• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN DAN PEMETAAN KEKUATAN POLIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN DAN PEMETAAN KEKUATAN POLIT"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN DAN PEMETAAN KEKUATAN POLITIK STRATEGIS INDONESIA DARI ERA KEMERDEKAAN

SAMPAI ERA REFORMASI

Muhammad AS Hikam

(mashikam@hotmail.com)

President University

Abstract

Strategic roles that political actors play have something to do with what is in political science called political forces prevailing in a given political system. From diverse theoretical perspectives of political forces like world-system theory, structuralism, and dynamics of civil society, AS Hikam makes a mapping of Indonesia’s strategic political forces. The mapping is made first in the period of “post-independence” of 1945-1959, second, the mapping during the Old Order under Soekarno’s presidency (1959-1966), third during the New Order under Suharto’s presidency (1967-1998), and during the current reform of 1998 –present. Hikam has identified the following features of the strategic political forces in each period: in the post-independent era, it is the traditional political forcesand political parties, in the Old Order era it is authoritarianism supported by the military and political parties, in the era of New Order it is the bureaucratic authoritarianism supported by oligarcy of military, the ruling party, civilian bureaucracy and corporates, and in the era of current reform it is the role of political parties and civil society.

Key words: mapping, political forces, political parties, civil society I. Pendahuluan

(2)

komunitas dan masyarakatnya, maka mereka termasuk dalam kategori kekuatan strategis itu. Dalam dunia perpolitikan, selalu akan dijumpai pribadi dan kelompok serta organisasi-organisasi tertentu yang dianggap sebagai memiliki atau menduduki posisi sebagai kekuatan strategis. Partai politik, organisasi masyarakat, militer, kelompok cendekiawan, korporasi, media, merupakan kekuatan-kekuatan strategis dalam masyarakat dan negara karena mereka ikut menentukan secara langsung atau tidak langsung kebijakan-kebijakan strategis nasional.

Dalam perkembangan sejarah politik di Indonesia, semenjak kemerdekaan sampai era reformasi, peta kekuatan strategis senantiasa berubah, kendati ada aktor-aktor yang relatif konsisten dibanding dengan yang lain. Era Orde Baru (1967-1998), misalnya menyaksikan militer sebagai kekuatan politik strategis paling utama, tetapi kemudian digeser oleh parpol dan masyarakat sipil Indonesia (MSI). Kelompok-kelompok ini mengalami penguatan (empowerment) bukan saja pada tataran legitimasi, tetapi juga tataran praktik politik untuk memiliki akses kekuasaaan di era reformasi. Kekuatan MSI yang pada era orde baru cenderung terpinggirkan, saat ini semakin berkembang dan dianggap mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi pengembangan demokrasi konstitusional. (Ismadi, Eko, 2015).

Keberadaan dan kekuatan MSI dianggap sebagai perwujudan nyata dari prinsip-prinsip kehidupan demokrasi di masa reformasi, sementara sebelumnya mengalami represi.

Dinamika kekuatan-kekuatan politik strategis dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor-faktor struktural, yakni politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dengan demikian posisi dan kekuatan yang mereka miliki tidak akan selalu sama, seimbang, atau tetap. Mengkaji masalah kekuatan politik strategis tidak bisa dilepaskan dari pengaruh struktural, dan senantiasa terbuka terhadap pergeseran, pergantian, dan bahkan perubahan, baik itu kecil, sedang, dan besar. Karena kekuatan-kekuatan tersebut juga tidak berdiri sendiri, maka mereka juga ikut dipengaruhi oleh jejaring (networks) yang ada atau yang tercipta karena relasi dan interaksi mereka. Tumbuh dan berkembangnya interaksi inilah yang pada akhirnya berpengaruh pada pemetaan kekuatan-kekuatan baru di era reformasi dan ke depannya.

II. Perspektif Teoritis tentang Pergeseran Kekuatan Politik

(3)

Yang dimaksud dengan kekuatan adalah kemampuan yang bersifat fisik untuk merealisasikan dan menggunakan (enforcing) kekuasaan yang dimiliki atau yang dipersepsikan dimiliki baik oleh individu maupun kelompok. (Pfeffer, Jeffrey, 1992). Sementara itu yang dimaksud dengan

kekuasaan adalah kapasitas seseorang dan/atau kelompok untuk mengakibatkan orang atau pihak lain melakukan apa yang dikehendaki. Kekuasaan berisi pengaruh yang bersifat memaksa dan selalu terkait dengan relasi-relasi, jejaring (networks) dan komunikasi. Kekuatan politik strategis dapat didefinisikan sebagai kekuatan individu dan/atau kelompok yang nyata dan mampu merealisasikan kekuasaan yang dimilikinya dalam relasi-relasi, jejaring, dan komunikasi politik yang bersifat strategis di dalam suatu masyarakat atau negara. (Op.cit. Pfeffer). Kekuatan ini dapat mewujud dalam bentuk aktor-aktor politik yang memainkan peranan dalam kehidupan politik, dimana aktor-aktor ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilam keputusan politik. Dari sini kekuatan politik dianggap sebagai lembaga atau organisasi ataupun bentuk lain yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sistem politik. (Budiarjo, Miriam, 2002).

Menurut French dan Raven (1959), ada lima sumber-sumber kekuasaan, yaitu legitimasi, referensi atau kehormatan, keahlian atau kepakaran, imbalan, dan pemaksaan. (Raven & French, 1959). Pada sisi legitimasi, kekuasaan diperoleh karena posisi yang legitim dalam organisasi. Kekuasaan ini bisa berbentuk wewenang yang dimiliki oleh seorang dan/atau kelompok yang sebagaimana telah ditentukan oleh aturan main. Pada sisi referensi, kekuasaan yang diperoleh karena kemampuan seseorang dan/atau kelompok karena kemampuan seseorang dan/ atau kelompok karena kemampuan mendapatkan penghormatan atau loyalitas dari pihak lain. Kekuasaan semacam ini muncul karena adanya kharisma atau kemampuan pribadi yang luar biasa sehingga membuat orang lain memberikan loyalitas dan kepercayaan kepadanya.

