• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

252

DISKURSUS PANCASILA DALAM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2009 TENTANG POS

Tomy Michael1

Email: tomy@untag-sby.ac.id

Abstrak

Pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN, suatu negara harus mampu menunjukkan kekuatannya sebagai negara yang berdaulat. Tujuan ini untuk menciptakan keadilan hukum karena keadilan hukum merupakan tujuan hukum tertinggi dalam suatu negara. Berdasarkan itulah, hakikat Pancasila harus tercermin di setiap peraturan perundang-undangan, salah satunya hakikat Pancasila dalam UU No. 38 Tahun 2009. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptua. Bahan hukum dikumpulkan melalui studi pustaka dan dokumen yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan pokok permasalahan yang dikaji. Kemudian bahan-bahan tersebut dipahami secara mendalam. Teknik analisa bahan hukum yang digunakan adalah analisa deduktif. Kesimpulan yang diperoleh bahwa keadilan dalam UU No. 38 Tahun 2009 adalah keadilan yang artifisial karena penyelenggaraan pos tidak menciptakan keadilan kepada masyarakat secara sama dan semua pihak. Sebagai saran agar UU No. 38-2009 dapat berjalan lebih optimal lagi yaitu dengan melakukan kerja sama pihak swasta untuk meningkatkan layanan pos universal.

Kata kunci: Pancasila, pos, keadilan hukum.

Pendahuluan

Pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN, suatu negara harus mampu menunjukkan kekuatannya sebagai negara yang berdaulat. Adanya penyatuan batas dengan negara lain, akan mengaburkan batas-batas sistem hukum dalam suatu negara. Dengan demikian, salah satu cara termudah yaitu mengoptimalkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang sebelum Masyarakat Ekonomi ASEAN dilakukan. Tujuan ini untuk menciptakan keadilan hukum karena keadilan hukum merupakan tujuan hukum tertinggi dalam suatu negara. Keadilan hukum dapat dijelaskan dengan berbagai pemikiran tokoh ilmu hukum karena keadilan hukum tidak dapat didefinisikan secara mutlak.

(2)

253 Keadilan hukum yang bersifat abstrak dapat dijelaskan juga melalui hakikat Pancasila di Indonesia. Mengacu Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) termaktub bahwa “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Dalam penjelasannya termaktub bahwa penempatan tersebut sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan hal itulah, hakikat Pancasila harus tercermin di setiap peraturan perundang-undangan. Salah satunya, hakikat Pancasila dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (UU No. 38- 2009). Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di masyarakat, keberadaan dan eksistensi Pos Indonesia mutlak diperlukan dan diharapkan mampu menjawab segala tantangan dalam pembangunan bidang hukum. Kebijakan pembentukan hukum dewasa ini diarahkan untuk membentuk substansi hukum yang responsif dan mampu menjadi sarana pembaharuan dan pembangunan yang mengabdi pada kepentingan nasional dengan mewujudkan ketertiban, legitimasi dan keadilan.

Pos Indonesia yang memiliki visi “menjadi raksasa logistik pos dari Timur” dan misi “menjadi aset yang berguna bagi bangsa dan negara; menjadi tempat berkarya yang menyenangkan; menjadi pilihan terbaik bagi para pelanggan; senantiasa berjuang untuk memberi yang lebih baik bagi bangsa, negara, pelanggan, karyawan, masyarakat serta pemegang saham”, merupakan perpanjangan negara dalam menjalankan UU No. 38-2009 secara optimal.

