iii
RINGKASAN
Penelitian ini membahas persoalan hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.
2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?
3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah melakukan studi tekstual terhadap peraturan perundang-undangan, yang didukung studi empirik untuk mendapatkan pemahaman bekerjanya Perda tentang SOTK Pemdes, melakukan analisis terhadap data yang terkumpul, dan penarikan kesimpulan.
Kesimpulan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah: Pertama, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 yakni:
1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat atribusian, yakni memuat pokok-pokok yang baru.
2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat diskresioner, dalam hal ini memuat norma diskresi, yakni memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menentukan jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tanpa memuat pokok-pokok yang baru.
4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa.
5.Praktiknya, Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa tidak dibentuk.
Kedua, faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda
berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:
1. Terdapat Perda yang memuat faktor yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan terdapat Perda yang memuat faktor filosofis. sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda.
iv
3. Secara normatif pembentukan Perda dalam kerangka UU 6/20014 dan PP 43/2014 adalah filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Ketiga, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:
1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat atribusian, yakni memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah.
2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam pengertian memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang urusan sebagai unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi sebagai pelaksana teknis yang merupakan unsur pembantu kepala desa.
3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.
Saran yang diajukan berdasakan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah:
1. Perda Pedoman SOTK Pemerintah Desa agar memuat norma mengenai strategi implementasi, yang memastikan Pemerintahan Desa menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.
2. Perda SOTK Pemerintah Desa adalah bersifat atribusian, oleh karena itu Pemerintahan Kabupaten/Kota dapat segera menetapkan Perda SOTK Pemerintah Desa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum dalam penetapan SOTK Pemerintah Desa.
v
PRAKATA
Atas berkat rahkmat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa,
dan kerja sama yang dari Tim Peneliti, penelitian bertajuk Karakter Bentuk dan Isi
Pengaturan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dapat
diselesaikan.
Terimakasih disampaikan kepada Bapak Rektor, Ketua Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitasi untuk mengadakan
penelitian.
Terimakasih juga disampaikan kepada banyak pihak, yang tidak dapat
disebutkan namanya satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan.
Denpasar, 13 Oktober 2015
vi DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ...ii
RINGKASAN...iii
PRAKATA ...v
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR TABEL ...viii
DAFTAR LAMPIRAN ...ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 5
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT ... 6
2.1.Tujuan ... 6
2.2. Manfaat ... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 8
3.1. Studi Terdahulu ... 8
3.2. Studi Pendahuluan ... 10
3.3. Kerangka Teoritik ... 18
3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan ... 24
BAB IV METODE PENELITIAN ... 25
4.1. Pendekatan Penelitian ... 25
4.2. Pengumpulan Data ... 26
4.3. Analisis Data ... 26
vii
5.1. Hasil Penelitian perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ...30
5.2. Pembahasan perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ...59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 1077
6.1. Kesimpulan ... 107
6.2. Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA ... 1133
LAMPIRAN ... 116
• Pedoman wawancara.
viii
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Bagan 3.1. Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan ... 20
Tabel 3.1. Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa ... 10
Tabel 3.2. Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa ... 17
Tabel 3.3. Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan ... 19
Tabel 5.1. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 ... 31
Tabel 5.2. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 ... 37
Tabel 5.3. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam UU 6/2014 ... 55
Tabel 5.4. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten/KotaKabupaten/Kota dalam PP 43/2014 ... 57
Tabel 5.5. Kategori Bentuk dan Isi Perda Badung 3/2007 ... 60
Tabel 5.6. Kategori Bentuk dan Isi Perda Denpasar 5/2007 ... 63
Tabel 5.7. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia ... 68
Tabel 5.8. Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan ... 70
Tabel 5.9. Pertimbangan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan Menurut UU 12/2011 ... 71
Tabel 5.10. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011 ... 72
Tabel 5.11. Konsiderans Peraturan Daerah ... 74
Tabel 5.12. Praktik Penyelenggaraan Perda Badung 3/2007 ... 78
Tabel 5.13. Sinkronisasi Perda Badung 3/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014 ... 83
Tabel 5.14. Sinkronisasi Perda Denpasar 5/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014 ... 92
Tabel 5.15. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Ranperda tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa... 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 32/2004), mengatur tentang Desa
di dalam Bab XI, mulai dari Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Pasa1 216 ayat
(1) menentukan, “Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan da1am Perda
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”
Berdasarkan ketentuan tersebut ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang Desa (selanjutnya disingkat PP 72/2005). Berkenaan dengan
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, di dalam PP 72/2005 disebut
susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa. Pasal 12 ayat (5) PP 72/2005
menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan
dengan peraturan desa.” Pemerintahan desa dalam menetapkan Peraturan Desa
(Perdes) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa mengacu
pada pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota
(Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005).
Uraian tersebut menunjukkan di masa berlakunya UU 32/2004, PP 72/2005
menentukan adanya 2 (dua) jenis peraturan perundang-undangan mengenai
1. Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa,
yang menjadi dasar menetapkan susunan organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa.
2. Perda Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam penetapan Perdes
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.
Telah dilakukan penelitian pendahuluan dan ditemukan, pemerintahan
daerah kabupaten/kota di Bali telah menetapkan Perda yang mengatur pemberian
pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, antara lain
adalah:
1. Perda Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya
disingkat Perda Badung 3/2007); dan
2. Perda Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat
Perda Denpasar 5/2007).
