• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Human Capital dan Pendidika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Human Capital dan Pendidika"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Human Capital dan Pendidikan

Kosmopolitan

Muhadi Sugiono

The man whose whole life is spent in performing a few simple operations, of which the effects, too, are perhaps always the same, or very nearly the same, has no occasion to exert his understanding, or to exercise his invention, in finding out expedients for removing difficulties which never occur. He naturally loses, therefore, the habit of such exertion, and generally becomes as stupid and ignorant as it is possible for a human creature to become. The torpor of his mind renders him not only incapable of relishing or bearing a part in any rational conversation, but of conceiving any generous, noble, or tender sentiment, and consequently of forming any just judgment concerning many even of the ordinary duties of private life.

(Adam Smith 1776/1976, 752)

Human capital merupakan salah satu konsep yang paling penting di dunia saat ini. Konsep ini sangat berpengaruh terutama, sekalipun mungkin tidak secara ekslusif, dalam bidang ekonomi. Dalam kerangka ini, human capital dianggap sangat berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran sebuah negara. Oleh karenanya, negara-negara yang ingin menikmati pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran harus memperhatikan dan mengembangkan secara serius human capital yang dimilikinya. Pengembangan human capital adalah sebuah bentuk investasi (investing in people) dan merupakan tuntutan dari ekonomi modern yang tidak bisa dihindarkan.

Tulisan ini berusaha melihat konsep human capital dengan cara yang lebih kritis. Berangkat dengan perspektif kosmopolitan, tulisan ini akan, pertama, mengkaji bangun teoretis yang mendasari konsep human capital yang dominan saat ini; kedua, mengkaji signifikansi konsep human capital yang dominan bagi tantangan yang dihadapi oleh umat manusia (human beings) dan ketiga, melihat peran pendidikan sebagai manifestasi dari pengembangan human capital.

Manusia,

Human Capital

dan Ekonomi: Teori dan Konsep

Pada dasarnya, human capital adalah konsepsi yang berusaha untuk mengkaitkan peran manusia dengan proses ekonomi, sebagai bagian dari upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar seperti 'apa yang mendorong pertumbuhan ekonomi?' atau 'mengapa dan bagaimana sebuah bangsa mampu menghasilkan kekayaan dan kemakmuran.' Dalam artian ini, human capital sebenarnya bukanlah sebuah konsep baru dalam teori ekonomi. Sekalipun tidak menggunakan label human capital, peran manusia sebagai penentu dalam ekonomi telah menjadi perhatian utama dalam pemikiran ekonomi klasik. Tetapi, dalam perkembangan dari pemikiran ekonomi klasik ke pemikiran ekonomi modern terdapat pergeseran makna yang sangat besar mengenai peran manusia dalam ekonomi. Sementara pemikiran ekonomi klasik cenderung memiliki karakter humanis dan memberikan peran

(2)

Dalam pemikiran ekonomi klasik, peran agency manusia dalam ekonomi terlihat dengan sangat jelas misalnya dalam pemikiran Adam Smith. Melalui karya besarnya, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations1 (1776/1976), Smith berusaha

menjelaskan bagaimana sebuah bangsa berhasil secara ekonomi, dalam arti menghasilkan kekayaan dan kemakmuran. Bagi Smith, rahasia keberhasilan ekonomi sebuah bangsa terletak pada peran manusia secara indvidual yang bekerja melalui sebuah mekanisme yang disebutnya dengan invisible hand, yang sebenarnya tidak lain adalah mekanisme pasar. Prinsip dari mekanisme pasar adalah membiarkan setiap orang bertindak dengan pertimbangan yang sangat personal, yakni kepentingannya sendiri tanpa ada intervensi otoritatif terhadap pertimbangan tersebut. Dengan mekanisme ini, pertimbangan yang pada dasarnya sangat individual dan tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama, akan menghasilkan konsekuensi positif secara kolektif.

