• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTER DAN PLOT DALAM NOVEL GUGUR BUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KARAKTER DAN PLOT DALAM NOVEL GUGUR BUNG"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Persoalan-persoalan yang

diangkat oleh pengarang dalam karya sastra tidak lepas dari pengalaman nyata dan

kehidupan sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya pengarang memang harus

menambah dan mengemasnya terlebih dahulu dengan gaya bahasa yang berbeda

sehingga mampu membuat pembaca terbawa dalam cerita tersebut. Pada dasarnya

dalam mengemas ceritera dalam sebuah karya sastra seorang penulis mengusung

nilai-nilai budaya tertentu untuk dimasukan ke dalam tulisannya. Membawa nilai

budaya ini tidak lepas dari pekerjaan penulis sebagai agen sebuah kebudayaan, yaitu

mengamati dan mengapresiasi sebuah kebudayaan baik itu tradisional maupun

kebudayaan kontemporer. Sebab kenyataannya manusia adalah makhluk berbudaya, oleh sebab itu segala peristiwa hidup manusia erat hubungannya dengan budaya.

(2)

budaya yang secara historis terbentuk dari proses infiltrasi yang baru kepada yang lama.

Menurut Lesile White kebudayaan dan peradaban tergantung pada simbol. Kemampuan menggunakan simbollah yang dapat melahirkan dan mempertahankan kebudayaan. Tanpa simbol tidak ada kebudayaan, tanpa simbol manusia hanyalah binatang (Ratna, 2015). Dengan demikian budaya sebagai latar belakang penting eksistensi manusia, secara keseluruhan terbentuk dari aktivitas reproduksi simbol. Misalnya, pergeseran sastra Jawa Kuno ke wilayah Bali pasca masuknya budaya Islam yang diusung pendatang dari jazirah Arab dan pedagang Campah yang berpengaruh pada berdirinya kerajaan Demak yang menginvansi Majapahit. Keruntuhan Majapahit sebagai simbol penting eksistensi budaya Hindu, termasuk sastra Jawa Kuno, memperkuat Demak sebagai simbol eksistensi budaya Islam sekaligus memperluas penggunaan simbol-simbol islamiah dalam kehidupan masyarakat umum.

Nilai budaya manusia dipaparkan sebagai sesuatu yang bukan hanya tiruan realitas yang ada tetapi merupakan sebuah upaya untuk masuk ke dalam realitas tersebut. Artinya, sebagai sebuah karya seni, novel juga mengusung pesan budaya yang tidak hanya bentukan artifisial belaka namun menunjukan secara jelas nilai-nilai budaya yang ada. Selain bahasa sebagai alat yang menjembatani sebuah karya kepada pembacanya, nilai budaya lain pun ikut mempengaruhi sebuah karya sastra.

(3)

Hindu, Majapahit, oleh kekuatan budaya baru bernama Islam yang dipelopori oleh kerajaan Demak. Simbol-simbol budaya sebagai nilai kehidupan yang dipegang teguh bertemu dengan kepentingan-kepentingan politis yang praksis dan bagaimana tokoh-tokoh penting di dalam kisah novel tersebut mempertahankan nilai-nilai budaya yang mereka anut masing-masing.

Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Koentjaraningrat dalam Sunarti (2008: 15) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat.

Selanjutnya koentjaraningrat dalam Sunarti (2008: 16) mengemukakan suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi- konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan nilai budaya itu.

(4)

peperangan pecah dan menjadi salah satu sejarah konspirasi politik terbesar pada masa itu. Lantas kemudian lahirlah sebuah nilai budaya dominan yang bertahan ratusan tahun lamanya kemudian.

Penelitian ini menganalisa karakter tokoh utama dan plot dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R. Penggunaan istilah ‘karakter’ sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2005:165). Dengan demikian karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti perwatakan. Menurut Nurgiyantoro (2005:165), istilah tokoh merujuk pada orangnya dan pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca. Lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

Abrams dalam Nurgiyantoro (2005:165), mengungkapkan bahwa tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang diakukan dalam tindakan.

(5)

nilai-nilai budaya. Sebagai pendekatan untuk menganalisa novel, maka peneliti menggunakan kajian antropologi sastra. Antropologi sastra adalah

Untuk itu, penelitian kali ini akan mengangkat tema: “Karakter dan Plot Dalam Novel Gugur Bunga Kedaton Karya Wahyu H.R. Menggunakan Kajian Antropologi Sastra”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka penulis menguraikan rumusan masalah sebagai berikut,

1. Bagaimana karakter utama dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra?

2. Bagaimana plot dan peristiwa dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari kajian Gugur Bunga Kedaton berdasarkan analisa nilai budaya ini bertujuan untuk mendeskripsikan:

1. Mendeskripsikan karakter utama dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra.

(6)

1.4 Fokus Penelitian

Penelitian ini lebih tertuju pada mendeskripsikan karakter, plot dan nilai budaya, terutama yang terdapat dalam karya sastra. Dalam hal ini, peneliti menggunakan novel dengan judul Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R. sebagai bahan utama analisa nilai budaya di dalam karya sastra menggunakan kajian antropologi sastra.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi mahasiswa dan dosen Bahasa dan Sastra Indonesia: penelitian ini diharapkan bisa menjadi alternatif melihat dunia kesusatraan. Bahwa dunia sastra bisa menjadi media untuk menyampaikan nilai-nilai budaya yang tertanam di masyarakat termasuk bagaimana nilai budaya itu muncul dan tumbuh berkembang. Selain itu penelitian ini berusaha memberikan gambaran historis bagaimana dan seperti apa sebuah nilai budaya mengalami dialektika seturut perjalanan sejarah.

2. Bagi penikmat karya sastra: penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan acuan untuk kembali melihat dan mengupgrade cara mengapresiasi sebuah karya satra, terutama karya-karya yang bermuatan nilai sebuah kebudayaan. Dimana nilai sebuah kebudayaan tidak hanya dilihat hanya sebagai sesuatu yang begitu adanya, tapi juga perlu dipelajari bagaimana nilai budaya itu hadir dan bertahan hingga sekarang.

(7)

sastra, terutama terkait sastra yang mengusung banyak catatan historis seperti novel Gugur Bunga Kedaton.

1.6 Definisi Operasional 1. Novel

Secara harafia novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman : novelle ). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelete), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

2. Karakter

Karakter dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut. Dengan demikian karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti perwatakan.

3. Plot

(8)

peristiwa-peritiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat. 4. Antropologi Sastra

(9)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karya Sastra Sebagai Media Budaya

Media sastra adalah bahasa, sementara bahasa adalah salah satu simbol budaya. Menurut Leslie White (dalam Ratna, 2015:13) budaya dan peradaban tergantung pada simbol. Ini secara gamblang menjelaskan bahwa legitimasi simbol sangat mempengaruhi peradaban sebuah budaya. Simbol-simbol ini seperti halnya bahasa, memiliki peranan penting sebagai pembentuk sebuah budaya. Contohnya, bahasa Maori menjadi salah satu media budaya bangsa Maori. Tanpa bahasa misalnya, sebuah budaya hanya akan menjadi apokaliptik, tidak berbentuk bisa dan tidak tersampaikan.

(10)

Bumi Manusia dia coba membawa pembacanya untuk memahami fakta sosial budaya dengan melewati jalur-jalur imajinatif karya sastra sebagai seni.

