TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Kampung
Secara zoologis klasifikasi ayam kampung adalah Filum : Chordata,
Sub Filum :Vertebrata, Kelas: Aves, Ordo: Galliformes, Famili: Phasianidae,
Genus: Gallus-gallus, Species: Gallus-gallus domesticus. Ayam kampung adalah
ayam yang jinak yang telah terbiasa hidup di tengah-tengah masyarakat yang
padat penduduknya. Daya adaptasinya tinggi karena ayam ini mampu
menyesuaikan diri dengan berbagai situasi lingkungan dan iklim yang ada
(Sarwono, 1997). Menurut Murtidjo (1994) di Indonesia ayam kampung
merupakan salah satu jenis ternak yang telah tersebar luas di seluruh pelosok
nusantara dan mempunyai peranan besar dalam mendukung perekonomian
pedesaan. Jika dibandingkan dengan ternak lain ayam kampung memiliki
kelebihan karena mempunyai kecepatan adaptasi terhadap lingkungan dan daya
tahan terhadap penyakit juga relatif tinggi.
Hampir semua ayam kampung yang terdapat di Indonesia memiliki bentuk
badan yang kompak dan baik sekali susunan otot-ototnya. Bentuk jari kakinya
begitu panjang, tetapi kuat dan ramping, kukunya tajam, tinggi paha dan betisnya
sedang tetapi kokoh. Semakin pesatnya perkembangan usaha ternak ayam ras
sama sekali tidak menurunkan pamor produk ayam kampung di mata masyarakat
sebagai konsumen (Rasyaf, 1992).
Ransum Ayam Kampung
Ransum adalah makanan yang terdiri dari satu atau lebih bahan makanan
dikatakan berkualitas apabila ransum ini mengandung semua zat gizi yang
diperlukan oleh ayam. Untuk kelompok ayam yang umurnya tertentu diternakkan
dengan tujuan tertentu akan membutuhkan ransum yang berbeda kandungan
gizinya dengan ransum yang dibutuhkan pada sekelompok umur yang lain dengan
tujuan yang lain pula (Aisyah dan Rahmat, 1989).
Ransum dimakan oleh ayam dalam bentuk tepung lengkap, butiran pecah
dan dikunyah di dalam tubuhnya dan diubah dengan enzim-enzim pencernaan
menjadi unsur gizi yang dibutuhkannya yaitu protein dan asam-asam amino,
energi, vitamin dan mineral. Unsur-unsur gizi itulah yang kelak akan digunakan
oleh ayam untuk kehidupan pokoknya dan untuk produksi. Oleh karena itu jelas
bahwa baik atau buruknya produksinya sangat bergantung pada ransum yang
dimakan ayam tersebut (Rasyaf, 1991). Kebutuhan gizi ayam kampung dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung
Minggu 0-12 12-22 22 keatas
Energi (%) 2600 2400 2400-2600
Protein (%) 15-17 14 14
Kalsium (%) 0,9 1,00 3,4
Phospor (%) 0,45 0,45 0,34
Methionin (%) 0,37 0,21 0,22-0,30
Lisin(%) 0,87 0,45 0,68
Sumber : Nawawi dan Norrohmah (1997)
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas ransum serta
faktor-faktor lainnya seperti umur, palatabilitas, aktivitas ternak, tingkat produksi
dan pengelolaannya. Konsumsi ternak ayam kampung dapat dilihat dari Tabel 2
Tabel 2. Kebutuhan Pakan Ayam Kampung Pedaging
Umur (Minggu) Konsumsi (g/ekor/hari) Berat Badan (g)
1 9 45
Sumber a. Sudaryani dan Santosa (1995) b. Murtidjo (1994)
Protein berguna untuk membentuk jaringan tubuh, memperbaiki jaringan
yang rusak untuk keperluan berproduksi dan kelebihannya akan dibuah menjadi
energi (Aisyah dan Rahmat, 1989). Menurut Nawawi dan Nurromah (1997) ayam
kampung umur 0-4 minggu atau fase starter membutuhkan protein sekitar 19-20
%, umur 4-8 minggu atau fase grower I membutuhkan protein sekitar 18-19 %,
umur 8-12 minggu atau fase grower II membutuhkan protein sekitar 16-18 %,
umur 12-18 minggu membutuhkan protein sekitar 16-17 % dan umur 18-24
minggu membutuhkan protein sekitar 16-17 %.
