• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTER BENTUK DAN ISI PENGATURAN TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KARAKTER BENTUK DAN ISI PENGATURAN TENTANG STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA."

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

iii

RINGKASAN

Penelitian ini membahas persoalan hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.

2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?

3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah melakukan studi tekstual terhadap peraturan perundang-undangan, yang didukung studi empirik untuk mendapatkan pemahaman bekerjanya Perda tentang SOTK Pemdes, melakukan analisis terhadap data yang terkumpul, dan penarikan kesimpulan.

Kesimpulan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah: Pertama, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 yakni:

1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat atribusian, yakni memuat pokok-pokok yang baru.

2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintahan Desa bersifat diskresioner, dalam hal ini memuat norma diskresi, yakni memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menentukan jumlah Perangkat Desa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tanpa memuat pokok-pokok yang baru.

4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa.

5.Praktiknya, Perdes tentang SOTK Pemerintahan Desa tidak dibentuk.

Kedua, faktor yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda

berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:

1. Terdapat Perda yang memuat faktor yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda dan terdapat Perda yang memuat faktor filosofis. sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda.

(4)

iv

3. Secara normatif pembentukan Perda dalam kerangka UU 6/20014 dan PP 43/2014 adalah filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Ketiga, karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan

organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014 adalah:

1. Karakter bentuk Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat atribusian, yakni memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah.

2. Karakter isi Perda tentang Pedoman SOTK Pemerintah Desa bersifat diskresioner, dalam pengertian memberikan ruang kebebasan kepada Desa untuk menetapkan paling banyak 3 (tiga) bidang urusan sebagai unsur staf sekretariat Desa dan paling banyak 3 (tiga) seksi sebagai pelaksana teknis yang merupakan unsur pembantu kepala desa.

3. Karakter bentuk Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat delegasian, yakni memuat materi muatan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4. Karakter isi Perdes tentang SOTK Pemerintah Desa bersifat imperatif, yakni Pemerintahan Desa memiliki kewajiban untuk menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.

Saran yang diajukan berdasakan penelitian mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah:

1. Perda Pedoman SOTK Pemerintah Desa agar memuat norma mengenai strategi implementasi, yang memastikan Pemerintahan Desa menetapkan SOTK Pemerintah Desa dengan Perdes.

2. Perda SOTK Pemerintah Desa adalah bersifat atribusian, oleh karena itu Pemerintahan Kabupaten/Kota dapat segera menetapkan Perda SOTK Pemerintah Desa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum dalam penetapan SOTK Pemerintah Desa.

(5)

v

PRAKATA

Atas berkat rahkmat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa,

dan kerja sama yang dari Tim Peneliti, penelitian bertajuk Karakter Bentuk dan Isi

Pengaturan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dapat

diselesaikan.

Terimakasih disampaikan kepada Bapak Rektor, Ketua Lembaga Penelitian

dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana, Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana atas kesempatan dan fasilitasi untuk mengadakan

penelitian.

Terimakasih juga disampaikan kepada banyak pihak, yang tidak dapat

disebutkan namanya satu per satu atas segala bantuan dan kerja samanya sehingga

penelitian ini dapat diselesaikan.

Denpasar, 13 Oktober 2015

(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ...ii

RINGKASAN...iii

PRAKATA ...v

DAFTAR ISI ...vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR LAMPIRAN ...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 5

BAB II TUJUAN DAN MANFAAT ... 6

2.1.Tujuan ... 6

2.2. Manfaat ... 6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ... 8

3.1. Studi Terdahulu ... 8

3.2. Studi Pendahuluan ... 10

3.3. Kerangka Teoritik ... 18

3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Pendekatan Penelitian ... 25

4.2. Pengumpulan Data ... 26

4.3. Analisis Data ... 26

(7)

vii

5.1. Hasil Penelitian perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang

Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ...30

5.2. Pembahasan perihal Karakter Bentuk dan Isi Pengaturan tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ...59

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 1077

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 1133

LAMPIRAN ... 116

• Pedoman wawancara.

(8)

viii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Bagan 3.1. Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan ... 20

Tabel 3.1. Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa ... 10

Tabel 3.2. Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa ... 17

Tabel 3.3. Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan ... 19

Tabel 5.1. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 ... 31

Tabel 5.2. Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 ... 37

Tabel 5.3. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam UU 6/2014 ... 55

Tabel 5.4. Pengaturan Desa Lebih Lanjut dengan Peraturan Daerah Kabupaten/KotaKabupaten/Kota dalam PP 43/2014 ... 57

Tabel 5.5. Kategori Bentuk dan Isi Perda Badung 3/2007 ... 60

Tabel 5.6. Kategori Bentuk dan Isi Perda Denpasar 5/2007 ... 63

Tabel 5.7. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan menurut Para Sarjana Indonesia ... 68

Tabel 5.8. Pandangan teoritik tentang landasan keabsahan peraturan perundang-undangan ... 70

Tabel 5.9. Pertimbangan Pembentukan Peraturan Perundang–undangan Menurut UU 12/2011 ... 71

Tabel 5.10. Landasan Keabsahan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan Pandangan Teoritik dan UU No. 12/2011 ... 72

Tabel 5.11. Konsiderans Peraturan Daerah ... 74

Tabel 5.12. Praktik Penyelenggaraan Perda Badung 3/2007 ... 78

Tabel 5.13. Sinkronisasi Perda Badung 3/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014 ... 83

Tabel 5.14. Sinkronisasi Perda Denpasar 5/2007 dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014 ... 92

Tabel 5.15. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Ranperda tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa... 99

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU 32/2004), mengatur tentang Desa

di dalam Bab XI, mulai dari Pasal 200 sampai dengan Pasal 216. Pasa1 216 ayat

(1) menentukan, “Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan da1am Perda

dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”

Berdasarkan ketentuan tersebut ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 72

Tahun 2005 tentang Desa (selanjutnya disingkat PP 72/2005). Berkenaan dengan

struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, di dalam PP 72/2005 disebut

susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa. Pasal 12 ayat (5) PP 72/2005

menentukan: “Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan

dengan peraturan desa.” Pemerintahan desa dalam menetapkan Peraturan Desa

(Perdes) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa mengacu

pada pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota

(Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005).

Uraian tersebut menunjukkan di masa berlakunya UU 32/2004, PP 72/2005

menentukan adanya 2 (dua) jenis peraturan perundang-undangan mengenai

(10)

1. Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa,

yang menjadi dasar menetapkan susunan organisasi dan tata kerja

pemerintahan desa.