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum yang memiliki arti pengkajian ilmu hukum untuk memperoleh pengetahuan yang benar guna menjawab suatu masalah.2 Dengan penelitian hukum normatif, peneliti memiliki argumen bahwa mengunakan hukum normatif karena penelitian hukum tergantung pada rumusan masalah berupa pertanyaan penelitian “Apakah Pos Indonesia telah melaksanakan UU No. 38 Tahun

2 Moh Fadli, (2012), Perkembangan Peraturan Delegasi Di Indonesia, Disertasi, Bandung: Universitas

(3)

254 2009 sesuai kehendak Pancasila?” maka penelitian hukum normatiflah yang paling tepat untuk digunakan.3

Maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yakni peraturan tertulis yang dibentuk lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum, dan pendekatan konseptual yakni pendekatan mengenai konsep hukum yang berasal dari sistem hukum tertentu yang tidak bersifat universal.4 Bahan hukum dikumpulkan melalui studi pustaka dan dokumen yaitu dengan mengumpulkan bahan yang relevan dengan pokok permasalahan yang dikaji. Kemudian bahan-bahan tersebut dipahami secara mendalam. Teknik analisa bahan-bahan hukum yang digunakan adalah analisa deduktif. Analisa deduktif memiliki arti berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan objek yang hendak diteliti yaitu menjelaskan hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus untuk menarik suatu kesimpulan yang dapat memberikan jawaban ilmiah untuk permasalahan hukum dalam penelitian ini.

Hasil dan Pembahasan

Keadilan Hukum Dalam UU No. 38 Tahun 2009

Keadilan tidak dapat diartikan secara konkrit dalam wujud kalimat karena keadilan dapat bersifat ide atau ide yang dikonkritkan. Socrates dalam pemikirannya menyatakan bahwa keadilan itu hanya dalam tataran ide. Keadilan tidak dapat dijelaskan secara spesifik, keadilan kadang dipandang sebagai kebaikan individual dan kadang dipandang sebagai kebaikan negara. Keadilan hukum memiliki perbedaaan dengan keadilan atas agama karena keadilan agama secara umum hanyalah kebaikan tetapi apabila keadilan agama yang sebenar-benarnya ditarik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maka keadilan agama memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada keadilan hukum. Keadilan agama hanyalah berlaku bagi subjek hukum yang memiliki keyakinan atas ajaran agama tersebut. Socrates menjelaskan negara sebagai hasil dari keinginan seseorang yang pada akhirnya seseoang tersebut mengumpulkan berbagai orang lainnya yang dikumpulkan dalam suatu tempat –

3

Digest Epistema, (2015), Penelitian Hukum: Antara Yang Normatif Dan Empiris, Ditulis oleh Widodo Dwi Putro dan Herlambang P. Wiratraman.

4

(4)

255 perkumpulan daripada penghuninya inilah yang disebut negara.5 Dari sinilah, suatu keadilan dapat berasal. Keadilan adalah melakukan pekerjaan sendiri, bukan menjadi orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain maka melakukan pekerjaan atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu boleh dianggap sebagai keadilan.

Peneliti menolak keadilan yang dikehendaki oleh Socrates seperti yang tertulis dalam beberapa literatur ilmu hukum umumnya yang memberikan definisi secara tegas yaitu keadilan komutatif (perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang telah dilakukannya), keadilan distributif (perlakuan kepada seseorang sesuai ajsa-jasa yang telah dilakukannya), keadilan kodrat alam (perlakuan kepada seseoang sesuai hukum alam) dan keadilan konvensional (keadilan yang ditetapkan melalui sebuah kekuasaan khusus). Keadilan tersebut sering kali disamakan dengan keadilan Aristoteles sedangkan keadilan menurut Socrates tergantung teks yang dituju.

Dalam dialog lainnya, Socrates mengatakan bahwa keadilan adalah seni pencurian akan tetapi demi praktisnya untuk hal yang baik bagi teman dan hal yang buruk bagi lawan. Perhatikan juga karya A Setyo wibowo yang berfokus terhadap kajian Platon, Sokrates mengisahkan tentang pendidikan yang diberikan kepada empat pendidik kerajaan. Dimana masing-masing mewakili keutamaan kebijaksanaan, keadilan, keugaharian dan keberanian. Pendidik yang paling bijak akan mengajarkan tentang pekerjaan seorang raja; pendidik yang paling ugahari akan mendidik anak supaya tidak membiarkan dirinya diperintah oleh jenis kenikmatan apapun supaya ia terbiasa menjadi orang yang lepas bebas dan benar-benar memerintah sebagai raja. Kewajiban mengikuti Kebenaran mengalahkan kehangatan eksklusif pertemanan dua orang.6