Sastra sebagai media budaya terjawabi, bukan hanya sebagai karya sastra semata yang menjual jargon-jargon imajiner tapi juga membawa kualitas-kualitas estetis faktual. Seperti karya-karya klasik Ahmad Tohari yang mendokumentasikan budaya penari ronggeng di pesisir Jawa sebagai bilah lain dari budaya Jawa masa kolonial. Atau bagaimana Siti Nurbaya dikisahkan sebagai cerminan budaya Minangkabau klasik yang menghalalkan perkawinan paksa dan poligami. Karya-karya ini menampilkan sisi fiksi namun di sisi yang lain mengusung kisah faktual budaya yang emamng terjadi.

Sastra sebagai bentukan karya seni tidak hanya menjadi jembatan kekhaosan berpikir untuk memasuki alam-alam dunia lain tetapi lebih dari itu untuk menjawabi realitas peradaban budaya manusia. Greg Soetomo (2003:30) menguraikan pemikiran Marx bahwa seni bukan hanya tiruan atau refleksi dari realitas yang ada tapi merupakan bagian dari realitas itu. Jelas bahasa seni, seperti halnya sastra berbeda dalam menyampaikan realitas tersebut.

2.2 Pengertian-Pengertian 2.2.1 Pengertian Kajian Sastra

(11)

Kritik sastra juga dipahami bukan sebagai aktivitas dan hasil aktivitas akademis yang netral belaka, melainkan bagian dari sebuah aktivitas diskursif-ideologis yang mempunyai kontribusi dalam pembentukan suatu sistem sosial tertentu dalam konteks historis tertentu (Faruk, 2014:61). Oleh sebab itu berkembanglah aneka jenis teori kritik sastra seperti, strukturalisme Praha, strukturalisme Prancis, kritik sastra pasca-modern, kritik sastra feminis, kritik sastra pasca struktural dan kritik sastra pasca Marxis.

2.2.2 Pengertian Nilai Budaya

Manusia hidup sebagai manusia yang bermasyarakat, tidak mungkin tanpa kerjasama dengan orang lain. Secara lahiriah dan batiniah maka manusia merupakan makhluk Tuhan yang tersempurna dibanding dengan makhluk lain, karena pada manusia selain kehidupan ia juga mempunyai kemampuan untuk berfikir dan berkarya. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia, yang di antara para anggotanya terjadi komunikasi, pertalian dan akhirnya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Hal itu dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam suatu golongan karena manusia tidak dapat hidup sendiri. Dari masyarakat inilah tumbuh dan berkembang nilai budaya.

(12)

masyarakat yang ada, yang sangat mementingkan kepentingan bersama bukan kepentingan diri sendiri.

Nilai budaya merupakan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Koentjaraningrat (dalam Sunarti, 2008:16 ) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama budaya ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat.

Selanjutnya koentjaraningrat (dalam Djamaris dalam Sunarti, 2008:17) mengemukakan suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan nilai budaya itu.

Djamaris (dalam Sunarti, 2008:17) mengungkapkan bahwa nilai budaya dikelompokkan ke dalam lima pola hubungan, yaitu; (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain atau sesamanya, (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

(13)

tindakan manusia adalah budaya karena tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat memiliki beberapa tindakan yaitu tindakan naluri reflek, tindakan akibat proses fisiologi. Meskipun demikian persoalan budaya dan tindakan budaya merupakan tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar.

Konsep budaya menurut Koentjaraningrat mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas ialah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Karena hasil karya manusia tidak hanya berakar kepada nalurinya yang hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.

Meskipun demikian, konsep serupa itu tidak dapat muncul secara spontan, melalui serangkaian aksi dan reaksi yang lepas dari kehendak seseorang. Manusia mempunyai bakat yang telah terkandung selalu mengembangkan berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu serta emosi dalam kepribadian individualnya (Koentjaraningrat, 2002:228). Seseorang berhasil dalam memahami nilai dalam kehidupan merupakan proses sosialisasi yang dialami oleh sebagian individu dalam budaya.

(14)

dianggap bernilai apabila dihasilkan dari suatu gagasan yang benar, baik, dan berfungsi dalam kehidupan manusia di dalam msyarakat, sehingga nilai suatu konsep yang hidup dalam diri masyarakat dianggap mempunyai fungsi yang signifikan yang dipakai untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Persoalan budaya menjadi menarik karena hal-hal itu orang dapat mendeduksikan pentingnya aspek kultural dalam aktivitas kolektif yang praktis. Segala aktivitas manusia dalam lingkungan menunjukkan proses yang berbeda dengan yang lainnya. Hubungan dengan lingkungan sosial menjadi lebih intensif apabila orang tersebut menguraikan isi hatinya dengan lebih jelas dan dapat lebih mudah menerima maksud dan pendirian individu-individu lain (Koentjaraningrat, 2002:230). Lingkungan masyarakat menjadikan manusia lebih memahami sebuah proses sosialisasi yang berbeda. Hal ini merupakan perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan internalisasi dalam kepribadiannya.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Hasil buah budi (budaya) manusia itu dapat kita bagi menjadi 2 macam :

a) Budaya material (lahir), yaitu budaya yang berwujud kebendaan, misalnya : rumah, gedung, alat-alat senjata, mesin-mesin, pakaian dan sebagainya.

b) Budaya immaterial (spiritual= batin), yaitu : budaya, adat istiadat, bahasa, ilmu pengetahuan dan sebagainya

Koentjaraningrat (2002:203) mengemukakan bahwa ada tujuh unsur budaya yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia yaitu :

(15)

2) Sistem pengetahuan 3) Organisasi sosial

4) Sistem peralatan hidup dan teknologi 5) Sistem mata pencaharian hidup 6) Sistem religi

7) Kesenian

Tiap-tiap budaya universal menjelma dalam wujud budaya yaitu berupa sistem budaya, berupa sistem sosial dan berupa unsur-unsur budaya fisik. Dengan demikian sistem ekonomi mempunyai wujudnya sebagai konsep rencana-rencan, kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi wujudnya berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, pengecer dengan konsumen. Demikian juga sistem religi wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka dan surga tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik bersifat musiman maupun yang bersifat kadangkala (Koentjaraningrat, 2002:204). Budaya universal pada setiap sistem religi mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan religius.

(16)

kekerabatan merupakan sistematik pemerincian dalam unsur budaya di dalam masyarkat.

Koentjaraningrat (2004:5-8) menyatakan bahwa budaya itu mempunyau tiga wujud ialah :

1) Wujud budaya sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

Wujud pertama adalah ideal dari budaya. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau dengan kata lain dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana budaya itu hidup. Warga masyarakat menyatakan gagasan dalam tulisan dan budaya ideal berada dalam karangan dan buku-buku hasill karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan.

Budaya ideal disebut juga adat tata kelakuan atau secara singkat adat dalam arti khusus atau adat istiadat dalam, bentuk jamaknya. Maksudnya tata kelakuan menunjukkan bahwa budaya ideal berfungsi sebagai tata kelaksanaan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara khusus adat terdiri dari beberapa lapisan yaitu dari yang paling abstrak dan luas sampai yang paling konkret dan sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma adalah lebih konkret.

(17)

2) Wujud budaya sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarkat.

