• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Situasi HAM and Akses Keadilan b

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Situasi HAM and Akses Keadilan b"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN , PENDOKUMENTASIAN & PEMANTAUAN

SITUASI HAM & AKSES KEADILAN

KELOMPOK LGBTI

(2)

I. Latar Belakang.

B

eberapa tahun belakangan ini banyak terjadi peristiwa penting yang terkait dengan pemajuan hak-hak LGBTI di dunia. Di dalam laporannya kepada Dewan HAM PBB tahun 2015, Komisi HAM PBB menyampaikan bahwa sejak tahun 2011, ada 14 negara yang telah mengadopsi atau menguatkan perlindungan hukum mereka terkait dengan diskriminasi dan ujaran kebencian atas dasar orientasi seksual dan identitas gender; 12 negara telah mengesahkan perkawinan atau persekutuan perdata bagi pasangan sesama jenis; dan 10 negara melakukan reformasi di sektor pencatatan sipil yang memudahkan kelompok transgender untuk mendapatkan identitas hukum sesuai dengan identitas gender mereka. 1

Namun sayangnya, trend positif tersebut tidak terjadi di Indonesia. Kelompok LGBTI di Indonesia masih terus mengalami diskriminasi dan kekerasan. Berdasarkan laporan tentang kondisi kelompok LGBTI di Asia, yang diterbitkan oleh UNDP, sebuah badan PBB untuk program pembangunan, kelompok LGBTI di Indonesia mengalami berbagai bentuk di dalam kebijakan dan perlakuan yang berdampak buruk terhadap hidup mereka baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya, maupun sipil dan politik. Arus Pelangi juga melakukan penelitian 2 tentang berbagai betuk kekerasan terhadap kelompok LGBTI di tiga wilayah di Indonesia, dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa 89.3% LGBTI pernah mengalami kekerasan fisik, 79,1% pernah mengalami kekerasan psikis, 45.1% pernah mengalami kekerasan seksual. Dengan kata lain, mayoritas LGBTI di Indonesia pernah mengalami kekerasan 3 dalam hidupnya.

Tingkat diskriminasi dan kekerasan yang sangat tinggi di kalangan LGBTI Indonesia menunjukkan bahwa kelompok ini adalah bagian dari kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan Ada dua faktor utama yang membuat posisi kelompok LGBTI rentan terhadap diskriminasi, intoleransi dan kekerasan yaitu, jumlah populasinya yang minoritas dan stigma “menyimpang” yang dibebankan terhadap kelompok tersebut.

Secara jumlah, kelompok LGBTI di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kelompok yang minoritas jika dibandingkan dengan jumlah populasi cisgender yang heteroseksual. 4 Meskipun belum ada angka yang pasti terkait dengan populasi LGBTI, namun berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tahun 2011, setidaknya ada 1.284.270 laki-laki yang

Komisi HAM PBB, Discrimination And Violence Against Individuals Based On Their Sexual Orientation And Gender Identity, 1

A/HRC/29/23, May 2015. Dapat diakses di: http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/RegularSessions/Session29/Pages/ ListReports.aspx

USAID & UNDP, Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia, 2013, hlm. 24-52. Dapat diakses di: http:// 2

www.asia-pacific.undp.org/content/rbap/en/home/operations/projects/overview/being-lgbt-in-asia/

Arus Pelangi, Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi pada LGBT di Indonesia Studi Kasus di Jakarta, Yogyakarta dan 3

Makassar, 2013, hlm: xii.

Istilah cisgender digunakan bagi individu yang merasa memiliki identitas pribadi yang sesuai dengan kategori gender yang 4

(3)

berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan transgender perempuan (yang biasa disebut dengan waria). Sebagaimana kebanyakan kelompok minoritas lainnya, representasi politik 5 kelompok LGBTI di dalam pemerintahan sangatlah rendah, sehingga kepentingan-kepentingan kelompok LGBTI tidak terepresentasikan secara adil di dalam pengambilan kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun lokal.

Posisi minoritas ini semakin diperburuk oleh stigma “penyimpangan” yang diberikan kepada kelompok LGBTI. Di dalam laporannya tentang hak-hak kelompok minoritas di Indonesia (selanjutnya disebut dengan “Laporan Minoritas”), Komnas HAM menyatakan bahwa “Secara umum, label “penyimpangan” terhadap identitas orientasi seksual menjadi titik awal rangkaian pelanggaran HAM terhadap kelompok minoritas jender dan orientasi seksual.” Nilai-nilai moralitas agama dan budaya yang cenderung heteronormatif membuat 6 7 kelompok LGBTI semakin marjinal dan bahkan dijadikan sasaran kecaman, kecurigaan, olok-olok dan kebencian karena dianggap menyimpang dari norma dan nilai-nilai agama serta kekeluargaan. 8

Angka ini dikutip di dalam Laporan Komnas HAM, Upaya Negara Menjamin Hak-Hak Kelompok Minoritas di Indonesia, 5

2016, hlm: 97. Ibid, hlm. 95. 6

Oxford Dictionaries mengartikan Heteronormatif sebagai pandangan yang mempromosikan heteroseksualitas sebagai 7

orientasi yang normal atau yang lebih disukai. Oxford Dictionaries, Loc.cit.

Lihat, Sida, Sexual Orientation and Gender Identity Issues in Development, 2005, hlm. 9. Dapat diakses di: http:// 8

(4)

I.1. Kerentanan Kelompok LGBTI di Dalam Penikmatan HAM

di Indonesia.

H

ak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak, meliputi hak-hak di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir. Untuk 9 memastikan bahwa setiap individu dapat menikmati HAM-nya secara utuh, maka Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM bagi seluruh warga negaranya. Kewajiban Negara untuk menghormati HAM harus dilakukan oleh Negara 10 dengan tidak mengganggu atau membatasi penikmatan HAM bagi setiap individu. Sementara, kewajiban untuk melindungi HAM adalah kewajiban Negara untuk melindungi setiap individu dan kelompok di negaranya dari segala bentuk pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh aparat Negara, maupun yang bukan bagian dari aparatur Negara. Kemudian, kewajiban untuk memenuhi HAM adalah kewajiban Negara untuk melakukan tindakan-tindakan secara aktif untuk memenuhi penikmatan HAM bagi seluruh warga negaranya. Selain itu, perlu diingat, bahwa seluruh kewajiban Negara terhadap penikmatan HAM tersebut harus dilakukan terhadap seluruh warga negaranya tanpa ada pengecualian atau diskriminasi. 11

Meskipun, secara prinsip, jaminan penikmatan HAM diberikan terhadap seluruh individu tanpa ada pengecualian ataupun diskriminasi, namun pada praktiknya, ada banyak faktor di dalam struktur sosial masyarakat yang membuat seorang individu atau sebuah kelompok memiliki posisi yang lebih diistimewakan (privileged) atau terpinggirkan di dalam penikmatan hak asasi manusia. Menyadari ketimpangan tersebut, Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB mengeluarkan Penjelasan Umum No. 16 yang mengakui bahwa Prinsip-prinsip kesetaraan dan non diskriminasi saja tidak cukup untuk menjamin kesetaraan yang sejati, sehingga, terkadang, dibutuhkan upaya-upaya khusus yang bersifat sementara, untuk membuat kelompok-kelompok yang rentan atau terpinggirkan menjadi setingkat dengan yang lainnya. Dengan kata lain, kelompok rentan adalah salah satu kelompok yang 12 patut mendapatkan perlindungan khusus dari negara agar mereka dapat menikmati hak-hak asasi manusia sama seperti warga negara yang lain.

Dalam konteks kerangka hukum, Indonesia mengakui prinsip non diskriminasi atas dasar apapun di dalam konstitusi UUD 1945, khususnya di dalam Pasal 28I butir (2), yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Pengakuan terhadap prinsip non diskriminasi juga diakui di dalam berbagai 13

OHCHR, What Are Human Rights, dapat diakses di: http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx 9

OHCHR, International Human Rights Law, dapat diakses di: http://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/ 10

InternationalLaw.aspx Loc.cit.

11

Christine Chinkin, The Protection Of Economic, Social And Cultural Rights Post-Conflict, dapat diakses di: http:// 12

www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Protection_ESCR.pdf

UUD 1945, Pasal 28I butir (2), dapat diakses di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/profil/kedudukan/ 13

(5)

peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis, serta undang-undang lainnya, khususnya yang terkait dengan ratifikasi atas instrumen HAM internasional.

Selain itu, Indonesia merupakan Negara yang cukup aktif di dalam meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional, dari 9 instrumen pokok HAM internasional, Indonesia telah meratifikasi 8 instrumen di antaranya, artinya, pemerintah Indonesia terikat secara hukum untuk memenuhi tiga kewajiban utamanya terhadap HAM seperti yang telah dijelaskan di atas.. Meskipun hak-hak kelompok LGBTI tidak diatur secara khusus di dalam 14 instrumen-instrumen HAM yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, namun, setiap individu LGBTI di Indonesia berhak mendapatkan setiap jaminan HAM yang diatur oleh masing-masing instrumen HAM yang telah diratifikasi oleh pemerintah tersebut.

