viii ABSTRAK
Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Tingkat Penghasilan Orang Tua
Studi Kasus pada Siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan sikap siswa kelas VIII terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua. Jenis penelitian ini termasuk penelitian studi kasus.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Yogyakarta pada bulan Februari 2016 –April 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII berjumlah 339. Sampel berjumlah 120 responden diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah Mann Whitney untuk variabel jenis kelamin dan Kruskal-Willis untuk variabel tingkat penghasilan orang tua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin (nilai Asymp.
Sig atau nilai probabilitas 0,313), (2) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP
ix ABSTRACT
ATTITUDES OF STUDENTS TOWARDS CHEATING BEHAVIOR
PERCEIVED FROM GENDER AND LEVEL OF PARENT’S INCOME
A Case Study on the Eighth Grade Students of Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Sanata Dharma University
2016
This study aims to determine whether there is difference in the attitude of the eighth grade students towards cheating behavior perceived from gender and income level of the parents. This study is a case study.
The research was conducted at Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakartafrom February 2016 to April 2016. The population in this study were 339 students. The samples were 120 respondents drawn by applying purposive sampling technique. Data were collected by questionnaires. Data analysis technique were Mann Whitney test for variables sex and Kruskal-Willis for variable income levels of parents.
i
SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENCONTEK
DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN TINGKAT
PENGHASILAN ORANG TUA
Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Ekonomi Kekhususan Pendidikan Akuntansi
Oleh:
SIWI DWI PANGESTU
NIM : 121334004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN EKONOMI
BIDANG KEAHLIAN KHUSUS PENDIDIKAN AKUNTANSI JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Dengan penuh kasih dan sukacita
kupersembahkan dengan sepenuh hati
karya sederhanaku ini untuk:
Tuhan Yesus Kristus,
Kedua Orang Tuaku dan Kakakku Ismoyo Djati,
My Beloved Danang Kristiawan,
Sahabatku: Vena,Ella,Mitha,Natal,Siska,Gisel,Helen
Semua Teman-temanku,
Semua Keluargaku, dan
v
MOTTO
Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu,
dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.
Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu
(Amsal 3: 5-6)
Never think you are ugly
or fat or anything...
God created you the way
you are for a reason...
and God doesn’t
vi
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 28 Juli 2016
Penulis
vii
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Univesitas Sanata Dharma:
Nama : Siwi Dwi Pangestu
Nomor Mahasiswa : 121334004
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
SIKAP SISWA TERHADAP PERILAKU MENCONTEK DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN TINGKAT PENGHASILAN ORANG TUA
Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada Tanggal : 28 Juli 2016
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Tingkat Penghasilan Orang Tua
Studi Kasus pada Siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Kota Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Universitas Sanata Dharma
2016
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan sikap siswa kelas VIII terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin dan tingkat penghasilan orang tua. Jenis penelitian ini termasuk penelitian studi kasus.
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 10 dan SMP Maria Immaculata Yogyakarta pada bulan Februari 2016 –April 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII berjumlah 339. Sampel berjumlah 120 responden diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik kuesioner. Teknik analisis data yang digunakan adalah Mann Whitney untuk variabel jenis kelamin dan Kruskal-Willis untuk variabel tingkat penghasilan orang tua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP terhadap perilaku mencontek yang ditinjau dari jenis kelamin (nilai Asymp.
Sig atau nilai probabilitas 0,313), (2) tidak ada perbedaan sikap siswa SMP
ix ABSTRACT
ATTITUDES OF STUDENTS TOWARDS CHEATING BEHAVIOR
PERCEIVED FROM GENDER AND LEVEL OF PARENT’S INCOME
A Case Study on the Eighth Grade Students of Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakarta
Siwi Dwi Pangestu Sanata Dharma University
2016
This study aims to determine whether there is difference in the attitude of the eighth grade students towards cheating behavior perceived from gender and income level of the parents. This study is a case study.
The research was conducted at Ten State Junior High School and Maria Immaculata Junior High School in Yogyakartafrom February 2016 to April 2016. The population in this study were 339 students. The samples were 120 respondents drawn by applying purposive sampling technique. Data were collected by questionnaires. Data analysis technique were Mann Whitney test for variables sex and Kruskal-Willis for variable income levels of parents.
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha
Pengasih dan Maha Murah atas berkat, rahmat, dan kasih-Nya yang telah
dilimpahkan sehingga dengan segala keterbatasan yang ada, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat oada waktunya. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Akuntansi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulisan skripsi ini mengalami banyak tantangan dan hambatan yang
merupakan pelajaran yang berharga bagi penulis. Namun akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Selama penyusunan skripsi yang berjudul Sikap Siswa SMP Terhadap
Perilaku Menyontek ditinjau dari Jenis Kelamin dan Pekerjaan Orang Tua ini,
penulis mendapat banyak bimbingan, saran, masukan dan dukungan dari berbagai
pihak. Maka pada kesempatan ini penulis dengan sepenuh hati menyampaikan
rasa terima kasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sanata Dharma
xi
3. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Akuntansi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Bapak Drs. Bambang Purnomo, S.E., M.Si. Selaku dosen pembimbing
skripsi, yang dengan sabar dan tulus membimbing penulis menyusun
skripsi, memberikan saran, masukan, semangat, dorongan serta pelajran
hidup yang berharga.
5. Bapak Dr. S. Widanarto Prijowuntanto, S.Pd, M.Si. yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini.
6. Semua karyawan di sekretariat Pendidikan Akuntansi atas segala
keramahannya dalam membantu penulis selama kuliah di Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
7. Bapak Petrus Supraptijan, Bapakku, yang telah berjuang dengan seluruh
tenaganya sehingga penulis bisa menempuh pendidikan hingga perguruan
tinggi serta selalu memberikan dukungan dan semangat selama kuliah.
8. Titin Sumarni, Ibukku, yang selalu dan tak pernah berhenti memberi doa,
saran, dukungan, semangat, kasih sayang selama menjalani perkuliahan ini
serta tak pernah jenuh mendengarkan keluh kesahku.
9. Kakakku, Mas Ismoyo Djati, S.E. yang selalu memberi dukungan, saran ,
dan masukan.
10. Mbah Kasiati, Lek Agus, Mba Khoir yang selalu mendukungku dengan
xii
11. Yang terkasih, Danang Kristiawan, yang selalu menemaniku serta selalu
memberikan semangat dan dukungan.
12. Mba Kembar, Mba Rury dan Mba Mbul yang selalu menemaniku dalam
mengerjakan skripsi ini serta memberikan dorongan dan semangat di saat
aku lelah dan galau.
13. Bude Mur yang selalu mengingatkanku untuk mengerjakan skripsi.
14. Teman-teman yang paling kusayang (Vena, Ella, Gisel, Helen, Markodil,
Natal, Mbokde, Mita) yang saling memberikan dukungan dan semangat.
15. Rekan-rekan dalam mengerjakan skripsi (Ocep, There, Mega, Tombol,
Mamik).
16. Teman-Teman PAK’12 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
17. Kepala Tata Usaha dan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 10 Yogyakarta yang
telah bersedia membantu dalam proses pengisian kuesioner.