Wujud budaya dari budaya yang disebut sistem sosial atau sosial system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, dari detik ke detik, hari ke hari dan tahun ke tahun selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat kelakuan.

Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kehidupan manusia sehari-hari, sehingga sistem sosial bisa diobservasi dan didokumentasi.

3) Wujud budaya sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud ketiga dari budaya disebut budaya fisik dan memerlukan keterangan hanya karena merupakan seluruh total hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan akrya semua manusia dalam masyarakat yang sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.

(18)

dipecah lagi ke dalam beberapa sub unsur, yaitu perabot upacara. Sub unsur tersebut dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa sub-sub unsur misalnya juga pendeta pemuja upacara.

Ketiga wujud dari budaya di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak dapat terpisah satu dengan yang lain. Budaya ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran dan ide-ide maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda budaya fisiknya. Sebaliknya, ekbudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya (Anymous, 2015).

2.3 Karakter

2.3.1 Pengertian Karakter

Penggunaan istilah ‘karakter’ sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Nurgiyantoro, 2005:165). Dengan demikian karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’ dan dapat pula berarti perwatakan.

(19)

antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari pandangan teori resepsi, pembecalah sebenarnya yang memberikan arti semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (non-verbal). Pembedaan antara tokoh lebiih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik.

Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tak jarang langsung mengisyaratkan pada kita perwatakan yang dimilikinya. 2.3.2 Tokoh

Tokoh dan penokohan merupakan unsur penting dalam karya naratif. Plot boleh saja dipandang sebagai tulang punggung cerita, namun kita pun dapat mempersoalkan: “Siapa yang diceritakan itu?”, “Siapa yang melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, “sesuatu” yang dalam plot disebut peristiwa. “siapa pembuat konflik”, dan lain-lain adalah urusan tokoh dan penokohan. (Nurgiyantoro.2005:164)

Menurut Nurgiyantoro (2005:165), istilah tokoh merujuk pada orangnya dan pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca. Lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

(20)

kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang diakukan dalam tindakan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memilki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan.

2.3.3 Tokoh sentral

Adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif. b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang

membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif (Nurgiyantoro, 2005:165).

2.3.4 Tokoh bawahan

Adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu

a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonist atau antagonis).

(21)

c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja (Nurgiyantoro, 2005:165).

2.4 Plot

Stanton dalam Nurgiyantoro (2010:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang brisi urutan kejadian, namun setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro (2010:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peritiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.

Penampilan peristiwa-peristiwa yang hanya berdasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khusunya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan (Nurgiyantoro: 2010:113).

Peristiwa-peristiwa cerita(danatau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh- tokoh (utama) cerita. Bahkan , pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang berifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2010:114).

2.5 Novel

(22)

Nurgiyantoro, 2010:9). Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat. Novel ( Inggris : novel ) dan cerita pendek (disingkat : cerpen ; inggris : short story ) merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannnya yang kemudian, novel dianggap bersinonim dengan fiksi. Dengan demikian, pengertian fiksi seperti dikemukakan di atas, juga berlaku untuk novel. Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman : novelle ). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelete), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2010:9).

Nurgiyantoro (2010:9) Novel dan cerpen sebagai karya fiksi mempunyai persamaan, keduanya dibangun oleh unsur pembangunan (baca: unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik). Dari segi panjang cerita, novel (jauh) lebih panjang dari cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu seccara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

(23)

senantiasa mengingat kembali cerita yang akan telah dibaca sebelumnya. Pemahaman secara keseluruhan cerita novel, dengan demikian, seperti terputus-putus, dengan cara mengumpulkan sedikit demi sedikit per episode. Apalagi, sering, hubungan antarepisodetidak segera dapat dikenali, walau secara teoretis tiap episode haruslah tetap mencerminkan tema dan logika cerita, sehingga boleh dikatakan bahwa hal itu bersifat mengikat adanya sifat saling keterkaitan antarepisode (Nurgiyantoro, 2010:9).

2.5.1 Ciri-Ciri Novel

Ciri-ciri movel menurut Nurgiyantoro (2010:9) adalah sebagai berikut, a. Jumlah kata lebih dari 35.000 buah.

b. Jumlah waktu rata-rata yang dipergunakan buat membaca novel yang paling pendek diperlukan waktu minimal 2 jam atau 120 menit.

c. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman.

d. Novel bergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku.

e. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek dan emosi.

f. Skala novel luas.

g. Seleksi pada novel lebih luas.

h. Kelajuan pada novel kurang cepat.

(24)

Jenis novel menurut Nurgiyantoro (2005:165) adalah,

a. Berdasarkan nyata atau tidaknya suatu cerita,novel terbagi dua jenis

1) Novel fiksi sesuai namanya,novel berkisah tentang hal yang fiktif dan tidak pernah terjadi, tokoh, alur maupun latar belakangnya hanya rekaan penulis saja. contoh: Twillight, Harry Potter

2) Novel non fiksi novel ini kebalikan dari novel fiksi yaitu novel yang bercerita tentang hal nyata yang sudah pernah terjadi, lumrahnya jenis novel ini berdasarkan pengalaman seseorang,kisah nyata atau berdasarkan sejarah. contoh: Laskar Pelangi

b. Jenis novel berdasarkan genre cerita, jenis novel di bagi menjadi beberapa macam

1) Novel romantic cerita novel yang satu ini berkisah seputar percintaan dan kasih sayang dari awal hingga akhir. contoh: Ayat Ayat Cinta, Gita Cinta dari SMU

2) Novel horror jenis novel yang satu ini memiliki cerita yang menegangkan, seram dan pastinya membuat pembaca berdebar debar, umumnya bercerita tentang hal hal yang mistis atau seputar dunia gaib. contoh: Bangku Kosong, Hantu Rumah Pondok Indah

(25)

4) Novel komedi sesuai namanya, jenis novel ini mengandung unsur kelucuan atau membuat orang tertawa dan benar benar tertidur. contoh: Masuk Masukin Saja, Kambing Jantan, 30 Hari Mencari Cinta

5) Novel Inspiratif jenis novel yang ceritanya mampu menginspiri banyak orang, umumnya novel ini sarat akan pesan moral atau hikmah tertentu yang bisa di ambil oleh pembaca sehingga pembaca merasa mendapat suatu dorongan dan motivasi untuk melakukan hal yang lebih baik. contoh: Negeri 5 Menara, Laskar Pelangi

c. Jenis novel berdasarkan isi, tokoh dan pangsa pasar

1) Teenlit berasal dari kata teen yang berarti remaja dan lit dari kata literature yang berarti tulisan /karya tulis. Jenis novel ini bercerita seputar permasalahan para remaja umumnya, tentang cinta atau persahabatan. Tokoh dan pangsa pasarnya novel ini adalah anak usia remaja, usia yang di anggap labil dan memiliki banyak permasalahan. contoh: Me vs Heighells, Dealova

(26)

3) Songlit. Novel ini di tulis berdasarkan sebuah lagu contohnya ruang rindu, di mana judul novel adalah judul sebuah lagu ciptaan Letto group band indonesia yang terkenal lewat lagu ini yang menjadi soundtrack sinetron Intan yang melambungkan nama Naysila Mirdad dan Dude Harlino, buku ini bisa di nikmati oleh siapapun baik remaja maupun orang dewasa.

