• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fashion Involvement Fashion merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat dan dapat mencerminkan personality serta status sosial seseorang (Hermanto, 2016)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Fashion Involvement Fashion merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat dan dapat mencerminkan personality serta status sosial seseorang (Hermanto, 2016)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSAKA

A. Landasan Teori 1. Pemasaran

Menurut American Marketing Association (AMA) “Marketing is the activity, and processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for customer, clients, partners, and society at large”. Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa pemasaran merupakan suatu aktivitas, baik aktivitas yang dilakukan oleh organisasi maupun oleh individu yang dioperasikan melalui institusi atau lembaga baik yang berorientasi laba (pabrik, pedagang besar, ritel, konsultan, dll), maupu nirlaba (lembaga sosial, pabrik, dll) serta proses-proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan dan menukarkan segala penawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan (pelanggan akhir maupun pelanggan bisnis atau perantara), klien (pelanggan lembaga nirlaba), rekanan dan dengan memberikan keuntungan serta tetap bertanggung jawab terhadap masyarakat secara luas (Hidayah, 2019)

Philip dan Keller dalam Priansa (2017) pemasaran adalah seni dan ilmu memilih pasar sasaran dan meraih, mempertahankan, serta menumbuhkan konsumen baru dengan menciptakan, menghantarkan, serta mengkomunikasikan nilai konsumen yang unggul.

(2)

2. Perilaku Konsumen

Perilaku konsumen (customer behavior) didefinisikan sebagai studi tentang unit pembelian (buying unit) dan proses pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi dan pembuangan barang, jasa, pengalaman, serta ide-ide (Mowen dan Minor, 2017). Menurut Sangadji dan Sopiah (2013) perilaku konsumen adalah (1) disiplin ilmu yang mempelajari perilaku individu, kelompok, atau organisasi dan proses- proses yang digunakan konsumen untuk menyeleksi, menggunakan produk, pelayanan, pengalaman (ide) untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen, dan dampak dari proses-proses tersebut pada konsumen dan masyarakat, (2) tindakan yang dilakukan oleh konsumen guna mencapai dan memenuhi kebutuhannya baik dalam penggunaan, pengonsumsian, maupun penghabisan barangdan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul (3) tindakan atau perilaku yang dilakukan konsumen yang dimulai dengan merasakan adanya kebutuhan dan keinginan kemudian berusaha mendapatkan produk yang diinginkan, mengkonsumsi produk tersebut dan berakhir dengan tindakan-tindakan pasca pembelian yaitu perasaan puas atau tidak puas.

3. Fashion Involvement

Fashion merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat dan dapat mencerminkan personality serta status sosial seseorang (Hermanto, 2016).

Bagi orang yang gemar akan fashion mereka pasti akan sangat memperhatikan penampilannya, sehingga bagi mereka membeli pakaian

(3)

bukan lagi sebagai memenuhi kebutuhan saja tetapi mereka lebih mengutamakan tren, mode, merek serta kualitas (Hermanto, 2016).

Fashion Involvement dengan gaya hidup sangat berkaitan erat dengan karakteristik pribadi dan pengetahuan seseorang akan fashion yang nantinya akan mempengaruhi sesorang dalam pengambilan keputusan pembelian.

Menurut Natalie dan Japarianto (2019) mengatakan fashion involvement merupakan tingkat keterlibatan konsumen dengan fashion dimana mereka cenderung mengutamakan pakaian sebagai bagian sentral dalam kehidupan mereka karena fashion dianggapnya sebagai tanggung jawab sosial dan mereka cenderung menggunakan fashion mode terbaru.

Sedangkan menurut Hidayat dan Tryanti (2018) fashion involvement adalah keterlibatan seseorang dengan suatu produk atau apapun yang berhubungan dengan fashion karena faktor kebutuhan, kepentingan, ketertarikan, ciri khas penampilan, serta berpengaruh pada keputusan pembelian. Menurut Andriyanto dkk (2016) keterlibatan fashion adalah keterlibatan seseorang dengan suatu produk pakaian karena kebutuhan, kepentingan, ketertarikan dan nilai terhadap produk tersebut.

