• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANESTESI LOKAL BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANESTESI LOKAL BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

ANESTESI LOKAL

BAB I

PENDAHULUAN

1. Rasa Sakit dan Metode Pencegahannya

Rasa sakit adalah suatu sensasi tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh adanya jejas yang merusak, dimana sensasi ini diteruskan oleh persarafan khusus menuju ke sistim saraf pusat untuk diinterpretasikan sebagai rasa sakit.

Rasa sakit dalam beberapa hal dapat dipandang sebagai suatu elemen yang amat dibutuhkan, karena dapat berfungsi sebagai peringatan akan adanya bahaya. Rasa sakit ini timbul apabila terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan jejas pada jaringan sehingga karenanya dapat disebut sebagai suatu mekanisme perlindungan tubuh.

Di dalam praktek kedokteran gigi rasa sakit ini tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang menguntungkan, melainkan justru merupakan suatu masalah yang harus ditangani.

Di bidang kedokteran penanganan rasa sakit dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :

1. Menghilangkan faktor penyebab

2. Menghambat penghantaran impuls rasa sakit (teknik anestesi lokal) 3. Meningkatkan ambang rasa sakit (obat-obatan analgesia)

4. Mencegah reaksi sakit dengan depresi korteks (anestesi umum) 5. Metode psikosomatik

Metode pencegahan rasa sakit yang paling sering digunakan di bidang kedokteran gigi adalah dengan penghambatan konduksi impuls rasa sakit. Metode semacam ini disebut dengan anestesi lokal. Anestesi lokal dilakukan dengan menggunakan cairan yang bersifat analgesia yang disuntikkan di sekitar serat saraf yang dituju. Setelah diobservasi oleh sel saraf cairan ini dapat menghambat terjadinya depolarisasi pada serat saraf tersebut sehingga meniadakan kondisi impuls ke susunan saraf pusat.

(2)

2. Definisi dan Pengertian Anestesia Lokal

Istilah Analgesia mempunyai arti hilangnya sensasi rasa sakit tanpa disertai hilangnya kesadaran. Analgesia regional (analgesia lokal) berarti hilangnya sensasi rasa sakit pada suatu bagian tertentu dari tubuh tanpa disertai hilangnya kesadaran. Anestesia regional (anestesia lokal) adalah hilangnya semua sensasi yakni sensasi rasa sakit, tekan, suhu, termasuk fungsi motorik pada suatu daerah setempat dari tubuh.

Istilah analgesia lokal dan anestesia lokal seringkali digunakan secara bergantian dengan pengertian yang dianggap sama. Pada kenyataannya meskipun rasa sakit dikatakan merupakan sensasi yang paling menonjol pada gigi penderita, namun yang sebenarnya terjadi adalah hilangnya semua sensasi sensoris, termasuk sensasi rasa tekan dan suhu. Oleh karena itu lebih tepat kiranya apabila dalam hal ini kita menggunakan istilah anestesia lokal dari pada analgesia lokal.

3. Keuntungan dan Kerugian Anestesia Lokal

Didalam prosedur pembedahan, tindakan anestesia merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Kita mengenal adanya dua macam bentuk anestesia yaitu anestesia lokal dan anestesia umum. Di dalam menentukan jenis anestesia yang akan dilakukan, anestesi lokal seyogyanya selalu menjadi pilihan pertama, mengingat beberapa keuntungan dari teknik ini yaitu :

1. Penderita masih memiliki kesadaran

2. Gangguan fisiologis yang kecil, karena itu cocok untuk penderita dengan resiko tinggi

3. Angka morbiditas rendah

4. Penderita dapat pulang sendiri tanpa harus diantar 5. Tidak diperlukan tenaga tambahan yang terlatih 6. Tidak terlalu sukar untuk menguasainya

7. Biaya yang relatif kecil

(3)

Disamping keuntungan-keuntungan tersebut di atas teknik anestesi lokal juga mempunyai beberapa kerugian karena tidak dapat dilakukan pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Penderita mempunyai perasaan takut yang berlebihan 2. Terjadi infeksi pada tempat insersi jarum

3. Penderita alergi terhadap bermacam-macam obat anestesi lokal 4. Penderita tidak kooperatif (penderita anak-anak, retardasi mental) 5. Tindakan bedah yang besar

6. Terdapat anomali anatomis penderita, sehingga sukar atau tidak dapat dilakukan anestesi lokal

(4)

BAB II

FARMAKOLOGI ANESTESIA LOKAL

LARUTAN ANESTESI LOKAL

Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal

Untuk mengetahui mekanisme kerja obat anestesi lokal diperlukan suatu pemahaman tentang proses timbulnya rasa sakit dalam hubungannya dengan sifat-sifat fisiologis serabut saraf perifer.