Bahkan, sebagai salah satu kelompok rentan, LGBTI di Indonesia, berhak mendapatkan perlindungan khusus dari Negara di dalam upaya menyetarakan akses dan kesempatan bagi mereka untuk menikmati HAM, namun sayangnya, alih-alih melakukan upaya-upaya khusus untuk melindungi penikmatan HAM bagi kelompok LGBTI, pemerintah Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah, justru menjadi pelaku aktif pelanggaran HAM terhadap kelompok LGBTI. 15

Di dalam Laporan Minoritas, Komnas HAM mengindentifikasi beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTI yaitu, UU No. 16 44/2008 tentang Pornografi yang mengkategorikan praktik homoseksualitas sebagai persenggamaan yang menyimpang. Kemudian UU Perkawinan No. 1/1974 yang hanya 17 mengakui perkawinan antara perempuan dan laki-laki. Aturan perkawinan ini juga 18 berpengaruh pada pengaturan terkait soal pengangkatan anak (adopsi) yang diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 yang mensyaratkan pasangan yang telah menikah selama, minimal, lima tahun dan bukan merupakan pasangan sesama jenis yang diperbolehkan melakukan adopsi. Selain itu, UU Administrasi Kependudukan No. 23/2006 19 juga dianggap diskriminatif karena hanya mengakui 2 gender di dalam kartu tanda penduduk yaitu laki-laki dan perempuan, sehingga kelompok-kelompok dengan identitas yang berada di luar kategori biner gender tersebut, seperti perempuan atau laki-laki transgender, sangat sulit di dalam mengakses identitas hukum/kependudukannya sesuai dengan gender mereka. 20

Dalam hal ini, satu-satunya konvensi yang belum diratifikasi oleh Indonesia adalah Konvensi tentang Perlindungan Bagi 14

Setiap Orang Dari Penghilangan Paksa. Untuk mengetahui instrumen HAM apa saja yang telah diratifikasi oleh Indonesia, silahkan lihat, OHCHR, Ratification Status by Country, dapat diakses di: http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/

TreatyBodyExternal/Treaty.aspx?CountryID=80&Lang=EN Komnas HAM, op.cit, 2016, hlm. 97.

15

Ibid, hlm. 99 16

UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf (a), dapat diakses di: http:// 17

www.tatanusa.co.id/nonkuhp/2008UU44.pdf

UU No. 1 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan, Pasal 1, dapat diakses di: http://hukum.unsrat.ac.id/uu/ 18

uu_1_74.htm

Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007, Pasal 13 butir (e) dan (f). Dapat diakses di: http://www.hukumonline.com/ 19

pusatdata/downloadfile/fl52832/parent/27072.

(6)

Sementara itu, di tingkat kebijakan daerah, berdasarkan laporan yang diterbitkan oleh USAID dan UNDP tentang Hidup Sebagai LGBT di Asia, setidak-tidaknya ada lima peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok LGBT di Indonesia. Dua di antara peraturan 21 daerah tersebut mengkategorikan perilaku homoseksual sebagai perilaku yang tidak bermoral yang sejajar dengan prostitusi, perzinahan, perjudian dan konsumsi alkohol yaitu, Perda Provinsi Sumatera Selatan tentang Pemberantasan Maksiat No. 13/2002 dan Perda Kota Palembang tentang Pemberantasan Pelacuran No. 2/2004. Kemudian, Perda Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, No. 10/2007 tentang Ketertiban Masyarakat yang, selain mengkategorikan perbuatan homoseksual sebagai perbuatan yang tidak normal, juga melarang pembentukan organisasi LGBTI, karena dianggap mengarah kepada perbuatan asusila. Selain itu, ada juga perda yang melarang perzinahan dan pelacuran bagi heteroseksual ataupun homoseksual yaitu Perda Kota Tasikmalaya No. 12/2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Yang Berlandaskan Pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat melarang perzinahan dan pelacuran, baik heteroseksual maupun homoseksual. Yang terakhir adalah Perda Kota Padang No. 9/2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Sosial yang melarang hubungan "homoseksual dan lesbian" serta melarang orang yang "menawarkan diri untuk terlibat dalam hubungan homoseksual maupun lesbian, baik dengan atau tanpa menerima upah. Selain kelima perda tersebut, Provinsi Aceh juga mengeluarkan legislasi yang mengkiriminalisasikan perilaku seksual sesama jenis, bagi gay dan lesbian, melalui Qanun No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Qanun tersebut menetapkan hukuman cambuk maksimal 100 kali bagi laki-laki yang “…memasukkan zakarnya kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak.”, atau bagi “…dua orang wanita atau lebih dengan cara saling menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak.” 22

USAID & UNDP, op.cit, 2013, hlm. 25. 21

Lihat, Qanun Pemerintah Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Pasal 1 ayat (28) dan (29, serta Pasal 22

(7)

I.2. Kerentanan Kelompok LGBTI di Dalam Mengakses

Keadilan.

K

etika berbicara tentang akses terhadap keadilan, maka definisi yang digunakan di dalam laporan ini adalah sebagai berikut:

“…keadaan dan proses di mana negara menjamin terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menjamin akses bagi setiap warga negara agar dapat memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun nonformal.” 23

Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa akses keadilan bukan hanya mencakup ketersediaan berbagai legislasi dan kebijakan publik yang menjamin hak-hak dasar warga negara, namun juga ketersediaan akses yang memadai bagi setiap warga negara untuk mendapatkan layanan dari institusi-institusi publik yang bertugas menyelenggarakan pemenuhan hak-hak tersebut. Selain itu akses terhadap keadilan juga mencakup akses terhadap mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa hak, seperti sistem peradilan atau mediasi, dan juga akses terhadap mekanisme ganti rugi atas setiap hak warga negara yang dilanggar.

Pemerintah Indonesia sendiri tampaknya cukup menyadari signifikansi dari akses terhadap keadilan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, sehingga melalui Kementerian Pembangunan Nasional/Bappenas, pemerintah membangun strategi nasional untuk menguatkan akses terhadap keadilan (SNAK) sejak tahun 2009. Pada bulan Mei 2016 yang lalu, Bappenas kembali meluncurkan SNAK untuk peridode 2016-2019 yang mencakup empat sasaran berikut ini: 24

1. Terpenuhinya akses masyarakat, terutama yang rentan, atau terpinggirkan pada pelayanan dan pemenuhan hak-hak dasar yang tidak diskriminatif, mudah dan terjangkau.

2. Terpenuhinya akses masyarakat terutama yang rentan atau terpinggirkan pada forum penyelesaian sengketa dan konfik yang efektif dan memberikan perlindungan hak asasi manusia;

3. Terpenuhinya akses masyarakat terutama yang rentan atau terpinggirkan pada sistem bantuan hukum yang mudah diakses, berkelanjutan dan terpercaya; dan

4. Terwujudnya penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang berkepastian hukum dan berkeadilan bagi masyarakat.

Sayangnya, di dalam menjabarkan kelompok-kelompok sasaran dari SNAK ini, kelompok LGBTI tidak disebutkan secara khusus, walaupun disebutkan bahwa kelompok masyarakat yang membutuhkan perlindungan khusus seperti, korban kekerasan dan

Defiinisi ini digunakan secara resmi oleh Bappenas. Untuk lebih jelasnya lihat, Kementerian Perencanaan Pembangunan 23

Nasional/BAPPENAS RI, Strategi Nasional Akses Pada Keadilan 2016-2019, 2016, hlm. i. Ibid., hlm. 7

(8)

kelompok minoritas, termasuk di dalam kelompok yang menjadi sasaran utama SNAK , 25 artinya masih ada ruang interpretasi atau ketidakpastian terkait apakah kelompok minoritas yang membutuhkan perlindungan khusus yang dimaksud tersebut juga meliputi kelompok LGBTI atau tidak.

Seperti yang telah berkali-kali disebutkan sebelumnya, kelompok LGBTI di Indonesia sudah sepatutnya menjadi kelompok yang diberikan perlindungan khusus, apalagi di dalam konteks akses terhadap keadilan, karena stigma, diskriminasi dan lemahnya perlindungan hukum terhadap kelompok LGBTI semakin membuat keadilan sulit untuk diakses oleh kelompok ini. Padahal, stigma dan diskriminasi justru adalah salah satu faktor utama yang membuat kelompok LGBTI lebih rentan berkonflik dengan hukum dan bersinggungan dengan institusi keadilan.

Dengan adanya berbagai aturan yang mengkriminalisasi homoseksualitas, maka semakin besar potensi kelompok LGBTI yang ditangkap dan dipidana karena seksualitasnya. Stigma juga membuat kelompok LGBTI menjadi sasaran kejahatan atas dasar kebencian (hate crime) yang menjadikan mereka rentan terhadap kekerasan bahkan pembunuhan. Selain itu, banyak juga individu LGBTI yang, karena dianggap menciptakan aib, diusir dari keluarga sejak usia dini, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka dan harus hidup di jalanan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dikategorikan melanggar hukum atau ketertiban umum seperti, contoh, menjadi pekerja seks. Situasi kelompok LGBTI Indonesia yang sudah sangat rentan berkonflik dengan hukum tersebut semakin diperparah dengan perspektif aparatur penegak hukum yang masih bias dan homophobic, sehingga seringkali di dalam banyak kasus, individu-individu LGBTI justru menjadi korban kekerasan dan pelecehan oleh aparat penegak hukum atau penegak ketertiban umum (Satpol PP).