Penekanan Smith terhadap kepentingan yang bersifat individual sebagai motor bagi ekonomi kolektif ditunjukkannya secara eksplisit dalam salah satu bagian di dalam The Wealth of Nations, 'Bukanlah karena kebaikan si tukang danging, si pembuat bir, atau si tukang roti kalau kita mendapatkan makan malam kita, tetapi dari pertimbangan mereka akan kepentingan diri mereka sendiri (1776/1976, 27; huruf miring adalah penekanan oleh penulis). Argumen Smith ditegaskan lagi saat dia menulis di bagian lain dalam buku yang sama,

. . . setiap individu pasti tidak bekerja keras untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakatnya. Secara umum dia memang tidak bermaksud mengemban kepentingan umum, ataupun tahu seberapa besar dia mengemban kepentingan umum tersebut . . . Dia hanya bermaksud memperoleh keuntungannya sendiri, dan dia, dalam hal ini dan dalam banyak kasus yang lain, diarahkan oleh suatu tangan yang tidak nampak untuk mengemban tujuan yang bukan bagian dari yang dimaksudkannya . . . Dengan mengejar kepentingannya sendiri, dia seringkali meningkatkan kepentingan masyarakat secara lebih efektif daripada jika dia secara sengaja bermaksud mengemban kepentingan masyarakat tersebut (456)

Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa, tidak seperti yang dipahami banyak orang, pandangan Smith tentang manusia pada dasarnya jauh dari intrumentalis. Bahkan, sebaliknya, dengan menekankan pada peran dan makna manusia dalam ekonomi, pada dasarnya pandangan Smith cenderung sangat humanis.

Berbeda dengan pemikiran ekonomi klasik yang humanis, pemikiran ekonomi yang lebih kontemporer cenderung menempatkan manusia pada status instrumental. Pandangan instrumentalis ini menempatkan fungsi manusia sebagai faktor ekonomi, sederajat dengan faktor-faktor yang lain: modal dan sumber daya alam. Melalui model-model ekonomi, Robert Solow, misalnya, pada tahun 1950an berusaha menjelaskan hubungan antara berbagai faktor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam pandangan Solow, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran sebuah bangsa merupakan fungsi dari ketersediaan modal fisik dan sumber daya manusia.

Sekalipun pada awalnya tidak cukup jelas apa yang dimaksud dengan sumber daya manusia, pemahaman instrumentalis ini semakin berkembang pada tahun 1960an dan menghasilkan konsepsi mengenai teori human capital yang sangat dominan sebagaimana yang kita pahami saat ini. Para teoretisi human capital disatukan oleh pemahaman bersama bahwa sumber daya manusia, dan bukan sumber daya alam maupun modal fisik, adalah penentu bagi perkembangan ekonomi maupun sosial suatu bangsa. Psacharopoulos dan Woodhall, misalnya, secara tegas menulis,

Sumber daya manusia adalah dasar utama bagi kekayaan sebuah bangsa. Modal dan sumber daya alam merupakan faktor-faktor produksi yang pasif, manusia adalah pelaku aktif yang

(3)

mengumpulkan modal, mengeksploitasi sumber-sumber alam, membangun organisasi sosial, ekonomi dan politik, serta menjalankan pembangunan nasional (1997, 102)

Tentu saja, konsepsi human capital tidak mengacu secara eksklusif pada sumber daya manusia dalam artian kuantitas, melainkan juga pada kualitas. Human capital bukanlah sumber daya manusia dalam artian pekerja, yang semata-mata mengandalkan kemauan dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik, tetapi sumber daya manusia yang berpendidikan. Dalam artian ini, human capital mengacu pada sumber daya manusia dengan kemampuan, pengetahuan dan kompetensi yang dapat memenuhi tuntutan ataupun meningkatkan produktivitas dalam ekonomi.

Konsepsi human capital sebagai sumber daya manusia yang menekankan pada pentingnya kualitas, disamping kuantitas, mendorong para teoretisi human capital untuk mengasosiasikan human capital dengan pendidikan (Schultz 1971; Psacharopoulos and Woodhall 1997; Fagerlind and Saha 1997; Robert 1991).2 Pendidikan merupakan sarana

untuk membangun human capital dan oleh karenanya negara harus mengalokasikan sumber daya yang sangat besar pada dunia pendidikan. Sebagai instrumen bagi human capital, pendidikan menghasilkan keuntungan ganda: secara individu maupun kolektif. Secara individu, peningkatan pendidikan secara teoretis meningkatkan pendapatan yang diperolehnya, sementara secara kolektif, peningkatan taraf pendidikan dalam masyarakat akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat.