Reformasi kebijakan tentang desa tahun 2014 mengubah ketentuan tersebut
di dalam PP 72/2005. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(selanjutnya disingkat UU 6/2014) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya
disingkat PP 43/2014) tidak mengatur keharusan membuat Perda dan Perdes
Desa. Berkenaan dengan tema penelitian ini, Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014
menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan
struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Adanya reformasi kebijakan tentang desa yang dituangkan dalam UU
6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014, menempatkan
Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007 pada posisi ketiadaan dasar
hukum dan arah kebijakan (politik hukum) tentang desa.
Di sisi lain, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 yang
menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan
struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, menimbulan persoalan
mengenai:
1. Kepada siapa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan tata
kerja Pemerintah Desa? Asumsinya kepada Badan Permusyawaratan
Desa (BPD), karena BPD adalah lembaga yang melakukan fungsi
pemerintahan di desa, selain Pemerintah Desa, yakni Kepala Desa yang
dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
desa.
2. Dalam bentuk apa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa? Asumsinya dalam bentuk Rancangan
Perdes, karena kebijakan yang dihasilkan oleh Kepala Desa dan BPD
adalah Perdes.
3. Apa saja isi usulan Kepala Desa tersebut? Asumsinya bagian-bagian
hubungan tata kerja dari bagian-bagian struktur organisasi pemerintah
desa (bukan pemerintahan desa).
Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 khususnya, dan UU 6/2014 dan PP
43/2014 tidak lengkap mengatur perihal struktur organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa.
Berdasarkan atas persoalan-persoalan tersebut, perlu dilakukan penelitian
hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan berkenaan dengan susunan
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa
berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.
2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja
Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?
3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan
dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan
kebijakan tentang Desa tahun 2014?.
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Perda tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa
berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004, yang dimaksud dalam penelitian
pertimbangan, Perda Kabupaten Badung mewakili Perda Kabupaten yang ada di
Bali, sedangkan Perda Kota Denpasar mewakili susunan pemerintahan daerah
kota di Bali, yang merupakan satu-satunya Kota di Bali.
Perda Kabupaten Badung yang dimaksud adalah Perda Kabupaten Badung
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa (Perda Badung 3/2007) dan Perda Kota Denpasar yang
dimaksud adalah Perda Kota Dnpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (Perda Denpasar 5/2007).
Perdes tentang tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa,
sepanjang penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya
Perdes dimaksud. Seperti di Kabupaten Badung, pemerintahan desa langsung
menetapkan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa dengan
mendasarkan pada Perda Badung 3/2007.1
1
BAB II
TUJUAN DAN MANFAAT
2.1. Tujuan
Tujuan penelitian karakter pengaturan stuktur oraganisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa adalah:
1. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan
Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja
Pemerintahan Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa
tahun 2004.
2. Memahami dan menginterpretasi faktor yang menjadi pertimbangan
perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur
organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan
tentang Desa tahun 2014.
3. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan
Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.
2.2. Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai
karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi
dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa
tahun 2004. Informasi ini akan menjadi konteks praktik-pengalaman dalam
Selain itu, urgensi penelitian ini, khususnya mengenai pertimbangan
perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan
tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014,
berikut karakter bentuk dan isi dari Perda dan Perdes bersangkutan, adalah dalam
rangka memberikan kontribusi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes
berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Studi Terdahulu
Studi tentang karakter pengaturan struktur organisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa, sepanjang tinjauan pustaka yang telah dilakukan tidak diperoleh
informasi bahwa studi itu telah dilakukan. Beberapa karya studi tentang
pemerintahan desa yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerinah Desa: Politik Hukum
Pemerintahan Desa Di Indonesia, diterbitkan Setara Pers, Malang,
2010. Karya ini berasal dari disertasi, yang kemudian Bab IV, huruf C,
angka 3 berjudul “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Bagian ini ada
membahas Peraturan Desa dalam kaitan dengan (1) kewenangan badan
permusyawaratan desa dalam pembuatan Perdes; dan (2) kewenangan
mengajukan rancangan Perdes. Jadi, tidak membahas karakter
pengaturan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan
tata kerja Pemerintah Desa.
2. H. Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa: Pergulatan
Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa,
diterbitkan Penerbit Alumni, Bandung, 2010. Bab IV berjudul Peraturan
Desa, yang dibahas adalah (1) keberadaan, kedudukan dan fungsi
Perdes; dan (2) proses pembentukan Perdes. Karakter pengaturan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja
3. M. Silahuddin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, diterbitkan
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini memuat 2 (dua) materi
pokok, yakni kewenangan desa dan regulasi desa. Kewenangan desa
mencakup: a. Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul; dan b,
Kewenangan Lokal Berskala Desa. Sedangka regulasi desa mencakup:
a. Tahapan Pembuatan Peraturan Desa, b. Tahapan Pembuatan Peraturan
Bersama Kepala Desa, c. Tahapan Pembuatan Peraturan Kepala Desa,
dan d. Musyawarah Desa: Wahana Demokratisasi Desa. Regulasi desa
yang dibahas dalam buku ini tidak mencakup karakter pengaturan Perda
dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja
Pemerintah Desa.
4. Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU
Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini antara
lain membahas perihal ketundukan desa dihadapan hukum sungguh
berbeda dengan ketundukan desa secara langsung dihadapan hirarki
kekuasaan. Wujud ketundukan Desa dihadapan hukum adalah bahwa
Peraturan Desa, termasuk Perdes Desa Adat, harus tunduk pada norma
hukum positif yang ada diatasnya. Pemerintah Daerah akan mengatur
desa berdasarkan hukum (Perda). Meskipun demikian, sesuai dengan
prinsip demokrasi, desa berhak terlibat aktif mempengaruhi perumusan
Namun, buku ini tidak membahas Perda tentang pedoman struktur
organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
5. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi
Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, diterbitkan
Setara Press, Malang, 2015. Buku ini terdiri dari 9 bab. Kedua bab
terakhir, yakni Bab VIII berjudul Dinamika Desa dalam UU Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa, dan Bab IX berjudul Peraturan Desa dan
Pengujian Peraturan Desa. Buku ini, khususnya kedua bab terakhir,
tidak ada pembahasan mengenai Perda dan Perdes berkenaan dengan
struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
3.2. Studi Pendahuluan
Studi pendahuluan yang sudah dilaksanakan terkait dengan tema penelitian
ini adalah telah melakukan invetarisasi Perda Kabupaten/Kota se Bali mengenai
susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa. Hasil invetarisasi tersebut
dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 3.1
Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
NO. PERDA TENTANG CATATAN
1 Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2006
Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 2 Kabupaten Jembrana
Nomor 25 Tahun 2006
Organisasi Pemerintahan Desa
3 Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 4 Kabupaten Karangasem
Nomor 3 Tahun 2007
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 5 Kota Denpasar
Nomor 5 Tahun 2007
Pedoman Susunan Organisasi Pemerintahan Desa
6 Kabupaten Gianyar Nomor 1 Tahun 2008
Pemerintahan Desa Pedoman
Organisasi Pemerintahan Desa dalam Bab IV 7 Kabupaten Bangli
Nomor 2 Tahun 2008
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 8 Kabupaten Klungkung
Nomor 13 Tahun 2010
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 9 Kabupaten Tabanan
Nomor 7 Tahun 2012
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa
Perda yang dijadikan objek penelitian adalah Perda Kabupaten Badung dan
Perda Kota Denpasar, yakni Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007,
dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di dalam Ruang Lingkup Masalah.
Pada dasarnya Perda-Perda tersebut, termasuk Perda Badung 3/2007 dan
Perda Denpasar 5/2007, memuat pedoman struktur organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa. Oleh karena itu perlu diadakan studi pendahuluan mengenai
pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
Pertama. Pengertian Pedoman. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa,2 mengemukakan beberapa pengertian pedoman. Dua
diantaranya adalah (1) kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana
sesuatu harus dilakukan; dan (2) hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan,
petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.
Pengertian pedoman dapat ditelusuri dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang menggunakan judul pedoman, yakni:
1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006
tentang Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup. Di
2
dalam Lampiran I perihal Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), A. Penjelasan
Umum, angka 2 perihal Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL,
dijelaskan: “Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai
dasar bagi penyusunan KA-ANDAL ...”. Dengan melakukan abstraksi,
yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti dasar
bagi penyusunan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa struktur organisasi.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2011 tentang
Pedoman Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lampiran. angka II. perihal
Ruang Lingkup Pedoman Evaluasi LAKIP, huruf A perihal Maksud dan
Tujuan, dijelaskan: “Pedoman Evaluasi LAKIP unit kerja di
Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dimaksudkan sebagai panduan
dalam rangka pelaksanaan evaluasi LAKIP.” Dengan melakukan
abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman
berarti panduan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.
Merujuk pada pengertian-pengertian pedoman tersebut di atas, dalam
penelitian ini, pedoman diartikan sebagai dasar bagi penyusunan struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Kedua, Pengertian Struktur Organisasi. Sondang P. Siagian,3 mendefinisikan
Organisasi sebagai:
setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam suatu ikatan hirakhi dimana selalu terdapat hubungan antara seorang atau
3
sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.
Pandangan Sondang P. Siagian tersebut tidak jauh berbeda dengan
beberapa pandangan berikut:
1. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa: organisasi adalah sistem hubungan
antara sumber daya (among resources) yang memungkikankan
pencapaian sasaran.
2. James D. Mooney berpendapat bahwa: “Organization is the form of
every human association for the attainment of coomon purpose”
(Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan
bersama.
3. Gitosudarmo, mengemukakan pengertian organisasi adalah suatu sistem
yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur
dan berulang-ulang oleh sekolmpok orang untuk mencapai suatu tujuan.4
Pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur sebagai
berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3)
bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama.
Lazimnya pembahasan tentang organisasi ditinjau dari segi statis dan segi
dinamis. Dikemukakan oleh Sondang P. Siagian,5 berbagai literatur tentang teori
organisasi memberikan petunjuk bahwa para ahli lumrah melakukan pembahasan
tentang organisasi dari dua segi pandangan, yaitu organisasi yang ditelaah dengan
pendekatan struktural dan organisasi yang disoroti dengan pendekatan
4
Terkutip dalam Arifin Tahir, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Deepublish, hlm. 21-22.
