A. Kajian Pustaka 1. Teori Stakeholder
Freemanetal (2002) dalam Waryanti (2009), konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970-an, yang secara umum dikenal dengan stakeholder theory artinya sebagai kumpulan kebijakan dan praktikyang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Stakeholder theory dimulai dengan asumsi bahwa nilai (value) secara eksplisit dan tak dipungkiri merupakan bagian dari kegiatan usaha.Ghozali dan Chariri (2007), teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukan lahentitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Untung (2008) dalam Waryanti (2009),tanggung jawab sosial perusahaan seharusnya melampaui tindakan memaksimalkan laba untuk kepentingan pemegang saham (stakeholder), namun lebih luas lagi bahwa kesejahteraan yang dapat diciptakan oleh perusahaan sebetulnya tidak terbatas kepada kepentingan pemegang saham, tetapi juga untuk
atau klaim terhadap perusahaan. Mereka adalah pemasok, pelanggan, pemerintah, masyarakat lokal, investor, karyawan, kelompok politik, dana sosiasi perdagangan. Seperti halnya pemegang saham yang mempunyai hak terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan,
stakeholder juga mempunyai hak terhadap perusahaan.
Ghozali dan Chariri (2007), stakeholder pada dasarnya dapat mengendalikan atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemakaian sumber-sumber ekonomi yang digunakan perusahaan. Oleh karena itu
power stakeholder ditentukan oleh besar kecilnya power yang dimiliki stakeholder atas sumber tersebut. Deegan dalam Ghozalidan Chariri
(2007), power tersebut dapat berupa kemampuan untuk membatasi pemakaian sumber ekonomi yang terbatas (modal dan tenaga kerja), akses terhadap media yang berpengaruh, kemampuan untuk mengatur perusahaan, atau kemampuan untuk mempengaruhi konsumsi atas barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan. Oleh karena itu, menurut Ullman dalam Ghozali dan Chariri (2007), “ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan keinginan stakeholder” aktif adalah apabila perusahaan berusaha mempengaruhi hubungan organisasinya dengan stakeholder yang dipandang berpengaruh atau penting. Sedangkan perusahaan yang mengadopsi strategi pasif cenderung tidak terus menerus memonitor aktivitas stakeholder dan secara sengaja tidak mencari strategi optimal untuk menarik perhatian stakeholder. Akibat
dari kurangnya perhatian terhadap stakeholder dalah rendahnya tingkat pengungkapan informasi sosial dan rendahnya kinerja sosial perusahaan.
2. Teori Legitimasi
Teori Legitimasi merupakan suatu gagasan tentang kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat. Menurut teori ini, untuk diterima oleh masyarakat, perusahaan harus mengungkapkan aktivitas social perusahaan sehingga akan menjamin kelangsungan hidup perusahaan (Reverte, 2009). Teori Legistimasi juga berpendapat bahwa perusahaan harus melaksanakan dan mengungkapkan aktivitas CSR semaksimal mungkin mungkin agar aktivitas perusahaan dapat diterima oleh masyarakat. Pengungkapkan ini digunakan untuk melegitimasi aktivitas perusahaan di mata masyarakat, kerena pengungkapan CSR akan menunjukkan tingkat keputusan suatu perusahaan (Branco dan Rodrigues,2008). Lidblom dalam Guthrie dan Richerri (2006) mengemukakan bahwa perusahaan dapat mengambil beberapa strategi perlawanan jika merasa legitimasinya dipertanyakan. Strategi perlawanan tersebut, yaitu:
- Perusahaan menginformasikan mengenai perubahan yang terjadi di dalam perusahaan kepada para stakeholder.
- Perusahaan mengubah pandangan stakeholder tanpa perlu mengganti perilaku perusahaan.
- Perusahaan memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara membelokkan perhatian stakeholder dari isu yang menjadi perhatian kepada isu lain yang berkaitan dan menarik.
- Perusahaan mengganti dan mempengaruhi harapan pihak eksternal tentang kinerja perusahaan.
Perusahaan harus peduli terhadap lingkungan sekitarnya, karena dengan hal tersebut dapat menjaga eksistensi perusahaan dan kerberlangsungan kegiatan perusahaan dimasa mendatang dapat diterima oleh masyarakat. Sejumlah penelitian terdahulu membuktikan bahwa pengungkapan lingkungan sukarela laporan tahunan dan memandang pelaporan informasi lingkungan dan social sebagai metode yang digunakan organisasi untuk merespon tekanan publik (Guthrie dan Richerri, 2006).
3. Teori Keagenan
Teori keagenan yang dikemukakan Jensen dan Meckling (1976) merupakan teori dasar praktik bisnis perusahaan yang telah dipakai selama ini dan dengan teori ini pula terjadinya manajemen laba dapat dijelaskan. Teori ini muncul akibat adanya hubungan kontrak kerja atas persetujuan bersama (nexus of contract) antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer.
Dalam kontrak kerjasama tersebut diharapkan dapat memaksimalkan utilitas prinsipal dan dapat memuaskan maupun menjamin agensi untuk menerima reward atas hasil aktivitasnya dalam mengelola perusahaan
(Lambert, 2001). Dengan demikian terdapat dua kepentingan yang berbeda di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki (Ifran, 2002 dalam Isnanta, 2008). Perbedaan peran dan kepentingan tersebut disebabkan atau menyebabkan terjadinya kesenjangan atau asimetri informasi di mana manajer mengetahui lebih banyak informasi dan prospek perusahaan di masa mendatang dibandingkan dengan pemilik perusahaan (Ifran, 2002 dalam Isnanta, 2008). Dengan adanya asimetri informasi tersebut, manajer dapat mengambil keuntungan untuk diri mereka sendiri yang dapat merugikan investor salah satunya dengan melakukan manajemen laba.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Richardson (1998) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Dechow et al. (1996) dalam Sun et al., (2010) menyatakan bahwa ketika manajer dicurigai melakukan manajemen laba maka hal ini akan berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang turun di pasar saham. Dalam hal ini apabila manajemen laba secara substansial terdeteksi maka pihak eksternal (investor dan stakeholder) akan melakukan tindakan disipliner terhadap manajer (Fatayatiningrum, 2011).