(4)

pemaksaan, kekuasaan diperoleh karena penggunaan pengaruh-pengaruh negative (negative influence). Kekuasaan melalui pemaksaan biasanya hanya memiliki kapasitas yang bersifat artifisial dan sementara sehingga memerlukan upaya pemaksaan terus menerus.

Menurut Pfeffer (1992), lokasi kekuatan politik strategis dalam negara dapat dilihat dari pribadi-pribadi, seperti pemimpin pemerintahan atau organisasi kemasyarakatan dan politik, seperti presiden, pejabat, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Kekuatan politik strategis pun dapat ditemui dalam organisasi politik yang menentukan arah kebijakan dalam lingkup nasional, seperti parpol, ormas, korporasi dan lain-lain. Selain itu instansi-instansi seperti militer, kepolisian, intelijen, organisasi profesi, dan lain-lain juga termasuk lokasi kekuatan politik strategis, karena dianggap sebagai organisasi profesional yang khusus. (Pfeffer, Jeffrey, 1992). Selain itu ada lokasi kekuatan juga bersumber dari media massa dan media sosial, karena pihak tersebut dianggap sebagai interlokutor dalam jejaring komunikasi (communication networks). Pada media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang bisa memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, atau ribuan lebih orang karena mampu mempengaruhi lawan dan kawannya melalui media sosial. Inilah kelebihan media sosial, yakni efektif sebagai sarana kekuasaan yang dikemas dengan ajang pemaparan ide yang berlangsung amat cepat dan hampir tanpa batas. (Media Sosial Dalam Kampanye Politik , 2014). Media sosial merupakan sumber kekuasaan di era modern, karena hampir semua kekuatan baik individu maupun kelompok seakan berlomba-lomba menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya melalui dunia maya. Contohnya, partai-partai politik di Indonesia dipastikan memiliki akun jejaring facebook yang digunakan untuk melancarkan strategi politiknya di samping menunjukkan kekuatan pada anggotanya, simpatisan, dan bahkan lawan politiknya.

2. Perspektif Historis-Struktural dan World-system dalam Pergeseran Kekuatan Politik Strategis

(5)

pergeseran kekuasaan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. (Moore, Barrington, 1967).

Penentuan dan perubahan kekuatan-kekuatan sosial dan politik umumnya terjadi ketika negara atau pemerintah tersebut akan melakukan transformasi dalam tubuhnya. Transformasi terjadi bilamana kekuatan aristokrasi dianggap sudah merusak tatanan keseimbangan dalam suatu pemerintah, atau muncul kekuatan-kekuatan baru yang ingin dan dapat menggeser kekuatan dominan sebelumnya. Lebih lanjut menurut Subijanto (2013), apa yang dipertaruhkan antara politik dan kekuasaan adalah perubahan besar dari representasi kelompok-kelompok sosial. (Subijanto, Rianne, 2013).

Representasi tersebut dianggap mewakili semua golongan yang mengatasnamakan kekuatan baru yang dipercaya dapat memimpin jalannya roda pemerintahan ke arah yang lebih baik. Mengacu pada dua pandangan ini maka tidaklah heran apabila terjadi perubahan-perubahan kekuatan politik strategis di setiap era kemerdekaan Indonesia. Perubahan kekuatan politik Indonesia tentunya juga didasari oleh keinginan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik di dalam segala bidang, baik itu politik, ekonomi, pertahanan, dan lain sebagainya.

Perubahan kekuatan politik Indonesia selalu ditandai dengan ketidakpercayaan publik kepada Pemerintah yang tengah berkuasa. Ketidakpercayaan publik dikarenakan kesejahteraan sosial yang tidak kunjung membaik. Contohnya adalah periode akhir Orde Lama yang ditandai dengan laju inflasi yang sangat tinggi yang menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok tidak terkendali, serta minimnya jumlah pengusaha-pengusaha lokal (pribumi) yang seharusnya bisa menjadi pendorong perekonomian nasional. Kondisi inilah yang langsung dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kala itu adalah Soeharto sendiri dan rekan-rekannya untuk mengganti posisi Presiden Soekarno.

(6)

Bergulirnya era reformasi ditandai oleh kekuatan-kekuatan baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan, yaitu kekuatan masyarakat sipil Indonesia. Dari penjelasan historis diatas maka dapat dilihat bahwa perubahan kekuatan politik awalnya pasti ditandai oleh ketidakpuasan rakyat kepada Pemerintah. Faktor ketidakpercayaan publik (public distrust) menjadi salah satu faktor penentu bagi kelompok-kelompok kepentingan untuk memulai strateginya dalam menggeser kekuatan-kekuatan yang tengah berjalan. Alasan demi kepentingan rakyat dan negara akan selalu dipakai oleh mereka untuk merubah tatanan kekuatan politik yang dianggap tidak sesuai lagi untuk memimpin pemerintahan. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan politik baru dianggap lebih mampu dalam mengawal kehidupan bangsa dan negara, namun pertanyaannya adalah sampai kapan umur kekuatan baru tersebut dapat bertahan sebelum diganti lagi.

Selain itu, perubahan kekuatan politik strategis Indonesia perlu dilihat dianalisis berdasarkan teori sistem dunia (world-system theory). Menurut Wallerstein (1992), dunia adalah sistem sosial yang terbagi menjadi tiga kelompok negara, yaitu negara periferi (peripheral state), negara semi periferi (semi peripheral state), dan negara inti (core state). (Wallerstein, Immanuel, 1992). Dalam perspektif ekonomi, Wallerstein mengatakan bahwa negara periferi adalah negara yang hanya bisa menghasilkan barang mentah dan benar-benar sangat tergantung pada negara inti atau maju. Mengacu pada teori tersebut, maka perubahan kekuatan strategis Indonesia dari era Orde Lama ke Orde Baru dapat diartikan sebagai transisi Indonesia dari negara periferi menuju semi periferi tersebut.