Di dalam berbagai hasil penelitian, begitu juga di dalam temuan-temuan hasil penelitian yang akan dijabarkan di dalam laporan ini, dapat dilihat bahwa Berbagai pengalaman buruk yang dialami oleh kelompok LGBTI ketika berhadapan dengan hukum pada akhirnya menghilangkan rasa percaya mereka terhadap institusi keadilan dan penegakkan hukum. Akibatnya, ketika mereka mengalami kekerasan atau tindak kejahatan lainnya, mereka lebih memilih untuk diam dan tidak melakukan proses hukum atas peristiwa yang mereka alami.

(9)

1.3. Tentang Laporan Ini.

P

ada bulan Oktober 2015 hingga Februari 2016 yang lalu, Arus Pelangi, bersama dengan jaringan organisasi komunitas LGBTI di 8 (delapan) wilayah Indonesia melakukan penelitian dan pendokumentasian terkait dengan situasi LGBTI di 8 wilayah yaitu, Aceh, Sumatera Utara, Lampung, DKI. Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Kegiatan tersebut berupaya untuk mendokumentasikan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh individu-individu LGBTI di wilayah-wilayah tersebut. Selain itu, Penelitian dan pendokumentasian tersebut juga bertujuan untuk memperbaharui data tentang diskriminasi dan kekerasan yang pernah dikelola dan dipublikasikan oleh Arus Pelangi pada tahun 2013 yang lalu dalam laporan “Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi Pada LGBT di Indonesia.”

Laporan ini dibuat untuk menjabarkan temuan-temuan yang didapatkan oleh Arus Pelangi melalui kegiatan penelitian dan pendokumentasian atas situasi kelompok LGBTI di 8 (delapan) wilayah Indonesia tersebut di atas. Selain dari hasil penelitian dan pendokumentasian tersebut, data kekerasan di dalam laporan ini juga dilengkapi dengan temuan-temuan hasil pemantauan media yang dilakukan oleh Kemitraan, serta Arus Pelangi sepanjang bulan Januari - Maret 2016, periode di mana isu anti LGTI sedang mencuat pasca pernyataan beberapa pejabat publik yang menyudutkan kelompok LGBTI Indonesia.

Tujuan utama dari pembuatan laporan ini adalah sebagai berikut:

5. Untuk menyajikan data yang akurat kepada publik dan pengambil kebijakan tentang berbagai pelanggaran hak yang dialami oleh kelompok LGBTI Indonesia, baik dalam bentuk diskriminasi, intoleransi maupun kekerasan.

6. Untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi yang harus diambil oleh pemerintah baik di tingkat nasional, maupun daerah, untuk memastikan pernghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok LGBTI Indonesia.

7. Untuk memberikan informasi bagi publik luas tentang kondisi kerentanan kelompok LGBTI, yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran, dukungan dan solidaritas publik bagi perjuangan kelompok LGBTI di dalam menuntut persamaan hak dan perlakuan di Indonesia.

(10)

II. penelitian & pendokumentasian di

8 wilayah

P

endataan untuk dokumentasi ini dilakukan pada kurun waktu Oktober 2015 dan Februari 2016 dengan alat bantu kuesioner yang telah disusun sebelumnya. Pengambilan data dilakukan baik lewat wawancara tatap wajah maupun pengisian secara online oleh petugasPpetugas organisasi jaringan Arus Pelangi di delapan propinsi. Pemilihan responden/ pelapor dilakukan secara purposive (yang memenuhi kriteria LGBTI) dan snowball. Perlu dicatat bahwa pengambilan data dilakukan secara sukarela – responden/ pelapor boleh untuk tidak menjawab pertanyaan tertentu jika kurang berkenan.

Tabel 1. Sebaran responden

Secara kesuluruhan, terkumpul 185 kuesioner dari 13 kabupaten/ kota dari delapan propinsi tersebut dengan rincian sebagai berikut:

(11)

II.1. Profil SOGIE

D

i dalam bagian ini akan disajikan profil responden berdasarkan elemen-elemen orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender (SOGIE) mereka. Perlu untuk dicatat bahwa identifikasi SOGIE ini merupakan pertimbangan dari masing-masing responden (self identification process). Di samping itu, akan disajikan pula bagaimana keterlibatan mereka dalam komunitas LGBTI dan sejauh apa mereka melela (coming out) pada lingkungan sekitarnya.

TABEL 1.1. PROFIL SOGIE RESPONDEN

Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu:

1. Secara total, jumlah responden dengan seks biologis laki-laki adalah 120 orang. Ada 20 orang (17%) di antaranya yang menyatakan bahwa identitas gender mereka adalah perempuan, sementara 40 orang (33%) di antaranya menyatakan bahwa identitas gender mereka adalah trans FTM.

2. Dari 56 orang jumlah responden dengan seks biologis perempuan, ada 10 orang (18%) yang menyatakan bahwa identitas gender mereka adalah laki-laki. Sementara, 7 orang

(12)

(12%) di antaranya menyatakan bahwa identitas gender mereka adalah trans FTM. Untuk lebih jelasnya, perhatikan tabel berikut ini yang menggambarkan interseksi antara seks biologis dengan identitas gender para responden.

TABEL 1.1.A. INTERSEKSI SEKS BIOLOGIS DENGAN IDENTITAS GENDER.

3. Terkait dengan ekspresi gender didapatkan juga berbagai variasi yang berbeda dari pola-pola heteronormatif seperti misalnya, dari 120 laki-laki, lebih dari separuh, yaitu sebanyak 62 orang, memiliki ekspresi gender feminin. Begitu pun pada perempuan, dari total 56 orang, hampir separuhnya yaitu 24 orang, justru memiliki ekspresi maskulin. Namun pada kategori trans* FTM, kesemuanya memiliki ekpresi maskulin. Sedikit berbeda dengan kategori trans* MTF, yang walaupun hampir semua memiliki ekspresi feminin, ada juga yang memiliki ekspresi androgini. Silahkan cermati tabel berikut ini untuk melihat interseksi antara seks biologis dengan ekspresi gender.

TABEL 1.1.B. INTERSEKSI SEKS BIOLOGIS DENGAN EKSPRESI GENDER.

(13)

TABEL 1.1.C. INTERSEKSI SEKS BIOLOGIS, IDENTITAS GENDER, EKSPRESI GENDER DAN ORIENTASI SEKSUAL

Hampir secara keseluruhan individu LGBTI yang menjadi responden telah melela (came out), baik di lingkungan komunitas LGBTI, keluarga atau bahkan tempat kerja. Dari keseluruhan responden hanya 4 orang (2%) yang sama sekali belum melela. Berikut ini tabel yang menunjukkan lingkup di mana para responden melela.

(14)

Interaksi dengan komunitas LGBTI di masing-masing wilayah tampaknya merupakan hal yang cukup populer, hal ini terlihat dari temuan lapangan yang menunjukkan bahwa 89% responden melakukan interaksi dengan komunitas LGBTI di wilayahnya, meskipun dengan derajat intensitas keterlibatan yang berbeda-beda, seperti yang digambarkan oleh tabel berikut ini.

TABEL 1.3. KETERLIBATAN DALAM KOMUNITAS LGBTI.

(15)

II.2. Profil Demografi

(16)

Ada beberapa hal yang patut untuk diperhatikan dari data profil demografi tersebut di atas yaitu:

1. Sebagian besar responden (94%) termasuk kedalam kategori usia produktif (angkatan kerja) yang berkisar antara 15-64 tahun, namun tingkat penggangguran di kalangan LGBTI sangat tinggi, yaitu 17%. Angka ini termasuk tinggi karena bila dibandingkan dengan tingkat pengangguran terbuka nasional, maka tingkat pengangguran di kalangan LGBTI hampir tiga kali lipat dari prosentase pengangguran nasional yang hanya 5.8% di tahun 2015. 26

2. Dari tingkat pendidikan terakhir, 80% responden berpendidikan SMA/K ke atas. Tamatan SMA/K keatas (diploma dan sarjana) merupakan kelompok yang sangat potensial mendapatkan pekerjaan permanen. Berdasarkan data Bank Dunia, 80.7% pekerja permanen di sektor formal memiliki pendidikan minimal SMA, namun hanya 24% di 27 kalangan LGBTI yang terserap dalam sektor formal sebagai pegawai/karyawan/buruh. 3. Kemudian, yang cukup memprihatinkan adalah jumlah pendapatan para responden. Dari

data profil demografi di atas, ada 31% di antara responden yang berpenghasilan di bawah 1 juta rupiah perbulannya. Sevagai Artinya, 31% kelompok LGBTI bukan saja hidup di bawah standar pendapatan minimum propinsi (UMP) yang ditetapkan di 8 wilayah penelitian saja, namun juga di bawah UMP terendah di seluruh Indonesia. 28

- Mengurus rumah tangga

- Lainnya (tidak tentu, dibiayai orang tua, dll)

ILO, Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia 2014 - 2015, 2015, hlm.11. Dapat diakses di: http://www.ilo.org/ 26

wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_381565.pdf

Bank Dunia, Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia, 2010, hlm.68. Dapat diakses di: http://datatopics.worldbank.org/ 27

hnp/files/edstats/IDNwp10c.pdf

NTT merupakan propinsi dengan UMP terendah di tahun 2015 dengan jumlah UMP sebesar Rp. 1.250.000 per bulan. 28

(17)

Sebagai gambaran, berikut ini adalah tabel upah minimum tahun 2015 di delapan propinsi yang menjadi wilayah penelitian. 29

TABEL. 1.4. A. UMP DI DELAPAN WILAYAH PENELITIAN.