4) Novel dewasa novel jenis ini tentu saja hanya di peruntukkan bagi orang dewasa karena umumnya ceritanya bisa seputar percintaan yang mengandung unsur sensualitas orang dewasa. contoh: Saman dan Larung (Siagian, 2014).

2.6 Antropologi Sastra

Antropologi sastra terdiri dari dua kata, yaitu antropologi dan sastra. Secara singkat antropologi (anthropos + logos) berarti ilmu tentang manusia, sedangkan sastra (sas + tra) berarti alat untuk mengajar. Secara etimologis kelompok kata tersebut belum menunjukkan arti seperti dimaksudkan dalam pengertian yang sesungguhnya. Tetapi secara luas yang dimaksud dengan antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang dianalisis dalam kaitannya dengan masalah antropologi. Dengan kalimat lain, antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra didalamnya terkandung unsur-unsur antropologi (Ratna, 2011:6).

Menurut Ratna (2011:9) antropogi sastra memiliki definisi diantaranya:

a) Antropologi sastra adalah aspek-aspek antropologis (dari) sastra sebagaimana psikologi sastra dan sosiologi sastra adalah sosiologis dan psikologis sastra. b) Analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan unsur-unsur

(27)

c) Analisis terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur antropogisnya

d) Analisis terhadap karya sastra melalui sudut pandang antropologi, dan

e) Analisis terhadap karya satra dengan menggunakan pendekatan antropologi. Kelima definisi memiliki pengertian yang hampir sama. Masalah yang terpenting adalah prioritas kedudukan terhadap karya sastra, bukan antropologi. Meskipun demikian, dikaitkan dengan dominasi sastra itu sendiri, maka yang dianggap lebih sesuai adalah tiga definisi pertama.

Ratna (2011:39) menyatakan analisis antropologis adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya sastra tersebut, dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu, dalam hubungan ini ciri-ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan dengan sendirinya berpegang pada definisi antropologi sastra tersebut. Ciri-cirinya, diantaranta: memiliki kecenderungan ke masa lampau, citra primordial, citra arketipe. Ciri-ciri yanglain, misalnya, mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan subkategorinya, seperti: trah, klen, dan kasta.

(28)

Secara sederhana, antropologi sastra dapat ditampilkan dalam tabel

2.7 Sinopsis Novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R

Kisah Gugur Bunga Kedaton diawali dengan penggambaran sebuah wilayah di pesisir utara Jawa, yakni Gelagah Wangi, cikal bakal kerajaan Demak Bintoro. Adalah Raden Jimbun—putra Raja Kerthabumi di Majapahit—yang didorong oleh Sunan Ampel untuk mendirikan basis kerajaan Islam dari Gelagah Wangi. Sejak saat itu, Gelagah Wangi berkembang menjadi basis masyarakat Islam yang semakin ramai dan Raden Jimbun diangkat menjadi Bupati di Gelagah Wangi oleh Raja Kerthabumi.

(29)

disangkal, tanpa kekuasaan politik-militer-ekonimi-budaya, mustahil sebuah misi bisa berkembang. Hasil musyawarah para wali, para penyokong Raden Jimbun, memutuskan Gelagah Wangi harus bergerak. Tapi, bagaimana mungkin Raden Jimbun menyerang Kerajaan Majapahit yang dipimpin ayahandanya sendiri, Raja Kerthabumi?

Serangan prajurit Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Permada ke Giri Kedaton sebelumnya, hingga mengancam nyawa Sunan Giri dan Sunan Bonang, dijadikan alasan Glagah Wangi menyerang Majapahit. Setelah Perang Paregreg (1401-1406 M) Majapahit memang kian lemah dan terpecah belah, tak seperti pada zaman tokoh besar Hayam Wuruk dan Gajah Mada yang berjaya.

Dengan kekuatan penuh, pasukan Glagah Wangi akhirnya mampu mengalahkan pasukan Majapahit. Majapahit telah ditakdirkan runtuh atau memasuki sandyakalaing mangsa (masa kesuraman). Kerajaan besar yang pernah berjaya itu akhirnya takluk oleh kerajaan bernama Demak, kerajaan kecil di pesisir utara Jawa. Sejak saat itu, Demak menjadi kekuatan baru di Nusantara. Namun, kisah terus bergerak. Perang besar antara Demak dan Majapahit ternyata masih menyisakan beberapa pihak dari Majapahit dan keturunannya yang kemudian menghimpun kekuatan di timur Pulau Jawa. Majapahit berambisi merebut kejayaan masa silam kembali. Perang besar pun tak terelakkan dan kembali terjadi.

2.8 Penelitian Terdahulu

(30)

Ahmad Fuadi. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan nilai budaya Minang yang terkandung dalam novel Rantau Satu Muara karya Ahmad Fuadi.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka, baca, dan teknik catat. Adapun langkah-langkah dalam mengumpulkan data: a) membaca Novel Rantau Satu Muara secara cermat dan berulang-ulang; b) mencatat apa saja data-data yang mengandung nilai budaya yang terdapat dalam novel Rantau Satu Muara; dan c) memilah-milah data ke dalam unit kecil sesuai dengan nilai budaya yang terkandung di dalam novel tersebut agar mudah dianalisis. Persamaan peneliyian Desy dengan peneliti adalah pada kajian analisis dan metode penelitian. Sedangkan perbedaannya adalah pada novel yang dikaji dan pendekatan penelitian.

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Pendekatan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa karakter utama dan plot yang terdapat dalam Novel Gugur Bunga Kedaton

(32)

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan antropologi sastra. Ratna (2004:47) menyatakan bahwa dalam pelaksanaannya metode deskriptif tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, melainkan meliputi fakta sosial yang ditafsirkan oleh subjek.

Berdasarkan uraian di atas, metode penelitian yang sesuai untuk mengkaji novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R. adalah metode kualitatif

yang bersifat deskriptif dengan pendekatan antropologi sastra untuk menganalisa karakter utama dan plot yang terdapat di dalam novel tersebut. Metode ini dipilih dan digunakan dalam penelitian yang menghasilkan data deskriptif tentang nilai budaya berupa kata-kata tertulis seperti yang terdapat dalam novel Gugur Bunga Kedaton.

3.2 Sumber Data

Sumber data merupakan suatu hal pokok dalam penelitian. Pada penelitian ini sumber data yang digunakan adalah adalah subjek penelitian, tempat data menempel, sumber data dapat berupa, benda, gerak, manusia, tempat dan sebagainya. Oleh karena itu peneliti menjadikan kata, kalimat, suasana, dan lingkungan yang terdapat dalam data objektif novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R. sebagai sumber dan data penelitian.

3.3 Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian yang meliputi:

(33)

Metode yang digunakan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengkaji sumber-sumber pustaka rujukan yang mencakup buku-buku, karya tulis lainnya, artikel, dan lain-lain dari berbagai media.

2. Metode Catat

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik catat pada kartu data. Data-data yang diperoleh dari pembacaan heuristik dan hermeneutik tentang situasi-situasi dan kejadian-kejadian yang menyangkut masalah karakter kemudian dicatat pada kartu data.