Dalam keadaan istirahat pada permukaan sel saraf terdapat perbedaan potensial yang disebabkan karena adanya keseimbangan antara ion natrium (sodium) di luar sel dan mekanisme yang disebut dengan sodium pump. Pompa sodium ini memompa ion-ion sodium dari dalam sel menuju ke cairan ekstraselular yang menyebabkan terjadinya akumulasi ion sodium di luar sel. Keadaan stabil semacam ini menimbulkan suatu resting memrane potensial yang besarnya sekitar -70 mv.

Pada saat sel saraf menerima suatu rangsangan maka terjadi perubahan permiabilitas membran sel saraf terhadap ion sodium sehingga terjadilah peningkatan difusi ion-ion sodium kedalam sel yang diikuti dengan difusi ion potasium ke luar sel. Keaaan ini disebut juga dengan depolarisasi. Apabila rangsang yang ada mencapai/melebihi nilai ambang saraf maka deporalisasi yang terjadi menjadi self-generating sehingga depolarisasi tersebut diteruskan dari satu node ke node berikutnya disepanjang serat saraf yang bersangkutan. Dengan demikian terjadilah penghantaran impuls sampai ke susunan saraf pusat.

Cairan anestesi lokal dapat memblokir sensasi rasa sakit dengan jalan menghambat penghantaran impuls pada serat saraf perifer. Hal ini dapat berlangsung karena cairan anestesi lokal menyebabkan penurunan permiabilitas sel saraf terhadap ion sodium. Pada saat serat saraf menerima suatu rangsangan maka tidak terjadi influks ion sodium ke dalam sel saraf sehingga dengan demikian baik depolarisasi maupun konduksi (penghantaran) impuls ke susunan saraf pusat tidak terjadi.

(5)

Macam-macam Obat Anestesi Lokal

Obat anestesi lokal digolongkan berdasarkan struktur kimiawinya. Penggolongan ini penting dipandang dari sudut biotransformasi obat dan reaksi alergi yang mungkin terjadi. Seseorang yang alergi terhadap suatu obat biasanya juga akan alergi terhadap obat-obat lain yang mempunyai struktur kimiawi yang sama atau serupa.

Obat anestesi lokal yang ada dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yakni yang berasal dari golongan Ester dan golongan Anilida/Amida. Adapun penggolongan obat-obat anestesi lokal adalah sebagai berikut :

A. Golongan Ester

1. Benzoic acid esters

Peperocaine (Metycaine), Meprylcaine (Oracaine), Isobucaine (Kincaine) 2. Para-aminobenzoic acid esters

Procaine (Novocaine), Tetracaine (Pentocaine), Butethamine (Monocaine), Prooxycaine (Ravocaine), 2-Chloroprocaine (Nesacaine), Procaine an Butethamine (Duocaine), Benzocaine (Hurricaine)

3. Meta-aminobenzoic acid esters

Metabutethamine (Unacaine), Primacaine (Primacaine).

B. Golongan Amida

Lidocaine (Xylocaine), Mepivacaine (Carbocaine), Bupivacaine (Marcaine), Pyrrocaine (Dynacaine), Prilocaine (Citanest).

Pada saat ini obat anestesi lokal golongan ester sudah sangat jarang dipakai semenjak ditemukannya obat-obatan sejenis dari golongan amida, yang dipandang memiliki beberapa kelebihan dibanding golongan ester, antara lain : lebih poten, tidak menimbulkan masalah toksisitas yang besar, dan tidak menyebabkan reaksi alergi. Pada saat ini obat anestesi golongan ester yang masih diproduksi adalah kombinasi procaine dan propoxycaine.