2. Perda Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam penetapan Perdes

tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.

Telah dilakukan penelitian pendahuluan dan ditemukan, pemerintahan

daerah kabupaten/kota di Bali telah menetapkan Perda yang mengatur pemberian

pedoman penyusunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, antara lain

adalah:

1. Perda Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman

Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya

disingkat Perda Badung 3/2007); dan

2. Perda Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (selanjutnya disingkat

Perda Denpasar 5/2007).

Reformasi kebijakan tentang desa tahun 2014 mengubah ketentuan tersebut

di dalam PP 72/2005. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

(selanjutnya disingkat UU 6/2014) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya

disingkat PP 43/2014) tidak mengatur keharusan membuat Perda dan Perdes

(11)

Desa. Berkenaan dengan tema penelitian ini, Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014

menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan

struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Adanya reformasi kebijakan tentang desa yang dituangkan dalam UU

6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014, menempatkan

Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007 pada posisi ketiadaan dasar

hukum dan arah kebijakan (politik hukum) tentang desa.

Di sisi lain, ketentuan dalam Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 yang

menentukan, dalam melaksanakan tugas Kepala Desa berhak mengusulkan

struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa, menimbulan persoalan

mengenai:

1. Kepada siapa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan tata

kerja Pemerintah Desa? Asumsinya kepada Badan Permusyawaratan

Desa (BPD), karena BPD adalah lembaga yang melakukan fungsi

pemerintahan di desa, selain Pemerintah Desa, yakni Kepala Desa yang

dibantu perangkat desa, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan

desa.

2. Dalam bentuk apa Kepala Desa mengusulkan struktur organisasi dan

tata kerja Pemerintah Desa? Asumsinya dalam bentuk Rancangan

Perdes, karena kebijakan yang dihasilkan oleh Kepala Desa dan BPD

adalah Perdes.

3. Apa saja isi usulan Kepala Desa tersebut? Asumsinya bagian-bagian

(12)

hubungan tata kerja dari bagian-bagian struktur organisasi pemerintah

desa (bukan pemerintahan desa).

Pasal 26 ayat (3) huruf a UU 6/2014 khususnya, dan UU 6/2014 dan PP

43/2014 tidak lengkap mengatur perihal struktur organisasi dan tata kerja

Pemerintah Desa.

Berdasarkan atas persoalan-persoalan tersebut, perlu dilakukan penelitian

hukum mengenai karakter bentuk dan isi pengaturan berkenaan dengan susunan

organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan sejumlah pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan

dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa

berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004?.

2. Faktor apakah yang menjadi pertimbangan perlunya menetapkan Perda

dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja

Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014?

3. Bagaimanakah karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan

dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan

kebijakan tentang Desa tahun 2014?.

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Perda tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa

berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004, yang dimaksud dalam penelitian

(13)

pertimbangan, Perda Kabupaten Badung mewakili Perda Kabupaten yang ada di

Bali, sedangkan Perda Kota Denpasar mewakili susunan pemerintahan daerah

kota di Bali, yang merupakan satu-satunya Kota di Bali.

Perda Kabupaten Badung yang dimaksud adalah Perda Kabupaten Badung

Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja

Pemerintahan Desa (Perda Badung 3/2007) dan Perda Kota Denpasar yang

dimaksud adalah Perda Kota Dnpasar Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (Perda Denpasar 5/2007).

Perdes tentang tentang susunan organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa,

sepanjang penelitian pendahuluan yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya

Perdes dimaksud. Seperti di Kabupaten Badung, pemerintahan desa langsung

menetapkan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa dengan

mendasarkan pada Perda Badung 3/2007.1

1

(14)

BAB II

TUJUAN DAN MANFAAT

2.1. Tujuan

Tujuan penelitian karakter pengaturan stuktur oraganisasi dan tata kerja

Pemerintah Desa adalah:

1. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan

Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja

Pemerintahan Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa

tahun 2004.

2. Memahami dan menginterpretasi faktor yang menjadi pertimbangan

perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur

organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan

tentang Desa tahun 2014.

3. Memahami dan menginterpretasi karakter bentuk dan isi Perda dan

Perdes berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja

Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014.

2.2. Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai

karakter bentuk dan isi Perda dan Perdes berkenaan dengan susunan organisasi

dan tata kerja Pemerintah Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa

tahun 2004. Informasi ini akan menjadi konteks praktik-pengalaman dalam

(15)

Selain itu, urgensi penelitian ini, khususnya mengenai pertimbangan

perlunya menetapkan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur organissi dan

tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang Desa tahun 2014,

berikut karakter bentuk dan isi dari Perda dan Perdes bersangkutan, adalah dalam

rangka memberikan kontribusi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes

berkenaan dengan struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan

(16)

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Studi Terdahulu

Studi tentang karakter pengaturan struktur organisasi dan tata kerja

Pemerintah Desa, sepanjang tinjauan pustaka yang telah dilakukan tidak diperoleh

informasi bahwa studi itu telah dilakukan. Beberapa karya studi tentang

pemerintahan desa yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Didik Sukriono, Pembaharuan Hukum Pemerinah Desa: Politik Hukum

Pemerintahan Desa Di Indonesia, diterbitkan Setara Pers, Malang,

2010. Karya ini berasal dari disertasi, yang kemudian Bab IV, huruf C,

angka 3 berjudul “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa”. Bagian ini ada

membahas Peraturan Desa dalam kaitan dengan (1) kewenangan badan

permusyawaratan desa dalam pembuatan Perdes; dan (2) kewenangan

mengajukan rancangan Perdes. Jadi, tidak membahas karakter

pengaturan Perda dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan

tata kerja Pemerintah Desa.

2. H. Ateng Syafrudin dan Suprin Na’a, Republik Desa: Pergulatan

Hukum Tradisional dan Hukum Modern dalam Desain Otonomi Desa,

diterbitkan Penerbit Alumni, Bandung, 2010. Bab IV berjudul Peraturan

Desa, yang dibahas adalah (1) keberadaan, kedudukan dan fungsi

Perdes; dan (2) proses pembentukan Perdes. Karakter pengaturan Perda

dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja

(17)

3. M. Silahuddin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa, diterbitkan

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini memuat 2 (dua) materi

pokok, yakni kewenangan desa dan regulasi desa. Kewenangan desa

mencakup: a. Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul; dan b,

Kewenangan Lokal Berskala Desa. Sedangka regulasi desa mencakup:

a. Tahapan Pembuatan Peraturan Desa, b. Tahapan Pembuatan Peraturan

Bersama Kepala Desa, c. Tahapan Pembuatan Peraturan Kepala Desa,

dan d. Musyawarah Desa: Wahana Demokratisasi Desa. Regulasi desa

yang dibahas dalam buku ini tidak mencakup karakter pengaturan Perda

dan Perdes berkenaan dengan struktur oganisasi dan tata kerja

Pemerintah Desa.

4. Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU

Desa, diterbitkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,

dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta, 2015. Buku ini antara

lain membahas perihal ketundukan desa dihadapan hukum sungguh

berbeda dengan ketundukan desa secara langsung dihadapan hirarki

kekuasaan. Wujud ketundukan Desa dihadapan hukum adalah bahwa

Peraturan Desa, termasuk Perdes Desa Adat, harus tunduk pada norma

hukum positif yang ada diatasnya. Pemerintah Daerah akan mengatur

desa berdasarkan hukum (Perda). Meskipun demikian, sesuai dengan

prinsip demokrasi, desa berhak terlibat aktif mempengaruhi perumusan

(18)

Namun, buku ini tidak membahas Perda tentang pedoman struktur

organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

5. Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi

Indonesia Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, diterbitkan

Setara Press, Malang, 2015. Buku ini terdiri dari 9 bab. Kedua bab

terakhir, yakni Bab VIII berjudul Dinamika Desa dalam UU Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa, dan Bab IX berjudul Peraturan Desa dan

Pengujian Peraturan Desa. Buku ini, khususnya kedua bab terakhir,

tidak ada pembahasan mengenai Perda dan Perdes berkenaan dengan

struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

3.2. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan yang sudah dilaksanakan terkait dengan tema penelitian

ini adalah telah melakukan invetarisasi Perda Kabupaten/Kota se Bali mengenai

susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Desa. Hasil invetarisasi tersebut

dikemukakan dalam tabel berikut:

Tabel 3.1

Perda Kabupaten/Kota se Bali tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa

NO. PERDA TENTANG CATATAN

1 Kabupaten Buleleng Nomor 8 Tahun 2006

Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 2 Kabupaten Jembrana

Nomor 25 Tahun 2006

Organisasi Pemerintahan Desa

3 Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 4 Kabupaten Karangasem

Nomor 3 Tahun 2007

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 5 Kota Denpasar

Nomor 5 Tahun 2007

Pedoman Susunan Organisasi Pemerintahan Desa

6 Kabupaten Gianyar Nomor 1 Tahun 2008

Pemerintahan Desa Pedoman

(19)

Organisasi Pemerintahan Desa dalam Bab IV 7 Kabupaten Bangli

Nomor 2 Tahun 2008

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 8 Kabupaten Klungkung

Nomor 13 Tahun 2010

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa 9 Kabupaten Tabanan

Nomor 7 Tahun 2012

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa

Perda yang dijadikan objek penelitian adalah Perda Kabupaten Badung dan

Perda Kota Denpasar, yakni Perda Badung 3/2007 dan Perda Denpasar 5/2007,

dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan di dalam Ruang Lingkup Masalah.

Pada dasarnya Perda-Perda tersebut, termasuk Perda Badung 3/2007 dan

Perda Denpasar 5/2007, memuat pedoman struktur organisasi dan tata kerja

pemerintahan desa. Oleh karena itu perlu diadakan studi pendahuluan mengenai

pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.

Pertama. Pengertian Pedoman. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa,2 mengemukakan beberapa pengertian pedoman. Dua

diantaranya adalah (1) kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana

sesuatu harus dilakukan; dan (2) hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan,

petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.

Pengertian pedoman dapat ditelusuri dari beberapa peraturan

perundang-undangan yang menggunakan judul pedoman, yakni:

1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006

tentang Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup. Di

2

(20)

dalam Lampiran I perihal Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan

Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), A. Penjelasan

Umum, angka 2 perihal Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL,

dijelaskan: “Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai

dasar bagi penyusunan KA-ANDAL ...”. Dengan melakukan abstraksi,

yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti dasar

bagi penyusunan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa struktur organisasi.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2011 tentang

Pedoman Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lampiran. angka II. perihal

Ruang Lingkup Pedoman Evaluasi LAKIP, huruf A perihal Maksud dan

Tujuan, dijelaskan: “Pedoman Evaluasi LAKIP unit kerja di

Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dimaksudkan sebagai panduan

dalam rangka pelaksanaan evaluasi LAKIP.” Dengan melakukan

abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman

berarti panduan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.

Merujuk pada pengertian-pengertian pedoman tersebut di atas, dalam

penelitian ini, pedoman diartikan sebagai dasar bagi penyusunan struktur

organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Kedua, Pengertian Struktur Organisasi. Sondang P. Siagian,3 mendefinisikan

Organisasi sebagai:

setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam suatu ikatan hirakhi dimana selalu terdapat hubungan antara seorang atau

3

(21)

sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.

Pandangan Sondang P. Siagian tersebut tidak jauh berbeda dengan

beberapa pandangan berikut:

1. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa: organisasi adalah sistem hubungan

antara sumber daya (among resources) yang memungkikankan

pencapaian sasaran.

2. James D. Mooney berpendapat bahwa: “Organization is the form of

every human association for the attainment of coomon purpose”

(Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan

bersama.

3. Gitosudarmo, mengemukakan pengertian organisasi adalah suatu sistem

yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur

dan berulang-ulang oleh sekolmpok orang untuk mencapai suatu tujuan.4

Pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur sebagai

berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3)

bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama.

Lazimnya pembahasan tentang organisasi ditinjau dari segi statis dan segi

dinamis. Dikemukakan oleh Sondang P. Siagian,5 berbagai literatur tentang teori

organisasi memberikan petunjuk bahwa para ahli lumrah melakukan pembahasan

tentang organisasi dari dua segi pandangan, yaitu organisasi yang ditelaah dengan

pendekatan struktural dan organisasi yang disoroti dengan pendekatan

4

Terkutip dalam Arifin Tahir, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, Yogyakarta: Deepublish, hlm. 21-22.

5

Sondang P. Siagian, 1982b, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi,

(22)

keperilakuan. Pendekatan yang sifatnya struktural menyoroti organisasi sebagai

wadah. Pendekatan demikian melihat organisasi sebagai sesuatu yang relatif statis.