(7)

menjadi kekuatan baru Indonesia, yakni kekuatan ekonomi-politik strategis. Memasuki era reformasi, tampaknya Indonesia tetap berada pada status negara semi periferi, namun cukup banyak analis memprediksi Indonesia punya potensi menjadi negara besar/inti dalam 10-20 tahun mendatang. Indonesia dinilai punya potensi untuk masuk ke 4 atau 5 besar kekuatan ekonomi dalam 20 tahun mendatang hingga 2050, hal ini ditandai dengan proyeksi IMF, bahwa pada 2030, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 5 dunia, dengan PDB US$9,3 triliun, setelah Tiongkok, AS, India, dan Brasil. (Indonesia Diprediksi Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia, 2015).

Mengacu pada proyeksi ini, kalangan yang optimis bahwa status Indonesia bakal naik dari negara semi-periferi menjadi negara inti (core state) bukan tanpa dasar.Hal ini juga akan berdampak pada pergeseran aktor-aktor politik-ekonomi strategis di Indonesia, terutama bagi mereka yang memiliki kewenangan dalam merumuskan kebijakan strategis. Pendekatan sejarah dan sosial serta konstelasi sistem dunia dapat diterapkan untuk menganalisis perubahan kekuatan-kekuatan strategis Indonesia dari dulu, sekarang, dan di masa mendatang.

III.Pergeseran Kekuatan Politik Strategis Indonesia 1. Periode Pasca-Kemerdekaan (1945-1959)

Pada periode ini kondisi perpolitikan nasional berada pada transisi pasca-kemerdekaan (post-independence transition) yang ditandai dengan berbagai upaya konsolidasi sistem politik dan mencari format politik yang dianggap tepat dalam menyelenggaraan ketatanegaraan di Republik yang masih muda. Lingkungan strategis global memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap perpolitikan nasional. Pasca PD II disusul dengan bipolarisme dengan munculnya blok Barat, yaitu AS dan Eropa Barat serta sekutu-sekutunya. Sedangkan pada blok Timur Uni Soviet juga membangun kekuatan bersama sekutunya. Negara-negara pasca-kolonial di Afrika dan Asia sebagian menolak mengikuti kedua blok secara prinsipil, termasuk Indonesia, Tiongkok, Mesir, India, dan lain-lain yang kemudian membentuk pengelompokan negara-negara Non-Blok tahun 1955.

(8)

menentukan, apakah Republik yang baru tersebut akan berhasil melewati transisi dan melakukan proses konsolidasi. Peran kekuatan-kekuatan politik strategis sangat vital bagi keberlangsungan negara yang baru merdeka dari penjajahan selama lebih dari tiga abad, terlebih jika dilihat bagaimana lemahnya struktur sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat Indonesia saat itu.

Struktur sosial dan budaya masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan masih didominasi oleh struktur masyarakat feodal-agraris dan masih belum terbentuknya kelas menengah yang mampu menjadi motor perubahan sosial menuju masyarakat modern dan demokratis. Ekonomi Indonesia yang merupakan warisan kolonial yaitu ekonomi dualistis (dual economic system) tidak mampu menjadi pendorong yang kuat bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesejahteraan yang merupakan komponen utama bagi terbangunnya kelas menengah yang besar dan kuat sebagai pilar masyarakat modern. Secara politik, struktur perpolitikan yang berorientasi kepada loyalitas primordial mempersulit konsolidasi untuk mewujudkan sebuah sistem politik demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Halangan-halangan struktural (structural constraints) seperti itulah yg dihadapi oleh negara-bangsa yang baru pada kurun waktu ini dan ikut mempengaruhi pembentukan, peran, dan fungsi dari kekuatan-kekuatan politik strategis di Indonesia.

(9)

1953-Juli 1955), kelima adalah Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), keenam adalah Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956-Maret 1957), dan ketujuh Kabinet Djuanda (April 1957-Juli 1959). (Pelaksanaan Demokrasi Parlementer di Indonesia, 2013 : 5-12). Terjadinya perombakan kabinet selama tujuh kali dalam periode sembilan tahun memperlihatkan ketidakstabilan politik di usia Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaannya.

2. Periode Orde Lama (1959-1966)

Pada periode ini proses konsolidasi negara dan masyarakat Indonesia pasca-kemerdekaan diwarnai dengan adanya pergolakan-pergolakan politik yang sangat meluas dan mendalam dalam batang tubuh masyarakat dan di pentas perpolitikan. Oleh karena itu persaingan antara kekuatan-kekuatan politik strategis melibatkan keterlibatan masyarakat sampai di lapisan akar rumput. Pergolakan tersebut juga melibatkan dimensi ideologis, ekonomis, sosial budaya, dan sangat terkait dengan dinamika lingkungan strategis global dan regional. Upaya Presiden Soekarno yang mendapat dukungan luas dari sebagian besar kekuatan-kekuatan politik strategis, baik sipil maupun militer, untuk kembali menggunakan Konstitusi UUD 1945, bentuk negara kesatuan, dan penerapan sistem Presidensialisme, bukan menghentikan konflik tetapi justru memperdalam dan memperluasnya. Tak berlebihan jika kurun waktu 7 tahun masa Orde Lama ini menyaksikan suatu situasi krisis yang akhirnya berujung pada sebuah implosi yang memakan korban sangat besar di negeri ini.

(10)

Hubungan mesra antara Soekarno dan PKI terjadi karena PKI dianggap satu-satunya partai yang sangat mendukung gerakan Ganyang Malaysia, yang dianggap antek neokolonialisme dan imperialisme. PKI secara terang-terangan berusaha membangkitkan semangat Indonesia dan menempatkan posisinya pada pusat percaturan politik nasional di tangan Soekarno. Lebih lanjut, Soekarno juga menggambarkan posisi ke”kiri”annya

dalam perpolitikan saat itu, dimana Soekarno merasa pemikirannya mirip dengan Marxisme dan Leninisme. Fakta ini jelas membuat lawan-lawan pollitik Soekarno semakin berkeinginan untuk menggeser posisi Soekarno sebagai pimpian nasional karena visi dan misinya dianggap sudah bertolak belakang dengan Pancasila.