Penetapan upah minimum, baik di tingkat propinsi ataupun kabupaten/kota, seringkali dikritik tidak sebanding dengan standar biaya hidup yang layak, sehingga untuk hidup di bawah penetapan upah minimum adalah suatu kondisi kehidupan yang sangat memprihatinkan. Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan bahwa standar kebutuhan hidup minimum perbulan di Indonesia adalah Rp. 1.813.396., Dengan mengacu pada 30 standar kebutuhan hidup minimum tersebut, maka bukan saja mereka yang berpendapatan di bawah 1 juta saja yang hidup secara tidak layak, namun sebagian dari kelompok LGBTI yang hidup di antara 1-1.8 juta juga berada di bawah standar kelayakan yang minimum.

Lebih jauh lagi, sebuah survey nasional yang dilakukan pada tahun 2015 menemukan bahwa standar upah layak rata-rata nasional untuk seorang yang belum berkeluarga adalah Rp 2.889.933,7. Dengan menggunakan hasil survey tersebut dapat dikatakan 31 bahwa LGBTI yang hidup dengan penghasilan kurang dari 1 dan yang berpenghasilan 1-2.5 juta pun masih belum dapat memenuhi standar upah minimum yang layak. Dengan kata lain, setidak-tidaknya, 69% kelompok LGBTI hidup di bawah standar hidup yang layak.

Dengan tingkat mayoritas pendapatan yang tidak memenuhi standar kelayakan seperti yang digambarkan di atas, maka hal tersebut menambah lagi lapisan kerentanan bagi kelompok LGBTI, yaitu kerentanan yang ditimbulkan oleh kemiskinan, yang semakin meningkatkan potensi resiko mereka terhadap kekerasan.

NO PROPINSI UMP

Sumber data: Liputan 6, Daftar Lengkap UMP 2015 di Seluruh Indonesia. Dapat diakses di: http://bisnis.liputan6.com/ 29

read/2138489/daftar-lengkap-ump-2015-di-seluruh-indonesia

BPS, Standar Kebutuhan Hidup Minimum dalam Satu Bulan tahun 2015. Dapat diakses di: https://www.bps.go.id/ 30

linkTableDinamis/view/id/1212

Rumah Diah Pitaloka, Survei Pengupahan Nasional Rekomendasikan Kenaikan Upah 2016 Di 7 Kawasan Industri Sebesar 31

(18)

Hubungan antara stigma, diskriminasi, kemiskinan dan kekerasan adalah hubungan yang menyerupai lingkaran setan bagi kelompok LGBTI. Stigma berdasarkan SOGIE terhadap kelompok LGBTI melahirkan berbagai perlakuan dan kebijakan yang diskriminatif yang membuat posisi LGBTI tidak setara dengan kelompok masyarakat lainnya. Ketika suatu kelompok menjadi korban diskriminasi yang sistemik dan meluas, maka kelompok tersebut semakin berpotensi tinggi mengalami kemiskinan. Dalam 32 konteks LGBTI, salah satu diskriminasi yang cukup sistemik terjadi di sektor pekerjaan. Banyak individu LGBTI, khususnya yang memiliki ekspresi atau identitas gender yang berbeda, merasa sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal, sehingga mereka harus bekerja di sektor-sektor informal tanpa ada kepastian kerja dan upah yang sesuai dengan standar minimum pengupahan yang telah ditetapkan pemerintah (UMP/UMK), atau, bekerja sebagai pekerja seks di jalan dengan resiko tinggi mengalami kekerasan dan kejahatan. Ketidakpastian kerja dan penghidupan ini tentu saja menjerumuskan kelompok LGBTI ke dalam kemiskinan yang pada akhirnya semakin meningkatkan lagi kerentanan mereka terhadap kekerasan.

Lihat, The Borgen Project, Human Rights and Poverty – LGBTQIA Rights. Dapat diakses di: http://borgenproject.org/ 32

(19)

II.3. Data Peristiwa Kekerasan & Diskriminasi Berbasis

SOGIE

P

eristiwa yang dilaporkan di sini mencakup keterangan tentang waktu, tempat, bentuk tindakan yang dialami, sample gambaran/deskripsi peristiwa, dan pelaku. Di samping itu akan dipaparkan juga tentang dampak dan penanganan atas peristiwa tersebut.

Perlu diketahui bahwa dari 185 responden, tidak semua memaparkan peristiwa kekerasan yang dialaminya. Ada yang mengaku sulit untuk menggambarkan namun ada juga yang memang merasa tidak mengalami kekerasan yang berarti. Secara keseluruhan ada 14 orang yang tidak memaparkan peristiwa, yang berada di Aceh (2), Sumut (6) dan Sulsel (6). Sehingga peristiwa yang terkumpul berjumlah 171 kasus.

II.3.A. Waktu & Lokasi Terjadinya Peristiwa.

- Waktu Peristiwa.

Sebagian besar responden (56%) menyatakan tidak bisa mengingat waktu persis terjadinya peristiwa. Ada 66 orang yang bisa menunjukkan tahun dan dua orang yang tidak lengkap informasi waktunya (tidak menyebut tahun). 66 kasus yang tercatat tahunnya ini terentang dari 1998 hingga 2016. Tabel berikut menunjukkan terjadinya peristiwa berdasarkan waktunya.

TABEL 2.1. RENTANG WAKTU TERJADINYA PERISTIWA

(20)

- Lokasi Peristiwa.

Peristiwa berlangsung di berbagai tempat yang berbeda, di lebih dari 23 tempat. Sebuah peristiwa dapat terjadi di lebih dari satu tempat.

TABEL 2.2. LOKASI PERISTIWA KEKERASAN/DISKRIMINASI.

(21)

II.3.B. Pengalaman Kekerasan dan Diskriminasi Kelompok LGBTI

-

Bentuk-Bentuk Tindakan Kekerasan dan Diskriminasi.

Secara keseluruhan ada 321 tindakan yang dialami oleh para responden dan tercatat di dalam proses pendokumentasian. Tindakan-tindakan tersebut kemudian diklasifikasikan ke dalam 17 kelompok tindakan seperti yang tampak pada grafik berikut.

TABEL. 2.3. BENTUK-BENTUK TINDAKAN KEKERASAN DAN DISKRIMINASI.

(22)

-

Kategori Pelaku.

Pelaku di sini dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yaitu pelaku yang bertindak sebagai perorangan, pelaku yang bertindak sebagai profesional atau yang memiliki relasi kuasa atas korban namun bukan pejabat publik dan pelaku yang bertindak sebagai pejabat publik. Tabel berikut menampilkan komposisi pelaku berdasarkan pengelompokkan tersebut.

TABEL 2.4. KATEGORI PELAKU.

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar pelaku adalah pelaku perseorangan, yang berlaku pada 150 kasus (81%). Bahkan untuk propinsi Kaltim (satu-satunya), seluruh pelakunya ada dalam kategori ini. Pejabat publik ada di posisi berikutnya dengan jumlah yang jauh lebih sedikit, yaitu pada 8 kasus (7%). Kelompok profesional adalah yang paling sedikit dengan ada pada 8 kasus (4%) di Lampung, DKI, DIY, Sulut dan Sulsel.

Yang termasuk dalam kelompok perorangan ini adalah sebagai berikut:

TABEL 2.4.A. KATEGORI PELAKU PERORANGAN.

(23)

di tempat mereka biasa berkumpul/nongkrong (67peristiwa) dan rumah mereka sendiri (65 peristiwa), maka dapat diduga bahwa dari segi pelaku mayoritas adalah orang-orang terdekat para responden yang menjadi korban kekerasan itu sendiri, seperti yang digambarkan di dalam tabel 2.4.a. tersebut di atas.

Dari tabel tersebut ditemukan bahwa pelaku kekerasan dan diskriminasi yang sama sekali tidak dikenal oleh responden hanya berjumlah 38%, sementara sisanya adalah orang-orang yang mereka kenal dan orang terdekat mereka yaitu orang tua (12%), anggota keluarga (10%), teman (23%), pasangan (6%), anggota kelompok yang mereka kenal (6%) dan orang lain yang mereka kenal (3%).

Secara umum, data yang terkait dengan wilayah dan pelaku kekerasan ini membuktikan bahwa hampir tidak tempat yang aman bagi LGBTI di Indonesia, bahkan rumah dan keluarga yang seharusnya memberikan perlindungan, justru menjadi wilayah yang rentan kekerasan bagi kelompok LGBTI. Selain itu, data ini menunjukkan bahwa aparat negara, yang memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan HAM bagi setiap warga negara, masih menjadi pelaku aktif kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTI, meskipun jumlahnya tidak sebesar pelaku perorangan.

-

Keberadaan dan Dampak Kebijakan Publik yang Diskriminatif.

Di bagian pengantar telah dipaparkan sekilas tentang stigma penyimpangan yang selalu membayangi kelompok LGBTI atas dasar SOGIE mereka. Stigma tersebutlah yang menjadi akar utama berbagai perlakuan yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTI di berbagai lini kehidupan mereka, bahkan terlembagakan di dalam kebijakan dan pelayanan publik.

Pengalaman diskriminasi ini dicoba untuk ditangkap di dalam pertanyaan-pertanyaan kepada responden, namun sayangnya jawaban-jawaban dari responden tidak terlalu menggambarkan situasi diskriminasi di dalam kebijakan dan layanan publik yang sebenarnya cukup masif terhadap kelompok LGBTI.

Dari seluruh responden, 44% di antaranya tidak mengetahui tentang ada atau tidaknya kebijakan diskriminatif terhadap mereka. Responden dari Aceh adalah yang terbanyak yang mengakui adanya kebijakan yang diskriminatif berbasis SOGIE. Respon lengkap terkait dengan hal ini dapat dilihat di dalam tabel berikut ini.

(24)

Para responden dari Aceh memang cenderung lebih mengetahui tentang kebijakan, selain berbagai kebijakan nasional yang diskriminatif, mereka juga menjabarkan berbagai kebijakan diskriminatif di propinsi mereka sendiri seperti Qanun Jinayat, himbauan pemkot tentang jam malam dan Qanun Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Sementara responden di propinsi lain menunjuk kebijakan-kebijakan (lokal maupun nasional) berikut: Pergub No. 23/2014 tentang Penanggulangan HIV Aids (Sumut), UU Anti Pornografi No. 44/2008 (DKI), Perda No. 4 Thn 2010 tentang HIV-AIDS (Sulsel). Sementara responden di DIY menyampaikan tentang aturan pernikahan tanpa mengidentifikasi produk kebijakan secara khusus.

Kemudian, ketika ditanyakan tentang ada atau tidaknya dampak langsung dari berbagai kebijakan yang diskrimintif terhadap kehidupan mereka, mayoritas jawaban para responden menyatakan bahwa mereka tidak terdampak secara langsung oleh kebijakan-kebijakan semacam itu, seperti yang ditunjukkan di dalam tabel berikut ini.

TABEL 2.5.B. ADA ATAU TIDAKNYA DAMPAK LANGSUNG DARI KEBIJAKAN DISKRIMINATIF TERHADAP KEHIDUPAN RESPONDEN.

Di dalam tabel tersebut terlihat bahwa hanya 6% responden yang menjawab ‘Ya’ bahwa kebijakan-kebijakan diskriminatif berdampak langsung terhadap kehidupan mereka. Lagi-lagi, responden dari Aceh yang terbanyak menyatakan bahwa hidup mereka terdampak langsung oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Berikut ini adalah dampak-dampak yang dirasakan para responden yang merasa terdampak oleh kebijakan yang dikriminatif:

-

Sulit berekspresi dan merasa terancam dengan identitas gendernya.

-

Berpotensi ditangkap oleh aparat penertiban shariah (WH), untuk wilayah Aceh.

-

Ruang gerak sangat terbatas karena berpergian semakin beresiko (Aceh).

-

Kebijakan yang menetapkan LGBTI sebagai populasi kunci penyebaran HIV semakin memperkuat stigma sosial sebagai penyebar HIV.

-

Ada pembatasan ruang berekspresi, bahkan situs yang mempromosikan hak-hak LGBT pun ikut diblokir pemerintah.

(25)

kebijakan ketenagakerjaan yang tidak melindungi mereka dari praktik-praktik diskriminasi di sektor pekerjaan, sehingga ketika ditanyakan tentang dampak, banyak di antara mereka yang tidak merasa ada hubungannya antara kebijakan dengan kehidupan keseharian mereka.

-

Diskriminasi di Wilayah Publik.

1. Layanan Administrasi Kependudukan.

Administrasi kependudukan dalam hal ini adalah layanan yang dilberikan oleh pemerintah untuk memfasilitasi penduduk dalam proses penerbitan dokumen-dokumen kependudukan yang mencakup KTP, Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran dan paspor.

Berdasarkan hasil pendokumentasian, sebagian besar responden memiliki dokumen-dokumen kependudukan yang disebutkan di atas. Ada sejumlah 87% responden yang memilki KTP, kemudian KK sebesar 84%, serta akta kelahiran sebesar 76%. Dari seluruh dokumen tersebut, angka kepemilikan paspor adalah yang terendah yaitu 18%.

Sebagian besar responden juga mengaku tidak mengalami penolakan di dalam pembuatan dokumen-dokumen kependudukan tersebut, seperti yang diperlihatkan di dalam tabel berikut ini.

TABEL 2.6.A. PENGURUSAN DOKUMEN KEPENDUDUKAN.

Meskipun mayoritas tidak mengalami penolakan dalam pengurusan dokumen kependudukan, namun sebagian besar kelompok dengan identitas dan eskpresi gender yang dianggap tidak sesuai dengan seks biologisnya seperti yang tertera di akta kelahiran mereka tidak dapat mencantumkan identitas gender yang sebenarnya di dalam KTP atau Paspor.

2.

Layanan Kesehatan.

(26)

TABEL 2.6.B. PENGALAMAN MENGURUS ASURANSI KESEHATAN.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa prosentase responden yang tidak memilki asurasi juga cukup besar. Jika dijumlahkan antara mereka yang tidak memiliki asuransi kesehatan karena belum pernah mencoba mengurus dengan mereka yang tidak mengurus karena tidak tahu informasi terkait proses pengurusan asuransi, maka jumlahnya mencapai 41%. Artinya hampir setengah dari kelompok LGBTI belum memiliki asuransi kesehatan.

Kemudian, terkait dengan layanan medis, sebagian besar responden tidak mengalami adanya diskriminasi di dalam layanan medis yang pernah mereka jalani, seperti yang ditunjukkan di dalam tabel berikut ini.

TABEL 2.6.C. DISKRIMINASI DALAM LAYANAN KESEHATAN.

Ketika ditanya tentang layanan medis yang terkait dengan kesehatan seksualitas dan reproduksi (Kespro), sebagian besar responden, yaitu 48%, mengaku tidak mengalami kesulitan ataupun penolakan. Sementara sisanya, yaitu 44%, mengatakan bahwa mereka tidak pernah menjalani layanan medis serupa.

(27)

Meskipun angka diskriminasi relatif kecil, yaitu 4%, namun berdasarkan ungkapan responden, tercermin bahwa, meskipun secara formal prosedural tidak ada aturan yang membedakan mereka, perlakuan yang berbeda muncul pada saat jajaran medis teresebut menyadari kondisi SOGIE responden dan bereaksi atas hal tersebut lewat layanan dan keputusan yang diberikan selanjutnya.

3. Layanan Pendidikan

Sebagian besar responden (92%) menyatakan tidak mengalami kesulitan dalam mengakses layanan pendidikan, seperti yang tampak pada tabel berikut.

TABEL 2.6.E DISKRIMINASI DI DALAM LAYANAN PENDIDIKAN.

Sementara itu, berdasarkan keterangan dari 3% jumlah responden yang menyatakan mengalami penolakan di dalam mengakses layanan gender, penolakan tersebut dilakukan karena identitas dan ekspresi gender mereka, di mana seorang trans FTM dipaksa untuk mengenakan jilbab dan rok, kemudian ada seorang responden yang ditolak karena dia adalah seorang trans MTF. Berdasarkan keterangan para responden tersebut, institusi pendidikan yang menolak mereka menganggap transgender adalah orang-orang yang mengerikan dan dapat mempengaruhi orang lain.

Meskipun jumlah perlakuan diskriminatif di dalam mengakses layanan pendidikan relatif rendah, namun pengalaman perlakuan diskriminatif dari peserta didik lain terhadap kelompok LGBTI berjumlah cukup besar, 31 orang atau sebesar 17% responden mengaku mengalami perlukan diskriminatif dari peserta didik lainnya atas dasar SOGIE mereka. Hal ini terlihat di dalam tabel berikut.

(28)

Berdasarkan keterangan dari para responden yang mengalami perlakuan yang berbeda dari peserta didik lainnya, kebanyakan tindakan diskriminatif yang mereka alami berupa intimidasi (bullying) mulai dari ejekan terhadap identitas dan ekspresi gender mereka seperti dipanggil ‘banci’ atau ‘bencong’, ada juga yang merasa tidak diluluskan dalam suatu mata kuliah karena dibenci oleh dosennya.

Perilaku yang diskriminatif di sektor pendidikan, baik dari pihak pengelola institusi pendidikan, pengajar hingga peserta didik lainnya terhadap kelompok LGBTI seringkali menjadi salah satu faktor utama yang membuat kelompok ini tidak diterima dan kehilangan semangat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga angka putus sekolah di kalangan LGBTI menjadi tinggi.

4. Akses Terhadap Pekerjaan

Terkait dengan akses terhadap pekerjaan, para responden diberikan beberapa pertanyaan seperti, apakah mereka pernah merasa ditolak untuk bekerja karena SOGIE mereka?; dan apakah pernah merasa diperlakukan berbeda dari pekerja lainnya? Jawaban para responden terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut disajikan di dalam dua tabel berikut ini.

2.6.F. DISKRIMINASI DALAM MENGAKSES PEKERJAAN.

2.6.G. PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI TEMPAT KERJA

Perlu dicatat, meskipun data menunjukkan bahwa penolakan bekerja bagi kelompok LGBTI tampak relatif rendah yaitu 7%, namun banyak di antara mereka yang menjawab ‘Tidak’ lebih dikarenakan karena mereka tidak mengetahui atau diberitahu secara resmi alasan penolakan dari calon tempat bekerja mereka sebelumnya,

(29)

betapa sektor formal belum dapat diakses secara memadai oleh kelompok LGBTI. Kemudian, angka pengangguran di kalangan LGBTI juga cukup tinggi, yaitu 17%, angka ini mencapai 3 kali lipat dari angka tingkat pengangguran nasional yang hanya 5.8%. Dengan kata lain, kelompok LGBTI berpotensi tiga kali lipat menjadi penggangguran di bandingkan angkatan kerja lainnya.

5.

Akses Terhadap Tempat Tinggal.

Tabel berikut menunjukkan angka penolakan atau pengusiran dari tempat tinggal. Sebagian besar responden, yaitu 73%, menyatakan bahwa mereka tidak sampai mengalami penolakan atau pengusiran. Walaupun ada juga yang mengalaminya, yaitu 12 orang di wilayah Aceh, Sumut, DKI, DIY, Kaltim dan Sulsel.

TABEL. 2.6.I. DISKRIMINASI DALAM AKSES TERHADAP TEMPAT TINGGAL.

Pengusiran yang dialami oleh kelompok LGBTI bukan saja pengursiran oleh keluarga, namun juga oleh lingkungan tempat tinggal di mana mereka mengontrak atau kost. Para responden trans MTF mengungkapkan bahwa sulit mencari kontrakan yang mau menerima waria karena dinilai membawa sial. Kemudian bagi yang bekerja sebagai pekerja seks, mereka juga mengalami pengusiran karena sering membawa pengguna jasa mereka ke tempat tinggal mereka.

6. Akses Terhadap Fasilitas Umum

Sebagian besar responden, yaitu 72%, menyatakan tidak mengalami hambatan, penolakan, ataupun perlakuan berbeda ketika menggunakan fasilitas umum, sementara 10% di antaranya pernah mengalami, seperti yang tampak pada tabel berikut.

(30)

Tempat-tempat umum di mana diskriminasi terjadi mencakup taman, toko pakaian, kafe hingga hotel. Seorang responden melaporkan bahwa dirinya pernah dipaksa mengenakan jilbab untuk diperbolehkan masuk ke sebuah kafe, beberapa responden melaporkan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan mulai dari tatapan sinis hingga “diteriaki lesbi.”

Tempat-tempat umum juga merupakan tempat yang tidak aman bagi sebagian kelompok LGBTI, sejumlah responden mengakui pernah mengalami tindak kekerasan di tempat umum, seperti yang digambarkan di tabel berikut ini.

TABEL 2.4.K. KEKERASAN DI TEMPAT UMUM.

Sebagian dari responden yang melaporkan kekerasan yang dialami di tempat umum dilakukan oleh aparat keaman atau ketertiban terkait dengan razia. Ada juga yang melaporkan mengalami razia yang dilakukan oleh Satpol PP yang melibatkan kelompok intoleran di dalam razianya. Seorang responden mengalami pengeroyokan yang dilakukan oleh 11 orang sekaligus. Selain itu, pemerasan/pemalakan oleh preman juga menjadi persoalan yang dialami oleh kelompok LGBTI yang “mangkal” di tempat-tempat umum.

Seperti yang telah disinggung di bagian sebelumnya, bagi kelompok LGBTI, khususnya kelompok transgender, akses terhadap pekerjaan sangatlah terbatas akibat stigma dan diskriminasi terhadap identitas dan eskpresi gender mereka yang dianggap berbeda oleh masyarakat umum. Kondisi ini membuat banyak kelompok transgender, terutama MTF, yang memilih untuk bekerja di sektor jasa seks untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, kekerasan di tempat umum bukan saja merupakan kekhawatiran, namun juga ancaman serius bagi penghidupan kelompok transgender yang bekerja sebagai pekerja seks, yang banyak menggunakan tempat-tempat umum sebagai wilayah kerja mereka atau biasa juga disebut tempat mangkal. Preman dan Satpol PP merupakan pihak-pihak yang sering menjadi pelaku kekerasan dan pemalakkan terhadap para pekerja seks dari kelompok LGBTI.

(31)

-

Kekerasan Di Wilayah Privat.

Di dalam bagian tentang pelaku dan wilayah kekerasan terhadap kelompok LGBTI telah dipaparkan bahwa sebagian besar dari pelaku kekerasan terhadap individu LGBTI adalah keluarga, pasangan. teman dan orang-orang yang dikenal, yaitu 59% dari total jumlah pelaku.

Stigma yang melekat pada individu LGBTI sebagai orang yang “sakit” atau “menyimpang” memberikan tekanan tersendiri bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan SOGIE yang berbeda. Hampir seluruh responden mengidentifikasi dirinya sebagai penganut agama, seperti yang terlihat di dalam diagram berikut ini.

Dari grafik tersebut terlihat bahwa sebagian besar dari responden mengidentifikasi dirinya sebagai Muslim (75%), kemudian diikuti dengan Protestan (17%), dan Katolik (5%). Di Indonesia, umumnya keagamaan seseorang ditentukan oleh keluarga sejak lahir, sehingga sangat memungkinkan bahwa sebagian besar keluarga para responden menganut agama yang sama dengan responden, dengan kata lain, mayoritas keluarga responden menganut agama-agama peninggalan Nabi Ibrahim, atau yang dikenal dengan agama-agama samawi, di mana orientasi seksual yang bukan heteroseksual dianggap sebagai dosa. Keyakinan agama dan pandangan masyarakat yang merendahkan terhadap SOGIE yang berbeda membuat keberadaan anggota keluarga yang LGBTI seringkali dianggap sebagai “aib” bagi seluruh keluarga.

(32)

Ketika ditanya tentang pengalaman pemaksaan oleh keluarga untuk menjalani proses ‘penyembuhan’ tertentu yang dianggap bisa mengubah SOGIE, sejumlah 21% responden menjawab pernah mengalami hal tersebut, seperti yang digambarkan dalam tabel berikut.

TABEL 2.7.A. UPAYA KOREKTIF DARI KELUARGA.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh kelurga untuk “menyembuhkan” responden beraneka ragam, mulai dari melarang responden mengenakan pakaian perempuan, menjalani hypnotherapy, dirukiyah dan didoakan agar tidak menjadi lesbian lagi, hingga dipaksa kawin. Selain itu ada juga sebagian responden, sejumlah 10%, yang akhirnya tidak diakui lagi sebagai anggota keluarga karena SOGIE mereka yang berbeda.

Selain keluarga, kekerasan dari pasangan, baik secara fisik ataupun menta, juga dialami oleh 16% dari responden, seperti yang terlihat di dalam tabel berikut ini.

TABEL 2.7.B. KEKERASAN OLEH PASANGAN.

Umumnya kekerasan oleh pasangan di kalangan LGBTI yang dilaporkan oleh para responden dipicu oleh rasa cemburu dan frustasi pada situasi, bahkan ada juga yang sampai mengalami depresi karena tidak dapat menikah dengan pasangannya.

(33)

TABEL 2.7.C. TEKANAN DARI

TEMAN DAN LINGKUNGAN

SOSIAL.

Selain lingkungan sosial terdekat, tekanan dan intimidasi juga dialami oleh kelompok LGBTI di dunia (online). Tabel berikut menunjukkan tentang ujaran kebencian yang diterima baik dalam kehidupan sosial, media dan maupun internet. Sebagian besar responden (65%) menyatakan tidak menerima ujaran kebencian semacam itu. Sementara 19% atau 36 orang dari Aceh, Sumut, DKI, DIY dan Sulut mengalaminya.

TABEL 2.7.D. UJARAN KEBENCIAN DI INTERNET

Menurut para responden yang mengalami pelecehan dalam bentuk ujaran kebencian di internet, ucapan-ucapan seperti “banci”, “menyimpang”, ataupun “penghuni neraka” adalah ujaran-ujaran kebencian yang sering mereka terima di dalam media sosial mereka.

(34)

-

Tindak Lanjut atas kekerasan yang dialami.

