• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PERSIAPAN PENGEMBANGAN RANTAI PASOK SAYURAN ORGANIK BERNILAI TAMBAH TINGGI BERBASIS PETANI DI KECAMATAN PANGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PERSIAPAN PENGEMBANGAN RANTAI PASOK SAYURAN ORGANIK BERNILAI TAMBAH TINGGI BERBASIS PETANI DI KECAMATAN PANGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PERSIAPAN PENGEMBANGAN RANTAI PASOK SAYURAN ORGANIK BERNILAI TAMBAH TINGGI BERBASIS

PETANI DI KECAMATAN PANGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG

SITI KIPDIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)

STRATEGI PERSIAPAN PENGEMBANGAN RANTAI PASOK SAYURAN ORGANIK BERNILAI TAMBAH TINGGI BERBASIS

PETANI DI KECAMATAN PANGALENGAN, KABUPATEN BANDUNG

SITI KIPDIYAH

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar pada Magister Profesional

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(3)

Judul Tugas Akhir : Strategi Persiapan Pengembangan Rantai Pasok Sayuran Organik Bernilai Tambah Tinggi

Berbasis Petani di Kecamatan Pangalengan,

Kabupaten Bandung

Nama Mahasiswa : Siti Kipdiyah

Nomor Pokok : P054110225

Program Studi : Industri Kecil Menengah

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA Dr. Ir. Budi Suharjo, MS

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Industri Kecil Menengah

(4)
(5)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam Tugas Akhir saya yang berjudul :

“Strategi Persiapan Pengembangan Rantai Pasok Sayuran Organik Bernilai

Tambah Tinggi Berbasis Petani di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung”

merupakan gagasan atau hasil penelitian Tugas Akhir saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tugas Akhir ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2013

Siti Kipdiyah P054110225

(6)

ABSTRACT

SITI KIPDIYAH. Preparation of Supply Chain Strategy Development Based on Farmer within High Value of Organic Vegetables in Pangalengan Sub-district, Bandung. Supervised by H. Musa Hubeis as Committee Chairman, and Budi Suharjo as Member.

Healthy lifesyle with the slogan “Back to Nature” has become a new trend of the society. Directorate of Processing and Marketing, Ministry of Agriculture in Indonesia has initiated the program "Go Organic 2010" to improve the quality of life and the natural environment of Indonesia and to encourage the development of organic farming and sustainable competitiveness. Supply Chain Management (SCM) has represented overall management of agricultural activities which involved of processing, distribution, marketing, until the desired product to consumer. Stages of study included: (1) Identify the characteristics of the vegetables, the supply chain actors, and descriptive analysis of the environmental conditions in Pangalengan; (2) Identify internal and external factors; (3) The formulation of the strategy with the matrix Strengths, Weakneses, Opportunities, Threats (SWOT); (4) Selection of priority strategy. The data was collected through purposive sampling technique which involving 10 respondents and 3 experts. The data used was primary and secondary data by direct interviews, questionnaires and literature study. Selection of strategic alternatives conducted using Analytical Hierarchy Process (AHP) with Expert Choice of AHP software. The result showed that the supply chain actors of vegetables in Pangalengan were seed suppliers, farmers, traders/collectors, the company, the seller/exporter, foreign markets, traditional market and retail/supermarket. Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) analysis showed that the average total score of IFE and EFE were 2.260 and 2.790. The score represented that the ability of the farmer in utilized the strengths and the opportunities then in covered the weaknesses and the threats were on the average. The study showed that the safety of vegetables to consumer (score 0.336) was the main strength and the main weakness organic farming in Pangalengan was limited of financial (score 0.127). Futhermore, supporting of government was the major opportunity (score 0.127) and the major threat was uncertain of climate and weather which affected in production (score 0.144). Based on the formulation of strategic, the study obtained 7 (seven) strategy. The first and the second priority strategic related of the marketing, were expanding market/distribution to bussines partnerships (score 0.205) and researching of development in the organic vegetable‟s market (score 0.180). The third alternative strategic was supporting of government (score 0.157) which retaled to supervision strategy. Moreover, the fourth and the fifth alternatives related to strategy of financial, were monitoring and overseeing prices (0.156) then strengthening of financial aspects (score 0.114). The sixth and the seventh alternatives related to production management strategy, were planning a better farming (0.107) and improving the quality, quantity and continuity of production (score 0.081).

(7)

RINGKASAN

SITI KIPDIYAH. Strategi Persiapan Pengembangan Rantai Pasok Sayuran

Organik Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Petani di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Di bawah bimbingan H. Musa Hubeis

sebagai Ketua dan Budi Suharjo sebagai Anggota.

Keamanan pangan dan produk pangan yang segar dan alami menjadi tuntutan konsumen, sehingga mendorong gaya hidup sehat dengan tema global “Kembali ke Alam” (Back to Nature). Gaya hidup sehat yang menjadi trend baru konsumen, yaitu orang makin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia non-alami, seperti pupuk dan pestisida kimia sintesis, serta hormon tumbuh, dalam produksi pertanian nyata menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Berdasarkan pandangan itu, di seluruh dunia saat ini marak terjadi kecenderungan memilih bahan-bahan pangan organik. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian di Indonesia telah memprakarsai program “Go Organic 2010“ untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan.

Adanya kebijakan pemerintah mengenai program “Go Organic 2010” tersebut maka sudah sewajarnya, jika pertanian di Indonesia mulai melirik adanya tanaman pangan organik. Hal ini merupakan peluang bagi para petani di Indonesia, khususnya daerah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung sebagai salah satu daerah sentra produksi sayuran untuk mengubah pola budidaya konvensional ke pertanian organik yang bermutu guna meningkatkan pendapatan dan memenuhi peluang pasar nasional, maupun internasional yang memerlukan perubahan sistem produksi dan kelembagaan rantai pasokannya. Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem ketahanan pangan adalah mendesain sistem industrialisasi pertanian pangan yang mampu menghasilkan produk pangan dengan nilai tambah tinggi bagi petani, menjamin kelancaran pasokan pangan, terkendali tingginya mutu dan terjaminnya keamanan produk pangan serta terjangkaunya harga produk pangan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan strategi pengelolaan rantai pasokan (supply chain

management) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai

pasokan baik secara vertikal maupun horizontal

Kajian yang dilakukan bertujuan untuk : (1) Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi manajemen rantai pasok sayuran organik di Pangalengan; (2) Mengidentifikasi peranan para pelaku rantai pasok sayuran di Pangalengan; (3) Menyusun strategi rantai pasok yang sesuai untuk sayuran organik bernilai tambah tinggi berbasis petani di Pangalengan.

Tahapan kajian meliputi : (1) Identifikasi karakteristik sayuran, identifikasi para pelaku rantai pasok, analisis deskriptif kondisi lingkungan di Pangalengan; (2) Identifikasi faktor internal dan ekternal; (3) Perumusan strategi dengan matriks Strengths, Weakneses, Opportunities dan Threats (SWOT); (4) Pemilihan strategi. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif baik secara kualitatif, kuantitatif dan normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik

purposive sampling yang melibatkan 10 responden dan 3 ahli/pakar. Data yang

(8)

kuesioner dan melakukan studi pustaka. Pemilihan prioritas alternatif strategi dilakukan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan penyelesaiannya dengan menggunakan bantuan software AHP Expert Choice.

Hasil identifikasi kajian terhadap rantai pasok menunjukkan pelaku rantai pasok sayuran di Kecamatan Pangalengan meliputi pemasok bibit, petani, pedagang/pengumpul, perusahaan, penjual/eksportir, pasar luar negeri, pasar tradisional dan ritel/supermarket. Analisis Internal Factor Evaluation (IFE) dan

External Factor Evaluation (EFE) menunjukkan total skor rataan IFE 2,260 dan

EFE 2,790. Hal ini dapat diartikan bahwa kemampuan kelompok tani untuk memanfaatkan kekuatan dan peluang yang ada dan mengatasi kelemahan dan ancaman tergolong rata-rata.

Sayuran yang diproduksi aman dikonsumsi (skor 0,336) merupakan kekuatan utama dan kelemahan utama dari sistem pertanian organik di Pangalengan adalah keterbatasan modal (skor 0,127). Dukungan pemerintah merupakan peluang yang paling besar di Pangalengan dalam menuju pertanian organik (skor 0,388) dan ancaman utama yang dihadapi dalam produksi sayuran organik di Pangalengan adalah iklim dan cuaca tidak menentu yang mempengaruhi hasil produksi (skor 0,144).