5
Sondang P. Siagian, 1982b, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi,
keperilakuan. Pendekatan yang sifatnya struktural menyoroti organisasi sebagai
wadah. Pendekatan demikian melihat organisasi sebagai sesuatu yang relatif statis.
Berikut dikemukakan, organisasi dalam arti statis adalah wadah tempat
penyelenggaraan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang
hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan
pertanggungjawaban. Pendekatan keperilakuan menyoroti organisasi sebagai
suatu organisme yang dinamik. Pengertian organisasi dari segi dinamikanya
merupakan proses kerjasama yang serasi antara orang-orang di dalam perwadahan
yang sistematis, formal dan hirarkis yang berpikir dan bertindak seirama demi
tercapainya tujuan yang telah ditentukan dengan efisien, efektif, produktif dan
ekonomis yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pertumbuhan baik
dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.
Sebagaimana telah dikemukakan pengertian-pengertian organisasi tersebut
memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat
pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan
bersama. Pada unsur pemimpin dan yang dipimpin menunjukkan adanya hirarki
kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban.
Dengan perkataan lain, di dalam suatu organisasi terdapat susunan hirarkis
kedudukan, jabatan, wewenang, dan pertanggungjawaban. Mengenai hal ini
Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo6, mengemukakan struktur
organisasi atau yang biasa disebut bagan organisasi ialah suatu lukisan yang
dimaksudkan untuk menggambarkan susunan organisasi baik mengenai
fungsi-fungsinya, bidang-bidang pekerjaannya maupun mengenai tingkatan-tingkatannya
6
atau eselonering, rentang kendali dan sebagainya. Pengertian tentang sebuah
struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara dimana bagian-bagian disusun
menjadi satu kesatuan.
Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai relevan mengutip
beberapa pengertian berikut:7
1. Organization Chart Bagan Organisasi. Gambar struktur organisasi
yang ditunjukkan dengan kotak-kotak atau garis-garis yang disusun
menurut kedudukannya masing-masing memuat fungsi tertentu dan satu
sama lain dihubungkan dengan garis-garis saluran wewenang dan
tanggung jawab.
2. Organization Structure Struktur Organisasi. Kerangka yang terdiri
dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas
serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan serta
hubungan tertentu dalam lingkungan kesatuan yang utuh dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.
3. Structural Organization Chart Bagan Organisasi Struktur. Bagan
organisasi yang isinya menunjukkan susunan organisasi dari pucuk
pimpinan sampai dengan satuan-satuan organisasi yang berkedudukan
terbawah dengan mencantumkan sebutan satuan organisasi serta nama
masing-masing satuan organisasi.
Dengan demikian struktur organisasi adalah susunan dari satuan-satuan
organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin
dalam hubungan pertanggungjawaban dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
7
Ketiga, Pengertian Tata Kerja. Secara etimologis dibentuk oleh kata “tata”
dan kata “kerja”. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,8 mengartikan kata tata,
kerja, dan tata kerja sebagai berikut:
1. tata, merupakan kata benda, berarti aturan (biasanya dipakai dl kata
majemuk); kaidah, aturan, dan susunan; cara menyusun; sistem;
2. kerja, merupakan kata benda, berarti kegiatan melakukan sesuatu;
sesuatu yg dilakukan (diperbuat);
3. tata kerja berarti aturan (sistem dsb) bekerja;
Dari pengertian leksikal tersebut dikaitkan dengan pengertian organisasi,
maka tata kerja dapat diartikan sebagai aturan atau cara melaksanakan tugas dan
wewenang untuk mencapai tujuan organisasi.
Keempat, Pengertian Pemerintahan Desa dan Pemerintah Desa. Di masa
berlakunya UU 32/2004 sebutannya adalah struktur organisasi dan tata kerja
pemerintahan desa, sedangkan dalam masa berlakunya UU 6/2014 sebutannya
adalah struktur organisasi tata kerja pemerintah desa.Uraian dalam bagian ini
dipusatkan pada pengertian Pemerintah Desa.
Struktur organiasi yang dimaksud adalah struktur organisasi Pemerintah
Desa, dan tata kerja yang dimaksud adalah tata kerja Pemerintah Desa. Oleh
karena itu penting merumuskan pengertian Pemerintah Desa. UU 6/2014 telah
merumuskan pengertian itu di dalam Pasal 1 angka 7, yakni “Pemerintah desa atau
yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa." Perangkat
Desa terdiri atas: a. secretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana
teknis (Pasal 8 UU 6/2014).
8
Kelima, Pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintah Desa. Merujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas, yakni
adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
Pengertian-pengertian tersebut merupakan definisi. Definisi, menurut JJ. H.
Bruggink, adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Maksud sebuah
definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian secermat
mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan
oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu. 9
Definisi dirumuskan dalam formulasi definiendum dan definien.
Definiendum adalah perkataan yang harus didefinisikan dan definien adalah
perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi.10 Berikut definisi-definisi
berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa
diringkas dalam tabel berikut:
Tabel 3.2
Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa
DEFINIENDUM DEFINIEN
Pedoman adalah dasar bagi penyusunan.
Struktur Organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban.