3. Pengkodean

Data yang diperoleh kemudian dicatat dalam tabel instrumen dan diberi kode sesuai jenis data. Contoh: GBK/H38/NB. Dibaca: Gugur Bunga Kedaton, Halaman 38 dengan karakter tokoh utama dan plot. Contoh ini dapat digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 3.1: Rekapitulasi data karakter tokoh utama dan plot

No Kutipan Kode

1 “Ya, aku mengerti Guru! Tak Mungkin Allah mengutus seorang Rasul yang bukan dari kaumnya, misalnya orang Arab diberi seorang Rasul dari China. Atau Kitab sucinya berbahasa India misalnya. Allah pasti memberi orang Arab seorang utusan-Nya dari kalangan orang Arab sendiri dan Al-Quran pasti memakai bahasa setempat. Karena mudah dimengerti oleh bangsa yang bersangkutan.”

GBK/H38/NB

4. Metode Deskriptif

(34)

deskripsi digunakan untuk mendeskripsikan data-data dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R yang sesuai dengan penelitian.

3.4 Analisis Data

Pada umumnya penelitian Antropologi sastra menurut Bernanrd lebih bersumber pada tiga hal yaitu, manusia/orang, artikel tentang sastra dan bibliografi. Dari sumber data ini sering menjadi pijakan seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources (Endraswara, 2013:109).

Oleh karena itu teknik menganalisis data dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H. R. adalah sebagai berikut:

1. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R

2. Yang diteliti adalah persoalan pemikiran, gagasan, falsafah dan premis-premis masyarakat yang terpantul dalam karya sastra. Berbagai mitos, legenda, dongeng, serta hal-hal gaib juga sangat diperhatikan oleh peneliti. 3. Kajian diarahkan pada unsur-unsur etnografis atau budaya masyarakat

yang mengitari karya sastra tersebut.

(35)

5. Kemudian ditarik kesimpulan yang menunjukan seperti apa karakter tokoh utama dan plot dilukiskan di dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas hasil analisis dan pembahasan. Data yang dianalisis didapatkan dari novel Gugur Bunga Kedaton. Berikut adalah deskripsi data yang didapatkan selama penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) Mendeskripsikan karakter utama dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra. 2) Mendeskripsikan plot

dan peristiwa dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra.

(36)

Abrams dalam Nurgiyantoro (2005:165), mengungkapkan bahwa tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang diakukan dalam tindakan.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memilki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Dalam penelitian ini, hanya dibahas tentang tokoh sentral dalam novel gugur Bunga kedaton. Hasil temuan penelitian tentang tokoh utama (sentral) tersebut adalah sebagai berikut.

Tokoh utama atau tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu:

c. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.

No Nama Tokoh Kutipan berpindah ke pangeran Kikin, yang bukan dari Jalur Sunan Ampel,” Kyai Mat Ngali bernada mendorong agar Pangeran Trenggno melakukan tindakan.

“Apakah para wali akan mendukung saya? Bila Tidak Ada jaminan, saya segan maju

(GBK, 2016:258)

“Baiklah akan saya pikirkan lebih dulu. Saya perlu mendapat petunjuk Allah!”

(37)

“Saya lebih senang melakukan Shalat Tahajud!” “BAiklah, terserah Pangeran saja!”

(GBK, 2016:258)

Hati-hati bicaramu! Dinding dan rumput pun punya telinga! Pangeran Trenggono mengingatkan anaknya Diatas langit masih ada langit lagi! (GBK, 2016:260) “Apakah sebelumnya kau sudah minta ijin kepada gurumu yang lama?”

(38)

diperhitungkan orang, beliau masih menjabat sebagai Imam Agung Masjid Demak, kepala Dewan Walisongo yang bias menentukan siapa yang berhak menjadi Raja Demak berikutnya.”

“Jika kita tidak bertindak tegas, aku khawatir negara ini akan jatuh! Kata Sultan Trenggono memulai pembicaran.

“Ayahanda harus mewaspadai kelompok sempalan yang muncul di Cirebon.”

(GBK, 2016: 357)

“ Hmmm, masalah pribadi Gustimu Rara Galuh tidak semestinya kau mencampuri!”

(GBK, 2016: 630)

2 Rara Galuh “Jangan berkata musuh, musuh, musuh,. Aku kesal mendengarnya. Apa kau sangka bayi ini juga bukan bagian dari diriku, he? Aku juga di dalam bayi ini,” kata Rara Galuh menahan kepedihan hatinya.

(GBK, 2016: 628)

Rara Galuh sudah tidak peduli. Yang ia inginkan Cuma menyelamatkan bayi dalam kandungannya, agar kelak bisa menjadi penghiburnya, untuk menemani masa hari tuanya, dan anaknya tidak perlu tahu siapa ayahnya yang sesungguhnya (GBK, 2016: 628)

Rara Galuh terdiam beberapa saat. Ia merasa lebih dekat dengan Syarifa ketimbang dengan bunga melur. Karena Syarifa dipandang lebih dewasa dan lebih matang diantara mereka bertiga. Membunuh saudara angkat sama dengan mematikan tali persaudaraan yang pernah mereka ikat bersama. Seperti halnya ia pernah dipaksa untuk membunuh janin dalam kandungannya. Jika ia dipaksa membunuh Syarifa, ia pasti menolaknya.

(GBK, 2016: 636)

“Mari kita bicara baik-baik! Ajak Rara Galuh ikut mendinginkan suasana (GBK, 2016: 638)

“Kakangmbok Syarifa, di dunia ini ada berbagai kejadian yang tidak semuanya kita ketahaui, apa dan bagaimana akhir dari kehidupan, “ kata Rara Galuh seperti berteka- teki.

(39)

(GBK, 641)

Jangan ragu Adikku, demi perjuangan suci kita harus berani melakukan! Kata Bunga Melur member jalan, sungai, hutan, dan akhirnya singgah ke tempat tinggalnya, Desa Kedaton di Ujung Galuh.

“Adikku? Kau masih bimbang? Tegur Bunga Melur. Rara Galuh menghembuskan nafas, mencoba membuang sesak di dada

(GBK, 2016: 625)

Mata Rara Galuh terbelalak tak percaya mendengar usul Bunga Melur.

“Kau telah menjadi gila ya Kakangmbok?” pekiknya marah.

(GBK, 2016: 628)

“Kita belum tahu, apa posisi Kakangmbok Syarifa di dalam pasukan. Apa pengaruhnya jika melihat kita berada di pihak musuh. Sebaiknya kita tak berspekulasi membuat langkah yang justru akan menimbulkan sesal di kemudian hari. Aku tak setuju! Katanya mantap setelah berpikir sejenak (GBK, 2016: 637)

“ Aku butuh waktu Kakangmbok. Aku butuh berpikir jernih…..,” bisik Rara Galuh.

(GBK, 2016: 693)

“Aku datang tidak membawa apa-apa, maka aku pergi juga tidak membawa apa-apa!” (GBK, 2016: 717)

Berdasarkan tabel diatas, karakter tokoh utama adalah Rara Galuh sang Selir dengan Sultan Trenggono. Digambarkan Rara galuh adalah selir Raja yang mengikuti Raja berperang kemana-mana. Rara Galuh adalah wanita pemberani yang bersedia berkorban apa saja demi negaranya tercinta Bang Wetan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan.

Kutipan 1

(40)

sungai, hutan, dan akhirnya singgah ke tempat tinggalnya, Desa Kedaton di Ujung Galuh.