Human Capital

dan Tantangan Global Umat Manusia

Sekalipun memiliki perbedaan teoretis dan konseptual yang signifikan mengenai konsepsi

human capital, sebenarnya pemikiran ekonomi klasik dan modern masih memiliki kesamaan secara metodologis. Mereka berangkat dengan tujuan yang sama, yakni berusaha menjelaskan rahasia keberhasilan (dan ketidakberhasilan) ekonomi sebuah bangsa: mengapa dan bagaimana sebuah bangsa berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi dan menghasilkan kemakmuran. Secara metodologis, baik pemikiran ekonomi klasik maupun moderen, bersifat nasional, dalam arti bahwa konsep human capital hanya masuk akal dan memiliki implikasi praktis jika dipahami dalam kerangka nasional. Untuk itu, sangat menarik melihat signifikansi dan makna konsep human capital dalam konteks dunia yang berubah ke arah global saat ini.

Bagi sementara teoretisi, tidak terlalu sulit mengadaptasi konteks global ke dalam konsep

human capital. Kok-Yee Ng, Mei Lin Tan dan Soon Ang, misalnya, konteks global tidak menjadikan konsep human capital tidak relevan. Konteks global hanya menuntut ditambahkannya suatu kualitas tertentu dalam pemahaman mengenai human capital. Jika dalam konteks nasional, human capital sangat terkait dengan kualitas yang bersumber pada pendidikan formal, yang outputnya adalah pengetahuan dan ketrampilan teknis, konteks global menuntut kita untuk memberi perhatian pada pendidikan non-formal. Termasuk dalam kategori pendidikan non-formal ini adalah pengalaman dan ketrampilan yang diperoleh dari interaksi sosial dalam kerangka kultural yang berbeda-beda. Tambahan kualitas ini menjadikan konsepsi human capital bersifat kosmopolitan. Dengan kata lain, konteks global menuntut kita untuk membangun human capital yang

(4)

kosmopolitan, cosmopolitan human capital (Ng, Tan dan Ang 2011).

Esensi human capital yang kosmopolitan adalah sumber daya manusia yang berpendidikan dan memiliki ketrampilan serta pengalaman yang memungkinkan seorang individu untuk bekerja dengan baik (dalam arti efektif) dalam lingkungan kultural yang berbeda. Karakter human capital yang kosmopolitan ini bertolak belakang dengan human kapital yang berkarakter lokal atau nasional yang hanya mampu bekerja dengan baik dalam konteks kulturalnya sendiri (Haas 2006). Disamping itu, sementara seorang dengan atribut kosmopolitan memiliki visi yang sangat luas dan melampaui komunitasnya sendiri, seorang dengan atribut lokal (nasional) memiliki visi yang sangat terbatas, yakni di komunitasnya sendiri. Dalam artian inilah seorang dengan atribut kosmopolitan memiliki kelebihan yang penting dibandingkan dengan seorang yang tanpa memiliki atribut tersebut.

Kemampuan berpikir dan berkomunikasi melampaui batas-batas komunitasnya memang merupakan salah satu manifestasi dari cara berpikir yang kosmopolitan. Oleh karenanya, konsepsi human capital yang kosmopolitan bisa dilihat sebagai sebuah upaya untuk bisa mengakomodasi tuntutan-tuntutan ke arah global. Tetapi, konsepsi human capital yang kosmopolitan yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak beranjak jauh secara teoretis dari konsepsi human capital yang dominan karena konsepsi tersebut tetap menempatkan manusia dalam posisi instrumental dalam kaitannya dengan ekonomi. Atribut kosmopolitan dalam konteks human capital yang kosmopolitan di atas tetap sangat instrumental dalam artian bahwa penambahan atribut dan karakter kosmopolitan dalam konsepsi human capital sangat diperlukan bagi keberhasilan aktivitas ekonomi, yang saat ini cenderung bergerak ke arah global. Dengan kata lain, atribut kosmopolitan akan menjadikan sumber daya manusia lebih sesuai dengan tuntutan-tuntutan aktivitas ekonomi yang melintasi batas-batas teritorial sebuah komunitas tersebut. Konsekuensinya, penambahan atribut kosmopolitan dalam human capital menjadi

human capital yang kosmopolitan ini tidak memiliki kontribusi yang signifikan bagi kosmopolitanisme sebagai sebuah proyek politik.

Pada dasarnya, kosmopolitanisme adalah pemikiran yang dibangun atas dua prinsip (Brock and Brighouse 2005; Fine 2007; Delanty 2009). Pertama, setiap individu adalah dan harus dilihat sebagai bagian dari umat manusia. Kedua, sebagai konsekuensinya, karena umat manusia adalah sebuah kategori yang alami, keberadaan setiap individu di seluruh dunia adalah sederajat dan bersifat absolut dalam arti bahwa manusia tidak dapat dinilai atau diperlakukan berbeda hanya karena mereka dikelompokkan berdasarkan atribut-atribut artifisial seperti misalnya kewarganegaraan. Konkretnya, status kewarganegaraan seseorang tidak menjadikan hak atau kewajiban seseorang lebih tinggi atau lebih rendah daripada hak dan kewajiban orang lain dalam kaitannya dengan keberadaan mereka sebagai bagian umat manusia secara keseluruhan.