Menurut Solomon (2013) dalam Gunawan dan Sitinjak (2018)

“Involvement is a person’s perceived relevence of the object based on their inherent, needs values, and interests.” Yang berarti involvement adalah hubungan yang dirasakan seseorang terhadap suatu objek berdasarkan sifat, kebutuhan, nilai, dan minat. Keterlibatan atau

(4)

involvement juga adalah status motivasi yang menggerakan serta mengarahkan proses kognitif dan perilaku konsumen pada saat mereka membuat keputusan (Gunawan dan Sitinjak, 2018). Fashion involvement memiliki hubungan positif dengan pembelian pakaian karena keterlibatan fashion lebih mungkin untuk menjadi pembeli pakaian (Hermanto, 2016).

Dalam pemasaran fashion, keterlibatan fashion mengacu pada ketertarikan perhatian dengan kategori produk fashion (Gunawan dan Sitinjak, 2018). Fashion Involvement digunakan sebagai ukuran keterlibatan pelanggan terhadap produk fashion untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan fashion terhadap perilaku pembelian impulsif. Dalam membuat keputusan pembelian pada fashion involvement ditentukan oleh beberapa faktor yaitu karakteristik konsumen, pengetahuan tentang fashion dan perilaku pembelian (Andryanto, dkk 2016).

Menurut Kim (2005) dalam (Hidayat dan Tryanti 2018) untuk mengetahui hubungan keterlibatan terhadap pembelian impulsif adalah dengan menggunakan indikator sebagai berikut :

a. Memiliki satu atau lebih pakaian dengan model baru.

b. Lebih suka apabila model pakaian yang digunakan berbeda dengan orang lain.

c. Pakaian dapat menunjukan karakteristik seseorang.

d. Fashion adalah salah satu hal penting yang mendukung aktivitas.

e. Ketika memakai pakaian favorit, membuat orang tertarik melihatnya.

(5)

4. Kecenderungan Konsumsi Hedonis

Gaya hidup dalam pandangan ekonomi menunjukan bagaimana seseorang individu mengalokasikan pendapatannya dan bagaimana pola konsumsinya. Pengelompokan segmentasi pasar berdasarkan gaya hidup konsumen diukur dengan beberapa indikator, yaitu: bagaimana mereka menghabiskan waktu, bagaimana minat konsumen, bagaimana konsep diri, dan bagaimana karakter dasar manusia, seperti daur kehidupan, penghasilan, status sosial, dan sebagainya (Sangadji dan Sopiah, 2013).

Menurut Mowen dan Minor (2002) dalam Sangadji dan Sopiah (2013) gaya hidup menunjukan bagaimana seseorang menjalankan hidup, membelanjakan uang, dan memanfaatkan waktunya.

Gaya hidup hedonis banyak itu timbul dari kekuatan luar ataupun kekuatan dalam yang pada dasarnya mempunyai tujuan satu, yaitu mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan (Utami, 2017). Hedonis sebagai salah satu jenis kebutuhan berdasarkan arah motivasi yang bersifat subjektif dan experiental, yang berarti bahwa konsumen boleh bersandar pada suatu produk untuk menemukan kebutuhan mereka untuk kegembiraan, kepercayaan diri, khayalan atau tanggapan emosional dan lain-lainnya menurut Solomon (2002) dalam (Utami, 2017). Menurut Babin et al., (1994) dalam Utami (2017) mengatakan bahwa aspek hedonis berkaitan dengan emosional konsumen sehingga ketika berbelanja konsumen benar-benar merasakan sesuatu seperti :senang, benci, marah, ataupun merasa bahwa berbelanja merupakan suatu petualangan.

(6)

Konsumsi hedonis merupakan perilaku belanja yang berhubungan dengan perasaan, khayalan, dan aspek yang berkenaan dengan perasaan dari suatu pengalaman orang dengan produk. Seseorang yang memiliki sifat konsumsi hedonis menghasilkan respon penting seperti multisensori, fantasi atau khayalan, dan aspek emosional dari interaksi konsumen dengan produk yang dapat menentukan bagaimana reaksi konsumen terhadap produk. Pembelian barang bisa bersifat insidental (terjadi secara kebetulan) terhadap pengalaman berbelanja (Utami, 2017). Kecenderungan akan konsumsi hedonis pada masa ini akan melibatkan pembelian tidak terencana pada suatu produk, karena dalam melakukan konsumi hedonis konsumen akan mencari kesenangan semata untuk memenuhi hasrat dalam diri dan tanpa memikirkan efek kedepannya.

