8 Wilayah laut termasuk dalam kategori ini adalah laut bebas yang berdekatan dengan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, contohnya adalah Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Di dua Samudera ini Indonesia mempunyai kepentingan di dalamnya yang berkaitan dengan kelestariannya.

(18)

Pelabuhan perikanan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan dalam kegiatan industrialisasi perikanan tangkap, salah satu fungsi pelabuhan perikanan yang kini terus di dorong dan ditingkatkan peranannya dalam mendukung kegiatan perikanan tangkap adalah pelaksanaan kesyahbandaraan. Keberadaan syahbandar pelabuhan perikanan sangat penting.

Mereka yang bertanggung jawab terhadap kapal-kapal perikanan. Kalau ada pelabuhan perikanan yang belum memiliki syahbandar, maka syahbandar yang ada di pelabuhan umum yang akanmenjadi supervisinya.9

Saat ini kawasan laut Indonesia merupakan surga perikanan dunia. Sekitar 37 spesies ikan di seluruh dunia hidup diperairan Indonesia. Besarnya jumlah tersebut berdampak pada potensi sumber daya perikanan tangkap hingga 6,5 juta ton per tahun.10

Selanjutnya satu materi penting yang dibahas adalah norma-norma hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 45 tahun 2009 jo undang-undang no. 31 tahun 2004 tentang Perikanan adalah salah satunya membahas mengenai Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI). Sumber daya perikanan tangkap diatur sedemikian rupa untuk para pelayan / Nahkoda agar mentaati setiap peraturan yang telah di atur pada Undang-Undang Perikanan. Upaya menangkap ikan untuk kepentingan sendiri diatur dengan keras karena harus memiliki surat izin terlebih dahulu.

9 Leden Marpaung, Op.Cit.,hlm. 51.

10 Agregasi Antara, laut Indonesia surge perikanan dunia,

https://news.okezone.com/read/2017/11/15/337/1814762/laut-indonesia-surga-perikanan- dunia , di akses pada tanggal 27 Februari 2018, pukul 16.00 WIB.

(19)

Sebuah perusahaan yang usahanya di bidang perikanan untuk dapat melakukan penangkapan ikan juga diwajibkan memiliki Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI). Jika perusahaan tersebut lalai atau tidak memiliki Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI) maka mengakibatkan perusahaan ikan tidak dapat menangkap ikan di wilayah pengolaan perikanan. Surat Izin Penangkap Ikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).11.

Maka dari itu pemerintah perlu membuat tindakan tegas dengan menegakkan hukum yang sudah di atur pada Undang-Undang No. 45 tahun 2009 Jo Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan, sebab pemerintah perlu peran nyata dalam memaksimalkan kinerja agar menciptakan ketertiban di laut dan menindak tegas Nelayan / Nahkoda yang sedang melakukan pengelolaan tangkap ikan di wilayah perikanan Indonesia, khususnya untuk Warga negara asing (WNA) yang tidak memiliki Surat Izin Penangkap Ikan.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki wewenang untuk melakukan pengelolaan perikanan di wilayah perikanan Indonesia, dengan menetapkan antara lain rencana pengelolaan perikanan, menetapkan jumlah tangkapan, jenis alat penangkap ikan, daerah penangkapan dan lain-lain. Terkait dengan hal ini, maka pemberian akses kepada pihak asing untuk memanfaatkan sumber daya hayati diwilayah perikanan Indonesia selain harus berdasarkan izin sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perikanan, juga Menteri Kelautan dan

11 Gatot Supromo,Op.Cit., hlm. 168.

(20)

Perikanan harus dapat mengarahkan pemanfaatan tersebut untuk mengembangkan industri perikanan Indonesia dan ekonomi indonesia secara umum.12

Uraian inilah yang menjadi latar belakang penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul:

“PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENGOPERASIAN KAPAL PENANGKAP IKAN BERBENDERA INDONESIA DI WILAYAH TERITORIAL INDONESIA YANG TIDAK MEMILIKI SURAT IZIN PENANGKAP IKAN (SIPI) SESUAI UNDANG- UNDANG NO. 45 TAHUN 2009 (Studi Kasus No: 06/Pid.Sus- Prk/2017/PN.Mdn)”

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penulis skripsi ini, maka ada beberapa permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peraturan tindak pidana perikanan sesuai Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan?