(5)

berbagai bentuk norma-norma ataupun institusi-instusi internasional yang sangat kritis terhadap tatanan modern terutama, tetapi tidak eksklusif, yang terkait dengan konsep negara-bangsa dengan atribut kedaulatannya yang sangat absolut.

Kosmopolitanisme memiliki signifikansi yang semakin besar saat ini dengan berkembangnya realitas sosial yang cenderung bersifat global. Termasuk dalam kategori kondisi global ini adalah tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat manusia. Saat ini, sebagai konsekuensi dari modernitas, umat manusia dihadapkan pada tantangan-tantangan bersama. Tantangan-tantangan-tantangan ini bersifat global dalam arti tidak bisa diatasi secara parsial dan sektoral (Giddens 1990; 1999; Beck 1992). Artinya, institusi-institusi modern yang cenderung membagi umat manusia ke dalam kategori-kategori artifisial yang berbasis politik seperti kewaranegaraan, misalnya, bukanlah basis yang tepat untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Tetapi, sekalipun signifikan, transformasi politik semata-mata tidak cukup memadai sebagai upaya untuk menghadapi tantangan bersama umat manusia. Transformasi politik harus disertai juga dengan transformasi secara kultural.

Adalah dalam artian yang terakhir ini, pengembangan human capital yang kosmopolitan menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Tetapi, karakter kosmopolitan pengembangan

human capital tidak boleh dipahami secara instrumental semata-mata, sebagai upaya untuk mengatasi hambatan kultural dalam kaitannya dengan ekspansi aktivitas ekonomi melampaui batas-batas teritorial, melainkan sebagai bagian dari upaya untuk membangun visi dan kesadaran akan umat manusia sebagai sebuah kategori tunggal dan bermakna. Artinya, membangun human capital yang kosmopolitan adalah membangun sumber daya manusia yang bukan hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat bekerja secara lebih produktif, termasuk dalam aktivitas ekonomi yang bersifat global, tetapi juga yang memiliki pemahaman bahwa tujuan dari aktivitas ekonomi harus mendukung realisasi dari visi dan kesadaran akan pentingnya umat manusia sebagai sebuah kategori tunggal tersebut.

Konkretnya, mengembangkan human capital yang kosmopolitan berarti menciptakan individu-individu yang memiliki kesadaran kosmopolitan. Individu-individu ini adalah individu-individu yang melihat tantangan-tantangan global seperti kerusakan lingkungan, kesenjangan ekonomi dan sosial global, kemiskinan, kelaparan, terorisme dan tantangan-tantangan yang lain sebagai tantangan-tantangan bersama yang dihadapi umat manusia. Artinya, tantangan-tantangan tersebut menyangkut kelangsungan umat manusia secara keseluruhan dan, oleh karenanya, solusi terhadap tantangan-tantangan tersebut hanya mungkin diperoleh melalui upaya bersama umat manusia, tanpa melihat atribut sosial, ekonomi ataupun politik yang secara artifisial telah memisahkan mereka dalam kategori-kategori yang berbeda.

Pendidikan dan Pengembangan

Human Capital

Kosmopolitan

(6)

capital yang kosmopolitan harus memberikan ruang yang sangat besar bagi munculnya interaksi sosial yang multikultural. Meskipun demikian, pentingnya pengalaman personal dalam pengembangan human capital yang kosmopolitan tidak menjadikan kebutuhan akan pendidikan formal hilang atau berkurang. Pendidikan formal tetap menjadi bagian penting, sekalipun bukan yang terpenting, dalam pengembangan human capital yang kosmopolitan.

Tujuan pendidikan bagi pengembangan human capital yang kosmopolitan bukanlah semata-mata sebuah proses yang menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan dalam sebuah aktivitas ekonomi, yakni individu dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam proses produksi atau individu-individu yang mampu mendorong dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Pendidikan (dalam arti formal) adalah sebuah proses yang harus juga mampu menghasilkan individu yang memiliki visi kosmopolitan. Pendidikan harus mampu membuka cakrawala dan mind-set yang memungkinkan individu-individu tersebut untuk bukan hanya bisa menerima tetapi juga sangat menghargai perbedaan sebagai sebuah berkah, bukan masalah.