Obat-obat anestesi lokal golongan amida yang sering dipakai saat ini adalah : lidocaine, mepivacaine, prilocaine, dan bupivacaine. Lidocaine dengan konsentrasi 2% merupakan obat anestesi lokal yang paling banyak dipakai di

(6)

bidang kedokteran gigi. Mengingat efek vasolidasi dari obat ini maka untuk meningkatkan efektivitasnya biasanya lidocaine digabungkan dengan vasokonstriktor (adrenalin 1 : 100.000). Mepivacaine, mempunyai efek vasolidasi yang lebih kecil dibandingkan dengan lidocaine, sehingga dapat digunakan tanpa vasokonstriktor. Oleh karena itu obat ini cocok untuk penderita yang kontraindikasi terhadap adrenalin. Dosis umum yang dipakai adalah larutan mepivaine 2% dengan vasokonstriktor levonordefrin 1 : 20.000. Untuk prosedur yang singkat dapat dipakai mepivacaine tanpa vasokonstriktor dengan dosis larutan 3%. Prilocaine merupakan jenis obat anestesi lokal yang terbaru. Obat ini mempunyai potensi yang hampir sama dengan lidocaine, namun toksisitasnya lebih rendah dan mempunyai lama kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan lidocaine. Prilocaine 4% bisa digunakan dengan vasokontriktor yang lebih ringan daripada adrenalin (biasanya dicampur dengan felypressin 0,03 IU/ml), dengan adrenalin konsentrasi rendah (1:200.000) atau tanpa vasokonstriktor sama sekali, sehingga obat anestesi ini cocok untuk penderita yang kontraindikasi terhadap adrenalin.

Disamping digunakan sebagai cairan injeksi, beberapa jenis obat anestesi lokal dapat dipakai sebagai bahan anestesi topikal pada permukaan mukosa atau kulit. Bahan anestesi topikal biasanya tersedia dalam bentuk gel, cairan, atau

spray. Yang paling sering dipakai adalah Benzocaine (golongan Ester PABA).

Lidocaine juga banyak dipakai untuk anestesi topikal baik dalam bentuk spray (10%) atau ointment (5%).

Sifat-sifat Ideal Obat Anestesi Lokal

Suatu obat anestesi lokal secara ideal harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut : 1. Bekerja secara reversibel

2. Tidak mengiritasi jaringan

3. Memiliki derajat toksisitas rendah

4. Mula kerja cepat dan lama kerja yang cukup lama

5. Dapat memberikan efek anestesi yang baik tanpa menggunakan konsentrasi larutan yang berlebihan

(7)

6. Memiliki daya penetrasi yang cukup baik untuk dapat digunakan sebagai obat anestesi topikal.

7. Tidak menimbulkan reaksi alergi

8. Stabil dalam larutan dan mengalami biotransformasi dengan cepat di dalam tubuh

9. Dapat disterilkan dengan panas tanpa menyebabkan penurunan daya kerjanya. Pada kenyataannya tidak aa obat anestesi yang memiliki semua sifat-sifat ideal tersebut di atas, khususnya dalam hal lama kerja obat. Demikian pula halnya dengan toksisitas sistemik, karena toksisitas suatu obat anestesi berbanding lurus dengan potensinya. Semakin poten suatu obat akan semakin tinggi pula toksisitasnya.

Dosis Toksis Obat Anestesi Lokal

Pemakaian obat anestesi lokal tidak boleh melebihi dosis yang dapat ditolerir oleh tubuh. Toksisitas obat dapat terjadi pada pemakaian larutan anestesi lokal yang melebihi dosis maksimal. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi toksisitas obat anestesi lokal yaitu :

1. Jenis obat anestesi lokal; baik sifat toksik inheren obat anestesi lokal maupun efek vasodilatasinya.

2. Konsentrasi obat anestesi lokal. Semakin tinggi konsentrasinya semakin banyak jumlah obat yang masuk ke dalam sirkulasi darah.

3. Injeksi intravaskuler.

4. Kecepatan injeksi. Semakin cepat pemberian semakin mudah cairan anestesi masuk ke dalam sirkulasi darah.

5. Vaskularisasi jaringan. Injeksi pada jaringan dengan vaskularisasi yang tinggi, dan pada daerah keradangan dan infeksi, akan meningkatkan toksistas sistemik.

6. Berat badan penderita; semakin gemuk seseorang semakin tinggi ambang toksistasnya

(8)

7. Kecepatan metabolisme dan ekskresi obat. Obat anestesi golongan amida terakumulasi pada penderita penyakit liver; baik obat golongan amida maupun ester terakumulasi pada penyakit ginjal.