Menurut Mowen dan Minor (2002) dalam Dananjaya dan Suparna (2016) konsumsi hedonis adalah keinginan untuk melakukan kegiatan pada waktu luang. Pada saat konsumen berbelanja, tentunya konsumen akan memperhatikan aspek-aspek kenikmatan dan kesenangan (hedonis) tersebut, disamping manfaat yang diperoleh dari produk itu sendiri.

Beberapa orang memiliki alasan yang menyebabkan mereka melakukan kegiatan berbelanja diantaranya, menghilangkan stres akibat aktivitas sehari-hari, mengisi waktu luang, dan memperbaiki mood seseorang, untuk mencari kesenangan dan kepuasan (hedonic) (Pangestu dan Santika, 2019).

Menurut Utami (2017) studi eksploratoris kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan, mengidentifikasi enam faktor motivasi berbelanja hedonis, antara lain :

(7)

a. Adventure shopping

Konsumen berbelanja karena adanya sesuatu yang dapat membangkitkan gairah berbelanjanya, merasakan bahwa berbelanja adalah sesuatu pengalaman dan dengan berbelanja mereka merasa memiliki dunianya sendiri.

b. Social shopping

Konsumen beranggapan bahwa keinkmatan dalam berbelanja akan tercipta ketika mereka menghabiskan waktu bersama-sama dengan keluarga atau teman. Selain itu ada juga yang merasa bahwa berbelanja adalah suatu kegiatan sosialisasi, baik itu antara konsumen yang satu dengan konsumen lain, ataupun dengan pegawai yang bekerja di factory outlet tersebut. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa dengan berbelanja bersama-sama dengan keluarga ataupun teman, mereka mendapat banyak informasi mengenai produk yang akan dibeli.

c. Gratification Shopping

Berbelanja merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi stres, mengatasi suasana hati yang buruk, dan berbelanja sebagai sesuatu yang spesial untuk dicoba serta sebagai sarana untuk meluapkan problem- problem yang sedang dihadapi.

d. Idea shopping

Konsumen berbelanja untuk mengikuti trend model-model fashion yang baru, dan untuk melihat produk serta inovasi yang baru. Dalam kategori ini, biasanya konsumen berbelanja karena melihat sesuatu yang baru dari iklan-iklan yang ditawarkan oleh media massa.

(8)

e. Role shopping

Konsumen lebih suka berbelanja untuk oran lain daripada untuk dirinya sendiri, seperti: memberi hadiah untuk orang lain. Oleh karena itu, konsumen merasa berbelanja untuk orang lain adalah sangat menyenangkan dari pada berbelanja untuk dirinya sendiri.

f. Value shopping

Konsumen menganggap bahwa berbelanja merupakan suatu permainan yaitu pada saat tawar-menawar harga, atau pada saat konsumen mencari tempat perbelanjaan yang menawarkan diskon, obralan, ataupun tempat pembelanjaan dengan harga yang murah.

Indikator dari hedonic consumption tendency menurut Park et al.

(2006) dan Ryu (2011) dalam Tsaqif Pangestuti dan Devita (2018) adalah:

a. Keinginan untuk mencari kesenangan.

b. Ketersediaan uang dan waktu.

c. Keinginan mendapatkan pengalaman baru.

5. Emosi positif

Emosi dapat mempengaruhi mood dan perilaku seseorang dalam melakukan pembelian tak terencana. Emosi mencakup araousal, berbagai bentuk affect, dan interpretasi kognitif terhadap affect yang bisa diberikan deskribsi tunggal, contohnya takut, marah, senang, sedih, surprise, acceptance, disgust dan anticipation. Emosi memiliki intensitas dan urgensi psikologis yang lebih besar dibandingkan mood (Tjiptono, 2015).

Menurut Andriyanto dkk (2016) emosi diklasifikasikan menjadi dua dimensi yaitu emosi positif dan negatif sebagai berikut:

(9)

a. Emosi positif adalah emosi yang mampu menghadirkan perasaan positif terhadap seseorang yang mengalaminya. Emosi positif dapat didatangkan dari sebelum terjadinya mood seseorang, kecondongan sifat afektif seseorang dan reaksi pada lingkungan yang mendukung seperti ketrtarikan pada item barang, pelayanan yang diberikan ke konsumen, ataupun adanya promosi penjualan.

b. Emosi negatif merupakan emosi yang selalu identik dengan perasaan tidak menyenangkan dan dapat diakibatkan perasaan negatif pada orang yang mengalaminya. Kecenderungan orang yang memilik emosi negatif lebih memperhatikan emosi-emosi yang bernilai negatif seperti sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik, prasangka, takut, curiga dan lain sebagainya.

