• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Bullying

2.1.1. Pengertian Bullying

Beberapa tokoh mengemukakan bullying dalam berbagai definisi yang beragam. Sullivan (2000) menjelaskan bullying sebagai perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang lain dengan tujuan menyakiti. Olweus (2003) menjelaskan bullying sebagai tindakan negatif dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya. Bullying dapat terjadi dalam bentuk verbal, fisik, dan relasional. Menurut Rigby (2008), bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan secara sistematis dalam berhubungan dengan orang lain.

Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku dapat dikatakan sebagai bullying apabila : a) dilakukan secara sadar dan sengaja; b) berulang kali dalam waktu yang relatif lama; c) terdapat ketidakseimbangan kekuatan; d) sistematis dan terorganisir; e) bertujuan untuk menyakiti orang lain; f) dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu dalam bentuk verbal, fisik, dan mental.

(2)

2.1.2. Bentuk-Bentuk Bullying

Berdasarkan bentuknya, bullying dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu bullying secara verbal, fisik dan relasional (Olweus, 2003; Heath & Sheen, 2005). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Bullying secara verbal yaitu perlakuan kasar yang dilakukan secara verbal. Tindakan yang termasuk di dalamnya adalah memaki, menghina, mengejek, memfitnah, memberi julukan yang tidak menyenangkan, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menyebarkan gosip negatif, dan membentak.

b. Bullying secara fisik yaitu perlakuan kasar secara fisik dan dapat dilihat dengan kasat mata. Contoh perilakunya seperti memukul, meludahi, menampar, mendorong, menjambak, menjewer, menendang, dan berbagai macam kontak fisik lainnya.

c. Bullying relasional yaitu perlakuan kasar yang tidak dapat dilihat secara kasat mata dan berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat merusak hubungan dengan orang lain. Tindakan yang termasuk bullying relasional antara lain dengan sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang, penolakan kelompok, pemberian gesture yang tidak menyenangkan seperti memandang sinis, merendahkan dan penuh ancaman.

2.1.3. Faktor-Faktor Resiko Bullying

Perilaku bullying dapat terjadi dikarenakan adanya faktor resiko yang memicu perilaku tersebut. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor individu yang berasal dari dalam diri anak, faktor keluarga, teman sebaya, dan lingkungan. Faktor-faktor di atas dapat secara tunggal atau secara bersama-sama berpengaruh terhadap timbulnya perilaku bullying pada anak. American

(3)

Association of School Administrators (2009) menguraikan faktor-faktor tersebut di atas sehingga dapat menyebabkan timbulnya perilaku bullying.

Faktor-faktor individu yang mempengaruhi anak untuk melakukan bullying diantaranya : a) jenis kelamin; b) mempunyai riwayat menjadi korban bullying; c) berperilaku manipulatif, impulsif, dan agresif; d) kurang memiliki rasa empati; e) secara fisik lebih kuat dibanding korban; f) serta kurangnya kemampuan anak dalam menyelesaikan masalah secara konstruktif.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap perilaku bullying pada anak adalah faktor keluarga, seperti : a) kurangnya kehangatan serta perhatian dari orang tua sehingga anak cenderung mencari perhatian dengan melakukan bullying baik terhadap teman di sekolah maupun dalam keluarga; b) orang tua yang terlalu permisif dan kurangnya pembatasan dalam perilaku anak; c) kurangnya pengawasan orang tua; d) orang tua yang memperlihatkan atau memberi contoh perilaku bullying seperti orang tua yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga; e) penerapan disiplin secara fisik dan keras.; f) menjadi korban kekerasan atau bullying oleh saudara dalam keluarga.

Teman sebaya memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan anak usia sekolah. Faktor teman sebaya baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan sekitar tempat tinggal dapat mempengaruhi anak melakukan tindakan bullying. Faktor-faktor tersebut diantaranya : a) teman lain yang melakukan bullying; b) teman yang memiliki penilaian positif terhadap kekerasan; c) selain itu, sering kali anak yang bersikap agresif dengan status ekonomi menengah ke atas menggunakan bullying sebagai cara untuk memperoleh kontrol sosial dan melindungi statusnya di hadapan teman sebayanya; d) anak dengan kondisi ekonomi lemah

(4)

menggunakan perilaku bullying sebagai cara untuk meningkatkan status sosial dan melawan perilaku agresif yang ditujukan kepadanya.

Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap timbulnya perilaku bullying pada anak. Faktor-faktor tersebut antara lain : a) tidak adanya kebijakan anti-bullying dan kurangnya pengawasan di sekolah; b) pengaruh media massa, televisi, permainan, dan film yang mengandung perilaku kekerasan; c) serta pengaruh ikatan kelompk yang terlalu kuat dan identifikasi kelompok yang sering menumbuhkan sifat pengganggu anak.

2.1.4. Karakteristik Pelaku Bullying

Anak yang melakukan perilaku bullying dapat diidentifikasi dari karakteristik yang ada pada diri anak tersebut. Karakteristik yang mungkin sekali ditemukan pada anak pelaku bullying atau bullies diantaranya : a) berkepribadian manipulatif, impulsif, dan agresif; b) kurang empati; c) secara fisik lebih kuat dibanding korbannya; d) mengalami kesulitan beradaptasi dengan aturan; e) harga diri tinggi; f) mempunyai penilaian positif terhadap kekerasan; g) pencapaian nilai akademik rendah; h) kurangnya rasa keterikatan dan tanggung jawab terhadap sekolah (merasa tidak senang di sekolah dan tidak serius bersekolah); i) berasal dari lingkungan keluarga yang keras; j) mengalami gejala-gejala depresi (Dake, Price, & Telljohan, 2003; Heath & Sheen, 2005; American Association of School Administrator, 2009).

2.1.5. Karakteristik Korban Bullying

Heath dan Sheen (2005) mengelompokan karakteristik anak yang menjadi terget bullying ke dalam dua kelompok, yaitu anak yang memiliki karakteristik agresif dan anak yang memiliki karakteristik pasif. Anak dengan karakteristik yang menjadi korban bullying adalah anak yang cenderung reaktif, mudah marah, dan mudah tersinggung. Sedangkan anak dengan karakteristik

(5)

pasif umumnya sering menyendiri, mengalami penolakan oleh lingkungan sosial, dan secara fisik lebih lemah.

Individu atau anak yang mengalami korban bullying umumya diam dan tidak berani mengatakan bahwa ia telah menjadi korban bullying. Akan tetapi anak yang menjadi korban bullying dapat diidentifikasi dengan melihat karakteristik perilaku yang terlihat pada diri anak. Beran dan Leslie (2002) menyatakan bahwa korban bullying akan menunjukan berbagai gangguan perilaku, afeksi dan gangguan kognisi seperti panik, iritabilitas, dan kurang konsentrasi.

Karakteristik perilaku yang mungkin terlihat pada individu atau anak korban bullying diantaranya : a) memiliki harga diri rendah; b) tingkat ketidakhadiran di sekolah tinggi; c) terlihat ketakutan saat harus berangkat atau pulang sekolah; d) sering menangis; e) terdapat luka memar yang tidak dapat dijelaskan sebabnya; f) menarik diri dari aktivitas sosial dan sering menyendiri; g) kehilangan kepercayaan diri secara bertahap dalam situasi sosial; h) sering merasa tidak berdaya; i) menunjukan tanda-tanda depresi (Dake, Price, & Teljohan, 2003; Heath & Sheen, 2005; American Association of School Administrator, 2009; Weston, 2010).

2. 2. Kelekatan

2.2.1. Pengertian Kelekatan

Istilah kelekatan (attachment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969.

(6)

Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orangtua (Cartney & Dearing, 2002).

Bowlby menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dengan rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ainsworth (2001) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Menurut Baron dan Byrne (2003) kelekatan adalah derajat akan pengalaman rasa aman dalam hubungan antar pribadi.

