• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pankreas - Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pankreas - Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Komplikasi Hipertensi dan Diabetes Retinopati di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pankreas

Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan

hormon insulin, yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah. Tiap pankreas mengandung lebih kurang 100.000 pulau Langerhans dan tiap pulau

berisi 100 sel beta. Disamping sel beta ada juga sel alfa yang memproduksi glukagon yang bekerja sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Juga ada sel delta yang menghasilkan somastostatin. Dan yang terakhir

adalah sel pancreatic polypeptide yang mungkin berperan sebagai penghambat sekresi endokrin dan empedu (Tjay dan Rahardja, 2007; Soegondo, dkk., 2004).

2.2 Insulin

Insulin merupakan hormon polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino yang tersusun dalam 2 rantai; rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B

mempunyai 30 asam amino. Antara rantai A dan rantai B terdapat 2 gugus disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan A-20 dengan B-19. Selain itu masih

terdapat gugus disulfida antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2009).

Tubuh dengankondisi normal, insulin yang dihasilkan sel beta pankreas

mengatur glukosa sedemikian rupa, sehingga kadarnya didalam darah selalu dalam batas aman, baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Kadar

(2)

Insulin yang dikeluarkan sel beta dapat diibaratkan sebagai sel kunci yang

dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian glukosa dalam sel tersebut dimetabolisme menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka

glukosa tidak masuk ke dalam sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan menjadi lemah karena tidak ada sumber energi di

dalam sel. Inilah yang terjadi pada DM tipe 1. Sedangkan pada DM tipe 2 jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel

yang kurang maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa sebagai bahan bakar dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan seperti ini hampir sama dengan DM tipe 1.

Perbedaan pada DM tipe 2 disamping kadar glukosa tinggi, insulin juga berada kadar yang tinggi atau normal tetapi reseptor insulin pada permukaan sel yang jumlahnya tidak mencukupi dan respon kerja kurang sensitif (Soegondo, dkk.,

2004).

2.3 Resistensi Insulin

Resistensi insulin adalah ketika konsentrasi normal dari insulin yang dihasilkan kurang dari respon biologis. Pada manusia, resistensi insulin biasanya didefinisikan dengan hyperinsulinemia pada keadaan normal atau keadaan kadar

gula tinggi atau karena resisten terhadap insulin eksogen (Gupta, 1984). Penyebab resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2, yaitu :

(3)

c. Kurang gerak badan

d. Faktor keturunan (herediter) (Soegondo, dkk., 2004).

2.4 Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus ditandai dengan adanya kenaikan konsentrasi glukosa yang dikaitkan dengan tidak normalnya metabolisme dari karbohidrat, protein, dan lemak serta sebuah variasi komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.

Diabetes Mellitus bukan penyakit tunggal, tetapi merupakan kelompok gangguan heterogen yang berhubungan satu sama lain dimana penyebabnya hanya karena

manifestasi utamanya: hiperglikemia dan komplikasi pembuluh darah yang dihasilkan (Ellenberg and Rifkin’s, 2005).

Pada keadaan diabetes mellitus, tubuh relatif kekurangan insulin sehingga

pengaturan kadar glukosa darah menjadi kacau. Walaupun kadar glukosa darah sudah tinggi, pemecahan lemak dan protein menjadi glukosa (glukoneogenesis) dihati tidak dapat dihambat (karena insulin kurang/relatif kurang) sehingga kadar

glukosa darah dapat semakin meningkat. Akibatnya terjadi gejala khas Diabetes Mellitus yaitu poliuria, polidipsi, lemas, berat badan menurun. Kalau hal ini

dibiarkan berlarut-larut, dapat berakibat terjadinya kegawatan Diabetes Mellitus, yaitu ketoasidosis diabetik yang sering mengakibatkan kematian (Soegondo, dkk., 2004).