Secara sosiologis, masyarakat Indonesia pada saat itu juga masih belum mengalami perubahan struktural yang cukup berarti dibandingkan dengan pada era sebelumnya. Hal ini disebabkan karena basis perekonomian masih belum mengalami perubahan dari agrikultural menjadi industrial, sementara ketergantungan Indonesia terhadap asing cenderung meningkat. Kemiskinan akut yang sejak masa penjajahan sudah ada tidak mendapat perhatian dan mengalami perubahan fundamental, termasuk dalam hal perubahan struktural yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian.

Dalam periode ini Pemerintah membentuk Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Namun, dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya, termasuk untuk membangun berbagai proyek mercusuar. Kemerorotan ekonomi ini makin diperparah oleh sikap perlawanan terhadap kekuatan ekonomi kapitalis dunia yang merupakan konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain. (Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan, 1996). Terjadinya krisis ekonomi di era Orde Lama merupakan faktor krusial yang memperburuk kondisi struktural masyarakat yang ditandai dengan kemiskinan akut.

(11)

akses kekuasaan. Konflik yang sejatinya merupakan konflik elit tersebut kemudian menjadi meluas dan mendalam. Meluas, karena konflik-konflik tersebut tidak terbatas pada elit di pusat dan daerah saja, tetapi sampai di akar rumput. Mendalam karena konflik tersebut masuk ke ranah ideologis dan bahkan pada ranah yang sangat pribadi, yaitu kepercayaan, ideologi, dan budaya.

3. Periode Orde Baru (1966-1998)

Tumbangnya rezim Soekarno dan disusul dengan munculnya Orde Baru (Orba) dibawah Presiden Soeharto meretas jalan bagi sebuah perubahan mendasar dalam struktur politik, ekonomi, sosial dan budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Dalam kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa di bawah Orba, berbagai perubahan signifikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara terjadi sebagai akibat dari proses penataan politik yang didukung oleh pembangunan ekonomi. Orba, berbeda dengan rezim pemerintahan sebelumnya, menggunakan paradigma yang kemudian dikenal sebagai paradigma ‘pembangunanisme’ (developmentalism) sebagai landasan bagi transformasi ipoleksosbudhankam di Indonesia.

Paradigma yang sangat populer pada dasawarsa 60 dan 70an di negara-negara Barat, Amerika Latin, Afrika, dan Asia yang tidak mengikuti jalan sosialis dan komunis itu, menjadikan pembanguan ekonomi sebagai panglima dengan titik tekan pada pertumbuhan yang diikuti pemerataan dengan prinsip “efek tetesan ke bawah” (trickle down effect) (Rostow, 1960). Dengan model seperti ini maka diperlukan sebuah tatanan politik (political order) yang berorientasi kepada stabilitas politik dan keamanan dengan kontrol dan pengawasan yang kuat dari sektor negara. Seperti pada umumnya negara-negara yang memakai paradigma ini, sistem politik yang digunakan adalah otoriterisme dengan keterlibatan militer, birokrasi, dan partai politik yang menjadi garda depan (vanguard) atau mesin politik penguasa. Mekanisme kontrol terhadap masyarakat dan kelembagaan politik yang digunakan adalah melalui jejaring korporatisme birokratik (bureaucraticcorporatism) dan diperkuat dengan pengembangan hegemoni ideologi.

(12)

sebagai tonggak perubahan struktur ekonomi Indonesia menjadi bagian dari sistem kapitalis dunia (world capitalist system), karena pada masa ini pembangunan ekonomi dilakukan dengan model kapitalis sebagai arus utama. Dalam rangka memantapkan pembangunan ekonomi, maka diterbitkannya ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 Tentang Pembaruan Kebijakan Ekonomi dan Pembangunan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan perlambatan ekonomi, memperlancar kemudahan bagi produsen-produsen kecil, dan mempermudah masuknya investasi untuk pembangunan. Selain itu, Pemerintah juga membentuk suatu skema pembangunan ekonomi yang berkelanjutan secara periodik lima tahun yang dianggap sebagai keberhasilan di Era Orba, yakni Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), yang dimulai pada 1969-1994.

Dalam bidang politik, Indonesia dapat menjaga stabilitas politik internalnya dalam tempo yang cukup lama dengan menggunakan menerapkan sistem politik yang dikenal dengan sebutan otoriterisme birokratis.Melalui sistem politik inilah Orba melakukan proses konsolidasi negara secara efektif kendati dengan meminggirkan peran masyarakat sipil (civil society). (Lihat Hikam, Muhammad AS , 1996). Dalam percaturan geopolitik regional dan global, Indonesia di bawah Orba menjadi negara yang sangat diperhitungkan di Asia dan dunia karena berbagai keberhasilannya, antara lain, dalam menjadi motor penggerak dan pemimpin kawasan ASEAN serta aktif di dunia Islam sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim. Pada masa ini, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih mengarah kepada

rebuilding image, yaitu pengubahan akan citra negara yang lebih baik dari pandangan global maupun dalam negeri. (Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru dan Reformasi Pada Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, 2013 : 3).

(13)

secara meluas dengan menerapkan doktrin dwifungsi ABRI, yaitu militer sebagai kekuatan pertahanan-keamanan dan kekuatan sosial dan politik. Dengan doktrin inilah militer kemudian memperluas dan memperdalam pengaruhnya di politik pemerintahan Indonesia, baik di parlemen maupun di kursi-kursi kepemimpinan daerah provinsi dan kabupaten, yaitu posisi Gubernur dan Bupati. (Crouch, Harold, 1978).

4. Periode Reformasi (1998- sekarang)

Tumbangnya Orba pada 1998 yang dipelopori oleh kekuatan masyarakat sipil merubah kembali tatanan politik nasional melalui reformasi terhadap landasan konstitusi dan sistem Presidensil. Beberapa perubahan terjadi seperti Amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, Militer/Polri dan birokrasi mengalami reformasi dalam bentuk depolitisasi, otonomi daerah diberlakukan secara nasional, dan penguatan perlindungan hak-hak asasi manusia gencar dikumandangkan oleh para aktivis dan LSM.

Adanya perubahan-perubahan tersebut jelas memberikan implikasi terhadap praktik kenegaraan. Misalkan saja, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki hak memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya dipilih secara langsung melalui suatu Pemilihan Umum untuk Presiden dan Wapres. Selain itu dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif yang mewakili daerah, selain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili rakyat. Terakhir adalah penguatan checks and balances antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial.