Berdasarkan keterangan responden yang menjadi korban kekerasan dan/atau diskriminasi, hanya 15 orang yang melaporkannya ke polisi. Para pelapor tersebut mendapatkan reaksi berbeda dari polisi sebagaimana yang disampakan korban. Ada polisi yang cukup kooperatif dan mendukung (4), namun ada juga yang meremehkan dan mengejek (6), dan mengabaikan (2). Sejauh ini tidak ada kasus yang masuk sampai pengadilan.

Pada kasus selebihnya, korban memilih untuk tidak melapor pada polisi. Alasan yang sering disampaikan antara lain adalah tidak percaya pada polisi, khawatir rumit, tidak mau megadukan orangtua sendiri dan juga tidak tahi prosedurnya. Berikut adalah alasan selengkapnya.

Keterangan tersebut di atas menunjukkan fakta bahwa keadilan masih sangat sulit untk diakses bagi kelompok LGBTI. Seperti yang dijelaskan di bagian awal laporan ini, salah satu tujuan terpenting dari akses terhadap keadilan adalah memastikan bahwa setiap orang yang terlanggar haknya bisa mengandalkan insitusi-instusi keadilan yang tersedia, seperti polisi, jaksa, pengadilan atau mekanisme penyelesaian di luar pengadilan lainnya yang tersedia, untuk dapat memulihkan haknya yang terlanggar tersebut. Pemulihan hak yang dimaksud dapat mencakup penggantian kerugian sampai penghukuman atas pelaku yang melanggar hak si korban tersebut.

Secara umum, akses keadilan di Indonesia memang masih buruk. Peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, aparat penegak hukum yang tidak profesional hingga sistem peradilan yang masih korup merupakan persoalan-persoalan terbesar yang dihadapi oleh sistem keadilan di Indonesia. Namun, dalam kaitannya dengan kelompok LGBTI, persoalan 33 stigma semakin mempersulit kelompok ini di dalam mengakses keadilan bagi diri mereka. Sikap penegak hukum yang masih merendahkan terhadap kebutuhan keadilan kelompok LGBTI menjadi faktor terbesar dari keengganan mereka untuk menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada diri mereka ke dalam proses hukum.

Selain itu, perlakuan yang diskriminatif di sektor keadilan juga terlihat dari tingkat penindaklanjutan kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok LGBTI yang dilaporkan kepada pihak kepolisian, dari keterangan para responden yang melaporkan kasusnya,100% kasus mereka tidak pernah sampai di pengadilan, selalu berhenti di tengah jalan tanpa keterangan yang jelas.

The World Justice Project (WJP) memberikan skor yang sangat rendah bagi sistem peradilan pidana Indonesia (0.37)

33

(35)

III. Pemantauan Khusus

S

elain kegiatan penelitian dan pendokumentasian yang dilakukan melalui metode survey di delapan wilayah seperti yang telah dipaparkan di dalam bagian sebelumnya, Arus Pelangi juga melakukan pemantauan khusus terhadap situasi LGBTI sepanjang bulan Januari hingga Maret 2016. Pemantauan khusus tersebut dilakukan akibat adanya kegentingan khusus terhadap situasi LGBTI di Indonesia di mana isu penolakan terhadap kelompok LGBTI secara drastis bereskalasi dengan tinggi. Pemantauan khusus tersebut dilakukan melalui berbagai jalur, mulai dari pengaduan organisasi dan individu hingga pemantauan media massa online, cetak serta media daring.

Selain Arus Pelangi, Kemitraan, sebuah organisasi yang bermitra dengan Arus Pelangi dan berfokus pada isu demokratisasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, juga melakukan pemantauan khusus yang terkait dengan pemberitaan tentang isu LGBTI di media-media nasional akibat pernyataan para pejabat tersebut.

Eskalasi sikap penolakan terhadap kelompok LGBTI tersebut berawal dari polemik terhadap keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia (UI), yang memberikan layanan pendampingan dan konseling psikologis bagi kelompok LGBTI. Polemik tersebut kemudian diperburuk dengan pernyataan-pernyataan yang diskriminatif dan menyudutkan terhadap kelompok LGBTI dari beberapa pejabat tinggi publik Indonesia seperti Menteri Pendidikan Kebudayaan, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek) dan beberapa anggota DPR, yang menganggap LGBTI sebagai perilaku yang menyimpang dan harus dilarang dari institusi pendidikan. 34

Pernyataan-pernyataan diskriminatif para pejabat tersebut disampaikan kepada publik menjelang akhir bulan Januari 2016, sejak saat itu isu LGBTI marak diliput oleh berbagai media baik di tingkat nasional maupun media lokal. Dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh Kemitraan sepanjang bulan Januari-Februari 2016, pemberitaan media tentang LGBTI melonjak berkali-kali lipat jauh melebihi liputan-liputan terhadap kelompok ini sepanjang tahun 2014 dan 2015. 35

Untuk melihat hasil pantauan media yang dilakukan oleh Kemitraan, silahkan lihat grafik pemberitaan tentang kelompok LGBTI berikut ini.

GRAFIK 1. PEMBERITAAN ISU LGBTI DI MEDIA NASIONAL.

Arus Pelangi, Pernyataan Sikap Bersama Terkait Pernyataan Publik di Media yang Diskriminatif terhadap LGBTIQ,

34

2016. Dapat diakses di: http://aruspelangi.org/siaran-pers/pernyataan-sikap-bersama-terkait-pernyataan-pejabat-publik-di-media-yang-diskriminatif-terhadap-lgbtiq/

Kemitraan, LGBTI Media Coverage and Community Media Mapping, (belum diterbitkan), hlm. 3.

(36)

Dari grafik tersebut terlihat bahwa, selain jumlah pemberitaan yang melonjak tinggi dari media, liputan-liputan tersebut juga sebagian besar mengambil sudut pandang yang beroposisi terhadap kelompok LGBTI di Indonesia.

Lonjakan liputan tentang LGBTI yang serupa terjadi juga di beberapa media lokal di berbagai wilayah Indonesia. Seperti yang terlihat di dalam grafik berikut ini.

GRAFIK 2. PEMBERITAAN ISU LGBTI DI MEDIA LOKAL.

Aceh merupakan propinsi dengan pemberitaan media lokal tertinggi di antara 8 propinsi yang dipantau oleh Kemitraan. Seperti juga yang terjadi di media nasional, perspektif yang 36 diambil oleh banyak media lokal juga mayoritas beroposisi dengan kelompok LGBTI. Argumen-argumen yang disampaikan oleh pihak yang beroposisi terhadap LGBTI adalah bahwa kelompok LGBTI merupakan orang-orang yang melawan agama, menyimpang, bahkan merupakan kelompok berbahaya.37

Arus Pelangi, melalui pemantauan medianya, menemukan bahwa sejak dikeluarkannya pernyataan para pejabat dan pesatnya pemberitaan yang diskriminatif tentang kelompok LGBTI, tingkat kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTI pun meningkat. Arus Pelangi mencatat bahwa, setidak-tidaknya, ada 142 kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBTI dalam berbagai bentuk, mulai dari kekerasan verbal dalam bentuk ujaran kebencian, pengusiran, hingga penyerangan, seperti yang tergambar di dalam grafik berikut ini.

GRAFIK 3. PROSENTASE KEKERASAN DAN DISKRIMINASI JANUARI-MARET 2016.

Ibid., hlm. 6.

36

Ibid., hlm. 7.

(37)

Berdasarkan kategori pelaku, hasil pemantauan menunjukkan bahwa pelaku kekerasan dan diskriminasi tertinggi terhadap kelompok LGBTI adalah aparat negara (27%), ormas (27%) dan media (22%) seperti yang ditunjukkan dalam grafik berikut ini.

GRAFIK 4. KATEGORI PELAKU KEKERASAN DAN DISKRIMINASI JANUARI-MARET 2016.

Angka keterlibatan aparatur negara yang terlibat aktif di dalam melakukan pelanggaran hak dalam periode Januari-Maret 2016 jauh melebihi angka keterlibatan aparatur negara yang ditemukan di dalam pendokumentasian di 8 wilayah yang hanya sejumlah 7%.

Peningkatan keterlibatan aparatur negara di dalam melakukan kekerasan dan diskriminasi terhadap LGBTI tersebut diduga erat kaitannya dengan sikap para pejabat tinggi nasional yang secara terang-terangan menentang keberadaan kelompok LGBTI, sikap ini dapat dimaknai sebagai bentuk “restu” atau bahkan “perintah” bagi aparatur-aparatur negara di bawahnya, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk bertindak keras terhadap kelompok LGBTI.

(38)
(39)

IV. Kesimpulan & Rekomendasi

B

erbagai temuan yang telah dipaparkan di dalam laporan ini kurang lebih dapat menggambarkan bagaimana situasi umum kelompok LGBTI di Indonesia. Absennya pengakuan dan jaminan perlindungan hukum yang secara tegas melindungi kelompok LGBTI, posisi sebagai minoritas dan stigma yang selalu dilabelkan kepada kelompok ini atas dasar orientasi seksual, identitas dan ekspresi gendernya (SOGIE), semakin membuat kelompok LGBTI semakin rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, pelanggaran HAM dan pelanggaran-pelanggaran hak lainnya sebagai warga negara. Berikut ini beberapa hal yang menjadi kesimpulan utama dari laporan ini:

1. Meskipun telah menjadi Negara Pihak di dalam berbagai perjanjian internasional HAM, namun Pemerintah Indonesia telah gagal menjalankan kewajibannya untuk memastikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi kelompok LGBTI. Lebih buruk lagi, pemerintah bahkan menjadi salah satu aktor yang secara aktif melakukan pelanggaran HAM terhadap LGBTI, mulai dari menyerukan kebencian dan bias, hingga mengadopsi kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap LGBTI.

