• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT HUKUM PANCASILA: ANTARA CITA IDEAL HUKUM DAN NILAI PRAKSIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FILSAFAT HUKUM PANCASILA: ANTARA CITA IDEAL HUKUM DAN NILAI PRAKSIS"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT HUKUM PANCASILA: ANTARA CITA IDEAL HUKUM DAN NILAI PRAKSIS Fokky Fuad

DARI KAMPUS KE JALANAN: SUATU TINJAUAN ATAS GERAKAN MAHASISWA DI MALAYSIA

Mohammad Maiwan

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN VERTIKAL DI PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Budiana Setiawan

PEREMAJAAN KOTA UNTUK PERMUKIMAN KUMUH DI PERKOTAAN: ANTARA STRATEGI DAN SOLUSI

Oot Hotimah

E-LEARNING PENGANTAR STATISTIKA PENDIDIKAN BERBASIS WEB UNTUK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Raharjo

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAM GAME TURNAMEN (TGT)

(2)

DAFTAR ISI

EDITORIAL (iii)

FILSAFAT HUKUM PANCASILA: ANTARA CITA IDEAL HUKUM DAN NILAI PRAKSIS

Fokky Fuad Hal. 1

DARI KAMPUS KE JALANAN: SUATU TINJAUAN ATAS GERAKAN MAHASISWA DI MALAYSIA

Mohammad Maiwan Hal. 13

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN VERTIKAL DI PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

Budiana Setiawan Hal. 29

PEREMAJAAN KOTA UNTUK PERMUKIMAN KUMUH DI PERKOTAAN: ANTARA STRATEGI DAN SOLUSI

Oot Hotimah Hal. 41

E-LEARNING PENGANTAR STATISTIKA PENDIDIKAN BERBASIS WEB

UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Raharjo Hal. 51

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN

COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAM GAME TURNAMEN (TGT)

(3)

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Penanggung Jawab : Dr. Etin Solihatin, M.Pd.

(Ketua Jurusan Ilmu Sosial Politik FIS UNJ)

Pemimpin Redaksi : Drs. M. Maiwan, M.Si.

Dewan Redaksi : Prof. Dr. Ismail Arianto, M.Pd. Prof. Dr. Nadiroh, M.Pd. Dr. Achmad Husen, M.Pd. Dr. Komarudin, M.Si.

Setting & Layout : Sangga Hutama Ibnu Ridwan S.Pd

Alamat Redaksi/Penerbit : Jln. Rawamangun Muka, Jakarta Timur, Kampus Universitas Negeri Jakarta, Gedung K, Lantai II, Ruang 208, Telp./Fax. (021)47882930 E-mail : mmaiwan@yahoo.com

Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi adalah wadah publikasi bidang Ilmu Sosial-Politik, Hukum, dan Pendidikan berupa kajian teoretik, hasil penelitian, maupun tulisan ilmiah terkait. Terbitan pertama kali

(4)

EDITORIAL

Para pembaca yang budiman, kami dari pihak redaksi Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi dengan ini hadir kembali menerbitkan tulisan-tulisan dari para pakar di bidangnya masing-masing, baik dari lingkungan Universitas Negeri Jakarta maupun universitas serta instansi lain yang memiliki kepedulian terhadap persoalan di bidangnya masing-masing.

Tulisan pertama yang ditampilkan adalah tulisan saudara Fokky Fuad yang bertajuk Filsafat Hukum Pancasila: Antara Cita Ideal Hukum dan Nilai Praksis. Di dalamnya Fokky menjelaskan bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Indonesia menempatkan ideologi Pancasila dalam posisi tarik menarik antara nilai-nilai ideal yang dikandungnya dengan fenomena praksis yang dihadapinya. Sementara tulisan kedua berasal dari Saudara Mohammad Maiwan yang membincangkan tentang perkembangan gerakan mahasiswa di Malaysia. Penulis menjelaskan bagaimana perkembangan gerakan mahasiswa di negara tersebut sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik isu-isu domestik maupun internasional.

Tulisan ketiga dari Saudara Budiana Setiawan dengan tajuk Kebijakan Pengembangan Permukiman Vertikal di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Tulisan ini mengemukakan bahwa pemerintah perlu lebih proaktif, dalam arti lebih ketat mengawasi penggunaan tata ruang serta penyediaan hunian vertikal yang terjangkau oleh masyarakat menengah bawah. Senada dengan tulisan di atas, topik yang hampir sama diangkat dalam tulisan keempat yang disampaikan oleh Saudari Oot Hotimah yang bertajuk Peremajaan Kota untuk Permukiman Kumuh di Perkotaan: Antara Strategi dan Solusi. Dalam tulisan ini beliau menyatakan perlunya pemerintah meninggalkan pendekatan konvensional dalam peremajaan kota, dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik, khususnya pembangunan permukiman.

Artikel kelima ditulis oleh Saudara Raharjo dengan judul E-Learning Pengantar Statistika Pendidikan Berbasis Web Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Dalam tulisan tersebut beliau mengemukakan bahwa melalui model pembelajaran dengan e-learningberbasis web pada mata kuliah Pengantar Statistika Pendidikan dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa, serta memberikan sebuah terobosan baru dibidang pembelajaran pengantar statistika pendidikan. Terakhir adalah tulisan Saudara Etin Solihatin yang menulis tentang Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PKn Melalui Strategi Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Game Turnamen (TGT). Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar PKn, serta meningkatkan kerjasama diantara peserta didik. Metode ini dipilih karena dirasa lebih tepat dalam pembelajaran PKn karena dirasa lebih fleksibel dan dinamis.

(5)

Akhirul kalam, kami dari pihak redaksi menyampaikan terimakasih yang tidak terhingga kepada para penulis dan pembaca sekalian, yang dengan caranya masing-masing ikut memberikan dukungan atas kelangsungan dan terbitnya jurnal ini. Wassalam.

Redaksi

(6)

FILSAFAT HUKUM PANCASILA:

ANTARA CITA IDEAL HUKUM DAN NILAI PRAKSIS

Oleh: Fokky Fuad*

ABSTRACT

Pancasila in giving meaning often changes according to time and space. For those reasons, the Pancasila as part of the School of Philosophy of Law is not to be in a vacuum. He unearthed by our Founding Fathers thought that looking for the basic values for the creation of the State of Indonesia from sediment values of the nation. The magical religious values and solidarity expressed by the Bung Karno as mutual assistance has undergone a shift in meaning according to time and space. The Clash that has occurred creating adaptive values as a form of dialogue processes between the value.

Keywords: Pancasila, legal philosophy, core values, social change.

PENDAHULUAN

Pendekatan filsafat terhadap hukum

selalu mempertanyakan nilai yang mendasar

dari hukum. Apakah hakikat hukum yang

sesungguhnya, apakah kekuatan mengikat

dari hukum, apakah tujuan hukum. Filsafat

hukum Pancasila berupaya menggali apakah

kakikat hukum dalam kerangka filsafat

hukum Pancasila. Apakah tujuan hukum

dalam kerangka Pancasila. Jika dikatakan

hukum memiliki tujuan mencapai keadilan,

lalu keadilan macam apa yang hendak

dicapai dalam Mazhab Hukum Pancasila.

Jika keadilan sebagai tujuan hukum, maka

Filsafat hukum alam telah memposisikan

dirinya secara universal sebagai pendukung

konsep keadilan hukum.

Pertanyaan bersifat radikal atas

makna-makna hukum menurut Pancasila

menjadi hal yang menarik untuk dikaji

setidaknya disebabkan oleh dua hal:

Pertama, bahwa Pancasila dikatakan

sebagai filosofi bangsa Indonesia. dalam

kerangka filsafat, Pancasila akan menerima

perubahan-perubahan pemaknaan mengingat

konsep filsafat adalah relatif dalam

memandang segala hal. Pemaknaan

Pancasila tentunya harus bersifat terbuka

atas pemaknaan-pemaknaan baru

terhadapnya. Kebenaran akan Pancasila

tidak pernah dapat dinyatakan baku dan

absolut, melainkan kebenarannya selalu

terus dibuka untuk mencari

kebenaran-kebenaran yang baru. Pada saat yang sama

Pancasila juga dinyatakan sebagai ideologi.

Kebenaran ideologis tentunya tidak sama

dengan kebenaran filsafat, karena kebenaran

ideologis akan menerima kebenaran

sebagaimana adanya. Kebenaran ideologis

(7)

diyakini sebagai hal yang benar tanpa

mempertanyakan hakikat segala sesuatu, ia

dianggap benar karena ia diterima sebagai

yang benar (Kaelan 2010:117). Dalam

konteks filsafat hukum akankah juga

melihatnya sebagai sebuah kebenaran tanpa

mempertanyakan nilai kebenaran tersebut.