Berdasarkan perumusan alternatif strategi diperoleh 7 (tujuh) strategi. Alternatif strategi dengan prioritas utama dan kedua berkaitan dengan pemasaran yaitu memperluas pasar/kemitraan dan mempermudah saluran distribusi (bobot 0,205) dan melakukan riset pasar sayuran organik dan merencanakan pengembangan pemasarannya (bobot 0,180). Alternatif strategi ketiga berkaitan dengan pembinaan/pengawasan, yaitu fasilitasi dan dukungan pemerintah (bobot 0,157). Alternatif keempat dan kelima merupakan strategi dalam hal keuangan yaitu memantau dan mengawasi harga (bobot 0,156) dan penguatan aspek finansial/modal (bobot 0,114). Alternatif keenam dan ketujuh berturut-turut, yaitu perencanaan pola tanam yang lebih baik (bobot 0,107) dan meningkatkan mutu, kuantitas dan kontinuitas produksi (bobot 0,081) kedua alternatif merupakan strategi yang berkaitan dengan manajemen produksinya.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir dengan judul “Konsep Strategi Pengembangan Manajemen Rantai Pasok Sayuran Organik Bernilai Tambah Tinggi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung”. Penyusunan Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program Magister Profesional Industri, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan Tugas Akhir ini, terutama kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA dan Dr.Ir. Budi Suharjo, MS selaku pembimbing, atas segala bimbingan, masukan dan nasihat yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Dr.Ir. Suryahadi, DEA atas kesediaannya menjadi dosen penguji pada ujian akhir magister.

3. Kementerian Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Riset Strategi Nasional yang berjudul “Strategi Pengembangan Pangan Organik Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Petani”.

4. Ayah dan ibunda tercinta, atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan serta doanya selama ini.

5. Kakak-kakak tercinta penulis : Mas Yoto, Mbak Titik, Mas Teguh, Mbak Ceceh, Mbak Yaroh, Mbak Tri, Mas Anto, Mbak Komang, Mas Eko dan Mas Huda, terima kasih atas bantuan, inspirasi, semangat dan kasih sayang, I’m

Really Bless and Happy being ur young sister, I Love u all.

6. Alm. Pak Wo (U ar my best grandpa), keponakan-keponakan penulis : Dana,

Aldi, Heiky, Jagad, Dwiki, Novi, Vina dan Oryza, terimakasih atas semangat, candatawa dan hiburannya, I’d Like to over love with u all.

7. Tim penelitian: Ibu Hardiana, Pak Nurhadi, Mbak Santi, Mbak Mita, Mas Herman dan Mas Trian, terima kasih atas semua bantuan tenaga dan semangat selama melakukan penelitian.

(11)

8. Sahabat dan teman-teman di MPI 15: Mbak Leny, Mbak Nurul, Pak Narno, Pak Win, Pak Memet, Pak Arifin, Pak Himawan, Mas Herry, Mas Ali, terima kasih atas semangat dan kebersamaanya.

9. Seluruh staff dan TU MPI: Mas Haer, Mbak Vera, Mas Haris dan Lainnya terima kasih atas bimbingan dan bantuannya selama ini.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan di IPB, penelitian dan penyusunan Tugas Akhir, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tanpa keberadaan kalian semua, penulis tidak akan mungkin mencapai hal ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2013

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 02 September 1987. Penulis adalah anak terakhir dari pasangan H. Moh. Djupri dan Hj. Rd. Sri Suyatmi. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1992 di TK Darma Wanita Lhokseumawe - Aceh.

Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Mulyoagung - Tuban (1994-2000). Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 Tuban dan menyelesaikan pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Bojonegoro dan menyelesaikan pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah melalui Tingkat Persiapan Bersama, penulis berhasil masuk di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama di Universitas, penulis telah mengikuti banyak kegiatan. Penulis bergabung dengan himpunan di bidang ilmu dan teknologi pangan (Himitepa) di tingkat Departemen. Penulis mengikuti banyak seminar dan training, antara lain seminar IFOODEX 2008, seminar manajemen pangan halal, HACCP, ISO 22000 : 2005, dan ISO 9001 : 2008 serta penulis banyak mengikuti kegiatan pekan karya ilmiah. Pada tahun 2010, lulus sarjana dan berhasil memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian (S.TP).

Setelah lulus sarjana, penulis bekerja di perusahaan swasta manufaktur besi PT Faco Global Engineering di Gunung Putri, Bogor. Kemudian pada tahun 2011 penulis melanjutkan studi di Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah (MPI). Penulis melakukan kajian dan menyusun tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Industri dengan judul “Konsep Strategi Pengembangan Manajemen Rantai Pasok Sayuran Organik Bernilai Tambah Tinggi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung“, di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA dan Dr.Ir. Budi Suharjo, MS.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Pangan Organik ... 6

2.1.1 Pengertian ... 6

2.1.2 Standar Sistem Pangan Organik ... 7

2.1.3 Good Agriculture Practice... 9

2.1.4 Registrasi Lahan ... 10

2.1.5 Sertifikasi Prima ... 10

2.1.6 Jenis Pangan Organik dan Pola Pemasaran ... 11

2.2. Analisis Lingkungan Esksternal ... 14

2.3. Analisis Lingkungan Internal ... 15

2.4. Perumusan Strategi ... 15

2.5. Sistem Manajemen Rantai Pasok Pertanian ... 16

2.5.1 Rantai Pasok Pertanian ... 16

2.5.2 Struktur Rantai Pasok ... 18

2.5.3 Mekanisme Rantai Pasok ... 19

2.5.4 Kelembagaan Rantai Pasok ... 19

2.6. Proses Hirarki Analitik... 20

III. METODE KAJIAN...22

3.1 Kerangka Pemikiran Kajian...22

3.2 Lokasi dan Waktu Kajian...23

3.3 Pengumpulan Data…...24

3.4 Pengolahan dan Analisis Data ...25

3.4.1 Identifikasi Karakteristik Produk Sayuran Organik ... 25

3.4.2 Formulasi Strategi ... 25

3.4.3 Matriks IFE dan EFE ... 26

3.4.4 Matriks IE ... 29

3.4.5 Matriks SWOT... 30

3.4.6 Analisis AHP ... 32

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …...34

4.1 Deskripsi Umum Kecamatan Pangalengan ...34

4.2 Identifikasi Rantai Pasok ... 42

4.3 Analisis Lingkungan Usaha ... 59

(14)

4.5 Analisis Matriks EFE ...64

4.6 Matriks IE ...65

4.7 Analisis Matriks SWOT ...66

4.8 Prioritas Strategi Pengembangan Manajemen Rantai Pasok Sayuran Organik di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung ...73

4.9 Analisis Hubungan Antar Unsur Hirarki ...77

4.10 Analisis Pemilihan Strategi Rantai Pasok ...80

4.11 Implikasi Manajerial ...82

KESIMPULAN DAN SARAN ...84

1. Kesimpulan ...84

2. Saran ...85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(15)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Volume ekspor komoditas sayuran nasional... 1

2. Luas areal pertanian organik di Indonesia ... 2

3. Sentra Produksi sayuran unggulan di Kabupaten Bandung ... 3

4. Pembobotan matriks IFE ... 26

5. Pembobotan matriks EFE ... 27

6. Analisis matriks IFE ... 28

7. Analisis matriks EFE ... 29

8. Matriks SWOT ... 31

9. Nilai level hirarki ... 32

10. Matriks perbandingan kriteria ... 32

11. Curah hujan dan suhu udara ... 35

12. Sebaran luas lahan di Kecamatan Pangalengan ... 35

13. Penggunaan lahan di Kecamatan Pangalengan pada tahun 2005 ... 36

14. Posisi Kecamatan Pangalengan dalam konteks kebijakan pembangunan Kabupaten Bandung... 37

15. Penduduk Kec. Pangalengan, Bandung berdasarkan mata pencaharian ...38

16. Kondisi SDM masyarakat Pangalengan-Bandung ...39

17. Luas areal dan jumlah produksi sayuran di Kecamatan Pangalengan ...40

18. Luas areal dan jumlah produksi sayuran di Kecamatan Pangalengan ... 41

19. Luas areal dan jumlah produksi sayuran di Kecamatan Pangalengan ... 42

20. Anggota rantai pasokan sayuran di Pangelangan ...45

21. Poktan berdasarkan kelas kelompok ...51

22. Poktan berdasarkan jenis ...51

23. Daftar harga beberapa sayuran unggulan di Pangalengan ...58

24. Faktor internal strategi produksi sayuran organik di Pangalengan ...60

25. Faktor eksternal strategi produksi sayuran organik di Pangalengan ...61

26. Analisis matriks IFE ...63

27. Analisis matriks EFE...64

28. Analisis strategi IFE dan EFE...67

29. Hubungan faktor dan goal ...77

30. Hubungan faktor dan aktor ...78

31. Hubungan aktor dan tujuan ...78

32. Hubungan tujuan dan alternatif strategi ...79

33. Bobot faktor terhadap goal... 80

34. Bobot aktor terhadap goal ...80

35. Bobot tujuan terhadap goal...81

(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Tahapan sertifikasi GAP... 10

2. Bentuk label jaminan pada produk... 11

3. Hubungan antara kekuatan-kekuatan eksternal utama dengan organisasi .... 14

4. Pola aliran material dalam SCM ... 17

5. Kerangka pemikiran kajian ... 22

6. Sistem rantai pasok produk hortikultura ... 23

7. Matriks IE ... 29

8. Unsur dalam perancangan keputusan ... 33

9. Identifikasi Stuktur rantai pasok sayuran di Kecamatan Pangalengan... 43

10. Aliran barang dan uang ... 46

11. Beberapa model rantai tataniaga produk agro di Kabupaten Bandung ...47

12. Pemetaan pasar komoditas agro dibeberapa kota di Indonesia ...47

13. Truk pengangkut pupuk dan sayuran ...56

14. Pengangkutan sayuran dengan mobil bak ...56

15. Analisis matriks IE Poktan di Pangalengan ... 66

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Identitas anggota Poktan ... 90

2. Identifikasi pemasok bibit sayuran ... 92

3. Identifikasi petani sayuran ... 94

4. Identifikasi pedagang/pengumpul sayuran ... 100

5. Konsumen sayuran organik ...102

6. Kuesioner penentuan rating dan bobot matriks IFE dan EFE ...106

7. Matriks perbandingan berpasangan faktor internal... 113

8. Matriks perbandingan berpasangan faktor eksternal...118

9 Kuesioner AHP... 123

10. Hasil pengolahan data dengan AHP ...132

(18)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pertanian merupakan sektor yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia. Potensi pertanian di Indonesia tersebar secara merata di seluruh daerah. Komoditas hortikultura seperti sayur-sayuran mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan gizi masyarakat. Selain sebagai sumber pendapatan bagi petani, komoditas sayur-sayuran juga penting dalam perekonomian sebagai penghasil devisa bagi negara (Winarno, Seta dan Surono, 2002).

Populasi Indonesia diperkirakan meningkat rata-rata 1,3% per tahun dan akan mencapai penduduk sekitar 250 juta jiwa pada tahun 2015 (Proyek Penelitian Sayuran Indonesia, 2009). Saat ini konsumsi sayuran per kapita warga Indonesia hanya 40,6 kg per tahun. Sementara rekomendasi dari Food and

Agriculture Organization (FAO) konsumsi sayuran per kapita adalah 73 kg per

tahun (Nuryati, 2012). Hal ini membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat besar untuk produk sayuran segar maupun olahan.

Tabel 1. Volume ekspor komoditas sayuran nasional

No. Komoditas Volume Ekspor (Kg)

2009 2010 2011*) 1. Kentang 6.900.218 7.041.480 4.878.039 2. Tomat 1.543.806 1.597.780 2.152.938 3. Bawang Merah 12.821.570 3.233.877 6.291.548 4. Bawang Putih 186.797 284.078 182.510 5. Kubis / Kol 41.917.371 31.941.412 18.036.129 6. Kembang Kol 2.150.735 70.908 46.382 7. Jamur 15.272.001 9.609.118 5.525.704 8. Ketimun 684.324 887.353 83.880 9. Terung 703.880 948.913 1.003.403 10. Wortel 1.703 5.473 28.666 11. Bawang Daun 148.041 6.099 18.297 12. Kacang Merah 323.275 14.812 6.642 13. Buncis 1.314.946 210.774 103.747 14. Bayam 253.611 492.793 759.500 15. Cabe 7.017.193 9.308.662 5.965.582 16. Sayuran lainnya 106.562.453 75.735.008 51.784.088 Total Sayuran 197.801.924 141.390.550 96.869.066

(19)

Produksi sayuran nasional tahun 2010 mencapai 10.708.719 ton. Selain untuk konsumsi nasional, komoditas sayur-sayuran Indonesia telah diekspor ke berbagai negara. Hal ini seperti dapat dilihat pada Tabel 1 volume ekspor komoditas sayuran nasional. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian di Indonesia telah memprakarsai program “ Go Organic 2010 “ untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan. MISI yang diemban dalam program Go Organik 2010 adalah : “

Meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan ”. Sedangkan goal yang ingin dicapai dalam program Go

Organik 2010 adalah : “Mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen dan

pengekspor pangan organik utama di dunia pada tahun 2010 ”.

Menurut Aliansi Organik Indonesia atau AOI (2009), pada tahun 2009 luas total areal pertanian organik di Indonesia adalah 231.697 ha (Tabel 2). Dalam angka ini termasuk luas areal yang sudah sertifikasi pertanian organik (organik dan konversi), dalam proses sertifikasi, penjaminan sertifikasi oleh AOI dan tanpa sertifikasi.

Tabel 2. Luas areal pertanian organik di Indonesia 2009

No. Jenis Pertanian Organik Luas (ha)

1. 2. 3. 4.

Bersertifikat

Dalam proses setifikasi (konversi) Penjaminan sertifikasi oleh AOI Tanpa sertifikasi 97.352 132.765 16 1.564 Total 231.697 Sumber: BPS, 2011a

Luas areal pertanian organik yang sedang dalam proses sertifikasi meliputi 57% mendominasi luas areal pertanian organik di Indonesia pada tahun 2009, diikuti oleh areal bersertifikat, tanpa sertifikat, dan penjaminan sertifikasi oleh AOI. Luas areal pertanian organik untuk sertifikasi yang sedang dalam proses memang cukup tinggi tetapi akan menurun setelah sertifikasi. Penurunan ini disebabkan karena beberapa areal tidak lulus standar sertifikasi.

(20)

Adanya kebijakan pemerintah mengenai program Go Organik 2010 tersebut maka sudah sewajarnya, jika pertanian di Indonesia mulai melirik adanya tanaman pangan organik. Hal ini merupakan peluang bagi para petani di Indonesia, khususnya daerah Jawa Barat sebagai salah satu daerah sentra produksi sayuran untuk mengubah pola budidaya konvensional ke pertanian organik yang bermutu guna meningkatkan pendapatan dan memenuhi peluang pasar nasional, maupun internasional yang memerlukan perubahan sistem produksi dan kelembagaan rantai pasokannya.

Tabel 3. Sentra produksi sayuran unggulan di Kabupaten Bandung

No. Komoditas Unggulan

Kecamatan (sentra utama)

Produksi Luas Areal

(Ton) (Ha) 1 Kentang Pangalengan 270.199,4 3.584 Kertasari 17.470,9 758 Cimenyan 1.209,1 76 2 Kubis Pangalengan 52.753,1 2.403 Kertasari 13.662,8 550 Cicalengka 948,3 40 3 Tomat Pangalengan 51.512,0 1.105 Pasir Jambu 5.889,0 82 Cicalengka 2.416,8 45 4 Sawi Pangalengan 31.574,7 1.643 Cilengkrang 558,0 31 Cimaung 526,8 29 5 Bawang Merah Pangalengan 11.648,0 1.021 Pacet 1.283,4 92 Ciparay 1.246,4 120 6 Cabe Pangalengan 8.594,1 413 Cicalengka 507,9 33 Cimaung 458,2 58 7 Buncis Pangalengan 7.683,9 372 Kutawaringin 1.275,4 16 Pasir Jambu 581,9 39 8 Mentimun Nagreg 7.000,0 400 Ibun 4.510,0 201 Pangalengan 2.583,8 96 9 Brokoli Pangalengan 4.707,0 251 Ciwidey 2.376,0 108 Cilengkrang 36,5 2 10 Sosin Majalaya 1.411,1 213 Cangkuang 1.287,8 131 Cimaung 255,2 46

Sumber: BPS, 2011a (data diolah).

Permintaan sayuran organik yang berasal dari daerah Jawa Barat khususnya kabupaten Bandung mengalami peningkatan sampai 26% per tahun (Admin, 2012). Hal tersebut terkait dengan makin meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap mutu produk dan kesehatan. Komoditas sayuran sebanyak 50% di jual ke pasar Jakarta dan sekitarnya, 25% di jual ke pasar kota Bandung dan sisanya ke pasar tradisional di beberapa daerah (Bapeda Kab. Bandung,

(21)

2010). Sentra produksi sayuran unggulan di Kabupaten Bandung seperti terlihat pada Tabel 3.

Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem ketahanan pangan adalah mendesain sistem industrialisasi pertanian pangan yang mampu menghasilkan produk pangan dengan nilai tambah tinggi bagi petani, menjamin kelancaran pasokan pangan, terkendali tingginya mutu dan terjaminnya keamanan produk pangan serta terjangkaunya harga produk pangan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan strategi pengelolaan rantai pasokan (supply

chain management) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai

pasokan baik secara vertikal maupun horizontal (Apriantono, 2005).

Sistem pertanian industri dicirikan oleh usaha pertanian bernilai tambah tinggi dan terintegrasi dalam satu rantai pasokan (supply chain) berdasarkan relasi kemitraan sinergis dan adil dengan bertumpu pada sumberdaya nasional, kearifan lokal, serta ilmu pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan. Sistem pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang merupakan keharusan agar usaha pertanian dapat bertahan hidup dan tumbuh berkembang secara berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang makin ketat (Badan Ketahanan Pangan, 2007).

Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur lainnya karena produk pertanian secara umum mempunyai karakteristik (Yandra dalam Setiawan, 2009), yaitu (a) produk mudah rusak, (b) budidaya dan pemanenan sangat tergantung iklim dan musim, (c) mutu bervariasi dan (d) bersifat kamba, beberapa produk sangat sulit diangkut dan dikelola sebab ukuran dan kompleksitas dari produk. Keempat (4) faktor ini sangat perlu dipertimbangkan dalam merancang dan menganalisis manajemen rantai pasok (supply chain management).

(22)

1.2 Perumusan Masalah

1. Faktor-faktor internal dan eksternal apakah yang memengaruhi manajemen rantai pasok sayuran organik di Pangalengan ?

2. Bagaimana peranan para pelaku rantai pasok sayuran di Pangalengan ? 3. Apakah rantai pasok sayuran konvensional yang sudah ada di Pangelangan

saat ini dapat diterapkan untuk pengembangan rantai pasok sayuran organik ?

4. Bagaimana menyusun strategi rantai pasok yang sesuai untuk sayuran organik bernilai tambah tinggi berbasis petani di Pangalengan ?

1.3 Tujuan

1. Mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang memengaruhi manajemen rantai pasok sayuran organik di Pangalengan

2. Mengidentifikasi peranan para pelaku rantai pasok sayuran di Pangalengan 3. Menyusun strategi rantai pasok yang sesuai untuk sayuran organik bernilai tambah tinggi berbasis petani di Pangalengan

(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertanian Organik 2.1.1. Pengertian

Keamanan pangan (food safety) menjadi isu sensitif dalam industri pangan. Berbagai kasus keracunan pangan yang terjadi berasal dari kontaminasi bahan kimia dan mikrobiologi menyebabkan konsumen menyeleksi produk makanan apa yang akan dikonsumsi. Keamanan pangan dan produk pangan yang segar, serta alami menjadi tuntutan konsumen, sehingga mendorong gaya hidup sehat dengan tema global “Kembali ke Alam” (Back to Nature), dimana masyarakat menginginkan makanan yang benar-benar serba alami, bebas dari zat kimia, pestisida, hormon dan pupuk kimia. Pangan organik dianggap memenuhi persyaratan tersebut, sehingga permintaan dan peluang pemasarannya meningkat (Winarno, Seta dan Surono, 2002).

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan, bahan baku pangan dan bahan lain yang dipergunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (BSN, 2002). Sedangkan organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi.

Pangan organik adalah pangan yang berasal dari suatu sistem pertanian organik yang menerapkan praktek-praktek manajemen dengan tujuan memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas berkelanjutan, dan melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit, melalui berbagai cara seperti daur ulang residu tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, manajemen pengairan, pengolahan lahan dan penanaman, serta penggunaan bahan-bahan hayati (BSN, 2002). Pangan organik pangan/produk bebas bahan sintetis (pestisida dan pupuk kimia), tidak menggunakan bibit hasil rekayasa genetika (Genetically Modified Organism atau GMO) dan teknologi iradiasi untuk tujuan pengawetan produk.

(24)

Menurut AOI (2009), Pertanian Organik (PO) merupakan pertanian yang selaras dengan alam, menghayati dan menghargai prinsip-prinsip yang bekerja di alam yang telah menghidupi segala makhluk hidup berjuta-juta tahun lamanya. PO merupakan proses budidaya pertanian yang menyelaraskan pada keseimbangan ekologi, keanekaragaman varietas, serta keharmonian dengan iklim dan lingkungan sekitar. Dalam prakteknya, budidaya PO menggunakan semaksimal mungkin bahan-bahan alami yang terdapat di alam sekitarnya, dan tidak menggunakan asupan agrokimia (bahan kimia sintetis untuk pertanian). Lebih jauh, karena PO berusaha meniru alam, maka pemakaian benih atau asupan yang mengandung bahan-bahan yang mengandung hasil rekayasa genetika GMO juga dihindari.

2.1.2 Standar Sistem Pangan Organik

Menurut BSN (2002), perkembangan perumusan standar yang mencakup sistem pangan organik untuk produksi, pemrosesan, pelabelan dan pemasarannya begitu pesat kemajuannya, sebagai konsekuensi dari perubahan yang cepat dalam pengelolaan kegiatan memproduksi, memproses, melabel dan memasarkan pangan organik di dunia. Badan Standardisasi Nasional (BSN) melalui Panitia Teknik Perumusan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ada di Departemen Pertanian segera mempersiapkan sistem pangan organik. Organisasi panitia teknik tersebut dibentuk oleh Departemen Pertanian yang beranggotakan wakil dari instansi teknis, produsen, konsumen, asosiasi, lembaga konsultan dan perguruan tinggi. SNI sistem pangan organik disusun dengan mengadopsi seluruh materi dalam dokumen standar CAC/GL 32–1999, Guidelines for the production,

processing, labeling and marketing of organically produced foods dan

memodifikasi sesuai dengan kondisi di Indonesia ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun standar ini merupakan adopsi pedoman (guidelines) internasional, namun dalam penyusunannya tetap mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dalam :

a. Pedoman BSN Nomor 8-2000, Penulisan Standar Nasional Indonesia. b. Pedoman BSN Nomor 9-2000, Perumusan Standar Nasional Indonesia.

Hal ini berarti, standar ini dirumuskan melalui mekanisme rapat konsensus yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2002 di Jakarta yang dihadiri oleh wakil

(25)

dari instansi pemerintah, produsen, konsumen dan cendekia yang berkaitan dengan materi standar ini. Mengingat standar ini merupakan adopsi langsung dari naskah bahasa Inggris dan terjadi masalah dalam menginterpretasikannya. Apabila timbul masalah, maka penyelesaiannya lebih dahulu memperhatikan naskah aslinya yang berbahasa Inggris. Berikut ini diuraikan prakata yang menjelaskan disusunnya CAC/GL 32–2001 yang diadopsi langsung dari pedoman internasional di atas. SNI ini disusun dengan maksud untuk menyediakan sebuah ketentuan tentang persyaratan produksi, pelabelan dan pengakuan (claim) terhadap produk pangan organik yang dapat disetujui bersama (BSN, 2002).

Tujuan standar ini adalah Standar Nasional Indonesia SNI 01-6729-2002 : a. Untuk melindungi konsumen dari manipulasi atau penipuan bahan

tanaman/benih/bibit ternak dan produk pangan organik di pasar.

b. Untuk melindungi produsen pangan organik dari penipuan bahan tanaman/benih/bibit ternak produk pertanian lain yang diaku sebagai produk organik.

c. Untuk memberikan pedoman dan acuan kepada pedagang/pengecer bahan tanaman/benih/bibit ternak dan produk pangan organik dari produsen kepada konsumen.

d. Untuk memberikan jaminan bahwa seluruh tahapan produksi, penyiapan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran dapat diperiksa dan sesuai dengan standar ini.

e. Untuk harmonisasi dalam pengaturan sistem produksi, sertifikasi, identifikasi dan pelabelan produk pangan organik.

f. Untuk menyediakan standar pangan organik yang diakui secara nasional dan juga berlaku untuk tujuan ekspor dan untuk memelihara serta mengembangkan sistem pertanian organik di Indonesia sehingga menyumbang terhadap pelestarian ekologi lokal dan global.

Standar ini merupakan tahapan pertama untuk harmonisasi nasional yang resmi tentang persyaratan produk organik yang menyangkut standar produksi dan pemasaran, pengaturan inspeksi dan persyaratan pelabelan. Standar ini menetapkan prinsip-prinsip produksi organik di lahan pertanian, penyiapan, penyimpanan, pengangkutan, pelabelan dan pemasaran, serta menyediakan

(26)

ketetapan tentang bahan-bahan masukan yang diperbolehkan untuk penyuburan dan pemeliharaan tanah, pengendalian hama dan penyakit, serta bahan aditif dan bahan pembantu pengolahan pangan. Untuk keperluan pelabelan, penggunaan peristilahan yang menunjukkan bahwa cara produksi organik telah digunakan, hanya terbatas pada produk-produk yang dihasilkan oleh operator yang telah mendapat supervisi dari otoritas, atau lembaga sertifikasi (SNI, 2002).

Pertanian organik merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dapat mendukung lingkungan. Sistem produksi organik didasarkan pada standar produksi spesifik dan tepat yang bertujuan pada pencapaian agroekosistem optimal yang berkelanjutan baik secara sosial, ekologi maupun ekonomi. Penggunaan perisitilahan seperti “biologis” dan “ekologis” dilakukan untuk mendeskripsikan sistem organik agar lebih jelas. Persyaratan untuk pangan yang diproduksi secara organik berbeda dengan produk pertanian yang lain, dimana prosedur produksinya SNI 01-6729-2002 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identifikasi dan pelabelan, serta pengakuan dari produk tersebut (SNI, 2002).

2.1.3 Good Agriculture Practice

Good Agricultural Practice (GAP) merupakan panduan budidaya yang

benar dalam memadukan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) selama proses produksinya. Produk segar yang dihasilkan melalui proses penerapan GAP diharapkan aman dikonsumsi, bermutu, berdaya saing dan ramah lingkungan. Perwujudan penerapan GAP dinyatakan dengan penerbitan nomor register lahan usaha yang diberikan melalui kegiatan penilaian lahan usaha, yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan pelaksanaan sertifikasi produk oleh lembaga sertifikasi terakreditasi yang berwenang atau ditunjuk (Ferdian, 2012).

Registrasi lahan usaha sayuran dan tanaman obat merupakan tahap lanjutan dari Permentan No. 48 Permentan/OT.140/10/2009 untuk Penerapan GAP dalam melakukan aktivitas budidaya. Registrasi lahan usaha diberikan kepada petani atau pelaku usaha yang telah menerapkan GAP dan sekaligus sebagai pengakuan atas keberhasilan dan upayanya dalam meningkatkan daya saing produk sayuran (Ferdian, 2012). Pada Gambar 1 dapat dilihat tahapan yang harus dilalui untuk mendapatkan sertifikasi GAP. Masing–masing tahapan

(27)

memiliki prosedur tersendiri yang harus dilengkapi untuk dapat melanjutkan atau melaju ke tahapan berikutnya.

Gambar 1. Tahapan sertifikasi GAP (Admin, 2012a)

2.1.4 Registrasi Lahan

Registrasi lahan usaha sayuran adalah bentuk penghargaan yang diberikan kepada produsen buah dan sayur yang telah menerapkan prinsip-prinsip GAP,

Standard Operating Procedur (SOP), Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan

telah melakukan pencatatan. Tujuan registrasi kebun atau lahan usaha adalah menyiapkan persyaratan sistem jaminan mutu, mempermudah proses umpan balik, mendorong percepatan akses pasar dan meningkatkan mutu, serta keamanan pangan (Ferdian, 2012). Syarat-syarat registrasi lahan usaha adalah :

a. Telah memahami dan menerapkan GAP.

b. Telah memahami dan menerapkan prinsip-prinsip PHT. c. Telah memahami dan menerapkan SOP.

d. Telah melakukan pencatatan atau pembukuan.

2.1.5 Sertifikasi Prima

Sertifikasi Prima adalah sertifikasi yang diberikan oleh Otoritas Kompeten yang ditunjuk oleh Gubernur kepada produsen, atau kelompok produsen yang

Penyuluh

Petani Pemohon Pendaftaran Kepada

Otoritas Kompeten Tim Penilai GAP

Otoritas Kompeten menyusun rencana audit

Penyiapan Tim Audit sesuai permohonan petani

Penyampaian rencana audit kepada petani

Pelaksanaan audit

Manajemen dan pengawasan dokumen

Penyusunan laporan hasil audit

Penyampaian hasil audit secara resmi

Pemantauan berkala dan penilaian kembali

Sertifikat GAP (selama 2 tahun)

(28)

telah memenuhi kriteria prima, sehingga produsen berhak atas pelabelan prima pada produk yang dihasilkan (Admin, 2012b). Sertifikasi Prima terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu :

a. Prima 1 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani, dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi, bermutu baik dan cara produksinya ramah terhadap lingkungan.

b. Prima 2 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi dan bermutu baik.

c. Prima 3 adalah peringkat penilaian yang diberikan terhadap pelaksanaan usaha tani dimana produk yang dihasilkan aman dikonsumsi.

Prima 3. Prima 2. Prima 1.

Gambar 2. Bentuk label jaminanan pada produk 2.1.6 Jenis Pangan Organik dan Pola Pemasaran

Produk pangan organik merupakan produk pangan segar (sayuran dan buah-buahan), setengah jadi atau pangan jadi (pangan olahan), yang dihasilkan dari budidaya PO. Semua tanaman dapat menghasilkan produk organik apabila diproses secara organik. Saat ini dipasaran beredar berbagai produk organik, bukan hanya beras, sayur dan buah organik, namun juga daging, ayam, telur kampung, susu organik, makanan ringan, dan lain-lain. Produk organik yang dipasarkan saat ini sebagian besar adalah produk segar (95%) dan sisanya adalah produk olahan seperti kecap organik, tahu organik (5%) dan lainnya (Winarno, Seta dan Surono, 2002).

Pangan organik saat ini dapat ditemukan di berbagai lokasi, yaitu (Winarno, Seta dan Surono, 2002) :

a. Kebun rumah

(29)

c. Toko dan supermarket

d. Komunitas konsumen organik

Pangan organik dipasarkan dibeberapa tempat dengan cara, seperti :

a. Outlet Produsen : - Dikebun (farm). Outlet cara ini adalah basis produksi

- Di rumah produsen. Outlet cara ini basisnya konsumen.

b. Delivery Order (DO) : Wilayah konsumen dan minimum order

c. Supermarket/Outlet bersama : Cakupan wilayah dan konsumen luas, namun ada standar khusus.

Salah satu masalah penting dalam pemasaran produk organik adalah masalah mutu produk organik yang belum bisa memenuhi permintaan pasar. Hal ini mengakibatkan produk organik yang dihasilkan oleh petani dipandang tidak memiliki kepastian mutu organik yang dapat diterima oleh pasar. Saat ini konsumen semakin sadar akan mutu produk organik dan menginginkan petani dapat menunjukkan integritas keorganikan produk yang dihasilkan. Salah satu cara untuk menunjukkan bukti integritas keorganikan produk adalah dengan sertifikasi (Palupi, 2010).

Sertifikasi merupakan satu cara untuk menjamin bahwa produk dapat dinyatakan organik apabila diproduksi mengikuti prinsip-prinsip produksi pertanian dan pangan secara organik. Sertifikasi ini ditujukan tidak hanya melindungi konsumen tetapi juga produsen dan pedagang dari kesalahan atau pemalsuan label. Sertifikasi juga merupakan alat pemasaran untuk penetrasi pasar dan untuk mendapatkan harga premium, serta transparansi dalam informasi produksi pangan organik (BSN, 2002). Selama ini penjaminan yang dilakukan petani adalah sistem penjaminan pertama dan kedua yang sangat mengandalkan kepercayaan dari konsumen. Konsumen dapat melihat ke lahan petani bagaimana proses budidaya dilaksanakan untuk mengetahui jaminan keorganikan produk.

Menurut Winarno (2010) terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan oleh produsen pangan organik untuk memberikan jaminan terhadap produk organik yang dihasilkannya, yaitu :

(30)

Kebanyakan pemasaran pangan organik yang dilakukan oleh produsen di Indonesia dimulai dengan pola penjaminan self claim (pernyataan diri) mengenai status organik produk yang dihasilkannya. Penjaminan seperti ini memiliki keterbatasan dalam menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen dan keluasan distribusi produk.

b. Second Party Certification

Bila pembeli, pemilik toko atau perusahaan perdagangan melakukan perjanjian dengan petani organik untuk memasarkan produk yang dihasilkannya dan menyatakan bahwa produk yang diperdagangkannya adalah produk organik, maka pola tersebut dinamakan second party certification. Secara prinsip pada pola ini ada pihak kedua yang memberikan jaminan bahwa produk yang diperdagangkan adalah produk organik. Hubungan yang dibentuk dalam pola ini berlandaskan prinsip ekonomi untuk meningkatkan nilai tambah dan perluasan distribusi.

c. Third party Certification

Third party certification adalah pola sertifikasi yang dilakukan pihak

ketiga berupa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan sertifikasi pangan organik. Proses sertifikasi yang dilakukan sudah terstandardisasi dan pihak produsen harus menyiapkan sejumlah dokumen pendukung untuk proses tersebut. Produk yang telah disertifikasi berhak mencantumkan logo/label organik dikemasannya.

Saat ini lembaga sertifikasi internasional yang beroperasi di Indonesia ada 7 (tujuh), yaitu Institute for Marketecology (IMO), Control Union, North

American Securities Administrators Association (NASAA), Naturland, Ecocert, Global Offset and Countertrade Association (GOCA) dan Accountable Care Organization (ACO). Sedangkan lembaga sertifikasi nasional yang telah

diakreditasi BSN, yaitu BIOCert (Bogor), Inofice (Bogor), Sucofindo (Jakarta), LeSOS (Seloliman), Mutu Agung Lestari (Depok), dan PT Persada (Yogyakarta).

Pangan organik yang tersedia di pasaran saat ini sudah beragam jenisnya dari beras organik (Beras mentik wangi, Beras pandan wangi, Beras mentik susu, Beras merah dan lainnya), buah organik (Pisang, Alpokat, Apel malang, Pepaya dan lainnya), Susu Kambing organik, Kedelai hitam organik dan daging Ayam

(31)

kampung organik. Kelompok tani di Jawa Barat, selaku produsen sayuran organik tidak hanya memasarkan produknya, yaitu sayuran organik, tetapi juga memasarkan produk organik lainnya dan ini merupakan salah satu strategi pemasaran yang dipilih oleh kelompok tani tersebut dalam melayani dan memuaskan konsumennya. Dengan strategi yang ditempuh tersebut, kelompok tani sebagai produsen berusaha untuk memahami keragaman produsen, atau perilaku konsumen agar mampu memasarkan produknya dengan baik (Palupi, 2010).

2.2 Analisis Lingkungan Eksternal

Tujuan dilakukannya analisis eksternal adalah untuk mengembangkan sebuah daftar terbatas dari peluang yang dapat menguntungkan sebuah perusahaan dan berbagai ancaman yang harus dihindari. Peluang dan ancaman eksternal ini meliputi berbagai tren dan kejadian ekonomi, sosial, budaya, demografis, lingkungan hidup, politik, hukum, pemerintahan, teknologi dan kompetitif yang dapat secara nyata menguntungkan atau merugikan suatu organisasi di masa mendatang (David, 2010). Hubungan antara kekuatan-kekuatan eksternal utama dengan organisasi dapat dilihat di Gambar 3. Pada gambar tersebut dapat dilihat masukan dari kekuatan eksternal dan para profesi yang berperan dalam menciptakan keluaran suatu peluang, ataupun ancaman dalam suatu organisasi.

Kekuatan Ekonomi Kekuatan sosial, budaya,demografis dan

lingkungan Kekuatan politik, pemerintahan dan hukum

Kekuatan teknologi Kekuatan kompetitif Pesaing Pemasok Distributor Kreditor Konsumen Karyawan Masyarakat Manajer

Para pemangku kepentingan Serikat buruh

Pemerintah Asosiasi dagang Kelompok kepentingan khusus

Produk Jasa Pasar Lingkungan hidup PELUANG DAN ANCAMAN SUATU ORGANISASI

Gambar 3. Hubungan antara Kekuatan-Kekuatan Eksternal Utama dengan

(32)

2.3 Analisis Lingkungan Internal

Analisis internal adalah kegiatan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi atau perusahaan dalam rangka memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman. Hal ini menjelaskan analisis internal sangat berkaitan erat dengan penilaian terhadap sumberdaya organisasi (Wheelen dan Hunger, 2010).

Kekuatan dan kelemahan internal menurut David (2010) merupakan aktivitas terkontrol suatu organisasi yang mampu dijalankan dengan sangat baik atau buruk. Hal tersebut muncul dalam manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan dan aktivitas sistem informasi manajemen (SIM) suatu bisnis. Faktor-faktor internal dapat ditentukan dengan sejumlah cara termasuk menghitung rasio, mengukur kinerja dan membandingkan dengan pencapaian masa lalu serta rataan industri.

2.4 Perumusan Strategi

Teknik-teknik perumusan strategi yang penting menurut David (2010) dapat diintegrasikan ke dalam kerangka pengambilan keputusan tiga (3) tahap yaitu :

1. Tahap Input

Tahap ini terdiri dari :

a. Matriks External Factor Evaluation (EFE). Matriks ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman bagi perusahaan.

b. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Matriks ini digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan.

2. Tahap Pencocokan

Tahap pencocokan dari kerangka perumusan strategi terdiri atas: a. Matriks Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats (SWOT)

Matriks ini merupakan sebuah alat pencocokan yang penting yang membantu manajer mengembangkan empat (4) jenis strategi, yaitu (1) Strategi SO (Strengths-Opportunities) memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal, (2) Strategi WO

(Weaknesses-Opportunities) bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan cara

(33)

menggunakan kekuatan sebuah perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal, serta (4) Strategi WT (Weaknesses-Threats) merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.

b. Matriks Internal-External (IE)

Matriks ini memposisikan berbagai divisi suatu organisasi dalam tampilan sembilan (9) sel yang didasarkan pada dua (2) dimensi kunci : skor bobot IFE total pada sumbu X dan skor bobot EFE total pada sumbu Y. Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga (3) bagian besar yang mempunyai implikasi strategi berbeda-beda: (1) Divisi-divisi yang masuk dalam sel I, II, atau IV dapat digambarkan sebagai tumbuh dan membangun (grow and build); (2) Divisi-divisi yang masuk ke dalam sel III, V, atau VII dapat ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan (hold and maintain); (3) Divisi yang masuk ke dalam sel VI, VIII, atau IX adalah panen atau divestasi (harvest or

divest).

3. Tahap Keputusan

Tahap ini hanya melibatkan satu teknik saja, yaitu Analytical Hierarchy

Proces (AHP).

2.5 Sistem Manajemen Rantai Pasok Pertanian 2.5.1 Rantai Pasok Pertanian

Menurut Van der Vorst dalam Setiawan (2009), rantai pasok lebih ditekankan pada seri aliran bahan dan informasi, sedangkan manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok. Pada tingkat agroindustri, manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Marimin dan Maghfiroh (2010), bahwa manajemen rantai pasok SCM produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan.

