• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan Klasifi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan Klasifi"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Gambut (Histosol)

Menurut Taksonomi Tanah, disebut tanah gambut (histosol) dengan ketentuan apabila 1) tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada ≥ 60% ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan, apabila lebih dangkal; dan 2) memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau lebih sifat berikut; a) terletak di atas bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung dan/atau mengisi celah-celah di antara batu-batuan tersebut, dan langsung di bawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik; atau b) apabila ditambahkan dengan bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung yang berada di bawahnya, maka total ketebalannya sebesar ≥ 40 cm, di antara permukaan tanah dan kedalaman 50 cm; atau c) menyusun ≥ 2/3 dari ketebalan total tanah sampai ke kontak densik, litik, atau paralitik dan tidak mempunyai horizon mineral atau memiliki horizon mineral dengan ketebalan total ≤ 10 cm

atau; d) jenuh air selama ≥ 30 hari setiap tahun dalam tahun -tahun normal (atau telah di drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan

tanah, dan memiliki ketebalan total sebagai berikut: (1) apabila ≥ ¾ bagian

volumenya terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya, lembab, sebesar < 0,1 g/cm3, ≥ 60 cm; atau (2) apabila terdiri dari bahan saprik atau

hemik, atau bahan fibrik yang < ¾ (berdasarkan volume) terdiri dari serat-serat

(2)

Kebanyakan histosol dicirikan dan dikenal melalui epipedon histik yang

tebalnya lebih dari 12 inci, jenuh dengan air sekurang-kurangnya 30 hari

terus-menerus dalam setahun, dan mengandung paling sedikit 20 persen bahan organik.

Histosol ditemukan di seluruh dunia, jumlah luas keseluruhannya kurang dari 1

persen dari permukaan tanah dunia (Foth, 1994).

Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa sehingga terbentuklah gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal (Budianta, 2003).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk

(3)

(Gambar 1a dan 1b). Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut dikenal sebagai gambut topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut topogen akan membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung (Gambar 1c). Gambut yang terbentuk di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut ombrogen mempunyai kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral (Noor, 2001).

c. pembentukan kubah gambut

(4)

Luas lahan gambut Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha. Data yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya survei dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9-11% dari luas daratan di Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan lahan pertanian ke lahan marginal ini, terutama di kabupaten dan provinsi yang luas lahannya didominasi lahan

gambut, seperti Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah (Balai Penelitian Tanah, 2011).

Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturut turut terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat pulau, khususnya di wilayah propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah mineral (non gambut) secara bersama menyusun lahan rawa (Wahyunto, dkk, 2005).

(5)

berubah, bahkan dapat hilang sama sekali bila gambut semakin menipis atau menyusut (Boyman, 2002).

Tanah Gambut (Histosol) sifatnya bermacam-macam tergantung dari jenis vegetasi yang menjadi tanah gambut tersebut. Tanah-tanah Gambut yang terlalu tebal (lebih dari 2 m) umumnya tidak subur karena vegetasi yang membusuk menjadi Tanah Gambut tersebut terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara. Tanah Gambut yang subur umumnya yang tebalnya antara 40-100 cm. Tanah Gambut mempunyai sifat dapat menyusut (subsiden) kalau perbaikan drainase dilakukan sehingga permukaan tanah ini makin lama makin menurun. Tanah Gambut juga tidak boleh terlalu kering karena dapat menjadi kering irreversible

(kering tak balik), yaitu sulit menyerap air kembali dan mudah terbakar.

Kekurangan unsur mikro banyak terjadi pada tanah gambut (Hardjowigeno, 2007).

(6)

lebih subur, karena lapisan tanah mineralnya berasal dari lingkungan endapan yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Gambut tersebut terdapat di daerah pedalaman yang jauh dari pantai (Balai Penelitian Tanah, 2011).

Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;

2. Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus;

3. Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah

pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan

bagi pertumbuhan mikroorganisme

(Najiyati, dkk, 2005).

Mengklasifikasikan kesuburan tanah gambut pada tiga tingkat kesuburan;

oligotrofik, tingkat kesuburan rendah, mesotrofik, tingkat kesuburan sedang, dan

(7)

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut Tingkat

Kesuburan

Kandungan Hara (% bobot kering)

N K2O P2O5 CaO Abu

Eutrofik 2.50 0.10 0.25 4.00 10.00

Mesotrofik 2.00 0.10 0.20 1.00 5.00

Oligotrofik 0.80 0.03 0.05 0.25 2.00

(Barchia, 2006).

Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik, gambut dibedakan menjadi tiga yakni:

1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, bila gambut diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah, maka kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga perempat bagian atau lebih (>¾);

2. Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian

lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah, gambut agak mudah melewati sela-sela jari-jari dan kandungan serat yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (¼ dan <¾);

3. Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang). Bila diperas, gambut sangat mudah melewati sela jari-jari dan serat yang tertinggal dalam telapak tangan kurang dari seperempat bagian (<¼)

(8)

Berdasarkan pembentukannya, gambut dibedakan atas :

a) Gambut Ombrogen, yaitu gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. Gambut ini tergolong kurang subur, karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu karena pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai wilayah ini, maka kondisi lahan miskin hara.

b) Gambut Topogen, yaitu Gambut yang pembentukannya dipengaruhi keadaan topografi dan air tanah. Gambut ini berada dikawasan Tropik dan mempunyai kesuburan lahan relatif lebih baik

(Noor, 2001).

Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi: - gambut dangkal (50 – 100 cm),

- gambut sedang (100 – 200 cm), - gambut dalam (200 – 300 cm), dan - gambut sangat dalam (> 300 cm) (Agus dan Subiksa, 2008).

Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi menjadi: - gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan mendapat

pengayaan mineral dari air laut

- gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air hujan

- gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air pasang laut

(9)

Tanah organik, dibandingkan dengan tanah mineral memperlihatkan tiga ciri yang agak menyimpang. Hal ini perlu dikemukakan. Pertama, tanah organik mempunyai nisbah karbon dengan nitrogen yang tinggi, namun demikian ia menunjang berlangsungnya nitrifikasi yang hebat. Kedua, tanah organik pada umumnya kaya akan kalsium, dan meskipun demikian ia nyata masam dan seringkali sangat masam. Dan ketiga, dalam suasana konsentrasi ion hidrogen tinggi, akumulasi nitrat berlangsung, lebih banyak daripada tanah mineral pada pH yang sama rendahnya. Ciri yang terakhir menunjukkan bahwa pada banyak tanah organik konsentrasi ion hidrogen secara tersendiri tidak mengganggu transformasi biokimia yang sangat penting itu. Ternyata, kadar kalsium yang tinggi dan kadar besi, aluminium dan mangan yang rendah dalam tanah organik merupakan penyebab dari penyimpangan tersebut (Soepardi, 1983).

(10)

Sifat-Sifat Fisika Tanah Gambut

Kerapatan Lindak (Bulk Density)

Bulk density atau BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).

Kerapatan lindak tanah organik dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, 0.2 hingga 0.6 merupakan nilai biasa bagi tanah organik yang telah mengalami dekomposisi lanjut. Suatu tanah mineral yang telah diusahakan, lapisan atasnya biasanya mempunyai nilai kerapatan lindak dari 1.25 hingga 1.45. Lapisan olah tanah organik mempunyai bobot 400000 hingga 500000 kg tanah kering tiap hektar dibandingkan dengan tanah mineral 2 hingga 2.5 juta kg tiap hektar. Bobot untuk organik ternyata sangat ringan (Soepardi, 1983).

Kekeringan Tak Balik (Irreversible drying)

Sifat fisik lain tanah gambut adalah apabila tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Pada kondisi seperti ini gambut berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan vegetasi (Wahyunto, dkk, 2005).