Diabetes Mellitus yang tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan berbagai penyakit menahun, seperti penyakit serebro- vaskular,penyakit jantung

(4)

Insulin-Resistant Diabetes Mellitus, injeksi insulin biasanya tidak diperlukan; dan Diabetes sekunder (disebabkan oleh kerusakan pankreas atau kelenjar yang terlalu aktif seperti kelenjar pituitary ataupun kelenjar adrenal) (Soegondo, dkk., 2004;

Gutrhie W. D, 2004).

Pengendalian kriteria Diabetes Mellitus dapat dilihat dalam Tabel 2.1

Tabel 2.1 Kriteria Pengendalian Diabetes Mellitus(Soegondo, dkk., 2004).

Kriteria Baik Sedang Buruk

Glukosa darah Puasa mg/dL

80-109 110-125 ≥ 126

Glukosa darah 2 jam mg/dL

110-144 145-179 ≥180

AIC (%) <6,5 6,5-8 >8

Tekanan darah (mmHg) <130/80 130-140/80-90 >140/90

2.4.1 Diabetes Mellitus tipe 1

Diabetes Mellitus tipe 1 terjadi kerusakan pada sistem imun di sel beta

pankreas yang memproduksi insulin. Hal ini ditandai dengan adanya kekurangan insulin dan biasanya disertai gejala karakteristik seperti : rasa haus, banyak

(5)

untuk kelangsungan hidup mereka. Jumlah penderita DM tipe 1 ada sekitar 15%

dari seluruh total penderita diabetes (Steele et al., 2008).

2.4.2 Diabetes Mellitus tipe 2

Dalam Diabetes Mellitus tipe 2 yang menjadi masalah utama adalah resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Biasanya memiliki gejala yang berbahaya dan orang-orang yang menderita akan mengalami komplikasi. Diabetes

Mellitus tipe 2 memiliki persentase sebesar 85% dari total jumlah populasi penderita Diabetes. Diabetes Mellitus tipe 2 sering dikaitkan dengan kelebihan

berat badan dan obesitas. Pada kenyataanya ada sekitar 85% penderita DM tipe 2 mengalami obesitas atau kelebihan berat badan (Steele et al., 2008).

2.4.3 Diabetes sekunder (tipe spesifik lain) a. Cacat genetik fungsi sel beta :

i. Chromosome 12, HNF-1 alpha (sebelumnya MODY3) ii. Chromosome 7, glucokinase (sebelumnya MODY2) iii. Chromosome 20, HNF-4 alpha (sebelumnya MODY1) b. Cacat genetik aksi insulin :

i. Type A resistensi insulin ii. Leprechaunism

iii. Rabson-Mendenhall syndrome iv. Lipoatophic diabetes

c. Penyakit karena eksokrin pankreas :

i. Pancreatitis

(6)

iii. Neoplasia

iv. Cystic fibriosis v. Hemochromatosis

vi. Fibrocalculous pancreatopathy d. Endocrinopathies :

i. Akromegali

ii. Cushing’s syndrome iii. Glucagonoma

iv. Pheochromocytoma v. Hiperthiroidisme vi. Somatostatinoma

vii. Aldosteronoma

e. Obat atau zat kimia yang diinduksi : i. Vacor

ii. Pentamidine iii. Asam nikotinik

iv. Glukokortikoid v. Hormon tiroid vi. Diazoxide

vii. Antagonist beta adrenergik viii. Thiazide

(7)

f. Infeksi :

i. Congenital rubella ii. Citomegalovirus

g. Bentuk umum dari diabetes imun : i. “stiff-man” syndrome

ii. Anti-insulin receptor antibodies (Gutrhie W. D, 2004).

2.4.4. Diabetes kehamilan a. Diabetes Gestasional

Diabetes yang timbul saat hamil dan menghilang setelah melahirkan. b. Diabetes Pregestasional

Diabetes mulai sejak sebelum hamil dan berlanjut sampai setelah hamil

c. Diabetes Pregestasional dengan komplikasi

Diabetes mulai sejak sebelum kehamilan dan berlanjut sampai setelah hamil disertai dengan komplikasi penyakit pembuluh darah panggul dan pembuluh

darah perifer (Soegondo, dkk., 2004).