Keadilan hukum tidak melihat apa yang menjadi teleologinya melainkan hakikat yang dimilikinya. Di dalam landasan filosofis UU No. 38 Tahun 2009 menyatakan “bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” dan landasan sosiologisnya menyatakan “bahwa pos merupakan

5 Plato, (2002), Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya, hlm. 72.

6

A Setyo Wibowo, (2015), Platon: Lysis (Tentang Persahabatan), Yogyakarta: Kanisius dan A Setyo Wibowo, (2015), Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta: Kanisius. Oleh karena itu, keadilan menurut Socrates adalah ide dan kemudian dijelaskan oleh Aristoteles menjadi suatu yang nyata karena apabila keadilan hanya berupa ide adalah tidak adil.

(5)

256 sarana komunikasi dan informasi yang mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung pelaksanaan pembangunan, mendukung persatuan dan kesatuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, mendukung kegiatan ekonomi, serta meningkatkan hubungan antarbangsa”. Dari konsiderans tersebut, UU No. 38 Tahun 2009 dirancang agar komunikasi dan perolehan informasi sesuai dengan UUD NRI 1945. Hal ini memiliki perbedaan dengan landasan filosofis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14-2008) yang menyatakan “bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional” dan landasan sosiologisnya menyatakan “bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik”.

Mengacu pada Pasal 2 huruf b UU No. 38-2009, asas keadilan diartikan bahwa penyelenggaraan pos memberi kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak dan yang hasil-hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara sama dan semua pihak. Keadilan dalam pasal ini, adalah keadilan yang artifisial karena penyelenggaraan pos7 tidak menciptakan keadilan kepada masyarakat secara sama dan semua pihak. Mengacu peraturan pelaksana UU No. 38-2009 yaitu Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 Tentang Pos (PP No. 15-2013) termaktub bahwa:

a. Ketersediaan akses layanan adalah keterjangkauan layanan berupa ketersediaan dan ketersebaran titik layanan.

b. Keteraturan layanan adalah keteraturan dan kesinambungan penyediaan layanan dari waktu ke waktu.

c. Kompetensi sumber daya manusia adalah kemampuan (skill and knwoledge) seseorang yang dapat membawa pada kinerja yang lebih baik.

d. Kecepatan dan keandalan adalah ukuran waktu tempuh kiriman yang tiba dengan tepat kepada penerima kiriman.

e. Keamanan dan kerahasiaan adalah keutuhan kiriman sampai di tangan penerima dalam kondisi yang baik.

7 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 38-2009, diartikan sebagai suatu badan usaha yang

menyelenggarakan pos. Lebih lanjut peneliti memberikan batasan badan usaha yang dimaksud adalah Pos Indonesia. Pembatasan ini perlu dilakukan karena dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 38-2009, badan usaha terdiri atas badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi.

(6)

257

f. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan adalah pengelolaan pengaduan untuk memberikan solusi atas pertanyaan, permintaan informasi, dan keluhan jika terjadi penyimpangan pelayanan.

g. Kepuasan pelanggan adalah situasi dan keadaan dimana pelanggan merasakan bahwa kebutuhan dan keinginannya dapat terpenuhi.

h. Tarif layanan adalah biaya yang harus dibayar untuk memperoleh pelayanan.

Dari landasan filosofis UU No. 38-2009 dan hakikat Pasal 10 PP No. 15-2013 maka keduanya tidak memliki kesinkronan.