Daya Hantar Hidrolik

(11)

ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertical (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas hanya sekitar 40 - 50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini, perlu dilakukan upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman tertentu. Untuk tanaman semusim, kedalaman muka air tanah yang ideal adalah kurang dari 100 cm. Sedangkan untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah (Najiyati, dkk, 2005).

Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)

Perubahan lingkungan yang terjadi saat dilakukan pembukaan hutan rawa gambut untuk usaha pertanian, termasuk usaha perkebunan, adalah menurunnya ketahanan dari bahan organik dalam gambut terhadap proses dekomposisi. Perubahan kondisi dari anaerob menjadi aerob akibat pembuatan saluran drainase mendorong proses perombakan bahan organik berlangsung dengan sangat cepat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan permukaan lahan gambut (Bintang, dkk, 2005).

(12)

kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bias dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Agus dan Subiksa, 2008).

Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”. Total Ruang Pori rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh kerapatan lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar. Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan subsidensi (Bintang, dkk, 2005).

Warna

Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap (Najiyati, dkk, 2005).

Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut

pH

(13)

Tapak pertukaran tanah gambut yang didominasi ion hidrogen menyebabkan pH tanah rendah. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH < 4 (Barchia, 2006).

KTK yang tinggi dan KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diambil oleh tanaman. Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3 - 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) dari pada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9). Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena rasio C/N yang tinggi (Najiyati, dkk, 2005).

Kejenuhan Basa

Kandungan basa - berupa unsur Ca, Mg, K dan Na - dan kejenuhan basa

rendah. Kandungan Al umumnya rendah sampai sedang dan semakin berkurang

dengan menurunnya pH tanah. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, Bo, dan

Zn sangat rendah, sebaliknya kandungan Fe cukup tinggi. Kandungan N total

termasuk tinggi, tetapi sebagian besar dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman

karena rasio C/N yang tinggi (Wahyunto, dkk, 2005).

Terdapat kolerasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah.

(14)

sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa (Tan, 1995).

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida (pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan

Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci (Agus dan Subiksa, 2008).

Bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah, maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar nilai KTK tanah. Nilai KTK dan pH dari beberapa ordo tanah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Nilai KTK dan pH dari beberapa Ordo Tanah

(15)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut umumnya tinggi dan

semakin meningkat sesuai dengan meingkatnya kandungan bahan organik. Di

beberapa tempat adanya intrusi garam dapat meningkatkan nilai KTK, kenaikan

ini kemungkinan disebabkan karena adanya kenaikan pH

(Wahyunto, dkk, 2005). Nilai KTK juga mengalami kenaikan setelah dilakukan

reklamasi.

Ratio C/N

Untuk unsur C dan N di dalam tanah gambut adalah tinggi. Tetapi dua hal yang kait-mengkait sehubungan dengan kedua unsur penyusun tersebut yang perlu diperhatikan, bahwa tanah gambut mempunyai nisbah (ratio) C dan N yang tinggi, minimum 20 : 1. Di samping itu, tanah gambut memperlihatkan nitrifikasi yang giat meskipun C/N rasio tinggi. Demikian juga akumulasi nitrat lebih besar. Hal ini didasarkan atas banyaknya N dalam gambut, CaO yang cukup dan ketidakaktifan sebagian dari karbon. Dengan demikian perbanyakan organisme nitrifikasi memperoleh kesempatan lebih banyak mengoksidasikan ammonium (Kim, 1991).

(16)

N-organik dan pada tingkatan C/N rasio yang lebih tinggi tersebut, terjadi proses immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah (Barchia, 2006).

Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Tahunan

Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika

ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin, dkk, 2003). Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai

kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.