Tata Kerja adalah cara melaksanakan tugas dan wewenang. Pemerintah Desa adalah kepala desa dan perangkat desa yang terdiri atas
sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, pelaksana teknis.
Pedoman Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa
adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.
9
JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 71.
10
3.3. Kerangka Teoritik
Teori undangan membedakan sumber kewenangan
perundang-undangan atas atribusi kewenangan perundang-perundang-undangan dan delegasi
kewenangan perundang-undangan.
Atribusi kewenangan perundang-undangan adalah pembentukan
kewenangan (-baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan, yang
diberikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat undang-undang
atau lembaga lain, atau oleh pembuat undang-undang kepada lembaga lain, dan
lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan
kewenangan yang diterimanya.11
Berbeda dengan atribusi kewenangan perundang-undangan, pada delegasi
perundang-undangan terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Delegasi kewenangan perundang-undangan adalah
penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan tanpa
memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, yang diserahkan oleh
pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris),
dan lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.12
Antara atribusi kewenangan perundang-undangan dan delegasi kewenangan
perundang-undangan terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan
11
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 277-278.
12
kewenangan yang diterimanya, dan perbedaannya sebagaimana dapat
diungkapkan dalam tabel berikut:13
Tabel 3.3.
Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan
Kategori Atribusi Kewenangan Perundang-undangan
Delegasi Kewenangan Perundang-undangan Pihak-pihak Kewenangan diberikan oleh
pembentuk UUD kepada pembuat UU atau lembaga lain, atau oleh pembuat UU kepada lembaga lain.
Kewenangan diserahkan oleh pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris). Karakter tidak memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru.
Salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Daerah,
sehingga layak ditegaskan posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik
sumber kewenangan perundang-undangan.
Penetapan materi muatan Peraturan Daerah berdasarkan kriteria umum dan
kriteria khusus. Kriteria Umum, yakni hal-hal yang digali dari asas pemerintahan
daerah (otonomi dan tugas pembantuan) sebagai materi muatan Peraturan Daerah.
Kriteia Khusus, yakni hal-hal yang secara tegas ditentukan sebagai matei muatan
Peraturan Daeah.14
Kriteria khusus penetapan materi muatan Peraturan Daerah (Perda)
hakikatnya merupakan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. UU 23/2014 (sebelumnya UU 32/2004) menentukan Perda memuat materi
muatan: a. penyelenggaraan Otonomi dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran
13
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 25-26 14
lebih lanjut keentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 236
ayat (3) UU 23/2014). Materi muatan pada huruf a tersebut merupakan turunan
dari konstitusi.
Pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas
ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945. Dikaitkan dengan teori
sumber kewenangan perundang-undangan, bermakna sumber kewenangan
pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini
dapat juga disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter
atribusi.15
Pembentukan Peraturan Daerah untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, tidaklah langsung dapat disebut sumber
kewenangannya adalah atribusi undangan atau delegasi
perundang-undangan. Oleh karena secara tersurat (eksplisit) tidak ada dasarnya dalam UUD
NRI 1945, namun secara tersirat (implisit) merupakan konsekuensi logis dari
diterapkannya prinsip hierarki peraturan perundang-unangan dalam UUD NRI
1945. Untuk menentukan sumber kewenangannya dapat diamati dari
kemungkinan Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai
pokok-pokok yang baru atau tidak. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan dapat
memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan
pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah atribusi perundang-undangan.
Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah atribusian atau
Peraturan Daerah berkarakter atribusi. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan
15
tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber
kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah delegasi
perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah
delegasian atau Peraturan Daerah berkarakter delegasi.16
Untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas mengenai posisi Peraturan
Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan, dapat
disimak bagan berikut.
Bagan 3.1.
Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yang dikenal dalam tradisi
pembentukan peraturan perundang-undang dan yang telah dituangkan dalam UU 12/2011
(sebelumnya UU 10/2004) mengenal teknik merumuskan kewenangan yang bersifat
diskresioner.
Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3u) Nomor 267 (Pasal 64
ayat (2) UU 12/2011 jo. Lampiran II) menentukan:
Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh 1:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
16
Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 285.
PERDA menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi PERATURAN DAERAH (PERDA)
PERDA melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan
tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru
ATRIBUSI DELEGASI
Pasal 90
Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.
Contoh 2:
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara
Pasal 28
(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.
Sifat diskresioner dari suatu kewenangan, sebagaimana ditunjukkan oleh
ketentuan tersebut di atas, bermakna pilihan. Untuk mendapat pemahaman yang
lebih memadai perlu mengkonfirmasikan dengan teori kewenangan diskresi.
Wewenang terdiri atas wewenang terikat dan wewenang bebas. Wewenang
terikat adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya ditentukan mengenai
waktu (kapan) dan keadaan wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan
dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus
diambil. Wewenang bebas adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya
memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau
peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang
bersangkutan.17
Wewenang bebas dikenal dengan istilah diskresi, yang hakekatnya lawan
dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid), dengan esensi ada pilihan
17
(choise) untuk melakukan tindakan pemerintahan.18 Pemahaman teoritik tentang
diskresi dan implikasinya dalam penormaan adalah:
1. Diskresi memuat esensi pilihan (choise) untuk melakukan tindakan
pemerintahan, yakni memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau
memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan
di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan
tindakan.