18. Ibu Novi dan Siswa Kelas VIII SMP Maria Immaculata Yogyakarta yang
telah bersedia membantu dalam proses pengisian kuesioner.
19. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan kepada
penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran, kritik, dan
masukan sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xix
xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian... 8
D. Manfaat Penelitian... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10
A. Pendidikan Karakter dan Nilai Pendidikan Karakter ... 10
B. Sikap... 11
C. Mencontek ... 15
D. Remaja... 19
E. Gender ... 28
F. Penghasilan Orang Tua ... 32
G. Kerangka Berpikir ... 34
H. Hipotesis... 36
BAB III METODE PENELITIAN... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 39
D. Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel ... 39
xv
F. Teknik Pengumpulan Data ... 47
G. Teknik Pengujian Instrumen Penelitian ... 51
H. Teknik Analisis Data ... 60
BAB IV GAMBARAN UMUM ... 66
A. SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 66
B. SMP Maria Immaculata Marsudirini Yogyakarta... 74
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 81
A. Deskripsi Penelitian ... 81
B. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 85
C. Pengujian Hipotesis... 91
D. Pembahasan... 95
BAB VI KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN ... 99
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran... 99
C. Keterbatasan ... 100
DAFTAR PUSTAKA ... 101
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai-nilai Karakter dan Deskripsi Karakter ... 10
Tabel 3.1 Nama Sekolah dan Jumlah Siswa ... 40
Tabel 3.2 Skor Skala Likert dalam Kuesioner ... 46
Tabel 3.3 Operasional Variabel Sikap Mencontek ... 48
Tabel 3.4 Rincian Item Favourable dan Unfavourable ... 50
Tabel 3.5 Hasil Pengujian Validitas ... 51
Tabel 3.6 Hasil Pengujian Validitas Kedua ... 54
Tabel 3.7 Hasil Pengujian Validitas Ketiga ... 56
Tabel 3.8 Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Koefisien Korelasi ... 59
Tabel 3.9 Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian... 60
Tabel 3.10 Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe II ... 61
Tabel 3.11 Rentang Skor Variabel Sikap Mencontek ... 62
Tabel 4.1 Jumlah Guru dan Pegawai SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 71
Tabel 4.2 Jumlah Siswa SMP Negeri 10 Yogyakarta ... 72
xvii
Tabel 4.4 Jumlah Guru dan Pegawai SMP Maria Immaculata Yogyakarta ... 80
Tabel 4.5 Jumlah Siswa SMP Maria Immaculata Yogyakarta ... 80
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Asal Sekolah... 81
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Status Sekolah ... 82
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua ... 83
Tabel 5.5 Perhitungan dan Interpretasi Penilaian Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek ... 84
Tabel 5.6 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki... 85
Tabel 5.7 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki... 86
xviii
Tabel 5.9 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku
Mencontek Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua
Rp 2.000.000–Rp 5.000.000 ... 88
Tabel 5.10 Hasil Pengujian Normalitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku
Mencontek Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua
> Rp 5.000.000... 89
Tabel 5.11 Hasil Uji Homogenitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek
Berdasarkan Jenis Kelamin ... 90
Tabel 5.12 Hasil Uji Homogenitas Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek
Berdasarkan Tingkat Penghasilan Orang Tua... 90
Tabel 5.13 Hasil Uji Mann Whitney ... 93
xix
DAFTAR GAMBAR
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran ... 104
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian... 105
Lampiran 2 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 112
Lampiran 3 Uji Prasyarat Analisis ... 119
Lampiran 4 Uji Hipotesis ... 124
Lampiran 5 Data Induk Penelitian ... 127
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Hal ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk
selalu berkembang dalam dunia pendidikan. Pemerintah Indonesia juga
mencanangkan tentang pendidikan yaitu yang disebut dengan Pendidikan
Nasional. Pendidikan Nasional sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1993, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh,
cerdas, kreatif. Terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional,
bertanggung jawab dan produktif serta sehat jasmani dan rohani (Sekretariat
Republik Indonesia, 1993).
Tetapi tujuan yang sangat baik itu nampaknya sukit tercapai apabila
pelajar dan mahasiswa di Indonesia sering berbuat curang, tidak jujur serta
asal-asalan pada saat ujian, yaitu dengan mencontek. Perilaku menyontek
merupakan suatu upaya yang dilakukan pelajar dan mahasiswa untuk
mendapatkan nilai yang baik. Beberapa alasan lainnya pelajar/mahasiswa
menyontek adalah agar mendapatkan pujian dari orang tua, guru, dan
teman-temannya; tidak siap dalam ulangan/ujian; tidak percaya diri; kesulitan
antar teman. Bila hal ini terus-menerus dibiarkan maka dapat dipastikan
pendidikan di Indonesia akan mengalami kemunduran.
Perilaku menyontek menjadi fenomena yang perlu diperhatikan
dalam dunia pendidikan. Kebanyakan siswa di SD, SMP, SMA/K maupun
mahasiswa di perguruan tinggi pernah menyontek. Menyontek dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti menulis di atas meja, menulis di
kertas/tissue, menulis di anggota tubuh, bertanya kepada teman, searching
menggunakan ponsel, melihat dan menyalin jawaban teman, menyontek
dengan buku yang diletakkan di laci atau di WC, dan lain-lain.
Dunia pendidikan perlu mengikis perilaku menyontek ini. Perilaku
menyontek merupakan bagian dari ketidakjujuran. Ketika dunia pendidikan
membiarkan ketidakjujuran ini berlanjut, maka akan memberikan dampak
pada pembangunan karakter manusia Indonesia. Pencurian, korupsi,
penipuan, dan plagiarisme yang marak terjadi merupakan contoh dari
kegagalan dunia pendidikan dalam membentuk karakter peserta didik.
Keberhasilan setiap siswa dalam dunia pendidikan dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor intern seperti motivasi, cara belajar, kelengkapan
sarana dan prasarana pendidikan serta faktor ekstern seperti lingkungan
sekolah, lingkungan keluarga (orang tua) maupun lingkungan masyarakat.
Di dalam lingkungan keluarga, banyak faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan, salah satunya yaitu latar
pendapatan yang pada akhirnya akan menentukan berbagai kebutuhan
pendidikan siswa.
Seorang siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang
pekerjaan yang berpenghasilan tinggi, semua kebutuhan dapat dipenuhi,
seperti misalnya sekolah di pendidikan formal, selain itu orang tua juga
mampu memasukkan anaknya di pendidikan non formal (bimbingan belajar)
agar mereka lebih dapat memahami materi yang diajarkan di sekolah.
Begitupun sebaliknya, siswa yang memiliki orang tua dengan latar belakang
pekerjaan yang berpenghasilan rendah, fasilitas tidak dapat terpenuhi
sehingga dituntut untuk memikirkan kebutuhan lain sehingga anak tidak ada
waktu untuk belajar.
