• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

312 KEWENANGAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURTTERHADAP KEPALA NEGARA (STUDI KASUS PRESIDEN SUDAN-OMAR AL-BASHIR)

Ikaningtyas1

Email:ninktyas@yahoo.com

Abstrak

ICC sebagai lembaga peradilan internasional memiliki yursidiksi untuk mengadili individu yang melakukan kejahatan internasional. Kasus Omar Al-Bashir padassatitu Presiden Sudan merupakan orang yang harus bertanggungjawab atas perang Darfur Sudan dengan segalaakibatnya. ICC telah melakukan upaya dengan mengirimkan surat pemanggilan kepada Presiden Omar Al-bashir untuk diadilil, tetapi sebelum diadili di ICC, akan diberikan kesempatan kepada negara Sudan sendiri untuk mengadili presidennya karena terkait pada kedaulatan. Pada kenyatannya yang terjadi di Sudan adalah penolakan terhadap yuridiksi ICC untuk mengadili Omar Al-bashir. Berkenaan dengan ini ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional terbentur beberapa kendala salah satunya yaitu terhadap status Al-bashir sebagai kepala Negara yang memiliki hak imunitas

Kata kunci:Kewenangan, ICC, Kepala Negara

Pendahuluan

Statuta Roma merupakan dasar hukum dari pembentukan ICC yang dibentuk pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma, Italia melalui suatu konferensi PBB. Sebanyak 120 negara menyatakan pendiriannya untuk mengadopsi Statuta Roma, hanyak 7 negara yang menolak untuk mengadopsi Statuta Roma yaitu, Cina, Israel, Iraq, Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat, serta sebanyak 21 negara menyatakan abstain dalam pemungutan suara. Pada tanggal 31 Desember tahun 2000 sebanyak 139 negara berikutnya menandatangani Statuta Roma yang selanjutnya pada tanggal 11 April 2002 sebanyak 66 negara meratifikasi Statuta Roma dan pada tanggal 1 Juli 2002 ICC sebagai lembaga peradilan pidana mulai melakukan tugasnya2. Kejahatan-kejahatan yang berada di dalam yuridiksi dari Mahkamah Pidana Internasional ini meliputi kejahatan-kejahatan sebagai berikut : (a) Tindak pidana Genocide (pembunuhan

1PenulisadalahDosenFakultasHukumUniversitasBrawijaya Malang

2

(2)

313 massal); (b) Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity); (c) Kejahatan Perang (War Crime) (d) .Kejahatan Agresi (Aggression).

Pada tahun 2003 yang berpusat di Darfur yang merupakan bagian dari wilayah Sudan. Terjadi konflik berdarah antara Sudan Liberation Movement (SLM) dan Justice

Equality Movement (JEM) menuduh pihak pemerintah telah melakukan penindasan

terhadap bangsa Afrika kulit hitam dan mendukung bangsa Arab. Di pihak lain terdiri dari polisi dan pihak militer Sudan dengan dibantu oleh pasukan Janjaweed sebuah milisi Sudan yang direkrut dari kaum Arab3.Pihak SLM dan JEM melakukan tuduhan kepada pihak pemerintah dikarenakan oleh ketidakadilan perlakuan terhadap bangsa Afrika kulit hitam yang berdiam di Sudan Selatan yang menyebabkan tuntutan untuk perluasan daerah otonom dan pemerataan pembagian hasil minyak bumi yang terdapat di wilayah Sudan Selatan, karena tuntutan ini maka pihak pemerintah mengira bahwa terjadi pemberontakan yang dilakukan bangsa Afrika kulit hitam dan melakukan penindasan terhadap bangsa ras tersebut. Di bawah pimpinan dari presiden Sudan yaitu Omar Al-bashir, pihak polisi, militer dan juga pasukan Janjaweed melakukan pembunuhan, penyiksaan, penculikan dan juga pemerkosaan terhadap masyarakat kaum Afrika kulit hitam sehingga mengakibatkan korban jiwa sebanyak 300.000 jiwa meninggal dan sebanyak 2,2 juta orang mengungsi dan memporak porandakan Sudan Selatan, hal ini yang membuat pihak SLM dan JEM merasa tertindas dan melakukan perlawanan kepada pihak pemerintah. Setelah terjadi perang selama beberapa tahun, maka pada tahun 2005 terjadi kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak yang ditandatangani pada tahun 2006 antara pemerintah Sudan dengan salah satu kelompok bersenjata yaitu SLM.4Jika dilihat dari jumlah korban jiwa yang meninggal dan banyaknya rakyat yang harus mengungsi serta akibat-akibat lain hasil dari peperangan ini, maka dapat dikatakan bahwa presiden Omar Al-bashir telah melakukan perbuatan genosida yang diatur di dalam pasal 6 Statuta Roma.