Tanaman tahunan banyak diusahakan oleh rakyat. Tanaman tahunan yang banyak diusahakan di lahan gambut diantaranya adalah kelapa sawit, kopi, karet, dan kelapa. Hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi karena daya dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan gambut (subsidence) sesudah direklamasi (Najiyati, dkk, 2005).

Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Pangan Semusim

(17)

lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 - 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.

Tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan umumnya sesuai dengan gambut pada berbagai tingkat ketebalan tanah, bahkan petani lebih menyukai gambut dalam (> 3 m) karena pada musim kemarau petani masih dapat menyirami sayuran mereka karena air gambut masih tersedia untuk penyiraman tanaman. Pada gambut dangkal atau sedang penyiraman tanaman di musim kemarau sulit dilakukan, karena air gambut mengering dan sumber air jauh dari kebun (Sagiman, 2007).

Tanaman hortikultura lain seperti pepaya, semangka, jagung manis dan sayur-sayuran dataran rendah memberikan penghasilan yang cukup baik bagi petani gambut. Tanaman tersebut memerlukan masukan yang cukup tinggi berupa abubakar, limbah ikan, pukan ayam dan pupuk kimia. Untuk tanaman sayur-sayuran masukan yang sedang – tinggi pada tanah gambut dapat dilakukan karena harga jual yang masih memadai. Selain itu waktu tanam sampai panen tanaman sayur umumnya sangat singkat antara 4 - 6 minggu pada bayam cabut, kangkung, sawi, kailan, seledri, sampai 10-12 minggu pada kacangkacangan dan jagung manis. Namun pengembangan sayuran sampai areal yang luas perlu

(18)

Alih Fungsi Lahan Sawah Asal Tanah Gambut

Tanah sawah mempunyai beberapa istilah dalam bahasa Inggris yaitu rice soil, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthropic, aquarizem, sub-group hydraquic. Dalam Klasifikasi Tanah FAO (Worl Reference Base for Ssoil Resources), tanah sawah termasuk Anthrosols. Sifat tanah sawah dapat sangat berubah dari sifat asalnya (misalnya lahan kering yang disawahkan) atau tidak banyak berubah dari sifat tanah asalnya (misalnya tanah sawah berasal dari daerah rawa-rawa yang sejak semula berupa lahan basah) (FAO, 1998).

Sebelum tanah sawah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air, baik waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan, pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses pembentukan tanah alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu, terjadilah proses pembentukan tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia (man-made soil, anthropogenic soil) (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).

(19)

berlereng, maka lebih dulu harus dibuat teras bangku. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Berkaitan dengan proses pembuatan lahan sawah, sifat tanah asal (virgin soil ) dimungkinkan dapat berubah. Pada lahan rawa/ pasang surut terjadi proses pengeringan tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke bawah (Wahyunto, 2009).

Rendahnya hasil padi pada gambut tebal dapat diatasi jika tanaman padi diberi hara lengkap. Pada gambut yang tipis 0-10 cm tanah relatip padat tidak gembur dan pembentukan perakaran padi dapat terganggu, kandungan hara tanah juga rendah dan tidak cukup memberikan hasil yang tinggi. Peningkatan ketebalan gambut sampai 60 cm, menyebabkan kesuburan gambut meningkat dan tanah gembur sehingga baik bagi pertumbuhan akar tanaman. Gambut tebal (>1m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk penanaman padi sawah, karena sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Keberhasilan budidaya padi sawah tergantung kesuksesan dalam mengatasi beberapa kendala seperti keberhasilan dalam : pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang menjadi faktor pembatas, pengendalian sifat toksik dan kekurangan hara makro maupun mikro (Sagiman, 2007).

(20)

berproduktif optimal. Salah satu lahan yang belum optimal dalam pemanfaatannya adalah lahan gambut (Utama dan Haryoko 2009).

Pemanfaatan lahan tersebut, masih sangat terbatas akibat keterbatasan teknologi dan varietas toleran. Untuk memanfaatkan lahan tersebut, diperlukan teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius akibat cekaman lingkungan. Masalah serius tersebut akibat oleh pH yang rendah, ketersedian hara

terbatas dan defisit air yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Utama dan Haryoko 2009 ).