2. Bagaimana tinjauan Tindak Pidana Perikanan terkait dengan Surat Izin Penangkap Ikan terhadap Pelaku kapal penangkap Ikan?

12 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan pasal 7 Angka 1

(21)

3. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pengoperasian kapal ikan yang tidak memiliki surat izin penangkap ikan (SIPI) (Studi Kasus No.06/Pid.sus-Prk/2017/PN.Mdn)?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui perbuatan-perbuatan apa saja yang termasuk tindak pidana perikanan menurut Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang NO. 31 Tahun 2004.

b. Untuk mengetahui Keterkaiatan Pelaku Kapal Penangkap Ikan yang tidak memiliki Surat Izin Penangkap Ikan dengan Tindak Pidana Perikanan sesuai dengan Undang-Undang Perikanan

c. Untuk mengetahui sanksi yang seharusnya diterapkan terhadap pelaku tindak pidana perikanan

d. Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam menanggulangi Pelaku Tindak Pidana Perikanan khususnya adalah terhadap pelaku yang tidak memiliki Surat izin penangkap ikan.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat terhadap Teoritis

Secara teoritis, penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis pada khususnya masyarakat pada umumnya untuk memberikan pengetahuan bagi mereka mengenai Tindak Pidana Perikanan, mengetahui apa itu

(22)

perikanan, jenis penggolongan tindak pidana perikanan, keterkaitan surat izin penangkap ikan dengan surat izin penangkap ikan, serta penerapan sanksi seperti apa yang ditujukan untuk pelaku tindak pidana perikanan yang tidak memiliki surat izin penangkap ikan di wilayah teritorial Indonesia. Dan diharapkan skripsi ini nantinya akan menambah kepastian hukum dan dapat menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum khususnya di bidang perikanan.

b. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat di bidang perikanan, bagi aparat penegak hukum nantinya diharapkan dapat menjalankan peran dan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

D. KEASLIAN PENULISAN

Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pengoperasian Kapal Penangkap Ikan Berbendera Indonesia di Wilayah Teritorial Indonesia yang tidak memiliki Surat Izin Penangkap Kapal (SIPI) sesuai Undang-Undang Nomor 45. Tahun 2009 (Studi Kasus No: 06/Pid.Sus- Prk/2017/PN.Mdn)”, belum pernah dibahas oleh Mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dan proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga

(23)

penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Sanksi Pidana dan Tujuan Pemidanaan

Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancam atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat mengganggu atau membahayakan kepentingan hokum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.

Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu13, sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.14

13 Tri Andrisman, Asas-asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung, Unila, 2009, hlm 8.

14 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011, Hlm 81.

(24)

Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan dating, tujuan diadakan pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sift dasar hukum dari pidana. Bahwa dalam konteks dikatakan Hugo De Groot

“malim pasisionis propter malum actionis” yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh perbuatan jahat. Berdasarkan pendapat tersebut, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan bahwa pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolute dan mereka yang menyatakan bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut.

2. Tindak Pidana Perikanan

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.15 Perikanan adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.16 Banyak masyarakat menyalahgunakan kegiatan perikanan untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri tanpa memikirkan ekosistem laut, misalnya dengan menggunakan alat penangkap ikan yang dilarang yang

15 Tri Adrisman, Op.Cit., Hlm. 80.

16 Djoko Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 22

(25)

mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi sorotan masyarakat akibat maraknya tindak pidana mengenai perikanan. Contoh tindak pidana perikanan adalah penangkapan ikan dengan alat yang dilarang, pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal serta masih banyak lagi kasus yang lainnya.