3http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/3496731.stmdikutip dari halaman BBC NEWS pada hari Selasa, 23

Februari 2010, diakses pada tanggal 25 Februari 2017

4

http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.amnestyusa.org

/darfur/darfur-history/page.do%3Fid%3D1351103&rurl=translate.google.co.id&twu=1&usg=ALkJrhitA4564RUDks9 BaBHM7wysLlSQHw dikutip dari halaman Amnesti Internasional USA (Action For Human Rights Hope For Humanity), diakses pada tanggal 25 Februari 2017

(3)

314 Dalam konteks kasus Sudan, ICC memiliki tugas untuk memiliki wewenang untuk membantu menyelesaikan permasalah di negara tersebut, maka dari itu ICC mengirimkan surat pemanggilan kepada Presiden Omar Al-bashir untuk diadili di hadapan pengadilan internasional, tetapi sebelum diadili di hadapan pengadilan internasional, ICC akan memberikan kesempatan kepada negara Sudan sendiri untuk mengadili presidennya karena terkait pada kedaulatan yang dimiliki Sudan atas wilayahnya, tetapi Sudan sendiri menolak untuk mengadili karena mereka tidak ingin dan tidak mampu untuk mengadili presidennya dan cenderung mendukung Omar Al-bashir, maka ICC secara tegas memanggil Omar Al-bashir melalui surat panggilan tetapi surat panggilan ICC yang sudah dikirim sebanyak 3 (tiga) kali tidak dihiraukan oleh Omar Al-bashir dan masyarakat yang pro serta negara-negara yang pro kepada presiden ini balik mengecamICC atas surat panggilan tersebut.

Pada kenyatannya yang terjadi di Sudan adalah penolakan terhadap yuridiksi ICC untuk mengadili Omar Al-bashir karena perlindungan dari warga negaranya sendiri dan dari hukum nasionalnya dan hal ini telah bertentangan dengan hukum internasional karena presiden Omar Al-bashir telah melakukan kejahatan genoside, dalam menyelesaikan sengketa Darfur ini, ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional terbentur beberapa kendala salah satunya yaitu terhadap status Al-bashir sebagai kepala Negara yang memiliki hak imunitas. hak imunitas inilah yang menyebabkan ICC menjadi serba salah, disatu pihak presiden Omar Al-bashir memiliki hak imunitas serta dilindungi oleh warga negaranya dan disisi lain ICC sebagai Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewajiban untuk mengadili presiden Omar Al-bashir atas perbuatan genosida yang telah dilakukannya

Metode Penelitian

Rancanganinimenggunakanpenelitianyuridisnormatif yang

menggunakanpendekatanRelevansi Studi Kasus (Case Study),pendekatanperundang-undangan (statuta approach)danpendekatankonseptual (conceptual approach) yaitu mengetahui dan mengkaji produk hukum yang berupa perundang-undangan, konvensi internasional dan deklarasi internasional serta buku-buku yang terkait tentang kewenangan Mahkamah Pidana Internasional.

(4)

315 Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian berupa bahan-bahan hukum yang meliputi Bahan Hukum Primer, yaitu : Statuta Roma tentang International

Criminal Court tahun 1998, Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961,

Resolusi PBB.

Hasil dan Pembahasan

Sudan adalah sebuah negara yang berada di benua Afrika dengan letak astronomis 4-23o LU dan 22-38o LS dan dengan letak geografis di timur laut Afrika. Negara Sudan merupakan negara terluas di Afrika dan di daerah Arab. Sudan merupakan negara terluas kesepuluh di dunia dengan Khortum sebagai ibu kotanya. Negara ini berbatasan dengan Mesir di sebelah utara, Laut Merah disebelah timur laut, Negara Kongo dan Negara Afrika tengah di sebelah barat daya, Negara Chad di sebelah barat serta Libya di sebelah timur laut,dan negara ini dipisahkan menjadi bagian utara dan selatan oleh Sungai Nil yang merupakan sungai terpanjang di dunia.5Penduduk Sudan terdiri dari berbagai kelompok etnis, yaitu etnis Afrika Kulit Hitam (52 persen), Arab (39 persen), Beja (6 persen), Asing (2 persen), dan etnis lainnya sebanyak 1 persen. Mayoritas penduduk terutama di Sudan utara menganut agama Islam aliran Sunni, selain itu 10 persen menganut Animisme dan 5 persen memeluk Kristen, terutama di wilayah Sudan Selatan6 yang mengalami perang saudara selama 17 tahun, dari zaman sebelum Sudan merdeka sampai pada saat ini.7