Kedua, bahwa Pancasila diletakkan

sebagai sumber dari segala sumber hukum,

maka setiap aturan hukum yang memiliki

posisi di bawah Pancasila sebagai

grundnorm harus mendasarkan rasio

logisnya pada Pancasila dan tidak boleh

bertentangan dengannya. Dalam konteks

penerapan nilai-nilai filsafat hukum

Pancasila pada setiap aturan hukum dan

perundangan di Indonesia, segenap aturan

hukum Indonesia berinteraksi dengan

isme-isme yang berlaku pada masyarakat

Internasional. Interaksi tersebut juga

bermakna terjadinya proses interaksi antara

Filsafat Hukum Pancasila dengan Filsafat

Hukum lainnya, yaitu filsafat hukum

Sosialisme, filsafat hukum alam, filsafat

hukum murni. Dimanakah letak filsafat

hukum alam dalam inetraksi tersebut.

Ketiga, bahwa Filsafat Hukum

Pancasila digali dari nilai-nilai luhur Bangsa

Indonesia yang telah ada sejak ribuan tahun

yang lalu. Filsafat hukum Pancasila dengan

demikian lahir dari perasaan dan

pengetahuan Bangsa Indonesia atas diri dan

lingkungannya. Dengan demikian akankah

dapat dinyatakan bahwa Filsafat Hukum

Pancasila sebagai seumber dari segala

sumber hukum hanya dapat diberlakukan

pada negara yang berfilsafat Pancasila yang

tentunya hanya Indonesia. Mazhab Filsafat

hukum Pancasila dengan demikian tidak

dapat memberikan warna bagi masyarakat

hukum Internasional mengingat sifatnya

yang hanya hanya berlaku pada

lingkungannya yaitu Indonesia. jika dilihat

dari Mazhab Hukum Sosialis, Mazhab

Hukum alam, Mazhab Hukum Faminisme,

Mazhab Hukum Islam, dan sebagainya yang

berlaku tanpa melihat batas-batas budaya

dan religi.

DILEMATIK FILSAFAT HUKUM

PANCASILA

Hukum hingga kini belum

menemukan pengertian yang tunggal, setiap

orang dapat memberikan warna, pengertian,

dan pemaknaan atas arti hukum. Perbedaan

cara pandang terhadap hukum melahirkan

beragam mazhab atau aliran dalam hukum,

dimana masing-masing mazhab berusaha

untuk meberikan tafsiran-tafsiran

terhadapnya. Mazhab filsafat hukum

Pancasila juga berupaya untuk memberikan

pemaknaan-pemaknaan atas arti hukum.

Disinilah dimulai sebuah ontologi atas

hukum dengan sudut pandang Pancasila.

Pancasila mengandung lima sila

sebagai landasan falsafah bangsa Indonesia.

(8)

ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai

persatuan, nilai permusyawaratan, dan nilai

keadilan sosial. Nilai-nilai Pancasila itu

menjadi ruh dari hukum yang akan

dibentuk, sehingga hukum yang berlaku

memuat kesadaran akan bertuhan,

memuliakan manusia, mempersatukan

beragam golongan, mengutamakan

musyawarah, dan adil. Jika kelima nilai

dasar pembentuk hukum disatukan, lalu

apakah wujud dari hukum tersebut?

Kesemua nilai menyatu menjadi sebuah

nilai utama yaitu gotong-royong. Hukum

yang tercipta akan diartikan sebagai hukum

gotong-royong, sebuah hukum yang

membangun segenap komponen bangsa

dalam sebuah kerjasama tradisional berupa

gotong-royong (Soekarno 2005:2-3). Jika

pemaknaan atas mazhab filsafat hukum

menjadi hukum gotong-royong, akankah

nilai-nilai itu masih ada dalam situasi zaman

yang telah berubah?

Gotong-royong bermakna adanya

kebersamaan dan sikap saling

tolong-menolong diantara individu dalam

masyarakatnya. Manusia memahami bahwa

dirinya tidak dapat hidup sendiri tanpa

bantuan orang lain, manusia akan selalu

hidup bersama dengan manusia yang lain.

Ketika ia menyadari bahwa dirinya tidak

dapat hidup sendiri dan bergantung pada

orang lain, maka ia wajib menjalin

hubungan baik dengan sesamanya. Dalam

berbuat ia berbuat bersama dengan orang

lain terdorong oleh jiwa yang duduk sama

rendah dan berdiri sama tinggi

(Koentjaraningrat 2000:62). Hukum yang

terbentuk tentunya mencerminkan nilai-nilai

gotong-royong yang telah dianut selama

berabad-abad ini.

Jika Pancasila menjadi sumber dari

segala sumber hukum, maka Pancasila

ditempatkan sebagai landas etik dari hukum.

Pancasila tergali dari beragam nilai budaya

bangsa dan kemudian menjadi bahan dasar

pembentuk hukum yang ideal. Filsafat

hukum Pancasila tentunya secara logis

mengutamakan sifat komunal dibandingkan

sifat individual. Penciptaan hukum

bertujuan untuk melindungi masyarakat luas

dan bukan mengutamakan kepentingan

individu. Jika kepentingan individu

diutamakan maka nilai itu bertentangan

dengan landasan etik hukum Pancasila yaitu

gotong-royong. Hukum yang tercipta

menjadi gugur, ketika ia bertentangan

dengan landas etik utamanya.

Nilai-nilai komunal berupa

kebersamaan yang kuat bermuara pada

sebuah perasaan yang sama sederajat pada

sesama. Konsep hidup ini dianut oleh

masyarakat pedesaan yang merasa senasib,

dan semua beban harus dibagi diantara

anggota-anggota masyarakatnya. Nilai-nilai

komunal ini juga diikat oleh nilai religius,

dimana setiap orang merasa bahwa

perbuatan yang ia lakukan tidak lepas dari

(9)

mempengaruhinya. Dua sifat dasar manusia

pedesaan tercermin dalam semangat

gotong-royong, dan inilah yang menjadi bahan

utama filsafat hukum Pancasila: religiusitas

dan kebersamaan. Nilai religiusitas

(Ketuhanan) dan kebersamaan tampaknya

memunculkan sebuah kemiripan ataupun

persamaan tertentu dengan mazhab hukum

Islam: Ketuhanan (habluminallah) dan

kemanusiaan dalam kebersamaan

(habluminallah).

Jika Mazhab Hukum Pancasila

memberikan arti bahwa hukum yang benar

adalah hukum yang memuat nilai-nilai

religiusitas (Kartohadiprodjo 2010:248) dan

nilai-nilai kebersamaan, lalu darimanakah

hukum Pancasila memperoleh daya

mengikatnya? Daya pengikat hukum

diperoleh dari sebuah kekuatan Negara

sebagai bentuk kesatuan individu-individu.

Dalam konteks masyarakat pedesaan,

gotong-royong merupakan nilai utama

membangun diri mereka. Penguasa desa

yaitu kepala desa memerintah mereka

dengan nilai-nilai yang berlaku. Dalam

konteks bangsa, maka kekuasaan untuk

memaksa diserahkan kepada negara sebagai

sebuah kekuatan luhur yang

mempersonifikasi moral religius dan

kebersamaan. Negara bangsa dalam hal ini

sebagai kesatuan individu-individu

membangun bangsa menerapkan hukum

dengan nilainya yang religius dan

mengutamakan nilai kebersamaan. Lalu

dimanakah letak hak individu juga

penghormatan atas hak azasi manusia dalam

sebuah negara bangsa yang religius dan

mengutamakan nilai kebersamaan ini?

Hak individu memperoleh tempatnya

dalam hukum Pancasila, hak individu tetap

dihormati dan tidak kehilangan tempatnya.

Jika Ketuhanan adalah basis utama dalam

membentuk Hukum Pancasila, maka secara

logis Tuhan menjadi tauladan masyarakat

hukum Pancasila. Tuhan menerima amal

kebajikan baik secara individu, maupun

secara berkelompok (jamaah). Tuhan akan

memeriksa amal kebaikan setiap

makhlukNya secara adil. Maka nilai-nilai

individu memperoleh kekuatannya disini.

Ketika Tuhan menerima kebajikan setiap

anak cucu Adam, maka masyarakat Hukum

Pancasila menilai setiap kebajikan dan juga

amal bakti individu-individu. Hak individu

harus dihormati karena Tuhan menghormati

setiap hak individu. Ketika hak individu

juga diakui dan dihormati, sedangkan hak

komunal juga menjadi landasan hukum

Pancasila, lalu bagaimana hubungan antara

hak individu dan hak komunal?

Pancasila sebagai pandangan hidup

bangsa Indonesia digali dari nilai-nilai

budaya bangsa Indonesia yang

mengutamakan nilai kegotong-royongan.

Dalam keadaan ini, maka Pancasila

merupakan sebuah ideologi bangsa. Dalam

tataran ideologi maka kita menerima sebagai

(10)

Sebuah kebenaran yang datang karena

besarnya keyakinan seseorang atas

kebenaran itu sendiri. Ketika Pancasila

diletakkan sebagai landasan filsafat, maka

terbuka kesempatan untuk menerima

kebenaran yang baru, karena sifat dari

kebenaran Filsafat yang relatif. Ketika ia

diletakkan sebagai fondasi ideologi ia tak

berubah, tetapi ketika ia berada dalam ranah

filsafat ia akan menerima dan terbuka

terhadap hal yang baru.