“Adikku? Kau masih bimbang? Tegur Bunga Melur.

Rara Galuh menghembuskan nafas, mencoba membuang sesak di dada (GBK, 2016: 625)

Dalam kutipan tersebut, Rara Galuh sedang dilanda cinta kepada Sultan Tenggono yang seharusnya dibunuhnya, karena Sultan Trenggono adalah musuh negara. Namun, Rara Galuh harus memilih antara tugas dan cintanya. Karena sama-sama pelik, maka Rara Galuh memutuskan untuk berdiam diri sejenak dan memikirkan jalan keluar. Selain cinta kepada negaranya, karakter Rara Galuh yang lain adalah penuh kasih sayang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan;

Kutipan 2

Jangan berkata musuh, musuh, musuh,. Aku kesal mendengarnya. Apa kau sangka bayi ini juga bukan bagian dari diriku, he? Aku juga di dalam bayi ini,” kata Rara Galuh menahan kepedihan hatinya.(GBK, 2016: 628)

Dalam kutipan tersebut, Rara Galuh tidak menganggap janin yang ada dalam dirinya adalah anak musuh sebab janin itu adalah anak kandungnya sendiri. Dia menyayangi janin dalam kandungannya itu dan ingin mempertahankannya. Keinginannya itu dipertegas pada kutipan;

Kutipan 3

Rara Galuh sudah tidak peduli. Yang ia inginkan Cuma menyelamatkan bayi dalam kandungannya, agar kelak bisa menjadi penghiburnya, untuk menemani masa hari tuanya, dan anaknya tidak perlu tahu siapa ayahnya yang sesungguhnya (GBK, 2016: 628)

(41)

tua. Dia bertekad bahwa anak itu tidak perlu mengetahui siapa bapaknya. Sebab, tugas untuk membunuh bapaknya ada di tangan Rara Galuh.

Kutipan 4

Rara Galuh terdiam beberapa saat. Ia merasa lebih dekat dengan Syarifa ketimbang dengan bunga melur. Karena Syarifa dipandang lebih dewasa dan lebih matang diantara mereka bertiga. Membunuh saudara angkat sama dengan mematikan tali persaudaraan yang pernah mereka ikat bersama. Seperti halnya ia pernah dipaksa untuk membunuh janin dalam kandungannya. Jika ia dipaksa membunuh Syarifa, ia pasti menolaknya.(GBK, 2016: 636)

Dalam kutipan tersebut, Rara Galuh adalah orang yang penuh kasih. Dia tidak menyakiti mereka yang telah dianggap saudara. Sebab memutuskan tali silaturahmi adalah hal yang tidak benar.

Kutipan 5

“Mari kita bicara baik-baik! Ajak Rara Galuh ikut mendinginkan suasana (GBK, 2016: 638)

Dalam kutipan diatas, Rara Galuh adalah orang yang berpikir panjang dan tidak menyukai keributan. Dia mengajak Syarifah yang berkelahi dengan Dyah Palupi untuk mendinginkan kepala dulu. Sebab emosi tidak akan meyeleesaikan masalah.

Kutipan 6

“Kakangmbok Syarifa, di dunia ini ada berbagai kejadian yang tidak semuanya kita ketahaui, apa dan bagaimana akhir dari kehidupan, “ kata Rara Galuh seperti berteka- teki.

Syarifa heran melihat perubahan sikap Rara Galuh.(GBK, 641)

(42)

Berdasarkan kutipan diatas, karakter Rara Galuh adalah pemberani, pejuang, berkepala dingin dengan tidak tergesa-gesa bertindak dan penuh kasih sayang. Karakter Rara Galuh sangan kontras dengan tugas yang diembannya yaitu membunuh Sultan Trenggono. Meskipun pada akhirnya Rara Galuh benar-benar membunuh Sultan Trenggono, tapi penyesalannya kemudian membuat Rara Galuh memilh mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Karakter protagonis yang berikutnya adalah Sultan Trenggono. Sebelum menjadi Raja di Demak, beliau terlibat perseteruan dengan Pangeran Kikin yang sama-sama berhak mewarisi tahta demak. Berikut adalah penggambaran karakter Sultan Trenggono.

Kutipan 7

Pangeran Trenggono termanggu-manggu

“Waktu mendesak, harap Pangeran segera mengambil sikap. Jika terlambat, kami khawatir tahta akan berpindah ke pangeran Kikin, yang bukan dari Jalur Sunan Ampel,” Kyai Mat Ngali bernada mendorong agar Pangeran Trenggno melakukan tindakan.

“Apakah para wali akan mendukung saya? Bila Tidak Ada jaminan, saya segan maju

(GBK, 2016:258)

Dalam kutipan tersebut, Pangeran Trenggono adalah seorang yang berhati-hati dalam bertindak. Beliau memerlukan jaminan sebelum melakukan langkah yang lebih besar. Hal ini dikarenakan untuk menjaga rasa aman bagi dirinya. Selain berhati-hati, karakter sultan trenggono adalah religius. Beliau melaksanakan shalat untuk bisa lebih jernih mengambil keputusan. Dapat dilihat pada kutipan;

(43)

Pangeran perlu melakukan Shalat Istikharah pada tiga perempat malam!” “Saya lebih senang melakukan Shalat Tahajud!”

“Baiklah, terserah Pangeran saja!”(GBK, 2016:258).

Dalam kutipan tersebut, Sultan Trenggono memilih melakukan shalat tahajud. Dalam kutipan tersebut digambarkan watak sultan trenggono yang etguh, sebab dia memilih sholat tahajud alih-alih shalat istikharah.

Sultan Trenggono adalah orang yang waspada dan berhati-hati. Dapat dilihat dalam kutipan.

Kutipan 9

Hati-hati bicaramu! Dinding dan rumput pun punya telinga! Pangeran Trenggono mengingatkan anaknya yang bejiwa panas. (GBK, 2016:260)

“Apa yang aku takuti? Sekalipun Kanjeng Sunan Kudus sendiri aku tidak takut!” Hmmm… Anak muda jangan takabur bicaramu! Diatas langit masih ada langit lagi! (GBK, 2016:260)

Kehati-hatian Sultan Trenggono dan rasa hormatnya kepada seseorang yang dianggap gurunya juga dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Kutipan 10

“Apakah sebelumnya kau sudah minta ijin kepada gurumu yang lama?”

“buat apa minta ijin? Pasti dilarang! Aku sudah tidak cocok dengan paham Kanjeng Sunan Kudus yang kelewat ortodok dan konservatif, “ jawab Raden Mukmin (GBK. 2016: 260)

Dalam kutipan diatas, dapat diketahui bahwa Sultan Trenggono adalah seorang yang hati-hati dan menghormati para gurunya dengan sepenuh hati meskipun sebenarnya beliau tidak menyukai sikap yang diambil oleh gurunya itu. Sikap Sultan Trengono yang menghormati gurunya meskipun tidak sepaham juga dapat dilihat dalam kutipan.

Kutipan 11

(44)

sultan terdahuu, juga guru para pangeran serta bangsawan. Walau secara pribadi aku tidak menyukai warna dan gaya penyampaian ilmunya, namun aku tetap menghormati beliau.”(GBK, 2016:261)

Selain menghormati gurunya dan bertindak hati-hati, Sultan Trenggono juga tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan dan beliau bijaksana. Hal tersebut terdapat dalam kutipan.