Sebuah tinjauan lingkungan kemiskinan anak menyimpulkan bahwa
dibanding dengan rekan-rekan yang lebih diuntungkan secara ekonomi,
anak-anak miskin mengalami kesengsaraan. Menurut Evans (2004) dalam
Santrock (2014 : 163) lebih banyak konflik keluarga, kekerasan, kekacauan
dan pemisahan keluarga dari mereka, kurang dukungan sosial; kurang
stimulasi intelektual; lebih banyak menonton TV, fasilitas sekolah dan
perawatan anak rendah, serta orang tua yang kurang terlibat dalam kegiatan
sekolah mereka, lebih banyak polusi dan ramai, rumah berisik, dan lebih
berbahaya, memburuknya lingkungan. Dengan adanya pendapat tersebut
dapat memungkinan mereka malas untuk belajar dan dapat menimbulkan
Fakta tentang perilaku ketidakjujuran di dunia pendidikan biasanya
banyak terjadi saat menjelang ujian. Hal ini di dukung oleh hasil penelitian
dari Hartanto dalam Kharisma (2014: 21) menunjukkan bahwa intensitas
perilaku menyontek di SMP Swasta di daerah Pondok Cabe Jakarta, berada
pada posisi sedang (53,3%), rendah (33,3%), dan tinggi (13,3%). Bentuk
perilaku menyontek yang biasa dilakukan oleh peserta didik antara lain
melihat, menyalin, dan meminta jawaban dari teman-temannya.
Selain itu, ada fakta lain mengenai perilaku menyontek di kota
Yogyakarta. Kota yang dikenal dengan sebutan “Kota Pelajar” ini
dinobatkan sebagai daerah yang memiliki nilai Indeks Integritas Ujian
Nasional (IIUN) tertinggi di Indonesia pada tahun 2015 (Harian Republika,
2015 tanggal 19 Mei). Berdasarkan data laporan hasil UN dan IIUN per
kabupaten/kota yang masuk ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), kota Yogyakarta meraih nilai tertinggi, yakni sekitar 82,37
dengan rata-rata nasional 63,28.
Tetapi di sisi lain, seorang siswa Sekolah Menengah Umum (SMU)
favorit di Surabaya melakukan penelitian terhadap 98 teman sekolahnya
menemukan bahwa 80 % dari sampel penelitiannya itu pernah mencontek.
80 % tersebut, 52 % tergolong sering mencontek dan 28 % jarang
(Widiawan, 1997). Menurut Info Aktual Muda (24 Juli 1999),
pelajar-pelajar dari SD (Sekolah Dasar), SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama)
dan SMU (Sekolah Menengah Umum) bahkan mahasiswa banyak yang
bahkan mahasiswa S-2 yang sudah dianggap lebih dewasa pun ada yang
melakukan tindakan kecurangan ini. Hal tersebut menjadi suatu yang
biasa-biasa saja karena seringnya orang melihat kecurangan-kecurangan seperti
itu. (Majalah Pelajar Kuntum, Maret 1998). Tindakan mencontek bukan lagi
menjadi hal yang memalukan, asalkan tidak diketahui guru atau dosen, tidak
menjadi masalah yang penting nilai bagus. Halal atau tidaknya cara itu
tampaknya tidak terlalu dipermasalahkan, yang penting nilai baik dan bagus
tanpa harus belajar dengan keras.
Di samping itu, perilaku menyontek juga disebutkan dalam website
komunitas air mata guru (www.komunitasairmataguru.blogspot.co.id).
Dalam website tersebut disebutkan banyak kecurangan-kecurangan dalam
UN baik yang dilakukan oleh siswa dan guru. Selain itu, hasil penelitian
longitudinal Anderman dalam Mubiar (2011: 4) menunjukkan bahwa
menyontek sering dilakukan siswa SMP dikarenakan adanya perubahan
keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa. Hal ini disebabkan karena
siswa mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah,
struktur kelas, dan lingkungan sekolah yang kompetitif.
Sekolah Menengah Pertama merupakan salah satu jenjang pendidikan
yang dilalui oleh peserta didik. Pada jenjang ini, peserta didik dihadapkan
pada perkembangan mental dan moral. Menurut Anderman dalam Mubiar
(2011 : 4), pada usia 12-15 tahun yang umumnya individu duduk di bangku
sekolah dasar serta banyak hal baru yang menuntut individu untuk
menyesuaikan diri, terutama pada siswa kelas VII.
Perubahan keadaan lingkungan belajar mengakibatkan siswa
melakukan tindakan mencontek. Mereka menganggap tindakan itu sebagai
bentuk solidaritas antar teman. Menyontek biasanya dilakukan pada
pelajaran matematika dan ilmu alam atau ilmu pasti, dibandingkan dengan
pelajaran lainnya. Menyontek biasanya terjadi pada waktu ulangan atau
ujian.
Setiap orang memiliki sikap maupun perilaku yang berbeda-beda
terhadap suatu objek atau stimulus begitu pun sikap siswa SMP yang
berbeda-beda terhadap perilaku mencontek. Gunarsa (1991) mengatakan
bahwa terdapat perbedaan pada laki-laki dan perempuan, yaitu jika
perempuan lebih mengandalkan aspek-aspek emosional, perasaan dan
suasana hati sedangkan untuk laki-laki lebih terlihat agresif, lebih aktif dan
tidak sabaran dalam menyelesaikan masalah. Tetapi di sisi lain, secara
psikologis dan fisiologis ternyata laki-laki dan perempuan mempunyai
perkembangan yang berbeda. Seorang perempuan lebih mempunyai sifat
keibuan yang lemah lembut, berperasaan dan lebih feminin. Sedangkan
laki-laki mempunyai sifat yang maskulin, kasar, lebih perkasa dan lebih
pemberani dibandingkan dengan perempuan.
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena
laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada perempuan.
cita-citanya daripada perempuan. Sifat perempuan berbeda dengan laki-laki.
Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya pembagian dan pembatasan
yang jelas antara pikiran, rasio, dan emosionalitas. Jalan pikirannya tidak
dikuasai oleh emosi, perasaan ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih
banyak tertuju pada pekerjaan dengan kecenderungan mementingkan
keseluruhannya dan kurang memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa &
Gunarsa, 1991). Dalam beraktivitas pun seorang pria lebih agresif, lebih
aktif dan tidak sabar karena itu sifat pria lebih cenderung tidak mau
menunggu, kurang tekun dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan
hidup dan cepat putus asa.
Banyaknya pendapat dan pernyataan parah tokoh serta fenomena di
atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengetahui secara nyata, jelas, dan
secara dekat tentang kenyataan sebenarnya mengenai sikap siswa SMP
terhadap perilaku mencontek. Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitan dengan judul: Sikap Siswa Terhadap Perilaku
Mencontek Yang Ditinjau Dari Jenis Kelamin dan Tingkat Penghasilan
Orang Tua. Studi Kasus pada siswa kelas VIII di SMP Negeri 10 dan SMP
Maria Immaculata Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada perbedaan sikap siswa/siswi terhadap perilaku
2. Apakah ada perbedaan sikap siswa/siswi terhadap perilaku
mencontek yang ditinjau dari tingkat penghasilan orang tua?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu:
1. untuk mengetahui tentang perbedaan sikap siswa/siswi terhadap
perilaku mencotek yang ditinjau dari jenis kelamin.
2. untuk mengetahui tentang perbedaan sikap siswa/siswi terhadap
perilaku mencotek yang ditinjau dari tingkat penghasilan orang tua.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, siswa, dan
sekolah dan perguruan tinggi.