Mengingat sangat bervariasinya keadaan tiap-tiap individu maka sangat sukar untuk menentukan dengan pasti besarnya dosis toksik obat anestesi lokal. Namun demikian perlu adanya suatu pedoman yang dapat dipakai, yakni dosis toksik obat akan tergantung sekali pada apakah digunakan dengan vasokontriktor atau tidak.

1. Tanpa vasokontriktor : dosis toksis lodicaine adalah 3 – 4 mg/kg, yang kira-kira sebesar 200 mg atau 10 ml larutan lidocaine 2%.

2. Dengan vasokonstriktor : dosis toksik lidocaine adalah 7 mg/kg, yang kira-kira sama dengan 400 mg – 500 mg atau 20 ml – 25 ml larutan lidocaine 2%.

Anestesi Lokal dan Keradangan

Anestesi lokal menjadi kurang efektif di daerah yang beradang. Fenomena klinis ini disebabkan karena pada daerah yang mengalami keradangan :

1. Terjadi penuruhan pH cairan jaringan, hal mana menyebabkan hambatan pembebasan basa alkaloid obat anestesi lokal yang merupakan bagian aktif untuk proses penghambatan impuls rasa sakit.

2. Terjadi peningkatan vaskularisasi jaringan, sehingga cairan anestesi lokal akan cepat diserap ke dalam pembuluh darah.

3. Nilai ambang stimulus ujung-ujung saraf sensoris menjadi lebih rendah, sehingga akan lebih mudah menghantarkan rangsangan rasa sakit.

4. Mediator rasa sakit tertentu (mis : prostaglandin) akan menghambat kerja obat anestesi lokal.

5. Keradangan juga melibat sampai ke selaput myelin serat saraf, sehingga absorpsi larutan anestesi lokal ke dalam sel saraf menjadi terganggu.

(9)

VASOKONSTRIKTOR

Vasokonstriktor merupakan bagian integral dan sangat penting peranannya di dalam sautu larutan anestesi lokal. Penambahan bahan vasokonstriktor di dalam larutan anestesi lokal akan dapat mengurangi aliran darah di daerah injeksi, sehingga dapat menghambat kecepatan absorpsi obat anestesi lokal ke dalam pembuluh darah. Dengan demikian maka pemakaian vasokonstriktor memberikan beberapa keuntungan yaitu :

1. Meningkatkan lama kerja larutan anestesi lokal

2. Menurunkan konsentrasi puncak larutan anestesi di dalam darah sehingga toksisitas obat berkurang.

3. Memperkecil volume pemakaian larutan anestesi lokal 4. Meningkatkan kedalaman efek anestesi lokal

5. Meningkatkan efektivitas larutan anestesi lokal

Bahan vasokonstriktor pada umumnya dibuat dari obat golongan

simpatomimetik (adrenalin, non-adrenalin, levonordephrine, phenilephrine). Bila

diberikan pada organ efektor bahan ini akan memberikan efek yang sama dengan keadaan bilamana serat saraf simpatik adrenergik posganglionik mendapat rangsangan, sehingga bahan-bahan ini dapat menyebabkan konstriksi pembuluh darah perifer. Adrenalin umumnya digunakan pada konsentrasi antara 1 : 100.000 sampai 1 : 200.000. Sejauh tidak ada kontraindikasi adrenalin dapat dipakai pada konsentrasi 1 : 50.000 yakni bila diperlukan efek hemostatis lokal. Pada penderita penyakit jantung pemakaian adrenalin dibatasi seminimal mungkin (1:200.000) atau tidak digunakan sama sekali.

Bahan vasokonstriktor yang bukan termasuk golongan simpatomimetik yaitu felypressin. (analog dengan hormon antidiuretik vasopressin). Bahan ini mempunyai efek aman untuk digunakan pada penderita yang kontraindikasi terhadap adrenalin. Biasanya digabungkan dengan larutan anestesi prilocaine. Hati-hati pada penderita hamil, karena dapat menyebabkan supresi sirkulasi plasenta.

(10)

BAB III

ARMAMENTARIUM

Pada dasarnya peralatan yang dibutuhkan pada anestesi lokal meliputi :

hypoermic syringe, jarum injeksi (needle), dan cartridge yang berisi cairan

anestesi lokal.