Perusahaan yang melakukan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial memiliki tujuan untuk membangun citra, meningkatkan reputasi dan nilai perusahaan di masa yang akan datang serta mendapatkan perhatian dari masyarakat. Dalam rangka memberikan informasi pertanggung jawaban
sosial perusahaan memerlukan biaya yang dapat menyebabkan laba yang di laporkan dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah. Ketika perusahaan menghadapi biaya pengawasan dan biaya kontrak yang rendah dan visibilitas politis yang tinggi akan cenderung untuk mengungkapkan informasi pertanggungjawaban sosial. Maka dari itu, pengungkapan informasi pertanggung jawaban sosial mempunyai hubungan positif dengan kinerja sosial, kinerja ekonomi dan visibilitas politis dan berhubungan negatif dengan biaya pengawasan dan biaya kontrak/keagenan, (Belkaoui dan Karpik, 1989 dalam Anggraini, 2006).
4. Return On Equity
.Penelitian ini menggunakan rasio tingkat pengembalian modal usaha sendiri (ekuitas) yang merupakan rasio keuntungan bersih sesudah pajak terhadap modal sendiri, yang mengukur tingkat hasil pengembalian dari modal pemegang saham (modal sendiri) yang diinvestasikan ke dalam perusahaan. Secara sistematis ROE dapat dirumuskan sebagai berikut:
ROE = LABA BERSIH SETELAH PAJAK X100%
TOTAL EKUITAS
Dari pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja keuangan perusahaan merupakan faktor terpenting untuk menilai keseluruhan kinerja perusahaan itu sendiri dan hasil keputusan yang dibuat secara terus-menerus oleh pihak manajemen perusahaan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Mulai dari penilaian aset, utang, likuidasi, dan lain sebagainya (Munawir, 2002:50).
5. Corporate Social Responsibility
5.1. Definisi dari Corporate Social Responsibility (CSR)
Menurut Riswari dan Cahyonowati (2012), konsep CSR sebagai salah satu tonggak penting dalam manajemen korporat. Pengertian dari CSR telah dikemukakan oleh banyak peneliti. Diantaranya adalah definisi yang dikemukakan oleh Boonedan Kurtz (2007) dalam Harmonidan Andriyani (2008), pengertian tanggung jawab sosial (social responsibility) secara umum adalah dukungan manajemen terhadap kewajiban untuk mempertimbangkan laba, kepuasan pelanggandan kesejahteraan masyarakat secara setara dalam mengevaluasi kinerja perusahaan.
CSR merupakan akar dari pengakuan bahwa bisnis merupakan bagian dari masyarakat dan bahwa itu mempunyai potensi untuk membuat kontribusi yang positif untuk mencapai tujuan dari aspirasi sosial (Jones dan Comfort, 2005). Ide dasar dari CSR adalah bahwa bisnis dan masyarakat saling terkait dan bukan entitas yang terpisah.
Beberapa faktor yang memicu timbulnya tekanan terhadap perusahaan untuk melaksanakan CSR menurut Darwin (2006), yaitu :
1) Faktor pertama, disebabkan karena ukuran perusahaan yang semakin besar. Ukuran yang besar menyebabkan perusahaan memerlukan akuntabilitas yang lebih tinggi dalam membuat keputusan.
2) Faktor Kedua, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) semakin tumbuh dan berkembang. Jika perusahaan melakukan aktivitas yang mengganggu atau menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan aspeksocial, maka LSM akan sangat tanggap dengan isu-isu seperti ini dan juga sigap menuntut pertanggung jawaban perusahaan. 3) Faktor ketiga, berhubungan dengan reputasi dan citra perusahaan,
sebab manajemen saat ini menyadari bahwa reputasi dan citra perusahaan merupakan hal yang sangat penting dan harus dilindungi. Dengan melakukan aktivitas bisnis yang bertanggung jawab, maka perusahaan akan menjaga reputasi dan citra tersebut. 4) Faktor keempat, kemajuan teknologi dan informasi. Dengan
semakin canggihnya teknologi, berita buruk mengenai perusahaan akan menyebar dan dapat di akses oleh setiap orang dengan sangat cepat keseluruh dunia, berita buruk itu termasuk isu-isu negatif berkaitan dengan lingkungan dan sosial yang tentunya akan mempengaruhi image perusahaan.
Terdapat banyak pengertian yang beragam mengenai corporate
social responsibility (CSR), baik yang dikemukakan oleh perorangan
maupun organisasi. Darwin (2004) mengungkapkan bahwa CSR adalah mekanisme bagi suatuorganisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya dengan stakeholder, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum (Anggraini, 2006).
Milne (1996), menyatakan bahwa corporate social responsibility merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat keseluruhan.
Selain itu terdapat beberapa definisi yang berpengaruh ersi WBCSD (The World Business Council for Sustainable Development) dalam Adityo (2012).
“The continuing commitment by business to be have ethically and
contribute to economic development while improving the quality of work life of work force and their families as wellas of the local community and sociallarge”.
Sementara Belkaoi (2006) menjelaskan bahwa disiplin akuntansi merespon perkembangan pertanggungjawaban sosial perusahaan dengan melahirkan wacana baru tentang Social Responsibility Accounting (SRA),
Total Impact Accounting (TIA), Social Economic Accounting (SEA).
Penerapan CSR merupakan komitmen dunia usaha untuk bertindak etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi unutk peningkatan pertumbuhan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup
stakeholder secara luas. Hal ini sejalan dengan definisi CSR menurut
World Bank (2004) yang mendefinisikan CSR sebagai suatu komitmen perusahaan untuk berperan dalam kelangsungan pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan karyawan dan keluarga mereka, masyarakat lokal, serta masyarakat luas, untuk meningkatkan kualitas hidup melalui aktivitas
yang tepat bagi perusahaan dan bagi pengembang (Wahyudi dan Azheri, 2008).
