• Tidak ada hasil yang ditemukan

perkembangan ilmu hadis ilmu hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "perkembangan ilmu hadis ilmu hadis"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Ilmu Hadist

Perkembangan Ilmu Hadist

Disusun Oleh:

Nur Fitrianti Nur Inayah Yushar Nurmalasari Yamin Putri Ayu Asmara

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “PERKEMBANGAN ILMU HADITS”

Dalam makalah ini menmbahas tentang pengertian dan cabang-cabang ilmu hadits, sejarah perkembangan ilmu hadits, peran ilmu hadits terhadap perkembangan hadits dan tokoh-tokoh perkembangan ilmu hadits.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat yang baik untuk menambah pengetahuan kita. Amin yaa rhabbal alamin.

Makassar, 18 April 2013

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... 1

Kata Pengantar ... 2

Daftar Isi ... 3

BAB I PENDAHULUAN ... 4

A. Latar belakang ... 4

B. Rumusan masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 5

BAB II PEMBAHASAN ... 6

A. Pengertian dan cabang-cabang ilmu hadits ...6

B. Sejarah perkembangan ilmu hadits ...10

C. Tokoh-tokoh pengembangan ilmu hadis ...12

D. Peran ilmu hadis terhadap perkembangan hadist...15

BAB III PENUTUP ... 16

A. Kesimpulan ... 16

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuh, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti histories ini menggambarkan bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiring dengan perkembangan pengetahuan lainnya.

Menatap prespektif keilmuan hadits, sungguh pun ajaran hadits telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul

(sebab-sebab wahyu diturunkan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud

(sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.

(5)

hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.

B. Rumusan Masalah

Dari kandungan latar belakang di atas maka pemakalah dapat merumuskan beberapa masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, antara lain:

1. Apakah pengertian dan cabang-cabang ilmu hadits ? 2. Bagaimana sejarah ilmu hadits ?

3. Apakah peran hadits terhadap perkembangan hadits ? 4. Siapakah tokoh-tokoh pengembang ilmu hadits ?

C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas maka adapun tujuan penulisan dalam makalah ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui pengertian dan cabang-cabang ilmu hadits 2. Untuk mengetahui sejarah ilmu hadits

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pengembangan ilmu hadits

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Cabang-Cabang Ilmu Hadits

Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.

Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits ada dua, Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan denga matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.

(7)

Al-Hadits, merinci disiplin ini menjadi lima puluh dua bagian, dan al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib, merincinya menjadi enam puluh lima bagian.

Menurut Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Ilmu Dirayatul Hadits

Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits. Menurut kata sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya, dan yang sepertinya.

Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Haditsu wal Muhadditsun, memberikan definisi Ilmu Ushulur Riwayah atau Ilmu Riwayatul Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, dan keadaan perawi-perawinya dan syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.

Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak. Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.

Dalam penjelasannya, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan: a) Hakikat periwayatan adalah menyampaikan berita dan menyandarkannya

(8)

b) Syarat-syarat periwayatan adalah syarat-syarat perawi di dalam menerima hal-hal yang diriwayatkan oleh gurunya, apakah dengan jalan mendengar langsung atau dengan jalan ijazah, atau lainnya.

c) Macam-macam periwayatan, apakah sanadnya itu bersambung-sambung atau putus dan sebagainya.

d) Hukum-hukumnya, artinya diterima atau ditolaknya apa yang diriwayatkannya itu.

e) Keadaan perawi dan syarat-syaratnya, yaitu adil tidaknya dan syarat-syarat menjadi perawi baik tatkala menerima hadits maupun menyampaikan hadits. f) Macam-macam yang diriwayatkan, ialah apakah yang diriwayatkannya itu

berupa hadits Nabi, atsar atau yang lain.

g) Hal-hal yang berhubungan dengan itu, ialah istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits.

2. Ilmu Riwayatul Hadits

Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya. Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya : menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya.

(9)

yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.

Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah :

a) Ilmu Rijalul Hadits

Ilmu Rijalul Hadits ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadits.

b) Ilmu Jarhi wat Ta’dil

Ilmu Jarhi wat Ta’dil yaitu Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu. Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.

c) Ilmu Fannil Mubhammat

(10)

Mubhamat. Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam

Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.

d) Ilmu ‘Ilalil Hadits

Ilmu ‘Ilalil Hadits Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits, Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadits.

Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.

Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah

hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada

‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih.

e) Ilmu Ghoriebil Hadits.