(14)

Perubahan mencolok pada sektor hankam terjadi dengan adanya pemisahan Polri dari tubuh ABRI 1 April 1999. (Reformasi Totalkan Polri, 2015). Sejak itu Polri berada langsung dibawah komando Presiden dan melalui UU No. 2 Tahun 2002 Polri diberikan mandat untuk memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Lihat pasal 1 ayat 4 pada UU Polri No. 2 tahun 2002). Tanggung jawab pada sektor keamanan dan ketertiban umum, termasuk yang terkait ancaman dan gerakan radikalisme praktis dibawah kendali Polri. Hal ini menandakan adanya pergeseran kekuatan strategis dari TNI ke Polri di bidang keamanan nasional. Praktis penambahan kerjasama antar negara, anggaran, dan alat senjata diberikan kepada Polri sebagai aktor utama.

Era reformasi yang menuntut adanya intervensi dan pengawasan sipil membuat segala kebijakan TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan. Reformasi di tubuh TNI menunjukkan TNI benar-benar ingin menunjukkan profesionalismenya dengan melepas Dwi Fungsi ABRI-nya dengan tetap fokus menjaga pertahanan NKRI. Dalam perkembangannya, melalui reformasi internal ini citra militer semakin positif dan diterima oleh masyarakat sipil Indonesia. Salah satu indikatornya adalah munculnya dukungan peningkatan modernisasi alutsista TNI tanpa melihat sejarah kelam pelanggaran HAM di era-era sebelumnya.(Modernisasi Alutsista TNI Adalah Sebuah Keniscayaan, 2015). Hal ini menandakan TNI mampu memperbaiki dan masih memiliki ruang dalam peta kekuatan strategis negara di era reformasi.

Sedangkan pada ranah ideologi, perubahan di era reformasi membawa implikasi-implikasi yang cukup fundamental yaitu terjadi kebangkitan kembali dan berkembangnya primordialisme. Formalisasi Pancasila sebagai ideologi negara diterima meskipun gagasan wawasan kebangsaan mengalami degradasi baik pada tataran kognisi maupun praksis. Degradasi ini diyakini menjadi salah satu faktor mengapa begitu mudahnya dan berkembangnya gerakan dan aksi radikalisme tumbuh di era reformasi.

Pengaruh terhadap relasi negara dan masyarakat sipil dari perubahan dapat dilihat ketika pemerintah tidak lagi dalam posisi super-ordinat vis-à-vis

(15)

atau hegemoni. Dan yang terakhir adalah penegakkan hukum dan rule of law

masih merupakan peroalan struktural yang paling lemah dalam era reformasi sehingga menjadi penghalang bagi proses konsolidasi demokrasi.

IV. Pemetaan Kekuatan Strategis Dari Era Kemerdekaan Sampai Era Reformasi

1. Era Kemerdekaan: Kekuatan Politik Tradisional

Peta kekuatan-kekuatan politik strategis di Indonesia pada periode ini secara umum dapat digambarkan kekuatan politik masih bertumpu pada tokoh pemimpin formal baik pada tataran nasional maupun daerah. Para pendiri negara seperti Soekarno dan tokoh-tokoh politik utama dalam era pergerakan nasional melawan penjajahan seperti Sjahrir, Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, dan lain-lain dapat dikatakan sebagai kekuatan-kekuatan politik strategis tersendiri karena kharisma dan kemampuan mereka dalam menggerakkan dukungan masyarakat secara nasional.

Kuatnya pengaruh tokoh-tokoh kunci kemerdekaan tidak lepas dari kiprah mereka dalam gerakan perjungan kemerdekaannya dari kolonialisme Belanda pada setiap level. Mereka dianggap oleh rakyat sebagai kelompok elit yang layak untuk memimpin sebuah negara baru karena kapasitas dan pengalaman politiknya yang mumpuni, dibandingkan sebagian besar rakyat Indonesia saat itu. Kharisma pemimpin-pemimin formal ini dianggap sebagai kekuatan baru yang meningkatkan kepercayaan rakyat untuk hidup sebagai bangsa yang baru meraih kemerdekaannya. Opini, pernyataan, dan seruan mereka seakan menjadi pendorong semangat bernegara dan berbangsa bagi rakyat Indonesia.

Selain itu, tokoh pemimpin informal baik pada tataran nasional maupun daerah juga memiliki pengaruh yang cukup kuat. Mereka ini walaupun bukan menduduki jabatan dalam lembaga formal seperti pemerintahan atau parlemen, tetapi memiliki kemampuan untuk membentuk opini dan menggerakkan dukungan masyarakat yang berdampak signifikan terhadap kebijakan-kebijakan pada tataran nasional dan daerah. Pemimpin agama dan ormas yang memiliki kharisma sangat berperan penting dalam pembentukan opini publik yang mampu mempengaruhi kebijakan politik.

(16)

memiliki kekuatan tawar yang cukup tinggi. Sedangkan parta-partai politik juga mulai berproses menjadi kekuatan strategis yang sangat penting dalam menentukan dinamika penyelenggaraan kenegaraan pada kurun waktu ini. Hal ini sangat wajar karena partai-partai politik, terutama yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan kemerdekaan dan massa pendukung yang kuat sampai pada level kara rumput, dapat melakukan mobilisasi kekuasaan dan menentukan kebijakan-kebijakan nasional. Dengan memiliki dan menggunakan akses yang sangat kuat pada Parlemen dan Pemerintah, partai-partai politik dapat mengaktualisasikan kekuasaan yang dimikinya menjadi kekuatan riil. Pada era ini ada 29 partai politik yang diakui Pemerintah, baik yg besar maupun yang kecil. Partai besar seperti PNI, Masyumi, PKI, NU, PSI, dan lain-lain mewarnai proses politik di tingkat nasional dan/ atau memiliki pengaruh sangat besar sampai di lapis bawah.