2.5Komplikasi diabetes dan penyakit penyerta

Komplikasi dan penyakit penyerta yang diakibatkan diabetes mellitus

kerap muncul dengan gejala yang bervariasi. Hal ini menunjukan bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit pemicu yang menyebabkan timbulnya

keluhan-keluhan lain dan penyakit baru (Gutrhie W. D, 2004). Ada banyak penyakit penyerta yang sering muncul pada pasien DM tipe 2, contoh yang paling sering timbul adalah TB paru. Pasien DM yang telah lama mengidap diabetes akan

(8)

diserang oleh bakteri. Kondisi kadar gula darah yang diatas normal dalam jangka

waktu yang lama dapat memperburuk kesehatan paru-paru penderita DM (Andreani,1988).

Ada tiga bagian komplikasi yang terjadi pada pasien Diabetes yaitu komplikasi akut, komplikasi menengah, dan komplikasi kronis. Beberapa komplikasi akut yang terjadi pada pasien diabetes adalah diabetes ketoasidosis,

hipoglikemia, dan hiperglikemia hiperosmolar nonketotik syndrome. Komplikasi menengah adalah yang melibatkan rasa sakit, operasi, kehamilan. Komplikasi

kronis dapat dilihat dengan gejala rasa nyeri yang timbul, mati rasa, dan ketidakmampuan untuk melihat serta gangguan fungsi organ lainnya yang menyebabkan sulit untuk bergerak atau beraktivitas. Komplikasi kronis dibagi

menjadi beberapa bagian lagi yaitu : a. Mikrovaskuler/Mikroangiopati :

i. Ginjal (Diabetes Nefropati

ii. Mata (Diabetes Retinopati) iii. Saraf (Diabetes Neuropati)

b. Makrovaskuler /Makroangipati : i. Penyakit jantung koroner ii. Pembuluh darah perifer

iii. Pembuluh darah otak iv. Hipertensi

(9)

2.5.1 Hipertensi

Hipertensi merupakan kelainan atau gejala dari gangguan pada mekanisme regulasi tekanan darah (Tjay dan Rahardja, 2007).

Pembagian tekanan darah pada usia dewasa dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Usia 18 Tahun atau Lebih

Berdasarkan JNC VII, 2003 (Departemen Farmakologi dan Terapi, 2009).

Klasifikasi Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 - 139 80 – 89

Hipertensi tingkat 1 140 - 159 90 – 99

Hipertensi tingkat 2 >160 >100

a. Epidemiologi

Hipertensi merupakan kejadian yang ditandai dengan meningkatnya

tekanan darah baik sistole maupun distole yang memberi gejala lanjut ke organ tertentu. Semakin tinggi populasi usia lanjut maka semakin banyak pasien hipertensi. Hipertensi sebesar 80% terjadi di negara berkembang (Genest, 1983).

b. Etiologi

i. Hipertensi primer/essensial yaitu hipertensi yang tidak diketahui dengan jelas apa penyebabnya biasanya diakibatkan oleh abnormalitas karbohidrat,

natrium, dan kalsium.

ii. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang penyebabnya diketahui. Misalnya

(10)

c. Patofisiologi

Mekanisme hipertensi disebabkan oleh terbentuknya Angiotensin II dari Angiotensin I oleh Angiotensin Converting Enzym. Dimana peningkatan jumlah AII menyebabkan jumlah Anti Diuretic Hormone meningkat menyebabkan urin pekat (osmolalitas tinggi) dan untuk mengencerkannya ditarik cairan intrasel menuju cairan ekstrasel sehingga cairan ekstrasel meningkat dan menyebabkan

volume darah meningkat dengan demikian tekanan darah meningkat pula. Peningkatan AII juga menstimulasi aldosteron, dimana dalam mengatur cairan

ekstrasel, aldosteron menurunkan ekskresi NaCl dengan mereabsorbsi di tubulus ginjal sehingga konsentrasi NaCl meningkat yang mengakibatkan cairan ekstrasel meningkat karena pengenceran. Cairan ekstrasel yang meningkat menyebabkan

volume darah meningkat dan tekanan darah juga ikut meningkat (Genest, 1983). d. Manifestasi klinis

i. Susah tidur

ii. Pusing iii. Lemah

iv. Pucat

v. Suhu tubuh rendah

vi. Tekanan darah lebih besar dari 140/90 mmHg (Genest, 1983).