(11)

f) Ilmu Nasikh wal Mansukh

Ilmu Nasikh wal Mansukh Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya. Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.

g) Ilmu Talfiqil hadits

Ilmu Talfiqil hadits Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya. Di kumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.

h) Ilmu Tashif wat Tahrif Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai

muharraf).

i) Ilmu Asbabi Wurudil Hadits

(12)

membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al-Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.

j) Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits

Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain. Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits”

atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.

B. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits

Ilmu hadits tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan, periwayatan dan penukilan hadits. Berawal dari cara yang sangat sederhana, ilmu ini berkembang sedemikian rupa seiring dengan berkembangnya masalah yang dihadapi.

Pada periode Rasulullah SAW kritik atau penelitian suatu hadits yang menjadi cikal bakal ilmu hadis terutama ilmu hadits dirayah dilakukan dengan cara yang sangat sederhana sekali. Apabila seorang sahabat ragu dalam menerima periwayatan hadits sahabat yang lain, maka ia segara menemui Rasulullah SAW atau sahabat lain yang dapat dipercaya mengkonfirmasinya. Setelah itu barulah mereka bisa menerima dan mengamalkan hadits tersebut.

Pada periode sahabat, penelitian hadits yang menyangkut matan dan sanad

(13)

dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, tidak mau asal menerima hadits yang diriwayatkan begitu saja, kecuali yang bersangkutan datang dan membawah saksi kuat untuk memastikan kebenaran riwayat yang disampaikan. Namun Ali’ bin Abi Thalih

khalifah terakhir menetapkan persyaratan tersendiri. Ia tidak mau menerima hadits yang diriwayatkan oleh seseorang, kecuali orang tersebut berani diambil sumpah atas kebenaran riwayat tersebut. Meski demikian, ia tidak menuntut persyaratan tersebut kepada sahabat yang sangat dipercayai kejujurannya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Semua yang dilakukan oleh para sahabat adalah bertujuan memurnikan hadits-hadits Rasulullah SAW diantara sahabat yang selektif dan terang-terangan dalam membicarakan kepribadian sahabat lain sebagai periwayat hadits adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Ubaidah bin Ash-Tsamit. Pegangan dasar penelitian sanad yang terkandung dalam kebijaksanaan yang dicontohkan oleh para sahabat diikuti dan dikembangkan pula oleh para tabiin. Kritik matan juga tampak jelas pada periode sahabat. ‘Aisyah RA pernah mengkritik hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dengan matannya, ‘innal-mayyita yu’azzabu bi buka’i ahlihi ‘alaihi”

(sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya). ‘Aisyah mengatakan bahwa periwayat telah salah dalam menyampaikan hadits tersebut sambil menjelaskan matan yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW melewati sebuah kuburan orang Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap di atasnya.

Melihat hal tersebut, Rasulullah SAW bersabda, “mereka sedang meratapi si mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya.” Penegasan Aisyah berkata, “cukuplah Al-Qur’an sebagai bukti ketidakbenaran matan hadis yang dari Abu Hurairah karena maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an.” Aisyah mengutip surah Al-An’am: 16 yang artinya, “...dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…

(14)

penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan berkembangnya masalah-masalah yang mereka hadapi. Demikian pula di kalangan para ulama hadis selanjutnya.

Dalam catatan sejarah perkembangan hadits, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun ilmu hadits dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah Qadi Abu Muhammad Hasan bin Abd. Rahman bin Khalad Al-Ramahurmuzi dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi wa Al-Wa’i.

Kemudian, muncul Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah An-Naisaburi dengan kitabnya yang lebih sistematis, Ma’rifah Ulum Al-Hadits. namun kitab ini juga belum sempurna dibanding dengan kitab-kitab karya ulama berikutnya.

Bersamaan dengan pesatnya perkembangan ilmu, bermunculanlah kitab-kitab yang mengupas lebih spesifik tentang ilmu hadtis, di antaranya Tadrib Ar-Rawi oleh Jalaluddin As-Suyuthi, Taudih Al-Afkar oleh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani

As-San’ani, dan Qawa’id At-Tahdis karya Muhammad Jalaluddin bin Muhammad bin Sa’id bin Qasim Al-Qasimi.

Disamping kitab ulumul hadis yang bersifat umum, dalam perkembangan selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih luas dan mendalam.

C. Tokoh-Tokoh Pengembangan Ilmu Hadits

Adapun tokoh-tokoh pengembangan ilmu hadits yaitu : 1) Imam Bukhari

(15)

lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah, adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya, al-Mughirah, memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja'fi, gubernur Bukhara.

Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Kerana itulah ia dikatakan "al-Mughirah al-Jafi." Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadith. Ia belajar hadith dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik. Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab As-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam at-Tarikh al-Kabir. Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara' (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan taqwa. Diceritakan, bahawa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: "Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun wang yang haram maupun yang subhat." Dengan demikian, jelaslah bahawa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara'. Tidak hairan jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu. Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum'at. Tak lama setelah bayi yang baru lahir itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya.

(16)

masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadith. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadith. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadith, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal kitab sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra'yi (penganut faham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya. Rasyid ibn Ismail, abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberpa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma kerana tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, kerana merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua kerana Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

2) Imam Muslim

Penghimpun dan penyusun hadith terbaik kedua setelah Imam Bukhari adalah Imam Muslim. Nama lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Shahih (terkenal dengan Shahih Muslim). Ia salah seorang ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H. menurut pendapat yang shahih sebagaimana dikemukakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya 'Ulama'ul-Amsar.

3) Imam Abu Dawud

(17)

kesalihan dan kemuliaannya semerbak mewangi hingga kini. Abu Dawud nama lengkapnya ialah Sulaiman bin Asy'as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin 'Amr al-Azdi as-Sijistani, seorang imam ahli hadith yang sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadith setelah dua imam hadith Bukhari dan Muslim serta pengarang kitab Sunan. Ia dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan

4) Imam Tirmidzi

Setelah Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud, kini giliran Imam Tirmidzi, juga merupakan tokoh ahli hadith dan penghimpun hadith yang terkenal. Karyanya yang masyhur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmidzi). Ia juga tergolonga salah satu “Kutubus Sittah” (Enam Kitab Pokok Bidang Hadith) dan ensiklopedia hadith terkenal. Imam al-Hafiz Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak Amerika Serikat-Sulami at-Tirmidzi, salah seorang ahli hadith kenamaan, dan pengarang berbagai kitab yang masyhur lahir pada 279 H di kota Tirmiz.

5) Imam Nasa'i

(18)

6) Imam Ibn Majah

Ibn Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadith. Imam Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan dan kitab-kitab bemanfaat lainnya. Kata "Majah" dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat yang shahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52. Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar.

D. Peran Ilmu Hadis Terhadap Perkembangan Hadis

(19)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.

Ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri

Menurut Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi menjadi 2, yaitu : Ilmu Dirayatul Hadits dan Ilmu Riwayatul Hadits.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Siba’i.Musthafa.1993.Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam.Jakarta: Pustaka Firdaus hal.84

Al-Khaththan, Syaikh Manna’.2005.Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.hal.73

Anwar,Muh.1981.Ilmu Mushthalah Hadits.Surabaya: Al-Ikhlas hal.2 Ash-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi.2005.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.hal.131

Dzulmani. Mengenal Kitab-kitab Hadits. 2008. Yogyakarta. Perpustakaan Nasional : Katalog dalam Terbitan (KDT)

Shahih Bukhari, Kitab Al-Thibb dalam Imam Bukhari. Shahih Bukhari, kitab Al-Thibb, bab Al-Judzam.

Zuhri. 2005.Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta. PT: Tiara Wacana Yogya. Hal:143-144

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Rawi yaitu orang yang memindahkan hadis dari seorang guru kepada orang lain atau membukukannya ke dalam suatu kitab hadis.. Rawi pertama adalah para sahabat dan rawi terakhir

Melalui tiga pendekatan di atas, diperoleh kesimpulan bahwa hadits pemenuhan kebutuhan biologis suami dalam kitab Qurrat al-‘Uyun yang berjumlah 5 (lima) hadits,

Langkah yang ditempuh adalah mengumpulkan ḥadis yang satu tema dalam pencarian ḥadits tentang cyberbullying menggunakan kitab Mu’jam Al-Mufarras li Al-Fadzi Al-Hadits

Melihat fungsi dan hadits yang sangat penting dalam sebuah penafsiran, maka peneliti mencoba mengkaji dan meneliti hadits-hadits yang terdapat dalam salah satu kitab

mencari hadis untuk menetapkan suatu hukum. Mereka cukup dengan kitab-kitab muktabarah dan tidak menelusurinya sampai kepada nas Alquran dan Hadis, kecuali

Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia menyebutkan bahwa pada masa perubahan (tahun 1900-1908) kitab-kitab hadis sudah mulai diajarkan di surau-surau

Dan salah satu karya terbesar dalam ilmu ‘ilal hadis ini adalah kitab Az-Zuhr al-Mathlûl fî al-Khabar al-Ma’lûl karya Imam Ibn Hajar al-‘Asqalanî, kitab ini disebut-sebut

Sementara dalam periwayatan hadis, Juynboll menemukan fenomena bahwa penyebaran periwayatan dalam berbagai koleksi kitab hadis, bahkan kitab hadis standar,