Emosi positif adalah perasaan positif yang dialami seseorang dimana dapat didatangkan sebelum terjadinya mood seseorang, kecondongan sifat afektif dan reaksi pada lingkungan yang mendukung seperti ketertarikan pada item barang, pelayanan yang diberikan ke konsumen, ataupun adanya promosi penjualan (Hermanto, 2016). Emosi positif merupakan suatu keadaan yang dipengaruhi oleh stimulus lingkungan dimana seseorang sedang merasakan perasaan senang atau gembira yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya pembelian impulsif ketika berbelanja (Setiadi dan Warmika, 2015). Menurut Rock dan Garden (1993) dalam Andriyanto dkk (2016) konsumen dengan emosi positif menunjukan dorongan yang lebih besar dalam membeli karena memiliki

(10)

perasaan yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, memiliki keinginan untuk diri mereka sendiri, dan tingkat energi yang lebih tinggi.

Dengan adanya dorongan besar untuk mengkonsumsi suatu produk, maka tidak dapat dipungkiri bahwa kemungkinan akan terjadi pembelian secara tidak terencana. Saat konsumen tertarik untuk masuk atau berkunjung pada suatu gerai, pihak manajemen juga harus mampu mengolah emosi konsumen menuju pada emosi postif, karena respon emosi konsumen yang positif terhadap lingkungan gerai berpengaruh terhadap perilaku konsumen secara tiba-tiba atau pembelian tanpa direncanakan (Pangestu dan Santika, 2019). Hal ini dikarenakan konsumen yang memiliki emosi positif dapat mencerminkan perasaan senangnya pada saat melihat produk fashion, sehingga keterlibatan fashion dapat mempengaruhi emosi positif dan dapat menimbulka pembelian tak terencana.

Indikator dari emosi positif menurut Imbayani dan Novarini (2018) adalah:

a. Merasa senang.

b. Merasa puas.

c. Merasa nyaman.

d. Merasa bersemangat.

6. Pembelian Impulsif

Menurut Rook (1987) dalam Andriyanto dkk (2016) impulse buying adalah pembelian impulsif diartikan sebagai pembelian ketika konsumen merasakan dorongan keinginan secara tiba-tiba, terkadang sangat kuat dan

(11)

keras untuk membeli sesuatu secara cepat. Menurut Utami (2017) impulse buying atau pembelian tidak terencana merupakan bentuk lain dari pola pembelian konsumen yang secara spesifik tidak terencana yang terjadi ketika tiba-tiba konsumen mengalami keinginan yang kuat dan kukuh untuk membeli sesuatu secepatnya. Impulse buying terjadi ketika konsumen melihat produk atau merek tertentu, kemudian konsumen menjadi tertarik untuk mendapatkannya, biasanya karena adanya rangsangan yang menarik dari toko tersebut. Pembelian tak terencana bisa terjadi ketika seorang konsumen tidak familier dengan tata ruang toko, dibawah tekanan waktu, atau seseorang teringat akan kebutuhan untuk membeli sebuah unit ketika melihat rak di toko (Utami, 2017).

Perilaku pembelian yang tidak direncanakan (unplanned buying) merupakan perilaku pembelian yang dilakukan di dalam toko, di mana pembelian berbeda dari apa yang telah direncanakan oleh konsumen pada saat di toko (Utami, 2017). Menurut Gunawan dan Sitinjak (2018) pembelian implusif merupakan pembelian yang terjadi secara tiba-tiba yang tidak direncanakan sebelumnya dan keputusan baru dibuat ketika sedang belanja. Pembelian impulsif biasanya diawali ketika konsumen memiliki kesenangan yang kompleks dan motivasi yang kuat karena adanya dorongan dari faktor-faktor eksternal seperti harga, promo, distribusi masal, display toko yang menyolok serta kesenangan untuk mengoleksi yang akhirnya berubah menjadi keinginan untuk memberi produk langsung (Hermanto, 2016). Pola pembelian konsumen yang sering

(12)

tidak terencana dan tidak spesifik pada saat melakukan pembelian produk fashion, karena konsumen yang memiliki keterlibatan dengan produk fashion jauh memiliki pengetahuan yang lebih akan dunia fashion sehingga kesadaran dan persepsi fashionability seseorang dan dikaitkan dengan desain fashion dan gaya seseorang.