Militer juga masuk ke dalam kekuatan politik strategis pada kurun waktu ini, khususnya melalui para tokoh sentral di pusat dan daerah. Posisi strategis militer merupakan konsekuensi logis dari perannya dalam perang kemerdekaan dan pengaruhnya yang sangat kuat sampai di akar rumput dalam menjamin keamanan nasional. Di samping itu, militer memiliki tokoh-tokoh pimpinan yang kharismatik yang diakui menjadi pahlawan pada masa perjuangan melawan kolonialisme, sehingga pengarunya bukan hanya pada tataran teknis tetapi juga ideologis, budaya, dan psikologis. Ketika terjadi konflik antara militer dengan kekuatan parpol, pada umumnya militer cenderung mendapat dukungan yang lebih besar dari masyarakat karena alasan- alasan sejarah, sosiologis, dan budaya tersebut.

2. Era Orde Lama: Otoritarianisme dan Kediktatoran

(17)

Shadily, Hassan (1989). Selain itu dengan dukungan dari Militer, Soekarno pun menyatakan “demokrasi terpimpin” berdasarkan Tap MPRS No. VIII/MPRS/1959, dimana melalui paham ini menyatakan pemerintah yang berdemokrasi dengan peningkatan otokrasi.

Soekarno tampaknya merasa nyaman dan lebih memilih kepemimpinan otoriter yang berarti bentuk pemerintah dan kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang saja, yaitu Presiden seorang. Soekarno ingin melakukan pemusatan kekuasaan dibawah di tangannya dan membuat pengaruhnya semakin tidak terbatas melalui sistem politik demokrasi terpimpin. (Harahap, Nahyatun , diakses di researchgate). Presiden Soekarno mengatur keseimbangan kekuatan politik antara militer dan PKI dengan berusaha tetap mengontrolnya agar salah satunya tidak lebih kuat dan dominan dibandingkan presiden, namun presidenlah yang menjadi faktor penentu (dominan). Dalam perkembangan selanjutnya sampai tumbangnya rezim Soekarno, sistem kepemiminan politik nasional bisa dikategorikan menjadi kediktatoran.

Sedangkan, partai-partai politik yang keberadaannya diakui oleh rezim Demokrasi Terpimpin sejumlah 10 (sepuluh) partai politik, berdasarkan Peraturan Presiden No. 13 Th 1960 dan Keputusan Presiden No. 128 Th 1961 (PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Pertindo, Murba, PSII, IPKI, Parkindo, dan Perti). Partai Murba dibubarkan pada tahun 1964 karena dianggap menentang Presiden Soekarno.Dari sepuluh parpol tersebut yang memiliki basis massa besar dan akses politik yang memiliki pengaruh strategis hanya tiga yang dimasukkan dalam apa yang disebut kekuatan Nasakom (nasional, agama, dan komunis), yaitu PNI, NU, dan PKI.

Pada sisi militer, telah berkembang sebagai kekuatan politik strategis di Indonesia sebelumnya dan semakin mengkristal terutama dengan semakin sering terjadinya konflik-konflik politik dan ancaman instabilitas di dalam masyarakat pada periode Orde lama ini. Militer, sebagaimana pada masa sebelumnya senantiasa memiliki kesadaran dan pemahaman diri ( self-understanding) sebagai kelompok yang peran kesejarahannya tak terpisahkan dari keberadaan Republik yang dibuktikan dengan senantiasa berada dalam posisi menentukan dalam situasi krisis. Gagasan dwi-fungsi ABRI mulai menemukan realisasinya pada akhir 1950-an, dengan rumusan “Jalan Tengah” ABRI yang dikemukakan oleh Jenderal Nasution.

(18)

dapat dikatakan mulai menampilkan perannya. Kondisi sosial politik yang rentan dengan berbagai krisis menyebabkan terjadinya konsolidasi dari kelompok-kelompok masyarakat, seperti misalnya kelompok profesional, cendekiawan, media, dan organisasi masyarakat. Artikulasi politik kelompok-kelompok masyarakat sipil pada masa ini seringkali disalurkan melalui partai politik dan militer, dalam apa yang kemudian disebut sebagai kelompok atau golongan fungsional.

3. Era Orde Baru: Otoritariansime Birokratik dengan Dukungan Militer

Presiden Soeharto dan kelompok yang dekat secara pribadi, termasuk keluarganya. Soeharto memiliki kharisma yang kuat sebagai seorang tokoh militer yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan memiliki reputasi sebagai Jenderal yang dekat dengan anak buah ketika masih menjabat di berbagai daerah serta ketika sudah berada di pucuk pimpinan Angkatan Darat (AD). Walaupun sosok Soeharto berbeda dengan Soekarno yang lebih flamboyan, tetapi pengaruh kharismanya sangat diakui baik kawan maupun lawan di kalangan militer dan sipil. Soeharto adalah tipikal pemimpin otoriter yang mampu memobilisasi dukungan dan menggunakannya secara efektif, baik dalam bentuk kekuasaan yang keras maupun yang lunak (hard and soft power). Kelompok oligarki yang terdiri atas para pemilik modal semenjak munculnya Orba menjadi salah satu pemain dalam politik di Indonesia. Menurut Jeffrey Winters (1996), kelompok ini bekerjasama dan berbagi dengan para elit politik di posisi puncak kekuasaan ekonomi, sosial dan politik. (Winters, Jeffrey,1996).

(19)

Asia Tenggara, Asia Timur, Tiongkok, bahkan Asia Tengah, juga membuat kekuatan ekonomi para oligarki semakin kuat.(Prasetyono, 2009). Dominasi kaum oligarki tidak terlepas dari dukungan birokrat, ABRI, dan Golkar sebagai tunggangan politiknya untuk memperlancar kepentingan-kepentingan bisnis yang saat itu rentan dengan unsur kolusi dan korupsi.