Martha Nussbaum (1997), misalnya, menggambarkan pendidikan yang bervisi kosmopolitan sebagai proses yang mengajarkan tentang dunia di luar batas-batas politik maupun batasan-batasan lain yang dimiliki oleh seorang individual dan menjadikan seorang individu dengan sadar merasa sebagai bagian dari 'warga dunia.' Dengan kata lain, pendidikan adalah proses untuk mendidik individu menjadi warga dunia. Tentu saja, pendidikan dengan visi kosmopolitan menuntuk perubahan yang sangat signifikan terhadap kurikulum, struktur maupun proses pendidikan yang berlangsung saat ini. Yang paling signifikan dalam artian ini adalah mengubah orientasi pendidikan sebagai proses untuk memupuk nasionalisme dan patriotisme menjadi proses yang sangat condong pada humanisme.

Tidak dapat dipungkiri, reorientasi pendidikan menjadi lebih kosmopolitan bukanlah pekerjaan yang mudah. Tantangan terhadap upaya reorientasi pendidikan juga tidak kecil. Secara politik, menjadikan pendidikan lebih berorientasi kosmopolitan akan menghadapkan kita kepada kelompok-kelompok yang secara ideologis nasionalis, yang melihat pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan warga negara yang patriotis dan nasionalis. Tantangan politis ini juga semakin besar dalam kaitannya dengan benturan kultural maupun religius. Dengan alasan yang berbeda, banyak orang yang juga sangat skeptis terhadap reorientasi pendidikan ini. Setidaknya, bagi mereka pendidikan dalam kerangka kosmopolitan yang berorientasi pada perubahan visi dan sikap dilihat sangat normatif dan tidak memungkinkan dilakukannya pengukuran dan standarisasi terhadap hasil dari proses yang terjadi. Melihat pendidikan dalam kaitannya dengan prestasi menjadi sangat tidak mungkin.

(7)

Kritik yang melihat visi kosmopolitanisme sebagai visi yang sangat normatif dan tidak praktis tentu saja sangat mudah dipatahkan. Orientasi generasi muda untuk eksis dalam ranah global dalam berbagai manifestasinya adalah gambaran sederhana tentang kosmopolitanisme dalam praktik keseharian. Juga, kritik mereka yang melihat ketidakmungkinan pendidikan yang berorientasi untuk membangun visi dan sikap kosmopolitan untuk menghasilkan standar-standar yang bisa diukur dengan mudah dan akurat, bukannya tanpa masalah. Ukuran dan standar yang mereka ajukan sebagai kriteria untuk menilai 'prestasi' sebenarnya sama ilusifnya dengan visi dan sikap. Setidaknya, kita harus menjelaskan makna dan signifikansi ukuran dan standar-standar tersebut: apakah kita melihat dan memberi makna standar dan ukuran tersebut sebagai instrumen atau tujuan?. Kegagalan memberi makna yang tepat terhadap ukuran dan kriteria hanya akan menghasilkan daftar urutan 'keberhasilan' yang sebenarnya tidak menggambarkan apapun dan juga tidak mencerminkan realitas yang ingin digambarkannya. Tanpa kejelasan posisi dan makna ukuran dan stardarisasi, logika yang digunakan menjadi terbalik, seperti seorang kusir yang menempatkan kereta di depan kuda.

Penutup

Paper ini berangkat dari keprihatinan terhadap kecenderungan untuk mereduksi peran dan signifikansi manusia dalam posisi instrumental sebagai bagian dari faktor produksi untuk mencapai tujuan ekonomi, terutama dalam artian pertumbuhan. Membangun

human capital, oleh karenanya, dimaknasi sebagai upaya untuk menghasilkan manusia dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan tersebut. Kosmopolitanisme merupakan pemikiran yang kritis terhadap semangat reduksionis yang mendasari konsep human capital yang dominan saat ini. Dilihat dalam kerangka ini, perpektif kosmopolitan menawarkan gagasan mengenai human capital yang sangat berbeda. Secara esensial, perspektif kosmopolitan mengenai human capital dibangun di atas dua dasar: pertama,

human capital yang kosmopolitan mengembalikan posisi dan signifikansi individu sebagai

agency dan tujuan (nilai), bukan instrumen untuk tujuan atau nilai yang lain. Kedua,

human capital yang kosmopolitan mendorong munculnya solidaritas dan empati individual terhadap sesamanya sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan.