Kelekatan adalah hubungan interpersonal yang terjalin dalan konstruk psikologis pada transisi dari masa kanak-kanak sampai dewasa (Wilkinson dan Goh, 2014).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka kelekatan dapat didefinisikan sebagai pengalaman seorang anak dalam melakukan hubungan secara pribadi yang terjadi secara berkesinambungan terhadap figur tertentu yaitu ibu, ayah atau pengasuh lainnya yang membentuk suatu ikatan yang kuat dan mempengaruhi kualitas perkembangannya. Lebih spesifik, definisi kelekatan anak laki-laki terhadap ayahnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah adanya pengalaman seorang anak laki-laki dalam melakukan hubungan secara pribadi yang terjadi secara berkesinambungan terhadap figur ayah yang membentuk suatu ikatan yang kuat dan mempengaruhi kualitas perkembangannya.

(7)

2.2.2 Bentuk Kelekatan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan Goh (2014) yang tertuang dalam jurnal IPPA-45, attachment atau kelekatan terdiri atas security attachment (kelekatan aman) dan insecurity attachment (kelekatan tidak aman).

Security attachment (kelekatan aman) adalah adanya hubungan antara orangtua dengan anak, dimana orangtua melakukan pengasuhan yang responsif, sensitif dan dapat memberikan kenyamanan pada anak disaat anak-anak mereka mengalami tekanan. Dengan kelekatan ini, anak-anak memiliki penyangga dari bahaya seperti kecemasan, depresi dan gangguan emosi yang semuanya terjadi pada masa pergolakan (remaja), sehingga anak-anak akan merasa aman, percaya diri, menolong orangtua mereka ketika dalam kesulitan dan mampu menjelajah dunia.

Insecurity attachment (kelekatan tidak aman) adalah adanya hubungan yang memberikan persepsi bahwa orang lain sebagai sumber yang tidak bisa diandalkan atau tidak mampu memberikan kenyamanan. Kelekatan tidak aman ini membuat anak-anak mengalami masalah perkembangan, menunjukkan gangguan emosi dan gangguan kepribadian.

2.2.3 Aspek Kelekatan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan Goh (2014) yang tertuang dalam jurnal IPPA-45, terdapat empat aspek dari kelekatan, yaitu :

a. Kepercayaan, yaitu menunjukkan seberapa besar rasa percaya anak terhadap ayahnya. b. Komunikasi, yaitu menggambarkan komunikasi yang terjalin antara anak dan ayah. c. Pengasingan, yaitu menunjukkan ketidaksukaan dan ketakutan anak terhadap ayah. d. Rasa aman, yaitu menggambarkan mengenai seberapa besar ayah memberikan rasa aman

(8)

2.3. Remaja

2.3.1. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Hurlock, 2012). Perubahan psikologis yang terjadi pada masa remaja meliputi intelektual, kehidupan emosi dan kehidupan sosial. Perubahan fisik mencakup organ seksual yaitu alat-alat reproduksi sudah mencapai kematangan dan mulai berfungsi dengan baik (Sarwono, 2011).

Muagman, 1980 (dalam Sarwono, 2011) mendefinisikan remaja berdasarkan definisi konseptual World Health Organization (WHO) yang mendefinisikan remaja berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu : biologis, psikologis dan sosial ekonomi.

1. Remaja adalah situasi masa ketikan individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2. Remaja adalah suatu masa ketika individu mengalami perkembangan psikologis dan pola

identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Remaja adalah suatu masa ketika terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang rekatif lebih mandiri.

2.3.2. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock, 2012, antara lain :

1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.

(9)

2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan deblum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan emosi pada perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.

4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri, yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.

5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orangtua menjadi takut.

6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.

7. Masa remaja adalah masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan di dalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan di dalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan.

(10)

2.3.3. Tahap Perkembangan Remaja

Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12 – 21 tahun, dengan pembagian usia 12 – 15 tahun adalah masa remaja awal, 15 – 18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18 – 21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, 2009).

Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu :

1. Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Lebih dekat dengan teman sebaya.

b. Ingin bebas.

c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. 2. Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain :

a. Mencari identitas diri.

b. Timbulnya keinginan untuk kencan. c. Mempunyai rasa cinta yang mendalam.

d. Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. e. Berkhayal tentang aktifitas seks.

3. Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain : a. Pengungkapan identitas diri.

b. Lebih selektif dalam mencari teman sebaya. c. Mempunyai citra jasmani dirinya.

d. Dapat mewujudkan rasa cinta. e. Mampu berpikir abstrak.

(11)

2.4. Dinamika Hubungan antara Kelekatan Anak Laki-laki Terhadap Ayahnya dengan Perilaku Bullying di Sekolah Menengah Pertama

Dari penjelasan mengenai bullying dan teori kelekatan di atas, muncul dugaan bahwa anak dengan gaya kelekatan tidak aman cenderung lebih rentan menjadi korban bullying dibandingkan anak dengan gaya kelekatan yang aman. Penelitian mengenai hubungan antara kelekatan dengan perilaku bullying pernah dilakukan oleh Coleman (2003) yang menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kelekatan dengan perilaku bullying. Anak-anak kelas 5 dan 6 sekolah dasar yang memiliki gaya kelekatan aman dengan kedua orang tuanya, jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang memiliki gaya kelekatan tidak aman, hampir tidak ada perbedaan yang berarti dalam hal menjadi korban bullying. Saran dari penelitian Coleman (2003) adalah untuk lebih memfokuskan kelekatan anak pada satu orang tua saja, baik ayah atau ibu, bukan keduanya. Selain itu, Coleman (2003) juga memberi catatan jumlah partisipan penelitiannya yang masih terlalu sedikit (70 partisipan) menjadi salah satu faktor yang menjadikan hasil penelitiannya tidak signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Boswort, Espelage, dan Simon (2001) menunjukan bahwa

anak laki-laki lebih cenderung menjadi korban bullying dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini dapat terjadi karena baik orang tua maupun pihak sekolah lebih mentolerir perilaku kekerasan—yang termasuk dalam perilaku bullying—pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini mencoba untuk lebih memfokuskan perilaku bullying pada anak laki-laki dengan melihat apakah ada hubungannya dengan kelekatan anak laki-laki tersebut dengan ayahnya. Kelekatan dengan ayah lebih dipilih karena berdasarkan aliran psikoanalisa (dalam Corneau Guy, 2003) anak laki-laki memiliki ketakutan akan

(12)

diskastrasi dibandingkan dengan anak perempuan. Ketakutannya tersebut mendorong anak laki-laki untuk patuh pada hukum ayah. Dengan tunduk pada hukum ayah, anak laki-laki-laki-laki justru belajar untuk mengendalikan dirinya, memiliki moralitas, dan dapat belajar mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Hal ini akan menjadi bekal bagi anak laki-laki untuk masuk ke dalam masyarakat, aktif berorganisasi bahkan berpolitik. Oleh karena itulah ayah dianggap sebagai role model bagi anak laki-laki dibandingkan dengan ibu. Selain itu, anak yang menghabiskan waktu lebih banyak bersama ayahnya memiliki kelekatan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang menghabiskan waktu yang lebih sedikit bersama ayahnya (Caldera, 2004).

2.5. Kerangka Pemikiran

X Y

Keterangan :

Variabel Independen (X) : Kelekatan Anak Laki-laki terhadap Ayahnya

Variabel Dependen (Y) : Perilaku Bullying

2.6. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah :

Ada hubungan yang signifikan antara kelekatan anak laki-laki terhadap ayahnya dengan perilaku bullying di Sekolah Menengah Pertama.

Kelekatan Anak Laki-laki Terhadap Ayahnya

Referensi

Dokumen terkait

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang pemerintahan desa, dari 1945 sampai 2005 memberikan posisi eksistensi Desa Pakraman, mengalami pasang surut, hal

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Program Neighborhood Upgrading And Shelter Project (NUSP) Menuju Pembangunan Berkelanjutan Di Wilayah Kumuh Kabupaten Tanjung

Hal ini disebabkan bebapa masalah pokok dalam ketentuan UU tersebut yang masih menititik-tekankan peranan kelembagaan yang bersifat formal dalam upaya pengetasan