Tindak pidana perikanan mengacu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah dicantumkan beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana (delik) di bidang perikanan. Ada 2 (dua) kategori mengenai tindak pidana perikanan yaitu kategori pelanggaran dan kategori kejahatan. Hakim yang akan mengadili pelanggaran dibidang perikanan juga khusus, yaitu hakim ad hoc yang terdiri atas dua hakim ad hoc dan satu hakim karier. Pemeriksaan pengadilan dapat dilakukan secara in absentia. Begitu pula penahanan diatur secara khusus. Ada 17 buah pasal yang mengatur rumusan delik perikanan dari Pasal 84 sampai dengan Pasal 100. Pasal 84 Ayat (1) mengenai penangkapan dan budi daya ikan tanpa izin dengan ancaman pidana penjara maksimum 6 tahun dan denda maksimum 1,2 miliar rupiah. Ayat (2) pasal itu menentukan subjek nakhoda atau pemimpin perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, dengan ancaman pidana yang lebih berat, yaitu maksimum 10 tahun penjara dan denda 1,2 miliar rupiah.

(26)

3. Pengertian Surat Izin Penangkap Ikan

Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) adalah surat izin yang harus dimiliki setiap kapal perikanan perikanan berbendera Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan diperairan Indonesia dan atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP yang selanjutnya disebut SPI. Disamping memiliki SIUP, sebuah perusahaan yang usahanya di bidang perikanan untuk dapat melakukan penangkapan ikan diwajibkan memiliki SIPI. Memiliki SIUP tapi tidak memiliki SIPI mengakibatkan perusahaan perikanan tidak dapat menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan.SIPI merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SIUP.

Sejalan dengan hal tersebut maka telah diatur tentang kewajiban untuk memiliki SIPI untuk menangkap ikan di tempat-tempat yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 UU RI tentang Perikanan. Pada dasarnya semua perusahaan apapun bentuknya (perorangan, firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, maupun persero) wajib memiliki izin usaha sesuai bidang usahanya. Untuk usaha perikanan maka perusahaan yang bersangkutan wajib memiliki Izin Usaha Perikanan.

Izin yang digunakan untuk bidang perikanan tersebut wajib mengikuti prosedur dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, sehingga untuk mengurus izin-izin tersebut seorang pengusaha selain membutuhkan waktu yang relative lama, juga mengeluarkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit.17 SIPI pada prinsipnya dapat dimiliki oleh WNI atau WNA, dan SIPI diberikan kepada orang,

17 Gatot Supromo, Op.Cit., hlm. 170.

(27)

bukan kepada kapalnya. Jika WNI yang memiliki SIPI maka operasi penangkap ikannya di dalam negeri maupun di laut lepas, sedangkan untuk WNA wilayah operasinya di ZEEI. Pelanggaran terhadap ketentuan SIPI tersebut merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 93 UU RI tentang Perikanan. Tindak pidana ini tergolong ke dalam delik dolus karena dilakukan secara sengaja, walaupun hal itu tidak dicantumkan dengan tegas dalam rumusan deliknya.

F. METODE PENELITIAN 1. Spesifikasi Penelitian

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode normative adalah penulisan yang menggunakan bahan atau data sekunder. Dalam penelitian hokum normative, bahan pustaka yang berupa data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder biasa mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hokum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat mencakup, norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan bahan yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi, traktat, bahan hukum peninggalan dari masa Belanda.18

2. Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

18Soerjono Soekanto. Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 2001), hlm. 24.

(28)

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.19 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-Undang No.31 tahun 2004, Undang-Undang No.45 tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan danperaturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

19Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta:

Liberty,1988), hal. 19.

(29)

4. Analisis Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisa secara kualitatif. Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Sedangkan yang dimaksud dengan analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apayang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang teratur dan sistematis, maka penulisan skripsi ini disusun dala suatu kerangka yang terdiri dari 5 Bab dengan masing-masing Bab memiliki Sub Bab, sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan Bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan hukum pidana perikanan, yang mengulas jenis dan sifat pidana perikanan, penggolongan tindak pidana sesuai dengan Undang-Undang

(30)

Perikanan, dan membahas Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Perikanan.

BAB III : Dalam bab ini akan dibahas secara singkat mengenai tinjauan tindak pidana perikanan terhadap syarat-syarat meembuat Surat Izin Penangkap Ikan, Revelansi antara Surat Izin Penangkap Ikan dengan Tindak Pidana yang sudah diatur oleh Undang-Undang Perikanan, serta penulis juga membahas bagaimana Upaya Pemerintah dalam menanggulangi Pelaku Tindak Pidana Perikanan yang tidak memiliki Surat Izin Penangkap Ikan.