Berikut dikemukakan, organisasi dalam arti statis adalah wadah tempat

penyelenggaraan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang

hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan

pertanggungjawaban. Pendekatan keperilakuan menyoroti organisasi sebagai

suatu organisme yang dinamik. Pengertian organisasi dari segi dinamikanya

merupakan proses kerjasama yang serasi antara orang-orang di dalam perwadahan

yang sistematis, formal dan hirarkis yang berpikir dan bertindak seirama demi

tercapainya tujuan yang telah ditentukan dengan efisien, efektif, produktif dan

ekonomis yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pertumbuhan baik

dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.

Sebagaimana telah dikemukakan pengertian-pengertian organisasi tersebut

memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat

pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan

bersama. Pada unsur pemimpin dan yang dipimpin menunjukkan adanya hirarki

kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban.

Dengan perkataan lain, di dalam suatu organisasi terdapat susunan hirarkis

kedudukan, jabatan, wewenang, dan pertanggungjawaban. Mengenai hal ini

Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo6, mengemukakan struktur

organisasi atau yang biasa disebut bagan organisasi ialah suatu lukisan yang

dimaksudkan untuk menggambarkan susunan organisasi baik mengenai

fungsi-fungsinya, bidang-bidang pekerjaannya maupun mengenai tingkatan-tingkatannya

6

(23)

atau eselonering, rentang kendali dan sebagainya. Pengertian tentang sebuah

struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara dimana bagian-bagian disusun

menjadi satu kesatuan.

Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai relevan mengutip

beberapa pengertian berikut:7

1. Organization Chart Bagan Organisasi. Gambar struktur organisasi

yang ditunjukkan dengan kotak-kotak atau garis-garis yang disusun

menurut kedudukannya masing-masing memuat fungsi tertentu dan satu

sama lain dihubungkan dengan garis-garis saluran wewenang dan

tanggung jawab.

2. Organization Structure Struktur Organisasi. Kerangka yang terdiri

dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas

serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan serta

hubungan tertentu dalam lingkungan kesatuan yang utuh dalam rangka

mencapai tujuan tertentu.

3. Structural Organization Chart Bagan Organisasi Struktur. Bagan

organisasi yang isinya menunjukkan susunan organisasi dari pucuk

pimpinan sampai dengan satuan-satuan organisasi yang berkedudukan

terbawah dengan mencantumkan sebutan satuan organisasi serta nama

masing-masing satuan organisasi.

Dengan demikian struktur organisasi adalah susunan dari satuan-satuan

organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin

dalam hubungan pertanggungjawaban dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

7

(24)

Ketiga, Pengertian Tata Kerja. Secara etimologis dibentuk oleh kata “tata”

dan kata “kerja”. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,8 mengartikan kata tata,

kerja, dan tata kerja sebagai berikut:

1. tata, merupakan kata benda, berarti aturan (biasanya dipakai dl kata

majemuk); kaidah, aturan, dan susunan; cara menyusun; sistem;

2. kerja, merupakan kata benda, berarti kegiatan melakukan sesuatu;

sesuatu yg dilakukan (diperbuat);

3. tata kerja berarti aturan (sistem dsb) bekerja;

Dari pengertian leksikal tersebut dikaitkan dengan pengertian organisasi,

maka tata kerja dapat diartikan sebagai aturan atau cara melaksanakan tugas dan

wewenang untuk mencapai tujuan organisasi.

Keempat, Pengertian Pemerintahan Desa dan Pemerintah Desa. Di masa

berlakunya UU 32/2004 sebutannya adalah struktur organisasi dan tata kerja

pemerintahan desa, sedangkan dalam masa berlakunya UU 6/2014 sebutannya

adalah struktur organisasi tata kerja pemerintah desa.Uraian dalam bagian ini

dipusatkan pada pengertian Pemerintah Desa.

Struktur organiasi yang dimaksud adalah struktur organisasi Pemerintah

Desa, dan tata kerja yang dimaksud adalah tata kerja Pemerintah Desa. Oleh

karena itu penting merumuskan pengertian Pemerintah Desa. UU 6/2014 telah

merumuskan pengertian itu di dalam Pasal 1 angka 7, yakni “Pemerintah desa atau

yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa." Perangkat

Desa terdiri atas: a. secretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana

teknis (Pasal 8 UU 6/2014).

8

(25)

Kelima, Pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja

Pemerintah Desa. Merujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas, yakni

adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Pengertian-pengertian tersebut merupakan definisi. Definisi, menurut JJ. H.

Bruggink, adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Maksud sebuah

definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian secermat

mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan

oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu. 9

Definisi dirumuskan dalam formulasi definiendum dan definien.

Definiendum adalah perkataan yang harus didefinisikan dan definien adalah

perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi.10 Berikut definisi-definisi

berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa

diringkas dalam tabel berikut:

Tabel 3.2

Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa

DEFINIENDUM DEFINIEN

Pedoman adalah dasar bagi penyusunan.

Struktur Organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban.

Tata Kerja adalah cara melaksanakan tugas dan wewenang. Pemerintah Desa adalah kepala desa dan perangkat desa yang terdiri atas

sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, pelaksana teknis.

Pedoman Struktur

Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa

adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

9

JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 71.

10

(26)

3.3. Kerangka Teoritik

Teori undangan membedakan sumber kewenangan

perundang-undangan atas atribusi kewenangan perundang-perundang-undangan dan delegasi

kewenangan perundang-undangan.

Atribusi kewenangan perundang-undangan adalah pembentukan

kewenangan (-baru) untuk membuat peraturan perundang-undangan, yang

diberikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat undang-undang

atau lembaga lain, atau oleh pembuat undang-undang kepada lembaga lain, dan

lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan

kewenangan yang diterimanya.11

Berbeda dengan atribusi kewenangan perundang-undangan, pada delegasi

perundang-undangan terjadi peralihan kewenangan untuk membentuk peraturan

perundang-undangan. Delegasi kewenangan perundang-undangan adalah

penyerahan kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan tanpa

memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, yang diserahkan oleh

pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris),

dan lembaga yang menerima kewenangan (delegataris) bertanggung jawab atas

pelaksanaan kewenangan yang diterimanya.12

Antara atribusi kewenangan perundang-undangan dan delegasi kewenangan

perundang-undangan terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah

lembaga yang menerima kewenangan bertanggung jawab atas pelaksanaan

11

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi, Malang: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 277-278.

