• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

5.1 Tata Niaga Labi-labi 5.1.1 Pelaku Tata Niaga

Pelaku perdagangan labi-labi terdiri dari para pedagang besar, pengumpul dan para penangkap yang tersebar di kota Jambi dan 8 kabupaten lainnya di Provinsi Jambi, bahkan dari luar provinsi yaitu Provinsi Sumatera Selatan.

Pedagang

Pedagang besar yang memegang ijin edar dan ijin tangkap untuk labi-labi di Provinsi Jambi berjumlah 8 orang yang tersebar di 5 kabupaten dan Kota Jambi. Sebaran lokasi pedagang besar berikut wilayah tangkapnya disajikan dalam Gambar 6.

Gambar 6 Sebaran pedagang besar dan wilayah tangkapnya di Provinsi Jambi Jumlah pedagang besar terbanyak terdapat di Kota Jambi yaitu 3 dari 8 orang, sementara 5 orang lainnya tersebar masing-masing 1 orang di satu kabupaten lain. Sebaran lokasi domisili pedagang besar ini tidak menggambarkan wilayah kerja para pedagang tersebut karena hubungan kerjasama para pedagang dengan pengumpul maupun penangkap labi-labi terjadi lintas kabupaten bahkan lintas provinsi. Kabupaten Tebo, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung

0 2 4 6 Ju m lah Kota/kabupaten

(2)

Timur merupakan 3 kabupaten dimana tidak terdapat pedagang besar tetapi menjadi lokasi tangkap labi-labi yang dipasok kepada para pedagang tersebut.

Tujuh dari delapan pedagang besar tersebut juga memiliki ijin yang sama untuk beberapa spesies reptil lainnya dari jenis ular, biawak dan kura-kura. Oktaviani dan Samedi (2008) menyebutkan bahwa di Sumatera Selatan para penampung labi-labi juga menampung jenis reptil lainnya, namun dari 7 penampung yang memegang ijin pemanfaatan reptil hanya 2 yang memiliki ijin untuk spesies A. cartilaginea. Hasil penelitian Kusrini et al. (2009) di Kalimantan Timur menyebutkan bahwa hanya ada 1 pedagang besar yang memegang ijin pemanfaatan labi-labi dan pedagang besar tersebut sekaligus berfungsi sebagai eksportir. Selain sebagai bentuk diversifikasi spesies yang diusahakan, para pedagang besar ini juga mendapatkan keuntungan dari kegiatan pemotongan ular dan biawak, karena dagingnya dapat dijadikan pakan labi-labi yang dikumpulkan atau ketika labi-labi harus disimpan dalam waktu yang cukup lama sebelum dikirim.

Para pedagang besar merupakan pelaku tata niaga labi-labi yang menerima alokasi kuota tangkap labi-labi dari alam yang setiap tahun dibagikan melalui Balai KSDA Provinsi Jambi. Kuota tangkap labi-labi untuk Provinsi Jambi pada tahun 2010 dan 2011 berturut-turut adalah 1 000 dan 1 300 ekor, dengan jatah kuota tangkap per pedagang berkisar antara 50–300 ekor per tahun (BKSDA Jambi, 2012). Kuota tangkap yang diterima setiap pedagang besar direalisasikan selama 1 tahun berjalan dan secara administratif diterjemahkan dalam penerbitan SATS-DN yang menyertai pengangkutan labi-labi keluar provinsi Jambi. Lalu lintas pengangkutan labi-labi yang terjadi di dalam wilayah provinsi tidak memerlukan SATS-DN.

Pengumpul

Para pengumpul sebagai pelaku tata niaga labi-labi di Provinsi Jambi berperan sebagai perantara yang mengantarkan hasil tangkapan para penangkap labi-labi kepada para pedagang besar, dan umumnya memperoleh keuntungan dari selisih harga di pedagang besar dan di penangkap, tentunya setelah dikurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan seperti ongkos angkut. Pengumpul memasok labi-labi ke pedagang besar setiap 1-2 kali dalam satu bulan, bahkan ada juga

(3)

yang hampir setiap minggu mengantarkan labi-labi dengan jumlah dan ukuran yang beragam. Setiap pedagang besar di Provinsi Jambi memiliki hubungan kerja dengan pengumpul yang menyetorkan labi-labi dalam jumlah banyak, walaupun tidak sedikit penangkap perorangan yang langsung mengantarkan labi-labi yang berhasil mereka tangkap kepada para pedagang besar. Dua orang dari tujuh pengumpul yang berhasil diwawancarai langsung adalah mantan penangkap labi-labi sementara 2 orang lainnya masih aktif menjadi penangkap labi-labi-labi-labi. Kusrini et al. (2009) menyebutkan bahwa di Kalimantan Timur juga ada pengumpul yang sekaligus berperan sebagai pemancing labi-labi. Para pengumpul yang tidak merangkap sebagai penangkap labi-labi bekerja sebagai pengumpul reptil, penjual jasa (bengkel dan buruh perkebunan) atau mengelola kebun milik pribadi. Sebaran lokasi pengumpul berikut wilayah tangkapnya disajikan Gambar 7.

Gambar 7 Sebaran pengumpul labi-labi dan wilayah tangkapnya

Pengumpul labi-labi tersebar di hampir seluruh wilayah administrasi Provinsi Jambi dengan jumlah terbanyak di Kabupaten Muaro Jambi dan Merangin. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh merupakan 2 wilayah dalam Provinsi Jambi yang diduga tidak dihuni oleh labi-labi karena ketinggian tempatnya berkisar antara 500–3 805 m dpl, dan menurut Iskandar (2000) labi-labi masih bisa dijumpai sampai pada ketinggian 350 m dpl. Melalui informasi sebaran lokasi dan wilayah kerja para pengumpul ini dapat diduga bahwa labi-labi

0 1 2 3 4 5 Ju m lah Kota/kabupaten Jml Pengumpul Wil. Tangkap

(4)

tersebar hampir di seluruh perairan air tawar di wilayah Provinsi Jambi dengan ketinggian < 350 m dpl walaupun tetap dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Tigabelas dari duapuluh pengumpul (65%) konsisten memasok labi-labinya kepada satu pedagang tertentu saja. Pedagang yang menjalin kerjasama dengan pengumpul yang banyak identik dengan pasokan labi-labi dalam jumlah yang lebih banyak pula, dan ukuran populasi labi-labi di pedagang P1, P3 dan P6 memang lebih banyak dibandingkan pedagang lainnya. Pada pendataan bulan April 2012 jumlah labi-labi di pedagang P1, P3 dan P6 berturut-turut 174, 100 dan 161 ekor sementara pada pedagang lain berkisar antara 2–52 ekor, sebagaimana ditunjukkan Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8 (a) Proporsi jumlah pengumpul labi-labi yang menjadi pemasok ke pedagang besar (b) Jumlah pedagang pemasok labi-labi ke setiap pedagang

Pedagang besar di Provinsi Jambi menyebutkan bahwa pasokan labi-labi juga berasal dari beberapa pengumpul dari provinsi tetangga, terutama dari wilayah yang langsung berbatasan dengan kabupaten/kota di Provinsi Jambi. Tiga orang pengumpul dari wilayah Lesung Batu, Rawas dan Rupit (Provinsi Sumatera Selatan) yang berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun rutin mengantarkan labi-labi ke pedagang besar yang berdomisili di Kabupaten Sarolangun. Pengumpul dari daerah Bayung Lencir dan Sungai Lilin (Provinsi Sumatera Selatan) yang berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi ada juga memasok labi-labi kepada pedagang besar di Kota Jambi. Dari Provinsi Sumatera Barat juga diduga ada pasokan labi-labi ke pedagang besar yang berdomisili di Kabupaten Bungo. Pertimbangan yang mendorong para pengumpul di provinsi tetangga lebih memilih mengantarkan labi-labi hasil tampungannya ke pedagang besar di Jambi

0 5 10 15 1 2 > 2 P en gu m p u l

Pedagang yang dipasok

0 2 4 6 8 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P eng um pu l Pedagang

(5)

adalah harga yang lebih tinggi serta pembayaran yang lancar dibandingkan dengan pedagang di provinsi tetangga itu sendiri. Oktaviani dan Samedi (2008) menyebutkan bahwa labi-labi yang terkumpul di para pedagang di Sumatera Selatan juga ada yang berasal dari Lampung, Jambi dan Bangka Belitung.

Satu orang pengumpul juga melakukan pembesaran labi-labi di kolam penampungannya. Labi-labi berukuran kecil yang diperoleh dari penangkap tidak langsung disetorkan kepada pedagang besar, tetapi dipelihara untuk dibesarkan hingga mencapai ukuran super yang harga jualnya pun lebih tinggi, sebagaimana juga disebutkan oleh Kusrini et al. (2009). Pembesaran labi-labi cukup sederhana, dengan memberi pakan secara rutin satu kali dalam seminggu dan menempatkannya di kolam tanah ataupun semen. Labi-labi hasil pembesaran memiliki bentuk karapas yang tidak melebar dan bagian pinggirnya Pada kesempatan berkunjung ke eks lokasi pembesaran labi-labi, pemiliknya menyebutkan bahwa labi-labi berukuran berat 1 kilogram yang dimasukkan ke dalam kolam dan diberi pakan jerohan ayam sebanyak satu kali seminggu mengalami pertambahan berat hingga tujuh kilogram dalam waktu satu tahun. Pernyataan ini masih membutuhkan pembuktian melalui penelitian tersendiri tentang pengaruh pemberian pakan terhadap pertambahan berat labi-labi pada kelas umur dewasa muda.

Penangkap Profil Penangkap

Penangkap profesional adalah penangkap labi-labi yang memiliki kemampuan mengenali lokasi tangkap yang potensial dan menggunakan alat tangkap khusus, sementara penangkap oportunistik pada umumnya adalah penangkap ikan yang secara tidak sengaja mendapatkan labi-labi pada alat tangkap mereka. Penangkap labi-labi dibedakan menjadi penangkap profesional dan penangkap oportunistik sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya (Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Nijman 2012). Seluruh penangkap labi-labi yang menjadi responden langsung maupun tidak langsung dalam penelitian ini adalah penangkap profesional, dan terdiri dari duabelas penangkap tetap dan tigabelas penangkap sambilan. Penangkap profesional

(6)

dibedakan menjadi penangkap tetap dan penangkap sambilan berdasarkan alokasi waktu tangkapnya seperti ditunjukkan dalam Gambar 9.

Gambar 9 (a) jumlah penangkap sambilan berdasarkan komoditas bidang pekerjaan utama (b) jumlah penangkap berdasarkan curahan jam tangkap per hari

Gambar 9 (a) menunjukkan bahwa para penangkap sambilan memiliki bidang pekerjaan utama yang bervariasi namun 61.5% bergerak di komoditas perkebunan seperti karet dan sawit sebagai pemilik sekaligus pekerja ataupun hanya sebagai buruh kebun. Penangkap yang langsung mengantarkan labi-labi hasil tangkapannya adalah para penangkap yang berdomisili dekat dengan lokasi pedagang besar dan mereka tidak memiliki tempat penyimpanan sementara, sehingga untuk menghindari resiko kematian labi-labi tersebut langsung diantarkan ke gudang milik para pedagang besar. Di Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo dan Batang Hari penangkap labi-labi selain dari etnis Melayu juga sebagian besar adalah suku asli Jambi, yaitu Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam mengkonsumsi labi-labi berukuran kecil sebagai makanan mereka, tetapi mengkhususkan labi-labi berukuran besar untuk dijual kepada para pedagang besar. Mayoritas penangkap labi dari Suku Anak Dalam mengantarkan labi-labi langsung kepada pedagang besar tanpa melalui penampung.

Curahan waktu tangkap berbeda pada setiap penangkapan, karena ditentukan oleh lokasi tangkap dan perolehan labi-labi, namun waktu tangkap rata-rata yang dihabiskan oleh penangkap labi-labi adalah sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 9 (b). Penangkap yang memulai perjalanan menuju lokasi tangkapnya pada pagi hari berangkat sekitar jam 7 pagi dan menghabiskan waktu menurut kondisi yang ditemui saat pemancingan, tetapi rata-rata mengalokasikan 7-8 jam per hari tangkap. Penangkap sambilan memulai

6

2 4

1 a)

Karet Sawit Ikan Lainnya

4

5

7

7 2

b)

(7)

penangkapan pada siang/sore hari setelah mereka menyelesaikan pekerjaan utamanya terlebih dulu, dan menghabiskan waktu tangkap rata-rata 4-6 jam per hari tangkap. Enam orang penangkap menyebutkan bahwa mereka juga melakukan pemancingan pada malam hari karena kondisi sekitar lokasi pancing lebih tenang dan labi-labi cenderung lebih banyak beraktivitas.

Metode tangkap

Penangkapan labi-labi oleh para penangkap menggunakan beberapa cara yaitu pemancingan, pemasangan perangkap (bubu/pangilar), pemasangan tajur, pencarian dengan tombak (tuk-tuk), bahkan pembongkaran sarang. Gambar 10 menunjukkan jenis alat tangkap labi-labi dan umpan yang digunakan di Jambi.

Gambar 10 Peralatan menangkap labi-labi (a) pangilar atau bubu; (b) Inggu, bahan beraroma amis yang sangat tajam sebagai umpan labi-labi yang dipasang di bubu/pangilar; (c) gulungan tali pancing berupa benang nilon; (d) mata pancing ukuran nomor 10; (e) umpan pancing labi-labi berupa daging atau jerohan ayam; dan (f) cara pemancing memasang mata pancing pada tali pancing

(8)

Beberapa metode yang sama dilakukan juga di tempat lain dimana terdapat aktivitas pemanenan labi-labi dari habitat alaminya (Jensen & Das 2008; Kusrini et al. 2009; Lilly 2010; Mumpuni & Riyanto 2010; Mumpuni et al. 2011). Tiga cara pertama dapat dilakukan kapan saja tanpa tergantung musim, sementara pencarian dengan tuk-tuk atau pembongkaran sarang khusus dilakukan oleh suku asli Jambi, Suku Anak Dalam, dan hanya dilakukan pada musim kemarau. Alat tangkap labi-labi (Gambar 10) berbeda dari alat tangkap jenis yang sama yang digunakan untuk memancing/menangkap ikan. Mata pancing yang digunakan untuk memancing labi-labi berukuran lebih besar dan jenis umpan yang digunakan pun berbeda sementara bubu/pangilar yang digunakan untuk menangkap labi-labi juga memiliki bentuk dan ukuran yang lebih besar. Sterrett et al. (2010) menyebutkan bahwa metode penangkapan dengan memasang umpan bagian tubuh hewan pada mata pancing tepat digunakan untuk spesies kura-kura yang bersifat omnivorus. Metode penangkapan lain adalah penangkapan menggunakan tangan, tetapi pada labi-labi tidak mungkin dilakukan mengingat labi-labi termasuk hewan galak dan cenderung menghindari gangguan. Penggunaan inggu sebagai umpan non-hewani dipilih oleh penangkap labi-labi di Jambi yang menggunakan bubu atau pangilar karena bau amis yang ditebarkan inggu yang terlarut dalam air sangat tajam dan lebih cepat menarik perhatian labi-labi.

Tipe habitat yang dipilih oleh para pemancing lebih beragam dibandingkan yang menggunakan bubu atau pangilar karena jenis alat yang digunakan pun menentukan tipe habitatnya. Penangkap yang menggunakan alat pancing lebih leluasa memilih tipe habitat tangkap karena kemudahan dalam pemakaian/pemasangannya ataupun perpindahan lokasi pemancingan di sungai, danau atau rawa yang sama, namun perolehan hasil pancingan terbatas hanya satu ekor di setiap mata pancing yang ditebar. Walaupun sama-sama menggunakan alat pancing terdapat perbedaan antara memancing labi-labi di sungai, danau dan rawa. Berdasarkan pengamatan selama mengikuti para pemancing di berbagai lokasi di Jambi, di setiap titik pemancingan penangkap menebarkan 4–7 mata pancing tunggal dan masing-masing mata pancing tersebut berjarak 2-3 meter lalu menunggu sekitar 15–20 menit sebelum kemudian berpindah ke titik

(9)

pemancingan berikutnya. Jumlah dan jarak mata pancing yang digunakan di danau tidak berbeda dengan di sungai tetapi alokasi waktu sebelum berpindah ke titik pancing berikutnya lebih lama, berkisar antara 30–45 menit. Menurut penangkap yang memancing di beberapa tipe habitat perbedaan ini berhubungan dengan ada atau tidaknya aliran air di habitat tersebut yang berfungsi mengantarkan bau dari umpan yang dipasang di mata pancing untuk menarik labi-labi.

Bubu atau pangilar lebih sesuai digunakan di tipe habitat rawa dengan cara membendung sebagian badan rawa dan menyesuaikan lebar aliran air dengan ukuran bagian bubu atau pangilar tempat labi-labi masuk. Walaupun jenis alat ini hanya cocok digunakan di rawa dan membutuhkan waktu satu hari untuk pemasangan satu unit, ukurannya yang besar dan panjang memungkinkan diperoleh lebih dari satu ekor labi-labi dalam satu bubu atau pangilar pada satu kali pemasangan. Bila kedua cara tangkap tersebut dibandingkan dengan kondisi labi-labi yang tertangkap sebagai tolok ukurnya maka bubu atau pangilar lebih baik daripada pancing. Labi-labi yang terperangkap dalam bubu atau pangilar tetap dapat bergerak dan tidak ada resiko tersangkut ataupun terluka di bagian tubuhnya seperti yang diakibatkan oleh mata pancing yang tertelan. Hasil ini mendukung penelitian Lilly (2010) di Kalimantan Barat.

Proporsi jumlah pemancing berdasarkan tipe habitat dan jenis alat yang digunakan ditampilkan dalam Gambar 11.

Gambar 11 Proporsi pemancing berdasarkan (a) tipe habitat dan (b) jenis alat yang digunakan

Duapuluh tiga dari duapuluh lima penangkap memilih sungai sebagai lokasi tangkap yang disukai, enam memilih rawa dan untuk danau dan kanal

masing-23 1

6 1 a)

Sungai Danau Rawa Kanal

20 5 b)

(10)

masing hanya satu penangkap. Tiga orang penangkap memancing di semua tipe habitat, sementara penangkap lainnya dapat disebut sebagai spesialis pemancing sungai dan pemasang bubu atau pangilar di rawa. Para penangkap di Jambi melakukan penangkapan labi-labi secara berkelompok terdiri dari 2–5 orang penangkap. Keuntungan yang diperoleh ketika melakukan penangkapan labi-labi secara berkelompok diantaranya adalah peluang perolehan yang lebih besar karena semakin banyak mata pancing yang terpasang, dan khusus untuk pemasangan bubu atau pangilar yang relatif sulit dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat. Disamping itu ada pertimbangan keamanan dan kemudahan membawa hasil tangkapan ketika lokasi penangkapan berjarak jauh dari pemukiman penduduk serta hasil tangkapan yang diperoleh cukup banyak. Penangkapan oleh perorangan juga ada dilakukan tetapi biasanya di sungai-sungai kecil yang dekat dengan tempat tinggal penangkap.

5.1.2 Alur Perdagangan

Alur perdagangan labi-labi di Provinsi Jambi dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 12 Alur perdagangan labi-labi di Provinsi Jambi

Alur perdagangan labi-labi merupakan hubungan kerja antar-pelaku perdagangan dan dalam hal ini dikendalikan oleh harga beli dari masing-masing pedagang. Di lokasi pedagang dan pedagang ternyata selain labi-labi juga ditemukan spesies kura-kura lainnya yaitu curup (Dogania subplana), biuku (Orlitia borneensis) dan kura-kura patah dada (Cuora amboinensis). Pada umumnya para penangkap akan mengambil kemudian menjual spesies kura-kura apapun yang ditemui, namun kura-kura berkarapas lunak seperti labi-labi lebih

Penangkap Profesional Penangkap Oportunistik Pengumpul Pedagang Besar Pasar Lokal Habitat Labi-labi

(11)

disukai karena harga jualnya yang lebih tinggi, bahkan di negara India bisa mencapai enam kali lipat harga domba atau ayam (Traffic 1999). Labi-labi yang ditangkap dari alam baik oleh penangkap profesional maupun penangkap oportunistik dibawa untuk dijual kepada pengumpul atau langsung ke pedagang.

Para penangkap secara periodikal menyerahkan labi-labi hasil tangkapan mereka kepada satu pengumpul atau pedagang, tetapi para pengumpul bisa memasok ke lebih dari satu pedagang. Para penangkap yang menangkap labi-labi secara berkelompok biasanya mempercayakan hasil tangkapan mereka kepada satu penangkap saja untuk kemudian diantarkan kepada pengumpul atau pedagang langganan mereka. Diantara para penangkap ada sistem kerja yang mereka kembangkan, dan berbeda menurut keanggotaannya. Pada kelompok penangkap yang melibatkan seorang pengumpul sekaligus penangkap maka hampir seluruh biaya yang dikeluarkan, kecuali perbekalan pribadi, ditanggung oleh pengumpul tersebut. Sebagai konsekuensinya, seluruh hasil tangkapan diserahkan kepada pengumpul tersebut yang kemudian akan memberikan harga dibawah harga jual langsung kepada pedagang besar berdasarkan prinsip harga jual dikurangi hasil tangkapan perorangan akan dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Pada kelompok yang seluruh anggotanya adalah penangkap maka biaya ditanggung bersama, dan hasil tangkapan merupakan milik perorangan anggota. Hasil tangkapan kelompok ini langsung diantarkan kepada pedagang besar karena para penangkap tidak memiliki tempat penampungan sementara dan untuk menghindari resiko kematian labi-labi hasil tangkapan mereka.

Baik pengumpul maupun pedagang ada yang memberikan pinjaman modal ataupun menerapkan sistem tabungan kepada para penangkap labi-labi, dan sistem ini menjadikan para penangkap terikat kepada satu pengumpul atau pedagang tertentu saja. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan Mardiastuti (2008) bahwa tidak ada hubungan pra-pembiayaan dalam rantai perdagangan labi-labi dan transaksi jual-beli dilakukan dengan sistem cash and carry. Hasil wawancara langsung maupun berdasarkan informasi pengumpul menunjukkan dari 25 responden penangkap yang tersebar di lima kabupaten yang disurvei 52% diantaranya menyerahkan hasil tangkapannya kepada pengumpul sementara 48% penangkap lainnya menyerahkan hasil tangkapan mereka kepada pedagang.

(12)

Di Jambi labi-labi juga dikonsumsi oleh para konsumen lokal dalam jumlah yang relatif sedikit, dan tidak ada pasar formal seperti pasar tradisional yang terdapat di Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009) maupun Kalimantan Barat (Lilly 2010). Para pembeli yang berminat langsung membeli kepada pedagang atau pedagang yang telah dikenalnya. Hal ini dikarenakan labi-labi adalah satwa yang dagingnya tidak umum dikonsumsi oleh semua orang, atau dengan kata lain labi-labi memiliki pasar khusus yang terbentuk berdasarkan informasi yang terbatas. Traffic (2008) menyebutkan bahwa konsumsi lokal labi-labi di Indonesia jauh lebih rendah dibanding di daerah Indocina yang disebabkan oleh perbedaan pola makan maupun jenis makanan yang dikonsumsi, ditambah pula adanya aturan agama dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Labi-labi yang diperjualbelikan untuk konsumen lokal berasal dari pengumpul dan pedagang, dan tidak ada yang langsung dijual oleh para penangkapnya. Melalui wawancara dengan satu orang pengumpul dan tiga pedagang diperoleh informasi bahwa di Provinsi Jambi konsumen lokal yang rutin membeli labi-labi walau dalam jumlah relatif sedikit, dan labi-labi yang diminati adalah labi-labi berukuran kecil. Diluar waktu tersebut, pedagang ini juga melayani pembelian dalam jumlah dan periode waktu yang tidak tetap.

Labi-labi dari Provinsi Jambi dikirim keluar provinsi kepada para eksportir maupun pedagang lokal di provinsi lainnya (Gambar 13) karena di Jambi tidak ada eksportir labi-labi. Kerjasama di tingkat pedagang terjalin untuk memenuhi permintaan pengiriman labi-labi dari para eksportir dimana para pedagang saling berhubungan untuk menggabungkan stok labi-labi mereka di salah satu pedagang, biasanya pedagang dengan stok terbanyak, untuk kemudian labi-labi tersebut akan dikirimkan dalam satu kali pengangkutan. Para pedagang besar memilih menjual labi-labinya kepada eksportir di Jakarta kendati di Sumatera Utara dan Riau juga terdapat eksportir labi-labi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sortasi yang lebih longgar walaupun harga belinya lebih murah dibandingkan harga beli eksportir di kedua provinsi tersebut.

(13)

Gambar 13 Kota tujuan penjualan labi-labi dari pedagang besar di Jambi

Labi-labi yang telah disepakati harga pembeliannya diangkut dan biaya transportasi menjadi tanggungan eksportir/pembeli dari kota lain, begitu juga resiko kerusakan atau kematian labi-labi setelah meninggalkan tempat pedagang. Labi-labi yang diperuntukkan bagi ekspor adalah labi-labi hidup yang memiliki tampilan baik dan tidak cacat serta kebanyakan termasuk dalam ukuran super menurut klasifikasi pedagang setempat. Labi-labi untuk pasar domestik memiliki kualitas lebih rendah yang umumnya merupakan sisa sortiran kualitas ekspor dan di Jambi dikenal dengan istilah “BS”. Tabel 3 menyajikan kriteria kondisi labi-labi yang dikategorikan tidak layak ekspor atau disebut “BS”.

Tabel 3 Kriteria kondisi labi-labi yang tidak layak ekspor

Kategori Kondisi fisik

“BS” 1 Bagian plastron berwarna kemerahan

2 Mata buta

3 Bagian kaki mengalami luka atau cacat 4 Lemas karena menelan mata pancing 5 Bagian kloaka mengalami pembengkakan

5.1.3. Harga

Harga labi-labi berfluktuasi mengikuti perkembangan permintaan, terutama dari negara-negara importir. Harga yang berlaku berbeda untuk tingkat produsen (penangkap, pedagang dan pedagang) dan konsumen (perorangan atau restoran). Harga labi-labi pada tingkat produsen di Jambi diklasifikasikan menjadi 3 kelas berdasarkan ukuran berat yaitu : kelas kecil dengan kisaran berat <7 kg, kelas

0 1 2 3 4 5 6 7

(14)

super dengan kisaran berat 7–20 kg, dan kelas besar dengan kisaran berat > 20 kg. Harga jual untuk konsumen rata-rata Rp35 000.00–Rp40 000.00/kg untuk pasar lokal Jambi dan Rp40 000.00–Rp50 000.00/kg untuk pasar konsumen di Jakarta.

Seperti halnya komoditas perdagangan lainnya, harga labi-labi juga mengalami pertambahan di setiap tingkat pelaku perdagangan. Harga labi-labi ditentukan oleh jumlah permintaan ekspor karena harga untuk pasar lokal cenderung lebih stabil. Hal ini dikemukakan oleh eksportir dan pedagang yang diwawancarai. Permintaan ekspor yang tinggi diikuti oleh naiknya harga beli dari eksportir kepada pedagang besar demikian pula dari pedagang besar ke pengumpul/penangkap, dan sebaliknya ketika permintaan ekspor menurun maka harga beli labi-labi pun akan menurun. Para pedagang dan pengumpul mengaku mengalami kerugian karena besarnya resiko kematian labi-labi yang mereka simpan selama para eksportir tidak menerima pasokan labi-labi mereka. Tabel 4 menunjukkan harga jual labi-labi berdasarkan klasifikasi ukuran berat di setiap tingkat produsen di Provinsi Jambi.

Tabel 4 Selisih harga labi-labi antara pelaku tata niaga di Provinsi Jambi

Pelaku Perdagangan

Harga Jual Rata-rata Selisih Harga

Kecil Super Besar I II III

Penangkap 13 900 21 500 11 100

Pengumpul 16 800 27 700 13 600 2 900 6 200 2 500

Pedagang 32 100 44 200 25 800 15 300 16 500 12 200

Selisih harga jual setiap tingkat pelaku tata niaga labi-labi di Provinsi Jambi berkisar antara Rp2 500.00–Rp16 500.00 per kilogram berat labi-labi hidup. Selisih harga terendah terjadi pada rantai penangkap–pedagang untuk kelas ukuran labi-labi yang besar. Biaya yang dikeluarkan oleh setiap pelaku perdagangan tidak menjadi bagian penelitian ini, tetapi biaya yang ditimbulkan oleh jarak tempuh antara lokasi pengumpul dan pedagang menurut para pengumpul dapat tertutupi karena labi-labi yang diantar atau dijemput seringkali bersamaan dengan spesies reptil lainnya seperti ular (Python reticulatus dan Python brongersmai) atau biawak air tawar (Varanus salvator). Pengiriman labi-labi dari pengumpul ke pedagang berlangsung secara kontinyu namun dengan periode pengiriman yang bervariasi antara setiap pengumpul.

Harga labi-labi di Kalimantan Timur juga dibedakan berdasarkan ukuran berat (Kusrini et al. 2009) kelas <20 kg, kelas 20-30 kg dan kelas >30 kg

(15)

berturut-turut Rp24 000.00/kg, Rp22 000.00/kg dan Rp20 000.00/kg, namun ada perbedaan antara Provinsi Jambi dengan Kalimantan Timur yaitu pada tingkat penangkap di Kalimantan Timur hanya berlaku 2 kelas harga (labi-labi berukuran berat < 20 kg dan > 20 kg) sementara di Jambi umumnya berlaku 3 kelas harga di setiap tingkat produsen. Di Provinsi Sumatera Selatan, Oktaviani dan Samedi (2008) menyebutkan bahwa harga labi-labi juga dibedakan berdasarkan klasifikasi ukuran namun dengan interval berat yang lebih sempit, sehingga terbagi menjadi 8 kelas dengan harga tertinggi untuk labi-labi berukuran 3.1–9.9 kg yaitu Rp10 000.00–Rp40 000.00 per kilogram.

Menurut eksportir labi-labi yang diwawancarai, terjadinya perbedaan harga ini disebabkan oleh kuota ekspor labi-labi yang ditetapkan dalam satuan individu (ekor) sementara harga jualnya berdasarkan ukuran berat (kilogram). Biaya pengurusan ijin ekspor (CITES permit) yang dikeluarkan untuk satu ekor labi-labi berukuran 3 kilogram sama dengan labi-labi berukuran 15 kilogram, sementara meskipun ukuran kecil dihargai lebih mahal namun jumlah kilogram per individu jelas mempengaruhi perolehan dari tiap individu tersebut. Eksportir lebih memilih mengekspor labi-labi berukuran besar karena berdasarkan perhitungan biaya lebih menguntungkan (Mardiastuti 2008) walaupun sesekali tetap memasukkan labi-labi berukuran kecil demi memuaskan importirnya. Harga tertinggi untuk labi-labi-labi-labi pada kisaran ukuran 7–20 kilogram akan mendorong pemanenan terfokus pada kelas ukuran tersebut sementara hal ini bertentangan dengan rekomendasi CITES management atas pertimbangan penyelamatan kelas umur reproduktif.

Traffic (1999) menyebutkan bahwa labi-labi yang diminati untuk dikonsumsi pada umumnya adalah labi-labi berukuran kecil, dan hal ini sesuai dengan fakta yang ditemukan di Jambi. Pengumpul yang berdomisili di Kabupaten Tanjung Jabung Barat menyebutkan bahwa setiap bulan sekitar 10 ekor labi-labi berukuran berat <4 kg rutin dijual kepada konsumen perorangan. Dua pedagang di Kota Jambi setiap minggu memasok 2–3 ekor labi-labi berukuran <5 kg ke satu rumah makan yang menjual masakan berbahan labi-labi. Seorang pedagang besar di Kabupaten Bungo memenuhi permintaan labi-labi untuk konsumen lokal yang memuncak pada setiap akhir tahun, mencapai 20–30 ekor dengan ukuran berat <7 kg per ekor. Pengamatan proses jual-beli dan

(16)

wawancara terhadap penjual labi-labi di Pasar Glodok Jakarta selama 2 kali kunjungan juga menemukan bahwa labi-labi yang dijual berkisar antara 3–7 kg, dengan jumlah terbanyak pada ukuran 5 kg. Informasi yang diperoleh dari seorang eksportir juga menyebutkan bahwa di negara yang menjadi tujuan ekspornya yang paling diminati dan berharga paling tinggi adalah labi-labi berukuran 1–3 kg. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tekstur tubuh labi-labi yang berukuran kecil lebih lembut dan ketika diolah menjadi masakan menghasilkan sajian yang lebih disukai penikmatnya (Traffic 1999). Konsumen perorangan juga akan memilih labi-labi dengan ukuran yang disesuaikan kebutuhan, dalam arti untuk konsumsi satu keluarga umumnya cukup dengan membeli 1 ekor labi-labi berukuran <4 kg. Hasil ini berbeda dengan yang ditemukan Kusrini et al. (2009) di Kalimantan Timur, dimana labi-labi yang dijual di pasar lokal adalah labi-labi berukuran besar (≥12 kg) dengan kisaran harga Rp18 000.00–Rp35 000.00/kg, dan mencapai angka penjualan sebesar 90–100 kg/minggu. Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya orang yang mengkonsumsi daging labi-labi sehingga pasar lokal bisa menjual daging labi-labi layaknya daging satwa lainnya seperti sapi, kerbau atau ayam. Penjualan labi-labi dalam bentuk potongan-potongan daging ini tentu membuka peluang bagi masuknya labi-labi berukuran besar yang sebaliknya justru tidak laku di pasar lokal Jambi atau Jakarta.

5.2 Demografi Populasi Panenan 5.2.1 Ukuran Populasi

Kelimpahan relatif labi-labi di lokasi tangkap tidak dihitung karena selama melaksanakan pengambilan data dengan cara mengikuti kegiatan pemancingan hanya enam ekor labi-labi yang terpancing di enam lokasi pancing yang berbeda. Empat orang pemancing menyatakan bahwa dalam beberapa kali kegiatan memancing, pancing mereka hampir berhasil memperoleh labi-labi yang diindikasikan dari hilangnya umpan pancing yang dipasang pada mata pancing mereka. Namun pernyataan para pemancing tidak dapat dipertimbangkan sebagai justifikasi dari keberadaan labi-labi di lokasi pancing tersebut. Minimnya jumlah labi-labi tertangkap dan sulitnya menemukan sarang labi-labi yang dapat

(17)

dijadikan indikator keberadaan labi-labi di lokasi pancing menyebabkan sulitnya dilakukan estimasi kelimpahan populasi labi-labi.

Jumlah labi-labi di setiap pedagang bervariasi antara 2-370 ekor. Menurut para pedagang besar saat penelitian ini dilakukan bukan merupakan masa puncak panen labi-labi dikarenakan masih seringnya hujan turun, sementara labi-labi lebih banyak berhasil dipanen pada saat musim kering/kemarau yang pada tahun 2012 ini oleh para pedagang besar diprediksikan terjadi pada bulan Juli.

Tabel 5 Peubah parameter demografi populasi panenan labi-labi di pedagang dan pengumpul

Parameter Demografi

Panenan di Pedagang (P) Panenan di Pengumpul (Pn)

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Pn1 Pn2 Pn3 Pn4 Ukuran populasi 174 6 100 14 25 370 2 52 5 15 23 5 Nisbah Kelamin jantan betina 1:1,6 67 107 1:1 3 3 1:1,1 47 53 1:2,5 4 10 1:1,7 9 16 1:1,4 154 216 0 2 0 1:1,3 23 29 1:1,5 2 3 1:1,5 6 9 Kelas umur : Remaja 3 3 2 5 Dewasa Muda 17 17 3 1 36 2 4 2 Dewasa 157 6 80 11 24 331 2 52 1 6 23 3 Jantan 60 3 47 2 8 131 2 23 5 Betina 97 3 33 9 16 200 29 1 1

Sumber : Data yang diolah dari delapan pedagang dan empat pengumpul labi-labi di Provinsi Jambi

Pendekatan estimasi kelimpahan populasi panenan yang digunakan adalah jumlah per satuan waktu tangkap (ekor/bulan) (Seber 1982). Angka yang digunakan sebagai asumsi panenan per bulan adalah rata-rata dari panenan selama tiga bulan di salah satu pedagang. Selama bulan April–Juni 2012 panenan labi-labi di pedagang tersebut menunjukkan angka 161, 103 dan 106 ekor dan diperoleh rata-rata 123.33 ekor/bulan. Bila kemudian diasumsikan jumlah panenan yang diterima pedagang setiap bulannya adalah tetap, maka untuk satu tahun didapatkan total panenan 1 476 ekor untuk satu pedagang.

Penelitian tentang populasi labi-labi telah dilakukan di beberapa provinsi yang menjadi wilayah sebaran labi-labi di Indonesia. Studi pemanenan dan perdagangan labi-labi di wilayah Kalimantan Timur (Kusrini et al. 2009) yang dilakukan di sungai sepanjang 10 565 km selama 17 hari dengan jumlah tangkapan 7 ekor labi-labi memberikan angka estimasi kelimpahan (produksi)

(18)

1.17 ekor/km/bulan. Mumpuni dan Riyanto (2010) dalam surveinya di tiga provinsi menyebutkan estimasi kelimpahan di Sumatera Selatan adalah 70.54 ekor per bulan, di Jambi 74.09 ekor per bulan dan di Riau 60.89 ekor per bulan. Di Sumatera Barat hasil survei Mumpuni et al. (2011) menunjukkan estimasi kepadatan di dua lokasi survei berturut-turut 16 ekor/km dan 3 ekor/km. Data tersebut merupakan estimasi kelimpahan total di suatu wilayah yang dihitung dengan menggunakan angka kelimpahan relatif di lokasi tangkap.

Estimasi kelimpahan hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Mumpuni dan Riyanto (2010) di Jambi (123.34 ekor/bulan dan 74.09 ekor/bulan). Hal ini disebabkan oleh jumlah labi-labi yang berbeda pada saat penelitian dilakukan, dan Mumpuni dan Riyanto (2010) mengasumsikan jumlah labi-labi di setiap pedagang besar adalah sama.

5.2.2 Nisbah Kelamin

Populasi panenan labi-labi yang berhasil diidentifikasi jenis kelaminnya di pedagang besar menunjukkan lebih banyak individu betina yang dipanen (Gambar 14). Di tingkat pedagang dominasi labi-labi betina mencapai angka 58.52% sementara di tingkat pengumpul mencapai 60%. Perbandingan jumlah labi-labi jantan dan betina secara keseluruhan adalah 310:433 atau nisbah kelaminnya adalah 1:1.39.

Gambar 14 Proporsi populasi panenan berdasarkan jenis kelamin labi-labi di setiap pedagang 0 50 100 150 200 250 P1 (174) P2 (6) P3 (100) P4 (14) P5 (25) P6 (370) P7 (2) P8 (52) Ju m lah Pengumpul Jantan Betina

(19)

Tidak ada preferensi jenis kelamin pada tindakan pemanenan labi-labi di Jambi maupun daerah lainnya di Indonesia (Kusrini et al. 2009; Lilly 2010), sehingga proporsi jenis kelamin hasil tangkapan sepenuhnya tergantung pada keberhasilan penangkapan. Hal ini dikarenakan pemanenan labi-labi tidak mengenal musim tertentu, misalnya musim bertelur, yang memungkinkan proporsi tangkapan mengelompok pada jenis kelamin atau kelas umur tertentu. Pemanenan kura-kura moncong babi Carettochelys insculpta dilakukan pada saat musim bertelur sehingga banyak individu betina yang tertangkap sedang melakukan aktivitas bersarang (Eisemberg 2010), dan pemanenan Malayemys subtrijuga di Kamboja mengarah kepada betina yang mengandung telur karena olahan individu betina yang mengandung telur dianggap sebagai sajian yang istimewa (Platt et al. 2008). Preferensi terhadap jenis kelamin tertentu dalam melakukan pemanenan memiliki sejumlah konsekuensi, dan kekhawatiran meningkat ketika pemanenan dilakukan terhadap individu betina dewasa. Individu betina lebih berperan dalam pertumbuhan populasi suatu spesies satwaliar karena memiliki fungsi sebagai penghasil keturunan, tetapi peran individu jantan terhadap keberhasilan proses reproduksi pun perlu mendapat pertimbangan. Hasil penelitian mengenai nisbah kelamin ideal labi-labi belum tersedia sampai dengan saat ini, sehingga belum dapat dipastikan apakah pemanenan yang didominasi jantan memberikan dampak positif terhadap kelestarian populasi labi-labi di alam. Apabila pemanenan labi-labi yang tidak berdasarkan preferensi terhadap jenis kelamin atau kelas umur tertentu digunakan untuk menduga kondisi populasi labi-labi di alam maka populasi labi-labi-labi-labi di Jambi diduga didominasi oleh betina pada kelas umur dewasa. Indrawan et al. (2007) menyebutkan bahwa perbandingan jenis kelamin yang tidak seimbang dalam populasi pada gilirannya akan memperkecil ukuran populasi efektif. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan kegiatan pemanenan labi-labi dari alam kendati penelitian lebih lanjut tetap dibutuhkan.

5.2.3 Kelas Umur

Berdasarkan kelas umurnya populasi panenan labi-labi di Provinsi Jambi didominasi oleh labi-labi dewasa (Gambar 15).

(20)

Gambar 15 Struktur populasi panenan labi-labi berdasarkan kelas umur

Pada populasi panenan di pedagang masih ditemukan individu labi-labi dari kelas umur remaja dalam porsi yang relatif kecil, hanya 0.80% dari total populasi 743 individu, sementara di pedagang terdapat 14.58% labi-labi remaja dari total 48 individu. Gambar 15 menampilkan struktur populasi panenan berdasarkan kelas umur yang berbentuk piramida terbalik, menunjukkan kondisi populasi panenan didominasi oleh kelas umur dewasa.

Labi-labi dikategorikan ke dalam kelas umur dewasa setelah mencapai ukuran PLK minimum 25 cm, dan dalam penelitian ini ukuran PLK tersebut identik dengan kisaran berat 1.11–2.50 kg. Kelas umur dewasa muda memiliki proporsi yang kecil dibandingkan kelas umur dewasa dan terdapat di 5 pedagang besar, sementara kelas umur remaja hanya ditemukan di 2 pedagang. Berdasarkan pembagian kelas umur pada setiap jenis kelamin labi-labi maka jumlah terbanyak baik pada jantan maupun betina adalah kelas umur dewasa. Struktur populasi panenan berdasarkan kelas umur yang berbentuk piramida terbalik menunjukkan kondisi populasi panenan didominasi oleh kelas umur dewasa. Untuk kura-kura dengan pencapaian umur dewasa yang lebih awal, peluang hidup yang tinggi pada kelas umur dewasa menjadi lebih penting bagi pertumbuhan populasi (Heppel 1998 dalam Chacín 2010) sehingga pemanenan besar-besaran terhadap kelas umur dewasa dikhawatirkan mengancam proses perkembangbiakan dan pemulihan populasinya di alam.

-500 -400 -300 -200 -100 0 100 200 300 400 Tukik Remaja Dewasa Muda Dewasa Jantan Betina

(21)

5.2.4 Angka Kematian

Angka kematian pada saat dilakukan penelitian hanya terjadi di satu pedagang besar di Kabupaten Sarolangun. Kematian 24 ekor labi-labi terjadi pada bulan Juni 2012 saat populasi panenan berjumlah 106 ekor, sehingga angka kematian pada bulan tersebut adalah 22.6%. Jumlah kematian tersebut terhadap total jumlah populasi panenan di seluruh pedagang yang berjumlah 743 ekor adalah sebesar 3.23%. Kematian labi-labi di kolam penampungan pedagang ini disebabkan oleh terlalu padatnya kolam penampungan sementara masa penampungan pun berlangsung lama sehingga terjadi perkelahian antar labi-labi tersebut. Kusrini et al. (2009) menghitung angka kematian panenan di lokasi pengumpulan di Kalimantan Timur, dan hasilnya menunjukkan terjadi kematian pada 11 ekor labi-labi dari populasi berjumlah 526 ekor (Kusrini et al. 2009) yang disebabkan oleh luka akibat pemancingan, sementara Lilly (2010) menyebutkan angka kematian sebesar 15% di tingkat pengumpul di Kabupaten Sambas dan Ketapang, Kalimantan Barat, juga diduga disebabkan oleh luka akibat bekas pemancingan.

Karakteristik populasi panenan labi-labi berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin di Jambi selama pelaksanaan penelitian dapat disajikan dalam Gambar 16. (a) (b) 0 20 40 60 80 100 120 Ap ril Me i Ju n i Ju m lah Lab i-lab i

Bulan dalam tahun 2012

Jantan Betina 0 20 40 60 80 100 120 140 160

April Mei Juni

Ju m lah Lab i-lab i

Bulan dalam tahun 2012

Remaja Dewasa Muda Dewasa

(22)

(c) (d)

Gambar 16 (a) Populasi panenan di satu pedagang berdasarkan jenis kelamin selama bulan April–Juni 2012 (b) Populasi panenan di satu pedagang berdasarkan kelas umur selama bulan April–Juni 2012 (c) Populasi panenan di seluruh pedagang berdasarkan jenis kelamin selama bulan April (d) Populasi panenan di seluruh pedagang berdasarkan kelas umur selama bulan April

Apabila data populasi panenan yang diperoleh selama penelitian dijadikan pendekatan untuk melihat tren populasi panenan labi-labi di Jambi (Gambar 16) maka dapat dikatakan bahwa tren populasi di pedagang ketika dilakukan pengambilan data secara bersamaan pada bulan April 2012 didominasi oleh labi-labi pada kelas umur dewasa dan dari jenis kelamin betina sementara tren bulanan yang diwakili oleh data dari satu pedagang (data selama bulan April–Juni 2012) menunjukkan kecenderungan yang sama bahwa populasi panenan didominasi oleh kelompok umur dewasa dan jenis kelamin betina. Berdasarkan hasil penghitungan dan pengukuran selama tiga bulan tersebut jumlah individu betina yang tertangkap paling banyak pada bulan April (67.08% dari total labi-labi 161 ekor), sementara pada bulan Mei dan Juni proporsi jumlah betina yang tertangkap lebih sedikit (54.43% dan 50.94% dari total jumlah labi-labi pada masing-masing bulan tersebut).

Pengaruh faktor alam seperti curah hujan terhadap ukuran populasi labi-labi di pedagang besar juga dianalisis karena diduga curah hujan mempengaruhi kondisi habitat labi-labi. Gambar 17 menampilkan grafik hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah labi-labi pada satu orang pedagang besar di Kota Jambi. Menurut pemancing labi-labi pada saat curah hujan tinggi yang diikuti dengan meningkatnya permukaan air sungai, labi-labi akan keluar dari sarangnya

0 50 100 150 200 250 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 J u m la h l a b i-la b i Pengumpul Jantan Betina 0 50 100 150 200 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 Ju m lah lab i-lab i Pengumpul

(23)

dan menyebar ke sungai-sungai kecil bahkan parit-parit yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, sehingga besar kemungkinan terpancing oleh para pemancing.

Gambar 17 Grafik hubungan antara jumlah labi-labi di satu pengumpul dengan jumlah curah hujan selama tahun 2010 dan 2011 (Sumber : BKSDA Jambi dan BMKG Jambi)

Pola hubungan sebagaimana disampaikan pemancing tersebut terlihat pada bulan Februari dan Agustus 2010 serta Oktober 2011 saat jumlah labi-labi panenan di satu pengumpul tersebut mencapai angka tertinggi dan jumlah curah hujan juga tinggi. Pola ini tidak berlaku sepanjang tahun dan juga tidak mewakili kondisi seluruh pengumpul di Jambi. Uji korelasi Spearman antara jumlah labi-labi dengan curah hujan menghasilkan angka koefisien korelasi 0.361 dan probabilitas 0.084 yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kedua variabel tersebut. Ukuran populasi panenan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh jumlah usaha penangkapan (jumlah penangkap dan/atau hari tangkap) yang dicurahkan.

5.3 Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi 5.3.1 Ukuran Panjang Lengkung Karapas (PLK)

Hasil pengukuran terhadap PLK seluruh individu labi-labi di pedagang besar ditampilkan pada Gambar 18.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 Jan -10 Fe b -10 Ma r-10 Ap r-10 Me i-10 Ju n -10 Ju l-10 Agu st -10 Se p -10 Ok t-10 N o v-10 De c-10 Jan -11 Fe b -11 Mar -11 Ap r-11 Me i-11 Ju n -11 Ju l-11 Agu st -11 Se p -11 Ok t-11 N o v-11 De c-11 Ju m lah lLab i-lab i Ju m lah Cu rah H u jan (m m )

Bulan dalam Tahun

∑ Curah Hujan ∑ Labi-labi

(24)

Gambar 18 Proporsi jumlah labi-labi berdasarkan ukuran PLK minimal dan maksimal di setiap pedagang besar di Provinsi Jambi

Labi-labi yang berdasarkan klasifikasi ukuran PLK termasuk dalam kelas umur dewasa (PLK minimal 25 cm) memiliki bobot tubuh yang bervariasi dengan berat minimal 1.11 kg. Ukuran berat labi-labi yang paling ringan dari seluruh populasi yang terukur adalah 0.38 kg dengan ukuran PLK 18 cm dan termasuk dalam kelas umur remaja, sementara ada labi-labi dengan berat 0.70 kg memiliki ukuran PLK yang lebih pendek yaitu 17.0 cm. Menurut Riyanto (2012, hasil komunikasi pribadi) pengklasifikasian kelas umur lebih tepat dilakukan berdasarkan ukuran PLK karena pertambahan PLK dianggap lebih konsisten dibandingkan ukuran berat individu labi-labi. Pertambahan bobot tubuh labi-labi tidak berbanding lurus dengan pertambahan umurnya, karena selalu ada pengaruh ketersediaan pakan maupun kepadatan populasi di suatu lokasi. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan kisaran berat tubuh beberapa ekor labi-labi pada satu ukuran PLK yang sama.

Tabel 6 Kisaran berat tubuh labi-labi pada beberapa ukuran PLK

Ukuran PLK (cm) Kisaran berat tubuh Mean ± Std.Dev Selisih 25 (n = 13) 1.11 – 2.50 1.64±0.31 26 (n = 20) 1.00 – 2.90 1.83±0.34 0.19 27 (n = 27) 1.18 – 2.54 1.97±0.29 0.04 28 (n = 14) 1.21 – 3.02 2.13±0.50 0.26 29 (n = 14) 2.30 – 4.50 2.74±0.55 0.61 30 (n = 16) 2.32 – 3.50 2.78±0.32 0.04 80,0 40,4 57,0 44,0 52,0 75,0 52,0 60,7 21,0 27,0 17,0 20,0 23,5 18,0 36,0 26,4 -10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 PLK Max PLK Min

(25)

Individu labi-labi yang berbeda meskipun memiliki ukuran PLK yang sama ternyata memiliki berat tubuh yang berbeda karena berat tubuh memang tergantung jumlah pakan yang dikonsumsi yang dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan ketersediaan pakan.

Ukuran PLK digunakan sebagai dasar penentuan kelas umur labi-labi dan pembagian struktur umur menjadi empat kelas menurut Kusrini et al. (2007) merupakan yang paling lengkap sampai dengan saat ini. Namun demikian informasi yang masih belum tersedia adalah perkiraan umur labi-labi berdasarkan ukuran PLK. Oktaviani dan Samedi (2008) menuliskan hasil komunikasi dengan Farajallah (2007) yang menyebutkan bahwa labi-labi dapat mencapai dewasa setelah panjang karapas berukuran 20 cm dan ukuran tersebut dapat dicapai pada saat labi-labi berusia 6 tahun. Barone (2009) menuliskan bahwa pada spesies kura-kura moncong babi (Carettochelys insculpta) ukuran PLK 25 cm dicapai pada saat spesimen berumur 10 tahun dan mencapai ukuran 30 cm pada saat berumur 14-16 tahun. Hasil penelitian mengenai kisaran ukuran PLK labi-labi panenan di beberapa provinsi disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Kisaran ukuran panjang lengkung karapas labi-labi panenan

Peneliti Lokasi Penelitian Kelas Umur Panenan Kisaran PLK

Labi-labi

Elviana, 2000 Jambi Remaja – Dewasa 12.5 cm – 61 cm

Oktaviani & Samedi, 2008

Sumatera Selatan Muda, Dewasa < 25 cm & > 25 cm

Kusrini et al, 2009 Kalimantan Timur Dewasa 25 cm – 80 cm

Lilly, 2010 Kalimantan Barat Remaja, Dewasa 27.88 cm - 61 cm

Mumpuni & Riyanto, 2010 Sumatera Selatan Jambi Riau 13 cm – 54.5 cm 11 cm – 70 cm 24 cm – 37 cm

Mumpuni et al, 2011 Sumatera Barat Remaja

Dewasa

19 cm – 28 cm 32 cm – 63 cm

Hasil dari seluruh penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa labi-labi yang dipanen didominasi kelas umur dewasa dan dewasa muda, hanya sedikit dari kelas umur remaja. Sterrett et al. (2010) menyebutkan bahwa penangkapan kura-kura dengan menggunakan alat pancing berumpan cocok digunakan untuk kura-kura omnivorus yang aktif melakukan foraging, tetapi tidak efektif dalam mendapatkan kura-kura dari kelas ukuran kecil. Hal ini bisa menjelaskan mengapa populasi panenan didominasi oleh kelas umur dewasa

(26)

muda dan dewasa karena sebagian besar penangkap menggunakan alat pancing berumpan dalam menangkap labi-labi.

5.3.2 Ukuran Berat Tubuh

Pada populasi panenan yang terkumpul di tujuh pengumpul di Jambi ditemukan labi-labi dengan ukuran berat minimal < 2 kilogram dan maksimal mencapai 53 kilogram. Hampir seluruh populasi panenan itu diperoleh dari para penangkap, dan ada sebagian kecil merupakan hasil pembesaran pengumpul. Kisaran ukuran berat labi-labi hasil pemanenan ini menunjukkan bahwa di habitat alaminya labi-labi mampu hidup hingga mencapai ukuran bobot tubuh yang sangat besar. Menurut pedagang besar yang kerap mengirimkan labi-labinya kepada eksportir di Jakarta labi-labi dengan ukuran dibawah 3 kilogram ikut dikirimkan bersama labi-labi lainnya yang berbobot lebih besar. Pada interval berat 5 kilogram labi-labi yang paling banyak dipanen di Jambi adalah labi-labi berukuran 1.0–5.0 kg dengan jenis kelamin betina (Gambar 19).

Gambar 19 Distribusi jumlah labi-labi berdasarkan kelas ukuran berat (hasil pengolahan data populasi panenan di seluruh pedagang)

Gambar 20 menunjukkan proporsi populasi panenan labi-labi di para pedagang besar berdasarkan klasifikasi ukuran berat menurut rekomendasi manajemen CITES dan klasisikasi ukuran berat menurut harga yang berlaku dalam tata niaga labi-labi di Provinsi Jambi.

-250 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 < 1 kg 1,0 - 5,0 kg 5,1 - 10,0 kg 10,1 - 15,0 kg 15,1 - 20,0 kg 20,1 - 25,0 kg 25,1 - 30,0 kg 30,1 - 35,0 kg >35,0 kg Jantan Betina

(27)

Gambar 20 Proporsi populasi labi-labi berdasarkan kelas ukuran berat

Menurut dugaan para pedagang besar labi-labi dengan kisaran berat 7-20 kilogram dihargai paling tinggi karena kondisi daging yang memenuhi selera para konsumen di luar negeri. Pengklasifikasian ukuran berat dengan pertimbangan yang bertolak belakang ini menyebabkan sulitnya dilaksanakan rekomendasi pembatasan ukuran berat yang dipanen dari habitat alami. Labi-labi yang direkomendasikan untuk tidak dipanen pada kenyataannya justru berharga paling tinggi di pasar lokal maupun luar Provinsi Jambi. Kisaran berat minimal dan maksimal labi-labi di setiap pedagang besar selama periode pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Proporsi jumlah labi-labi berdasarkan berat minimal dan maksimal di setiap pedagang besar di Provinsi Jambi

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 < 5 Kg 5 kg ≤ m ≤ 15 Kg > 15 Kg < 7 Kg 7 kg ≤ m ≤ 20 Kg > 20 Kg

Rekomendasi SA & MA Harga Pasar Lokal

377 318 48 466 251 26 0 10 20 30 40 50 60 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 53,32 7,21 28,10 9,30 14,10 44,00 15,45 23,30 0,89 1,72 0,70 0,78 1,35 0,38 5,82 1,90 M assa (K g) Pedagang besar Massa Max Massa Min

(28)

Hasil yang sama dikemukakan oleh Oktaviani dan Samedi (2008) serta Lilly (2010). Ukuran berat yang paling banyak ditemukan di tingkat para pedagang ini juga digunakan Nijman et al. (2012) untuk mengkonversi ukuran berat labi-labi menjadi jumlah individu berdasarkan berat „rata-rata‟ ~5 kg. Hasil penelitian Kusrini et al. (2009) menunjukkan dominasi panenan yang berbeda, yaitu pada kisaran berat 5.1–10.0 kilogram dan jenis kelamin jantan. Rekomendasi CITES management mengenai kisaran berat labi-labi yang dilarang untuk dipanen ternyata belum sepenuhnya berhasil diimplementasikan yang tergambar dari karakteristik populasi panenan di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Oktaviani & Samedi 2008; Kusrini et al. 2009; dan Lilly 2010) dimana labi-labi dengan interval ukuran berat 5–15 kilogram masih banyak dijumpai di pedagang besar dan pengumpul.

Hasil uji Kruskal-Wallis terhadap parameter morfometri populasi panenan labi-labi di tujuh pedagang di Provinsi Jambi disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Hasil uji statistik deskriptif dan Kruskal-Wallis terhadap parameter morfometri

Parameter Morfometri

Statistik Deskriptif Uji Kruskal-Wallis

Kesimpulan

Mean Min. Max. Asymp. Sig.

PLK 33.170 17.00 80.00 0.000 Tolak Ho

Berat 4.861 0.38 53.32 0.000 Tolak Ho

Berdasarkan hasil uji terhadap parameter morfometri populasi panenan labi-labi di Provinsi Jambi tidak ada preferensi penangkap terhadap ukuran ataupun jenis kelamin labi-labi yang dipanen, atau individu labi-labi yang berhasil ditangkap akan disetorkan ke pedagang tanpa memilih ukuran tertentu. Berdasarkan hasil wawancara dengan pedagang, pengumpul dan penangkap diperoleh informasi bahwa labi-labi berukuran <2 kg pun tetap diterima oleh pengumpul atau pedagang atas beberapa pertimbangan. Pengumpul dan pedagang yang memiliki kolam tempat penampungan sementara masih bisa menampung sambil membesarkan labi-labi tersebut hingga mencapai ukuran yang cukup besar untuk dijual. Para penangkap yang memperoleh labi-labi dengan total jumlah bobot yang cukup banyak juga tetap menyerahkan hasil tangkapannya yang berukuran kecil, tetapi ketika hanya 1 ekor labi-labi berukuran kecil yang diperoleh maka penangkap akan melepaskan kembali labi-labi tersebut. Seorang penangkap di Kabupaten Sarolangun menyebutkan bahwa apabila dalam satu hari penangkapan

(29)

hanya berhasil tertangkap 1 ekor labi-labi berukuran kecil maka akan dilepaskannya kembali setelah dilukai karapasnya atau bahkan dibunuh. Berbeda dengan Suku Anak Dalam yang secara khusus memang mengkonsumsi labi-labi yang berukuran < 3 kg.

5.3.3 Warna karapas

Perbedaan warna karapas labi-labi yang dipanen walaupun tidak mencirikan perbedaan harga jual, namun dapat memberikan informasi kondisi habitatnya, dimana menurut informasi para pedagang besar, pedagang dan penangkap warna karapas kuning mencirikan labi-labi tersebut berasal dari habitat sungai dengan kondisi air yang mengalir dan berwarna jernih sampai dengan coklat. Warna karapas hitam mencirikan labi-labi berasal dari habitat rawa atau sungai dengan kondisi air yang menggenang dan mengandung gambut, serta warna air yang kehitaman.

Gambar 22 Proporsi jumlah labi-labi di pedagang besar berdasarkan warna karapas

Perbedaan karapas tidak hanya terletak pada warna tetapi juga bentuk pikun yang lebar membulat, elips memanjang atau berbentuk oval. Informasi mengenai bentuk dan warna karapas dapat digunakan sebagai penduga habitat asal labi-labi juga disebutkan di Kalimantan (Mardiastuti 2008; Kusrini et al. 2009). Selain labi-labi dengan warna karapas kuning dan hitam, di beberapa pedagang besar juga ditemui labi-labi dengan warna karapas hijau, abu-abu, dan kuning berbintik-bintik dalam jumlah sedikit. Variasi warna karapas terbanyak ditemukan di salah satu pedagang besar yang berlokasi di Kota Jambi, dan hal ini disebabkan oleh

0 50 100 150 200 250 300 P1 (174) P2 (6) P3 (100) P4 (14) P5 (25) P6 (370) P7 (2) P8 (52) Ju m lah Pedagang besar Kuning Hitam Lainnya

(30)

pedagang besar tersebut mendapat pasokan labi-labi dari pedagang ataupun penangkap yang berasal dari beberapa kabupaten berbeda sehingga habitat labi-labi pun terdiri dari bermacam-macam tipe. Hasil penelitian McGaugh (2008) juga menyebutkan bahwa variasi warna karapas pada Apalone spinifera menunjukkan tipe habitat tangkap yang berbeda, yaitu danau, sungai dan lagoon. Gambar 23 menunjukkan empat warna karapas labi-labi yang ditemukan di Jambi.

Gambar 23 (a) labi-labi dengan karapas berwarna kuning; (b) labi-labi dengan karapas berwarna abu-abu dengan bentuk tidak melebar, hasil dari pembesaran; (c) labi dengan karapas berwarna hitam; (d) labi-labi dengan karapas berwarna kehijauan (foto koleksi pribadi, 2012)

5.3.4 Reproduksi

Hasil pengamatan kondisi reproduksi labi-labi jantan dan betina ditampilkan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Status reproduksi berdasarkan ukuran berat labi-labi Jenis Kelamin Jml Kelas Umur Kisaran

PLK (cm)

Kisaran Berat (Kg)

Mean ± sd Kondisi Reproduksi

Betina 14

1 Dewasa

Muda

24 1.07 Belum matang

kelamin 13 Dewasa 32.4 – 38.0 3.19 – 5.34 4.03±1.08 Matang kelamin

16,7% dalam kondisi berisi folikel

Jantan 6

(31)

Dua ekor labi-labi betina yang dipotong memiliki masing-masing 4 dan 3 clutch folikel dan telur oviduktal (Tabel 10).

Tabel 10 Jumlah dan ukuran clutch pada dua sampel labi-labi betina yang dipotong No PLK (cm) Berat (kg) Jumlah Clutch Folikel Oviduktal Jumlah Diameter (mm) Jumlah Diameter (mm) 1 38.0 5.00 4 13 15 12 17.8 13.1 10.2 11 31 2 37.8 5.34 3 11 13 8 13 10 8.5

Mumpuni dan Riyanto (2010) melakukan pengamatan organ reproduksi pada labi-labi jantan dan betina yang dibedah di tempat pemotongan labi-labi di Kota Jambi dan hasilnya menunjukkan bahwa labi-labi dengan panjang lengkung karapas 28.5 cm dan bobot tubuh 2.25 kg telah memiliki 21 folikel berukuran diameter 0.5 cm. Empat telur oviduktal ditemukan pada pembedahan labi-labi betina berukuran PLK 33.5 cm selain 20 folikel berukuran diameter 20 mm. Hasil pengamatan dari spesimen labi-labi betina yang dipotong menunjukkan bahwa pada ukuran 5 kilogram labi-labi betina telah mencapai kondisi matang kelamin dan ini memperkuat rekomendasi CITES Scientific Authority bahwa kondisi populasi panenan yang didominasi oleh betina pada kisaran ukuran berat 5-15 kilogram bisa menjadi ancaman bagi kelestarian populasi labi-labi di alam. Minimum breeding age labi-labi betina masih belum terjawab oleh dua hasil penelitian ini, dan perlu dilakukan pembedahan terhadap labi-labi betina berukuran lebih kecil dari yang telah dibedah sebelumnya. Menurut Mumpuni et al. (2011) penemuan ini dapat mengindikasikan bahwa labi-labi melakukan reproduksi lebih dari satu kali dalam satu tahun, sebagaimana disebutkan Iskandar (2000) bahwa seekor betina dapat bertelur sampai empat kali dalam setahun.

Data pada Tabel 10 diolah untuk mendapatkan rata-rata jumlah telur per clutch dengan asumsi semua folikel berkembang menjadi telur oviduktal dan berhasil ditelurkan oleh labi-labi betina. Data untuk melakukan estimasi kehilangan individu akibat pemanenan labi-labi betina pada umur reproduktif ditampilkan pada Tabel 11.

(32)

Tabel 11 Data dasar estimasi kehilangan individu akibat pemanenan

Variabel Notasi Jumlah (n) Interval Rata-rata Individu betina reproduktif F 177 5 – 15 kg 8.68

Jumlah clutch E 7 8 – 15 butir 11.85

% Penetasan telur Pt 30.74

Masa peneluran T 0 – 4 kali 2

Estimasi kehilangan individu per tahun ketika dilakukan pemanenan terhadap labi-labi betina potensial reproduktif adalah sebesar :

Estimasi ini dilakukan berdasarkan ukuran clutch yang ditemukan pada labi-labi betina berukuran 5 kilogram, sementara menurut Walde et al. (2007) dan Naimi et al. (2012) ukuran tubuh betina yang lebih besar berhubungan dengan ukuran telur yang lebih besar ataupun frekuensi clutch tahunan.

5.3.5 Jenis pakan

Identifikasi jenis pakan labi-labi di Provinsi Jambi dilakukan terhadap 7 ekor labi-labi yang dipotong, terdiri dari 3 jantan dan 4 betina, menunjukkan hasil seperti disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil identifikasi jenis pakan labi-labi di Jambi Jenis

Kelamin

Kelas Umur Bobot (Kg) Jenis Pakan

Jantan Dewasa 7.21 Buah sawit, serpihan kayu

Jantan Dewasa 6.77 Buah pinang, buah sawit

Jantan Dewasa 1.72 Tanah, biji-bijian

Betina Dewasa 3.63 Batu, cangkang dan potongan capit crustacea, biji-bijian

Betina Dewasa 4.01 Tanah

Betina Dewasa 3.19 Buah pinang

Betina Dewasa Muda 1.07 Batu, 32 tutup cangkang siput Hasil identifikasi sisa pakan labi-labi di usus besar terdiri dari beberapa jenis biji-bijian, serpihan kayu, tanah, batu berukuran kecil, cangkang kepiting, dan tutup cangkang siput. Menurut Mumpuni dan Riyanto (2010) jenis pakan labi-labi sangat bervariasi, terdiri dari buah sawit, umbi dari tanaman ubi kayu, berbagai jenis ikan, dedaunan yang tidak teridentifikasi, biji-bijian, bahkan pakan burung. Ketersediaan berbagai jenis ikan air tawar di habitatnya merupakan potensi pakan

(33)

bagi labi-labi. Di Sumatera Barat, tepatnya di Bandar Gadang, Mumpuni et al. (2011) menemukan 21 keong emas di dalam usus besar seekor labi-labi yang dibedah. Keong emas merupakan hama bagi tanaman padi di sawah, sehingga dengan menjadikan keong emas sebagai salah satu pakannya labi-labi berfungsi sebagai predator hama sekaligus penyebar biji.

5.4 Karakteristik Habitat

Beberapa tipe habitat labi-labi di Jambi ditampilkan dalam Gambar 24.