BAB IV : Di bab ini akan dibahas tentang penerapan hukum pidana terhadap pelaku pengoperasian penangkap ikan yang tidak memiliki surat izin penangkap ikan, dimana penulis akan deskripsikan kasus yang menyangkut tentang tindak pidana dan perikanan dan penulis akan memberikan analisa terhadap kasus tersebut.

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

(31)

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN

A. Pengertian Hukum Perikanan

Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI), Perikanan artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan penangkapan, pemiaraan, dan pembudidayaan ikan. Perikanan dengan kata dasar “Ikan” yang artinya binatang bertulang belakang yang hidup dalam air, berdarah dingin, umumnya bernapas dengan insang, biasanya tubuhnya bersisik, bergerak dan menjaga keseimbangan badannya dengan menggunakan sirip; dan lauk. Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 1 Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu system bisnis perikanan.

Dalam Hukum acara pidana juga diatur sedemikian rupa landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi, Pada hakikatnya hukum acara dalam Undang-Undang Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh Undang-Undang Perikanan.

Berikut ini beberapa pengertian dari Perikanan, menurut para ahli sebagai berikut:20

20 Ustman Ali, http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-perikanan-menurut- pakar.html , diakses tanggal 28 Maret 2018, Pukul 09.30 WIB.

(32)

1. Hempel dan Pauly, Perikanan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya hayati dari laut. Pengertian perikanan yang diungkapkan oleh Hempel dan Pauly ini membatasi pada perikanan laut, karena perikanan memang semua berasal dari kegiatan hunting (berburu) yang harus dibedakan dari kegiatan farming seperti budi daya.

2. Lackey, Perikanan adalah suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen, yaitu biota perairan, habitat biota dan manusia sebagai pengguna sumber daya tersebut. Dari komponen-komponen tersebut akan mempengaruhi performa perikanan.

3. Merriam-Webster Dictionary, Perikanan (secara umum) ialah kegiatan, industri atau musim pemanenan ikan atau hewan laut lainnya. Pengertian perikanan yang hampir sama juga ditemukan di Encyclopedia Brittanica, Perikanan adalah pemanenan ikan, kerang-kerangan (shellfish) dan mamalia laut.

4. UU Nomor 45 Tahun 2009, Perikanan adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan proses pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Menurut Lacket, perikanan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat antara lain :

1) Perikanan berdasarkan jenis lingkungan. Contohnya : perikanan air tawar, laut, danau, sungai dan bendungan.

(33)

2) Perikanan berdasarkan metode pemanenan. Contohnya : perikanan trawl, dipnet, purse seine dan lain sebagainya.

3) Perikanan berdasarkan jenis akses yang diizinkan. Contohnya : perikanan akses terbuka, perikanan akses terbuka dengan regulasi dan perikanan dengan akses terbatas.

4) Perikanan berdasarkan concern organisme. Cotohnya : perikanan salmon, udang, kepiting, tuna.

5) Perikanan berdasarkan tujuan penangkapan. Contohnya : perikanan komersial, subsisten, perikanan rekreasi.

6) Perikanan berdasarkan derajat kealaman dari hewan target : total dari alam, semi budi daya atau total budi daya.

1. Asas-Asas Hukum Perikanan

Asas merupakan prinsip, dasar, atau landasan yang bersifat umum. Asas menjadi pokok utama terjalinnya fundamen hukum yang terdiri dari pengertian- pengertian serta nilai yang menjadi titik tolak tentang hukum. Asas hukum yang digambarkan dengan isi yang perundangkan harus di wujudkan. Begitu pula dengan asas hukum perikanan yang telah diatur, untuk dapat mengelola perikanan telah diatur asas-asas dalam Undang-undang Perikanan.

Dalam Penjelasan Pasal 2 huruf (a) hingga (k) diterangkan sebagai berikut:21 a. Asas Manfaat

Asas manfaat adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-

21 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan Pasal 2 huruf a sampai huruf k .

(34)

besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.

Berbagai upaya yang merupakan bagian dari kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat selayaknya menjadi bagian dari komitmen pemerintah.