Partai politik, khususnya partai yang paling dominan yaitu Golkar, merupakan pilar kekuatan politik pendukung Orde Baru (Orba). Golkar yang secara formal tidak menganggap dirinya sebagai partai politik, tetapi lebih menyukai nama ‘golongan fungsional’, bagaimanapun juga memiliki peran dan fungsi sebuah parpol. Ia adalah mesin politik formal yang digunakan oleh Orba untuk dalam rangka menjalankan korporatisme birokrasi di dalam bidang kelembagaan politik. Partai politik lainnya, yaitu PPP dan PDI, yang merupakan hasil fusi parpol-parpol peserta Pemilu 1971, lebih merupakan asesori untuk menunjukkan bahwa Orba mengakomodasi kepentingan politik yang berada di luar Pemerintah. Golkar, sebagai mesin politik formal, memiliki tiga komponen utama yakni militer (ABRI), birokrasi pemerintah, dan kelompok politisi (Golkar) yang kemudian popular dengan istilah ABG. Hakekatnya, Golkar berada dalam kontrol militer walaupun secara formal merupakan sebuah organisasi politik sipil yang mandiri. Golkar menjadi sebuah kekuatan politik alternatif yang mengusung ideologi modernisasi dan non-sektarian. Dalam perkembangannya kemudian, seiring dengan konsolidasi politik Orde Baru, Golkar menjadi mesin politik untuk mengamankan dan memperlancar agenda politik dan pembangunan Orde Baru. (Akbar Tandjung, 2007 : 40).

Di dalam kepengurusannya pun juga telah banyak tokoh-tokoh politik nasional yang memimpin Golkar dan mengisi struktural Golkar sehingga posisinya di peta perpolitikan nasional semakin kuat, meskipun saat itu hanya ada tiga partai politik. Bahkan pimpinan ABRI yang sudah memasuki masa pensiun pun diterjunkan ke dalam Golkar untuk memperkuat akar politiknya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Golkar merupakan kekuatan strategis politik Orde Baru yang diperkuat oleh ABRI, pejabat birokrasi, dan kelompok-kelompok oligarki untuk mengamankan posisi pimpinan nasional saat itu, yakni Presiden Soeharto.

(20)

Partai politik saat ini semakin menempatkan diri dalam posisi sangat menentukan, sementara militer dan birokrasi harus lebih netral. Namun demikian, elit parpol dan lembaga partai politik masih belum beranjak dari sebelumnya dalam hal manajemen dan kapasitas mereka. Hal ini terlihat dari tidak terjadinya proses kaderisasi dan masih sering terjadinya perpecahan dan konflik internal serta pragmatisme politik yang dipertunjukkan dalam pentas politik nasional dan daerah. Dunia politik yang selama ini hanya dimonopoli oleh para elit politik telah bergeser menjadi konsumsi publik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin tingginya partisipasi politik masyarakat, media dan juga LSM dalam kehidupan politik. Partisipasi politik itu tidak hanya terefleksikan dalam bentuk partisipasi menyuarakan suara sewaktu pemilu, tetapi dalam semua usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik. (Firmanzah, 2008 :1). Bahkan tidak heran apabila semakin banyak masyarakat sipil yang masuk ke dalam partai politik untuk mengembangkan minatnya di politik praktis dan berharap suatu ketika akan diusung oleh partainya dalam Pemilihan Umum, terutama di daerah (Pilkada). Selain itu, motif ekonomi turut mempengaruhi minat masyarakat sipil untuk terjun ke dunia politik agar dapat mengembangkan bisnis pribadi dan kelompoknya melalui partai politik sebagai kendaraannya.

Fenomena politik di era ini juga ditandai dengan semakin banyaknya kalangan selebriti baik nasional maupun lokal yang masuk ke dalam partai politik. Pada pertengahan 2013, KPU menyatakan ada 79 artis yang masuk ke dalam daftar caleg, dimana masing-masing berasal dari PAN sebanyak 18 orang, Gerindra 15 orang, PKB 14 orang, PDIP 7 orang, Demokrat 7 orang, Nasdem 6 orang, PPP 6 orang, Golkar 4 orang, dan Hanura 2 orang. (79 Artis Masuk Daftar Caleg Sementara, 2013). Kemudian, dari 79 calon tersaring sebanyak 15 artis yang masuk menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019. (15 Artis Lolos Jadi Anggota DPR RI: 2014-2019). Partai politik di era reformasi seperti magnet bagi siapa pun untuk mencoba peruntungannya agar masuk dan terlibat dalam politik praktis. Partai poitik tidak hanya dianggap sebagai kendaraan politik saja, namun sudah menjadi kekuatan strategis dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia saat ini.

(21)

nasional. Namun demikian, masyarakat sipil di Indonesia juga rentan terhadap komunalisme dan primordialisme sehingga sering mengalami konflik-konflik dan /atau terlibat dalam konflik horizontal.Ruang kebebasan yang semakin dijamin membuat semakin banyaknya perkumpulan dan ormas yang lahir dengan mengusung visi dan misi yang jelas berbeda-beda. Tujuan ormas sendiri cukup sering didasari oleh kepentingan kelompok, terutama akan persamaan agama, budaya, etnis, maupun ras. Selain itu, kelompok pemilik modal atau oligarki memiliki akses politik yang sangat besar kepada parpol dan elite politik. Mereka mulai melakukan kompetisi untuk mendapatkan akses terhadap elite politik yang berbeda-beda. Jejaring mereka yang sangat luas, bukan saja nasional dan regional, tetapi juga global menjadikan mereka kekuatan politik yang akan sangat menentukan dalam proses konsolidasi demokrasi ke depan.Oligarki pun diyakini akan tetap berkembang, mengingat saat ini semakin banyak fenomena dinastitokrasi politik yang diyakini justru akan mempersubur eksistensi kelompok-kelompok modal. Hubungan kelompok-kelompok oligarki dan mereka yang terlibat dengan politik dinasti keluarga adalah berbanding lurus. (Yudha, Hanta, 2014).

Belum lagi keputusan MK baru-baru ini yang tidak melarang politik dinasti justru akan semakin sulit memutus mata rantai oligarki di era reformasi.

V. Prospek Partai Politik Sebagai Kekuatan Strategis

(22)

Demokrat pada Pileg 2009 hanya 26%, dan PDIP pada Pileg terakhir (2014) hanya 19%. (Ibid).