Saluran Pencernaan Ayam
Pada ayam kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas
fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode
perkembangan awal setelah menetas. Menurut Zhou et al. (1990), status nutrisi
dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan.
Ayam tidak mengeluarkan urine cair. Urine pada unggas mengalir ke
dalam ekskreta ayam sebagian besar adalah asam urat, sedangkan nitrogen urine
mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada
unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam)
(Anggorodi, 1985).
Kapasitas saluran pencernaan pada ayam periode awal dalam
memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) telah dilaporkan oleh
Rovira et al. (1994). Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak
dapat meningkatkan daya serap usus atau berakibat sebaliknya dengan
pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan
oleh perkembangan saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi
aktivitas enzim.
Meskipun aktivitas enzim pencernaan pada umumnya dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain : Genetis, komposisi ransum dan intake
(Nitsan et al., 1991). Intake lebih berpengaruh terhadap produksi dan aktivitas
enzim pencernaan.
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam
saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan
tubuh (Anggorodi, 1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya
ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya
bagian - bagian penting dari alat penceernaan adalah mulut, farinks, esofagus,
lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang
saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya
Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk
mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat
melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya
lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).
Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di
gizzard (empedal) dengan menggunakan batu - batu kecil atau grid yang sengaja
dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan
pencernaan dengan menggunakan enzim - enzim pencernaan yang disekresikan
oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Di dalam
usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang
berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus
(proteolitik) (Tillman et al., 1991).
Didalam empedal bahan - bahan makanan mendapat proses pencernaan
secara mekanis. Partikel - partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil
dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam saluran
pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun
enzimatis dalam mempersiapkan pakan banyak dilakukan dengan menggiling
bahan - bahan pakan tersebut (Parakkasi, 1985).
Pencernaan Ransum
Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran
pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah
nutrisi yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi
yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diansumsikan sebagai nilai yang
atau nilai cerna suatu ransum adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu
ransum yang didegradasi dan diserp dalam saluran pencernaan.
Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana
harus dipahami terlebih dahulu dua hal penting yaitu : jumlah nutrien yang
terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna da dapat diketahui
bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tilman et al., 1991).
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan salah satu bahan baku sumber protein hewani
dan mineral yang dibutuhkan dalam komposisi makanan ternak. Tepung ikan
adalah produk berkadar air rendah yang diperoleh dari penggilingan ikan.
Kandungan proteinnya relatif tinggi tersusun oleh asam-asam amino esensial yang
kompleks (methionin dan lysin) dan mineral (Ca dan P,serta vitamin B12). Bahan
yang digunakan yaitu ikan, dan biasanya berbagai jenis ikan laut dapat diolah
menjadi tepung ikan, akan tetapi yang paling ekonomis adalah ikan-ikan kecil
(rucah) yang kurang disukai untuk dikonsumsi dan harganya relatif murah
(Boniran, 1999).
Tepung ikan merupakan bahan makanan ternak yang berkadar protein
tinggi, mudah dicerna dan kaya akan asam amino essensial terutama lisin dan
metionin sehingga dapat digunakan sebagai penutup kekurangan yang terdapat
pada bii-bijian. Disamping itu tepung ikan kaya akan vitamin B, mineral dan
kandungan lemak yang cukup juga merupakan sumbangan dalam memenuhi
kebutuhan ternak akan energi (metabolis) dan juga vitamin yang larut dalam
Adapun penggunaan tepung ikan ini terdiri dari berbagai jenis yang
beredar di pasaran. Tepung ikan yang beredar dipasaran disebut sebagai tepung
ikan pabrik (komersil) yang telah mengalami pengolahan dan pencampuran
dengan bahan lain. Namun ternyata tepung ikan tidak hanya bisa didapat dari
pabrik, tepung ikan juga dapat diproduksi sendiri yang murni berasal dari
limbah-limbah ikan (sempengan) yang tidak dipergunakan oleh manusia lagi dan bahkan
kandungan proteinnya sendiri masih utuh dibanding tepung ikan produksi parbrik
(Sunarya, 1998).
Kandungan nutrisi tepung ikan tertera pada tabel 3 berikut :
Tabel. 3 Kandungan nutrisi tepung ikan
Uraian Kandungan Nutrisi
Tepung ikan adalah suatu produk padat yang diperoleh dengan
mengeluarkan sebagian air atau seluruh lemak dari ikan atau limbah
(Martosubroto, 1985). Pengolahan tepung ikan pada prinsipnya adalah perubahan
bentuk dari ikan utuh atau limbahnya menjadi bentuk tepung ikan. Sedangkan
metode yang digunakan dapat dilakukan secara konvensional maupun sederhana
(Erlina et al., 1985; Ilyas et al., 1985).
Teknologi Pengolahan tepung ikan yang dipilih dapat ditentukan
berdasarkan ketersediaan bahan mentah yang akan diolah. Jika bahan mentah
digunakan cara konvensional yang lazim digunakan dalam industri tepung ikan.
Sebaliknya jika bahan mentah tersedia dalam jumlah kecil dan tidak teratur
pengadaannya maka dapat diolah menggunakan metode sederhana. Selain
pemilihan teknologi pengolahan juga harus disesuaikan dengan jenis ikan yang
akan diolah, karena ikan yang berkadar lemak tinggi lebih sulit mengolahnya
daripada ikan yang berkadar lemak rendah. Pada pengolahan tepung ikan selain
dihasilkan tepung ikan, juga didapat minyak ikan yang mempunyai nilai ekonomis
cukup baik (Ilyas et al., 1985).
Pembuatan Tepung Ikan
Tepung ikan di pasaran berasal dari hasil olahan industri pabrik tepung
ikan dan industri kecil yang keduanya berbeda baik secara pengolahan, peralatan
maupun mutu produk. Pada industri kecil/rumah tepung ikan diolah dengan cara
dan peralatan yang sederhana (Sunarya, 1998). Adapun prinsip dasar pengolahan
tepung ikan adalah pengukusan, pengepresan, pengeringan dan penggilingan.
a. Pengukusan
Bahan baku dikukus terlebih dahulu agar protein terkoagulasi sehingga air
dan minyak dikeluarkan. Pengukusan merupakan tahap menetukan dalam
pengolahan tepung ikan. Tingkat pengukusan harus tepat, sehingga seluruh bahan
mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total
maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi.
Akibatnya pemisahan menyak dari cairan juga sukar. Tujuan pengukusan agar
terjadi proses denaturasi protein daging dan pemecahan sel-sel daging ikan
dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba
penyebab pembusukan (Departemen Pertanian, 1987).
b. Pengepresan
Pengepresan dilakukan untuk memisahkan antara padatan dan cairan (air
dan minyak). Pada pengepresan diperkirakan akan menurunkan kadar air menjadi
50 % dan kadar minyak 4-5%. Pada industri kecil/rumah tangga pengepresan
dilakukan dengan cara dinjak-injak. Hal tersebut dapat mengakibatkan tepung
ikan menjadi kotor dan pengeluaran air menjadi tidak sempurna serta mudah
diserang serangga, jamur karena kadar air dan lemak masih tinggi. warna dan bau
akan cepat berubah sehingga mutu tepung ikan cepat turun (Saleh, 1990).
c. Pengeringan
Pengeringan bahan padatan yang didapat kemudian dikeringkan. Pada
industri tepung ikan skala besar pengeringan dilakukan dengan dua cara yaitu
pengeringan secara langsung dan tidak langsung. Pengeringan langsung dilakukan
dengan cara preess cake kedalam ruangan yang dialiri udara panas 5000C.
Keuntungan cara ini adalah cepat, namun panas yang berlebihan akan merusak
kandungan nutrisi bila tidak dikontrol dengan baik. Cara pengeringan tidak
langsung dengan memanaskan bahan yang dipres (pada conveyor) dalam silinder
yang diselimuti uap panas, pengeringan dilakukan sampai kadar air mencapai
6-9%. sedangakan pada industri kecil, pengeringan dilakukan dengan sinar
d. Penggilingan
Penggilingan dan penepungan bahan yang telah dikeringkan selanjutnya
digiling dan ditepungkan dengan alat penepung dan dilakukan pengepakan ke
dalam kantung plastik. Selama penggudangan dan distribusi mungkin terjadi
proses oksidasi minyak (lemak) yang dapat berakibat terjadi ketengikan dan
perubahan warna. Untuk mencegahnya dapat ditambahkan antioksidan misalnya
ethoxyginin antara 200-1000 mg/kg tepung ikan (Saleh, 1990).
Silase Tepung Ikan
Silase ikan adalah ikan utuh atau sisa-sisa ikan yang diawetkan dalam
kondisi asam dengan penambahan asam (silase kimia) atau dengan fermentasi
(silase biologi), silase ikan ini dihasilkan dalam bentuk cair karena protein ikan
dan jaringan struktur lainnya didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil
oleh enzim yang ada pada ikan (Kompiang, 1990).