Kutipan 12

Apa yang terjadi selama tiga purnama itu? Tanya Raden Mukmin

“Aku akan mencari jalan terbaik dan bijaksana! Jawab Pangeran Trenggono “Jika itu sudah menjadi keputusan Ayahanda.”(GBK, 2016:261)

Berdasarkan kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa karakter Sultan Trenggono adalah berhati-hati dan selalu waspada. Beliau adalah orang yang religius dan teguh pada pendiriannya sendiri.

d. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang

“Sabar, sabar, jangan sampai kemarahan yang menggumpal di hati kalian menutup kewaspadaan dan kehati-hatian. Walau kita marah, kesal, kecewa, sakit hati, dendam…tapi hendaknya kita bias bersikap tetap tenang dan tidak terbawa oleh emosi sesaat. Dalam keadaan tenang, kita bias berpikir jernih, masuk akal dan benar. Demak sekarang telah tumbuh menjadi kekuatan baru yang sulit dihadapi. Apalagi oleh kita yang tidak memiliki kekuatan pasukan segelar papan, “ kata orang tua itu menenangkan pengikutnya. (GBK, 2016: 271) Orang tua yang dipanggil Ki Ajar Sosrobirawa itu mengelus-elus jenggotnya yang putih. Ia memang sudah merencanakan sesuatu, tipu muslihat untuk jangka panjang.

(GBK, 2016:272)

(45)

selalu dihantui rasa bersalah, mengaa bangsa asing yang membawa masuk keyakinan baru dapat berkuasa di tanah sendiri? Oleh sebab itu aku perintahkan kepada kalian semua agar tetap kuat, menjaga persaudaraanm dan menjunjung tinggi perjuangan ini melebihi nyawa kita sendiri, “ Orang tua itu membuka penjelasan (GBK, 2016:272)

“Kekuatan jangan dilawan dengan kekerasan apabila kita tidak mampu. Itu sama saja dengan bunuh diri, mati konyol. Sebaliknya dengan kecerdikan kita bisa mengalahkan lawan yang lebih kuat dan lebih perkasa dari kita.”

(GBK, 2016:273)

“Racun yang kalian taruh pada makanan Pangeran renggono apa berhasil?”

Wajah semua yang hadir kembali menunduk sambil menggeleng lemah

(GBK, 2016: 273)

“Baik, laksanakan tugasmu. Tapi ingat, kau berjalan sendiri, tidak ada kaitannya dengan perkumpulan kita. Jika misimu gagal, musuh tidak akan curiga kepada kita!”

(GBK, 2016: 275)

Salah seorang pengikutnya,menangis menyesali kegagalan tugas yang diembannya.

“Saya minta maaf ki Ajar, Saya gagal meracuni Pangeran Trenggono!”

“Jangan putus asa!setidaknya kau telah berusaha. Untung aku membantu kalian dengan meninggalkan sepucuk surat yang seolah-olah dikirim oleh pihak Jipan Panolan, “ Kata Ki Ajar Sosrobirawa.

(GBK, 2016: 275)

“Hahahaha! Aku pastikan sekarang ini pihak Pangeran Trenggono mulai mencurigai pihak Pangeran Kikin. Setidaknya api curiga telah merayap membakar hati dan pikiran mereka. Tinggal kita menunggu hasilnya, apa yang akan dilakukan oleh pihak Pangeran Trenggono. Aku menduga akan ada suatu kejutan luar biasa yang akan menjadi pintu masuk pertentangan di antara keluarga keturunan Semopati Jimbun Al- Fath. Hahahaha…!”\

(GBK, 2016: 276)

“Aku tidak akan memaafkan penghianat! Siapa pun diantara kalian yang berkhianat kepada gerakan rahasia kita ini, maka aku bersumpah akan menghabisi seluruh keluarga kalian hingga tidak bersisa. Apakah kalian sudah siap menerima resikonya?!”

(46)

Tokoh antagonis dalam novel ini adalah Ki Ajar Sosrobirawa, berikut adalah penggambaran karakternya;

Kutipan 13

Sabar, sabar, jangan sampai kemarahan yang menggumpal di hati kalian menutup kewaspadaan dan kehati-hatian. Walau kita marah, kesal, kecewa, sakit hati, dendam…tapi hendaknya kita bias bersikap tetap tenang dan tidak terbawa oleh emosi sesaat. Dalam keadaan tenang, kita bias berpikir jernih, masuk akal dan benar. Demak sekarang telah tumbuh menjadi kekuatan baru yang sulit dihadapi. Apalagi oleh kita yang tidak memiliki kekuatan pasukan segelar papan, “ kata orang tua itu menenangkan pengikutnya. (GBK, 2016: 271)

Dalam kutipan tersebut, karakter Ki Ajar Sosrobirawa adalahpenyabar seperti singa yang menunggu mangsa. Beliau mengajarkan anak buahnya untuk bersabar dan waspada. Sebab jika ceroboh mereka bisa celaka. Karakter Ki Ajar Sosrobirawa yang licik dapat dilihat dalam kutipan;

Kutipan 14

Orang tua yang dipanggil Ki Ajar Sosrobirawa itu mengelus-elus jenggotnya yang putih. Ia memang sudah merencanakan sesuatu, tipu muslihat untuk jangka panjang. (GBK, 2016:272)

Selain licik, Ki Ajar Sosrobirawa juga dikenal sebagai lelaki yang pendendam. Beliau ingin menghancurkan demak sampai hancurtidask bersisa. Dapat diliht dalam kutipan.

Kutipan 15

(47)

Namun, Ki Ajar Sosrobirawa juga adalah seorang yang cerdik dan menguasai taktik. Beliau mengajarkan anak buahnya untuk janga melawan kekuatan dengan kekerasan. Sebab itu sma dengan bunuh diri.

Kutipan 16

“Kekuatan jangan dilawan dengan kekerasan apabila kita tidak mampu. Itu sama saja dengan bunuh diri, mati konyol. Sebaliknya dengan kecerdikan kita bisa mengalahkan lawan yang lebih kuat dan lebih perkasa dari kita.”(GBK, 2016:273)

Berdasarkan kutipan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Ki Ajar Sosrobirawa adalah seorang yang licik, penuh perhitungan, waspada. Cerdik dan penuh dendam kesumat. Dengan berbagai cara dia akan menyiapkan siasat untuk menghncurkan Demak.

2. Plot dan peristiwa dalam novel Gugur Bunga Kedaton menggunakan kajian antropologi sastra.

Stanton dalam Nurgiyantoro (2010:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun setiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro (2010:113) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peritiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.

(1) Hanya Arya Mataram yang ragu-ragu.