Impluse buying atau pembelian tidak terencana terjadi secara spontan dan langsung dilakukan saat itu juga atas dasar keinginan tanpa perencanaan (Hidayat dan Tryanti, 2018). Impluse buying sering terjadi tanpa konsumen sadari karena dalam menghabiskan uang dapat mengubah dan memperoleh suasana hati seseorang secara cepat untuk mendapatkan kebahagian semata tanpa memikirkan dampak dikemudian hari. Pembelian impulsif disebabkan oleh stimulus di tempat belanja untuk mengingatkan konsumen akan apa yang harus dibeli atau karena pengaruh display, promosi, dan usaha-usaha pemilik tempat belanja untuk menciptakan kebutuhan baru (Utami, 2017). Konsumen tidak menyadari akan kebutuhannya sama sekali, semuanya diciptakan oleh stimulus baru yang dikondisikan akan diinginkan oleh konsumen.

Menurut Stern dalam Loudon dan Bitta (1998) dalam Utami (2017) menyatakan bahwa ada empat tipe pembelian impulsif, yaitu:

a. Impuls murni (pure impulse)

Merupakan tindakan pembelian sesuatu karena alasan menarik, biasanya ketika suatu pembelian terjadi karena loyalitas terhadap merek atau perilaku pembelian yang telah biasanya dilakukan.

(13)

b. Impuls pengingat (reminder impulse)

Ketika konsumen membeli berdasarkan jenis impuls ini, dikarenakan unit tersebut biasanya dibeli juga, tetapi tidak terjadi diantisipsi atau tercatat dalam daftar belanja.

c. Impuls saran (suggestion impulse)

Suatu produk yang ditemui konsumen untuk pertama kali akan menstimulusi keinginan untuk mencobanya.

d. Impuls terencana (planned impulse)

Aspek perencanan dalam perilaku ini menunjukan respons konsumen terhadap beberapa insentif spesial untuk membeli unit yang tidak diatisipasi. Impuls ini biasanya distimulasi oleh pengumuman penjualan kupon, potongan kupon, atau penawaran menggiurkan lainnya.

Menurut Utami (2017) terdapat penyebab terjdinya pembelian impulsif adalah:

a. Pengaruh stimulus di tempat belanja.

b. Pengaruh situasi.

Menurut Hidayat dan Tryanti (2018) indikator dari impulse buying diantaranya adalah:

a. Bila ada tawaran khusus, saya cenderung berbelanja banyak.

b. Saat berbelanja produk fashion, saya cenderung berbelanja tanpa berpikir panjang dulu sebelumnya.

c. Saat memasuki pusat perbelanjaan atau mall, saya segera memasuki sebuah fashion untuk membeli sesuatu.

d. Cenderung terobsesi untuk membelanjakan uang yang saya bawa sebagian atau seluruhnya untuk produk fashion.

(14)

B. Hasil Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1

Hasil Penelitian Terdahulu No. Peneliti Variabel Yang

Digunakan Hasil

1. Dian Sukma Andriyanto Imam Suyadi Dahlan Fanani

(Andriyanto, Suyadi, dan Fanani) (2016)

1. Impulse buying (Y)

2. Fashion Involvement (X1)

3. Positive Emotion (X2)

1. Fashion involvement berpengaruh signifikan terhadap impulse buying 2. Positive emotion

berpengaruh signifikan terhadap impulse buying 3. Fashion involvement dan

positive emotion secara simultan berpengaruh signifikan terhadap impulse buying 2. Graciella

Tansah Gunawan Tony Sitinjak (Gunawan dan Sitinjak) (2018)

1. Pembelian Impulsif (Y) 2. Keterlibatan Fashion (X)

Keterlibatan Fashion berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembelian impulsif.

3. Elleinda Yulia Hermanto

(Hermanto) (2016)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion Involvement (X1)

3. Positive Emotion (X2)

1. Positive emotion mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap impluse buying.

2. Fashion involvement mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap impulse buying.

4. I Kadek

Bramantya Aby Pangestu I Wayan Santika

(Pangestu dan Santika) (2019)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion Involvement (X1)

3. Hedonic Consumption Tendency (X2) 4. Emosi Positif

(X3)

1. Emosi positif

berpengaruh positif dan signifikan terhadap impluse buying.

