indikator keberhasilan implementasi kurikulum 2013 adalah sebagai berikut:
Peserta Didik lebih produktif, kreatif, inovatif, afektif, dan lebih senang belajar Pendidik dan Tenaga Kependidikan lebih bergairah dalam melakukan proses
pembelajaran dan lebih mudah dalam memenuhi ketentuan 24 jam per minggu
Manajemen Satuan Pendidikan lebih mengedepankan layanan pembelajaran termasuk
bimbingan dan penyuluhan terjadinya proses pembelajaran yang lebih variatif di sekolah
Negara dan Bangsa memiliki reputasi internasional pendidikannya menjadi lebih baik
dan memiliki daya saing yang lebih tinggi, sehingga lebih menarik bagi investor
Masyarakat Umum memperoleh lulusan sekolah yang lebih kompeten dan dapat
berharap kebutuhan pendidikan akan dipenuhi oleh sekolah (tidak perlu kursus tambahan)
Masalah yang selanjutnya muncul adalah, mungkinkah tujuan implementasi kurikulum 2013 tercapai berdasarkan indikator di atas? Jika waktu yang tersedia rata-rata 10 tahun untuk perubahan kurikulum baru, maka tahun 2023 saya yakin indikator itu tak akan tercapai. Mengapa? hitung-hitungannya adalah perlu waktu 3 — 4 tahun sejak tahun 2013 agar semua sekolah mengimplementasikan kurikulum 2013. Output SD yang pertama lulus SMA/SMK ialah tahun 2025 dengan asumsi ia belajar dari SD sampai SMA adalah 12 tahun. Jika kurikulum 2013 bertahan lebih dari atau sama dengan 12 tahun, maka kita akan benar-benar melihat produk kurikulum 2013 pada jenjang SMA/SMK tahun 2025. Untuk lulus S1, katakanlah 4 tahun, maka tahun 2029 mereka baru masuk kerja. Lalu bagaimana indikator “Negara dan Bangsa memiliki reputasi internasional pendidikannya menjadi lebih baik dan memiliki daya saing yang lebih tinggi, sehingga lebih menarik bagi investor” dapat diukur? Kesimpulannya, kurikulum 2013 atau kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak pernah ada yang (baca: tidak akan pernah ada yang) berhasil, jika kita memaknai berhasil itu sesuatu yang stagnan, konstan, atau tidak perlu perubahan. Jika kurikulum berhasil, maka tidak akan ada perubahan kurikulum lagi. Jika kurikulum berhasil, maka tidak akan ada penyempurnaan lagi. Dan jika kurikulum berhasil, maka akan tercipta generasi yang sempurna, mustahil bukan? Maka penyempurnaan kurikulum itu perlu dilakukan secara berkala dan terencana, misalnya setiap 15 tahun sekali, agar menjadi pembelajaran yang lebih bermakna bagi semua pihak.
Ada beberapa elemen yang tampaknya kurang dipahami secara utuh oleh praktisi pendidikan apalagi orang non pendidikan, yaitu stagnansi kurikulum. Mereka berpikir kurikulum tidak perlu berubah. Di sisi lain, pemerintah terus menerus mengkaji pencapaian target pendidikan dan merumuskan penyempurnaan kurikulum secara berkala. Sehingga ada kesan, ganti menteri ganti kurikulum. Ganti menteri ganti proyek. dan seterusnya.