1. Guru
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi guru dalam mengetahui dan
mencegah perilaku menyontek siswa-siswa SMP. Sehingga, hasil
ujian/ulangan yang dihasilkan benar-benar merupakan hasil belajar
siswa dan mencerminkan kemampuan siswa yang sesungguhnya.
Dengan demikian, pengambilan keputusan terkait dengan nilai yang
dihasilkan siswa tidak bias.
2. Siswa
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi siswa. Siswa lebih
menyadari tentang kemampuan yang dimiliki dan dapat
3. Sekolah dan Perguruan Tinggi
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi sekolah dan perguruan
tinggi dalam mengimplementasikan pendidikan karakter khususnya
kejujuran dalam belajar. Implementasi pendidikan karakter dapat
dimulai dari hal-hal yang sederhana, salah satunya adalah mendidik
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Karakter dan Nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan
karakter. Pendidikan diartikan sebagai suatu usaha sadar dan terencana
untuk menciptakan seseorang yang dapat berguna di masa yang akan
datang, sedangkan karakter adalah suatu atribut yang membentuk dan
membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan komplesitas, mental satu orang
dengan orang lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter merupakan usaha yang sungguh-sungguh dilakukan dan
mampu menciptakan ciri pribadi yang berbeda antara orang satu dan
lainnya. Pendidikan karakter memiliki makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak, yang mana tujuannya adalah untuk
membentuk karakter pribadi anak supaya menjadi manusia dan warga
negara yang baik.
Secara universal, berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup
bersama berdasarkan beberapa pilar yaitu: kedamaian, menghargai,
kerjasama, kebebasan, kebahagian, kejujuran, kerendahan hati, kasih
sayang, tanggung jawab, kesederhahaan, toleransi, dan persatuan (Samani,
2013 : 43). Nilai-nilai karakter tersebut dijabarkan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 2.1 Nilai-Nilai Karakter dan Deskripsi Karakter No. Nilai Karakter Deskripsi
gangguan, serta suka akan ketenangan.
2 Menghargai Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Bersikap beradab, sopan, tidak melecehkan, tidak menghina orang lain, dan tidak menilai orang lain sebelum mengenalnya dengan baik.
3 Kerjasama Saling membantu untuk mencapai sebuah tujuan.
4 Kebebasan Tidak adanya paksaan/tekanan yang sengaja mendesak seseorang untuk bertidak melawan kehendak diri sendiri.
5 Kebahagian Suatu keadaan di mana hadir kesenangan, ketentraman, dan kepuasan terhadapa apa-apa yang telah dicapai.
6 Kejujuran Menjunjung tinggi kebenaran, ikhlas dan lurus hari, tidak suka berbohong, mencuri dan memfitnah, tidak pernah bermaksud menjerumuskan orang lain.
7 Kerendahan Hati Mengakui adanya peranan dan jasa orang lain dan tidak pernah menonjolkan diri.
8 Kasih sayang Memiliki dan menunjukkan perasaan penuh kasih sayang, mencintai, dan bersikap penuh kelembutan
9 Tanggung Jawab Melakukan tugas sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras mencapai prestasi terbaik, mampu mengontrol diri, dan berdisplin diri.
10 Kesederhanaan Suatu keadaan tentang bagaimana berlaku sederhana, tidak pamer, bermewah-mewah, tidak berpikiran melit, dan rumit.
11 Toleransi Menerima secara terbuka orang lain yang tingkat kematangan dan latar belakang yang berbeda.
12 Persatuan Menjalin rasa kebersamaan dan saling melengkapi satu sama lain, serta menjalin rasa kemanusiaan dan saling toleransi.
B. Sikap
1. Pengertian Sikap
Pengertian sikap didefinisikan berbeda-beda oleh para ahli.
terhadap hal-hal yang ditemuinya seperti benda, orang ataupun fenomena.
Sikap membutuhkan stimulus untuk menghasilkan respon. Sikap
merupakan perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada suatu objek. Istilah sikap
atau attitude pada awalnya digunakan untuk menunjukkan status mental
individu. Sikap dapat menuntun perilaku individu sehigga individu akan
bertindak sesuai dengan sikap yang diekspresikan. Kesadaran individu
untuk menentukan tingkah laku nyata dan perilaku yang mungkin terjadi
itulah yang dimaksud dengan sikap.
Kurinasih (2014, 65) mendefinisikan sikap sebagai sebuah
ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh
seseorang. Selanjutnya Kurinasih menjelaskan bahwa sikap dapat
dibentuk, sehingga terjadi perilaku atau tindakan yang diinginkan.
Ahmadi dalam Sukarmin (2009), menyatakan bahwa sikap merupakan
kesiapan merespon yang sifatnya positif atau negative terhadap objek atau
situasi secara konsisten. Winkel (1999) memiliki pendapat yang berbeda
dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Winkel (1999) berpendapat
bahwa sikap merupakan kemampuan internal yang berperanan sekali
dalam mengambil tindakan, lebih-lebih jika terbuka berbagai
kemungkinan untuk bertindak.
Dari pengertian-pengertian sikap di atas, dapat disimpulkan
bahwa sikap merupakan nilai yang dimiliki seseorang dalam merespon
2. Komponen Sikap
Azwar (2005) menggolongkan komponen-komponen sikap ke
dalam tiga komponen yaitu:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif yakni kepercayaan seseorang mengenai
apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan yang dibentuk menjadi
dasar pengetahuan seseorang terhadap objek yang diharapkan.
b. Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif
sesorang terhadap suatu objek sikap. Reaksi emosional dari komponen
afektif banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang dipercayai bagi
objek tertentu.
c. Komponen Konatif
Komponen konatif menunjukkan perilaku yang ada dalam diri
seseorang yang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
3. Faktor pembentuk sikap
Faktor-faktor pembentuk sikap individu menurut Azwar (2005)
yaitu:
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi meninggalkan kesan yang kuat dan dapat
apabila pengalaman pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional.
b. Kebudayaan
Kebudayaan menanamkan pengaruh sikap terhadap berbagai
masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya,
karena kebudayaan memberi corak pengalaman individu-individu yang
menjadi anggota kelompok masyarakat.
c. Orang Lain yang Dianggap Penting
Pada umumnya individu cenderung memiliki sikap konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Kecenderungan ini dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan
keinginan untuk menghindari konflik dengan orang dianggap penting.
d. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, media massa seperti televisi, radio,
surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dalam penyampaian
informasi, media massa memberikan pesan-pesan yang berisi sugesti
yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan sugesti tersebut
apabila cukup kuat akan memberi dasar efektif dalam menilai suatu hal
sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Pemahaman baik dan buruk, sesuatu yang boleh dan tidak
moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan, maka
konsep tersebut ikut berperan dalam menetukan sikap individu
terhadap suatu hal.
f. Emosional
Suatu bentuk sikap pernyataan yang didasari oleh emosi
berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego.