12

(27)

kewenangan yang diterimanya, dan perbedaannya sebagaimana dapat

diungkapkan dalam tabel berikut:13

Tabel 3.3.

Perbedaan Atribusi Kewenangan Perundang-undangan dan Delegasi Kewenangan Perundang-undangan

Kategori Atribusi Kewenangan Perundang-undangan

Delegasi Kewenangan Perundang-undangan Pihak-pihak Kewenangan diberikan oleh

pembentuk UUD kepada pembuat UU atau lembaga lain, atau oleh pembuat UU kepada lembaga lain.

Kewenangan diserahkan oleh pemegang kewenangan atributif (delegans) kepada lembaga lainnya (delegataris). Karakter tidak memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru.

Salah satu jenis peraturan perundang-undangan adalah Peraturan Daerah,

sehingga layak ditegaskan posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik

sumber kewenangan perundang-undangan.

Penetapan materi muatan Peraturan Daerah berdasarkan kriteria umum dan

kriteria khusus. Kriteria Umum, yakni hal-hal yang digali dari asas pemerintahan

daerah (otonomi dan tugas pembantuan) sebagai materi muatan Peraturan Daerah.

Kriteia Khusus, yakni hal-hal yang secara tegas ditentukan sebagai matei muatan

Peraturan Daeah.14

Kriteria khusus penetapan materi muatan Peraturan Daerah (Perda)

hakikatnya merupakan penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. UU 23/2014 (sebelumnya UU 32/2004) menentukan Perda memuat materi

muatan: a. penyelenggaraan Otonomi dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran

13

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 25-26 14

(28)

lebih lanjut keentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 236

ayat (3) UU 23/2014). Materi muatan pada huruf a tersebut merupakan turunan

dari konstitusi.

Pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas

ditentukan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945. Dikaitkan dengan teori

sumber kewenangan perundang-undangan, bermakna sumber kewenangan

pembentukan Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan adalah atribusi perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini

dapat juga disebut Peraturan Daerah atribusian atau Peraturan Daerah berkarakter

atribusi.15

Pembentukan Peraturan Daerah untuk menjabarkan lebih lanjut peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, tidaklah langsung dapat disebut sumber

kewenangannya adalah atribusi undangan atau delegasi

perundang-undangan. Oleh karena secara tersurat (eksplisit) tidak ada dasarnya dalam UUD

NRI 1945, namun secara tersirat (implisit) merupakan konsekuensi logis dari

diterapkannya prinsip hierarki peraturan perundang-unangan dalam UUD NRI

1945. Untuk menentukan sumber kewenangannya dapat diamati dari

kemungkinan Peraturan Daerah bersangkutan dapat memuat inisiatif mengenai

pokok-pokok yang baru atau tidak. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan dapat

memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber kewenangan

pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah atribusi perundang-undangan.

Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah atribusian atau

Peraturan Daerah berkarakter atribusi. Apabila Peraturan Daerah bersangkutan

15

(29)

tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru, maka sumber

kewenangan pembentukan Peraturan Daerah tersebut adalah delegasi

perundang-undangan. Peraturan Daerah semacam ini dapat disebut Peraturan Daerah

delegasian atau Peraturan Daerah berkarakter delegasi.16

Untuk mendapat pemahaman yang lebih jelas mengenai posisi Peraturan

Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan, dapat

disimak bagan berikut.

Bagan 3.1.

Posisi Peraturan Daerah dalam kerangka teoritik sumber kewenangan perundang-undangan

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, yang dikenal dalam tradisi

pembentukan peraturan perundang-undang dan yang telah dituangkan dalam UU 12/2011

(sebelumnya UU 10/2004) mengenal teknik merumuskan kewenangan yang bersifat

diskresioner.

Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (TP3u) Nomor 267 (Pasal 64

ayat (2) UU 12/2011 jo. Lampiran II) menentukan:

Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.

Contoh 1:

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

16

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Ibid., hlm. 285.

PERDA menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi PERATURAN DAERAH (PERDA)

PERDA melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan

tidak dapat memuat inisiatif mengenai pokok-pokok yang baru

ATRIBUSI DELEGASI

(30)

Pasal 90

Pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun kegiatan operasi produksi.

Contoh 2:

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Kabupaten Hulu Sungai Utara

Pasal 28

(2) Penduduk yang tidak mampu melaksanakan pelaporan sendiri terhadap peristiwa kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.

Sifat diskresioner dari suatu kewenangan, sebagaimana ditunjukkan oleh

ketentuan tersebut di atas, bermakna pilihan. Untuk mendapat pemahaman yang

lebih memadai perlu mengkonfirmasikan dengan teori kewenangan diskresi.

Wewenang terdiri atas wewenang terikat dan wewenang bebas. Wewenang

terikat adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya ditentukan mengenai

waktu (kapan) dan keadaan wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan

dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus

diambil. Wewenang bebas adalah wewenang yang oleh peraturan dasarnya

memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk

menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau

peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat yang

bersangkutan.17

Wewenang bebas dikenal dengan istilah diskresi, yang hakekatnya lawan

dari wewenang terikat (gebonden bevoegdheid), dengan esensi ada pilihan

17

(31)

(choise) untuk melakukan tindakan pemerintahan.18 Pemahaman teoritik tentang

diskresi dan implikasinya dalam penormaan adalah:

1. Diskresi memuat esensi pilihan (choise) untuk melakukan tindakan

pemerintahan, yakni memilih di antara dua atau lebih pilihan, atau

memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk mengambil pilihan

di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau tidak melakukan

tindakan.

2. Implikasinya diskresi dalam penormaan adalah perumusan aturan hukum

yang membolehkan subjek kaidah untuk memilih di antara dua atau lebih

pilihan, atau memberikan kebebasan kepada pejabat publik untuk

mengambil pilihan di antara serangkaian tindakan yang mungkin atau

tidak melakukan tindakan. Aturan hukum demikian memiliki karakter

diskresioner.

3. Aturan hukum yang berkarakter diskresioner yang memuat wewenang

bebas hakikatnya merupakan lawan dari aturan hukum yang bersifat

imperatif yang tidak memuat memuat pilihan atau dapat juga disebut

memuat wewenang terikat.19

Teori lain yang digunakan adalah validitas hukum, yang dalam tradisi

perundang-undangan digunakan saat merumuskan konsiderans peraturan

perundang-undangan. Pemahaman validitas hukum sebagai berikut:20

18

Ridwan, 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, hlm. 35, yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon.