Filsafat hukum mengajarkan setiap

pihak untuk bijaksana atas setiap nilai

kebenaran. Filsafat hukum Pancasila sebagai

landasan filsafat yang benar karena ia sesuai

dengan budaya asli bangsa yaitu

kegotong-royongan. Jika gotong-royong adalah

budaya ideal yang menyatukan berbagai

komponen anak bangsa, maka setiap cita

ideal hukumpun mengacu pada semangat

kegotong-royongan tersebut. Pertanyaan

selanjutnya adalah: apakah Pancasila

diterima secara filosofis hukum hanya

karena adanya kesesuaian-kesesuaian

semata pada akar budaya? Budaya adalah

struktur organis manusia, budaya diterima

dengan sikap pasif, dan dengan demikian

maka budaya mendekati sebuah kebenaran

ideologis dibandingkan kebenaran filosofis.

Dalam tataran filosofis kita terus

mempertanyakan makna-makna, kita

mempertanyakan mengapa kita menerima

Pancasila sebagai sebuah kebenaran

filosofis? Tentunya hal ini bukan sekedar

kesesuaian atau ketidaksesuaian, melainkan

terdapatnya landasan logika atas penerimaan

Pancasila sebagai sebuah Filsafat, sehingga

kemudian ia dijadikan muara atas segenap

hukum yang berlaku di Indonesia.

Filsafat hukum Pancasila

meng-andung makna royong,

gotong-royong adalah keadaan dimana setiap

komponen bersatu untuk mencapai tujuan

yang didambakan bersama. Tujuan bangsa

ini tertuang dalam Konstitusi Negara

Republik Indonesia 1945: memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, ikut menjaga ketertiban

dunia. Mengapa bangsa ini ada adalah untuk

mewujudkan ketiga tujuan itu dengan cara

kegotong-royongan diantara anak-anak

bangsa. Kita adalah bagian dari masyarakat

internasional, dan kita memandang bahwa

diri kita bersama dengan bangsa-bangsa lain

bersama-sama mewujudkan masyarakat

yang damai dengan menghapus segala

bentuk penjajahan karena tidak sesuai

dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.

Semangat nilai kegotong-royongan ini kita

jadikan sebagai cara membangun hubungan

dengan bangsa lain, bahwa dalam

menyelesaikan permasalahan internasional,

selayaknya kita melakukannya secara

bergotong-royong. Kita menyadari bahwa

tanpa adanya semangat kegotong-royongan

ini tak mungkin kita mampu menyelesaikan

(11)

Dalam masyarakat hukum Pancasila,

hukum-hukum yang melindungi hak-hak

komunal lebih utama dibandingkan hak-hak

individu (Kartohadiprodjo 2010:247). Setiap

pembentukan hukum dengan demikian harus

mengarah pada nilai dasarnya sebagai bahan

baku hukum yang utama, yaitu:

kebersamaan. Pertanyaan selanjutnya yang

sangat krusial adalah apakah hukum-hukum

dan peraturan perundangan harus

beradaptasi dengan nilai dasar filsafat

hukum Pancasila sedangkan kondisi realitas

begitu berbeda dengan adanya perubahan

zaman dengan masuknya nilai

individualisme? Benturan-benturan ini

dicoba dibahas dalam pembahasan berikut.

BENTURAN NILAI DAN IDE AKIBAT PERUBAHAN SOSIAL

Benturan nilai luhur Pancasila

dimaksudkan sebagai masuknya nilai-nilai

baru ke dalam nilai-nilai luhur Pancasila,

beberapa benturan nilai tersebut, yaitu:

1. Benturan nilai religiusitas dengan nilai materialisme.

Nilai religius bersumber pada

pengakuan adanya kekuatan Tuhan yang

mengendalikan segenap perilaku manusia.

Manusia Indonesia menyadari bahwa segala

bentuk perbuatan adalah atas perkenannya,

dan untuk itu maka dorongan untuk selalu

menempatkanNya dalam ruang hidup

manusia Indonesia adalah hal yang logis dan

rasional. Nilai-nilai religiusitas ini kemudian

dicoba untuk dituangkan dalam bentuk

hukum sebagai sarana wujud pencapaian

keadilan dan ketertiban manusia Indonesia.

Nilai-nilai religius yang tertuang dalam

setiap bentuk hukum kemudian bertemu

dengan nilai-nilai individualisme sebagai

bentuk konsekuensi logis manusia Indonesia

menyatakan dirinya bagian dari masyarakat

Internasional. Nilai-nilai tradisional yang

magis religius sebagai bahan bakar utama

pembentuk hukum Indonesia mewarnai

hukum-hukum internasional, demikian pula

nilai-nilai yang terkandung dalam hukum

internasionalpun mewarnai nilai dan norma

hukum Indonesia. Nilai materialisme

memasuki ruang-ruang ide dan cita hukum

yang bersifat magis religius. Nilai-nilai

magis religius yang mengakui kebenaran

immateriil bertemu, sekaligus berdialog

dengan nilai-nilai materialisme.

Penolakan dan penerimaan akan

nilai-nilai baru turut mewarnai nilai filsafat

hukum Pancasila. Pemaknaan Pancasila

sebagai satu-satunya yang benar dalam

sistem hukum Indonesia mulai berubah,

hukum Indonesia pun akhirnya mencoba

beradaptasi dengan pergaulan hukum

Internasional. Hukum-hukum yang

melindungi hak-hak individu secara kuat

mencoba mendominasi dan mempengaruhi

nilai-nilai hukum yang bersifat immateriil.

Menjadi logis ketika terdapat nilai

(12)

nilai-nilai kebenaran lama. Nilai dasar

materialisme mulai menggusur ide-ide

hukum religius.

Pada satu titik maka kebenaran baru

akan menggusur kebenaran lama secera

penuh, apakah hal itu juga melanda cita

hukum Pancasila sebagai sebuah hukum

yang ideal bagi Bangsa Indonesia? Secara

empiris hukum-hukum baru yang bernuansa

immateri mulai tergantikan walau tidak

sepenuhnya tergantikan. Hukum-hukum

ekonomi sebagai bentuk perwujudan

kesejahteraan rakyat mendominasi sistem

hukum Indonesia. Masuknya investasi guna

mempercepat proses-proses pembangunan

Negara Indonesia menciptakan hukum

investasi yang mendukung prediktibilitas

berinvestasi di Indonesia. Secara konkrit

hukum adat yang mengusung gagasan

hukum yang magis religius tidak lagi

mampu membendung masuknya ide-ide

hukum yang baru. Begitu sulitnya

meletakkan Hukum Ekonomi dalam ranah

hukum yang bercorak magis religius, atau

bahkan dikatakan mustahil.

Pembangunan manusia Indonesia

adalah pembangunan materiil dan sipritaul.

Pembangunan materiil secara nyata tampak

pada pembangunan eknomi, pembangunan

immatiriil tampak nyata pada pembangunan

manusia Indonesia melalui pendidikan.

Pembangunan pendidikan tentunya

mengharapkan hasil berupa peningkatan

manusia yang berkualitas yang mampu

bersaing di tataran global. Pembangunan

manusiaini menunjukkan sebuah konsep

membangun alam fikir manusia Indonesia.

membangun alam fikir bukanlah

mem-bangun dan menciptakan sebuah produk

kebendaan materi. Ia tidak tampak sebagai

produk fisik melainkan akan nyata dalam

bentuk pola kerangka fikir. Pembangunan

manusia ketika bersentuhan dengan

nilai-nilai materi, maka akan berubah menjadi

pembangunan manusia sebagai produk

kebendaan untuk meraih nilai-nilai

kebendaan materi. Pendidikan berubah

menjadi industri, ilmu dipersonifikasikan

dalam bentuk gelar untuk memenuhi

standarisasi mutu tertentu. Menentukan

kemampuan fikir manusia kemudian dilihat

dari seberapa tinggi ia meraih gelar-gelar

akademis, sehingga pendidikan adalah

memproduk gelar. Menerapkan ilmu sesuai

dengan kebutuhan industri berarti

menyerahkan ilmu pengetahuan pada

permintaan pasar. Hukum ekonomi

menentukan isi dari kualitas manusia,

keberhasilan akan dilihat dari pencapaian

gelar serta besaran uang yang akan

diperoleh.

Pendekatan hukum atas manusia

tentunya tidak menyalahkan nilai-nilai

kebendaan sepenuhnya, karena manusia

terdiri atas unsur materi dan immateri. Pada

benturan nilai religius dengan immateri ini

adalah ketika terjadi penemtan nilai manusia

(13)

ide dan cita hukum Pancasila menghadapi

sempitnya ruang gerak dinamika sosial

dalam persaingan merebut setiap ide-ide

kemanusiaan itu sendiri. Manusia sebagai

unsur immateri-materi-psikologis menjadi

manusia materi semata, dan hukum

mendorong penciptaan kondisi-kondisi

tersebut. Bahwa grundnorm Pancasila

dijadikan sumber dari segala sumber hukum

sesuai dengan ajaran stufentheorie hanya

menjadi ide dan cita hukum ideal. Ia hanya

menjadi kristal indah milik para dewa yang

sulit untuk diwujudkan dalam ruang-ruang

sosial manusia Indonesia.