Prinsip pembuatan silase adalah dengan menurunkan nilai pH (derajat
keasaman) bahan yang diawetkan sedemikian rupa sehingga pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk dan perusak dapat dihambat/dimatikan
(Windsor, 1974). Penurunan nilai pH tersebut dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu secara kimiawi dengan penambahan asam dan secara biologi dengan proses
fermentasi dengan penambahan karbohidrat (Kompiang, 1985).
Pada hakekatnya prinsip pembuatan silase biologi sama dengan silase
kimiawi, hanya saja asam yang digunakan sebagai bahan pengawet dihasilkan
dalam proses fermentasi. Pada proses fermentasi tersebut diperlukan suatu bahan
sehingga terbentuk asam laktat yang dapat menurunkan nilai pH dan berfungsi
sebagai bahan pengawet silase ikan tersebut (Kompiang, 1980).
Gambar 1. Proses pembuatan silase ikan secara biologi
Energi Bruto
Ternak umumnya memperoleh energi dari pakan yang dikonsumsi. Akan
tetapi tidak semua energi pakan tersebut dapat digunakan oleh tubuh ternak.
Penggunaan energi pakan untuk tubuh unggas sangat penting untuk diketahui
terutama untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Hal
ini lebih penting lagi karena tidak semua bahan pakan yang mempunyai energi
bruto yang sama mempunyai daya guna yang sama (Wahju, 1985). Ikan dicincang
Digiling
Penambahan biokult plain (as.laktat), tetes tebu/dedak padi
Disimpan/difermentasi Dimasukkan kedalam kantong
Energi dibutuhkan oleh semua ternak hampir dalam semua proses
kehidupan, didalam proses metabolisme antara lain mengatur tekanan darah,
tekanan jantung, penyerapan dan ekskresi serta sintesis komponen tubuh
(Parakkasi, 1983). Nilai energi pakan dapat dinyatakan dalam bentuk energi bruto,
energi dapat dicerna, energi metabolis, dan energi netto (NRC, 1994). Energi
bruto adalah jumlah panas yang dilepaskan jika suatu zat mengalami suatu
oksidasi sempurna menjadi CO2 dan air. Menurut Blakely dan Bade (1991),
energi bruto merupakan kandungan seluruh energi yang terdapat dalam bahan
pakan atau ransum yang tidak seluruhnya dipergunakan oleh tubuh.
Energi Metabolisme
Energi berasal dari dua kata Yunani yaitu : En yang berarti dalam, dan
Ergon yang berarti kerja. Energi yang terdapat dalam bahan makanan tidak
seluruhnya digunakan oleh tubuh. Untuk setiap bahan makanan minimal ada 4
nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau combustible energi), energi
dapat dicerna, energi metabolisme dan energi neto (Wahju, 1997). Metabolisme
merupakan keseluruhan proses perubahan kimiawi yang dikendalikan oleh enzim
yang terjadi dalam sel, organ atau organisme yang bertujuan mensintesis makro
molekul dalam bahan makanan untuk melaksanakan suatu fungsi tertentu dalam
sel (Rifai et al., 1990), untuk produksi energi, kemudian sebagian disimpan dan
sisanya dibuang sebagai limbah kotoran (Stauffer, 1989).
Energi metabolisme adalah perbedaan antara kandungan energi bruto
pakan suatu ransum dengan dengan energi bruto yang dikeluarkan melalui
dipengaruhi oleh kandungan energi bruto dalam pakan atau ransum, jumlah
ransum yang dikonsumsi, dan jenis ternak (Storey dan Allen, 1982). Energi
metabolis juga dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk memetabolis ransum
atau bahan pakan didalam tubuhnya (Sibbald, 1980). Energi neto adalah energi
yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh (Blakely dan Bade, 1991).
Proses pencernaan dan metabolisme di dalam tubuh ternak akan mengolah
sebagian senyawa kimia yang masuk menembus dinding usus menjadi energi
yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk berbagai keperluan baik
untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk
(Amrullah, 2003). Gas yang dihasilkan oleh ternak unggas biasanya diabaikan
sehingga energi metabolisme merupakan energi bruto bahan pakan atau ransum
dikurangi dengan energi bruto feses dan urin (NRC, 1994). Banyaknya feses
tergantung pada kuantitas bahan yang tidak tercerna seperti selulosa, hemiselulosa
dan lignin (Anggorodi, 1985).
Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan secara biologis
dilakukan pertama kali oleh Hill et al. (1960). Metode Hill pada dasarnya
mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta. Metode ini menggunakan
Cr2O3 sebagai indikator. Selain itu, metode ini menampilkan prinsip penentuan
energi metabolisme melalui substitusi glukosa dalam ransum basal yang diketahui
energi metabolismenya dengan bahan yang akan diuji dalam proporsi tertentu.
Sibbald dan Slinger (1963); Valdes dan Leeson (1992) mengembangkan metode
substitusi dengan suatu rumus turunan untuk menghitung energi metabolisme
bahan pakan dalam ransum perlakuan. Sibbald (1976) mengembangkan metode
feses dan energi bruto endogenous. Metode ini dapat mengetahui nilai energi
metabolisme murni (EMM), yaitu energi metabolisme yang sudah dikoreksi
dengan energi endogenous. Akan tetapi metode ini mengandung unsur pemberian
makanan secara paksa.
Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa metode Sibbald mempunyai
beberapa kelemahan, diantaranya beberapa bahan pakan/ransum mungkin sulit
dimasukkan secara paksa. McNab (2000) menambahkan bahwa metode ini dapat
menimbulkan stres pada ternak. Akan tetapi, kelebihan dari metode Sibbald
diantaranya adalah jumlah bahan makanan uji yang dibutuhkan sedikit,
melibatkan sedikit analisis kimia, waktu singkat dan biaya yang murah
(Farrel, 1978). Metode Farrell lebih memperhatikan kesejahteraan hewan karena
tidak ada unsur pemaksaan. Ayam yang digunakan juga tidak memerlukan
pemulihan kondisi. Melatih ayam untuk makan terus menerus dalam waktu satu
jam dan pembuatan pellet dalam jumlah besar merupakan pembatas metode
Farrell. Pelleting ransum juga akan mempengaruhi nilai energi metabolisme
ransum tersebut (McNab, 2000).
Jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh
unggas bergantung pada komposisi bahan makanan dan zat makanan dalam
ransum, spesies, faktor genetis, umur unggas, juga kondisi lingkungan
(Amrullah, 2003).
Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar,
keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya
akan mempengaruhi nilai energi metabolisme suatu bahan pakan. Hal ini
terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang dalam
bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.
Menurut Sibbald (1979), energi metabolisme semu (EMS) merupakan
perbedaan antara energi ransum dengan energi feses dan urin, dimana pada
unggas feses dan urin bercampur menjadi satu dan disebut ekskreta. Energi
metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) biasanya paling banyak digunakan
untuk memperkirakan nilai energi metabolisme. EMSn berbeda dengan EMS
karena EMSn telah dikoreksi oleh retensi nitrogen (RN) dimana RN bisa bernilai
positif atau negatif. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan EM yang
dikoreksi dengan energi endogenous. Energi metabolisme murni terkoreksi
nitrogen (EMMn) memiliki hubungan yang sama dengan EMM seperti halnya
EMSn terhadap EMS. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolisme
dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu EMS, EMSn, EMM dan EMMn.
Retensi Nitogen
Retensi nitrogen adalah sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang
masuk ke dalam tubuh kemudian diserap dan digunakan oleh ternak
(Sibbald dan Wolynetz, 1985). Retensi nitrogen itu sendiri merupakan hasil
konsumsi nitrogen yang dikurangi ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous.
Sibbald (1980) menyatakan bahwa nitrogen endogenous ialah nitrogen
yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yang terdiri
dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan.
Genetik, umur dan bahan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi retensi
nitrogen karena tidak semua protein yang masuk kedalam tubuh dapat diretensi
Selain itu menurut NRC (1994), nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap
jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam
tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan
energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.
Pengukuran retensi nitrogen ransum bertujuan untuk mengetahui nilai
kecernaan protein ransum. Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif
tergantung pada konsumsi nitrogen. Ewing (1963) menyatakan bahwa retensi
nitrogen yang menurun dengan meningkatnya protein ransum mungkin
disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini
menunjukkan pentingnya energi yang cukup dalam ransum jika ayam digunakan
untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan keseimbangan protein. Retensi
nitrogen akan negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan melebihi konsumsi
nitrogen, sebaliknya retensi nitrogen akan positif apabila nitrogen
yang dikonsumsi melebihi nitrogen yang dikeluarkan melalui ekskreta