Pengembangan gambut di Sumatera Barat yang semula diperuntukan untuk perluasan lahan usahatani padi akhir-akhir ini secara perlahan beralih inenjadi lahan perkebunan terutama perkebunan sawit. Pengalihan ini terjadi akibat produksi padi sawah gambut rendah. Khusus di kabupaten Pasaman Barat walaupun belum ada data resmi tentang luas pengalihan sawah gambut menjadi perkebunan sawit, tetapi secara jelas luas sawah gambut semakin sempit dan penyempitan luas lahan ini juga diikuti dengan semakin langkahnya varietas padi lokal yang semula banyak dibudidayakan (Haryoko, dkk, 2010).

Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut

(21)

Apabila terjadi konversi hutan gambut yang biasanya diikuti dengan pembuatan drainase, maka akan berdampak terhadap unit-unit hidrologi dari hutan rawa gambut tersebut. Sebagai contoh, terjadinya penurunan kadar air gambut dibawah batas kritis, menyebabkan tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak dapat lagi menyerap air. Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh sisa tanaman (daun, dahan, ranting, batang) mengalami kondisi aerob menyebabkan aktivitas bakteri pembusuk akan meningkat. Setelah bakteri pembusuk mulai mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon, maka karbon yang tersimpan di dalam bagian bahan tersebut akan teremisi ke udara dalam bentuk CO2 dan memenuhi lapisan ozon sehingga akan menciptakan efek rumah kaca (green house effect) hal ini dapat memacu terjadinya pemanasan global yang

berdampak terhadap naiknya suhu bumi dan berubahnya iklim global (Maswar 2011).

Setelah direklamasi, tanah gambut cenderung terdekomposisi lebih cepat

daripada akumulasinya. Bahan organik akan selalu menurun kadarnya bila

diusahakan (Juste, 1997). Gambut yang telah mengalami reklamasi akan

mengalami pemadatan, sehingga BD nya akan naik yaitu antara 0,1–0,4 gr/cm3.

Adanya gejala pengeringan tak balik dan penyusutan telah diamati di beberapa

lokasi di Kalimantan Tengah di Sakalagun pada tahun 1991, pada lahan yang

ditanami padi gogo dan palawija.. Biasanya gambut yang kering ini terdapat

hanya di permukaan. Namun karena pengolahan tanah yang berulang-ulang maka

gambut yang kering ini telah juga berada pada kedalaman 10-15 cm. Apabila

bahan mineral yang ada dibawah gambut adalah bahan liat, usaha pertanaman

(22)

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Desa Hutabagasan berjarak ± 1 Km dari ibukota Humbang Hasundutan, Doloksanggul yang berbatasan dengan:

Sebelah Timur : Kecamatan Sijamapolang Sebelah Barat : Desa Matiti

Sebelah Utara : Desa Sihite II Sebelah Selatan : Desa Janji

Desa Hutabagasan terbagi atas 3 dusun dengan jumlah kepala keluarga 437 KK dengan jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 2300 orang. Rata-rata penduduk Desa Hutabagasan memiliki mata pencaharian sebagai petani, disesuaikan dengan jenis tanaman yang cocok dengan jenis tanah yang ada di desa Hutabagasan. Jenis tanaman yang paling banyak ditanami penduduk adalah kopi, padi, cabai, tomat, bawang, dan berbagai jenis sayuran.