Komitmen tersebut tetap dipertahankan walau dalam hal-hal tertentu dimungkinkan terjadi konflik antara pembangunan ekonomi dan sosial.22

Asas manfaat yang dianut dalam tata hukum Indonesia adalah suatu konsekuensi logis diterimanya Pancasila sebagai pandangan hidup khususnya sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.23

b. Asas keadilan

Asas Keadilan Mengenai asas keadilan diberi pengertian bahwa, pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluan dan kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga tanpa kecuali. Masalah keadilan merupakan persoalan sentral dalam kehidupan hukum. Hukum yang berfungsi melindungi masyarakat harus dibentuk agar hukum dapat ditegakkan di tengah masyarakat secara merata.

c. Asas kebersamaan

Asas kebersamaan merupakan asas yang khusus digunakan untuk kepentingan masyarakat perikanan agar dapat meningkatkan kesejahteraannya.

Pengelolaan perikanan mampu melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar tercapai kesejahteraan masyarakat. Titik berat dari asas ini terletak pada

22 Soetomo, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006., hal 328

23 Marlina dan Riza Faisal, Aspek Hukum Peran Masyarakat dalam mencegah tindak pidana perikanan (Medan, PT Sofmedia, 2013), Hal 8.

(35)

kebersamaan pengelolaan perikanan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan yaitu pihak pemerintah dan swasta.24

d. Asas kemitraan

Asas kemitraan adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan pendekatan kekuatan jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek kesetaraan dalam berusaha secara proporsional.

Pendekatan jejaring pelaku jejaring pelaku usaha kiranya dapat diberi pengertian, yaitu suatu perbuatan dalam rangka untuk menjalin kerja sama dengan pelaku usaha di bidang perikanan. Ruang lingkup pendekatannya cukup luas dengan melalui aspek, sehingga sasaran yang dituju dapat tercapai.25

e. Asas kemandirian

Asas kemandirian adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengoptimalkan potensi perikanan yang ada. Pengelolaan yang mandiri kegiatannya lebih cenderung dilakukan sendiri tanpa ada yang memperngaruhi atau yang mendukung dari pihak lain yang dominan. Sedangka pengelolaan yang optimal sesuai dengan arti optimal adalah sesuai dengan kekuatan yang ada pada pihak pengelolanya.26

f. Asas pemerataan

Asas pemerataan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudidaya ikan-ikan kecil. Pengelolaan perikanan tidak cukup hanya dilakukan dengan merata tetapi harus ada keseimbangan diantara para pengelolanya, tujuannya agar dapat

24 Gatot Supramo, Op. Cit., hal 18.

25Ibid., hal 18

26Ibid., hal 18 – 19.

(36)

dihindari “hukum rimba”, yaitu siapa yang kuat maka dialah yang menguasai.

Oleh karena itu dalam asas ini ditekankan perhatian terhadap nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil agar meningkat kemakmurannya.27

g. Asas keterpaduan

Asas keterpaduan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu sampai hilir dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas.

Keterpaduan pengelolaan perikanan dalam asas ini adalah segi struktur pengelolaannya agar tetap saling berkaitan satu dengan lainnya karena merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga menghemat waktu, tenaga dan pikiran yang dapat berpengaruh terhadap hasil secara kuantitatif dan kualitatif.28

h. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat.

Masyarakat dapat melihat dan mengontrol jalannya pengelolaan perikanan.

Untuk melaksanakan asas keterbukaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi yang semakin canggih sehingga dapat terjalin komunikasi secara timbal-balik dengan masyarakat secara cepat sehingga jika ada permasalahan yang dihadapi akan segera ketahuan dan dapat ditanggulangi secepatnya.29

i. Asas efiensi

Asas efisiensi adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat, dan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal. Mengenai

27Ibid.,hal 19.

28Ibid.,hal 19.

29Ibid.,hal 19.

(37)

efiensi dalam pengelolaan perikanan sebenarnya sudah tercakup di dalam asas keterpaduan diatas, karena keterpaduan tidak dapat dilepaskan dari efiensi. Hanya bedanya pada asas keterpaduan, efisiensi merupakan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan pada asas efiensi membicarakan tentang masalah teknis efiensinya.30

j. Asas kelestarian

Asas kelestarian adalah pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan tetap dan memperhatikan aspek kelestarian sumber daya ikan.