Perang saudara ini bermula antara pemerintah pusat Sudan yang berpusat di Sudan Utara yang berpenduduk mayoritas muslim dengan Sudan Selatan yang berpenduduk mayoritas Kristen dan Animisme. Hal ini terjadi karena Inggris memisahkan hubungan kedua wilayah tersebut untuk melancarkan aktivitas kristenisasi di selatan. Setelah Inggris meninggalkan Sudan, pemerintah pusat mulai menerapkan aturan-aturan di daerah selatan dan penduduk daerah utara merasa takut didominasi, sehingga mereka membentuk kekuatan untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah

5

http://id.wikipedia.org/wiki/Sudanditulis oleh Wikipedia Indonesia, diakses pada tanggal 3 Oktober 2016

6http://pks-sudan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=73 dikutip dari

halaman PKS yang ditulis pada hari Senin, 15 Juni 2009, diakses pada tanggal 3 Oktober 2016

7

(5)

316 pusat dengan diberi dukungan oleh Inggris8. Konflik yang terjadi antara gerakan pembebasan Sudan yaitu SLM dan JEM dengan milisi pemerintahan dan pasukan Janjaweed. SLM dan JEM telah menuduh pemerintahan Sudan telah melakukan penindasan terhadap bangsa Afrika kulit hitam di Sudan bagian utara karena pasukan Janjaweed yang didukung oleh milisi pemerintahan telah memborbardir daerah Sudan dengan menggunakan bahan peledak serta paku barel, memperkosa anak perempuan dan perempuan dewasa, membunuh pria dan anak laki-laki serta menghentikan pasokan makanan dan air untuk para penduduk, sejak tahun 2003, setidaknya 400.000 orang telah tewas dan lebih dari 2.000.000 orang terpaksa meningalkan rumah mereka untuk mengungsi dan tinggal di kamp-kamp pengungsian, dan lebih dari 3.500.000 juta orang benar-benar bergantung pada bantuan internasional untuk bertahan hidup9.

Perbuatan yang dilakukan oleh milisi pemerintahan dibawah pimpinan presiden Sudan sendiri yaitu Omar Al-bashir. Perbuatan yang dilakukan oleh Omar Al-bashir merupakan kejahatan kemanusiaan yang masuk ke dalam ruang lingkup serta yuridiksi dari International Criminal Court (ICC). Pada kenyataannya ICC telah melayangkan surat pemanggilan kepada Presiden Sudan Omar Al-bashir sebanyak 3 kali, tetapi surat pemanggilan tersebut tidak diindahkan oleh Omar Al-bashir serta negara Sudan karena negara Sudan cenderung melindungi dan tidak mau menyerahkan presidennya untuk diadili dihadapan International Criminal Court (ICC). Pada kenyataannya, seharusnya yang dilakukan oleh negara Sudan adalah memenuhi surat pemanggilan tersebut untuk menyerahkan Omar Al-bashir dan memperbolehkan yuridiksi dari International

Criminal Court (ICC) untuk masuk ke wilayah Sudan dan menyelesaikan kasus

kejahatan Kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Omar Al-bashir tersebut. A.Kejahatan Internasional Di Dalam Hukum Internasional

Tindak pidana pada dasarnya memiliki pengertian yaitu perbuatan yang dilakukan dengan melanggar hukum yang berlaku. Pada hakekatnya tidak ada perbedaan pengertian antara tindak pidana nasional dan tindak pidana internasional

8http://herminsyahri.wordpress.com/2009/03/07/darfur-sudan-korban-kepentingan-barat/ diakses pada

tanggal 18 februari 2017

9http://translate.googleusercontent.com/translate_c?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.oprah.com/worl

d/Get-the-Facts-History-of-Darfur&rurl=translate.google.co.id&twu=1&usg=ALkJrhinLQbPMV8CQcL_lXlBoS8WLpe59g

(6)

317 yang membedakan adalah tempat kejadian dan jenis perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana nasional adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalam yurisdiksi suatu negara, sedangkan tindak pidana internasional adalah perbuatan melanggar hukum yang dilakukan di dalam yurisdiksi suatu negara dan perbuatan tersebut juga termasuk ke dalam yurisdiksi pengadilan internasional.