UU No. 38-2009 tidak menciptakan keadilan tetapi PP No. 15-2013 menciptakan keadilan. Dengan demikian keadilan hukum dalam UU No. 38-2009 belum memiliki kesamaan prinsip dengan teleologi milik Aristoteles yaitu [these four

causes are: the material cause, or what a thing is made of; the formal causes, or the arrangement or shape of a thing; the efficient cause, or how a thing is brought into being; and the final cause, or the function or purpose of a thing. And it is this last type of cause, the “final cause” that relates to ethics].8

Pancasila Dalam UU No. 38-2009

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara maka mewajibkan segala peraturan perundang-undangan di Indonesia mengacu pada pada kelima sila. Di dalam perspektif negara hukum, keadilan hukum dalam Pancasila tidak dapat diartikan secara mutlak karena apabila ada kemutlakan akan menimbulkan ketidakadilan. Pancasila dapat dijadikan dalam tiga landasan yaitu:

a. Landasan epistimologi yaitu Pancasila merupakan sumber pengetahuan yang terdapat dalam diri bangsa Indonesia dan sumber pengetahuan tersebut bersinergi dengan berbagai institusi-institusi yang berada di Indonesia. Institusi-institusi tersebut harus dapat memaknai Pancasila sebagai suatu kebenaran yang utuh dan harmonis.

b. Landasan aksiologis lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan nilai kerohanian (kesucian, kebaikan, kebenaran, dan keindahan) dan tidak mengesampingkan nilai materiil serta nilai vital. Nilai materiil sebagai nilai yang bermanfaat bagi jasmani manusia seperti kenikmatan, kesehatan. Nilai vital sebagai

(7)

258 nilai yang bermanfaat bagi kegiatan manusia seperti motor, telepon genggam. Nilai kerohanian sebagai nilai yang bermanfaat bagi rohani manusia. Nilai kerohanian diklasifikasikan menjadi nilai kebenaran yang bersumber dari akal, nilai keindahan yang bersumber dari perasaan, nilai kebaikan yang bersumber pada kehendak dan nilai agama yang merupakan nilai kerohanian yang paling tinggi.9

c. Secara ontologis kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem bersifat hierarki dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut: bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok negara, karena negara adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Negara adalah sebagai akibat adanya manusia bersatu (Sila 3). Terbentuknya persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada hakikatnya merupakan unsur negara, unsur wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu (Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan sosial (Sila 5) yang pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara.10

Selain itu, Pancasila sebagai dasar negara juga pada hakikatnya tercermin dalam berbagai asas, di antaranya:

a. Asas ketuhanan Yang Maha Esa: tercermin dalam tiga bidang ketatanegaraan Indonesia (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif),

b. Asas perikemanusiaan: asas yang mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa,

c. Asas kebangsaan: setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama,

d. Asas kedaulatan rakyat: menghendaki bahwa setiap tindakan negara harus berdasarkan keinginan rakyat,

9

Darji Darmodiharjo dan Sidharta, (1995), Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat

Hukum Indonesia), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 211.

10

(8)

259 e. Asas keadilan sosial: menghendaki bahwa tujuan negara adalah mewujudkan

keadilan sosial secara adil dan makmur.

Pancasila sebagai dasar negara juga dimaknai sebagai hukum dasar negara Indonesia yang secara objektif merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia. 11

Bersandar dari pemahaman demikian, Pancasila dalam UU No. 38-2009 hanya tercermin dalam Pasal 15 UU No. 38-2009 yaitu12

1. Pemerintah wajib menjamin terselenggaranya Layanan Pos Universal di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Dalam menyelenggarakan Layanan Pos Universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menugasi Penyelenggara Pos.

3. Pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada semua

Penyelenggara Pos yang memenuhi persyaratan untuk

menyelenggarakan Layanan Pos Universal.

4. Penyelenggara Pos wajib memberikan kontribusi dalam pembiayaan Layanan Pos Universal.

5. Wilayah Layanan Pos Universal yang disubsidi ditetapkan oleh Menteri. 6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Layanan Pos Universal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal ini mencerminkan hakikat Pancasila sebenarnya, adanya pertanggungjawaban negara dalam menciptakan layanan pos di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengacu sila kelima Pancasila dimana keadilan adalah hak13 seluruh warga negara dan negara wajib memberikan keadilan tersebut sebagai

11 Soekarno, (2006), Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta: Media Presindo, hlm. 47.

12

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 38-2009, layanan pos universal adalah layanan pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memungkinkan masyarakat mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia.