Hipertensi dan diabetes sering hidup berdampingan, sebagian besar karena obesitas yang mendasari. Juga dengan resiko untuk mengembangkan diabetes

hampir dua kali lipat oleh adanya hipertensi, bahkan di antara orang-orang non obesitas dengan tekanan darah 135/85mmHg. Ketika diabetes dan hipertensi

(11)

jauh lebih tinggi setidaknya dua kali lipat atas semua dan untuk nefropati

(Andreani et al., 1988).

Dalam studi prospektif hubungan hipertensi dengan morbiditas dan

mortilitas kardiovaskular telah dibuktikan dengan persamaan diantara kedua subjek yaitu diabetes dan non diabetes, dalam setiap level tekanan darah mordibitas dan kardiovaskular lebih tinggi pada Diabetes dibandingkan dengan

yang non diabetes (Andreani et al., 1988).

Ada juga penelitian yang menunjukan bahwa kejadian diabetes retinopati

lebih tinggi pada pasien diabetes dengan hipertensi. Meskipun informasi dasar tentang terjadinya hipertensi pada diabetes belum diketahui dengan jelas bagaimana mekanismenya. Terdapat beberapa ulasan yang berkaitan dengan

aspek hipertensi pada diabetes (faktor yang terkait dengan peningkatan kejadian hipertensi pada diabetes) yaitu :

a. Diabetes nefropati merupakan fakor penting terjadinya hipertensi terutama

IDDM (Diabetes Mellitus tipe 1) dan tipe hipertensinya adalah essensial. Sementara pada pasien NIDDM (Diabetes Mellitus tipe 2), hipertensi tidak

terlalu berkaitan dan sering terjadi sebelum diabetes didiagnosis.

b. Metabolisme sodium, peningkatan kadar sodium juga berpengaruh terhadap hipertensi pada penderita diabetes. Penderita diabetes memilki gangguan untuk

mengekskresikan intravena saline load dan gagal untuk menambahkan sodium kedalam urin untuk di ekskresikan.

(12)

d. Katekolamin mungkin terlibatdalampeningkatantekanan darah.

e. Glukosa darah, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa terdapat hubungan antara tekanan darah dengan glukosa darah.

f. Insulin, studi secara umum menunjukan bahwa ada hubungan antara kadar insulin dalam plasma dengan tekanan darah.

Insulin, selain bekerja untuk merubah glukosa menjadi glikogen (yang akan

disimpan di jaringan perifer tubuh) dapat mengakibatkan peningkatan retensi natrium di ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatik.

Meningkatnya retensi natrium dan aktivitas sistem syaraf simpatik merupakan dua hal yang berpengaruh terhadap meningkatnya tekanan darah. Lebih lanjut, insulin juga dapat meningkatkan konsentrasi kalium di dalam sel, yang

mengakibatkan naiknya resistensi pembuluh, yang merupakan salah satu faktor naiknya tekanan darah(Andreani et al., 1988).

2.5.1.1Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi

a. Terapi Non Farmakologi

Tujuan pengobatan hipertensi pada diabetes adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat diabetes sendiri dan akibat hipertensinya. Dalam penanganan diabetes dengan komplikasi hipertensi, diperlukan perhatian khusus

seperti nefropati, retinopati, gangguan serebrovaskular, obesitas, hiperinsulinemia, hipokalemia, hiperkalemia, impotensi penyakit vaskuler perifer, neuropati

(13)

a. Penuruan berat badan

Penurunan berat badan setidaknya akan membuat tekanan darah menurun dan mengakibatkan peningkatan sensitivitas insulin.