C. Menyontek
1. Pengertian Menyontek
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008),
menyontek berasal dari kata sontek yang berarti melanggar, mencontoh,
menggocoh yang artinya mengutip tulisan, dan lain sebagainya
sebagaimana aslinya, menjiplak. Sedangkan Anderman dan Murdock
dalam Purnamasari (2013) menyatakan bahwa perilaku kecurangan
akademik merupakan penggunaan segala kelengkapan dari materi ataupun
bantuan yang tidak diperbolehkan digunakan dalam tugas-tugas akademik
dan atau aktivitas yang mengganggu proses asesmen.
Bower dalam Purnamasari, (2013) mendefinisikan cheating adalah
perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang
sah dan terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademik untuk
menghindari kegagalan akademik. Sedangkan menurut Pincus &
tindakan curang yang sengaja dilakukan ketika seseorang mencari dan
membutuhkan adanya pengakuan atas hasil belajarnya dari orang lain
meskipun dengan cara yang tidak sah seperti memalsukan informasi
terutama ketika dilaksanakannya evaluasi akademik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
menyontek adalah kegiatan, tindakan atau perbuatan yang dilakukan
secara sengaja dengan menggunakan cara-cara yang tidak jujur atau
curang untuk memalsukan hasil belajar dengan menggunakan bantuan atau
memanfaatkan informasi dari luar secara tidak sah pada saat dilaksanakan
tes atau evaluasi akademik untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Faktor-faktor penyebab menyontek
Salah satu alasan yang mendorong individu untuk menyontek
adalah untuk memuaskan harapan orang tua. Santrock (2003) mengatakan
bahwa tidak jarang orang tua dalam mengasuh atau mendidik
anak-anaknya dipengaruhi oleh keinginan atau ambisi dari orang tua tanpa
melihat kemampuan anaknya. Orang tua bermaksud ingin memberikan
yang terbaik bagi anak-anaknya, namun keinginan tersebut tidak
memperhatikan kemampuan anak.
Sikap orang tua yang mengharapkan terlalu berlebihan pada anak
akan menghambat anak untuk menunjukkan prestasi sesuai dengan potensi
yang dimiliki. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1991) biasanya anak
menuntut dapat menyebabkan anak merasa takut kehilangan kasih sayang
dari orang tuanya. Hal ini menimbulkan rasa rendah diri, gangguan
tingkah laku, berkurangnya motivasi untuk belajar serta ketegangan atau
kecemasan dalam diri anak.
Agustin (2014) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan
siswa menyontek pada saat ujian. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa
angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam tes formatif atau sumatif.
b. Pendidikan moral, baik di rumah maupun di sekolah kurang diterapkan
dalam kehidupan siswa.
c. Sikap malas yang tertanam dalam diri siswa sehingga ketinggalan
dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab.
d. Anak remaja sering menyontek daripada anak SD, karena masa remaja
bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di
kalangan teman-teman sekelasnya.
e. Kurang mengerti arti dari pendidikan.
Disadari atau tidak, siswa yang menyontek pada saat ujian disebabkan oleh
satu atau lebih faktor-faktor di atas.
Perilaku menyontek ini akan mengakibatkan perilaku atau watak
tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak mau
membaca buku pelajaran tetapi rajin membuat catatan kecil-kecil untuk
bahan menyontek, menghalalkan segala macam cara, dan akhirnya
demikian tampak bahwa perilaku menyontek secara tidak langsung
membelajarkan pada siswa untuk menjadi seorang koruptor.
3. Bentuk-Bentuk Menyontek
Bentuk-bentuk perilaku menyontek menurut Hetherington and
Feldman dalam Veronikha (2013) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Social Active
1) Melihat jawaban teman yang lain ketika ujian berlangsung
2) Meminta jawaban kepada teman yang lain ketika ujian sedang
berlangsung
b. Individualistic-Opportunistic
1) Menggunakan HP atau alat elektronik lain yang dilarang ketika
ujian sedang berlangsung.
2) Mempersiapkan catatan yang digunakan pada saat ujian akan
berlangsung.
3) Melihat dan menyalin sebagian atau seluruh hasil kerja teman lain
pada saat tes.
c. Individual Planned
1) Mengganti jawaban ketika guru keluar kelas.
2) Membuka buku teks ketika ujian sedang berlangsung.
3) Memanfaatkan kelengahan/kelemahan guru ketika menyontek.
1) Mengijinkan orang lain melihat jawaban ketika ujian sedang
berlangsung.
2) Membiarkan orang lain menyalin pekerjaannya.
3) Memberi jawaban tes kepada teman pada saat ujian sedang
berlangsung.
D. Remaja
1. Pengertian Remaja
Siswa dalam penelitian ini memiliki batasan istilah, yaitu lebih
dikhususkan pada remaja awal yang kurang lebih berlangsung di masa
sekolah menengah pertama atau sekolah menengah akhir dan perubahan
pubertal terbesar terjadi di masa ini. Masa remaja ini didefinisikan
sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan
masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif,
dan sosial-emosional. Tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri
memasuki masa dewasa (Santrock, 2007:20).
Remaja atau adolescence berasal dari kata kerja latin “adolescere”
yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Piaget menyatakan bahwa istilah
adolescence ini mempunyai arti luas mencakup kematangan mental,
emosional, dan sosial (Hurlock, 1990). Menurut Melly (1984) Remaja
adalah merupakan taraf perkembangan dalam kehidupan manusia, di
mana seseorang sudah tidak dapat disebut anak kecil lahi, tetapi juga
belum dapat disebut orang dewasa. Taraf perkembangan ini pada
kanak-kanak menuju arah kedewasaan. Selain itu, WHO (dalam Sarwono,
2001) mendefinisikan tentang remaja sebagai berikut:
a. Individu yang berkembang dari pertama kali ia menunjukkan
tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mengalami kematangan secara
seksual.
b. Individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola
identifikasi dari kanak-kanak manjadi dewasa.
c. Terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
Banyak ahli memberikan batasan tentang usia remaja. Sarwono
(2001) mengungkapkan bahwa batasan usia remaja di Indonesia adalah
antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Selain itu, Monks, dkk
(2004) membagi usia remaja ini dalam tiga bagian yaitu: masa remaja
awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa
remaja akhir (18-21 tahun). Dalam hal ini penulis lebih mengarahkan
kepada subjek masa remaja awal. Berbeda dengan pendapat Santrock
(2007), usia remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir
pada sekitar usia 18 hingga 22 tahun.
Anna Freud menggambarkan masa adolecencia sebagai suatu
proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan
dengan perkembangan psikoseksual, perubahan dalam hubungan dengan
orang tua dan cita-cita mereka. Neidhart juga melihat masa adolecencia
dalam keluarga menuju ke kehidupan dengen kedudukan yang ”mandiri”
(Gunarsa, 2003).
Berdasarkan beberapa pendapat para tokoh di atas, dapat
disimpulkan bahwa remaja merupakan proses perkembangan atau masa
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa untuk menuju
kehidupan yang lebih mandiri yang mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, kematangan psikologis dan terjadi
perubahan-perubahan organ seksual.
2. Tahap-tahap Perkembangan Masa Remaja
Perubahan organ-organ reproduksi yang semakin matang pada
remaja akan menyebabkan dorongan dan gairah seksual remaja yang
main kuat dalam dirinya (Dariyi, 2004). Remaja memasuki usia subur
dan produktif. Artinya, secara fisiologis, mereka telah mencapai
kematangan organ-organ reproduksi. Kematangan organ reproduksi
tersebut mendorong individu untuk melakukan hubungan sosial baik
dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Mereka berupaya
mengembangkan diri melalui pergaulan, dengan membentuk teman
sebayanya. Selain itu, remaja harus belajar pola-pola tingkah laku sosial
yang dilakukan orang dewasa dalam lingkungan kebudayaan pada
masyarakat di mana mereka hidup (Meidina, 200)
Bloos (Sarwono, 2001) mengatakan bahwa terdapat tiga tahap
perkembangan remaja dalam proses penyesuaian diri menuju
a. Remaja awal (12-15 tahun)
Tahap ini remaja merasa heran dengan perubahan-perubahan pada
tubuhnya beserta munculnya dorongan-dorongan yang menyertai
perubahan tersebut. Mereka seperti terangsang dengan lawan jenis dan
mudah terangsang secara erotis.
Keadaan perasaaan emosinya juga sangat peka sehingga tidak
stabil. Remaja awal dilanda pergolakan, sehingga selalu mengalami
perubahan dalam perbuatannya. Remaja awal cenderung mempunyai
kepekaan berlebihan sehingga sulit dimengerti dan juga sulit mengerti
orang yang lebih dewasa.
b. Remaja Madya (15-18 tahun)
Remaja madya sangat membutuhkan kawan-kawan. Mereka
mempunyai kecenderungan mencintai diri sendiri dan menyukai
teman yang mempunyai sifat yang sama dengan dirinya.
c. Remaja akhir (18-24 tahun)
Tahap ini adalah masa menuju periode dewasa yang ditandai
pencapaian 5 hal, yaitu:
1) Minatnya yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan
pengalaman-pengalaman baru.
4) Egosentrisnya (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri)
diganti dengan keseimbangan antara kepentingan sendiri dengan
kepentingan orang lain.
5) Tumbuh dinding yang memisahkan diri pribadi dari masyarakat
umum.
3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja
Robert dalam bukunya Human Development and Education
(Melly, 1984) menyebutkan adanya sepuluh tugas perkembangan remaja,
yaitu:
a. Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman-teman
sebanyanya, baik dengan teman-teman sejenis maupun dengan jenis
kelamin lain.
Artinya para remaja memandang gadis-gadis sebagai wanita dan
laki-laki sebagai pria, menjadi manusia dewasa di antara orang-orang
dewasa. Mereka dapat berkerjasama dengan orang lain dengan
tujuan-tujuan bersama, dapat menahan dan mengendalikan perasaan-perasaan
pribadi dan belajar memimpin orang lain dengan atau tanpa dominasi.
b. Dapat menjalankan peranan-peranan sosial menurut jenis kelamin
masing, artinya mempelajari dan menerima peranan
masing-masing sesuai dengan ketentuan-ketentuan/ norma-norma masyarakat.
c. Menerima kenyataan (realitas) jasmaniah serta menggunakannya
d. Mencapai kebebasan emosional dari orang tua atau orang dewasa
lainnya. Ia tidak kekanak-kanakan lagi, yang selalu terikat pada orang
tuanya. Ia membebaskan dirinya dari ketergantungannya terhadap
orang tua atau orang lain.
e. Mencapai kebebasan ekonomi. Ia merasa sanggup untuk hidup
berdasarkan usaha sendiri. Ini terutama sangat penting bagi laki-laki.
Akan tetapi dewasa ini bagi kaum wanitapun tugas ini
berangsur-angsur menjadi tambah penting.
f. Memilih dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan atau jabatan. Artinya
belajar memilih satu jenis pekerjaan sesuai dengan bakatnya dan
mempersiapkan diri untuk pekerjaan tersebut.
g. Mempersiapkan diri untuk melakukan perkawinan dan hidup berumah
tangga. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kehidupan
keluarga dan memiliki anak. Bagi wanita ini harus dilengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilan bagaimana mengurus rumah tangga
(home management) dan mendidik anak.
h. Mengembangkan kecakapan intelektual serta konsep-konsep yang
diperlukan untuk kepentingan hidup bermasyarakat. Maksudnya ialah,
bahwa untuk menjadi warga negara yang baik perlu memiliki
pengetahuan tentang hukum, pemerintah, ekonomi, politik, geografi,
tentang hakikat manusia dan lembaga-lembaga kemasyarakatan.
i. Memperlihatkan tingkah laku yang secara sosial dapat dipertanggung
orang dewasa yang bertanggung jawab, menghormati serta mentaati
nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya, baik regional
maupun nasional.
j. Memperoleh sejumlah norma-norma sebagai pedoman dalam
tindakan-tindakannya dan sebagai pandangan hidupnya. Norma-norma tersebut
secara sadar dikembangkan dan direalisasikan dalam menetapkan
kedudukan manusia dalam hubungannya dengan sang pencipta, alam
semesta dan dalam hubungannya dengan manusia-manusia lain;
membentuk suatu gambaran dunia dan memelihara harmoni antara
nilai-nilai pribadi dengan yang lain.
Kesuksesan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan pada
suatu masa kehidupan tertentu akan mendatangkan keadaan di mana
seseorang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang akan membuat seseorang
dapat melaksanakan tugas-tugas selanjutnya. Sebaliknya kegagalan
seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan dalam masa
kehidupan tertentu dapat menyulitkan pelaksanaan tugas-tugas
perkembangan dalam masa kehidupan selanjutnya.
Mohammad Ali, dkk (2005: 12) mengatakan tugas-tugas
perkembangan remaja yang amat penting adalah mampu menerima
keadaan dirinya, memahami peran seks/jenis kelamin, mengembangkan
kemandirian, mengembangkan tanggung jawab pribadi dan sosial,
Selain itu tugas yang lain adalah belajar untuk memperoleh kemampuan
bersosialiasi, mengerti peranan sosial, tingkah laku secara sosial, serta
norma-norma sebagai pedoman hidup. Hal tersebut sangat berguna untuk
melakukan penyesuaian dengan kehidupan sehari-hari. Membentuk
hubungan sosial dengan teman sebayanya secara umum lebih cenderung
di mana individu banyak beraktivitas.
Tugas perkembangan tersebut harus mereka jalani dengan baik,
karena apabila tidak dijalani dan gagal maka dapat mempegaruhi
kehidupan sosialnya selanjutnya. Selain itu jika tidak dijalani dengan
baik, tidak sedikit remaja yang melakukan perbuatan antisosial maupun
asusila karena tugas-tugas perkembangan tersebut kurang berkembang
dengan baik, sebagai contoh jika siswa tidak memiliki pengetahuan dan
perkembangan norma yang baik serta rasa sosial dengan lingkungan tidak
baik maka ia cenderung melakukan tindakan mencontek.
4. Remaja Laki-laki dan Perempuan
Sang Pencipta menciptakan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan sesungguhnya memiliki tujuan yang jelas. Semua yang
diciptakan-Nya baik adanya. Kehidupan manusia dan maknanya dapat
mencapai hasil yang baik, maka perbedaan antara pribadi, perbedaan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan perlu dijajaki. Dalam hal ini,
pengetahuan mengenai perbedaan jenis kelamin ini dapat membawa
manusia menuju saling penyesuaian dan saling penyempurnaan,
pengetahuan dalam menjajaki proses penyesuaian dan penyempurnaan
untuk menjadi manusia yang baik.