13

Sebagai perbandingan, peneliti memasukkan pemikiran Jean Jacques Rousseau dimana dia awalnya mengemukakan bahwa manusia adalah bebas tetapi tidak memiliki otoritas alami atas sesamanya. Awalnya itu disebut sebagai bentuk tertua masyarakat yaitu keluarga. Anak terikat pada ayah selama membutuhkannya, setelah bukan alami lagi melainkan ia melakukan kontrak sosial. Kontrak sosial ini dapat juga disebut sebagai alienasi12 karena manusia yang bebas pada dasarnya tidak memiliki kebebasan secara utuh. Sebagai ilustrasi seorang bayi yang baru lahir merupakan manusia bebas tetapi untuk mencapai kebebasannya maka bayi tersebut membutuhkan ibunya agar cakupan gizinya terpenuhi melalui makanan dan minuman. Alienasi lainnya dijelaskan Jean-Jacques Rousseau bahwa seorang majikan yang memiliki budak maka sebenarnya majikan tersebut tidaklah bebas karena ia menyerahkan sebagian dirinya untuk menggantungkan kepada budak tersebut sehingga menimbulkan konsekuensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana ketika selama masyarakat dipaksa untuk menurut dan kalau ia patuh, segalanya berjalan baik, lebih lanjut dalam Tomy Michael, Korelasi Alinea Keempat Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Dengan Pemikiran Immanuel Kant, Jurnal Hukum Samudra Keadilan

(9)

260 konsekuensi negara hukum. hal ini juga sejalan dengan negara hukum material (kesejahteraan) yang bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi segenap bangsa. Tugas itu diserahkan kepada pemerintah sebagai penyelenggaraan pemerintahan.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil uraian dari pembahasan penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa keadilan dalam UU No. 38-2009 adalah keadilan yang artifisial karena penyelenggaraan pos tidak menciptakan keadilan kepada masyarakat secara sama dan semua pihak. Sedangkan hakikat Pancasila telah tercermin dalam Pasal 15 UU No. 38-2009. Sebagai saran agar UU No. 38-2009 dapat berjalan lebih optimal lagi yaitu dengan melakukan kerja sama pihak swasta untuk meningkatkan layanan pos universal.

Daftar Pustaka

Wibowo, A Setyo, (2015), Platon: Lysis (Tentang Persahabatan), Yogyakarta: Kanisius.

(2015), Platon: Xarmides (Tentang Keugaharian), Yogyakarta: Kanisius.

Darmodiharjo,Darji dan Sidharta, (1995), Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Putro,Widodo Dwi dan Herlambang P. Wiratraman, (2015), Digest Epistema „’Penelitian Hukum: Antara Yang Normatif Dan Empiris’‟, Digest Epistema DK London, (2011), The Philosophy Book, London: Dorling Kindersley Limited.

Fadli,Moh, (2012), Perkembangan Peraturan Delegasi Di Indonesia, Disertasi, Bandung: Universitas Padjadjaran.

Notonagoro, (1975), Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Pantjuran Tudjuh. Marzuki, Peter Mahmud, (2010), Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.

Plato, (2002), Republik, Yogyakarta: Bentang Budaya.

Soekarno, (2006), Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Yogyakarta: Media Presindo.

Michael, Tomy, Jurnal Hukum Samudra Keadilan Fakultas Hukum Universitas

Langsa– Aceh, “Korelasi Alinea Keempat Undang-Undang Dasar NRI Tahun

1945 Dengan Pemikiran Immanuel Kant” Vol. 11 No. 2, Juli – Desember 2016 ISSN 1978-6395.

Referensi

Dokumen terkait

21 Menurut Jean Jacques Rousseau berpendapat bahwa kemampuan yang dimiliki manusia memiliki tempat yang lebih tinggi dan seluas-luasnya di mana manusia bebas

Upaya pemberantasan korupsi memalui jalur pendidikan harus dilaksanakan karena tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan meruapakan tempat yang sangat strategis untuk membina

moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat, ini berarti etika tidak hanya