Tugas utama dari pengelolaan perikanan adalah menjamin penangkapan tidak melampui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang sedang dikelola.31

k. Asas pembanguan yang berkelanjutan

Asas pembangunan yang berkelanjutan adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Tujuan pengelolaan perikanan adalah pemanfaatan sumber daya perikanan dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan pendekatan proaktif dan berusaha secara aktif menemukan cara untuk mengoptimalkan keuntungan ekonomi dan sosial dari sumber daya yang tersedia.32

30 Ibid., hal 20

31 Supriadi dan Alimuddin, Op. Cit., hal 274.

32 Ibid., hal 273.

(38)

2. Ruang Lingkup perikanan

Dalam ruang lingkup perikanan ada beberapa yang sudah diatur didalam Undang-undang yang berlaku, dijelaskan pada pada pasal 4 tahun 2004 tentang perikanan merupakan penjelasan Ruang lingkup perikanan yang harus dipatuhi yang berisi sebagai berikut:

Pasal 4

a) setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

b) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;

c) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dan

d) setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam bentuk kerja sama dengan pihak asing. 33

Ruang lingkup memberikan penjelasan dan gambaran bahwa yang harus diperbaiki pemerintah terhadap sistem pengelolaan perikanan adalah bagaimana agar pengelolaan perikanan dapat meningkatkan pendapatan nelayan dengan melakukan kegiatan yang seoptimal mungkin dalam rangka menjaga keberlangsungan ikan dan sumber perikanan.

Menjaga kestabilitasan Laut agar perkembangan ikan dapat bagus, dan semakin memperketat penjagaan dan pengawasan terhadap pelaku tindak pidana perikanan dan kapal asing yang mencuri ikan-ikan di laut Indonesia agar ditindak lanjuti lebih lanjut dan menegakkan hukum khususnya Hukum perikanan yang telah di Perundangkan kedalam Undang-Undang khusus mengatur tentang Perikanan.

33 Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, pasal 4

(39)

B. Jenis Penggolongan Tindak Pidana Perikanan

Dalam pasal 10 KUHP dikenal ada dua jenis hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok merupakan hukuman yang wajib dijatuhkan hakim yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan sifatnya tidak wajib dijatuhkan hakim, yaitu berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal pidana pokok, sedangkan pidana tambahan tidak diatur di dalam Undang-Undang Perikanan. Mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim dalam perkara perikanan berupa pidana penjara dan pidana denda. Meskipun Undang-Undang Perikanan tidak mengatur secara khusus pidana tambahan, namun hakim perikanan tetap dapat menjatuhkan pidana tambahan berdasarkan Pasal 10 KUHP tersebut.34

Jenis hukuman Pidana Perikanan ini bertujuan untuk memberikan Efek Menjerakan, dengan menjatuhkan Hukuman diharapkan pelaku atau terpidana tidak mengulangi lagi perbuatannya (spesiale preventive)serta memberitahukan masyarakat umum bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh pelaku ataupun terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa (generale preventive). Memperbaiki pribadi terpidana, berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa

34 Gatot Supromo, Op.Cit. hlm. 153.

(40)

menyesal sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang baik dan berguna.

Hukuman pidana di bidang perikanan bersifat kumulatif. Dalam hukuman kumulatif pidana badan (penjara) dengan pidana denda diterapkan sekaligus.

Tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan kedua pidana tersebut, juga hakim tidak dapat memilih salah satu hukuman untuk dijatuhkan, melainkan wajib menjatuhkan pidana pokok kedua-duanya.35

Bersifat Kumulatif baik juga ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Karena di dalam Tindak Pidana Perikanan yang diatur di dalam Undang-undang No.31 Tahun 2004 jo Undang-undang No. 45 Tahun 2009 hanya ada 2 (dua) macam delik, yaitu delik Kejahatan (misdrijven), dan Delik Pelanggaran (overtredingen). Disebut delik kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan delik pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak menaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara.