Pemahaman tentang kepribadian manusia yang berdasarkan jenis
kelaminnya dan mempengaruhi perilaku dan nilai yang dikembangkan
oleh individu merupakan peran identitas jenis kelamin. Perkembangan
tersebut yang terjadi pada diri seseorang tidak bisa lepas dari unsur
biologis dan psikologis.
Kartono (1997:317) menyebutkan bahwa manusia diciptakan
menjadi dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Ahli gender yang
memiliki orientasi lingkungan yang kuat mengakui bahwa anak
perempuan dan anak laki-laki diperlakukan secara berbeda karena
perbedaan fisik mereka dan peran mereka yang berbeda dalam reproduksi
(Santrock, 2014:184). Lingkungan keluarga, terutama pola asuh kedua
orang tua memegang peran penting dalam menyikapi perbedaan ini.
Dengan pola asuh yang baik dan benar, seorang anak laki-laki dan
perempuan akan berperilaku sesuai dengan peran mereka masing-masing.
Secara pesikologis dan fisiologis ternyata laki-laki dan perempuan
mempunyai perkembangan yang berbeda. Seorang perempuan lebih
mempunyai sifat keibuan yang lemah lembut, berperasaan dan lebih
feminim. Sedangkan laki-laki mempunyai sifat yang maskulin, kasar, dan
lebih perkasa.
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena
perempuan. Oleh karena itu laki-laki cenderung lebih agresif dalam
menggapai cita-citanya daripada perempuan. Sifat perempuan berbeda
dengan laki-laki. Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya
pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio, dan
emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan
ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan
dengan kecenderungan mementingkan keseluruhannya dan kurang
memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa & Gunarsa, 1991). Dalam
beraktivitas pun seorang pria lebih agresif, lebih aktif dan tidak sabar
karena itu sifat pria lebih cenderung tidak mau menunggu, kurang tekun
dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa.
E. Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin
(John M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983:256). Seacar umum, pengertian
gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat daru nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies
Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural,
berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan
karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegaskan bahwa
istilah gender dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini:
gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu, gender sebagai
gender sebagai suatu persoalan social budaya, gender sebagai sebuah
konsep untuk analisis, gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang
kenyataan. (http://aagsyugimbal.blogspot.co.id/2011/02/teori-gender.html)
Menurut Sarlito (2005:86) peran yang dimiliki oleh gender pada
hakikatnya adalah bagian dari peran social pula. Sama halnya dengan anak
yang harus mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau
sebagi murid terhadap guru. Dengan begitu, ia harus mempelajari perannya
sebagai anak dari jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya.
Berbeda dengan anggapan awam, peran gender tidak hanya ditentukan oleh
jenis kelamin orang yang bersangkutan, tetapi juga oleh lingkungan dan
factor-faktor lainnya. Tidak otomatis seorang anak laki-laki harus bermain
mobil-mobilan dan robot-robotan, sedangkan anak perempuan bermain
boneka dan rumah-rumahan. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak
laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan anak perempuan pada
robot-robotan. Mereka akhirnya tetap menjadi orang dewasa pria atau wanita yang
normal.
Dewasa ini, kontroversi gender masih dalam perbincangan masyarakat. Ketidakadilan dan diskriminasi gender menyebabkan berbagai
pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki secara
langsung berupa perlakuan dan sikap, maupun tidak langsung berupa
dampak suatu perundang-undangan dan kebijakan menimbulkan berbagai
ketidak-adialan yang telah berakar dalam sejarah dan budaya serta dalam
Hyde (1986, 2005) dalam buku Santrock (2007: 233) berkesimpulan bahwa
perbedaan gender tersebut terlalu dibesar-besarkan, khususnya sangat
dipengaruhi oleh buku-buku popular seperti buku John Gray (1982) dan
Deborah Tannen (1990), ia berpendapat bahwa hasil penelitian
memperlihatkan perempuan dan laki-laki itu memiliki factor-faktor
psikologis yangs serupa. Dalam sebuah rangkuman baru-baru ini, Hyde
(2005) merangkum hasil dari 44 analisis terhadap perbedaan dan persamaan
gender. Dalam sebagian besar bidang, perbedaan gender itu hampir tidak
ada atau bahkan tidak ada sama sekali, termasuk dalam hal kemampuan
matematika, komunikasi, dan agresi.
Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan antara kata gender
dengan kata sex. Sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin,
laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau
ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanent atau universal. Jenis kelamin
atau sex adalah adalah karakteristik biologis hormonal dan anatomis. Sex
tidak bias berubah, permanent dan tidak bias dipertukarkan karena bersifat
mutlak. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam hal persifatan, peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh
masyarakat. Karenanya ia bersifat relatif, dapat berubah, dan dapat
dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat. Istilah gender dikemukakan oleh para
yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan
bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan.
Pembedaan ini sangat penting karena selama ini kita sering sekali
mencampuradukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah
dengan yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah
atau diubah. Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk
memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap
telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki. Dengan mengenali
perbedaan gender sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, akan
memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi
perempuan dan laki-laki yang dinamis, yang lebih cocok dengan kenyataan
yang ada dalam masyarakat. Kita perlu memisahkan perbedan jenis kelamin
dan gender, karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen
dan statis itu tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk
memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan
perempuan. Di pihak lain, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis
kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang
selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat
menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi
gender dan sangat berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu
analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus mengoreksi alat analisis
sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi
Dengan demikian gender adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan
yang dibentuk, dibuat dan dikontruksikan oleh masyarakat dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
(http://harriansaga.blogspot.co.id/2015/04/pengertian-dan-teori-gender.html).
F. Penghasilan Orang Tua
Jaman sekarang untuk dapat bertahan hidup dengan layak, orang harus
bekerja. Dengan bekerja orang memperoleh upah atau imbalan yang untuk
memenuhi kelangsungan hidup, baik hidup pribadi maupun hidup
berkeluarga/rumah tangga. Orang harus bekerja keras untuk memperoleh
penghasilan. Penghasilan yang di dapat itu kemudian dibelanjakan guna
memenuhi kebutuhan hidup baik berupa barang dan jasa. Besar jumlah yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tergantung dari berbagai hal (Gilarso,
1986:42):
1. Besarnya penghasilan yang masuk
2. Besarnya keluarga (jumlah anggota keluarga) 3. Tingkat biaya kebutuhan hidup
4. Taraf pendidikan keluarga dan status sosial. Misalnya pola kebutuhan seorang dokter berbeda dengan pola kebutuhan seorang guru atau seorang tukang kayu. Dengan demikian jumlah dan pola pengeluarannya akan berbeda pula.
5. Lingkungan sosial dan ekonomi keluarga itu (misalnya tinggal di desa, di kota kecil, ataupun di kota besar seperti Jakarta).