Ketika dorongan materi menemukan

titik pemenuhan kepuasan optimum, maka

manusia memiliki sifat dasar untuk mencoba

kembali kepada nilai dasarnya. Begitu

banyak desakan masyarakat kemudian

menyadari bahwa diperlukan nilai-nilai

immateri pada sosok manusia dan hukum.

Hukum menjadi sebuah kekuatan yang tidak

semata-mata berbahan baku materi

kebendaan semata, hukum juga akhirnya

disadari memerlukan nilai-nilai immateri

(Faiz al Jawahir 2012). Ketika hukum hanya

memiliki ide materi, maka terjadi

kehancuran nilai-nilai kemanusiaan, dan

manusia menyadari perlu mengembalikan

nilai kemanusiaan pada tempat yang

semestinya. Disinilah Filsafat Hukum

Pancasila memperoleh momentumnya

kembali, ketika ide-ide materialisme

menemukan kegagalan dalam membangun

manusia. Eropa mengalami kehancuran

ekonomi, karena terbukti hukum ekonomi

kapitalisme gagal membangun kesejahteraan

yang diharapkan.

Penjajahan pada hakikatnya

merupakan perwujudan semangat materi

kebendaan untuk memperoleh kekuasaan

atas nilai-nilai materi kebendaan:

tanah-tanah jajahan dan penghisapan manusia atas

manusia. Pancasila dan penolakan atas

penjajahan dengan menunjung tinggi

kemerdekaan sebagai hak segala bangsa

menunjukkan adanya penolakan atas

kebendaan materi sebagai upaya

dehumanisasi. Kemerdekaan adalah hak

manusia, dan kemanusiaan menolak

penjajahan. Ide dan cita hukum

gotong-royong dicoba kembali untuk diaktualisasi

diterapkan dalam hukum undang-undang.

Dalam konteks ini maka moral wajib

mendapatkan posisi dalam hukum

undang-undang. Moral sebagai ide immateri

manusia akan menentukan berjalannya

hukum sesuai dengan ide dan cita Hukum

Pancasila.

2. Benturan Nilai Gotong-Royong dengan Nilai Individualisme

Gotong-royong adalah ide

kebersamaan, persatuan. Hukum Pancasila

membangun manusia sebagai satu kesatuan,

kebersamaan dan tentunya dalam perjalanan

membangun sebuah sistem hukum yang

(14)

akan bertemu dengan nilai hukum

individualisme. Kebersamaan membentuk

perilaku dan rasa kebersamaan diantara

anggota-anggotanya, hukum bertindak untuk

menyelamatkan kebersamaan tersebut. Ide

Hak Azasi Manusia merupakan ide

individualisme secara historis. Ketika ia

bertemu dengan nilai gotong-royong, maka

iapun mewarnai hukum tersebut. Ide hak

azasi manusia dalam ranah budaya selalu

berada dalam posisi inferior ketika

berhadapan dengan ide-ide masyarakat

komunal.

Hak azasi manusia dalam bentuk

masyarakat komunal diakui sepanjang ia

mampu mendorong stabilitas sosial

komunal. Pada kaitan ini terjadi pewarnaan

atas nilai-nilai komunal yang

meng-utamakan ide dan cita hukum komunal

gotong royong dengan ide dan cita hukum

individu melalui perlindungan

individu-individu. Manusia dalam masyarakat

komunal menyadari bahwa hidupnya

bersama dengan orang lain, ia hidup untuk

bersama dengan sesamanya. Ia bukanlah

makhluk tunggal yang hanya mementingkan

kesadaran diri sebagai titik awal berbuat dan

bertindak. Ketika ia sadar bahwa dirinya

bagian dari yang lebih luas, ia bagian dari

alam semesta. Bahkan ia menyadari bahwa

setiap tindakan yang ia lakukan selalu

dikaitkan dengan manusia yang lain maupun

alam lain. Ia adalah gabungan dari makhluk

sosial dan makhluk religi.

Nilai-nilai individual melihat bahwa

manusia dilahirkan bebas dan sederajat free

and equal. Dalam konsep bebas dan

sederajat ini, maka manusia sebagai sumber

dari kehidupan alam. Alam diciptakan untuk

manusia, dan sekaligus ditundukkan

kepadanya. Manusia menjadi pusat dari

alam semesta (antroposentris). Nilai-nilai

ide memuliakan manusia dalam

kemanusiaannya mendorong semangat

manusia sebagai individu. Masyarakat harus

menghormati hak-hak individu, karena ia

ada untuk mencipta masyarakat. Individu

adalah bahan utama penciptaan masyarakat,

sehingga secara logis nilai-nilai individu

menempati posisi tertinggi. Konsep

persamaan hak, persamaan kedudukan

laki-laki dan perempuan, persamaan atas segala

aspek kehidupan menuntut penciptaan

kesetaraan berbagai bidang.

Nilai-nilai ini tertuang dalam piagam

hak azasi manusia PBB sebagai bentuk

penindasan manusia atas manusia yang lain.

Nazisme menciptakan dehumanisasi atas

kelompok Yahudi di Eropa. Konsep

pembangunan manusia yang mengususng

ide dan gagasan individu ini segera

menempati tempatnya yang terhormat dalam

masyarakat. Manusia terdiri atas fisik

jasmani, jiwa yang merasa, akal yang

berfikir. Ketiga menyatu dalam diri

manusia. Dalam pemaknaan fisik, maka

manusia terdiri atas berkumpulnya daging

(15)

Secara fisik manusia membutuhkan

perlindungan sehingga kemudian akalnya

bergerak untuk menciptakan produk-produk

yang mampu melindungi fisiknya. Proses

berfikir akal dengan kekuatannya tersebut

menimbulkan kebudayaan. Manusia juga

terdiri komponen jiwa yang merasakan nilai

salah dan benar, baik dan buruk. Salah satu

komponen lainnya yaitu ruh yang

merupakan ide kreasi Tuhan dalam diri

manusia (Albert Y. Dien 2009).

Nilai-nilai individualisme

meng-usung sebuah kemandirian bangsa.

Kemandirian ini sangat dibutuhkan dalam

proses-proses persaingan bangsa Indonesia

dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Nilai-nilai kemandirian dalam artian positif

menjadikan sebuah bangsa menjadi bangsa

yang unggul dalam berkompetisi, karena ia

akan mengoptimalkan segenap kemampuan

bangsa tersebut untuk bersaing secara

global. Nilai-nilai individualisme juga

memiliki sisi negatif bagai dua sisi mata

uang, seperti yang terjadi pada Bangsa

Amerika.

Nilai-nilai individualisme sangat

terasa dalam semangat membangun jiwa

bangsa Amerika. Pencarian kebahagiaan the

pursuit of happiness oleh bangsa Amerika

melalui Deklarasi Kemerdekaan melahirkan

pendewaan kebendaan. Bangsa Amerika

individualisme, materialisme, serta

sekularisme merupakan jati diri Bangsa

Amerika. Kejahatan seperti perjudian,

pelacuran, perdagangan minuman keras, dan

obat bius telah menjadi keuntungan yang

tinggi, dan kesemuanya ini bersumber pada

nilai-nilai individualisme. Mengutamakan

“aku” dalam semangat kehidupan ini akan

berimbas pada kekosongan jiwa karena

hilangnya ruh dan semangat ketuhanan

dalam diri (Hasibuan 2013).

Nilai-nilai individualisme yang

mengusung ide kebebasan tanpa batas perlu

dikawal oleh ide dan cita hukum

kebersamaan. Kebebasan manusia tanpa

batas perlu dibatasi, bahwa kebebasan

seseorang dibatasi oleh kebebasan orang

lain. Manusia sebagai makhluk Tuhan,

menyadari bahwa ia hidup bersama dengan

makhluk Tuhan yang lain. Disinilah

munculnya nilai kesadaran bahwa ia juga

sebagai manusia religius sekaligus. Terdapat

dua komponen utama dalam diri manusia

Indonesia: komponen individu sebagai

makhluk Tuhan yang mandiri dan

komponen sosial sebagai bagian dari

masyarakat. Manusia menyadari dirinya

bahwa ia sebagai mahluk Individu

merupakan bagian dari masyarakat

(makhluk sosial) dan makhluk individu.

Manusia selalu terus berupaya untuk

mencari kebenaran melalui akal fikirnya.

Tarik-menarik antara kepentingan individu

dan kepentingan sosial terus menciptakan

tesa dan antitesa. Disinilah perlu diciptakan

(16)

proses-proses dialogis antar nilai individu dan nilai

kegotong-royongan.

Pembangunan manusia adalah

pembangunan manusia sebagai mahluk

individu dan juga makhluk sosial. Tekanan

akan kedua hal bukanlah yang mudah.

Benturan nilai-nilai Pancasila yang

mengusung ide gotong-royong,

keber-samaan, kekeluargaan, komunalisme dan ide

individualisme mandiri menciptakan sebuah

proses-proses dialog dalam ruang filsafat

hukum. Pembentukan hukum dalam ranah

cita dan ide Pancasila berupaya untuk

mengadopsi dua sistem tata nilai dalam

sebuah sistem hukum. Pada konstitusi

Indonesia sebagai grundnorm dari segenap

peraturan hukum Indonesia meletakkan

sebuah penghargaan atas hak azasi manusia.

Aktualisasi nilai Pancasila

selayaknya mengadopsi setiap

pembaruan-pembaruan yang muncul dan mewarnainya.

Sebagai landasan filosofis, Pancasila

bersikap terbuka dan pemaknaan nilai-nilai

Pancasila harus melihat keragaman dan

bukan diinterpretasikan sesuai kehendak

rezim-rezim yang berkuasa. Pancasila

sebagai sebuah filsafat maka ia akan

menerima pemaknaan-pemaknaan sesuai

dengan kondisi kultur masyarakat Indonesia

yang beragam. Nilai-nilai Pancasila yang

digali oleh Bung Karno dari kebudayaan

bangsa, tentunya dikembalikan lagi kepada

bangsa yang beragam budaya ini sebagai

pemilik ide Pancasila. Nilai-nilai keragaman

dipersatukan dengan ide gotong-royong

dicoba secara aktual dalam penerapan setiap

aturan hukum di Indonesia. Penghormatan

terhadap hak azasi manusia telah tercermin

dalam Pembukaan UUD Negara Republik

Indonesia 1945 alenia pertama.

Penghormatan hak azasi manusia juga

terdapat dalam Pasal Konstitusi dan

Undang-undang, maka tentunya perlu pula

ditanamkan nilai kebersamaan dan

kekeluargaan sebagai sebuah bangsa. Kita

berbeda dalam persatuan, menyadari bahwa

kita memiliki hak individu yang dihormati,

tetapi pada sisi lain kita juga menyadari

bahwa kita bersatu sebagai bangsa

Indonesia.

PENUTUP

Pancasila disadari merupakan hasil

dari pemikiran para Bapak Bangsa untuk

menggali dan merumuskan nilai-nilai

tertinggi bangsa Indonesia. Pancasila digali

dari endapan-endapan filosofis bangsa,

untuk itu ia dibutuhkan sebagai kendali

bertindak bagi segenap warga bangsa.

Indonesia sebagai Negara telah mampu

membuktikan Pancasila yang telah mampu

menjaga bangsanya dari perpecahan karena

nilai-nilai luhur yang ada padanya. Sebagai

filsafat hukum, Pancasila menjadi landasan

bagi terbentuknya aturan-aturan hukum

yang ada di bawahnya. Masuknya ide

hukum yang materialistik serta individualis

(17)

Pancasila sebagai sebuah Filsafat

Hukum terus berupaya mencari

pemaknaan-pemaknaan baru, ia berada dalam ruang

relatif sehingga Pancasila selalu mampu

mewarnai dan juga diwarnai oleh nilai-nilai

baru yang masuk ke dalam jiwa Bangsa

Indonesia. Perubahan-perubahan sosial yang

terjadi di Indonesia membuktikan sebuah

perubahan terhadap pemaknaan Pancasila

sebagai sebuah filsafat. Pancasila sebagai

sebuah mazhab dalam filsafat hukum selama

ini diartikan sebagai hukum gotong-royong

oleh Bung Karno sangat mengutamakan

semangat komunal dibandingkan semangat

individual. Dalam perubahan sosial, terjadi

tarik-menarik antara dua nilai: nilai

kebersamaan gotong-royong dengan nilai

individualisme, nilai magis religius dengan

nilai materialisme. Pancasila harus mampu

secara terbuka mengadopsi dua nilai

tersebut sebagai sebuah mazhab filsafat

hukum.

DAFTAR RUJUKAN

Albert Y Dien. Aliran Filsafat Materialisme,Jurnal Supremasi Hukum, Vol.5 No.2,Juli 2009.

Faiz al Jawahir, Komersialisasi

Pendidikan. Sumber:

http://edukasi.kompasiana.com/201 2/05/15/komersialisasi-pendidikan-463180.html,>, diakses pada tanggal 26 Pebruari 2013.

Filsafat Moral Aristoteles, sumber: <http://www.scribd.com/doc/48583 70/Filsafat-Moral-Aristoteles>, diakses pada tanggal 26 Pebruari 2013.

Hasibuan, Sofia Rangkuti, “Individualisme

berkemandirian dalam Sejarah

Amerika”, sumber:

http://repository.ui.ac.id/contents/k oleksi/16/6d010bb7a907ae16ecf7b9 24b3a53cc4887e3382.pdf,>,

diakses pada tanggal 26 Pebruari 2013.

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogjakarta: Penerbit Paradigma, 2010.

Kartohadiprodjo, Soediman, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Jakarta: Gatra Pustaka, 2010.

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.

(18)

DARI KAMPUS KE JALANAN:

SUATU TINJAUAN ATAS GERAKAN MAHASISWA DI MALAYSIA

Oleh: Mohammad Maiwan*

ABSTRACT

Actually student movement in Malaysia have owned lenght history. Their movement have close related to development of politics. In the past, student movement emerge as part of the struggle to claim independence. But after independence, actively student activism emerge to response some various issues, about domestic or international problems. Their movement was beside pushed by idealism attitude and awareness of high politics, also influenced by turbulence of world politics. Tops of activism student movement in Malaysia taken place in year-end 1960s until early 1970s. Thereafter student movement lost ground. Existing political system solidy have limited various involveme nt of student in politics, so that cause they withdraw from various issue and problem outside campus.

Key Words: Student, movement, politics.

PENDAHULUAN

Perkembangan gerakan maha-siswa

di Malaysia sesungguhnya berkait rapat

dengan lingkungan politik yang berlaku di

negara tersebut. Keberadaan mereka selalu

dipengaruhi oleh kecenderungan serta garis

kebijakan politik yang ditempuh penguasa.

Selama ini, kurang lebih hampir 30 tahun

terakhir, kita nyaris tidak mendengar

adanya gerakan mahasiswa di Malaysia

yang bersifat politik dalam skala besar

yang mempengaruhi situasi politik.

Pembangunan ekonomi Malaysia yang

berlangsung pesat dan mengesankan, serta

kontrol politik yang ketat nampaknya telah

berhasil membendung

kecenderungan-kecenderungan radikal dan politisasi di

lingkungan mahasiswa. Melalui berbagai

kebijakan yang ditempuhnya, pemerintah

secara efektif berusaha mengarahkan agar

aktifisme dan partisipasi mahasiswa,

mengambil bentuk-bentuk kegiatan yang

bersifat murni akademik dan non politis.

Meskipun demikian, bukan berarti

bahwa kalangan mahasiswa di negara

tersebut tidak memiliki kesadaran politik

sama sekali. Kalangan mahasiswa di

Malaysia, juga memiliki kesadaran yang

sama, sebagaimana rekan-rekan mereka di

negara-negara lain yang memiliki

sifat-sifat kritis terhadap berbagai kebijakan

pemerintah. Hanya saja, mereka memiliki

keterbatasan-keterbatasan dalam

me-nyalurkan pandangannya. Lebih dari itu,

gejolak aktifisme mahasiswa secara tidak

langsung, untuk sebagian, juga diredam

(19)

oleh berbagai keberhasilan pembangunan

serta “kemudahan-kemudahan pendidikan”

yang diberikan negara. Karena itu, dapat

dipahami bahwa model gerakan mahasiswa

yang bersifat politik bukan menjadi arus

utama gerakan mahasiswa. Berdasarkan

kenyataan tersebut artikel ini berusaha

untuk menjelaskan tentang pasang surut

gerakan mahasiswa di Malaysia selama ini,

serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

LANDASAN TEORITIK

Pada umumnya, kajian tentang

gerakan mahasiswa merupakan bagian dari

kajian gerakan sosial. Hal tersebut

merupakan satu objek dari kajian perilaku

kolektif (collective behavior), yakni satu

cabang atau sub disiplin dalam ilmu sosial

yang mengkaji berbagai bentuk tindakan

kolektif yang memiliki tingkat

perlembagaan rendah. Tindakan kolektif

boleh dirumuskan sebagai, satu bentuk

tindakan bersama oleh

kelompok-kelompok tertentu yang bertujuan untuk

mencapai tujuan tertentu, yang biasanya

muncul karena adanya rasa tidak puas

terhadap suatu keadaan, yang muncul

secara spontan, tidak teratur dan tidak

diikat oleh nilai-nilai yang bersifat formal

(Crossley 2002: 3-4).

Suatu tindakan kolektif, boleh

dikatakan sebagai gerakan sosial sekiranya

menepati ciri-ciri tertentu. Della Porta dan

Diani (1999: 16) menyebutkan adanya

empat ciri, yaitu: Adanya basis jaringan

informal; Adanya solidaritas dan

keyakinan-keyakinan tertentu, baik dalam

bentuk ideologi ataupun nilai-nilai tertentu

yang dibagi bersama, yang menggerakkan

mereka; Adanya isu yang dimunculkan;

serta terdapat frekwensi tertentu dalam

berbagai tindakan protes mereka.

Dalam konteks tulisan ini, gerakan

mahasiswa kenyataannya menepati ciri-ciri

sebagai gerakan sosial. Hanya saja,

meskipun tidak semua ciri-ciri yang

melekat dalam gerakan mahasiswa

menepati ciri gerakan sosial secara

menyeluruh, namun boleh dikatakan, pada

umumnya sudahpun masuk ke dalam

kategori gerakan sosial. Seorang mantan

tokoh mahasiswa Indonesia, yakni

Marsilam Simanjuntak, memberikan

pengertian yang agak fleksibel kepada

gerakan mahasiswa sebagai: “…satu aksi

massa yang didahului oleh satu

perkumpulan umum yang dihadiri oleh

ribuan mahasiswa; demonstrasi mahasiswa

yang menggambarkan hati nurani rakyat;

yang disokong oleh seluruh lapisan

mahasiswa pelajar dalam jiwa dan

semangat kesamaan dan persatuan. Harus

diselaraskan melalui saluran organisasi

mahasiswa; bebas dari vested interest,

tidak memiliki tujuan politik (praktikal);

tidak dimanfaatkan oleh

kepentingan-kepentingan politik tertentu serta

(20)

berisikan seruan moral. Tidak untuk

merebut kekuasaan, tidak untuk

kepentingan politik praktis (Bulkin 1985:

166).

Berdasarkan definisi di atas gerakan

mahasiswa hakikatnya merupakan

kekuatan netral, yang merupakan gerakan

moral yang memperjuangkan kepentingan

masyarakat luas, yang tidak minat untuk

lebih jauh terlibat dalam usaha untuk

meraih jabatan-jabatan dalam kekuasaan.

Gerakan mereka lebih terbatas kepada

usaha untuk melakukan koreksi terhadap

realitas yang dianggap bertentangan

dengan kebenaran-kebenaran umum. Ianya

merupakan tindakan peringatan ataupun

pembetulan ke atas keadaan yang terjadi.

PERKEMBANGAN AWAL

Kewujudan golongan mahasiswa di

Malaysia dapat ditelusuri jauh sebelum

Perang Dunia Kedua, bermula pada awal

abad ke 20 ketika pemerintah Inggeris

memperkenalkan institusi pendidikan

tinggi yang pertama di Tanah Melayu,

yakni King Edward VII College of

Medicine tahun 1905 dan Raffles College

tahun 1929, yang kemudian digabung

dengan nama baru menjadi University

Malaya tahun 1949. Lembaga pendidikan

tersebut semuanya terletak di Singapura

(Sang, 2003:61-62). Di samping itu juga

terdapat Sultan Idris Training College di

Tanjung Malim Perak tahun 1922 yang

menjadi tempat pendidikan para calon

guru.

Lembaga-lembaga pendidikan

tinggi inilah yang pertama kalinya

melahirkan lapisan elit intelektual Malaya

modern serta tempat berseminya kesadaran

dan nasionalisme yang terus membesar.

Pada tahun 1938 misalnya, sebagian

mahasiswa dari Sultan Idris Training

College (SITC) bersama rekan-rekan

mereka dari Malay College Kuala Kangsar

(MCKK), Serdang Agriculture School

(SAS), dan Kuala Lumpur Technical

School (KLTS) mempelopori berdirinya

organisasi politik radikal KMM (Kesatuan

Melayu Muda) yang memperjuangkan

kemerdekaan Malaya.

Kesadaran kebangsaan semacam itu

juga tumbuh di kalangan mahasiswa

Malaya yang belajar di Timur Tengah,

khususnya Mesir. Mereka terlibat dalam

organisasi yang dibentuk bersama

mahasiswa Indonesia pada saat itu, yakni

al-Jama’ah al-Chairiyah al-Talabiyya al

al-Azhariah al-Jawiyah (1925). Pandangan

para mahasiswa ini disuarakan dalam

majalah organisasi tersebut yang bernama

Seruan Azhar. Beberapa tokoh mahasiswa

Malaya yang tergabung dalam organisasi

al-Jama’ah al-Chairiyah adalah; Othman

Abdullah, Muhammad Idris Marbawi,

Abdul Wahab Abdullah, Abu Bakar

al-Ash’ari dan lain-lain (Roff, 1970).

(21)

menjadi Persatuan Pemuda

Indonesia-Malaya (Perpindom).

Di tempat lain, bersama mahasiswa

Indonesia para mahasiswa Malaya ini juga

mendirikan organisasi serupa seperti:

Persatuan Talabah Indonesia - Malaya

(Pertindom) di Mekkah; Majelis

Kebangsaan Indonesia - Malaya

(Makindom) di Baghdad; Persatuan

Indonesia-Malaya (Persindom) di India

(Hassan, 1980:26-27). Keterlibatan mereka

dalam berbagai organisasi di atas

memberikan pengaruh politik penting

dalam perjuangan selanjutnya di Tanah

Melayu.

Para tokoh mahasiswa dari

kedua-dua aliran di atas, baik yang ada di dalam

negeri maupun luar negeri, sekuler maupun

Islam kelak akan mendominasi gerakan

kemerdekaan di Semenanjung Malaya dan

menjadi pemimpin-pemimpin politik.

Mereka termasuk Perdana Menteri Kedua

Tun Abdul Razak Hussein, Lee Kuan Yew,

Goh Keng Swee, dan Tan Sri Dr Tan Chee

Khoon (Kim, 2005:9). Di samping

menyuarakan sikap kritis dan

ketidaksetujuan terhadap kebijakan

pemerintah Inggris para mahasiswa

tersebut secara terus menerus berusaha

membangkitkan solidaritas di kalangan

mereka. Meskipun demikian, aktifisme

mahasiswa di kampus pada masa itu belum

wujud dalam bentuk penentangan terbuka.

Hal tersebut di samping masih sedikitnya

jumlah mahasiswa juga karena ketatnya

kontrol pemerintah Inggris. Ketegangan

yang berlaku antara pihak mahasiswa dan

universitas lebih bersifat internal pada

ketidakpuasan terhadap

peraturan-peraturan dan layanan kampus yang

mengekang.

Namun keadaan tersebut berubah,

sesudah Perang Dunia Kedua yang

menunjukkan perkembangan politik yang

radikal. Sejalan dengan lahirnya

negara-negara baru serta tuntutan kemerdekaan

yang semakin meluas, maka kalangan

intelektual terdidik, termasuk mahasiswa di

Malaya terpengaruh ide-ide tersebut.

Tuntutan untuk “pemerintahan sendiri”,

yang merupakan terjemahan lembut

daripada istilah “kemerdekaan” semakin

sering digunakan. Hal tersebut berbarengan

dengan merebaknya pengaruh

ideologi-ideologi politik sehingga melahirkan

berbagai organisasi politik.

Salah satu ideologi politik yang

berpengaruh di lingkungan kampus tahun

1950-an tersebut adalah ideologi sosialis.

Bahkan para mahasiswa dari aliran ini di

University Malaya di Singapore

men-dirikan Socialist Club yang aktif.

Meskipun jumlah mereka sesungguhnya

minoriti tetapi sangat vokal dan tidak

memperoleh tantangan dari mana-mana

organisasi kemahasiswaan (Kim, 2005:11).

Pada tahap ini, para mahasiswa menjalin

(22)

gerakan-gerakan anti kolonial, termasuk kalangan

jurnalis dan organisasi-organisasi serikat

buruh nasionalis. Dengan demikian para

mahasiswa di universitas secara aktif

terlibat dalam perjuangan kemerdekaan

(Karim, 1984:1).

PERKEMBANGAN SESUDAH MERDEKA

Perkembangan gerakan mahasiswa

tetap berlanjut setelah Malaya merdeka

tahun 1957 dan kampus Universiti Malaya

cabang Kuala Lumpur berdiri tahun 1959,

serta mencapai status otonomi penuh

terpisah dari kampus induk di Singapura

tahun 1962. Pada masa ini, pada

tahun-tahun awal di kampus Kuala Lumpur,

karakter aktifisme mahasiswa berbeda.

Fokus perjuangan mahasiswa lebih

bertumpu pada isu-isu kampus, terutama

yang berkaitan dengan kesejahteraan

mahasiswa (Karim, 1984:1). Gerakan

mahasiswa pada awal tahun 1960-an tidak

begitu menonjol, kecuali sekali-sekali

muncul membela kebijakan negara pada

jaman konfrontasi antara Indonesia

Malaysia (1962-1965). Meskipun

demikian, beberapa peristiwa yang berlaku

pada masa tersebut memberikan inspirasi

mendalam kepada mahasiswa, sehingga

mempengaruhi jalan pikiran mereka.

Pada awal tahun 1960-an keadaan

politik Asia Tenggara mengalami

guncangan stabilitas, yang ditandai dengan

bangkitnya kekuatan komunis di Indonesia,

Indochina, Myanmar, Vietnam serta

terjadinya konfrontasi Indonesia-Malaysia

yang baru berakhir tahun 1965 setelah

Sukarno jatuh. Pada tataran domestik

Malaysia sendiri menghadapi masalah

berupa keluarnya Singapura dari federasi

1965 serta adanya ketegangan etnik yang

semakin meningkat di kedua negara

tersebut, yang kemudian menyebabkan

terjadinya kerusuhan etnik di Singapura

tahun 1964. Keadaan tersebut disusul

dengan Perang Vietnam yang meletus

tahun 1965 sehingga mengundang simpati

dan protes-protes atau demonstrasi di

berbagai universitas di Barat. Ideologi kiri

kemudian semakin popular di kalangan

mahasiswa, termasuk di Malaysia,

sehingga banyak forum-forum politik

diadakan di kampus. Demonstrasi

kemudian menjadi salah satu cara popular

di kalangan mahasiswa dalam menuntut

sesuatu (Kim, 2005:12).

Satu-satunya kampus yang ada di

Malaysia pada waktu itu, yakni Universiti

Malaya, menjadi benteng gerakan

mahasiswa. Beberapa organisasi

maha-siswa yang menjadi saluran aktivitas yang

terdapat di universitas tersebut adalah

University of Malaya Students Union

(UMSU), yang merupakan organisasi

mahasiswa terbesar, yang mewakili semua

mahasiswa di Universitas Malaya.

(23)

Universitas Malaya (PBMUM), Chinese

Language Society (CLS), The Tamil

Language Society (TLS), Persatuan

Mahasiswa Islam Universitas Malaya

(PMIUM), serta Socialist Club. Semua

organisasi mahasiswa di atas, kecuali yang

paling akhir yakni Socialist Club,

berafiliasi kepada UMSU (Karim, 1984:2).

Dalam beberapa aspek

organisasi-organisasi mahasiswa ini bersatu dan

bersaing satu sama lain. PBMUM

seringkali bersatu dengan PMIUM dalam

merespon isu-isu yang muncul. Kedua

organisasi mahasiswa ini memiliki basis

anggota yang sama yakni para mahasiswa

Melayu. Dengan semakin banyaknya

mahasiswa Melayu yang memasuki

universitas maka kedudukan dua organisasi

mahasiswa ini juga semakin kuat. Kedua

organisasi ini bertentangan dengan

Socialist Club dan juga UMSU. Meskipun

demikian pertentangan tersebut bukanlah

semata-mata berunsur etnisitas, tetapi lebih

pada sikap politik. Sebab banyak juga

mahasiswa Melayu yang menjadi anggota

Socialist Club atau menduduki

ke-pemimpinan UMSU.

Tahun 1967 merupakan transisi

penting gerakan mahasiswa di Malaysia.

Pada saat itu gerakan mahasiswa mulai

keluar merespon isu-isu di luar kampus

yang menyangkut kehidupan umum,

terutama masyarakat pedesaan. Salah satu

isu menonjol yang melibatkan mahasiswa

adalah isu Teluk Gong di Selangor. Dalam

kasus ini mahasiswa yang tergabung dalam

UMSU dan PBMUM secara langsung

terlibat dalam membela penduduk. Kasus

ini bermula dari usaha penduduk miskin

yang tidak memiliki tanah berjuang untuk

memperoleh hak atas tanah yang telah

mereka garap dan telah berdiri bangunan

rumah. Pemerintah berkeras menggusur

penduduk dan menahan sebagian yang lain

(Abu Bakar, 1973:60-64). Mahasiswa

kecewa dan memprotes kebijakan tersebut.

Insiden ini menjadi salah satu titik awal

kesadaran mahasiswa akan problem

kemiskinan di pedesaan, yang kelak akan

menjadi isu penting dalam perjuangan

mereka tahun-tahun berikutnya.

Beberapa isu penting lain yang

muncul sesudah itu, yakni tahun 1968

adalah isu tentang kebijakan pendidikan

nasional dan bahasa Melayu. Para

mahasiswa Melayu yang tergabung dalam

PBMUM misalnya, berjuang gigih untuk

mendaulatkan bahasa Melayu yang

merupakan bahasa nasional, sebagai

satunya satunya bahasa pengantar dalam

perkuliahan. Isu bahasa ini nantinya juga

menjadi bagian dari perjuangan mahasiswa

dalam menjatuhkan Tunku Abdul Rahman.

Di luar itu, pada tahun yang sama

mahasiswa Universitas Malaya terlibat aksi

demonstrasi menentang invasi Uni Soviet

ke Czechoslovakia. Mereka berdemonstrasi

(24)

Lumpur, mengutuk tindakan tersebut

sebagai melanggar kedaulatan negara lain

dan menuntut agar Uni Soviet menarik diri

dari Czechoslovakia. Aksi ini berakhir

setelah polisi bertindak dengan kekerasan

membubarkan mahasiswa (Abu Bakar,

1973:70-72). Aksi ini juga merupakan

demonstrasi massal pertama mahasiswa di

luar kampus. Peristiwa-peristiwa di luar

negeri secara nyata telah membawa impak

terhadap kesadaran kolektif mahasiswa.

MENINGKATNYA AKTIVISME

Keterlibatan mahasiswa dalam

politik nasional semakin meningkat di

tahun 1969 menjelang pemilihan umum.

Pada bulan-bulan April dan Mei UMSU

melakukan beberapa rapat umum di

seluruh negara yang dihadiri ratusan ribu

rakyat. Mahasiswa mengeluarkan

manifesto penting yang menuntut

kebebasan, keadilan, perbaikan status

ekonomi rakyat, land reform, serta

kebijakan pendidikan. Mereka juga

menginginkan rakyat lebih terlibat dalam

proses pengambilan keputusan dan politik

nasional berdasarkan demokrasi dan

keadilan. Tujuan rapat umum tersebut

adalah untuk memberikan gambaran yang

benar kepada rakyat tentang keadaan

politik tanah air (Abu Bakar, 1973:80).

Sikap mahasiswa ini merefleksikan

keprihatinan terhadap suasana politik

sekaligus menunjukkan karakter progresif

gerakan mereka. Karena itu pemerintah

tidak begitu menyukai aksi-aksi ini.

Namun demikian gerakan

maha-siswa terus berlanjut dan bahkan terseret

dalam arus “kampanye panas” yang

menuntut pengunduran diri Tunku Abdul

Rahman selepas peristiwa kerusuhan rasial

13 Mei 1969. Dalam serangkaian

demonstrasi di kampus, mahasiswa UMSU

yang dipimpin oleh Syed Hamid Ali dan

PBMUM oleh Anwar Ibrahim

membongkar kebobrokan-kebobrokan

pemerintah dan secara tegas

mengemukakan kegagalan Tunku. Tanpa

ragu-ragu mahasiswa mendesak agar

Tunku turun dari jabatannya. Sikap ini

ditanggapi pemerintah dengan keras. Pada

tanggal 29 Agustus 1969 polisi menyerbu

kampus Universitas Malaya dan menahan

beberapa orang tokoh mahasiswa.

Tindakan ini segera diprotes mahasiswa

karena dianggap melanggar otonomi

kampus (Karim, 1984:5-6). Secara

keseluruhan gerakan mahasiswa tersebut

juga telah berperan dalam menekan

pemerintah, yang pada akhirnya mengubah

haluan pembangunan dengan mengadopsi

kebijakan yang lebih pro rakyat, khususnya

bumiputera.

Sebagai akibat daripada kerusuhan

13 Mei 1969 pemerintah kemudian

menetapkan Akta Universiti dan Kolej

Universiti (AUKU) atau Undang-Undang

(25)

tahun 1971. Peraturan ini memberlakukan

sejumlah pembatasan-pembatasan terhadap

aktivitas mahasiswa (Rahim, 1992:19).

Dalam Undang-Undang tersebut para

mahasiswa atau organisasi kemahasiswaan

dilarang berafiliasi, menyatakan dukungan,

bersimpati ataupun beroposisi terhadap

partai politik atau mana-mana serikat

buruh. Pelanggaran terhadap peraturan ini

akan dikenakan denda sebesar RM 1.000

atau hukuman penjara selama enam bulan

atau kedua-duanya sekaligus. Melalui

Undang-Undang ini pemerintah

mem-berikan wewenang kepada Dewan

Universitas untuk melarang atau

membubarkan setiap organisasi mahasiswa

yang bertindak dengan cara yang dianggap

membahayakan atau merugikan

keberadaan universitas (Anwar, 1990:28).

Tekanan ini secara jelas akan

melemahkan kekuatan mahasiswa.

Pemerintah berusaha agar aktivitas

mahasiswa dapat dikontrol serta disalurkan

dengan baik. Oposisi terbuka para

mahasiswa, sebagaimana yang pernah

terjadi tahun 1969 yang dikhawatirkan

dapat mengguncang stabilitas politik,

diharapkan tidak berulang lagi. Meskipun

untuk sementara peraturan di atas berjalan

cukup efektif, namun harapan pemerintah

nampaknya tidak kesampaian. Para

mahasiswa belum sepenuhnya dapat

menerima pembatasan-pembatasan

semacam itu. Hal tersebut di samping sikap

keras sebagian mahasiswa, juga karena

mahasiswa tahu bahwa Undang-Undang

semacam itu akan mengebiri hak-hak dasar

mereka.