1. Delik Kejahatan (Misdrijven)

KUHP menempatkan Kejahatan di dalam Buku Kedua, tetapi tidak dijelaskan lebih jelas dan spesifik tentang Kejahatan. Semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan karena masing-masing para ahli memberikan pengertian dan arti yang berbeda.

35Ibid. hlm 154

(41)

Jonkers menyebutkan bahwa tindak pidana atas kejahatan didasarkan kepada kejahatan itu adalah rechtsdelicten, yang penjelasannya sebagai berikut:36

Rechtsdelicten (delik hukum) merupakan perbuatan yang tidak adil menurut filsafat, yaitu perbuatan yang tidak tergantung kepada suatu ketentuan pidana, tetapi merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurut keinsyafan (kesadaran) batin manusia dan juga merupakan perbuatan yang dirasakan tidak adil menurut undang-undang (yaitu perbuatan yang tidak sah yang ditentukan oleh undang-undang). menurut pandangan ini makapembunuhan, pencurian, penganiayaan, dan perbuatan- perbuatan semacam itu merupakan rechtsdelicten, perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana, dengan kata lain kejahatan menurut penilaian masyarakat yang oleh pembuat undang-undang ditetapkan sebagai kejahatan.37 Jadi, andaikata suatu perbuatan belum dilarang oleh undang- undang, namun perbuatan itu dirasakan sebagai perbuatan yang tidak adil maka perbuatan ini merupakan rechtdelicten.38

Hazewinkel Suringa dalam E.Y Kanter dan S.R. Sianturi mengatakan, bahwa tidak ada perbedaan kualitatif antara kejahatan dan pelanggaran,

36 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta; Bina Aksara, 1987, hal 26-27.

37 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta; Sinar Grafika, 2007, hal 352.

38 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, Edisi 2, Medan; USU Press, 2015, hal 97.

(42)

tetapi yang ada adalah pembedaan kuantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan pidana lebih berat daripada pelanggaran.39

Barda Nawawi Arief mengemukakan, bahwa walaupun konsep tidak mengenal pembagian kejahatan dan pelanggaran sebagai suatu “kualifikasi delik”, namun di dalam pola-kerja konsep masih diadakan pengklasifikasian bobot delik sebagai berikut:40

1. Delik yang dipandang “sangat ringan”, yaitu delik yang hanya diancam dengan pidana denda ringan (kategori I dan II) secara tunggal. Delik- delik yang dikelomokkan disini ialah delik-delik yang dahulunya diancam dengan pidana penjara/kurungan di bawah 1 (satu) tahun atau denda ringan atau delik-delik baru yang menururt penilaian, bobotnya di bawah 1 (satu) tahun penjara;

2. Delik yang dipandang “berat”, yaitu delik yang dasarnya patut diancam pidana penjara di atas 1 (satu) tahun s/d 7 (tujuh) tahun. Delik yang dikelompokkan di sini kanan selalu di alternatifkan dengan pidana denda lebih berat dari kelompok pertama, yaitu denda kategori III atau IV. Delik dalam keompok ini ada juga yang diberi ancaman minimal khusus.

3. Delik yang dipandang “sangat berat / sangat serius”, yaitu delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun atau diancam dengan pidana lebih berat (yaitu, pidana mati atau penjara seumur

39 E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta; Erlangga, 2009 hal 234.

40 Barda nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru), Jakarta; Kencana, 2008, Hal 82-83.

(43)

hidup). Untuk menunjukkan sifat berat, pidana penjara untuk delik dalam kelompok ini hanya diancamkan secara tunggal atau untuk delik- delik tertentu dapat dikumukasikan dengan pidana denda kategori V atau diberi ancaman minimal khusus.

Kejahatan pada bidang Perikanan tidak terbatas hanya di administrasi saja, melainkan sudah menyentuh pada pelaksanaan teknis di lautan langsung. Fakta tersebut, menegaskan bahwa kejahatan perikanan tidak lagi terbatas pada pemalsuan laporan atau perizinan, namun juga mencakup kejahatan penangkapan berlebih (overfishing) dan lainnya.