Konsep rantai pasok (supply chain) merupakan konsep baru dalam menerapkan sistem logistik yang terintegrasi. Konsep tersebut merupakan mata

(34)

rantai penyediaan barang dari bahan baku sampai barang jadi (Indrajit dan Djokopranoto, 2002). Jadi, sistem manajemen rantai pasok dapat didefinisikan sebagai satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan. Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena (1) produk pertanian bersifat mudah rusak; (2) proses penanaman, pertumbuhan pemanenan tergantung pada iklim dan musim; (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi; (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk ditanggani (Brown, 1994). Seluruh faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam desain manajemen rantai pasok produk pertanian karena kondisi rantai pasok produk pertanian lebih kompleks daripada rantai pasok pada umumnya.

DOMINATION FLOW OF PRODUCT AND SERVICES

DOMINANTION FLOW OF DEMAND AND DESIGN INFORMATION

Gambar 4. Pola aliran material dalam SCM (Marimin dan Maghfiroh,

2010)

Berdasarkan konsep supply chain terdapat tiga (3) tahapan dalam aliran material. Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical supply, manufaktur mengolah bahan mentah dan produk jadi didistribusikan kepada konsumen akhir membentuk sistem physical distribution.

MANUFACTUR DISTRIBUTION SYSTEM Physical Supply Manufacturing Planning and Control Physical Distribution S U P P L I E R C U S T O M E R

(35)

Aliran material tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 (Arnold dan Chapman, 2004).

Pola aliran material pada Gambar 4 menunjukkan bahwa bahan mentah didistribusikan kepada supplier dan manufacture yang melakukan pengolahan, sehingga menjadi barang jadi yang siap didistribusikan kepada customer melalui distributor. Aliran produk terjadi mulai dari supplier hingga ke konsumen, sedangkan arus balik aliran ini adalah aliran permintaan dan informasi. Permintaan dari customer diterjemahkan oleh distributor dan distributor menyampaikan pada manufacture, selanjutnya manufacture menyalurkan informasi tersebut pada supplier.

2.5.2 Struktur Rantai Pasok

SCM merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan pemasok, pengusaha, gudang dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien. Produk dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas, tempat dan waktu yang tepat untuk memperkecil biaya, serta memuaskan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi efisien dan efektif, minimalisasi biaya dari transportasi, dan distribusi sampai investori bahan baku, bahan dalam proses, serta barang jadi. Ada beberapa pemain utama yang memiliki kepentingan dalam SCM, yaitu pemasok (supplier), pengolah (manufacturer), pendistribusi (distributor), pengecer (retailer) dan pelanggan (customer) (David et

al. dalam Indrajit dan Djokopranoto, 2002).

Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam rantai pasok adalah :

a. Rantai 1 adalah Supplier merupakan sumber penyedia bahan pertama dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai.

b. Rantai 1-2 adalah SupplierManufacturer. Manufaktur yang melakukan pekerjaan membuat, mempabrikasi, merangkai, mengonversikan, ataupun menyelesaikan barang.

c. Rantai 1-2-3 adalah SupplierManufacturerDistributor. Barang yang sudah jadi dari manufaktur disalurkan kepada pelanggan.

(36)

d. Rantai 1-2-3-4 adalah SupplierManufacturerDistributorRetail. Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gedung sendiri, atau menyewa dari pabrik lain.

e. Rantai1-2-3-4-5 adalah

SupplierManufacturerDistributorRetailPelanggan. Pengecer

menawarkan barangnya kepada pelanggan, atau pembeli.

2.5.3 Mekanisme Rantai Pasok

Mekanisme rantai pasok produk pertanian secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok itu sendiri. Mekanisme ini dapat bersifat tradisional ataupun modern. Mekanisme tradisional adalah petani menjual produknya langsung ke pasar atau lewat tengkulak dan tengkulak yang akan menjualnya ke pasar tradisional dan pasar swalayan. Sedangkan mekanisme rantai pasok modern terbentuk oleh beberapa hal, antara lain mengatasi kelemahan karakteristik dari produk pertanian, meningkatkan kesejahteraan petani dari sisi ekonomi dan sosial, meningkatkan permintaan kebutuhan pelanggan akan produk mutu, dan memperluas pangsa pasar yang ada (Marimin dan Maghfiroh, 2010).

Menurut Jaffee et al (2008) rantai pasok pertanian modern adalah jaringan yang biasanya mendukung tiga (3) aliran utama yaitu (1) arus produk fisik, yang merupakan gerakan produk fisik dari pemasok input ke produsen untuk pembeli kepada konsumen akhir; (2) arus keuangan, berupa syarat-syarat kredit dan pinjaman, jadwal pembayaran dan pelunasan, tabungan, serta pengaturan asuransi; (3) arus informasi, berupa koordinasi produk fisik dan arus keuangan.

2.5.4 Kelembagaan Rantai Pasok

Menurut Marimin dan Maghfiroh (2010) kelembagaan rantai pasok adalah hubungan manajemen atau sistem kerja yang sistematis dan saling mendukung di antara beberapa lembaga kemitraan rantai pasok suatu komoditas. Bentuk-bentuk kelembagaan rantai pasok mengalami keragaman dengan keberadaan pasar tradisional dan modern seperti mini market, supermarket, hypermarket, dan

departemen store dan keberadaan konsumen institusional seperti hotel, restoran,

rumah sakit dan keberadaan industri pengolahan.

Pola kelembagaan kemitraan rantai pasok adalah hubungan kerja diantara beberapa pelaku rantai pasok yang menggunakan mekanisme perjanjian, atau

(37)

kontrak tertulis dalam jangka waktu tertentu. Secara umum, pola kemitraan rantai pasok pertanian yang dilakukan petani, antara lain kemitraan petani dengan Koperasi Unit Desa (KUD), atau asosiasi tani dan petani dengan manufaktur, atau pengolah.

Keberhasilan kelembagaan rantai pasok pertanian tergantung bagaimana pelaku menerapkan kunci sukses. Kunci sukses tersebut adalah (Marimin dan Maghfiroh, 2010) :

a. Trust Building

Kepercayaan diantara anggota rantai pasokan mampu mendukung kelancaran aktivitas rantai pasokan, seperti kelancaran transaksi penjualan, distribusi produk dan distribusi informasi pasar.

b. Koordinasi dan Kerjasama

Hal ini dilakukan guna mewujudkan kelancaran rantai pasokan, ketepatan pasokan mulai dari produsen hingga retail dan tercapainya tujuan rantai pasokan.

c. Kemudahan Akses Pembiayaan

Akses pembiayaan yang mudah, disertai dengan bentuk administratif yang tidak rumit akan memudahkan anggota dalam rantai pasokan mengembangkan usahanya.

d. Dukungan Pemerintah

Peran pemerintah sebagai fasilitator, regulator dan motivator sangat penting dalam mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan struktur rantai pasokan yang mapan.

2.6 Proses Hirarki Analitik

Analytical Hierarchy Proces (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Dr.

Thomas L. Pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgement) dalam memilih alternatif yang paling disukai (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu hirarki.

Persoalan dalam keputusan AHP dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hirarki). Dimulai dengan goal sasaran lalu kriteria level pertama, subkriteria, dan akhirnya alternatif. Terdapat tiga (3) prinsip dalam memecahkan

(38)

persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu penyusunan hirarki, penetapan prioritas dan konsistensi logis (Marimin dan Maghfiroh, 2010) :

1. Penyusunan Hirarki

Penyusunan dilakukan dengan mengidentifikasi pengetahuan, atau informasi yang sedang diamati. Dimulai dari permasalahan kompleks yang diuraikan menjadi unsur pokoknya, unsur pokok ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagiannya lagi secara hirarki.

2. Penentuan Prioritas

Setiap level hirarki perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise

comparisons) untuk menentukan prioritas. Sepasang unsur dibandingkan

berdasarkan kriteria tertentu dan menimbang intensitas preferensi antar unsur. Dalam konteks ini, unsur yang pada tingkat yang tinggi tersebut berfungsi sebagai suatu kriteria disebut sifat (property).

3. Konsistensi Logis

Semua unsur dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika lebih dari 10%, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.

(39)

III. METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Kajian

Kajian konsep strategi pengembangan manajemen rantai pasok sayuran organik bernilai tambah tinggi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung merupakan bagian dari Riset Strategi Nasional “Pengembangan Pangan Organik yang Bernilai Tambah Tinggi Berbasis Petani” yang dibiayai oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi-Kementerian Pendidikan Nasional pada tahun anggaran 2012. Kerangka pemikiran kajian seperti terlihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Kerangka pemikiran kajian Strategi

Pengembangan SCM

Pemilihan Strategi Pengembangan SCM (AHP)

Perumusan Strategi Pengembangan SCM (SWOT)

Faktor Eksternal (Matriks EFE) Faktor Internal

(Matriks IFE)

Identifikasi Para Pelaku Rantai Pasok Analisis Deskriptif Kondisi

Lingkungan di Pangalengan

Identifikasi Karakteristik Produk Sayuran Organik

Sayuran Organik Bernilai Tambah Tinggi

(40)

Identifikasi faktor internal dan ekternal rantai pasok meliputi seluruh pelaku rantai pasok dari produsen/pemasok hingga pengguna/konsumen. Selain itu, identifikasi juga akan melibatkan pemerintahan setempat dan dinas pertanian pemerintah Kabupaten Bandung. Pemilihan strategi pengembangan rantai pasok sayuran organik akan melibatkan para ahli/pakar. Para ahli/pakar tersebut meliputipelaku rantai pasok sebagai perwakilan dari praktisi, salah satu ahli/pakar dari Kementerian Pertanian sebagai perwakilan dari pemerintah dan staf pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai perwakilan dari akademisi.

3.2. Lokasi dan Waktu Kajian

Kegiatan akan dilakukan pada wilayah, atau penghasil produk sayuran, yaitu daerah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tahapan awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi karakteristik produk sayuran potensial sebagai produk sayuran organik. Selain itu, kajian ini akan melakukan identifikasi para pelaku rantai pasok sayuran di Pangalengan dan melakukan analisis secara deskriptif kondisi lingkungan di Kecamatan Pangalengan.

Tahap berikutnya adalah menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal yang terkait dengan rantai pasok sayuran organik. Faktor-faktor ini dijabarkan melalui matriks IFE dan EFE, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis SWOTuntuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi oleh petani, kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam menjalani usaha pemasaran sayuran organik.Tahap akhir adalah memberikan keputusan alternatif strategi yang merupakan hasil dari pemetaan dari SWOT dengan menggunakan AHP.

Gambar 6. Sistem rantai pasok produk hortikultura (Hadiguna, 2007)

Keterangan :

: Menuju

: Feedback (Umpan balik) Sendiri Mitra Tani Mitra Beli Pemrosesan Penyimpanan persediaan Pelanggan/pasar Informasi Produk

(41)

Menurut Setiawan (2009), observasi terhadap supply chain yang ada dilakukan untuk mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang sering muncul dalam SCM dan nilai tambah pada masing-masing pelaku rantai pasok sayuran. Komponen-komponen dari rantai pasok sayuran dataran tinggi terdiri dari pasokan yang berasal dari produksi internal, atau sendiri, mitra beli, atau mitra tani (Hadiguna, 2007), seperti termuat dalam Gambar 6.

Penelitian akan dilakukan pada sentra penghasil produk sayuran organik di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Penelitian akan dilakukan selama enam (6) bulanyang dimulai dari bulan Juni hingga November 2012.

3.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik purposive sampling, yang melibatkan tenaga ahli, petani dan masyarakat pengguna sayuran organik.Data yang digunakan adalah data primer dansekunder. Pengumpulan dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :

1. Observasi lapangan

Data diperoleh dari pengamatan langsung serta melakukan wawancara dengan para pelaku rantai pasok seperti petani, pedagang/pengumpul, konsumen/masyarakat sekitar, serta lembaga formal dan non formal yang terkait dengan rantai pasok produksi dan pemasaran sayuran organik. Jumlah minimal orang yang menjadi contoh yang akan diwawancarai sebanyak tiga (3) orang dari masing-masing pelaku rantai pasok.

2. Opini Pakar

Pengumpulan datadiperoleh berdasarkan kuesioner SWOT yang disusun sesuai dengan analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis AHP dilakukan terhadap beberapa pilihan strategi untuk mendapatkan hasil pilihan strategi, maka perlu mempertimbangkan pendapat para ahli.

3. Data sekunder

Data ini diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka (library research) dan informasi-informasi dari instansi terkait.

(42)

3.4 Pengolahan dan Analisis Data

3.4.1 Identifikasi Karakteristik Produk Sayuran Organik

Identifikasi dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif untuk memperoleh gambaran umum danmendalam mengenai karakteristik produk sayuran organik yang ada di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, serta mengidentifikasiperanan para pelaku rantai pasok sayuran.

3.4.2 Formulasi Strategi

Menurut David (2010), teknik formulasi strategi dapat diintegrasikan kedalam 3 (tiga) tahap kerangka pengambilan keputusan, yaitu tahap pengumpulan input (the input stage), tahap pemanduan (the matching stage) dan tahappenetapan strategi (the decision stage).

a. Tahap I : Tahap Input

Tahap input terdiri atas Matriks EFE, Matrix CPM dan Matriks IFE. Membuat keputusan kecildalam matriks input berhubungan dengan tingkat penting relatif dari faktorinternal dan eksternal memungkinkan penyusun strategi untuk menghasilkan danmengevaluasi alternatif strategi dengan efektif. Penilaian intuitif yang baikselalu dibutuhkan untuk menentukan bobot dan peringkat yang sesuai.

b. Tahap II : Tahap Pencocokan

Tahap pencocokan dari kerangkakerja perumusan strategi terdiri atas 4 (empat) teknik yang dapat digunakan, yaituMatriks SWOT, Matriks Boston

Consulting Group (BCG), Matriks IE dan Matriks GrandStrategy. Alat ini

bersandar pada informasi yang diturunkan dari tahap inputuntuk mencocokkan peluang dan ancaman eksternal dengan kekuatan dankelemahan internal. Mencocokkan faktor keberhasilan kunci internal daneksternal adalah kunci untuk menghasilkan alternatif strategi yang layak secaraefektif.

c. Tahap III : Tahap Keputusan

Analisis dan intuisi memberikan dasar untuk membuat keputusan perumusan strategi. Teknik pencocokkan mengungkapkan alternatif strategi yang layak. Banyak dari strategi ini kemungkinan diajukan oleh manajer dan karyawan yang berpartisipasi dalam aktivitas analisis dan pilihan strategi. Strategi tambahan yang dapat dihasilkan dari analisis pencocokan dapat didiskusikan dan ditambahkan ke dalam daftar pilihan alternatif yang layak.

Gambar

Tabel 1. Volume ekspor komoditas sayuran nasional
Tabel 3. Sentra produksi sayuran unggulan  di Kabupaten Bandung
Gambar 1. Tahapan sertifikasi GAP ( Admin , 2012a)  2.1.4  Registrasi Lahan
Gambar 4.   Pola aliran material dalam SCM  (Marimin dan Maghfiroh,  2010)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya jika pada suatu postur kerja terdapat lebih dari satu elemen postur yang beresiko tinggi terhadapa terjadinya cedera otot rangka (misalnya postur leher, bahu, punggung

Pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh keluarga sangat penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarganya (Kartika, S,W, 2013) Kurangnya pemanfaatan

Hasil analisis mikroskopik dan SEM menunjukkan bahwa sedimen yang berasal dari luapan lumpur Sidoarjo ditemukan di sepanjang aliran Sungai Porong sampai muara, namun belum ditemukan

Mengkonsumsi minuman keras yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sungai Jernih terutama oleh kalangan bapak-bapak muda ( batin budak ) dan kalangan pemuda, telah

Pada miopia yang cukup tinggi tidak memenuhi syarat pada yang terakhir, sehingga bayangan yang jatuh pada retina tidak identik dan tidak dapat difusikan. Pada

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2020) bahwa virus corona telah mewabah di beberapa kecamatan yang ada di Kota Medan, salah satunya adalah Kecamatan Medan

Dari percobaan yang dilakukan sebanyak 30 kali, hasil perhitungan nilai parameter eror rate (P) masing-masing filter deteksi tepi Sobel dan Prewitt untuk citra yang mengandung

Dalam hubungannya dengan tingkat generalisasi, untuk mempertahankan tingkat kejelasan dan menghindari penuhnya detail, perlu dilakukan penyederhanaan beberapa tipe dari