Karena itu, mahasiswa mengecam

pemerintah seraya menyatakan bahwa

Undang-Undang tersebut meruntuhkan

prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan

berpendapat. Penentangan itu juga

memperoleh dukungan sebagian

partai-partai politik. Beberapa demonstrasi di

kampus menentang Undang-Undang

tersebut juga dilakukan pada tahun 1971,

1972 dan sekali lagi dalam tahun 1973

(Karim, 1984:7). Keadaan ini

menunjukkan tekad mahasiswa untuk terus

menerjang pembatasan-pembatasan itu dan

memanfaatkan celah-celah kesempatan

yang masih ada. Salah satu tantangan

terbuka di luar kampus setelah

diberlakukannya Undang-Undang tersebut

adalah terjadinya demonstrasi besar pada

tanggal 14 Juni 1971.

Pada saat itu untuk pertama kalinya

mahasiswa Universitas Kebangsaan

Malaysia, yang baru didirikan, bersama

mahasiswa Universitas Malaya bersatu

melakukan demonstrasi besar-besaran,

menyambut kedatangan Perdana Menteri

Thailand Thanom Kittikachorn di Kuala

Lumpur. Mereka memprotes penindasan

yang dilakukan pemerintah Thailand

terhadap masyarakat Melayu Patani, dan

(26)

perjuangan kaum Muslim di sana.

Demonstrasi tersebut diorganisir

Persatuan Mahasiswa Islam Universiti

Malaya. Dalam kejadian tersebut terjadi

bentrokan fisik antara mahasiswa dengan

pihak polisi yang bertindak brutal sehingga

mengakibatkan beberapa mahasiswa

luka-luka dan sebagian lagi ditahan (Abu

Bakar, 1973:145-149).

Peristiwa yang lain adalah

demonstrasi anti-Amerika tanggal 13

Oktober 1973. Para mahasiswa dari

Universitas Malaya yang dikoordinir pihak

University of Malaya Students Union

(UMSU) dan beberapa universitas lain

melakukan demonstrasi di depan kantor

kedutaan besar Amerika Serikat di Kuala

Lumpur. Hampir empat ribu mahasiswa

dari berbagai aliran politik bersatu

menentang kebijakan Amerika yang

mendukung Israel dalam konflik di Timur

Tengah. Protes tersebut dilancarkan

menyusul terjadinya konflik Arab-Israel

1973. Para mahasiswa mengecam, serta

menentang keras sikap berpihak Amerika

yang dianggapnya sebagai imperialis dan

secara terbuka menyatakan solidaritas

terhadap perjuangan bangsa Arab dan

Palestina untuk memperoleh hak-haknya

(Karim, 1984:9-10).

PUNCAK AKTIVISME

Momentum gerakan mahasiswa

mencapai puncaknya tahun 1974. Dua

peristiwa penting yang terjadi pada masa

ini adalah insiden Tasik Utara dan Baling.

Insiden Tasik Utara Johor yang terjadi

bulan September 1974 bermula dari usaha

pemerintah untuk menggusur pemukiman

liar orang-orang Melayu yang miskin di

wilayah tersebut. Meskipun penduduk

setempat menentang keras, namun rencana

tersebut berjalan terus sehingga

menimbulkan ketegangan. Beberapa

mahasiswa dari Universitas Malaya turun

ke lokasi dan bersama penduduk

memprotes sikap sepihak penguasa.

Tindakan ini ditanggapi pihak polisi

dengan menahan mahasiswa karena

dituduh memprovokasi penduduk.

Organisasi persatuan mahasiswa dari

semua kampus yakni: Universitas Malaya,

Universitas Kebangsaan Malaysia,

Universitas Teknologi Malaysia,

Universitas Sains Malaysia, Universitas

Putra Malaysia juga mendukung sikap

masyarakat setempat. Akibatnya ribuan

mahasiswa melakukan sejumlah

demonstrasi termasuk di depan kantor

Perdana Menteri. Namun pemerintah tetap

berkeras dengan rencana-rencananya untuk

menghentikan aksi-aksi yang dianggap liar

ini dengan berbagai cara, sehingga terjadi

kekerasan antara polisi dan mahasiswa

(Karim, 1984:11-13).

Peristiwa Tasik Utara

sesungguhnya hanya pembuka awal dari

(27)

besar, yakni peristiwa Baling. Insiden di

Baling, Kedah terjadi bulan November

1974. Peristiwa tersebut terjadi ketika

ribuan petani, yang kebanyakan petani

kecil, di wilayah itu melakukan

serangkaian protes menuntut pemerintah

agar menaikkan harga getah dan

mengendalikan harga pangan serta

kebutuhan pokok lainnya yang terus

meningkat. Hal tersebut terjadi menyusul

berlakunya inflasi sejak tahun 1973, yang

memukul kehidupan petani dan masyarakat

kecil lainnya. Bahkan ada isu bahwa terjadi

kelaparan di wilayah Baling. Perjuangan

petani tersebut didukung oleh aktifis

mahasiswa universitas dan

institusi-institusi pendidikan tinggi di seluruh

negara, yang merasa bahwa pemerintah

tidak tanggap terhadap penderitaan rakyat.

Akibatnya tanggal 3 Desember 1974

ribuan mahasiswa melakukan serangkaian

demonstrasi besar-besaran di Kuala

Lumpur.

Mereka mendesak pemerintah agar

segera menangani inflasi, memperbaiki

nasib petani, dan menghukum para pejabat

yang korup. Mahasiswa yakin bahwa

sebagian akar persoalan di masyarakat

adalah mentalitas para pejabat yang buruk

dan ingin memperkaya diri sendiri.

Namun, pemerintah tidak menggubris

tuntutan semacam itu, sehingga polisi dan

FRU (Federal Reserve Unit) turun tangan

meredakan situasi dengan kekerasan.

Sebagian mahasiswa luka-luka dan seribu

lebih ditahan. Tekanan ini tidak

mematahkan semangat mahasiswa. Mereka

justru melanjutkan aksi pada hari-hari

berikutnya di kampus Universitas Malaya,

sampai kemudian pihak polisi memasuki

kampus pada tanggal 9 Desember 1974.

Selanjutnya, beberapa aktifis mahasiswa,

dosen, serta pemimpin politik yang

bersimpati dan mendukung gerakan

tersebut sejak awal ditahan. Beberapa

orang di antaranya adalah: Prof. Syed

Husin Ali, Anwar Ibrahim, serta para

Presiden Persatuan Mahasiswa dari

Universitas Malaya, Universitas Sains

Malaysia, Universitas Kebangsaan

Malaysia, Institut Teknologi MARA

(Karim, 1984:15).

Segera sesudah itu, untuk

memulihkan situasi, pada tahun 1975

pemerintah mengamandemen Akta

Universiti dan Kolej Universiti (AUKU)

atau Undang-Undang Perguruan Tinggi

dan Universitas 1971 dan menggantinya

dengan undang-undang baru yang lebih

keras. Pemerintah tidak ingin kecolongan

yang kedua kalinya karena gagal

mengontrol mahasiswa. Dalam

Undang-Undang ini dinyatakan bahwa: Semua

organisasi mahasiswa yang ada

dibubarkan; mahasiswa dilarang

memberikan sokongan kepada pihak-pihak

di luar kampus; menjadi anggota

Gambar

Gambar 1. Potret kemiskinan dan kekumuhan di perkotaan
gambar berikut ini.
Tabel 1
Tabel 2
+2

Referensi

Dokumen terkait

counselor yakni yang bertugas sebagai guru bidang studi dan juga sebagai guru bimbingan konseling (Konselor) terhadap kegiatan layanan bimbingan dan konseling di MTs Negeri

UNTR memiliki indikator Macd, Stoc osc dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, UNTR berhasil menembus Resistance di level harga 27250 sehingga terbuka peluang untuk menguji

Hasil ini menyarankan bahwa setelah pemaparan obat nyamuk elektrik berbahan aktif transflutrin sebagian spermatozoa dengan motilitas normal berubah menjadi abnormal,

Dari pengukuran morfometrik yang telah dilakukan didapat panjang kepala 4,24 mm bagian dari panjang total, panjang kepala 3,27 mm dari panjang standar, diameter mata 3,33 mm

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi yang relevan serta obyektif guna diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan dalam sebuah skripsi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penelitian ini menghasilkan deskripsi proses berpikir mahasiswa dalam pemecahan masalah pembuktian pada masing-

Berdasarkan hasil pengujian dan hasil analisis data yang sudah dilakukan maka didapat : Kekuatan balok yaitu : Pada saat beban retak pertama (Pu), kuat lentur ultimit balok

penulis ingin mengetahui apakah ada Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap keluarga dengan kekambuhan pada pasien Skizofrenia. Tujuan umum dari penelitian ini adalah