b. Olahraga

Berjalan dapat menurunkan resiko diabetes dan menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat meningkatkan pengambilan glukosa kedalam otot skeletal

dengan membuat insulin semakin sensitif. Selain itu olahraga juga meningkatkan kontrol glukosa, penurunan level trigliserida yang mengandung

banyak very-low-density lipoprotein (VLDL), meningkatkan aktivitas fibrinolitik, dan menurunkan resiko kardiovaskular.

c. Pengurangan asupan garam

Pengurangan asupan garam secukupnya aman dan efektif, mungkin bahkan lebih banyak pada pasien diabetes dengan komplikasi hipertensi yang terkait untuk perkembangan jumlah melemahnya ginjal pada kasus nefropati. Selain

itu, efek antiproteinurik dari angiotensin-converting enzym (ACE) inhibitorsditingkatkan secara nyata dengan penurunan pengambilan sodium. Sekalipun tanpa nefropati, semua pasien dengan diabetes harus menurunkan pengambilan sodium, sejak pelaku insulin resisten mengalami gangguan respon natriuetic terhadap pengambilan sodium yang tinggi.

d. Pengurangan atau berhenti mengkonsumsi rokok dan alkohol

Rokok mengandung 4000 jenis racun kimia yang berbahaya yang bahan

(14)

keasaman darah. Darah akan menjadi kental sehingga jantung akan dipaksa

bekerja lebih kuat lagi agar darah sampai ke jaringan. Konsumsi alkohol diakui sebagai salah satu faktor penting yang memiliki hubungan dengan tekanan

darah. Semakin banyak alkohol yang diminum, maka semakin tinggi pula tekanan darah peminumnya (Steele et al., 2005).

b. Terapi Farmakologi

Penanggulangan farmakologi dilakukan secara individual dengan memperhatikan berbagai aspek pasien. Oleh karena penyandang diabetes mellitus mempunyai kelainan metabolik, hal ini harus diperhatikan dalam pemilihan obat.

Obat antihipertensi yang ideal untuk penyandang diabetes mellitus sebaiknya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Efektif menurunkan tekanan darah.

b. Tidak mengganggu toleransi glukosa atau mengganggu respons terhadap hipo-hiperglikemia.

c. Tidak mempengaruhi fraksi lipid.

d. Tidak menyebabkan hipotensi postural, tidak mengurangi aliran darah tungkai, tidak meningkatkan risiko impotensi.

e. Bersifat kardio-protektif dan reno-protektif (Saseen dan Carter, 2005).

Untuk melaksanakan terapi farmakologi pada pasien diabetes mellitus tipe

2 dengan kompliksi hipertensi, tekanan darah minimal pasien adalah 130/80 mmHg(Steele et al., 2005).

a. Untuk kondisi diabetes hipertensi tanpa proteinuria, diuretik lemah seperti

(15)

b. Kombinasi Angiotensin-converting enzym (ACE) inhibitors dan Angiotensin II-receptor blocker (ARB) sebagai pilihan kedua.

c. Long-acting calcium antagonist (CA) sebagai pilihan ketiga. Dapat juga diberikan Beta blockers dan Alfa blockers.

d. Untuk kondisi dengan proteinuria diwajibkan menggunakan angiotensin -converting enzym (ACE) inhibitorsatau Angiotensin II-receptor blocker (ARB) sebagai lini pertama pengobatan (Steele et al., 2005).

2.5.2 Diabetes Retinopati a. Epidemiologi

i. Terjadi pada usia di atas 40 tahun ii. Pada ras kulit hitam lebih sering terjadi

iii. Prevalensi diabetes retinopati pada DM tipe 1 dengan jangka waktu 15 tahun sebesar 50% (Steele et al., 2008).

b. Etiologi

i. Hipertensi yang terjadi pada penderita diabetes menyebabkan pembuluh darah retina mengalami perubahan. Dinding pembuluh

darah retina lama kelamaan akan mengalami penebalan dan mempersempit pembuluh darah terbuka pada retina. Hal tersebut akan menyebabkan menurunnya suplai darah ke retina dimana dapat

menimbulkan potongan kecil pada retina rusak dan darah bisa bocor ke retina. Hal itu akan menyebabkan hilangnya pengelihatan secara

bertahap pada penderita.