Hypodermic Syringe

Hypodermic syringe, sesuai namanya, adalah suatu alat yang digunakan

untuk memasukkan suatu cairan di bawah permukaan jaringan. Pada prinsipnya suatu syringe terdiri atas beberapa bagian yakni : selongsong (barrel) yang dilengkapi dengan jarum injeksi (needle), penghisap (plunger), dan pegangan

(handle).

xxx

Gambar 1. Gambar skematis suatu hypodermic syringe yang terdiri dari bagian-bagian : barrel, needle, plunger, dan handle.

Ada beberapa syringe yang kita kenal, yaitu :

1. Syringe B.D. Luer-Lok yang terbuat dari bahan kaca tebal

2. Syringe yang terbuat dari logam, dibedakan atas aspirating dan

non-aspirating syringe

3. Disposable syringe, hanya untuk satu kali pakai.

Syringe B.D. Luer-Lok sudah jarang dipakai. Syringe jenis ini sering digunakan pada injeksi jaringan yang dalam dan dapat dipakai untuk aspirasi. Syringe Luer-Lok dan tipe yang disposale diisi dengan cairan anestesi yang diambil dari ampoule (suatu vial berleher panjang yang berisi larutan anestesi), sedangkan syringe logam menggunakan sarana cartridge.

(11)

Syringe dari logam dahulu hanya dipakai untuk teknik infiltrasi lokal, karena syringe jenis ini tidak dapat digunakan untuk aspirasi. Untuk meningkatkan kemampuannya agar dapat digunakan pada teknik blok para produsen menambahkan sejenis kait pada ujung batang plunger yang erhubungan dengan stopper cartrige, sehingga syringe ini dapat digunakan aspirasi. Dengan adanya tipe yang mempunyai kemampuan aspirasi ini maka jenis yang non-aspirating tidak dianjurkan untuk dipakai lagi.

Disposable syringe tersedia dalam kemasan steril yang berisi syringe

beserta jarum suntiknya. Syringe jenis ini banyak dipakai saat ini karena cukup praktis dan sangat ideal untuk mencegah terjadinya infeksi silang karena hanya digunakan pada satu penderita saja.

Jet injector adalah suatu jenis syringe yang tidak menggunakan jarum

sama sekali. Dengan membebaskan pegas yang telah diaktivasi sebelumnya sejumlah 0,05-0,2 ml larutan anestesi akan ditekan ke luar melalui suatu celah kecil masuk ke dalam jaringan. Penggunaannya terbatas hanya pada gigi-gigi anterior dan mukosa mulut. Cocok untuk pasien yang menolak pemakaian jarum injeksi.

xxx

Gambar 2. Beberapa macam bentuk metal syringe (diambil dari Jastak J.T. &

Yagiela, J.A., 1981) xxxxx

Gambar 3. Jet injector, suatu syringe tanpa jarum (diambil dari Jastak J.T. &

(12)

Jarum Injeksi (Needle)

Untuk mencapai hasil anestesi yang memuaskan diperlukan jarum suntik yang baik. Suatu jarum suntik yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Kuat tapi cukup lentur

2. Mempunyai ujung yang tajam dan berbentuk bevel 3. Sterilitas terjamin

4. Hanya untuk satu penderita saja.

Pada saat ini pemakaian jarum disposale (satu kali pakai) sudah merupakan suatu standar umum. Pemakaian jarum lebih dari satu penderita (reusable) sebaiknya dihindarikan oleh karena :

1. Sterilitas tidak terjamin, sehingga dapat menyebabkan infeksi silang antar penderita

2. Ujung jarum menjadi tidak tajam, sehingga menimbulkan rasa sakit yang cukup besar pada penderita.

3. Jarum mudah patah

Jarum suntik tersedia dalam berbagai ukuran, baik panjang maupun diameternya. Panjang jarum disposable biasanya dibuat dalam dua ukuran yakni : ukuran panjang dan pendek. Jarum ukuran panjang biasanya berukuran 1 1/8 sampai 1 5/8 inch (28,9 sampai 41,5 mm), sementara jarum pendek berukuran antara ¾ sampai 1 inch (9,4 sampai 25,5 mm). Diameter jarum dinyatakan dalam

gauge, dimana semakin besar angka gaugenya berarti semakin kecil diameter

jarum maupun lumennya. Di bidang kedokteran gigi yang umum dipakai adalah jarum dengan ukuran 23 dan 25 gauge. Jarum 23 gauge paling ideal untuk anestesi blok pada jaringan yang letaknya cukup dalam.

gauge diameter luar (mm) diameter dalam (mm) 23 25 27 30 0,60 0,50 0,40 0,30 0,30 0,25 0,20 0,15

(13)

Tabel 1. Ukuran standar untuk jarum injeksi (needle) yang dinyatakan dalam

gauge (diambil dari Jastak, J.T., & Yagiela, J.A., 1981).