Rancangan ketiga Undang-Undang Pidana Internasional atau The International

Criminal Code tahun 1954, telah ditetapkan sebanyak 13 tipe kejahatan yang dapat

dijatuhi pidana berdasarkan hukum internasional, yaitu10 : a) Tindakan persiapan untuk agresi dan tindakan agresi

b) Persiapan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap negara lain

c) Mengorganisasi atau member dukungan persenjataan yang ditujukan untuk memenuhi wilayah suatu negara

d) Memberikan dukungan di negara asing e) Setiap terorisme di negara asing

f) Setiap pelanggaran atas perjanjian pembatasan senjata yang telah disetujui g) Aneksasi wilayah asing

h) Genocide

i) Pelanggaran atas kebiasaan dan hukum perang

j) Setiang permufakatan, pembujuan dan percobaan untuk melakukan tindakan pidana tersebut pada butir 8 di atas

k) Piracy l) Slavery m) Apartheid

n) Threat and use of force against internationally protected persons

Pengaturan lebih lanjut mengenai jenis-jenis tindak pidana internasional juga tertuang secara eksplisit di dalam Statuta Roma yang meliputi Genosida, Kejahatan Kemanusiaan, Kejahatan Perang dan Agresi. Di dalam pasal 13 Statuta Roma

10

(7)

318 menjelaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah dapat berlaku jika berkaitan dengan kejahatan yang tertera di pasal 5 Statuta Roma11, yaitu :

1. Genosida (Genocide)

adalah kejahatan yang dilakukan dengan niat untuk merusak sebagian atau keseluruhan etnis, ras, suku bangsa, agama ataupun negara dengan cara membunuh kelompok tersebut agar tidak ada yang melanjutkan kelompok tersebut, menyebabkan luka badan atau bahaya bagi mental kelompok tersebut, serta mencegah agar terjadinya kelahiran di kelompok tersebut. Di dalam Pasal 6 Statuta Roma menyebutkan contoh kejahatan genosida yaitu

“membunuh peserta kelompok, menyebabkan luka badan maupun mental peserta kelompok, dengan sengaja melukai kondisi kehidupan suatu kelompok yang diperhitungkan, untuk merusak secara fisik baik keseluruhan maupaun sebagian, melakukan upaya-upaya pemaksaan yang diniatkan untuk mencegah kelahiran anak dalam kelompok serta memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya”.12

2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity)

Kejahatan kemanusiaan adalah beberapa pebuatan yang dilakukan sebagai bagian dari penyerangan langsung yang ditujukan terhadap penduduk sipil secara sistematis, dengan pengetahuan penyerangan. Kejahatan kemanusiaan ini meliputi deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa, pengurungan atau penghalangan kemerdekaan fisik secara bengis yang melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional, pembudakan, penyiksaan, pemerkosaan, pembudakan seksual, kehamilan secara paksa, penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal, penghilangan orang secara paksa, kejahata rasial

11

1. The Jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes :

a. The crime of genocide; b. Crimes against humanity; c. War crimes;

d. The crime of aggression.

2. The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of the United Nations.

12

(8)

319

(apartheid), serta perbuatan manusiawi lainnya yang mengakibatkan

penderitaan terhadap fisik seseorang.13 3. Kejahatan Perang (War Crime)

Kejahatan perang merupakan salah satu kejahatan tertua diantara keempat tipe kejahatan yang termasuk ke dalam yuridiksi ICC dan kejahatan akan menjadi kejahatan yang paling pertama dalam proses penghukumannya menurut hukum internasional14. Kejahatan perang yang dimaksud disini hampir sama dengan kejahatan kemanusiaan yang pada dasarnya perbuatan membunuh dan menghilangkan nyawa orang lain dan melanggar konvensi hukum perang yaitu konvensi Jenewa 1949.