Gambar 24 (a) Batang Limun, anak sungai yang dangkal dan mengalir di tepi lahan persawahan penduduk (b) Batang Tembesi, salah satu sungai besar (c) Sungai Jangga, mengalir melintasi perkebunan sawit (d) Sungai Dingin, mengalir di dekat permukiman penduduk (e) Rawa Panjang (e) Danau di dekat lahan persawahan

Habitat tangkap labi-labi di Provinsi Jambi terdiri dari beberapa tipe perairan, baik yang mengalir seperti sungai, kanal dan rawa maupun perairan tergenang seperti

(34)

danau. Sungai merupakan tipe habitat yang paling banyak dipilih oleh para penangkap karena tipe habitat ini yang terbanyak ditemukan di Jambi. Sungai yang menjadi habitat labi-labi adalah sungai-sungai besar hingga anak-anak sungai dangkal yang mengalir di dekat permukiman penduduk. Danau didefinisikan para penangkap sebagai habitat labi-labi berupa perairan tertutup yang tergenang dan tidak memiliki aliran air.

Para penangkap memilih lokasi pancing di habitat sungai yang mereka sebut sebagai lubuk. Melalui pengamatan langsung dapat digambarkan secara deskriptif bahwa lubuk terletak di tikungan sungai, dengan kecepatan arus air sangat lambat atau merupakan tempat pusaran arus, berbatasan dengan daratan, ternaungi oleh vegetasi berupa semak belukar atau rumpun bambu, dengan substrat dasar berupa pasir atau lumpur. Pada tipe habitat danau, penangkap memilih lokasi pancing berdasarkan kemudahan dan kenyamanan pemancingan karena di danau titik-titik pancing lebih homogen.

5.4.1 Peubah Biofisik Habitat

Distribusi frekuensi pemilihan kelas pada setiap peubah fisik habitat labi-labi adalah sebagai berikut :

1. Ketinggian tempat

(a) (b)

Gambar 25 (a) Jumlah titik pemancingan terhadap kelas elevasi pada kategori lokasi pemancingan (b) Jumlah titik pemancingan terhadap kelas elevasi pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi

Pada penelitian ini labi-labi ditemukan sampai pada ketinggian 195 m dpl, tepatnya di daerah Bukit Bulan Kabupaten Sarolangun. Berdasarkan pembagian kelas ketinggian lokasi penelitian yang dikelompokkan menjadi tiga kelas, plot

35 2 29 0 10 20 30 40 Ju m lah titi k p an ci n g Kelas elevasi (m) 1 1 4 0 1 2 3 4 5 30 - 78 79 - 126 127 - 174 Ju m lah tt ik p an ci n g Kelas elevasi (m)

(35)

yang paling banyak dipilih pemancing berada pada kelas pertama dengan interval ketinggian 2-66 meter. Kelas ketiga dengan interval 130-194 meter juga banyak dipilih oleh penangkap labi-labi. Menurut Iskandar (2000) labi-labi dapat dijumpai pada ketinggian kurang dari 350 m dpl, dan hasil-hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa labi-labi dijumpai pada ketinggian sampai dengan 141 m dpl (Oktaviani et al. 2008).

2. Suhu Air

Labi-labi ditemukan pada lokasi pancing dengan kisaran suhu air berkisar antara 26 – 32 °C. Amri dan Khairuman menuliskan bahwa suhu yang paling ideal untuk budidaya labi-labi adalah 28-30 °C dan pada suhu yang lebih rendah aktivitas labi-labi akan terganggu. Barone (2009) menuliskan suhu air yang tepat bagi kura-kura moncong babi adalah 30 °C pada siang hari dan dapat turun hingga 26-27 °C pada malam hari. Apabila suhu turun hingga dibawah 25 °C maka kura-kura ini akan bergerak lambat dan berhenti makan sehingga menurunkan daya tahan tubuhnya.

3. Derajat Keasaman (pH) Air

(a) (b)

Gambar 26 (a) Jumlah titik pemancingan terhadap kelas pH air pada kategori lokasi pemancingan (b) jumlah titik pemancingan terhadap kelas pH air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi

Amri dan Khairuman (2002) menyebutkan bahwa nilai pH air yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah 7–8. Pengukuran pH air di setiap titik pemancingan menunjukkan bahwa labi-labi masih ditemukan di perairan dengan nilai pH 5.3 yang cenderung merupakan suasana asam. Pengukuran pH air di titik-titik pemancingan yang dipilih para pemancing menunjukkan bahwa titik-titik pemancingan yang dipilih terbanyak berada pada kisaran nilai 5.0–5.7 dan

31 10 25 0 5 10 15 20 25 30 35 5,0 - 5,7 5,8 - 6,3 6,4 - 7,0 Ju m lah titi k p an ci n g Kelas pH 2 0 4 0 1 2 3 4 5 5,3-5,8 5,9-6,4 6,5-7,0 Ju m lah titi k p an ci n g Kelas pH

(36)

beberapa penelitian menunjukkan kisaran angka 6.0-6.6 di Jambi (Elviana 2000) dan 5.6-6.2, 5.7-6.5 dan 5.6-6.8 berturut-turut untuk lokasi survei di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau (Mumpuni & Riyanto 2010).

4. Kedalaman Ditemukan

(a) (b)

Gambar 27 (a) Jumlah titik pemancingan terhadap kelas kedalaman ditemukan pada kategori lokasi pemancingan (b) jumlah titik pemancingan terhadap kelas kedalaman ditemukan pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi

Labi-labi dapat hidup di berbagai tipe habitat perairan dengan kedalaman yang bervariasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa labi-labi terpancing di sungai pada kedalaman antara 95-143 cm dan 191-238 cm, sementara pemancing lebih banyak menebar pancingnya pada kedalaman antara 50-183.3 cm. Hal ini menunjukkan bahwa labi-labi merupakan satwa yang aktif terutama dalam hal foraging, sehingga keberhasilan pemancingan bukan dipengaruhi kedalaman tertentu tetapi lebih oleh ketepatan peletakan mata pancing di lokasi dimana labi-labi tersebut sedang berada. Beberapa hasil penelitian maupun survei menunjukkan bahwa labi-labi ditemukan di perairan dengan kedalaman berkisar antara 1.0–3.0 meter (Elviana 2000), 3-8 meter (Kusrini et al 2009), 3-7 meter di sungai di Jambi dan 0.3-2 meter di perairan di Riau (Mumpuni & Riyanto 2010) dan 0.3-1.2 meter (Mumpuni et al 2011).

50 13 3 0 10 20 30 40 50 60 Ju m lah ti ti k p anc in g Kelas kedalaman (m) 3 0 3 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 95 - 143 144 - 190 191 - 238 Ju m lah titi k p an ci n g Kelas kedalaman (m)

(37)

5. Kecepatan Arus Air

(a) (b)

Gambar 28 (a) Jumlah titik pemancingan terhadap kelas kecepatan arus air pada kategori lokasi pemancingan (b) jumlah titik pemancingan terhadap kelas kecepatan arus air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi Labi-labi terpancing pada lokasi dengan kecepatan arus sampai dengan 0.23 m/detik dan hal ini sesuai dengan pilihan lokasi pancing oleh para pemancing yang memilih lokasi pancing dengan kecepatan sampai dengan 0.19 m/detik meskipun ada juga yang menebarkan mata pancingnya di lokasi dengan kecepatan arus sampai dengan 0.57 m/detik. Labi-labi disebutkan lebih menyukai perairan yang tenang dengan kecepatan arus air yang rendah. Menurut Suwigno (1996) untuk perairan alamiah dengan kecepatan permukaan antara 10-20 cm per detik memiliki dasar perairan berlumpur, sehingga merupakan habitat perairan yang mungkin dipilih oleh labi-labi.

6. Kecerahan Air

(a) (b)

Gambar 29 (a) Jumlah titik pancing terhadap kelas kecerahan air pada kategori lokasi pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap kelas kecerahan air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi

50 22 4 0 10 20 30 40 50 60 Ju m lah titi k p an ci n g

Kelas kecepatan arus air (m/det)

3 1 2 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 0,00 - 0,08 0,09 - 0,150,16 - 0,23 Ju m lah titi k p an ci n g

Kelas kecepatan arus air (m/det)

34 24 8 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Ju m lah titi k p an ci n g

Kelas kecerahan air

3 0 3 0 1 2 3 4 6,7-41,1 41,2-75,6 75,7-110 Ju m lah titi k p an ci n g

Gambar

Gambar 6  Sebaran pedagang besar dan wilayah tangkapnya di Provinsi Jambi  Jumlah  pedagang  besar  terbanyak  terdapat  di  Kota  Jambi  yaitu  3  dari  8  orang,  sementara  5  orang  lainnya  tersebar  masing-masing  1  orang  di  satu  kabupaten lain
Gambar 7  Sebaran pengumpul labi-labi dan wilayah tangkapnya
Gambar  9    (a)  jumlah  penangkap  sambilan  berdasarkan  komoditas  bidang  pekerjaan  utama  (b)  jumlah  penangkap  berdasarkan  curahan  jam  tangkap per hari
Gambar  10    Peralatan  menangkap  labi-labi  (a)  pangilar  atau  bubu;  (b)  Inggu,  bahan  beraroma  amis  yang  sangat  tajam  sebagai  umpan  labi-labi  yang  dipasang  di  bubu/pangilar;  (c)  gulungan  tali  pancing  berupa  benang  nilon;  (d)  ma
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. © Miftah Hidayat 2014 Universitas

Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat

Data radiasi matahari pada Pulau Giliiyang berdasarkan software Homer ditunjukkan pada gambar 4. mempunyai rata-rata berkisar 5.8 kwh/m2/day tapi berdasarkan pengukuran

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya kepada Peneliti, sehingga penelitian yang berjudul: Problematika

Jika dicermati lebih jauh menggunakan kategori lapangan usaha, Kategori L (Real Estat) dan G (Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor) merupakan

Setiap latihan yang membutuhkan pasokan energi melebihi kebutuhan normal- fisiologis tubuh, bahkan menguras cadangan energi otot, sangat memerlukan waktu untuk pulih

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji statistik, ternyata secara empirik terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan menggunakan media gambar

Simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) secara keseluruhan keteram- pilan bolavoli kelompok siswa yang dilatih dengan latihan distribusi terbukti