(16)

c. Patofisiologi

Terjadi perubahan pada pembuluh darah retina, yaitu terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothelial pada tahap akut. Sementara pada tahap kronis

terjadi hialinisasi pembuluh darah yang menyebabkan elastisitas pembuluh darah berkurang (Steele et al., 2008).

Diabetes retinopati adalah kerusakan progresif pembuluh darah di retina

yang disebabkan oleh kadar gula darah tinggi (hiperglikemia). Sebagai komplikasi umum dari diabetes mellitus, penyakit ini dapat menyebabkan kebutaan dan

gangguan penglihatan lainnya. Diabetes retinopati secara jelas berpotensi memiliki hubungan dengan komplikasi hiperglikemia kronis dan kelainan sistemik.Microaneurismamerupakan ciri khasdariretinopati diabetespada tahap

awal, tetapi initidak pernahterjadi kecualibeberapakapileryangtersumbat. Penyumbatankapilerdapatjugaditunjukkanpadafluoreseinangiogram. Bahkan sebelumkapilermenyumbat jalanada perubahanstruktur jaringan.Awal dari ini

adalah penebalan dasar membran dimana dicatat banyak terjadidi dasar kapiler. Stadium lanjut diabetes retinopati ditandai oleh pertumbuhan pembuluh darah

retina yang abnormal dimana selanjutnya menyebabkan iskemia retina. Pembuluh darah ini tumbuh dalam upaya untuk mensuplai darah beroksigen ke retina yang mengalami hipoksia. Setiap saat selama perkembangan diabetes retinopati, pasien

dengan diabetes juga dapat menjadi penderita diabetes makulopati, yang melibatkan penebalan retina di daerah makula (Steele et al., 2008; Andreani et al.,

1988).

(17)

didiagnosissebelum usia30tahun, mengalami diabetesretinopati setelah15-20

tahunmengalamidiabetes. Pada merekayang didiagnosissetelah usia30tahunkehadiran diabetesretinopatilebih rendahhanya sekitar60%(Andreani

et al., 1988).

Diabetes retinopati adalah penyakit progresif yang mencakup beberapa tahapan sebagai berikut :

a. Retinopatinonproliferatif terdiridariperdarahanintraretinasertapreretina, eksudasi, edema, penebalankapiler retina danmikroaneurisma

b. Retinopatiproliferative merupakan prosesneovaskularisasidan fibrosis pada retina dengankecenderungan yang tinggiuntukmenimbulkankebutaan(Steele et al., 2008).

2.5.2.1Penatalaksanaan terapi pada diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi diabetes retinopati

a. Terapi Non Farmakologi i. Fotokoagulasi laser

Fotokoagulasi lasertelah memberikanhasil yang baikpada diabetes

retinopati yang disertaiclinically significant macular edema (CSME), neovaskularisasipada retina danpadapenderitadenganresikotinggi penyakit proliferatif.Denganfotokoagulasi laser, progesifitas diabetes

retinopatidapatditurunkansecaraefektifyaitusekitar 90%, sehinggakehilangantajampenglihatan yang beratdapatdihindari. Terapi

(18)

sinar dari alat tersebut ditembakan secara tidak langsung sehingga menimbulkan

jaringan parut di khorioretina, sehingga mengurangi kebutuhan metabolisme dan berakibat regresinya neovaskularisasi (Ellenberg and Rifkin’s, 2005).

Ada tiga metode fotokoagulasi laser pada diabetes retinopati yaitu :

a. Scatter (panretinal) yang dapat memperlambat perkembangan serta meregresi neovaskularisasi pada diskus optikus dan permukaan retina

b. Fotokoagulasi fokal yang ditujukan langsung kepada kebocoran di fundus posterior retina untuk mengurangi edema makula.

c. Fotokoagulasi grid yang ditujukan untuk daerah edema yang terjadi akibat kebocoran kapiler yang difus (Ellenberg and Rifkin’s, 2005).