Dilihat dari asal katanya, CSR berasal dari literatur etika bisnis di Amerika Serikat, yang dikenal sebagai Corporate Sosial Responsibility atau responsibility of corporation. Kata corporation atau perusahaan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai perusahaan, khusunya perusahaan besar. Sedangkan dalam bahasa Latin, kata “Perusahaan” bersal dari kata “corpus/corpura” yang berarti badan. Dalam sejarah perusahaan dijelaskan bahwa perusahan itu badan hukun yang didirikan untuk melayani kepentingan umum (not for profit), namun dalam perkembangannya justru mengutamakan keuntungan (for profit) (Wahyudi dan Azheri, 2008).
Yang berarti bahwa definisi CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah komitmen bisnis yang berkelanjutan untuk berperilaku etis dan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dengan meningkatkan kualitas kehidupan kerja karyawan dan kerja mereka dan komunitas local dan masyarakat yang luas. Pertanggungjawaban sosial perusahaan diungkapkan di dalam laporan yang disebut sustainibility
reporting. Sustainibility reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan
ekonomi, lingkungan, sosial, kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan Sustainibility reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan, sosial, kinerja oragnisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sustainibility reporting harus menjadi dokumen strategis yang berlevel
tinggi yang menempatkan isu, tantangan dan peluang sustainibility
development yang membawanya menuju kapada corebusiness dan sektor
industrinya.
Selanjutnya, Michelle (2005) menyebutkan bahwa konsep CSR mulai berkembang pada bentuk-bentuk pemberdayaan msyarakat atau lebih dikenal dengan istilah community development. Community
development secara eksplisit dalam CSR diukur berdasarkan kenaikan
taraf kualitas hidup dari masyarakat di sekitar korporasi beroperasi (Fitriany, 2010). Community development dilaksanakan oleh korporasi, dengan mengacu pada nilai keadilan dan kestaraan atas kesempatan, pilihan partisipasi, timbale balik dan kebersamaan. Tetapi pada korporasi yang mempunyai kesadaran sebagai bagian dari masyarakat (Corporate
Social Responsibility) sekaligus sebagai institusi bisnis, maka konsep CSR
mulai didesain menjadi bagian dari strategi bisnis perusahaan (Corporate
Strategy). Konsep ini dapat dikatakan sebagai paradigma baru dalam
manajemen perusahaan yang mencakup berbagai aspek. Sedangkan
Institute of Chartered Accountants, England and Wales mendefinisikan
CSR sebagai jaminan bahwa organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi pemegang saham (shareholder) mereka (Wahyudi dan Azheri, 2008).
CSR atau tanggung jawab sosial ini lebih ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.Dalam pasal 15 huruf b Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan bahwa, “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan”, dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan“Yang dimaksud dengan “tanggung
jawab sosial perusahaan”adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat”. Sedangkan pada pasal 1angka 3
Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya”.
Berdasarkan definisi tersebut, Ramadhani (2012), menyatakan bahwa elemen-elemen CSR dapat dirangkum sebagai aktivitas perusahaan dalam mencapai keseimbangan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial tanpa mengesampingkan ekspektasi para pemegang saham (menghasilkan profit).
Suharto (2007), berkaitan dengan pelaksanaan CSR, perusahaan bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori. Meskipun cenderung menyederhanakan realitas, tipologi ini menggambarkan kemampuan dan komitmen perusahaan dalam menjalankan CSR. Pengkategorian dapat memotivasi perusahaan dalam mengembangkan programCSR, dan dapat pula dijadikan cermin dan guideline untuk menentukan model CSR yang tepat.
Dengan menggunakan dua pendekatan, sedikitnya ada delapan kategori perusahaan. Perusahaan ideal memiliki kategori reformis dan progresif. Tentu saja dalam kenyataannya, kategori ini bisa saja saling bertautan.
a. Berdasarkan proporsi keuntungan perusahaan dan besarnya anggaran CSR:
• Perusahaan Minimalis adalah perusahaan yang memiliki profit dan anggaran CSR yang rendah. Perusahaan kecil dan lemah biasanya termasuk kategori ini.
• Perusahaan Ekonomis adalah perusahaan yang memiliki keuntungan tinggi, namun anggaran CSR-nya rendah. Perusahaan yang termasuk kategori ini adalah perusahaan besar, namun pelit. • Perusahaan Humanis. Meskipun profit perusahaan rendah, proporsi
anggaran CSR-nya relatif tinggi. Perusahaan pada kategori ini disebut perusahaan dermawan atau baik hati.
CSR yang tinggi. Perusahaan seperti ini memandang CSR bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk lebih maju (Gambar 2.1).
Gambar 2.1
Kategori Perusahaan berdasarkan Profit Perusahaan dan Anggaran CSR
Sumber : Suharto (2007)
b. Berdasarkan tujuan CSR: apakah untuk promosi atau pemberdayaan masyarakat:
• Perusahaan Pasif
Perusahaan yang menerapkan CSR tanpa tujuan jelas, bukan untuk promosi, bukan pula untuk pemberdayaan, sekadar melakukan kegiatan karitatif. Perusahaan seperti ini melihat promosi dan CSR sebagai hal yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
• Perusahaan Impresif
pemberdayaan. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan”tebar pesona”daripada ”tebar karya”.
• Perusahaan Agresif
CSR lebih ditujukan untuk pemberdayaan daripada promosi. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan karya nyata daripada tebar pesona.
• Perusahaan Progresif
Perusahaan menerapkan CSR untuk tujuan promosi dan sekaligus pemberdayaan. Promosi dan CSR dipandang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menunjang satu sama lain bagi kemajuan perusahaan (Gambar 2.2).
Gambar 2.2.
Kategori Perusahaaan Berdasarkan Tujuan Csr
Sumber :Suharto 2007
Gambar 2.2.
5.2. Manfaat Corporate Social Responsibility (CSR)
Menurut Indrawan (2011), dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, perusahaan memfokuskan perhatiannya kepada tiga hal, yaitu :
a. Profit
Dengan diperolehnya laba, perusahaan dapat memberikan dividen bagi pemegang saham, mengalokasikan sebagian laba yang diperoleh guna membiayai pertumbuhan dan mengembangkan usaha di masa depan, serta membayar pajak kepada pemerintah. b. Lingkungan
Dengan memberikan perhatian kepada lingkungan sekitar, perusahaan dapat ikut berpartisipasi dalam usaha-usaha pelestarian lingkungan demi terpeliharanya kualitas kehidupan umat manusia dalam jangka panjang. Perusahaan juga ikut mengambil bagian dalam aktivitas manajemen bencana. Manajemen bencana disini bukan hanya sekedar memberikan bantuan kepada korban bencana, namun juga berpartisipasi dalam usaha-usaha mencegah terjadinya bencana serta meminimalkan dampak bencana melalui usaha-usaha pelestarian lingkungan sebagai tindakan preventif untuk meminimalisir bencana.
c. Sosial atau masyarakat.
Perhatian terhadap masyarakat, dapat dilakukan dengan cara melakukan aktivitas-aktivitas serta pembuatan-pembuatan
kebijakan yang dapat meningkatkan kompetensi yang dimiliki di berbagai bidang, seperti pemberian beasiswa bagi pelajar di sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, dan penguatan ekonomi lokal.
Dengan menjalankan tanggung jawab sosial, perusahaan diharapkan tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek, namun juga turut memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat serta lingkungan sekitar dalam jangka panjang.
Menurut Taridi (2009)dalam Waryanto (2010), ada beberapa manfaat dari praktik dan pengungkapan CSR bagi perusahaan, antara lain :
- Pengelolaan sumber daya korporasi secara amanah dan bertanggung jawab, yang akan meningkatkan kinerja korporasi secara sustainable.
- Perbaikan citra korporasi sebagai agen ekonomi yang
bertanggungjawab (good corporate citizen) sehingga
meningkatkan nilai perusahaan (value of the firm).
- Peningkatan keyakinan investor terhadap korporasi sehingga menjadi lebih atraktif sebagai target investasi.
- Memudahkan akses terhadap investasi domestik dan asing. - Melindungi direksi dan dewan komisaris dari tuntutan hukum.
5.3. Prinsip-Prinsip Corporate Social Responsibility (CSR)
Crowther David dalam Hadi (2011), mengurai prinsip- prinsip tanggung jawab sosial (social responsibility) menjadi tiga, yaitu: a. Sustainability, berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam
melakukan aktivitas (action) tetap memperhitungkan
keberlanjutan sumber daya dimasa depan. Sustainability berputar pada keberpihakan dan upaya bagaimana society memanfaatkan sumber daya agar tetap memperhatikan generasi masa datang. b. Accountability, merupakan upaya perusahaan terbuka dan
bertanggungjawab atas aktivitas yang telah dilakukan. Konsep ini menjelaskan pengaruh kuantitatif aktivitas perusahaan terhadap pihak internal dan eksternal. Akuntabilitas dapat dijadikan sebagai media bagi perusahaan membangun image dan network terhadap para pemangku kepentingan.
c. Transparency, merupakan prinsip penting bagi pihak eksternal. Transparansi bersinggungan dengan pelaporan aktivitas perusahaan berikut dampak terhadap pihak eksternal. Transparansi merupakan satu hal yang amat penting bagi pihak eksternal, berperan untuk mengurangi asimetri informasi, kesalahpahaman, khususnya informasi dan pertanggungjawaban berbagai dampak dari lingkungan.
5.4. Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
Hadianto (2013), pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai corporate social
responsibility disclosure, corporate social reporting, social accounting, merupakan cara mengkomunikasikan informasi sosial
kepada stakeholders.
Standar pengungkapan CSR yang berkembang di Indonesia adalah merujuk standar yang dikembangkan oleh Global Reporting
Initiatives (GRI). Standar GRI dipilih karena lebih memfokuskan
pada standar pengungkapan berbagai kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan perusahaan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas, rigor, dan pemanfaatan sustainability reporting.
Hadianto (2013), Global Reporting Initiative (GRI) adalah sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan penerapan diseluruh dunia. Daftar pengungkapan sosial yang berdasarkan standar GRI juga pernah digunakan oleh Waryanto (2010), peneliti ini menggunakan 6 indikator pengungkapan yaitu: ekonomi, lingkungan, tenaga kerja, hak asasi manusia, sosial dan produk.
Indikator-indikator yang terdapat di dalam GRI yang digunakan dalam penelitian yaitu:
- Indikator Kinerja Ekonomi (economic performance indicator) - Indikator Kinerja Lingkungan (environment performance
indicator)
- Indikator Kinerja Tenaga Kerja (labor practices performance
indicator)
- Indikator Kinerja Hak Asasi Manusia (human rights performance
indicator)
- Indikator Kinerja Sosial (social performance indicator)
- Indikator Kinerja Produk (product responsibility performance
indicator) s
6. Manajemen laba
Informasi mengenai laba merupakan unsur utama dalam laporan keuangan dan sangat penting bagi pihak-pihak yang menggunakannya karena mempunyai nilai prediktif sebagaimana terungkap dalam Statement
of Financial Accounting Concept (SFAC). Oleh karena itu, membuat pihak
manajemen berusaha untuk melakukan manajemen laba agar kinerja perusahaan terlihat baik oleh stakeholder.
Scott (2000) dalam Rahmawati (2006) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang dan political costs (oportunistic earnings
management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (efficient earnings management) dimana manajemen
laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Menurut Scott (2006) dalam Rahmawati (2006) manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alami dapat memaksimumkan utilitas mereka atau nilai pasar perusahaan. Manajemen laba jika dilihat secara prinsip memang tidak menyalahi prinsip akuntansi yang berterima umum, namun manajemen laba dinilai dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan, menurunkan nilai laporan keuangan dan memberikan informasi yang tidak relevan bagi investor. Dengan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat berdampak pada menurunnya nilai perusahaan karena banyak investor yang akan menarik kembali investasi yang telah ditanamkan.
Watts and Zimmermann (1986) dalam Widiatmaja (2010) menyatakan bahwa terdapat tiga motivasi melakukan manajemen laba, yaitu:
1. The bonus plan hypothesis, hipotesis program bonus ini didasarkan adanya dorongan manajer perusahaan untuk mendapatkan bonus berdasarkan laba yang dilaporkan oleh manajer. Scott (dalam Widiatmaja, 2010) menyebutkan motivasi bonus tersebut mendorong manajer untuk memilih prosedur akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode yang akan datang ke periode saat ini.
2. The debt covenant hypothesis, hipotesis perjanjian hutang ini disebabkan oleh munculnya perjanjian antara manajer dan pemilik
perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (dept covenant) (Ujiyantho dan Pramuka, 2007).
3. The political cost hypotheses, hipotesis ini timbul karena manajemen memanfaatkan kelemahan akuntansi yang menggunakan estimasi akrual serta pemilihan metode akuntansi dalam rangka menghadapi berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah (Widiatmaja, 2010). Selain tiga motivasi tersebut, Scott (dalam Rahmawati, 2006) menambahkan beberapa motivasi penyebab manajemen laba, yaitu:
1. Bonus purposes, yaitu motivasi untuk memaksimalkan bonus dengan cara dengan memaksimalkan laba perusahaan.
2. Other contractual motivations yaitu motivasi kontraktual yang berupa kontak antara manajer dengan perusahaan dan kontrak antara perusahaan dengan kreditur.
3. Political motivation disebabkan adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat. 4. Taxation motivation yaitu motivasi penghematan pajak yang
cenderung mengurangi laba yang dilaporkan agar pajak penghasilan yang dibayarkan perusahaan semakin kecil.
5. Changes of Chief Executive Officer yaitu pergantian CEO perusahaan yang cenderung membuat kondisi perusahaan terlihat bagus dengan meningkatkan laba agar CEO tidak diperhentikan dari posisinya atau mendapat bonus yang maksimal ketika CEO mengundurkan diri/pensiun.
6. Peristiwa Initial Public Offering (IPO) yang mendorong manajemen untuk mengatur pendapatan dengan meningkatkan laba perusahaan agar saham yang ditawarkan pada publik bernilai tinggi.
7. To communicate information to investor yaitu motivasi untuk
berkomunikasi dengan investor mengenai kinerja perusahaan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan berkinerja baik.
Empat pola pengelolaan laba juga dijabarkan oleh Scott (2009) sebagai berikut:
1. Taking a bath, yaitu pada saat manajemen harus melaporkan kerugian, maka manajemen akan melaporkan dalam jumlah besar. 2. Income minimization, yaitu tindakan menurunkan laba perusahaan
yang dilakukan manajer untuk tujuan tertentu, misalnya untuk tujuan penghematan kewajiban membayar pajak kepada pemerintah karena semakin rendah laba yang dilaporkan perusahaan semakin rendah pula pajak yang harus dibayarkan. 3. Income maximization, yaitu tindakan menaikkan laba perusahaan
oleh manajer untuk tujuan tertentu, misalnya menjelang IPO laba ditingkatkan dengan harapan mendapatkan reaksi positif dari pasar. 4. Income smoothing, kebijakan ini dilakukan karena adanya motivasi manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang
dilaporkan karena umumnya investor menyukai laba yang relatif stabil.
Manajemen laba dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik manipulasi, tidak hanya satu teknik saja untuk mencapai target (Zang, 2006). Perusahaan melakukan manajemen laba melalui cara manipulasi aktivitas riil selain manajemen laba berbasis akrual (Roychowdhury, 2006; Gunny, 2005; Cohen et al., 2008; Cohen dan Zarowin, 2010 dalam Trisnawati et al., 2011).
Manajemen laba riil adalah tindakan-tindakan manajemen yang menyimpang dari praktek bisnis yang normal yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mencapai target laba (Roychowdhury, 2006; Cohen dan Zarowin, 2010 dalam Trisnawati et al., 2011). Manajemen laba riil dapat dilakukan dengan tiga cara seperti dikutip dalam penelitian Trisnawati et al. (2011), yaitu:
1. Manipulasi Penjualan
Manipulasi penjualan merupakan usaha untuk meningkatkan penjualan secara temporer dalam periode tertentu dengan menawarkan diskon harga produk secara berlebihan atau memberikan persyaratan kredit yang lebih lunak. Strategi ini dapat meningkatkan volume penjualan dan laba periode saat ini, dengan mengasumsikan marginnya positif. Namun pemberian diskon harga dan syarat kredit yang lebih lunak akan menurunkan aliran kas periode saat ini.
2. Penurunan beban-beban diskresionari (dicretionary expenditures) Perusahaan dapat menurunkan discretionary expenditures seperti beban penelitian dan pengembangan, iklan, dan penjualan, adminstrasi, dan umum terutama dalam periode di mana pengeluaran tersebut tidak langsung menyebabkan pendapatan dan laba. Strategi ini dapat meningkatkan laba dan arus kas periode saat ini namun dengan resiko menurunkan arus kas periode mendatang.
3. Produksi yang berlebihan (overproduction)
Untuk meningkatkan laba, manajer perusahaan dapat memproduksi lebih banyak daripada yang diperlukan dengan asumsi bahwa tingkat produksi yang lebih tinggi akan menyebabkan biaya tetap per unit produk lebih rendah. Strategi ini dapat menurunkan kos barang terjual (cost of goods sold) dan meningkatkan laba operasi.
7. Penelitian Terdahulu
Penelitian empiris tentang aktivitas CSR dan manajemen laba yang dalam hubungannya berpengaruh terhadap Return On Equity belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian empiris sebelumnya banyak berfokus pada hubungan CSR dengan corporate financial performance (CFP) maupun hubungan CSR dengan manajemen laba.
Chandrayanthi dan Saputra (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Empiris pada perusahaan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Corporate Social Responsibility berpengaruh positif terhadap ROA dan ROE perusahaan pertambangan yang menjadi sampel penelitian di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2011. Hal berarti dengan mengungkapkan CSR kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA dan ROE akan meningkat. Sedangkan terhadap NPM hasil penelitian menunjukkan bahwa
Corporate Social Responsibility berpengaruh negatif terhadap NPM
perusahaan pertambangan yang menjadi sampel penelitian di Bursa Efek Indonesia tahun 2010-2011. Ini berarti dengan mengungkapkan CSR kinerja perusahaan yang diukur dengan NPM akan mengalami penurunan.
Ekadjaja dan Bunadi (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Perusahaan (Terhadap Perusahaan Manufaktur yang telah Go Public dan terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2011)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Corporate Social Responsibility Index (CSRI) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ROA dan ROE perusahaan manufaktur yang menjadi sampel di Bursa Efek Indonesia Periode tahun 2008-2011.
Januarti dan Apriyanti (dalam Indrawan, 2011) melakukan penelitian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kinerja keuangan pada 31 perusahaan dari 15 sub-sektor industri. Dalam penelitian ini, tanggung jawab sosial perusahaan terbagi menjadi biaya kesejahteraan karyawan (dana pendiun) dan biaya untuk komunitas (sumbangan).
Sedangkan kinerja keuangan diukur dengan menggunakan rasio aktivitas dan profitabilitas perusahaan. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa bahwa biaya kesejahteraan karyawan (dana pensiun) dan biaya untuk komunitas (sumbangan) tidak mempunyai pengaruh terhadap Return On
Assets (ROA), biaya kesejahteraan karyawan dan biaya untuk komunitas
berpengaruh signifikan terhadap total Assets Turn Over (ATO), dan secara simultan biaya kesejahteraan karyawan dan biaya untuk komunitas tidak berpengaruh terhadap total Assets Turn Over (ATO).
Yapart, et al. (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh
Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Keuangan pada Sektor
Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2010-2011”. Hasil penelitiannya adalah penelitian ini mencoba untuk menguji pengaruh signifikan antara Corporate Social Responsibility terhadap kinerja keuangan yang diproaksi melalui rasio keuangan ROA, ROE, dan EPS. Berdasarkan hasil penelitian, analisa serta pembahasan yang dilakukan, maka kesimpulan dari hasil penelitian dari hasil uji t menunjukkan bahwa CSR tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap semua rasio keuangan yang digunakan.
Prior et al. (2008) meneliti hubungan antara CSR, CFP dan manajemen laba. Sampel yang digunakan adalah 593 perusahaan dari 26 negara yang diambil dari database Sustainable Investment Research
International Company (SIRI) dari tahun 2002 hingga 2004. Variabel yang
dan CSR sebagai variabel independen. Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol, yaitu investasi R&D, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan institusional, tingkat risiko manajerial, ukuran perusahaan,
leverage, dan sumber daya keuangan. Dari hasil analisis menunjukkan
bahwa kombinasi manajemen laba dan kegiatan CSR adalah kegiatan yang mahal bagi perusahaan dan dibenarkan bahwa praktik manajemen laba memiliki dampak negatif terhadap kinerja keuangan. Dengan kata lain, Prior
et al. (2008) menemukan bahwa hubungan antara CSR dan kinerja
keuangan diperlemah dengan adanya praktik manajemen laba.
Sun et al. (2010) meneliti hubungan antara CED dan manajemen laba dan dampak mekanisme CG terhadap asosiasi tersebut. Menggunakan sampel 245 perusahaan non-keuangan Inggris untuk tahun yang berakhir pada Maret 2007. Mekanisme CG yang digunakan adalah ukuran dewan direksi, jumlah rapat komite audit. Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol, yaitu ukuran perusahaan leverage, profitabilitas dan jenis industri. Sun et al. (2010) menemukan adanya hubungan yang signifikan antara CED dan manajemen laba. Kemudian juga menemukan bahwa jumlah rapat komite audit memiliki hubungan signifikan antara CED dan manajemen laba. Akan tetapi tidak ditemukan pada ukuran dewan direksi.
Dianita dan Rahmawati (2011) meneliti tentang pengaruh adanya manajemen laba terhadap kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan dan mengenai pengaruh hubungan keduanya terhadap kinerja keuangan perusahaan pada masa yang akan datang. Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 27 perusahaan yang terdaftar di Indonesian Stocks
Exchange selama periode tahun 2006-2008. Dalam penelitian ini
menggunakan manajemen laba sebagai variabel independen dan pemoderasi. Sedangkan variabel dependennya adalah CSR dan kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA. Penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan konstitusional dan leverage sebagai variabel kontrol. Hasil penelitian ini adalah praktik manajemen laba tidak mempunyai pengaruh pada kegiatan CSR. Kegiatan CSR yang dihubungkan dengan manajemen laba yang dilakukan manajer sebagai strategi pertahanan diri mempunyai pengaruh negatif dalam kinerja keuangan perusahaan di masa yang akan datang.
Pusparini, Hernita, Dwiesti (2011) meneliti mengenai pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba dengan pengungkapan
Corporate Sosial Responsibility dan Good Corporate Governance sebagai
variabel pemoderasi. Data yang digunakan adalah laporan keuangan dan laporan tahunan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2007-2009. Sampel penelitian ini menggunakan sampel 12 perusahaan. Dalam penelitian ini menggunakan kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA sebagai variabel independen. Sedangkan variabel dependennya adalah Manajemen Laba dan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance sebagai variabel pemoderasi. Penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris, konsentrasi
kepemilikan, kepemilikan konstitusional dan leverage sebagai variabel kontrol. Hasil Penelitian ini adalah Tidak terdapat pengaruh positif signifikan dari variabel ROA terhadap manajemen laba perusahaan manufaktur, Tidak terdapat pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba yang dimoderasi oleh pengungkapan CSR perusahaan manufaktur dan Tidak terdapat pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba yang dimoderasi oleh GCG perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2009.
Ringkasan dari penelitian-penelitian terdahulu tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut :
Ringkasan Penelitian Tabel 2.1
Peneliti Judul Penelitian Variabel Peneleitian Hasil Penelitian
Chandrayanthi dan
Saputra (2013) Pengaruh Pengungkapan
Corporate Social Responsibility Terhadap Kinerja Perusahaan (Studi Empiris pada perusahaan Pertambangan di Bursa Efek Indonesia)
Independen: Corporate Social Responsibility Depanden: ROA, ROE dan NPM.
Hasil penelitian ini menunjukkan
Corporate Social Responsibility
berpengaruh positif terhadap ROA dan ROE perusahaan pertambangan yang menjadi sampel penelitian di Bursa Efek Indonesia 2010-2011
Ekadjaja dan Bunadi
(2012) Pengaruh Corporate Social Responsibility
terhadap Kinerja Perusahaan Manufaktur yang Go Public Independen : Corporate Social Responsibility
Dependen : ROA dan ROE Hasil penelitian menunjukkan bahwa Corporate Social Responsibility Index (CSRI) mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ROA dan ROE perusahaan manufaktur Januarti dan
Apriyanti (2005) Pengaruh Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Kinerja Keuangan Independen: tanggung jawab sosial perusahaan (biaya kesejahteraan karyawan dan biaya untuk komunitas) Dependen: kinerja keuangan (rasio aktivitas dan profitabilitas) Biaya kesejahteraan karyawan dan biaya untuk komunitas tidak mempunyai pengaruh terhadap (ROA) Biaya kesejahteraan karyawan dan biaya untuk komunitas berpengaruh signifikan terhadap total (ATO) Yaparto, et al. (2013) Pengaruh Corporate
Social Responsibility
terhadap Kinerja Keuangan pada sektor Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada periode 2010-2011 Independen : Corporate Social Responsibility Dependen : ROA, ROE dan EPS
Hasil uji t menunjukkan bahwa Corporate Social Responsibility tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap semua rasio keuangan yang digunakan .
Prior et al.(2008) Earnings
management and Corporate Social Responsibility
Independen:
Manajemen laba dan CFP. Dependen: CSR Kontrol: Investasi R&D, kepemilikan institusional , ukuran perusahaan, leverage, financial resources Perusahaan dengan aktivitas CSR yang tinggi sangat mungkin terlibat dalam praktik manajemen laba.
Sun et al.(2010) Corporate Environmental Disclosure, Corporate Governance and Earnings Management Independen: manajemen laba Dependen: CED Moderating: CG (ukuran dewan ireksi, jumlah rapat komite audit) Kontrol: ukuran perusahaan, leverage, profitabilitas, jenis industry Menemukan adanya hubungan signifikan antara CED dan manajemen laba. Jumlah rapat komite audit memiliki hubungan signifikan antara CED dan manajemen laba. Akan tetapi tidak ditemukan pada ukuran dewan direksi.
Dianita dan
Rahmawati (2011) Analysis of the Effect of Corporate Social Responsibility on financial Performance with Earning Management as Moderating Variabel Independen: CSR dan CFP Dependen: manajemen laba Moderating: manajemen laba Kontrol: ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan konstitusional, leverage Praktik manajemen laba tidak mempunyai pengaruh pada
kegiatan CSR. Kegiatan CSR yang dihubungkan dengan manajemen laba yang dilakukan manajer sebagai strrategi pertahanan diri mempunyai pengaruh negatif dalam kinerja keuangan perusahaan di masa yang akan datang.
Pusparini, Hernita,
Dwiesti (2011) Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Manajemen Laba dengan Corporate
Social Responsibility
dan Good Corporate
Governance sebagai Variabel Pemoderasi Independen: Kinerja Keuangan Dependen: Manajemen laba Moderating: CSR dan GCG Tidak terdapat pengaruh positif signifikan dari variabel ROA terhadap manajemen laba perusahaan manufaktur, Tidak terdapat pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba yang di moderasi oleh pengungkapan CSR perusahaan manufaktur dan Tidak terdapat
pengaruh kinerja keuangan terhadap manajemen laba yang di moderasi oleh GCG perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2007-2009.
Sumber: Ringkasan berbagai hasil penelitian
B. Rerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu yang telah diuraikan di atas, maka disusun rerangka pemikiran yang menggambarkan hubungan antara CSR, profitabilitas sebagai variable independen, Return On
Equity sebagai variabel dependen serta manajemen laba sebagai variabel
moderasi yang akan diuji. Rerangka pemikiran disusun untuk mempermudah memahami hipotesis yang dibangun didalam penelitian.
Maka rerangka pemikiran dapat dinyatakan dalam gambar 2.3.
Sumber: RerangkaPemikiran Teoritis, 2014
Gambar 2.3.
Rerangka PemikiranTeoritis
Majemen Laba (X2)
Return On Equity (Y) Corporate Social
Responsibility (X1)
H1(-)
C. Hipotesis
Sub-bab ini menjelaskan hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini.Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat dirumuskan menjadi dua hipotesis.
1. Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap Return On Equity
Dengan adanya kebijakan mengenai kegiatan CSR, manajer berkeinginan untuk perusahaan mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sesuai dengan teori legitimasi yang menegaskan bahwa perusahaan terus berupaya untuk memastikan bahwa mereka beroperasi dalam bingkai dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan dimana perusahaan berada, dimana mereka berusaha untuk memastikan bahwa aktifitas mereka diterima oleh pihak luar sebagai suatu yang “sah”.
Selain legitimasi, aktivitas CSR sangat membantu dalam membangun sebuah citra positif diantara para stakeholder (Orlitzky, Schmidt dan Rynes, 2003). Citra positif ini dapat meningkatkan reputasi perusahaan di pasar modal karena dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menegosiasikan kontrak yang menarik dengan suppliers dan pemerintah, menetapkan premium prices terhadap barang dan jasa, dan mengurangi biaya modal (Fombrun et al., 2000) sehingga perusahaan mendapatkan peraturan pemerintah yang lebih menguntungkan serta pengawasan yang tidak terlalu ketat dari investor dan karyawan. Citra perusahaan juga akan terlihat baik di mata konsumen. Konsumen akan
mempunyai pandangan yang bagus karena perusahaan telah memperlihatkan kepentingan umum sehingga konsumen tidak keberatan untuk menggunakan produknya. Semakin banyak konsumen menggunakan produk perusahaan, maka akan meningkatkan penjualan perusahaan.
Sesuai dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa semua terlibat dalam pengungkapan kinerja perusahaan, semakin baik perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan maka investor akan mengetahui informasi tentang kepedulian perusahaan terkait dengan lingkungan (Ajilaksana, 2011). Kondisi perusahaan yang terkait lingkungan akan menjadi lebih baik di masa datang dan perusahaan bersedia menambah investasinya sehingga membuat nilai pasar perusahaan menjadi lebih baik (Ajilaksana, 2011). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H1: Aktivitas CSR tidak berpengaruh signifikan terhadap Return On
Equity.
2. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap kinerja
keuangan Return On Equity perusahaan dengan Manajemen laba sebagai variabel moderasi
Aspek kedua yang dituju dalam penelitian ini adalah dampak CSR terhadap kinerja keuangan perusahaan, yang dipicu oleh praktik manajemen laba. Teori instrumental stakeholder (Donaldson dan Preston,
1995) berpendapat bahwa manajemen yang baik berdampak hubungan positif dengan stakeholder kunci (shareholders), yang selanjutnya dapat meningkatkan kinerja keuangan. Asumsi dasar yang mendasari teori ini adalah bahwa CSR dapat digunakan sebagai alat organisasi untuk menggunakan sumber daya yang lebih efektif (Orlitzky et al., 2003), yang kemudian mempunyai dampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu, manajemen strategi atas hubungan dengan
stakeholder merupakan intangible asset yang dapat dipandang sebagai
suatu alat yang dapat memperbaiki kinerja keuangan dengan menggunakan sumber daya berdasarkan teori perusahaan (Hillman dan Keim, 2001). Berman, Wicks, Kotha dan Jones (1999) juga menemukan bukti yang mendukung posisi bahwa hubungan stakeholder yang baik mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja keuangan. Pernyataan tersebut disebut sebagai Good Management hypothesis (Waddock dan Graves, 1997).
Dampak positif CSR terhadap Return On Equity bagaimanapun, menjadi pertanyaan dengan berbagai macam argumen. Pertama, argumen yang menyatakan bahwa manajer yang menginginkan kedudukan yang lebih tinggi, cenderung untuk mengejar kebijakan jangka pendek semata-mata berfokus pada hasil keuangan pada beban isu sosial jangka panjang (Preston dan O’Bannon, 1997). Kedua, hubungan manajemen di antara sekumpulan stakeholder yang luas dengan tujuan perselisihan dapat menimbulkan kekerasan yang terlalu tinggi dan sumber konsumsi organisasi yang dapat membahayakan kinerja keuangan perusahaan
(Aupperle, Carroll dan Hatfield, 1985). Akhirnya, manajer dapat berkelakuan secara opportunis, terhadap kerugian hasil keuangan, dengan mengikuti praktik pertahanan (Jones, 1995) dengan tujuan agar kepentingan stakeholder terpuaskan, seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Ketika perusahaan memperbaiki CSR mereka sebagai suatu konsekuensi manajemen laba. Dampak positif CSR terhadap Return On
Equity seharusnya berkurang secara signifikan. Pernyataan ini didasarkan
pada fakta bahwa manajer yang berlindung pada penyesuaian akuntansi cenderung over-invest dalam aktivitas yang mempertinggi CSR perusahaan sebagai salah satu strategi pertahanan diri. Munculnya ijin sosial dari strategi ini merupakan hal yang tidak produktif dan boros, diharapkan mempunyai dampak marginal negatif terhadap kinerja keuangan. Contohnya, manajer dapat over-invest dalam proyek kompleks yang sedang berjalan dengan mempekerjakan stakeholder yang berbeda untuk memuaskan kepentingan mereka dan dalam waktu yang sama, mengelola laba dalam rangka untuk memberi ijin lebih besar terhadap
stakeholder. Rowley (1997) menekankan bahwa tingkat CSR yang tinggi
meliputi hubungan yang luas dengan sekelompok stakeholder dengan konflik yang bertujuan untuk menunda proses pengambilan keputusan dalam organisasi.
Hipotesis selanjutnya adalah bahwa manajer yang melakukan manajemen laba berusaha untuk melibatkan stakeholder sebagai suatu cara untuk memvalidasi tindakannya supaya menjadi tidak mendapatkan
tekanan stakeholder lainnya. Inilah yang disebut sebagai entrenchment
strategy. Tindakan tersebut dapat mengurangi fleksibilitas organisasi dan
berpengaruh terhadap hasil keuangan yang merugikan. Dengan demikian tingkat manajemen laba memperlemah hubungan antara CSR dan profitabilitas, maka hipotesis alternatif kedua adalah :
H2: Semakin tinggi tingkat manajemen laba, maka berpengaruh negatif terhadap hubungan antara CSR dan Return On Equity.