2. Fashion involvement berpengaruh positif dan signifikan terhadap implus buying

3. Hedonic consumption tendency berpengaruh positif dan signifikan terhadap impluse buying.

5. Astri Serliani 1. Impulse Buying Fashion involvement secara

(15)

No. Peneliti Variabel Yang

Digunakan Hasil

Sahidillah Nurdin Yayu Sri Rahayu (Serliani, Nurdin, dan Rahayu) (2019)

(Y) 2. Fashion

Involvement (X)

parsial berpengaruh

signifikan terhadap impluse buying.

6. Angela Natalie Edwin

Japarianto (Natalie dan Japarianto) (2019)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion

Involvement (X)

Fashion involvement memiliki pengaruh secara signifikan terhadap impulse buying

7. Ida Ayu Diksita Kinasih

I Made Jatra

(Kinasih dan Jatra)

(2018)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion Involvement (X1)

3. Hedonic Consumption Tendency (X2) 4. Positive Emotion

(X3)

1. Fashion involvement berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying.

2. Hedonic consumption tendency berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying.

3. Emosi positif

berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying.

8. Intan Mazidah Permatasari Zainul Arifin Sunarti (Permatasari, Arifin, dan Sunarti) (2017)

1. Impulsive Buying (Y) 2. Hedonic

Consumption (X1)

3. Positive Emotion (X2)

1. Hedonic consumption berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif.

2. Emosi positif

berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif

9. Binar Utami Agung Utama (Utami dan Utama) (2016)

1. Impulse Buying (Y)

2. Emosi Positif (X)

Emosi positif berpengaruh secara signifikan terhadap impulse buying

(16)

No. Peneliti Variabel Yang

Digunakan Hasil

10 I Gusti Ayu Imbayani Ni Nyoman Ari Novarini (Imbayani dan Novarini) (2018)

1. Impulse Buying Behavior (Y) 2. Fashion

Involvement (X1)

3. Positive Emotion (X2)

1. Variabel fashion

involvement berpengaruh positif terhadap impluse buying behavior.

2. Variabel positive emotion berpengaruh positf terhadap impluse buying behavior.

11 Alfani P Ompi, Jantje L Sepang dan

Rudy S Wenas (Ompi dkk, 2018)

1. Pembelian Impulsif (Y) 2. Keterlibatan Fashion (X1) 3. Emosi Positif

(X2)

1. Keterlibatan fashion merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya pembelian impulsif.

2. Emosi positif merupakan faktor yang

menyebabkan terjadinya pembelian impulsif.

12 Kadek Trisna Dewi

I Gusti Ketut Giantari (Dewi dan Giantari) (2015)

1. Pembelian Impulsif (Y) 2. Emosi Positif

(X)

Emosi positif berpengaruh positif dan signifikan

terhadap pembelian impilsif.

13 Novi Riana Dewi Suharyono Srikandi Kumadji

(Dewi,

Suharyono dan Kumadji) (2015)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion Involvement (X1)

3. Hedonic Consumption Tendency (X2) 4. Positive Emotion

(X3)

1. Fashion involvement berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif.

2. Kecenderungan hedonic consumption

berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif.

3. Emosi positif

berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif.

14 Hossein Vzifehdoost Afshin Rahnama Sayed Javad Mousavian

1. Impulse Buying (Y)

2. Involvement in Fashion (X1) 3. Tendency to

Hedonic Purchase (X2)

1. Involvement in Fashion berpengaruh positif pada impulse buying

2. Hedonic consumption berpengaruh positif pada impulsive purchases.

(17)

No. Peneliti Variabel Yang

Digunakan Hasil

(Vzifehdoost dkk, 2014) 16 I Gde Made Ray

Anom Dananjaya Gede Suparna (Dananjaya dan Suparna) (2016)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion Involvement (X1)

3. Hedonic Consumption Tendency (X2)

1. Fashion Involvement berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying 2. Hedonic consumption

tendency berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying 17 Abdolmajid

Nooreini

(Nooreini) (2014)

1. Impulse Buying (Y)

2. Fashion Orientated Involvement (X1)

3. Positive Emotion (X2)

4. Hedonic Consumption Tendency (X3)

1. Fashion orientated involvement berpengaruh positif pada impulse buying

2. Hedonic consumption tendency memiliki pengaruh positif dengan impulse buying

3. Positive emotion memiliki pengaruh positif terhadap impulse buying

4. Positive motion dan hedonic consumption secara simultan berpengaruh positive terhadap impulse buying.

C. Kerangka Pemikiran

1. Pengaruh fashion involvement, kecenderungan konsumsi hedonis dan positif emosi secara simultan terhadap pembelian impulsif.