(48)

kuat dan didukung oleh banyak elemen masyarakat, mengingat Pangeran Trenggono selain sebagai Putra Mahkota juga keturunan langsung dari Sunan Ampel yang menjadi guru para Wali Tanah Jawa. Posisinya lebih menguntungkan disbanding ayahnya, yang kebetulan menjadi kakak tertua dari putra-putri Senopati Jimbun Al-Fath. Diantara para Wali Tanah Jawa terjadi perpecahan pendapat, sebagian menginginkan yang menjadi Raja Demak berikutnya adalah putra Mahkota. Tapi ada pula yang bersikeras bahwa pengganti Pangeran Sabrang Lor adalah Pangeran Kikin yang menjadi putra tertua pendiri Kerajaan Demak Bintoro ini. Peta kekuatannya boleh dibilang hamper seimbang. KArena walau banyak yang mendukung Pangeran Trenggono, namun kebanyakan mereka tidak mau tampil di depan. Sementara yang mengusung Ayahnya, Pangeran Kikin hanya gurunya sendiri, yakni Sunan Kudus dan para Ulama di Tajug. Hari-hari berikutnya menjelang pemilihan dan pelantikan Raja Demak yang baru, kehidupan bernegara tampak menunjukkan adanya persaingan keras di bawah permukaan. Demak Bintoro seolah terbelah menjadi dua kubu yang saling mendukung jagonya. Imbas persaingan politik di Demak itu akhirnya sampai juga di rakyat. Rakyat gelisah, masing-masing kubu mengekspresikan melalui tindakan nyata dan mengerucut menjadi benturan di lapangan. (GBK, 2016: 264).

(49)

(2) Pertarungan politik tidak bisa dielakkan. Masing-masing kubu telah membentuk persekutuan atau aliansi kekuatan baru. Semakin dekat waktu pemilihan dan penobatan Raja Demak yang baru, suasana kehidupan masyarakat Demak semakin khawatir, bahwa bisul yang membuat sakit demam tinggi itu sewaktu-waktu bias pecah kapan saja. Mestinya ada pemicunya, yang membakar sumbunya dan meledak (GBK, 2016:293)

Dalam kutipan tersebut, plot yang ada adalah dengan semakin dekat waktu pemilihan dan penobatan Raja Demak yang baru, suasana kehidupan masyarakat Demak semakin membuat khawatir, arus persaingan kedua kandidat seperti bisul yang membuat penderitanya panas dingin.

Penampilan peristiwa-peristiwa yang hanya berdasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan dan penyiasatannya itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khusunya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan (Nurgiyantoro: 2010:113).

(50)

Dalam kutipan diatas, plot yang ada adalah keadaan setelah pertarungan berebut pengaruh sebagai Raja Demak. Sultan Trenggono sebagai Raja baru melakukan langkah-langkah politik yang berani dan tegas, cenderung lebih keras dan kejam dibandingkan dengan dua raja Demak pendahulunya.

(4) Kekalahan kubu Sunan Kudus berimbas pada keguncangan politik di Demak. Hubungan Sultan Trenggono dan Sunan Kudus jadi dingin. Dalam suau peristiwa sempat terjadi perdebatan seru antara Sunan Kudus dan Sultan Trenggono. Bermula dari perbedaan pendapat dalam menentukan awal jatuhnya bulan Syawal. Sultan Trenggono lebih cenderung memilih pendapat Sunan Kalijaga ketimbang Sunan Kudus. Semakin hari perbedaan itu semakin melebar kepada kebjakan garis politik Negara; merembet ke masalah warna dan napas paham apa yang akan menjadi paham resmi Negara Demak.

Peristiwa-peristiwa cerita(dan atau plot) dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh- tokoh (utama) cerita. Bahkan , pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik yang berifat verbal maupun nonverbal, baik yang bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2010:114)

(5) Konon menurut sejarah, untuk melindungi dan memuluskan ayahandanya bias naik tahta dan menjadi Raja Dema Bintoro, Raden Mukmin tega membunuh uwaknya sendiri di tepi sungai.

(51)

Kikin meninggal karena pembunuhan politik oleh keponakannya sendiri untuk merebut tahta Raja Demak.

(6) Kabarnya Raden Mukmin nekat membunuh Pangeran Kikin yang dianggapnya menjadi penghalang ayahandanya, Pangeran Trengono. Selama Pangeran Kikin masih hidup maka peluang ayahandanya menduduki tahta pasti terganjal. Karena tradisi mengajarkan anak tertua yang akan menggantikan menjadi raja berikutnya. Kematian Raden Kikin ini melahirkan perseteruam amtara Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus yang semakin memanas. Dendam kesumat telah ditabur, besemai tumbuh di tanah kebencian (GBK, 2016: 313).

Dalam kutipan tersebut, disebutkan penyebab perseteruan kubu sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Hal itu disebabkan oleh kematian Pangeran Kikin yang tragis.

(7) Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor, Demak Bintoro diguncang peseteruan dua saudara tiri yang sama-sama mengaku berhak mewarisi tahta demak. Yang satu putra dari Jipan Panolan, yang kedua putra dari keturunan Sunan Ampel. Masing-masing saling bersaing untuk menentukan siapa yang paling berhak menjadi Raja Demak berikutnya (GBK, 2016:329)

(52)
(53)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dideskripsiskan dalam bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah;

1. karakter utama dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra

(54)

kesumat. Dengan berbagai cara dia akan menyiapkan siasat untuk menghncurkan Demak.

2. Plot dan peristiwa dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra.

Plot yang ada dalam Novel Gugur Bunga Kedaton adalah keadaan setelah pertarungan berebut pengaruh sebagai Raja Demak. Sultan Trenggono sebagai Raja baru melakukan langkah-langkah politik yang berani dan tegas, cenderung lebih keras dan kejam dibandingkan dengan dua raja Demak pendahulunya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan, maka peneliti dapat memberikan saran kepada beberapa pihak yang berkaitan dengan pembahasan analisis dalam novel Gugur Bunga Kedaton karya Wahyu H.R menggunakan kajian antropologi sastra.

1. Bagi mahasiswa dan dosen bahasa dan sastra Indonesia:

Hasil analisis ini diharapkan bisa menjadi alternatif media pembelajaran bahasa. Bahwa karakter dalam novel Gugur Bunga Kedaton bisa menjadi media pengantar pesan yang baik, bukan hanya sekedar pelengkap karya itu sendiri.

2. Bagi penikmat karya sastra

(55)

Gambar

Tabel 2.1 Analisis Antropologi sastra
Tabel 3.1: Rekapitulasi data karakter tokoh utama dan plot

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh biaya kualitas terhadap laba bersih di PT PINDAD (Persero ) di Divisi Tempa dan Cor dalam kurun waktu tahun 2002 sampai dengan 2009 adalah sebesar 78%, artinya

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama (H1) pada penelitian ini menunjukkan bahwa variabel bid-ask spread, market value, dan variance return secara simultan

Tahap 3.. Berdasarkan penuturan dari salah seorang pihak desa, tidak adanya bantuan langsung dari pemerintah maupun desa, disebabkan oleh status lahan yang

Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh satu atau lebih variabel bebas terhadap variabel terikat dengan memerlukan pengujian hipotesis dengan uji statistik.. Penelitian ini

disampaikan guru, dan diskusi, siswa dapat mempraktikkan gerak spesifik menahan (menggunakan kaki bagian dalam, dan kaki bagian luar) pada permainan sepak bola

Berdasarkan bentuk pantai dan arah angin yang dapat membangkitkan gelombang pada lokasi penelitian, maka perhitungan transformasi gelombang dilakukan dalam tiga arah

Semangat dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik

Untuk menunjang pelaksanaan akuntansi agar dapat menyajikan informasi yang benar mengenai kas yang dimiliki oleh perusahaan maka diperlukan suatu prosedur audit kas,