2. Implikasinya diskresi dalam penormaan adalah perumusan aturan hukum
yang membolehkan subjek kaidah untuk memilih di antara dua atau lebih
pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk
mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau
tidak melakukan tindakan. Aturan hukum demikian memiliki karakter
diskresioner.
3. Aturan hukum yang berkarakter diskresioner ─ yang memuat wewenang
bebas ─ hakikatnya merupakan lawan dari aturan hukum yang bersifat
imperatif ─ yang tidak memuat memuat pilihan atau dapat juga disebut
memuat wewenang terikat.19
Teori lain yang digunakan adalah validitas hukum, yang dalam tradisi
perundang-undangan digunakan saat merumuskan konsiderans peraturan
perundang-undangan. Pemahaman validitas hukum sebagai berikut:20
18
Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 35, yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon.
19
Marhaendra Wija Atmaja, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 11.
20
1. Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan
norma-norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai
dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum. Suatu norma hanya
dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke
dalam suatu sistem norma.
2. Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav
Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku
hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya
hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch
disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan,
dan kepastian hukum.
3. Adanya keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar
hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya
hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan
sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan
pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian
hukum.
3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan
Kontribusi yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah salah satu sumber
informasi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes berkenaan dengan
struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan
langkah-langkah sebagai berikut:21
1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU 6/2014
berikut peraturan pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna:
a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu teks hukum dengan
melakukan kontemplasi terhadap pesan dalam teks hukum dan
mencari relasi di antara bagian-bagian dari teks hukum itu;
b. menjelaskan makna teks hukum itu dan implikasinya terhadap
kepala desa dan perangkat desa dalam konstelasi hubungan tata
kerja pemerintah desa.
2. Melakukan studi empirik: (1) dengan melakukan identifikasi dan
analisis bekerjanya Perda-Perda terkait dan UU 6/2014 serta peraturan
pelaksanaannya; dan (2) untuk mendapatkan data empirik tentang
pengalaman dan pemahaman dari para pejabat di lingkungan SKPD
yang membidangi desa dan dari para kepala desa dan perangkat kepala
21
desa. Studi empirik dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner
(daftar tanya), wawancara, dan dan FGD.
3. Melakukan analisis terhadap data yang terkumpul (baik data peraturan
maupun data empirik) dan penarikan kesimpulan.
4.2. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara pembacaan dan pencatatan data hukum
perundang-undangan, dengan melakukan klasifikasi sesuai masalah penelitian.
Data empirik diperoleh melalui wawancara kepada SKPD terkait.
4.3. Analisis Data
Merujuk pada Miles dan Huberman, yang membedakan empat tahap dalam
proses analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data tekandung
dalam tiga tahapan terakhir. Penggunaannya dalam penelitian hukum ini adalah
sebagai berikut:22
a. reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, penyedehanaan,
abstraksi data berdasarkan tema-tema yang ditentukan berkenaan
dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.
b. penyajian data (data display), merupakan proses interpretasi, yakni
proses pemberian makna terhadap unsur-unsur maupun totalitas,
kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian naratif
dan/atau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang diajukan; dan
22
c. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and
verification), proses akhir analisis adalah penarikan kesimpulan, yakni
memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diajukan, yang
dalam proses penelitian berlangsung setiap kesimpulan terus-menerus
diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh kesimpulan yang valid.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyajian data (data
display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna, terhadap
unsur-unsur maupun totalitas. Untuk melakukan interpretasi tersebut dilakukan
interpretasi berbasis hermeneutika hukum.
Hermeneutika hukum merupakan penerapan hermeneutika pada bidang
hukum yang intinya adalah kegiatan menginterpretasi teks hukum, yakni
pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
peraturan kebijakan. Hermeneutika hukum bekerja berdasarkan prinsip-prinsip
dalam aras lingkaran hermeneutika hukum, yakni:23
1. Berkerja dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang (author), horizon
teks, dan horizon pembaca (reader). Direfleksikan di bidang hukum,
horizon pengarang adalah konteks kelahiran teks hukum (aturan
hukum), horizon teks adalah aturan hukum, dan horizon pembaca
adalah konteks penerapan aturan hukum. Dalam penelitian huku ini,
interpretasi atas peraturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja
23
pemerintah desa berbasiskan pada tiga horizon tersebut, paling tidak
horizon teks dan horizon konteks penerapan.
2. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara bagian-bagian dan keseluruhan,
sehingga terbentuknya pemahaman secara lebih utuh, yakni tiap ayat
hanya bisa dipahami berdasarkan pemahaman atas pasalnya dan tiap
pasal hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas
undang-undangnya bahkan dengan sistem hukum yang melingkupinya,
sebaliknya undang-undang (sebagai keseluruhan) hanya dapat dipahami
berdasarkan pemahaman atas pasal atau ayat sebagai bagian dari
undang-undang sebagai keseluruhan.
3. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara kaedah dan fakta, yakni proses
timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Penafsir harus
mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan
menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta. Dengan
perkataan lain, penalaran dilakukan dari fakta-fakta ke kaidah-kaidah
dalam aturan hukum (ia mengkualifikasi), untuk kemudian dari
kaidah-kaidah dalam aturan aturan hukum itu ke fakta-fakta (ia
menginterpretasi), dan hal itu terjadi berulang-ulang sampai
menemukan sebuah penyelesaian. Proses ini dari sisi logika disebut
abduksi. Kaidah-kaidah hukum yang dimaksud di sini adalah
kaidah-kaidah hukum dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, dan
yang dimaksud dengan fakta-fakta di sini adalah data yang diperoleh
4. Interpretasi secara hermeneutikal berlangsung secara holistik dalam
rangkaian keterkaitan satu interpretasi hukum dengan interpretasi
hukum lainnya. Model interpretasi ini digunakan dalam penelitian
hukum ini.
5. Interpretasi secara hermeneutikal memerlukan ketepatan pemahaman
(subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi),
dan ketepatan penerapan (subtilitas applicandi). Tindakan yang
dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah memahami teks hukum
dengan cara menafsirkannya, dan menerapkannya dalam bentuk
rekomendasi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL PENELITIAN
5.1.1. Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan dengan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pada Masa Berlakunya Kebijakan Tentang Desa Tahun 2004 Di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Bagian ini mengemukakan hasil penelitian tentang bentuk dan isi
pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan
Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 di Kabupaten
Badung dan Kota Denpasar.
Perda Badung 3/2007 dan Perda Dnpasar 5/2007 dibentuk pada masa
berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dalam Pasal
13 ayat (1) menyebutkan Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja
Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah (Menimbang huruf a Perda
Badung 3/2007 dan Menimbang huruf c Perda Denpasar 5/2007).
Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005 menentukan, ketentuan lebih lanjut mengenai
Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berikutnya pada ayat (2) menentukan,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya memuat: a. tata cara penyusunan struktur organisasi; b.
Materi muatan Perda Badung 3/2007 dipaparkan berikut ini dikonfirmasikan
dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan dalam tabel
berikut:
Tabel 5.1.
Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan
(1) Pemerintahan Desa terdiri dari: a. Pemerintah Desa;
b. BPD.
(2) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari :
a. Perbekel; b. Perangkat Desa.
(3) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. Sekretaris Desa;
b. Perangkat Desa lainnya. (4) Perangkat Desa lainnya sebagimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari :
a. Sekretariat Desa;
b. Pelaksana Teknis Lapanga; c. Kelian Banjar Dinas.
(5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi budaya masyarakat setempat.
(6) BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah tersendiri.
(1) Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan desa.
Pasal 4
Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dilaporkan oleh Perbekel kepada Bupati melalui Camat.
Tugas dan Wewenang Perbekel Pasal 5
(1) Perbekal mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel mempunyai wewenang sebagai berikut :
a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
b. mengajukan rancangan Peraturan Desa;
c. menetapkan Peraturan Desa setelah mendapat persetujuan dari BPD; d. menyusun dan mengajukan
rancangan Peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e. membina kehidupan masyarakat desa;
f. membina perekonomian masyarakat desa;
g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipasif;
h. mewakili desa didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan i. melaksanakan wewenang lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua
Kewajiban Perbekel Pasal 6
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, Perbekel mempunyai kewajiban :
melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan
demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintah desa;
g. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang- undangan; h. menyelenggarakan administrasi
pemerintahan desa yang baik; i. melaksanakan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan keuangan desa; j. melaksanakan urusan yang
menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan
masyarakat di desa; l. membina, mengayomi dan
melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; m. memberdayakan masyarakat dan
kelembagaan di desa;
n. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;
o. membina kerukunan antar umat beragama di desa.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel mempunyai kewajiban untuk memberi laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa kepada Bupati, memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat;
kepada Bupati melalui Camat 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dalam musyawarah BPD. (5) Menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau
diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainnya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) digunakan oleh Bupati sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebagai bahanpembinaan lebih lanjut.
(7) Laporan akhir masa jabatan Perbekel disampaikan kepada Bupati melalui Camat dan kepada BPD.
Bagian Ketiga Larangan Perbekel Pasal 7
Perbekel dilarang :
a. menjadi pengurus partai politik; b. merangkap jabatan sebagai ketua
dan/atau anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di desa bersangkutan; c. merangkap jabatan sebagai anggota
DPRD;
d. terlibat dalam kampanye pemilighan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah; e. merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;
f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah/janji jabatan.
(1) Perangkat Desa bertugas membantu Perbekel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggungjawab kepada Perbekel. Pasal 9
(1) Sekretaris Desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Perbekel dan memimpin Sekretaris Desa. (2) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai
Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan, yaitu :
a. berpendidikan paling rendah lulusan SMUatau sederajat;
b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;
c. mempunyai kemampuan dibidang administrasi keuangan dan dibidang perencanaan;
d. mempunyai pengalaman dibidang administrasi keuangan dan dibidang perencanaan; e. memahami sosial budaya
masyarakat setempat; dan f. bersedia tinggal di desa yang
bersangkutan.