19

Marhaendra Wija Atmaja, 2015a, “Penormaan Materi Pokok Yang Diatur”, Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 11.

20

(32)

1. Validitas hukum adalah suatu kualitas hukum, yang menyatakan

norma-norma hukum itu mengikat dan mengharuskan orang berbuat sesuai

dengan yang diharuskan oleh norma-norma hukum. Suatu norma hanya

dianggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma tersebut termasuk ke

dalam suatu sistem norma.

2. Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav

Radbruch mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku

hukum serta kaitannya dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya

hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch

disebut sebagai nilai-nilai dasar dari hukum, yakni keadilan, kegunaan,

dan kepastian hukum.

3. Adanya keterhubungan antara validitas hukum dengan nilai-nilai dasar

hukum, bahwasanya hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya

hukum mencerminkan nilai keadilan, didasarkan pada keberlakuan

sosiologis supaya hukum mencerminkan nilai kegunaan, dan didasarkan

pada keberlakuan yuridis supaya hukum mencerminkan nilai kepastian

hukum.

3.4. Kontribusi Yang Akan Dihasilkan

Kontribusi yang akan dihasilkan dari penelitian ini adalah salah satu sumber

informasi dalam penyusunan Rancangan Perda dan Perdes berkenaan dengan

struktur organissi dan tata kerja Pemerintah Desa berdasarkan kebijakan tentang

(33)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan

langkah-langkah sebagai berikut:21

1. Melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap

pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, yakni UU 6/2014

berikut peraturan pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna:

a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu teks hukum dengan

melakukan kontemplasi terhadap pesan dalam teks hukum dan

mencari relasi di antara bagian-bagian dari teks hukum itu;

b. menjelaskan makna teks hukum itu dan implikasinya terhadap

kepala desa dan perangkat desa dalam konstelasi hubungan tata

kerja pemerintah desa.

2. Melakukan studi empirik: (1) dengan melakukan identifikasi dan

analisis bekerjanya Perda-Perda terkait dan UU 6/2014 serta peraturan

pelaksanaannya; dan (2) untuk mendapatkan data empirik tentang

pengalaman dan pemahaman dari para pejabat di lingkungan SKPD

yang membidangi desa dan dari para kepala desa dan perangkat kepala

21

(34)

desa. Studi empirik dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner

(daftar tanya), wawancara, dan dan FGD.

3. Melakukan analisis terhadap data yang terkumpul (baik data peraturan

maupun data empirik) dan penarikan kesimpulan.

4.2. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara pembacaan dan pencatatan data hukum

perundang-undangan, dengan melakukan klasifikasi sesuai masalah penelitian.

Data empirik diperoleh melalui wawancara kepada SKPD terkait.

4.3. Analisis Data

Merujuk pada Miles dan Huberman, yang membedakan empat tahap dalam

proses analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data tekandung

dalam tiga tahapan terakhir. Penggunaannya dalam penelitian hukum ini adalah

sebagai berikut:22

a. reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, penyedehanaan,

abstraksi data berdasarkan tema-tema yang ditentukan berkenaan

dengan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

b. penyajian data (data display), merupakan proses interpretasi, yakni

proses pemberian makna terhadap unsur-unsur maupun totalitas,

kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian naratif

dan/atau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang diajukan; dan

22

(35)

c. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and

verification), proses akhir analisis adalah penarikan kesimpulan, yakni

memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diajukan, yang

dalam proses penelitian berlangsung setiap kesimpulan terus-menerus

diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh kesimpulan yang valid.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyajian data (data

display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna, terhadap

unsur-unsur maupun totalitas. Untuk melakukan interpretasi tersebut dilakukan

interpretasi berbasis hermeneutika hukum.

Hermeneutika hukum merupakan penerapan hermeneutika pada bidang

hukum yang intinya adalah kegiatan menginterpretasi teks hukum, yakni

pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan dan/atau

peraturan kebijakan. Hermeneutika hukum bekerja berdasarkan prinsip-prinsip

dalam aras lingkaran hermeneutika hukum, yakni:23

1. Berkerja dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang (author), horizon

teks, dan horizon pembaca (reader). Direfleksikan di bidang hukum,

horizon pengarang adalah konteks kelahiran teks hukum (aturan

hukum), horizon teks adalah aturan hukum, dan horizon pembaca

adalah konteks penerapan aturan hukum. Dalam penelitian huku ini,

interpretasi atas peraturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja

23

(36)

pemerintah desa berbasiskan pada tiga horizon tersebut, paling tidak

horizon teks dan horizon konteks penerapan.

2. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara bagian-bagian dan keseluruhan,

sehingga terbentuknya pemahaman secara lebih utuh, yakni tiap ayat

hanya bisa dipahami berdasarkan pemahaman atas pasalnya dan tiap

pasal hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas

undang-undangnya bahkan dengan sistem hukum yang melingkupinya,

sebaliknya undang-undang (sebagai keseluruhan) hanya dapat dipahami

berdasarkan pemahaman atas pasal atau ayat sebagai bagian dari

undang-undang sebagai keseluruhan.

3. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara kaedah dan fakta, yakni proses

timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Penafsir harus

mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan

menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta. Dengan

perkataan lain, penalaran dilakukan dari fakta-fakta ke kaidah-kaidah

dalam aturan hukum (ia mengkualifikasi), untuk kemudian dari

kaidah-kaidah dalam aturan aturan hukum itu ke fakta-fakta (ia

menginterpretasi), dan hal itu terjadi berulang-ulang sampai

menemukan sebuah penyelesaian. Proses ini dari sisi logika disebut

abduksi. Kaidah-kaidah hukum yang dimaksud di sini adalah

kaidah-kaidah hukum dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, dan

yang dimaksud dengan fakta-fakta di sini adalah data yang diperoleh

(37)

4. Interpretasi secara hermeneutikal berlangsung secara holistik dalam

rangkaian keterkaitan satu interpretasi hukum dengan interpretasi

hukum lainnya. Model interpretasi ini digunakan dalam penelitian

hukum ini.