4. Kejahatan Agresi (Crime against aggression)

Kejahatan agresi yang termasuk ke dalam yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional yang dapat dikaitkan dengan ketentuan yang tertuang di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya dalam ketentuan pasal 121 dan pasal 122 yang menyangkut mengenai intervensi dari negara lain dan penyerangan terhadap negara lain. Sedangkan yuridiksi personal meliputi warga negara pihak maupun warga negara bukan pihak yang mengakui yuridiksi Mahkamah serta warga negara bukan pihak namun kasusnya diajukan ke Mahkamah berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Hal ini berlaku bagi setiap individu baik pejabat diplomatik maupun pejabat pemerintahan15 dan berlaku untuk para komandan atau para pejabat sipil16 kecuali bagi anak yang berumur dibawah 18 tahun17. Sebagaimana tertuang secara spesifik di dalam pasal 27 Statuta Roma yang berbunyi :

(1)“This Statute shall apply equally to all persons without any distinction based on official capacity. In particular, official capacity as a Head od State or Government, a member of a Government of parliament, an elected representative or a government official shall in no case exempt a person from criminal responsibility under this

13Pasal 7 Statuta Roma tahun 1998 14

William A. Schabas, (2004), An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, hlm 51

15Statute roma pasal 27 16Statute roma pasal 28 17

(9)

320

Statute, nor shall it, in and of itself, constitute a ground for reduction of sentence”.

(2)”immunities or special procedural rules wgich may attach to the official capacity of a person, whether undr national of international law, shall not bar the Court from exercising its jurisdiction over such a person”.

Konflik kekerasan yang terjadi di Darfur yang dilakukan oleh kelompok Janjaweed tergolong ke dalam kejahatan genosida. Menurut penulis kekerasan yang terjadi di Khortum termasuk ke dalam salah satu jenis tindak pidana internasional yang melanggar hukum internasional, seperti yang telah disebutkan diatas bahwa Statuta Roma mengatur secara eksplisit mengenai kejahatan genosida dimana kejahatan tersebut termasuk ke dalam yurisdiksi ICC, maka dari itu sebagai orang yang bertanggung jawab atas konflik berdarah di Sudan sudah seharusnya negara Sudan mau bekerjasama dengan ICC dengan cara menyerahkan presidennya untuk diadili di hadapan Mahakamah Pidana Internasional tersebut.

B. Kewenangan ICC dalam mengadili Kejahatan Omar Al-bashir

PBB sebagai Organisasi Internasional telah memiliki Mahkamah Internasional

(International Court of Justice) yang didirikan untuk menyelesaikan sengketa antar

negara, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat internasional juga memerlukan suatu lembaga yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Berkaca dari peristiwa di Rwanda maupun di Yugoslavia yang merenggut ratusan nyawa rakyat sipil serta terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dimana dalam kasus Rwanda telah terjadi pembantaian terhadap etnis Tutsi oleh bangsa Hutu yang mengakibatkan banyak korban. Berkaca dari peristiwa diatas di mana berjuta-juta anak, wanita serta laki-laki telah menjadi korban dari kekejaman yang sulit untuk dibayangkan18, serta dapat mengancam perdamaian, keamanan dan kesejahteraan dunia19 dan juga untuk mengakhiri impunity bagi individu yang melakukan kejahatan tersebut dan mengupayakan pencegahan kejahatan yang demikian20.

18Pembukaan Statura Roma alinea ke-2 tentang Mahkamah Pidana Internasional tahun 1998 19Ibid, alinea ke-3

20

(10)

321 Menurut Jawahir Tantowi di dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional Kontemporer, yang dimaksud dengan subyek hukum internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional.21 Sementara menurut Mochtar Kusumaatmadja subyek hukum internasional dibedakan menjadi dua, yaitu dalam arti yang sebenarnya adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional, contohnya adalah negara, sedangkan dalam arti yang lebih luas dan karena itu lebih luwes (fleksibel) yakni mencakup pula keadaan di mana yang dimiliki itu hanya hak dan kewajiban yang terbatas, salah satu contohnya yaitu individu.22Latar belakang dan dasar pemikiran tersebut akhirnya didirikanlah Mahkamah Pidana Internasional/International Criminal Court (ICC).Mahamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) berkedudukan di The Hague (Den Haag), Belanda yang mempunyai fungsi untuk mengadili kejahatan-kejahatan paling serius dalam masyarakat internasional serta menjadi institusi pelengkap dari pengadilan-pengadilan serta hukum nasional suatu negara dalam hal mengadili keempat tipe kejahatan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Mahkamah Pidana Internasional bertugas mengadili seseorang yang melakukan kejahatan kemanusiaan seperti yang tertuang di dalam pasal 5 Statuta Roma.. Mahkamah Pidana Internasional dalam mengadili suatu kasus harus berdasarkan tuntutan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun dari penuntut23, penuntut disini dapat diwakili oleh negara peserta. Penuntut dapat berinisiatif melakukan penyidikan