2. Tidak adanya pengakuan terhadap kelompok LGBTI sebagai kelompok rentan yang berhak mendapatkan perlindungan khusus telah melanggengkan diskriminasi dan kekerasan yang sistematis dan terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan dan dibiarkan secara sistematis dan meluas tersebut telah menghambat penikmatan HAM bagi kelompok LGBTI di segala aspek kehidupannya.

3. Di dalam aspek hukum dan kebijakan, selain tidak mendapatkan pengakuan sebagai

kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan khusus dari tindakan diskriminatif dan stigma, LGBTI juga rentan berkonflik dengan hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa daerah yang memiliki peraturan daerah yang diskriminatif bahkan mengkriminalisasi LGBTI.

4. Di dalam aspek keamanan, stigma dan diskriminasi telah membuat kelompok LGBTI

rentan terhadap kekerasan. Dari temuan-temuan di delapan wilayah, sejumlah 56% LGBTI pernah mengalami kekerasan terhadap tubuh dan harta bendanya. Tindak kekerasan tersebut meliputi penganiayaan, percobaan pembunuhan, penyerangan seksual dan pemerkosaan, pengejaran, perampasan kemerdekaan, serta penghacuran harta dan benda. Kekerasan terhadap LGBTI terjadi di mana-mana, baik di tempat umum, di sekolah, maupun di dalam rumah (keluarga), sehingga LGBTI hampir tidak memiliki ruang yang aman bagi diri mereka untuk menjadi diri sendiri.

(40)

dan serabutan. Selain itu, angka pengangguran di kalangan LGBTI juga tinggi. Tercatat ada 17% LGBTI yang tidak memiliki pekerjaan/menganggur, angka ini hampir tiga kali lipat dari prosentase tingkat pengangguran terbuka nasional yaitu 5.8%. Dengan kata lain, menjadi LGBTI di Indonesia berpotensi tiga kali lipat terancam menganggur dibandingkan dengan warga negara yang lain.

6. Di dalam aspek kelayakan hidup, stigma dan diskriminasi yang menghambat

kelompok LGBTI untuk mengakses pekerjaan dengan standar upah yang minimum, secara otomatis juga mempengaruhi kemampuan LGBTI di dalam mengakses standar kehidupan layak. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa 38% LGBTI hidup dengan pendapatan 1-2,5 juta perbulan, sementara 31% LGBTI masih hidup dengan pendapatan di bawah 1 juta perbulan. Sementara itu, standar kebutuhan hidup minimum nasional adalah Rp. 1.813.396., dengan demikian, setidak-tidaknya 31% LGBTI yang berpendapatan di bawah 1 juta rupiah dan sebagian dari 38% LGBTI yang berpendapatan di bawah Rp. 1.813.396., perbulan terancam tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup minimum setiap bulannya.

7. Di dalam aspek kesehatan, sejumlah 41% kelompok LGBTI tidak memiliki asuransi

kesehatan baik dalam bentuk BPJS ataupun asuransi kesehatan lainnya. Hal ini sangat mengkahwatirkan, mengingat cukup besarnya jumlah LGBTI yang hidup di bawah standar minimum kelayakan hidup, yang artinya lebih rentan juga terkena penyakit yang terkait dengan kemisikinan (poverty related diseases), seperti TBC, infeksi paru-paru, malnutrisi dan penyakit-penyakit tropis. Bagi kelompok LGBTI yang bekerja sebagai pekerja seks, resiko terkena penyakit seksual menular juga cukup tinggi. Dengan besarnya resiko kesehatan kelompok LGBTI, belum lagi yang terkait dengan resiko cidera yang potensial timbul akibat kekerasan, maka asuransi kesehatan sangatlah penting bagi kelompok LGBTI, sayangnya masih banyak di antara LGBTI yang merasa enggan untuk mengurus asuransi kesehatan karena takut mendapatkan diskriminasi di dalam pelayanannya.

8. Di dalam aspek pendidikan, stigma terhadap kelompok LGBTI membuat mereka

rentan terhadap intimidasi (bullying) di sekolah atau kampus. Setidaknya, sejumlah 17% LGBTI mengalami bullying, kebanyakan dalam bentuk pelecehan verbal, seperti diejek sebagai “banci” atau “bencong”. Sebagian dari kelompok LGBTI merasa bullying yang mereka alami membuat mereka kehilangan semangat untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga angka putus sekolah di kalangan LGBTI menjadi tinggi.

9. Di dalam aspek keadilan, tidak adanya pengakuan hak dan jaminan perlindungan

(41)

kasusnya kepada polisi, menyatakan bahwa tidak satupun dari kasus mereka yang dilanjutkan hingga ke tingkat pengadilan.

10. Media yang seharusnya berperan memajukan demokrasi dan mengutamakan akuntabilitas di dalam menjalankan tugas-tugasnya justru menjadi salah satu katalisator pelanggengan stigma dan bias terhadap kelompok LGBTI. Dari hasil pemantauan yang dilakukan sepanjang bulan Januari-Ferbruari, pemberitaan yang menyudutkan dan bias terhadap LGBTI telah memperkuat stigma dan bahkan menimbulkan berbagai aksi kekerasan terhadap LGBTI di berbagai wilayah di Indonesia.

Atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, maka kami merekomendasikan Negara untuk segera melakukan reformasi di bidang legislasi, kebijakan dan program di tingkat nasional maupun daerah untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap LGBTI dan memastikan kesempatan yang sama bagi kelompok LGBTI untuk dapat menikmati hak asasi manusianya seperti warga negara yang lain. Untuk itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah berikut ini:

1. Menetapkan kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian atas dasar SOGIE, seperti homophobia dan transphobia, sebagai faktor pemberat pidana bagi setiap pelaku kekerasan/kejahatan terhadap LGBTI atas dasar kebencian terhadap SOGIE mereka.

2. Mencabut segala peraturan perundang-undangan, kebijakan ataupun peraturan-peraturan lainnya baik yang diterbitkan oleh pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, yang mendiskriminasi ataupun mengkriminalisisasi atau berpotensi menjerat LGBTI secara hukum atas dasar orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender mereka.

3. Melakukan penyelidikan dan penyidikan yang menyeluruh dan cepat atas peristiwa-peristiwa kekerasan yang dimotivasi kebencian terhadap LGBTI, menghukum pelakunya dan memberikan ganti rugi dan pemulihan yang memadai bagi para korbannya.

4. Memberikan pelatihan yang efektif bagi seluruh aparatur penegak hukum, termasuk hakim, dengan pendekatan yang sensitif gender untuk memahami persoalan-persoalan terkait dengan orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender. Pemerintah juga harus memastikan bahwa polisi dan petugas kemasyarakatan atau rumah-rumah penahanan, baik yang berada di lingkup peradilan pidana ataupun yang berada di bawah dinas-dinas sosial, dll, untuk melindungi keamanan LGBTI yang menjadi tahananan di dalamnya.

5. Membangun standar nasional tentang prinsip menentang diskriminasi di dalam kurikulum pendidikan, menyusun dan menjalankan program-program anti bullying dan menyelenggarakan pendidikan seksual yang disesuaikan dengan usia peserta didik.

(42)

Gambar

Tabel 1. Sebaran responden
TABEL 1.1. PROFIL SOGIE RESPONDEN
TABEL 1.1.A. INTERSEKSI SEKS BIOLOGIS DENGAN IDENTITAS GENDER.
TABEL 1.2. TABEL KADAR COMING OUT.
+7

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan

pembuangan dan itu mengakibatkan dampak bagi lingkungan di sekitar tetapi sekarang banyak ditemukan cara atau solusi untuk menangani dampak-dampak yang dihasilkan oleh limbah,

Antena Yagi ini bisa digunakan untuk semua jenis Modem Usb Wireless dan Hp , baik yang memiliki Slot Antena maupun tidak.. Antena ini juga terbukti bisa menguatkan semua

1 Hosyatul Aliyah, PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA.. Jakarta: JURNAL

Perubahan fisis merupakan perubahan materi yang tidak disertai zat baru, tidak berubah zat asalnya, hanya terjadi perubahan wujud, perubahan bentuk atau

Hukum thermodinamika ke-nol menyatakan bahwa apabila dua buah benda masing-masing berada dalam keadaan kesetimbangan thermal dengan benda yang ketiga, maka kedua benda ini berada

Maka akan membuka kesempatan bagi attacker untuk melakukan serangan terhadap server utama terhadap port 22, tidak akan jadi masalah jika attacker melakukan serangan

Peran dari fungsi pengawasan untuk mengawal berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memenuhi prinsip tata kelola