Dengan penhasilan yang dihasilkan hendaknya orang tua
memperhatikan perkembangan anak khususnya pendidikan. Tingkat
Semakin tinggi tingkat penghasilan orang tua, semakin banyak pula fasilitas
yang akan di dapat oleh si anak, misalnya orang tua bisa memberikan
komputer, gadget canggih serta bisa memasukkan anaknya di pendidikan
non formal (bimbingan belajar) agar mereka lebih dapat memahami materi
yang diajarkan di sekolah.
Sebuah tinjauan lingkungan kemiskinan anak menyimpulkan bahwa
dibanding dengan rekan-rekan yang lebih diuntungkan secara ekonomi,
anak-anak miskin mengalami kesengsaraan. Menurut Evans (2004) dalam
Santrock (2014 : 163) lebih banyak konflik keluarga, kekerasan, kekacauan
dan pemisahan keluarga dari mereka, kurang dukungan sosial; kurang
stimulasi intelektual; lebih banyak menonton TV, fasilitas sekolah dan
perawatan anak rendah, serta orang tua yang kurang terlibat dalam kegiatan
sekolah mereka, lebih banyak polusi dan ramai, rumah berisik, dan lebih
berbahaya, memburuknya lingkungan. Dengan adanya pendapat tersebut
dapat memungkinan mereka malas untuk belajar dan dapat menimbulkan
perilaku menyimpang di sekolah, seperti mencontek.
G. Kerangka Berpikir
1. Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau dari Jenis
Kelamin.
Dalam penelitian ini tidak hanya memfokuskan mengenai jenis
kelamin atau sex, tetapi juga tentang perbedaan gender di mana gender
merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk,
dengan perkembangan jaman. Setiap manusia laki-laki dan manusia
perempuan pasti memiliki perbedaan. Menurut Gunarsa (1991) terdapat
perbedaan pada laki-laki dan perempuan, yaitu jika perempuan lebih
mengandalkan aspek-aspek emosional, perasaan dan suasana hati
sedangkan untuk laki-laki lebih terlihat agresif, lebih aktif dan tidak
sabaran dalam menyelesaikan masalah. Tetapi di sisi lain, secara
psikologis dan fisiologis ternyata laki-laki dan perempuan mempunyai
perkembangan yang berbeda. Seorang perempuan lebih mempunyai sifat
keibuan yang lemah lembut, berperasaan dan lebih feminin. Sedangkan
laki-laki mempunyai sifat yang maskulin, kasar, lebih perkasa dan lebih
pemberani dibandingkan dengan perempuan.
Laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang besar karena
laki-laki memiliki keinginan yang lebih besar untuk sukses daripada
perempuan. Oleh karena itu laki-laki cenderung lebih agresif dalam
menggapai cita-citanya daripada perempuan. Sifat perempuan berbeda
dengan laki-laki. Kepribadian seorang pria menunjukkan adanya
pembagian dan pembatasan yang jelas antara pikiran, rasio, dan
emosionalitas. Jalan pikirannya tidak dikuasai oleh emosi, perasaan
ataupun suasana hati. Perhatiannya lebih banyak tertuju pada pekerjaan
dengan kecenderungan mementingkan keseluruhannya dan kurang
memperhatikan hal-hal yang kecil (Gunarsa & Gunarsa, 1991). Dalam
karena itu sifat pria lebih cenderung tidak mau menunggu, kurang tekun
dan kurang tabah dalam menghadapi kesulitan hidup dan cepat putus asa.
Maka jika dilihat dari pernyataan tersebut, sikap laki-laki
perempuan memperlihatkan adanya perbedaan terhadap sikap
mencontek. Laki-laki lebih merasa pemberani, dibandingkan dengan
perempuan. Laki-laki bertindak tidak dengan perasaan, sehingga jika ada
kesempatan untuk melakukan kecurangan, laki-laki cenderung langsung
menggunakan kesempatan itu, sedangkan untuk perempuan, mereka lebih
menggunakan perasaan dan lembut sehingga mereka kemungkinan tidak
mempunyai keberanian.
2. Sikap Siswa Terhadap Perilaku Mencontek Yang Ditinjau dari Tingkat
Penghasilan Orang Tua
Semakin tinggi tingkat penghasilan orang tua akan dapat
memenuhi segala fasilitas yang diperlukan anak dalam belajar misalnya
selain dapat menempuh pendidikan formal, si anak juga dapat menempuh
pendidikan nonformal seperti mengikuti bimbel atau les privat. Hal
tersebut membuat anak lebih semangat dalam belajar dan lebih
memahami materi yang diajarkan di sekolah sehingga anak tidak
melakukan tindakan mencotek. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
penghasilan orang tua tidak dapat memenuhi fasilitas yang diperlukan si
anak dalam belajar sehingga memuat anak dituntut untuk memikirikan
kebutuhan lain yang akhirnya anak tidak ada waktu untuk belajar,
Sebuah tinjauan lingkungan kemiskinan anak menyimpulkan
bahwa dibanding dengan rekan-rekan yang lebih diuntungkan secara
ekonomi, anak-anak miskin mengalami kesengsaraan. Menurut Evans
(2004) dalam Santrock (2014 : 163) lebih banyak konflik keluarga,
kekerasan, kekacauan dan pemisahan keluarga dari mereka, kurang
dukungan sosial; kurang stimulasi intelektual; lebih banyak menonton
TV, fasilitas sekolah dan perawatan anak rendah, serta orang tua yang
kurang terlibat dalam kegiatan sekolah mereka, lebih banyak polusi dan
ramai, rumah berisik, dan lebih berbahaya, memburuknya lingkungan.
Dengan adanya pendapat tersebut dapat memungkinan mereka malas
untuk belajar dan dapat menimbulkan perilaku menyimpang di sekolah,
seperti mencontek.
Teori-teori dan penjelasan yang didapat, muncul kerangka berpikir
ada perbedaan sikap terhadap perilaku mencontek berdasarkan tingkat
penghasilan orang tua.
G. Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah kesimpulan sementara yang belum final dan
masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis dalam pengertian ini
merupakan perumusan jawaban dugaan atau sementara sehingga menjadi
tuntutan dalam mencari jawaban yang sebenarnya atas dasar kerangka
berpikir di atas.
Hipotesis 1:
Ho1: tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek
berdasarkan jenis kelamin.
Ha1: ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek
berdasarkan jenis kelamin.
Hipotesis 2 :
Ho1: tidak ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek
berdasarkan tingkat penghasilan orang tua.
Ha1: ada perbedaan sikap siswa terhadap perilaku mencontek
38 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Menurut Sangaji dan
Shopian (2010:35) studi kasus adalah penelitian yang melakukan
penyelidikan secara mendalam mengenai subjek tertentu untuk memberikan
gambaran lengkap mengenai subjek tertentu. Dalam penelitian ini siswa akan
berperan sebagai responden. Penelitian ini akan dilakukan di SMP dan hasil
atau kesimpulan ini tidak bisa direalisasikan pada SMP-SMP lainnya di
Yogyakarta sebab penelitian studi kasus merupakan jenis penelitian dengan
karakteristik serta masalah yang mempunyai kaitan antara latar belakang dan
kondisi nyata saat ini dari subyek yang diteliti.
B. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah negeri dan swasta yaitu SMPN 10
dan SMP Maria Immaculata di Kota Yogyakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari 2016 – April