proporio motu berdasarkan informasi mengenai tindak pidana di bawah yuridiksi

mahkamah dan penuntut harus menganalisa keseriusan dari informasi yang diterima.24 Dalam masa penyelidikan harus ditemukan bukti-bukti yang menyatakan bahwa suatu negara telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan mencari siapa yang berada dibalik pelaksanaan kejahatan kemanusiaan tersebut lalu dibawa dan diadili di Mahkamah Pidana Internasional. Penerapan hukum oleh Mahkamah Pidana Internasional akan menerapkan unsur-unsur tindak pidana dan aturan tentang prosedur serta pembuktiannya, kemudian, jika pantas, perjanjian-perjanjian yang dapat diterapkan, prinsip-prinsip dan peraturan dari hukum internasional, termasuk prinsip yang ada dari

21Jawahir Tantowi, (2006), Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, PT. Refika Aditama, hlm 104. 22Mochtar Kusumaatmadja (1976), Pengantar Hukum Internasional, Putra Abardin, hlm 70.

23William A. Schabas, (2004), Op.cit. hlm 119 24

(11)

322 hukum internasional tentang konflik bersenjata, mahkamah dapat menerapkan prinsip-prinsip dan peraturan seperti yang dijelaskan dalam keputusan-keputusan sebelumnya

(yurisprudensi) serta penerapan dan penafsiran dari hukum di dalam pasal ini harus

konsisten dengan hak asasi internasional yang diakui dan tidak mengadandung hal-hal menentang yang menunjuk pada jenis kelamin, umur, ras, warna kulit, bahasa, agama atau kepercayaan, pendapat politis atau opini lainnya, etnik atau asal usul, harta kekayaan, kelahiran atau status lainnya.25

Mahkamah Pidana Internasional memiliki prinsip-prinsip dasar yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan peradilan didalam dunia pidana internasional. Prinsip-prinsip yang digunakan oleh Mahkamah Pidana Internasional tertuang di dalam Statuta Roma. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege merupakan salah satu prinsip dasar yang tertuang di dalam Statuta Roma, di dalam pasal 22 Statuta Roma yang berbuyi :

(1)”A person shall not be criminally responsible under this Statute unless the conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the Court.

(2)The definition of a crime shall be strictly construed and shall not be extended by analogy. In case of ambiguity, the definition shall be interpreted in favour of the person being investifated, prosecuted or convicted”.

Selain asas Nullum Crimen Sine Lege¸ di dalam Statuta Roma juga dijelaskan mengenai asas Nulla Poena Sine Lege26, yaitu“ A person convicted by the Court may be punished only in accordance with this Statute”.

Asas terakhir yang terdapat di dalam Statuta Roma yaitu asas Non-Retroactiviy

Ratione Personae27, yaitu

(1)”No person chall be criminally responsible under this Statute for conduct prior to the entry into force of the Statute

(2) in the event of a change in the law applicable to a given case prior to a final judgement, the law more favourable to the person being investigated, prosecuted or convicted shall apply”.

Ketiga prinsip diatas merupakan prinsip yang tertuang secara eksplisit di dalam Statuta Roma, Konflik yang telah berlangsung di Darfur, Sudan telah

25Pasal 21 Statuta Roma 26Pasal 23 Statuta Roma 27

(12)