Upaya parpol yang berkuasa untuk membuat koalisi ternyata tidak efektif untuk mendukung Pemerintah di Parlemen. Relasi antara badan legislatif dan eksekutif di era reformasi sangat rentan dan bahkan pada 2001, Parlemen memakzulkan Presiden yang dipilih mereka (KH.Abdurrahman Wahid) dan Presiden-presiden berikutnya harus selalu menghadapi ketidakstabilan tersebut yang bisa mengganggu stabilitas politik nasional.

Partai-partai yang terlalu banyak di Parlemen, di dalam sistem Presidensiil sangat berpotensi untuk melakukan deal-deal politik sehingga Parlemen menjadi tempat transaksi politik. Kendati dibangun kelompok koalisi pendukung Pemerintah dan oposisi, tetapi tidak banyak artinya seperti terlihat dalam kasus Setgab pada masa pemerintahan SBY dan koalisi KIH dan KMP pada masa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.Struktur dan manajemen kelembagaan parpol masih belum mengalami perubahan signifikan dari model lama, sehingga parpol menjadi semacam milik pribadi elitnya. Hal ini akan menyebabkan elit parpol gagal untuk melakukan kaderisasi dan menjadikan partainya wahana untuk membentuk dan memproduksi calon-calon pemimpin yang handal, profesional, dan mandiri.

Undang-undang kepartaian yang ada sampai saat ini masih belum kompatibel dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi, antara lain ditandai dengan masih adanya aturan-aturan yang membelenggu anggotanya dalam berkiprah di Parlemen. Perlu dilakukan perubahan mendasar dalam perundang-undangan kepartaian, Pemilu, dan Susduk (Susunan Kependudukan) sedemikian rupa sehingga benar-benar mampu menjadi wahana proses demokratisasi yang bermakna (substantive democracy) bukan hanya prosedural (procedural democracy) semata.

(23)
(24)

demokratis yang saat ini telah menjadi kenyataan dan disepakati oleh konsensus nasional pasca jatuhnya Orde Baru akan tetap bertahan tanpa adanya upaya yang berkesinambungan untuk memperkuatnya. Salah satu prioritas utama yang perlu dilakukan adalah reformasi secara tuntas terhadap partai politik yang sampai saat ini masih belum menunjukkan efektifitasnya sebagai kekuatan utama dalam sistem demokrasi. Jika partai poltik Indonesia tidak mengalami reformasi yang tuntas, maka bukan suatu hal yang mustahil apabila terjadi proses kemerosotan demokrasi dan kembalinya sistem otoriter yang pernah terjadi di masa lalu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Edisi Cetak IV Jakarta, 2002,

Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia, Equinox, Jakarta, 2007

Echols, John M.; Shadily, Hassan (1989), Kamus Indonesia Inggris: An Indonesian-English Dictionary (ed. 3), Jakarta: PT Gramedia,

Firmanzah, mengelola Partai Politik,Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2008 Moore, Berrington. Social Origins of Dictatorship and Democracy, 1967

Pfeffer, Jeffrey, Managing With Power: Politics and Influence in Organizations. Harvard Business Press, 1992

Wallerstein, Immanuel. The Modern World System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World Economy, Academic Press, New York, 1992

(25)

JURNAL

Gitnah, Annisa. Politik Luar Negeri Indonesia Era Orde Baru dan Reformasi Pada Rezim Susilo Bambang Yudhoyono, 2013

Ismadi, Eko. Melalui Catur Fungsi Memantapkan Hubungan Sipil Dengan Militer Yang Ideal di Era Reformasi, Juni, 2015

Nizwah, Dzakiyatun. Pelaksanaan Demokrasi Parlementer di Indonesia,

Maret, 2013,

Sherlock, S. Struggling to Change: The Indonesian Parliament in an era of Reformasi. Canberra, Centre of Democratics Institution,

Yudha, Hanta. Dinasitokrasi dan Oligarki Politik, di akses di polltracking, 2014

Yusuf, Dede. Pembangunan Ekonomi Pada Masa Orde Baru Di Bawah Rezim Soeharto, 2013,

Sumber Elektronik:

“79 Artis Masuk Daftar Caleg Sementara”, diakses di portal detiknews, Juni, 2013

“15 Artis Lolos Jadi Anggota DPR RI: 2014-2019”, diakses di Vivanews,

Benarkah Soekarno Mendukung PKI”, Oktober, 2012

“Indonesia Diprediksi Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia, Lantai Bagaimana Kemampuan Industri Pertahanannya?”, diakses di Kompasiana, Maret, 2015.

“Media Sosial Dalam Kampanye Politik”, Maret, 2014, diakses di portal Kompas

“Modernisasi Alutsista TNI Adalah Sebuah Keniscayaan”, diaskes pada portal RMOL, Juli, 2015

(26)

“Rubjanto, Rianne. Rangkaian Kritik Terhadap Tiga Pendekatan, Januari, 2013

Terkekangnya Media Pers Saat Era Orde Baru”, diakses di portal Kompas, Maret, 2013

Referensi

Dokumen terkait

Untuk lebih jelasnya persentase jumlah individu berdasarkan kelompok ukuran pada tiap subzona intertidal perairan Pantai Desa Teluk Lancar dapat dilihat pada Gambar 2..

Hasil dari penelitian ini berupa penerapan prosedur baru pada siklus persediaan dan siklus pendapatan, dokumen baru, kemudian perancangan sistem persediaan dan

bawah makin tipis maka batas antara segmen atas dan bawah menjadi jelas  lingkaran retraksi

Sistem kontrol atau sistem kendali atau sistem pengaturan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa elemen sistem yang bertujuan untuk melakukan pengaturan atau

Perhitungan penetapan kadar abu tidak larut asam simplisia daun Afrika. % Kadar abu tidak larut asam = 100

Berdasarkan standar yang diberikan Dirjen Perhubungan Darat, jumlah kendaraan angkutan umum trayek nomor 1 pada hari kerja dapat dikategorikan sedang karena berada di antara

Pendidikan :  menurunnya angka  melek huruf Arah kebijakan umum  Tahun ke­2 Arah kebijakan umum  Tahun ke­2 Strategi 1 : Secara keseluruhan konsep pembangunan

Penerapan langkah-langkah model bamboo dancing dengan media visual dalam peningkatan pembelajaran subtema indahnya persatuan dan kesatuan negeriku pada siswa kelas