Kutipan dari rangkaian kalimat yang ditulis oleh Adam Smith di bagian awal tulisan ini, secara jelas menggambarkan visi kosmopolitan pemikiran ekonomi klasik. Tetapi, pemikiran ini nampaknya menjadi lebih relevan saat ini daripada satu seperempat abad yang lalu saat Smith menulis. Solidaritas dan empati ini merupakan kualitas human capital yang sangat diperlukan saat ini dan semakin diperlukan di masa mendatang pada saat realitas sosial berkembang ke arah yang cenderung mengabaikan batasan-batasan artifisial baik yang berasal dari bidang politik, sosial maupun ekonomi dan menghasilkan tantangan-tantangan bersama umat manusia. Hanya dalam artian inilah kita bisa berharap akan kelangsungan hidup bersama umat manusia.

Daftar Pustaka

(8)

Beck, Ulrich. 1986. Risikogesellschaft. Auf dem Weg in eine andere Moderne. Suhrkamp: Frankfurt a.M.

Brock, Gillian and Harry Brighouse. 2005. The Political Philosophy of Cosmopolitanism. Cambridge: Cambridge University Press.

Delanty, Gerard. 2009. The Cosmopolitan Imagination The Renewal of Critical Social Theory. Cambridge: Cambridge University Press.

Fagerlind, A. and Saha, L.J. 1997. Education and National Development. New Delhi: Reed Educational and Professional Publishing Ltd.

Fine, Robert. 2007. Cosmopolitanism – Key Ideas. London: Routledge.

Giddens, Anthony. 1999b. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. London: Profile.

Giddens, Anthony. 1990. Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.

Giddens, Anthony. 1999. “Risk and Responsibility.” Modern Law Review, 62, 1: 1-10.

Haas, M.R. 2006. 'Acquiring and Applying Knowledge in Transnational Tems: The Roles of Cosmopolitan and Locals.' Organization Science, 17, 3. 367-84.

Hannerz, Ulf. 2006. 'Two Faces of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie Dinámicas interculturales Número 7. Barcelona: Fundació CIDOB

Ng, Kok-Yee, Mei Ling Tan and Soon Ang. 2011. 'Culture Capital and Cosmopolitan Human Capital: the Impact of the Global Mindset and Organizational Routines on Cultural Intelligence and International Experiences.' In Alan Burton-Jones and J.-C. Spender, eds. Oxford Handbook of Human Capital. Oxford: Oxford University Press: 96-119.

Nussbaum, Martha C. 1997. Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education. Cambridge, Massachusetts and London, Harvard University Press.

Psacharopolous, G. And Woodhall, M. 1997. Education for Developmnt: An Analysis of Investment Choice. New York: Oxford University Press.

Robert, B. 1991. 'Economic Growth in a Cross Section of Countries. Quarterly Journal of Economics, 106, 2: 407-14.

Schultz, T.W. 1971. Investment in Human Capital. New York: The Free Press.

Smith, Adam. 1776. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, edisi Liberty Classics, 1976. Indianapolis: Liberty Classics.

Solow, Robert R. 1956. 'A Contribution to the Theory of Growth.' Quarterly Journal of Economics, 70, 1: 65-94.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Kesadaran untuk menerapkan pendekatan sain atau scientific pada semua mata pelajaran termasuk juga pada pelajaran PAI didasarkan pada sebuah kenyataan bahwa proses

Pencarian kata dalam bahasa Inggris jika dilakukan secara manual, yakni dengan menggunakan kamus yang berbentuk buku tentu cukup memakan waktu dan akan melelahkan jika kata yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kebermanfaatan, sistem informasi, dan promosi terhadap keputusan konsumen menggunakan mobile money

Berdasarkan Undang – Undang No 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 20007 Tentang Pembagian

Pada hari Jum’at tanggal sepuluh bulan agustus tahun dua ribu dua belas, Panitia Pengadaan Barang / Jasa Pekerjaan Pembangunan Gedung Pendidikan MTsN Gresik Kantor

Gaya yang menyebabkan getaran dihasilkan dari gerak berputar elemen mesin.. Gaya tersebut berubah dalam besar dan arahnya sebagaimana elemen putar berubah posisinya

Terdapat perbedaan yang signifikan terapi modeling partisipan terhadap kepatuhan dalam minum obat pada pasien skizofrenia sebelum dan sesudah diberikan terapi

Department of International Business Faculty of Business Administration, Department of Marketing and University of Economics in Bratislava, Faculty of Commerce, Departments of