323 berlangsung sangat lama bahkan sebelum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional, tetapi konflik yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Luis Moreno Ocampo adalah konflik yang terjadi pada tahun 2003. Seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa Mahkamah Pidana Internasional berdiri dengan berlandaskan Statuta Roma tahun 1998 dan mulai bekerja pada tahun 2002, artinya kasus Sudan tidak melanggar asas Non-Retroactivity Ratione Personae karena berdasarkan asas tersebut Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat mengadili konflik yang terjadi setelah terbentuknya Mahkamah dan konflik Sudan terjadi setelah terbentuknya Mahkamah. Konflik yang terjadi di Sudan juga memenuhi asas Nullum Crimen Sine Lege karena asas ini mengatur bahwa seseorang dapat diadili di hadapan Mahkamah jika perbuatannya termasuk ke dalam yurisdiksi dari Mahkamah. Konflik yang terjadi di Sudan secara jelas masuk ke dalam yurisdiksi dari Mahkamah Pidana Internasional karena perbuatan yang dilakukan oleh kelompok Janjaweed merupakan perbuatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Omar Al-bashir yang dituduhkan sebagai orang yang bertanggung jawab oleh Jaksa Penuntut Umum dapat diadili di hadapan Mahkamah Pidana Internasional, sebagai seorang presiden pada hakekatnya dia harus melindungi warga negaranya, tetapi pada kenyataannya Omar Al-bashir turut serta dan ia yang menyuruh kaum Janjaweed untuk melakukan pembantaian atas etnis Fur, Masalit dan Zaghawa.

Seperti yang kita ketahui suatu statuta dapat berlaku bagi suatu jika suatu negara meratifikasi statute tersebut. Sudan tidak ikut meratifikasi Statuta Roma tetapi ICC tetap dapat masuk dan dapat mengadili Presiden Sudan Omar Al-bahsir karena di dalam pasal 13 ayat (1) Statuta Roma disebutkan bahwa

“A situation in which one or more of such crimes appears to have ben committed is referred to the prosecutor by a state party in accordance with article 14”.

Dimana bunyi dari pasal 14 Statuta Roma adalah sebagai berikut :

“(1) A state party may refer to the prosecutor a situation in which one or more crimes within the jurisdiction of the court appear to have been committed requesting the prosecutorto investigate the situation for the purpose of determining whether one or more specific persongs should be charged with the commission of sich crimes

(2) As far as possible, a referral shall specify the relevant circumstances and be accompanied by such supporting documentation as is available to the State referring the situation.

(13)

324 Menurut pasal 13 diatas yurisdiksi dari ICC dapat masuk ke dalam wilayah Sudan walaupun Sudan tidak meratifikasi Statuta Roma bila dilakukan penuntutan oleh negara peserta dari Statuta Roma. Melalui United Nations General Assembly resolution

3074 tahun 1973 menyatakan bahwa semua negara harus saling bekerja sama secara

bilateral atau multilateral untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

Negara peserta Statuta Roma telah melakukan penuntutan melalui Jaksa Penuntut Umum Luis Moreno Ocampo beserta dokumen-dokumen yang berisikan tentang fakta yang mendukung dakwaan dari ICC digunakan sebagai bukti-bukti untuk memperkuat dakwaan tersebut, maka dari itu Mahkamah Pidana Internasional dapat masuk untuk mengadili Omar Al-bashir sebagai seorang yang bertanggung jawab atas genosida ketiga etnis Fur, Masalit dan Zaghawa serta kejahatan kemanusiaan yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 300.000 orang meninggal dunia dan sebanyak 2,5 juta orang terpaksa menjadi pengungsi, disamping itu Majelis Umum PBB telah mengeluarkan United Nations General Assembly Resolution 1593 tahun 2005 tentang situasi di Darfur, Sudan. Tidak ada alasan bagi ICC untuk tidak menerima ataupun menolak untuk memeperkarakan kasus Sudan di hadapan Mahkamah Pidana Internasional karena semua persyaratan dalam hal penerimaan perkara telah terpenuhi, Sudan secara nyata tidak mau unwilling dan tidak mampu unable untuk mengadili Omar Al-bashir, sebagian besar rakyat Sudan mendukung dan melindungi pemimpin negaranya tersebut, sebagian besar para pejabat serta penegak hukum di Sudan sudah tentu menjadi pendukung dan pelindung bagi Omar Al-bashir, dapat disimpulkan bahwa para penegak hukum di Sudan tidak akan melakukan atau membuat suatu persidangan serta menyelidiki dan menghukum Omar Al-bashir sebagai orang yang bertanggung jawab atas konflik di Darfur, Sudan.