Tujuan dari fotokoagulasi ini adalah menutup kebocoran, merangsang

penyerapan cairan, mengurangi neovaskularisasi, mencegah timbulnya ablasi retina, dengan harapan dapat menghambat menurunnya visus (Ellenberg and Rifkin’s, 2005).

ii. Vitrektomi

Vitrektomi adalah prosedur bedah mata di mana cairan seperti agar-agar (jeli) yang bening dihapus dari ruang posterior mata (vitreous body) dan diganti

dengan minyak silikon bening untuk mendorong kembali bagian retinayang terpisah ke tempat perlekatannya agar ablasi retina diperbaiki. Vitrektomi

direkomendasikan dilakukan jika belum terjadi pembersihan vitreous hemorrhage setelah beberapa bulan pada penderita diabetes tipe 1 atau setelah 6-12 bulan pada

(19)

b. Terapi Farmakologi

Sebuah penelitian epidemiologi menunjukan dengan jelas bahwa penurunan hiperglikemia akan memberikan penurunan secara signifikan kejadian

dan perkembangan diabetes retinopati (Ellenberg and Rifkin’s, 2005).

Tabel 2.3Hipotesis Mengenai Mekanisme Diabetes Retinopati dan Terapi Farmakologi (Pandelaki, 2007).

Mekanisme Cara Kerja Terapi

Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan kerusakan sel.

Aldose reduktase inhibitor

Inflamasi

Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler, hipoksia, kebocoran, edema macula.

Aspirin

Protein Kinase C Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh DAG pada hiperglikemia.

bebas, meningkatkan VEGF. Amioguanidin

Menghambat ekspresi gen

Menyebabkan hambatan terhadap

jalur metabolisme sel. Belum ada

Apoptosis sel Perisit dan sel endotel kapiler retina

Penurunan aliran darah ke retina,

meningkatkan hipoksia. Belum ada

VEGF

Meningkat pada hipoksia retina, menimbulkan kebocoran , edema makula, neovaskular. PEDF oleh gen PEDF

GH dan IGF-I Merangsang neovaskularisasi.

Hipofisektomi,

GH-receptor blocker, ocreotide

Keterangan : PKC= protein kinase C; VEGF= vascular endothel growth factor; DAG= diacylglycerol; ROS= reactive oxygen species; AGE= advanced glycation end-product; PEDF= pigment-epithelium-derived factor; GF= growth factor; IGF-I= insulin-like growth factor I .

2.6 Drug Related Problems (DRPs) 2.6.1 Definisi DRPs

(20)

berpengaruh pada outcome yang diinginkan pasien. Suatu kejadian dapat disebut

DRPs apabila terdapat dua kondisi, yaitu:

a. adanya kejadian tidak diinginkan yang dialami pasien, kejadian ini dapat

berupa keluhan medis, gejala, diagnosa penyakit, ketidakmampuan (disability) yang merupakan efek dari kondisi psikologis, fisiologis, sosiokultur atau ekonomi

b. adanya hubungan antara kejadian tersebut dengan terapi obat (Strand, et al., 1990).

2.6.2 Klasifikasi DRPs

Jenis-jenis DRPs dan penyebabnya menurut Cipolle, et al. (2004) disajikan sebagai berikut:

a. Membutuhkan terapi tambahan obat

i. Pasien mempunyai kondisi medis baru yang membutuhkan terapi awal pada obat.

ii. Pasien mempunyai penyakit kronik yang membutuhkan terapi obat berkesinambungan.

iii. Pasien mempunyai kondisi kesehatan yang membutuhkan farmakoterapi kombinasi untuk mencapai efek sinergisme atau potensiasi.

iv. Pasien dalam keadaan resiko pengembangan kondisi kesehatan baru yang

(21)

b. Terapi obat yang tidak tepat indikasi

i. Pasien yang sedang mendapatkan pengobatan yang tidak tepat indikasi pada waktu itu.