Menurut Rook (1987) dalam Andriyanto dkk (2016) pembelian impulsif adalah sebagai pembelian ketika konsumen merasakan dorongan keinginan secara tiba-tiba, terkadang sanat kuat dan keras untuk membeli sesuatu secara cepat. Dalam hal ini, pembelian tidak terencana sering terjadi dan dialami oleh konsumen karena adanya dorongan keinginan,

(18)

konsumsi hedonis dan perasaan emosional yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian tersebut. Sehingga saat melakukan pembelian, konsumen merasa puas, senang dan bahagia ketika produk yang dibeli sudah ditangan mereka, terutama peran keterlibatan fashion yang mempengaruhi sikap keputusan dalam pembelian.

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Andriyanto dkk (2016) yang menyatakan fashion involvement dan postive emotion secara simultan berpengaruh signifikan terhadap impulse buying.

2. Pengaruh keterlibatan fashion terhadap pembelian impulsif

Fashion involvement dapat mempengaruhi pembelian impulsif karena apabila sesorang memiliki jiwa keterlibatan fashion yang tinggi, hal ini akan menimbulkan pembelian impulsif karena akibat dari dorongan yang ada mengenai hasrat keinginan atau kebutuhan terhadap produk fashion yang ditawarkan tanpa berpikir panjang. Fashion Involvement adalah tingkat keterlibatan seseorang dengan produk fashion karena adanya kebutuhan, keinginan, kepentingan, ketertarikan, dan nilai terhadap produk fashion dan perilaku pembelian (Imbayani dan Novarini, 2018).

Fashion involvement mengacu pada ketertarikan perhatian dengan kategori produk fashion (seperti pakaian) yang berkaitan sangat erat dengan karakteristik pribadi (kaum muda) dan pengetahuan fashion, yang nantinya akan mempengaruhi kepercayaan konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian menurut (Hermanto, 2016).

(19)

Konsumen dengan fashion involvement yang tinggi kemungkinan besar akan melakukan pembelian impulsif atas produk fashion.

Berdasarkan hasil penelitian dari Andriyanto dkk (2016), Hermanto (2016), Serliani dkk (2019), Natalie dan Japarianto (2019), Dewi dkk (2015) mengemukakan bahwa fashion involvement berpengaruh signifikan terhadap impulse buying dan menurut penelitian dari Imbayani dan Novarini (2018), Pangestu dan Santika (2018), Kinasih dan Jatra (2018), Vzifehdoost dkk (2014), Dananjaya dan Suparna (2016) mengemukakan bahwa fashion involvement berpengaruh positif dan signifikan terhadap impulse buying.

3. Pengaruh kecenderungan konsumsi hedonis terhadap pembelian impulsif Menurut Alba dan Williams (2012) dalam Dananjaya dan Suparna (2016) kecenderungan konsumsi hedonis dapat mempengaruhi pembelian impulsif, karena konsumsi hedonis dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan barang atau jasa dengan menciptakan kesenangan dan pengalaman baru saat berbelanja. Konsumsi hedonis berusaha mengeksplorasi kesenangan dan bagaimana konsumen berusaha mengejar sebuah kesenangan. Menurut Yuana (2010) dalam Tsaqif dkk (2018) hedonisme merupakan filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah hal yang paling utama, paling penting untuk dikejar atau diperjuangkan.

Konsumsi hedonis merupakan perilaku belanja yang berhubungan dengan perasaan, khayalan, dan aspek yang berkenaan dengan perasaan dari suatu pengalaman orang dengan produk (Utami, 2017). Menurut

(20)

Dananjaya dan Suparna (2016) menyatakan terdapat hubungan antara pembelian impulsif dan motivasi belanja hedonis, secara tidak langsung ketika konsumen melakukan pembelian impulsif pada saat itu juga konsumsi hedonis yang cenderung menjadi kebutuhan dizaman sekarang ini dapat dipenuhi.

Berdasarkan hasil penelitian Permatasari dkk (2017), Dewi dkk (2015) mengemukakan bahwa kecenderungan konsumsi hedonis mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembeli impulsif dan hasil penelitian Pangestu dan Santika (2019), Kinasih dan Jatra (2018), Dananjaya dan Suparna (2016), Vzifehdoost dkk (2014) mengemukakan bahwa kecenderungan konsumsi hedonis mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap impulse buying.

4. Pengaruh emosi positif terhadap pembelian impulsif

Emosi positif berpengaruh terhadap pembelian impulsif dikarenakan jika mood seseorang dapat mengarah menjadi emosi positif yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan pembelian impulsif. Emosi positif adalah perasaan positif yang dialami seseorang dimana dapat didatangkan sebelum terjadinya mood seseorang, kecondongan sifat afektif dan reaksi pada lingkungan yang mendukung seperti ketertarikan pada item barang, pelayanan yang diberikan ke konsumen, ataupun adanya promosi penjualan menurut (Hermanto, 2016). Menurut Amiri et al. (2012) dalam Imbayani dan Novarini (2018) penciptaan emosi positif pada konsumen mengenai satu produk atau artikel atau bahkan lingkungan toko dapat meningkatkan motif konsumen dalam meningkatkan pembelian impulsif.

(21)

Hal ini dikarenakan apabila seseorang memiliki emosi positif mengenai suatu produk atau bahkan lingkungan toko, maka hal itu dapat mendorong seseorang untuk melakukan pembelian tak terencana dikarenakan emosi positif yang dimilikinya membuat dia merasa senang, bahagia dan nyaman saat sedang melakukan pembelian tak terencana.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Andriyanto dkk (2016), Hermanto (2016), Permatasari dkk (2017), Utami dan Utama (2016), Dewi dkk (2015) menyatakan emosi positif berpengaruh secara signifikan terhadap pembelian impulsif. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Pangestu dan Santika (2019), Kinasih dan Jatra (2018), Dewi dan Giantari (2015), Dewi dkk (2015), Imbayani dan Novarini (2018) menyatakan emosi positif berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pembelian impulsif.

H1

D.

a. H2(+) H3(+) E. H4(+) F.

G.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Fashion Involvement (X1)

Kecenderungan Konsumsi Hedonis (X2)

Pembelian Impulsive (Y)

Emosi Positif (X3)

(22)

D. Hipotesis

Hipotesis berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan dan hasil penelitian terdahulu, maka hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1 : Ada pengaruh secara simultan fashion Involvement, Kecenderungan Konsumsi Hedonis dan Emosi Positif terhadap Pembelian Impulsif H2 : Ada pengaruh yang positif signifikan Fashion Involvement terhadap

Pembelian Impulsif.

H3 : Ada Pengaruh yang positif signifikan Kecenderungan Konsumsi Hedonis terhadap Pembelian Impulsif

H4 : Ada Pengaruh yang positif signifikan Emosi Positif terhadap Pembelian Impulsif.

Referensi

Dokumen terkait

- 1 orang Kepala pelaksana (dilampirkan dengan SKT Pelaksana Perpipaan) dengan pendidikan minimal STM Bangunan dan pengalaman minimal 5 tahun.. - 1 orang Pelaksana

Dengan diratifikasinya beberapa Kovenan penting tersebut, maka penting bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian atas hak-hak yang dijamin di dalam

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa perbandingan volume metanol dalam campuran minyak goreng bekas dan konsentrasi katalis Na- metoksida berpengaruh terhadap

 Hingga saat ini Indonesia adalah negara yang terikat dengan rejim global ekonomi, dimana utang luar.. negeri, lapar investasi dan ketertundukan pada rezim pasar bebas, dengan

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara umum anak pada masa akhir kanak-kanak di Yogyakarta memiliki tingkat kenakalan yang rendah.. Kata Kunci: Kenakalan Anak,

Many researchers have studied edge-magic total and super edge-magic total labelings for many families of disconnected graphs (see the general survey of Gal- lian [14]) and obtained

Penerapan model STAD pada siklus I terlihat dapat meningkatkan motivasi belajar serta hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran PKn pada peserta didik kelas IV SD 5 Bae

Nmaun untuk kampus swasta lainnya mengalami peningkatan mahasiwa baru yang masuk hal ini memungkinkan untuk melakukan analisa dalam penerapan strategi merek terhadap