(3) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Sekretaris Daerah atas nama Bupati. (4) Sekretaris Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas :
a. memberikan saran dan pendapat kepada Perbekel;
b. memimpin, mengkoordinasikan, dan mengendalikan serta mengawasi semua unsur serta kegiatan Sekretaris Desa; c. memberikan informasi mengenai
keadaan desa dan Sekretaris Desa; d. merumuskan kegiatan Perbekel; e. melaksanakan urusan surat
menyurat, kearsipan, dan laporan; f. mengadakan dan melaksanakan
persiapan rapat dan mencatat hasil-hasil rapat;
g. menyusun anggaran pendapatan dan belanja desa;
i. melaksanakan kegiatan
admimistrasi pemerintahan desa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; j. melaksanakan tugas lain yang
diberikan oleh atasan. Pasal 10
(1) Kepala Urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu Sekretaris Desa dalam bidang tugasnya.
(2) Kepala Urusan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesekretariatan desa dalam bidang tugasnya.
(3) Kepala Urusan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi : a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan
urusan pemerintahan, umum, keuangan, pembangunan dan kesejahteraan rakyat sesuai bidang tugasnya masing-masing;
b. Memberikan pelayanan administrasi kepada Sekretaris desa.
Pasal 11
(1) Pelaksana Teknis Lapangan berkedudukan sebagai staf teknis Perbekel dalam bidang tugasnya. (2) Pelaksana Teknis Lapangan
mempunyai tugas membantu perbekel dalam melaksanakan tugasnya yang bersifat teknis.
(3) Pelaksana Teknis Lapangan dalam melaksnakan tugas sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi :
a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis;
b. Memberikan pelayanan dan pertimbangan teknis kepada Perbekel.
Pasal 12
(1) Kelian Banjar Dinas berkedudukan sebagai staf operasional Perbekel di wilayah kerjanya.
(2) Kelian Banjar Dinas mempunyai tugas untuk melaksanakan kegiatan Perbekel dalam kepemimpinan Perbekel di wilayah kerjanya.
a. Melakukan kegiatan Pemerintahan, Pembangunan dan ketertiban masyarakat di wilayah kerjanya; b. Melaksanakan Peraturan Desa di
wilayah kerjanya;
c. Melaksanakan kebijakan Perbekel di wilayah kerjanya.
Hubungan Kerja BAB V HUBUNGAN KERJA
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan prinsip koordinasi dan sinkronisasi.
BAB VI KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Dengan berlakunya peraturan daerah ini, susunan organisasi pemerintah desa yang sudah ada masih tetap berlaku, sepanjang ditetapkan yang baru sesuai dengan Peraturan daerah ini.
BAB VI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
Pasal 16
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Materi muatan Perda Denpasar 5/2007 dipaparkan berikut ini,
dikonfirmasikan dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan
dalam tabel berikut:
Tabel 5.2.
Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan
(1) Pemerintahan Desa terdiri dari: a. Pemerintah Desa;
b. BPD.
terdiri dari : a. Perbekel; b. Perangkat Desa. (3) Perangkat Desa terdiri dari:
a. Sekretaris Desa; b. perangkat desa lainnya.
(4) Perangkat Desa lainnya terdiri dari : a. Kepala Urusan;
b. Kepala Dusun; dan
c. Pelaksana Teknis Lapangan. (5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Tata Cara Penyusunan
(1) Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan dengan Peraturan desa.
(2) Dalam Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan bagan susunan organisasi
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Desa.
Pasal 4
(1) Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
(2) Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai wewenang: a. mengajukan rancangan peraturan
desa;
b. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan
d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
Bagian Kelima Pengangkatan Perangkat Desa
f. membina perekonomian desa; g. mengkoordinasikan
pembangunan desa secara partisipatif:
h. mewakili desanya didalam dan luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Kepala Desa mempunyai kewajiban : a. memegang teguh dan
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kesejahtraan
masyarakat
c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat d. melaksanakan kehidupan
demokrasi;
e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;
f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan Desa;
g. mentaati dan menegakan seluruh peraturan perundang-undangan; h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan Desa yang baik; i. melaksanakan dan
mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan Desa; j. melaksanakan urusan yang
menjadi kewenangan Desa; k. mendamaikan perselisihan
masyarakat di Desa;
melastarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; n. memberdayakan masyarakat dan
kelembagaan di Desa; dan o. mengembangkan potensi sumber
daya alam dan melestarik lingkungan hidup;
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada Walikota memberikan laporan keterangan pertanggung jawaban kepada BPD, dan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun.
(4) Laporan keterangan pertangung jawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam musyawarah BPD.
(5) Menginformasikan laporan penyelengaraan pemerintah Desa kepada masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau
diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) digunakan oleh Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemerintah Desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut.
(7) Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Walikota melalui Camat dan kepada BPD
Pasal 6
(1) Kepala Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan /atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa.
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APB Desa.
(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum
Regional Kota
Pasal 7
Kepala Desa dilarang :
a. menjadi pengurus partai politik; b. merangkap jabatan sebagai Ketua dan/
atau Anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di Desa bersangkutan;
c. merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD;
d. terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah; e. merugikan kepentingan umum,
meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;
f. melakukan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, menerima uang barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah / janji jabatan.
Pasal 8
Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Bagian Kedua
Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Sekretaris Desa,
Pasal 9
(1) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil memenuhi
persyaratan,yaitu
a. berpendidikan paling rendah lulusan Sekolah Menengah Umum atasederajat;
b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;