ii. Pasien yang tidak sengaja maupun sengaja menerima sejumlah racun dari obat atau bahan kimia, sehingga menyebabkan rasa sakit pada waktu itu. iii. Pengobatan pada pasien pengkonsumsi obat, alkohol, dan rokok.

iv. Kondisi kesehatan pasien lebih baik diobati dengan terapi tanpa obat.

v. Pasien yang mendapatkan beberapa obat untuk kondisi yang mana

hanyasatuterapi obat yang terindikasi.

vi. Pasien yang mendapatkan terapi obat yang tidak tepat dihindarkan dari reaksi efek samping yang disebabkan oleh pengobatan lainnya.

c. Terapi obat salah

i. Pasien menerima obat yang paling tidak efektif untuk indikasi pengobatan. ii. Pasien menjadi sulit disembuhkan dengan terapi obat yang digunakan.

iii. Bentuk sediaan obat tidak tepat.

d. Dosis terlalu rendah

i. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon kepada

pasien.

ii. Konsentrasi obat dalam darah pasien di bawah batas terapetik yang

diharapkan.

(22)

e. Reaksi obat yang merugikan

i. Pasien memperoleh reaksi alergi dalam pengobatan.

ii. Ketersediaan obat dapat menyebabkan interaksi dengan obat lain atau

makanan pasien.

iii. Penggunaan obat menyebabkan terjadinya reaksi yang tidak dikehendaki yang tidak terkait dengan dosis.

iv. Penggunaan obat yang kontraindikasi.

f. Dosis terlalu tinggi

i. Dosis terlalu tinggi untuk memberikan respon kepada pasien.

ii. Pasien dengan konsentrasi obat di dalam darah di atas batas teurapetik obat yang diharapkan.

iii. Obat, dosis, rute atau perubahan formulasi tidak tepat untuk pasien. iv. Dosis dan frekuensi pemberian tidak tepat untuk pasien.

g. Kepatuhan

i. Pasien tidak menerima aturan pemakaian obat yang tepat (penulisan, pengobatan, pemberian atau pemakaian).

ii. Pasien tidak patuh dengan aturan yang diberikan untuk pengobatan. iii. Pasien tidak mengambil obat yang diresepkan karena harganya mahal.

iv. Pasien tidak mengambil beberapa obat yang diresepkan karena kurang

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Pengendalian Diabetes Mellitus(Soegondo, dkk., 2004).
Tabel 2.2  Klasifikasi Tekanan Darah Untuk Usia 18 Tahun atau Lebih
Tabel 2.3Hipotesis Mengenai Mekanisme Diabetes Retinopati dan Terapi Farmakologi (Pandelaki, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.3 Kepemilikan SIUP Menurut Sektor 41 Tabel 4.4 Kepemilikan SIUP Menurut Skala Usaha 41 Tabel 4.5 Kepemilikan NPWP Menurut Sektor 42 Tabel 4.6 Kepemilikan NPWP Menurut Skala

Dua studi yang melakukan penelitian dengan menggunakan dosis enzim bromelain harian yang lebih tinggi yaitu sekitar 945mg/hari dan 1890mg/hari, menunjukkan bahwa

Total Leukosit Dan Diferensial Leukosit Itik Peking Jantan Yang Diberi Tambahan Probiotik (Starbio) Pada Ransum Kering Dan Basah. Proceeding Seminar Nasional “Peran Serta

Ada pepatah “tak ada gading yang tak retak” begitulah dalam penyus unan laporan ini, dan pada kesempatan ini kami dari Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru

Rektor Liniversitas Negeri Yogyakarta memberikan penghargaan dan mengucapkan terima kasih, kepada :. Nama : Bambang Sulistyo,

KESATU : Menghapus dari daftar Inventaris Barang Milik Daerah Berupa Bangunan/Gedung, Bagian Atap Kantor Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul senilai

[r]

[r]