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Maritim mengatakan untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai masalah kejahatan perikanan, para ahli mempresentasikan praktik PerikananIllegal, unreported, unregulated (IUU) Fishing menjadi ancaman signifikan bagi sumber daya dan ekosistem laut. untuk bisa menyamakan persepsi di kalangan masyarakat secara umum, diperlukan kerja sama antar negara untuk menyusun instrumen kerja sama regional yang bisa menjadi acuan penanganan kejahatan perikanan.

Pada saat ini, penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur telah terbukti menjadi pintu masuk kejahatan perikanan dan kejahatan terkait perikanan, misalnya tindak pidana perdagangan orang, penyelundupan dan perdagangan obat-obatan terlarang, flora dan fauna yang dilindungi dan terancam punah, serta barang-barang impor ilegal, tindak pidana pencucian uang, pemalsuan dokumen dan tindak pidana korupsi. Maka, pemerintah terus mendorong negara-negara di dunia untuk melakukan langkah konkret dalam

(44)

memberantas kejahatan perikanan dan kejahatan terkait perikanan secara efektif, yakni dengan meningkatkan kerja sama internasional melalui peningkatan kapasitas secara nasional, regional dan internasional.

Penyusunan instrumen regional untuk menangani kejahatan perikanan yang akan dipimpin Indonesia. Kelompok kerja ini mengikutsertakan pejabat dari otoritas perikanan serta pejabat dari otoritas hukum negara-negara peserta konferensi, Adapun negara-negara yang dimaksud, adalah : Australia, Indonesia, Myanmar, Filipina, Papua Nugini, Tiongkok, Singapura, Thailand, Amerika Serikat, dan Vietnam. Selain itu, ada juga tiga delegasi mewakili organisasi internasional yakni Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC), International Criminal Police Organization(Interpol) dan Lembaga Pangan Dunia PBB (FAO).

Perlunya negara-negara tersebut dilibatkan, karena dalam pengambilan keputusan mengenai kejahatan perikanan selama ini hanya mengikutsertakan pejabat dari kementerian teknis, sehingga tidak memiliki otoritas penegakan hukum.

Dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 Jo Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan sudah dijelaskan secara lengkap pasal-pasal yang menyebutkan Kejahatan-Kejahatan dalam Perikanan, serta Sanksi dan Hukuman yang akan diterima oleh seseorang yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan di undang-undang tersebut. Maka penggolongan jenis Kejahatan dalam perikanan akan dijelaskan sebagai berikut:

(45)

1) Tindak pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat membahayakan kelestarian sumber daya ikan/lingkungannya.

Tindak Pidana ini diatur dalam pasal 84 UU perikanan yang mengatur agar orang atau perusahaan melakukan penangkapan ikan secara wajar sehingga sumber daya ikan dan lingkungannya tetap sehat dan terjaga kelestariannya. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: 41

(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana maksud dalam pasal 8 Ayat (1), di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (Satu miliar dua ratus juta rupiah).

(2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkap ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 Ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudisayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan bologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau

41 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Pasal 84.

Referensi

Dokumen terkait

Sumber data dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Tarkalil sebagai Kepala Bagian Humas yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2019 dan data

Kelemahan dalam pasal ini adalah, tidak disebutkannya bentuk perjudian apa yang diperbolehkan tersebut, ataukah sama bentuk perjudian sebagaimana yang

Estimasi ini dilakukan pada saat proyek telah berjalan yang diakibatkan oleh perubahan pekerjaan yang diminta oleh Owner pada proyek. Grafik 2.1 Akurasi Estimasi Biaya versus

Dalam hal ini peneliti menggunakan penelitian kualitatif karena ingin menjelaskan atau menggambarkan tentang manajemen hubungan baik yang diadakan oleh

Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh mahasiswa (pembelajar) dalam pembelajaran bahasa Perancis. Dengan bekal materi yang

4) Apakah perceived of organizational supportfor creativity memiliki pengaruh terhadap kreativitas dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening pada karyawan

Untuk menghidupkan kegiatan penelitian di kalangan siswa Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah dilakukan lomba penelitian ilmiah dalam berbagai bidang ilmu yang

Guru juga telah memaksimalkan metode dan model yang digunakan dalam penelitian sehingga materi dapat diterima siswa dengan baik yang mengakibatkan hasil belajar