5. Interpretasi secara hermeneutikal memerlukan ketepatan pemahaman

(subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi),

dan ketepatan penerapan (subtilitas applicandi). Tindakan yang

dilakukan dalam penelitian hukum ini adalah memahami teks hukum

dengan cara menafsirkannya, dan menerapkannya dalam bentuk

rekomendasi pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang

(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.1. Bentuk dan Isi Pengaturan Berkenaan dengan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Pada Masa Berlakunya Kebijakan Tentang Desa Tahun 2004 Di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.

Bagian ini mengemukakan hasil penelitian tentang bentuk dan isi

pengaturan berkenaan dengan susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan

Desa pada masa berlakunya kebijakan tentang Desa tahun 2004 di Kabupaten

Badung dan Kota Denpasar.

Perda Badung 3/2007 dan Perda Dnpasar 5/2007 dibentuk pada masa

berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dalam Pasal

13 ayat (1) menyebutkan Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja

Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah (Menimbang huruf a Perda

Badung 3/2007 dan Menimbang huruf c Perda Denpasar 5/2007).

Pasal 13 ayat (1) PP 72/2005 menentukan, ketentuan lebih lanjut mengenai

Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur

dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berikutnya pada ayat (2) menentukan,

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

sekurang-kurangnya memuat: a. tata cara penyusunan struktur organisasi; b.

(39)

Materi muatan Perda Badung 3/2007 dipaparkan berikut ini dikonfirmasikan

dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan dalam tabel

berikut:

Tabel 5.1.

Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan

(1) Pemerintahan Desa terdiri dari: a. Pemerintah Desa;

b. BPD.

(2) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari :

a. Perbekel; b. Perangkat Desa.

(3) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:

a. Sekretaris Desa;

b. Perangkat Desa lainnya. (4) Perangkat Desa lainnya sebagimana

dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari :

a. Sekretariat Desa;

b. Pelaksana Teknis Lapanga; c. Kelian Banjar Dinas.

(5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi budaya masyarakat setempat.

(6) BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah tersendiri.

(1) Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan desa.

(40)

Pasal 4

Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 dilaporkan oleh Perbekel kepada Bupati melalui Camat.

Tugas dan Wewenang Perbekel Pasal 5

(1) Perbekal mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

(2) Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel mempunyai wewenang sebagai berikut :

a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;

b. mengajukan rancangan Peraturan Desa;

c. menetapkan Peraturan Desa setelah mendapat persetujuan dari BPD; d. menyusun dan mengajukan

rancangan Peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

e. membina kehidupan masyarakat desa;

f. membina perekonomian masyarakat desa;

g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipasif;

h. mewakili desa didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan; dan i. melaksanakan wewenang lain

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua

Kewajiban Perbekel Pasal 6

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, Perbekel mempunyai kewajiban :

(41)

melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan

demokrasi;

e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme;

f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintah desa;

g. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang- undangan; h. menyelenggarakan administrasi

pemerintahan desa yang baik; i. melaksanakan dan

mempertanggungjawabkan pelaksanaan keuangan desa; j. melaksanakan urusan yang

menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan

masyarakat di desa; l. membina, mengayomi dan

melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; m. memberdayakan masyarakat dan

kelembagaan di desa;

n. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup;

o. membina kerukunan antar umat beragama di desa.

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perbekel mempunyai kewajiban untuk memberi laporan penyelenggaraan

pemerintahan desa kepada Bupati, memberikan keterangan

pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat;

(42)

kepada Bupati melalui Camat 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.

(4) Laporan keterangan

pertanggungjawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dalam musyawarah BPD. (5) Menginformasikan laporan

penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau

diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainnya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) digunakan oleh Bupati sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan desa dan sebagai bahanpembinaan lebih lanjut.

(7) Laporan akhir masa jabatan Perbekel disampaikan kepada Bupati melalui Camat dan kepada BPD.

Bagian Ketiga Larangan Perbekel Pasal 7

Perbekel dilarang :

a. menjadi pengurus partai politik; b. merangkap jabatan sebagai ketua

dan/atau anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di desa bersangkutan; c. merangkap jabatan sebagai anggota

DPRD;

d. terlibat dalam kampanye pemilighan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah; e. merugikan kepentingan umum,

meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;

f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah/janji jabatan.

(43)

(1) Perangkat Desa bertugas membantu Perbekel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Perangkat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertanggungjawab kepada Perbekel. Pasal 9

(1) Sekretaris Desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Perbekel dan memimpin Sekretaris Desa. (2) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai

Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan, yaitu :

a. berpendidikan paling rendah lulusan SMUatau sederajat;

b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;

c. mempunyai kemampuan dibidang administrasi keuangan dan dibidang perencanaan;

d. mempunyai pengalaman dibidang administrasi keuangan dan dibidang perencanaan; e. memahami sosial budaya

masyarakat setempat; dan f. bersedia tinggal di desa yang

bersangkutan.

(3) Sekretaris Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Sekretaris Daerah atas nama Bupati. (4) Sekretaris Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas :

a. memberikan saran dan pendapat kepada Perbekel;

b. memimpin, mengkoordinasikan, dan mengendalikan serta mengawasi semua unsur serta kegiatan Sekretaris Desa; c. memberikan informasi mengenai

keadaan desa dan Sekretaris Desa; d. merumuskan kegiatan Perbekel; e. melaksanakan urusan surat

menyurat, kearsipan, dan laporan; f. mengadakan dan melaksanakan

persiapan rapat dan mencatat hasil-hasil rapat;

g. menyusun anggaran pendapatan dan belanja desa;

(44)

i. melaksanakan kegiatan

admimistrasi pemerintahan desa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; j. melaksanakan tugas lain yang

diberikan oleh atasan. Pasal 10

(1) Kepala Urusan berkedudukan sebagai unsur pembantu Sekretaris Desa dalam bidang tugasnya.

(2) Kepala Urusan mempunyai tugas melaksanakan kegiatan kesekretariatan desa dalam bidang tugasnya.

(3) Kepala Urusan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi : a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan

urusan pemerintahan, umum, keuangan, pembangunan dan kesejahteraan rakyat sesuai bidang tugasnya masing-masing;

b. Memberikan pelayanan administrasi kepada Sekretaris desa.

Pasal 11

(1) Pelaksana Teknis Lapangan berkedudukan sebagai staf teknis Perbekel dalam bidang tugasnya. (2) Pelaksana Teknis Lapangan

mempunyai tugas membantu perbekel dalam melaksanakan tugasnya yang bersifat teknis.