Resolusi tersebut Majelis Umum PBB memutuskan bahwa Pemerintah Sudan dan semua pihak yang terlibat di dalam konflik Sudan harus bekerja sama dengan ICC dan Penuntut Umum dalam penyelesaian kasus Sudan28. Hal ini berarti jika dilihat dari asas serta yurisdiksi ICC yang dapat masuk ke dalam konflik Sudan, maka sudah

28

(14)

325 seharusnya pemerintah Sudan mau bekerja sama dengan ICC dan menyerahkan presiden Sudan, Omar Al-bashir untuk diadili dihadapan Mahkamah Pidana Internasional.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian dari pembahasanpenelitianini, disimpulkan Bahwa di dalamHukumInternasionaldikenalsuatuhakkhusus yang manasetiap orang yang memilikihaktersebutakanterbebasdarisegalajenishukum,

baikituhukumpidanamaupunhukumperdata yang dinamakanhakimunitas. Namun di pihaklainnyaInternational Criminal CourtsebagailembagaperadilanberdasarkanStatuta Roma memilikiyurisdiksidalam 4 pidanainternasional (genoside, kejahatankemanusiaan, agresi, kejahatanperang).

KonteksPrahara yang terjadi di

Darfur-Sudan,sudahdapatdipastikanbahwaICCmemilikikewenangandalammengadiliPresiden

Sudan Omar Al-bashir, (seperti yang

kitaketahuiseorangPresidententunyamemilikihakimunitasterhadaphukum),

perbuatanpidanayang telahdilakukanoleh Omar Al-bashiradalahperbuatan di

bawahyurisdiksi ICC yaitukejahatankemanusiaandangenoside,

terlebihhalinimerupakanperbuatan yang melanggarJus Cogen. Kejahatankemanusiaan,

genosida, sertakejahatanperang yang di tuduhkankepada Omar

Al-bashirtermasukkedalampelanggaranHakAsasiManusiadan di dalampasal 27 Statuta Roma

secarajelasmengatakanbahwakekebalantidakakanmembatasiMahkamahdalammelakukan

yurisdiksinya, halinijugaberlakukepada Omar Al-bashir yang

telahkehilanganhakimunitasnyasebagaikepalanegara, makadariitu ICC

sebagailembagaperadilanpidanainternasionaldapatmasukkedalamwilayah territorial

darinegara Sudan untukmenangkapdanmembawaPresiden Sudan Omar

Al-bashirkehadapanMahkamah. .

Daftar Pustaka

Ibrahim,Johnny, (2007), TeoridanMetodologiPenelitianHukumNormatif, Malang: Bayumedia Publishing.

(15)

326 Tantowi,Jawahir. (2006),Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika

Aditama

Kusumaatmadja,Mochtar, (1976). Pengantar Hukum Internasional. Putra Abardin Abdussalam,R., (2001), Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Restu Agung,

Schabas.William A. (2004), An Introduction to The International Criminal Court. Cambridge University Press.

PeraturanPerundang-undangan

Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional tahun 1998

United Nations General Assembly Resolution 1450 tahun 1953 tentang United Nations Conferences on Diplomatic Intercourse and Immunities

United Nations General Assembly Resolution 3074 tahun 1973 tentang Principle of International Cooperation In The Detection, Arrest, Extradition And Punishment of Person Guilty of War Crimes And Crimes Against Humanity United Nations Security Council Resolution 1593 tahun 2005 tentang Situation In

Darfur, Sudan, To Prosecutor of International Criminal Court

Website

http://pks-sudan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49&Itemid=73 dikutip dari halaman PKS yang ditulis pada hari Senin, 15 Juni 2009

http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/403-referendum-penutup-konflik-sudan http://internasional.kompas.com/read/2010/07/14/03595775/ICC.Minta.Presiden.Sudan. Ditangkap http://www.elsam.or.id/downloads/1262941922_PB_Int_CLaw__hist__trib_s__ICC_Fu ll_INDO.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan

Terkait permasalahan transportasi online vs transportasi konvensional menurut penulis pemerintah telah mampu bersikap adil, yaitu disatu sisi pemerintah tidak

Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Pemeriksaan saksi- saksi dan bukti yang ada berdasarkan fakta-fakta yang dituangkan ke dalam Putusan Pengadilan Cirebon Nomor

Upaya pemberantasan korupsi memalui jalur pendidikan harus dilaksanakan karena tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan meruapakan tempat yang sangat strategis untuk membina

Statuta Roma 1998 perlu dikaji dan diatur kembali mengenai beberapa ketentuan antara lain persetujuan negara untuk menyerahkan warga negaranya yang melakukan kejahatan

moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat, ini berarti etika tidak hanya

Wewenang untuk menghentikan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan alasan bersifat teknis, yang diatur Pasal 140 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun