TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP KARANG
Acropora formosa
HASIL
TRANSPLANTASI DI PERAIRAN SAWAPUDO KECAMATAN SOROPIA
Survival Rate of Coral
Acropora formosa
as Transplantation Results in Sawapudo
Waters Soropia District
Febry Hisbullah Nurman1, Baru Sadarun
2, dan Ratna Diyah Palupi
31,2,3 Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo
Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduanohu Kendari 93232 1Email : febry_MSP66@yahoo.com
Abstrak
Pengambilan dalam penelitian ini pada bulan September sampai Oktober 2013 di Perairan Sawapudo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup karang hasil transplantasi mengetahui dan faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kelangsungan hidup karang. Metode penentuan titik stasiun penelitian secara purposif yaitu dibagi dalam 2 stasiun (kedalaman 3 dan 7 m). Hasil dari penelitian ini persentase tingkat kelangsungan hidup karang A. formosa yang ditransplantasi di kedalaman 3 dan 7 m tidak menunjukkan adanya perbedaan yaitu sebesar 70,83%. Sedangkan persentase tingkat kelangsungan hidup karang transplan pada meja kontrol menunjukkan hasil sedikit lebih rendah (66,67%). Faktor yang dominan memengaruhi tingkat kelangsungan hidup karang yang ditransplantasi adalah penutupan algae, sedimentasi, dan ukuran fragmen karang dengan cabang yang berbeda. Kedalaman 7 m merupakan kedalaman yang baik bagi karang transplan untuk melakukan adaptasi fragmen karang terhadap lingkungan.
Kata kunci : Acropora Formosa, Perairan Sawapudo, Tingkat Kelangsungan Hidup, Transplantasi Karang
Abstract
The data research was carried out in September to October 2013 in the Sawapudo waters. The purpose of this study was to determine the survival rate and the factors that affect the survival rate of transplant outcomes coral reef type A. formosa in the Sawapudo waters of the Soropia District. Method the determination of the point of the research station and purposively determined for the two stations are at a depth of 3 m and 7 m. The percentages of survival rate on coral A. formosa transplanted at a depth of 3 m and 7 m did not show any difference in the amount of 70.83 %. While the survival rate of transplants at the control desk or 66.67 % without treatment. The dominant factor affecting the survival rate of coral transplanted that is filamentous algae cover, sediment, and rock fragment size with different branches . Based study showed that the depth of 7 m is a good depth for transplants in terms of adaptation of coral fragments.
Keywords : Coral Acropora Formosa, Sawapudo Waters, Survival rate, Transplantation Coral
Pendahuluan
Terumbu karang merupakan suatu
ekosistem parairan laut yang sangat produktif, kaya akan keanekaragaman hayati laut, dan merupakan panorama di dasar laut yang indah. Ekosistem ini memiliki peranan yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung. Peranan terumbu karang secara langsung antara lain sebagai obyek wisata bahari, sarana pendidikan dan penelitian, serta farmasi. Sedangkan peranan secara tidak langsung yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi, pemecah gelombang,
sumber keanekaragaman hayati (tempat
pembesaran, tempat mencari makan, serta
tempat memijah bagi biota penghuni terumbu karang), dan merupakan sumber plasma nutfah (Haris, 2008).
Sebagian besar tipe terumbu karang di Perairan Sawapudo berbentuk karang tepi
(fringing reef). Sayangnya tingginya potensi
dan manfaat ekosistem ini tidak diimbangi
dengan pengelolaan secara optimal.
Berdasarkan pengamatan di lapangan telah terjadi kerusakan terumbu karang di perairan ini yang didominasi karena faktor antropogenik.
ekosistem di wilayah tersebut. Berbagai teknik dan upaya telah dilakukan untuk memperbaiki dan merehabilitasi terumbu karang (Ketjulan, 2013). Teknik rehabilitasi yang telah dikenal dan telah diterapkan di beberapa daerah di dunia adalah transplantasi karang (Edwards dan Clark, 1998). Transplantasi karang dapat diartikan sebagai pemindahan sebagian dari suatu spesimen karang ke tempat lain dengan menggunakan substrat buatan ataupun substrat yang telah ada di lokasi penanaman (Sadarun, 1999). Transplantasi bertujuan mempercepat
regenerasi terumbu karang yang telah
mengalami kerusakan atau memperbaiki daerah terumbu karang yang telah rusak (Harriot dan Fisk, 1988). Pada perkembangan selanjutnya transplantasi karang ini bertujuan untuk budi daya karang sebagai kebutuhan keperluan hiasan aquarium laut.
Kegiatan monitoring dalam
transplantasi terumbu karang sangatlah
diperlukan. Hal ini berguna untuk
memperkecil kematian fragmen karang hasil transplantasi. Oleh karena itu informasi mengenai persentase tingkat kelangsungan hidup dan faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan tingkat kelangsungan hidup karang transplan perlu diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup fragmen karang yang ditransplantasi di Perairan Sawapudo dan mengetahui faktor–faktor yang menyebabkan kematian fragmen karang. Manfaat dari penelitian ini adalah adanya informasi yang
dapat memberi gambaran keberhasilan
transplantasi karang, khususnya karang jenis
A. formosa di Perairan Sawapudo.
Bahan dan Metode
Pengambilan data penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2013. Penelitian ini bertempat di Perairan Sawapudo yang secara administrasi terletak di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Metode penentuan titik stasiun secara purposif, yaitu berdasarkan letak bibit karang, kondisi perairan, dan aman dari aktifitas masyarakat. Stasiun pengamatan ditentukan berjumlah 2 titik, yaitu stasiun I
kedalaman 3 m (koordinat 122,61018o BT dan
03,89703o LS) dan stasiun II kedalaman 7 m
(koordinat 122,61002oBT dan 03,89700o LS).
Peta lokasi titik stasiun penelitian
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Perairan Sawapudo
Alat yang digunakan dalam penelitian di lapangan terbagi dua yaitu peralatan dalam
pengamatan tingkat kelangsungan hidup
karang seperti peralatan scuba, termometer raksa, GPS, Handrefraktometer, secchi disk, layangan arus, stopwatch, sediment trap, dan kamera digital bawah air. Peralatan dalam pembuatan meja transplantasi karang seperti tali pancing, kerangka pipa, rangka, tali sigma, pipa paralone, kertas label, dan wadah sampel.
Penentuan jenis karang uji yang akan ditransplantasi yaitu dari Genus Acropora,
Spesies A.formosa. Penetuan jenis karang
ini berdasarkan survey pendahuluan di lokasi penelitian. Diketahui jenis karang ini cukup melimpah di Perairan Sawapudo dan berkoloni besar sehingga cocok dijadikan bibit. Harriott dan Fisk (1998) menyatakan bahwa karang Acropora branching sangat cocok digunakan sebagai fragmen karang untuk kegiatan
transplantasi karena memiliki tingkat
ketahanan hidup yang tinggi dan
pertumbuhannya relatif cepat.
Bibit karang uji jenis A. formosa diambil
dengan cara memotong karang mulai dari tunas (ujung tungkai) kebawah sepanjang ± 7 cm dengan menggunakan gunting baja (Sadarun
dkk, 2006). Transplantasi karang dilakukan
menggunakan meja transplantasi yang terbuat dari konstruksi pipa yang berisikan campuran semen yang berukuran 100 x 50 cm dengan tinggi kaki 40 cm. Sebagai tempat melekatnya fragmen karang digunakan substrat semen yang berdiameter 10 cm dan tebal 3 cm dengan pipa kecil terpasang di tengah substrat semen. Pipa tersebut berfungsi untuk meletakkan fragmen
karang dengan cara diikat menggunakan cable
ties. Pengikatan ini dimaksudkan agar karang
Meja transplantasi yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 5 buah, 2 buah diletakkan masing-masing pada kedalaman 3 dan 7 m sebagai meja perlakuan dan 1 buah meja diletakkan di kedalaman 3 m sebagai kontrol. Perlakuan tersebut meliputi perawatan atau pembersihan rangka, media, dan fragmen karang dari alga atau kotoran lain yang menempel pada fragmen karang maupun meja transplantasi. Jumlah fragmen karang yang digunakan sebanyak 60 buah dengan perincian tiap meja transplantasi sebanyak 12 fragmen karang.
Pengamatan kondisi karang yang
ditransplantasi mencakup lama pengeluaran
lendir, waktu penyembuhan, perhitungan
persentase tingkat kelangsungan hidup, serta
mendiskripsikan faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat kelangsungan hidup
fragmen karang. Pengamatan lama pengeluaran lendir dan lama penyembuhan luka dilakukan setiap hari selama dua minggu dimulai sejak hari pertama pemotongan. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup selanjutnya dilakukan setiap minggu selama 2 bulan.
Parameter lingkungan yang diukur selama penelitian meliputi beberapa parameter fisika dan kimia oseanografi yaitu suhu, laju
sedimentasi, kecerahan, kecepatan arus
permukaan, salinitas, pH, dan nutrien.
Menghitung tingkat Kelangsungan
hidup karang yang ditransplantasi digunakan
rumus (Sadarun dkk, 2006).
SR =N-1N2 x100(%)
Keterangan :
SR = Tingkat Kelangsungan Hidup Karang yang Ditransplantasi (%)
N1 = Jumlah Karang yang Hidup pada Akhir Pengamatan
N2 = Jumlah Karang yang Hidup pada Awal Pengamatan
Laju sedimentasi dinyatakan dalam
mg/cm2/hari (Roger et al. 1994 dalam Partini,
2009). Pengamatan dilakukan dengan
mengambil sedimen yang terperangkap dalam
sediment trap yang dipasang pada saat awal
penelitian dan kemudian diambil pada akhir
penelitian. Perhitungan laju sedimentasi
dilakukan dengan menggunakan rumus :
LS =Jumlah hari X πrBS 2
Keterangan :
LS = Laju Sedimentasi (mg/cm2/hari)
BS = Berat Kering sedimen (mg)
π = Konstanta (3.14)
r = Jari Jari Lingkarang Sediment trap (cm)
Hasil dan Pembahasan
Pengeluaran lendir merupakan salah satu indikasi bahwa karang yang ditransplantasi dalam keadaan stress. Lendir yang dikeluarkan oleh karang merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungannya. Karang akan lama mengeluarkan lendir apabila berada pada kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhan-nya. Pengeluaran lendir bermanfaat bagi karang untuk melindungi diri dari kondisi luar yang tak stabil dan akan kembali normal setelah pengaruh tersebut sudah hilang (Johan, 2008).
Berdasarkan Gambar 2 dan 3 menunjukkan hasil bahwa waktu pengeluaran lendir dan penyembuhan luka pada karang transplan lebih cepat terjadi pada kedalaman 7 m dibanding 3 m. Hal tersebut mengandung arti bahwa kedalaman 7 m merupakan tempat terbaik karang transpan
melakukan proses penyembuhan setelah
dilakukan pemotongan. Kestabilan kondisi fisik lingkungan dan kesamaan kondisi lingkungan dengan induk karang transplan diduga sebagai penyebab cepatnya fragmen karang melakukan proses penyembuhan pada kedalaman ini. Proses ini diperkuat dengan ditemukannya 3 fragmen karang yang mengalami kematian di kedalaman 3 m setelah karang berhenti dari penyembuhan luka. Kematian ini dikarenakan fragmen karang yang
merupakan juvenil karang tidak mampu
beradaptasi terhadap perubahan kondisi fisik lingkungan perairan yang berbeda dengan habitat induknya).
Pengamatan waktu penyembuhan luka pada fragmen karang yang ditransplantasikan merupakan indikator awal bahwa bekas patahan
akibat pemotongan karang yang
ditransplantasikan sudah tidak terlihat lagi. Setelah penyembuhan luka terhenti, maka fragmen karang siap melakukan pertumbuhan sampai nanti akhirnya tumbuh menjadi koloni karang dewasa. Hasil ini sedikit berbeda dengan penelitian Johan (2008) yang melakukan penelitian di gugusan Pulau Pari Kepulauan Seribu, menyebutkan bahwa karang dengan jenis
yang sama (A. formosa) baru kembali sembuh
dari stressnya setelah hari ke-7 sampai 8. Lebih lanjut Johan (2008) mengemukakan bahwa
lamanya karang mengalami stress sangat
Gambar 2. Waktu Pengeluaran Lendir dan Penyembuhan Luka Fragmen Karang (kedalaman 3 m)
Gambar 3. Waktu Pengeluaran Lendir dan Penyembuhan Luka Fragmen Karang (kedalaman 7 m)
Pengamatan tingkat kelangsungan hidup
karang A. formosa yang ditransplantasikan pada
dua kedalaman yang berbeda menunjukkan tingkat keberhasilan hidup yang tinggi. Secara keseluruhan, persentase tingkat kelangsungan hidup karang transplan di lokasi penelitian menunjukkan hasil yang sama pada dua kedalaman berbeda, yaitu sebesar 70,83% sampai akhir penelitian (Gambar 4). Kegiatan transplantasi ini dapat dikatakan berhasil karena hasilnya di atas 50% (Harriot and Fisk, 1988), yang mengadung arti bahwa lebih dari setengah
karang yang ditransplantasi mengalami
pertumbuhan.
Keberhasilan tingkat kelangsungan
hidup pada penelitian ini juga karena lokasi penanaman (transplantasi) tidak jauh dari lokasi pengambilan bibit (fragmen) yang disesuaikan dengan kedalamannya. Sehingga pengaruh buruk
akibat perubahan lingkungan terutama
kedalaman dan parameter kualitas air tidak
begitu berpengaruh pada spesimen yang ditransplantasi. Apalagi bibit yang diambil di sekitar perairan Sawapudo dapat tergolong sebagai bibit yang sehat karena bibit terlihat cerah, tanpa ada luka dengan kondisi polip yang masih baik. Selain itu, induk dari bibit itu sendiri memiliki rumpun yang besar.
Berdasarkan pengamatan tiap minggu hasil transplantasi karang di kedalaman 3 m menunjukkan hasil bahwa kematian karang baru terjadi pada minggu kedua sebanyak 3 buah. Minggu ketiga dan keempat masing-masing mengalami kematian sebanyak 1 buah. Minggu terakhir pengamatan karang yang ditransplantasi mengalami kematian sebanyak 2 buah atau tingkat kelangsungan hidup karang sebesar 70,83%. Berdasarkan pengamatan secara visual, fragmen karang yang mengalami kematian di kedalaman 3 m disebabkan oleh tertutupnya karang oleh filamentous alga dan partikel sedimen.
Lama Pengeluaran Lendir Lama Penyembuhan Luka
0
Gambar 4. Tingkat Kelangsungan Hidup Karang A. formosa hasil transplantasi pada Kedalaman 3 m, 7 m, serta Rak Kontrol.
Kematian fragmen karang A. formosa
yang ditransplantasi pada kedalaman 7 m pada minggu pertama sampai minggu ketiga masih belum terjadi. Kematian baru terjadi pada minggu keempat sebanyak 1 buah. Kematian pada minggu selanjutnya menunjukkan hasil yang signifikan, yaitu karang yang mati sebanyak 4 buah. Kematian fragmen karang yang mati secara massal di minggu keempat dikarenakan pada waktu ini terjadi penurunan suhu secara mendadak (Tabel 1). Hal ini dapat meningkatkan stress pada karang transplan hingga menyebabkan kematian. Kematian karang karena pengaruh faktor ini dicirikan dengan pemutihan karang secara menyeluruh.
Karang yang putih (bleaching)
mengindikasikan zooxanthella pada jaringan
karang telah keluar/mati. Berkurangnya
zooxanthella ini dapat berakibat berkurangnya suplai makanan sebagai hasil dari fotosistesis alga bersel satu ini untuk biota karang. Pengamatan pada minggu keenam kematian fragmen karang bertambah sebanyak 2 buah sehingga total kematian fragmen karang menjadi 7 buah dengan tingkat kelangsungan
hidup mencapai 70,83% sampai akhir
pengamatan.
Hasil tingkat kelangsungan hidup jika dibandingkan dengan karang transplan pada meja kontrol menunjukkan hasil yang tidak terlalu signifikan. Hasil pengamatan tingkat kelangsungan hidup pada meja kontrol sampai pada akhir pengamatan sebesar 66,67%. Berbedaan yang terjadi antara meja kontrol dengan meja perlakuan adalah pada saat
dimulainya kematian karang transplan.
Kematian karang pada meja kontrol terjadi sejak minggu pertama atau pada saat karang berhenti dari proses penyembuhan luka.
Kematian fragmen karang pada meja kontrol dicirikan dengan memudarnya fragmen karang yang menandakan zooxanthellae pada karang sudah mati, selain itu kematian karang disebabkan oleh tertutupnya fragmen karang
oleh filamentous alga, dan umumnya kematian
fragmen karang sebagian besar terjadi pada fragmen karang yang memiliki cabang 1 dan 2. Fragmen karang yang memiliki bercabangan
sedikit mengandung arti bahwa biota
karang/polip karang yang terdapat pada fragmen karang tersebut jumlahnya sedikit dan zooxanthella yang bersibiosis juga sedikit pula. Besar kecilnya jumlah zooxanthella dan jumlah polip dapat memengaruhi ketahanan karang untuk menerima pengaruh dari luar.
Suhu memengaruhi kecepatan
metabolisme, reproduksi, dan perombakan
bentuk luar dari karang (Sadarun dkk, 2006).
Suhu yang relatif konstan sangat baik untuk
pertumbuhan biota karang. Sebaliknya
perubahan suhu secara tiba-tiba dapat
menyebabkan stress pada karang yang dapat berdampak kematian. Hal ini terjadi pada kedalaman 7 m di lokasi penelitian. Kematian karang secara mendadak terjadi pada minggu kelima, dimana 4 fragmen karang mengalami
pemutihan dan mati. Menurut tomascik et al.
(1997) mengemukakan bahwa terumbu karang pada suatu lokasi hanya dapat mentolerir
perubahan suhu sekitar 2-3oC.
0
Parameter lain yang dapat menyebabkan
kematian karang adalah sedimentasi.
Berdasarkan kedalaman, laju sedimentasi pada kedalaman 3 m lebih tinggi dibanding kedalaman 7 m. Laju sedimentasi di lokasi penelitian masuk dalam level sedang hingga
bahaya (Pastorok dan Bilyard, 1985 dalam
Supriharyono, 2000), walaupun berdasarkan nilainya laju sedimentasi di kedalaman 7 m masih tergolong lebih rendah (Tabel 1). Partikel sedimen akan teraduk di kolom perairan dengan adanya kekuatan arus. Selanjutnya partikel sedimen ini nantinya dapat menutupi polip karang. Polip karang yang tertutup sedimen akan menghambat
zooxanthella untuk berfotosintesis
(Supriharyono, 2000). Selain itu pengadukan dari partikel sedimen juga berpengaruh terhadap kecerahan perairan yang dapat menghambat masuknya sinar matahari. Sinar matahari ini dibutuhkan zooxanthella untuk
melakukan proses fotosintesis. Menurut
Wibisono (2005) menyatakan bahwa selain ukuran partikel sedimen, arus juga berperan penting dalam distribusi sedimen secara vertikal maupun horizontal. Makin kecil ukuran partikel yang akan diendapan maka pengaruh arus laut akan semakin besar.
Tabel 1. Pengukuran parameter fisik-kimia perairan
Parameter Satuan Rata-rata/
Kisaran
Kecepatan arus m/detik 0,0354-0,0465
Laju sedimentasi
Proses kematian fragmen karang dapat dibuktikan dengan pengamatan visual dengan ditemukannya partikel sedimen menempel pada karang yang mati. Partini (2009) menyatakan bahwa kematian karang terjadi karena sedimen yang menutupi permukaan karang tidak seimbang dengan kemampuan karang untuk memindahkan sedimen sedimen tersebut.
Penempelan alga juga merupakan salah
satu faktor kematian fragmen karang.
Filamentous alga tumbuh subur di lokasi penelitian. Filamentous alga adalah jenis alga yang berbentuk filamen atau seperti benang. Tumbuhnya alga ini dapat mengancam keberadaan karang transplan dalam hal
kompetisi ruang maupun makanan.
Pengamatan transplantasi karang yang
dilakukan tiap minggu menunjukkan hasil bahwa penutupan alga di kedalaman 3 dan 7 m yang menyebabkan kematian pada fragmen karang terjadi sejak minggu kedua. Sedangkan pada meja kontrol penutupan alga jenis ini mengakibatkan kematian karang sejak minggu pertama. Meja kontrol yang merupakan meja
transplantasi tanpa perlakuan membuat
filamentous alga dapat tumbuh subur karena tidak dilakukan pembersihan tiap minggunya.
Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, filamentous alga tumbuh subur pada substrat semen dan menutupi fragmen karang sehingga menyebabkan penggunaan energi yang berlebih bagi karang untuk bersaing dengan filamentous alga ini. Ketersediaan nutrien di perairan merupakan salah satu faktor yang mendukung pertumbuhan alga yang tidak diinginkan ini.
Perbedaan ukuran serta jumlah
percabangan dari bibit karang juga merupakan salah satu faktor penghambat keberhasilan transplantasi. Sebagian besar karang yang mati memiliki jumlah percabangan 1-2 dan ukuran yang lebih pendek. Semakin kecil dan sedikit
percabangan akan berpengaruh terhadap
jumlah polip karang dan zooxanthellae. Hal
tersebut akan berpengaruh terhadap daya tahan karang untuk beradaptasi dan menerima dampak dari luar sehingga memengaruhi tingkat kelangsungan hidupnya. Menurut Herdiana (2001) bahwa ukuran karang yang
lebih besar cenderung akan memiliki
kelangsungan hidup yang lebih baik
dibandingkan dengan ukuran kecil.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Persentase tingkat kelangsungan hidup
karang A. formosa yang ditransplantasi di
2. Faktor penghambat yang memengaruhi
tingkat kelangsungan hidup karang A.
formosa yang ditransplantasi adalah
penutupan filamentous alga, laju
sedimentasi, suhu, dan ukuran fragmen karang dengan cabang yang berbeda.
3. Kedalaman 7 m adalah kedalaman terbaik
fragmen karang A. formosa untuk pulih dari
luka bekas pemotongan saat transplantasi.
Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada pinpinan dan staf Bintang Samudera atas segala fasilitas yang diberikan selama pengambilan data penelitian di lapangan.
Daftar Pustaka
Clark, S., dan A.J. Edwards. 1995. Coral Transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldive Islands. Springer-Verlag.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 258 hal. Elisnawaty. 2000. Studi Kondisi Terumbu
Karang Berdasarkan Distribusi Jenis
Ikan Chaetodontidae Sebagai Bio
Indikator di Perairan Pulau Barang
Lompo Sulawesi Selatan. Skripsi.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Unhalu. Kendari
Haris, A. 2008. Transplantasi Karang
Acroporidae pada Substrat Alami.
Jurnal Penelitian Perikanan dan
Kelautan. Vol X (12) :33-42.
Harriot, V.J. and D.A. Fisk. 1988. Coral Transplation As Reef Management
Option. Proceedings Of the 6th
International Coral Reef Syimposium 2: 375-379p.
Herdiana Y. 2001. Respon Pertumbuhan Serta
Keberhasilan Transplantasi Koral
Terhadap Ukuran Fragmen dan Posisi Penanaman Pada Dua Spesies Karang
Acropora microphtalma (Verrill, 1869)
dan Acropora Intermedia (Brook, 1891)
Di Perairan Pelau Pari, Kepulauan Seribu. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hal.
Johan, O.2001. Tingkat Keberhasilan
Transplantasi Karang Batu pada Lokasi
Berbeda di Gugusan Pulau Pari
Kepulauan Seribu Jakarta. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ketjulan, R. 2013. Kelangsungan Hidup
Karang (Acropora formosa) pada Area
yang Telah Mengalami Kerusakan di Perairan Pulau Hari. Jurnal Mina Laut, Vol (01): 1-6.
Partini. 2009. Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang Di Pantai Timur
Kabupaten Bintan. Tesis. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 99 hal.
Sadarun, Nezon E, Wardono S, Fandy Y A, Nuriadi L. 2006. Pedoman Pelaksanaan
Transplantasi Karang. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Sadarun. 1999. Transplantasi Karang Batu Di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 67p.
Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. 118 hal.
Tomscik T., Mah A J., Nontji A., Moosa M.K., 1997. The Ecology of Indonesian Seas. Periplus Editions. 1387 p.