(3) Pelaksana Teknis Lapangan dalam melaksnakan tugas sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mempunyai fungsi :

a. Melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat teknis;

b. Memberikan pelayanan dan pertimbangan teknis kepada Perbekel.

Pasal 12

(1) Kelian Banjar Dinas berkedudukan sebagai staf operasional Perbekel di wilayah kerjanya.

(2) Kelian Banjar Dinas mempunyai tugas untuk melaksanakan kegiatan Perbekel dalam kepemimpinan Perbekel di wilayah kerjanya.

(45)

a. Melakukan kegiatan Pemerintahan, Pembangunan dan ketertiban masyarakat di wilayah kerjanya; b. Melaksanakan Peraturan Desa di

wilayah kerjanya;

c. Melaksanakan kebijakan Perbekel di wilayah kerjanya.

Hubungan Kerja BAB V HUBUNGAN KERJA

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugasnya Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan prinsip koordinasi dan sinkronisasi.

BAB VI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 14

Dengan berlakunya peraturan daerah ini, susunan organisasi pemerintah desa yang sudah ada masih tetap berlaku, sepanjang ditetapkan yang baru sesuai dengan Peraturan daerah ini.

BAB VI KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Hal-hal lain yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

Pasal 16

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Materi muatan Perda Denpasar 5/2007 dipaparkan berikut ini,

dikonfirmasikan dengan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005, sebagaimana dikemukakan

dalam tabel berikut:

Tabel 5.2.

Materi Muatan Perda Badung 3/2007 Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PP 72/2005 Materi Muatan

(1) Pemerintahan Desa terdiri dari: a. Pemerintah Desa;

b. BPD.

(46)

terdiri dari : a. Perbekel; b. Perangkat Desa. (3) Perangkat Desa terdiri dari:

a. Sekretaris Desa; b. perangkat desa lainnya.

(4) Perangkat Desa lainnya terdiri dari : a. Kepala Urusan;

b. Kepala Dusun; dan

c. Pelaksana Teknis Lapangan. (5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

Tata Cara Penyusunan

(1) Susunan Organisasi Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan dengan Peraturan desa.

(2) Dalam Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan bagan susunan organisasi

Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Kepala Desa.

Pasal 4

(1) Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

(2) Dalam melaksanakan tugas

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai wewenang: a. mengajukan rancangan peraturan

desa;

b. menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan

d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;

(47)

Bagian Kelima Pengangkatan Perangkat Desa

f. membina perekonomian desa; g. mengkoordinasikan

pembangunan desa secara partisipatif:

h. mewakili desanya didalam dan luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan

i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Kepala Desa mempunyai kewajiban : a. memegang teguh dan

mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kesejahtraan

masyarakat

c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat d. melaksanakan kehidupan

demokrasi;

e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;

f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan Desa;

g. mentaati dan menegakan seluruh peraturan perundang-undangan; h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan Desa yang baik; i. melaksanakan dan

mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan Desa; j. melaksanakan urusan yang

menjadi kewenangan Desa; k. mendamaikan perselisihan

masyarakat di Desa;

(48)

melastarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat; n. memberdayakan masyarakat dan

kelembagaan di Desa; dan o. mengembangkan potensi sumber

daya alam dan melestarik lingkungan hidup;

(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk

memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada Walikota memberikan laporan keterangan pertanggung jawaban kepada BPD, dan menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan Desa kepada masyarakat.

(3) Laporan penyelenggaraan pemerintah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Walikota melalui Camat 1 (satu) kali dalam satu tahun.

(4) Laporan keterangan pertangung jawaban kepada BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan 1 (satu) kali dalam satu tahun dalam musyawarah BPD.

(5) Menginformasikan laporan penyelengaraan pemerintah Desa kepada masyarakat sebagimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau

diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat Desa, radio komunitas atau media lainya. (6) Laporan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) digunakan oleh Walikota sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan Pemerintah Desa dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut.

(7) Laporan akhir masa jabatan Kepala Desa disampaikan kepada Walikota melalui Camat dan kepada BPD

Pasal 6

(1) Kepala Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan /atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan Desa.

(49)

sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APB Desa.

(3) Penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum

Regional Kota

Pasal 7

Kepala Desa dilarang :

a. menjadi pengurus partai politik; b. merangkap jabatan sebagai Ketua dan/

atau Anggota BPD dan lembaga kemasyarakatan di Desa bersangkutan;

c. merangkap jabatan sebagai Anggota DPRD;

d. terlibat dalam kampanye pemilihan umum, pemilihan Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah; e. merugikan kepentingan umum,

meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain;

f. melakukan Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, menerima uang barang dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menyalahgunakan wewenang; dan h. melanggar sumpah / janji jabatan.

Pasal 8

Masa jabatan Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Bagian Kedua

Tugas, Wewenang, Kewajiban dan Hak Sekretaris Desa,

Pasal 9

(1) Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil memenuhi

persyaratan,yaitu

a. berpendidikan paling rendah lulusan Sekolah Menengah Umum atasederajat;

b. mempunyai pengetahuan tentang teknis pemerintahan;

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3.
Tabel 5.1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masalah penelitian ini adalah (1) seberapa tinggi tingkat kedisiplinan para siswa kelas VIII SMP N 2 Gantiwarno Tahun Ajaran 2012/2013 dalam mengikuti kegiatan

Tama, perkawinan antar-agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang

Tujuan teoritis penelitian ini adalah untuk mengetahui motif yang mendasari tindakan bunuh diri Yoshihide sehingga membantu pembaca untuk lebih memahami karya

maka !aktur penjualan ini merupakan media tunggal. 5ika setiap !aktur penjualan dapat.. digunakan dengan merekam beberapa prduk sekaligus, !aktur ini merupakan

Solusi untuk kendala dalam mensosialisasikan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2010, peneliti dapat memberikan solusi seharusnya saat diberlakukan

Inspirasi yang diberikan dapat berupa terobosan yang pernah dilakukan oleh tokoh tersebut dalam perkembangan musik, ide-ide serta teknik komposisi, produktivitas

Menyatakan bersedia dan sukarela menjadi panelis untuk uji iritasi dan penentuan kemampuan sediaan untuk mengurangi penguapan air dari kulit dalam penelitian dari Yoan Handoko

Pelaksanaan tindakan dimulai dari siklus I yang dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan, dimana evaluasi diberikan pada saat pertemuan kedua dengan memberikan tes