Luas wilayah Desa Hutabagasan adalah 800 Ha yang terbagi menjadi beberapa areal seperti berikut:

- Areal pemukiman penduduk : 45 Ha

- Perladangan : 50 Ha

- Persawahan : 250 Ha

- Kebun : 170 Ha

- Pendidikan : 2 Ha

- Lahan tidur : 283 Ha

(23)

penggunaan lahan yang berbeda dalam satu areal. Ketiga penggunaan lahan yang dimaksud antara lain, lahan sawah, lahan tanaman tahunan (kopi), dan lahan tanaman semusim (hortikultura) seperti tanaman tomat, cabai, bawang, dan berbagai jenis sayuran. Terletak pada ketinggian 1411 meter diatas permukaan

laut. Secara geografis kawasan ini berada pada 02º15.552’ LU dan 098º43.366’ BT.

Tanah Gambut Topogen di wilayah ini berasal dari bahan induk woody material (gambut dari kayu). Menurut Munir (1996), gambut dari bahan kayu-kayuan, terbentuk dari sisa pohon-pohonan, juga dari semak-semak (scrubs) dan tumbuhan lain dari rawa (swap forest). Bahan organik yang diakumulasi agak homogen kecuali bila mengandung bahan berserat. Gambut berkayu berwarna coklat atau hitam dan warna itu tergantung dari tingkat dekomposisinya, bersifat lepas dan terbuka bila kering dan tidak berserat.

Data rata-rata curah hujan tahunan di wilayah ini terdapat 10 bulan basah, 1 bulan lembab dan 1 bulan kering. Penggolongan iklim ini berdasarkan Schmidt dan Ferguson, yaitu bulan basah jika curah hujan > 100 mm, bulan lembab jika curah hujan 60-100 dan bulan kering jika curah hujan < 100 mm. Penentuan temperatur tanah diperoleh dari pendekatan rata rata temperatur udara tahunan + 1°C, sehingga rata rata suhu tanah yang diperoleh adalah 18,7°C (Kartasapoetra, 1993).

(24)

penanaman dan selanjutnya dilakukan pemupukan bergantian dua kali dalam setahun untuk pupuk kandang, urea dan pupuk NPK dengan aplikasi di bedengan. Pada tanaman hortikultura, pemupukan tanaman dilakukan setiap masa tanam bahkan terkadang 3-4 kali selama musim tanam tergantung jenis tanaman hortikultura yang sedang diusahakan. Jenis pupuk dan aplikasi yang dilakukan sama seperti pada tanaman kopi arabika. Untuk dosis yang diberikan, para petani di wilayah ini tidak pernah menghitung besar pupuk yang diberikan, baik untuk lahan sawah, tanaman kopi arabika maupun tanaman semusim.

Gambar

Gambar 1. Proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001)
Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut
Tabel 2. Nilai KTK dan pH dari beberapa Ordo Tanah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian terdahulu [13], telah ditetapkan konstruk yang akan menjadi komponen model pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan transfer

Jika seseorang bertanya, “Yang manakah lebih utama; sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan atau sepuluh hari awal Dzulhijjah?” Pendapat sebahagian ‘ulama ialah bahawa hari-hari

Berdasarkan hasil didapatkan data pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Islam Sunan Kudus tahun 2019, memiliki penyesuaian diri yang cukup

Agama atau aliran kepercayaan paling awal Australia bermula dengan Penduduk Asli Australia, yang telah mendiami Australia selama lebih dari 40.000 tahun.. Terjadi kontak awal

Hopefully, This paper could help the readers to expand their knowledge about Calculus especially about Derivative.. Tondano, 14 th

Kandungan logam berat dalam tanah sangat berpengaruh terhadap kandungan logam pada tanaman yang tumbuh di atasnya, kecuali terjadi interaksi di antara logam itu

ANALISIS TINGKAT KERAWANAN DAN ARAHAN MITIGASI BENCANA BANJIR DI KECAMATAN SIDOHARJO KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2014 (Sebagai Suplemen Materi Pembelajaran Geografi Pada

Penelitian ini menghasilkan data statistik jumlah bangunan sebanyak 139 bangunan dengan persentase bangunan utama 0%, bangunan pengatur 13%, Bangunan Pelengkap 37%, Saluran