Penggunaan jarum dengan diameter kecil dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit yang timbul pada saat insersi jarum. Namun pemakaian jarum dengan diameter yang terlalu kecil sebenarnya kurang menguntungkan, karena beberapa alasan sebagai berikut :

1. Jarum mudah mengalami deviasi sehingga tempat injeksi bisa melenceng dari sasaran yang dituju.

2. Jarum lebih mudah menembus pembuluh darah kecil

3. Aspirasi relatif lebih sukar dilakukan karena lumen jarum yang kecil 4. Jarum mudah patah pada pemakaian yang tidak hati-hati

Cartridge

Cartridge adalah suatu tabung kaca steril yang berisi larutan anestesi lokal. Tabung ini digunakan dengan syringe metal. Pada saat syringe dipasang, diafragma pada salah satu ujung cartridge ditembus oleh salah satu ujung jarum suntik. Sementara stopper karet yang terletak pada ujung yang lain dari cartridge ditekan dengan handel melalui batang pengisap (plunger) untuk mengeluarkan cairan anestesi lokal dari dalam cartridge.

Cartridge anestesi lokal biasanya tersedia dalam erbagai uuran yakni : 1,8 ml, 2,0 ml, dan 2,2 ml. Keterangan tentang isi larutan anestesi lokal yang ada di dalam cartrige ditunjukkan dengan label yang tertulis pada tabung kaca cartridge. Perlu diingat bahwa label ini harus diperiksa dengan teliti terlebih dahulu sebelum pemakaiannya untuk memastikan bahwa anda telah memilih obat anestesi yang benar.

xxx

(14)

Pada setiap label ampul atau cartridge biasanya tertulis keterangan sebagai berikut :

1. Merek dagang 2. Volume larutan

3. Nama generik obat anestesi lokal 4. Konsentrasi larutan anestesi lokal 5. Jenis dan konsentrasi vasokonstriktor.

Contoh :

PEHACAIN® 2 ML

Lidocaine HCl 2%

cum adrenalin 1:80.000

Konsentarasi larutan anestesi 2% artinya : 2 gram/100 ml larutan atau 20 mg/ml larutan.

Jati tiap ml larutan mengandung 20 mg lidocaine HCl.

Bila volume larutan 2 ml berarti dalam setiap ampul/cartrige terdapat 40 mg lidocaine HCl.

Konsentrasi vaskonstriktor (adrenalin) 1:80.000 artinya : terdapat satu gram adrenalin dalam 80.000 ml larutan anestesi. Jadi dalam 1 ml larutan terkandung 1/80.000 gram = 0,0125 mg adrenalin. Jika dipakai ampul/cartridge yang berisi 2 ml larutan maka terdapat 0,025 mg adrenalin.

(15)

BAB IV

TEKNIK-TEKNIK ANESTESI LOKAL

Prosedur Umum Anestesi Lokal Persiapan Penderita

Pada umumnya penderita akan merasa takut atau ngeri untuk diinjeksi, apalagi pada injeksi intra oral. Namun ada beberapa cara untuk mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan yang tidak diinginkan akibat dari rasa takut yang berlebihan itu. Beberapa cara di bawah ini dapat dilakukan.

1. Dudukkan penderita pada posisi semisupine. Dalam posisi demikian penderita akan merasa lebih nyaman, anestesi akan lebih mudah dilakukan, dan kemungkinan terjadinya syncope dapat dikurangi.

2. Bersikap tenang dan tidak ragu-ragu pada waktu injeksi. Penderita akan merasa tenang bila operator bersikap hati-hati.

3. Jangan memperlihatkan alat injeksi di dalam lapangan pandang penderita. 4. Pada keadaan tertentu dapat diberikan obat sedatif, mis : inhalasi nitrous

oxide dan oksigen, diazepam.

Persiapan Jaringan

Persiapan jaringan yang akan diinjeksi meliputi :

1. Pemberian anestesi topikal untuk mengurangi rasa sakit pada saat penetrasi jarum.

2. Mengoleskan cairan antiseptik pada daerah tempat insersi jarum

3. Membersihkan permukaan jaringan dari saliva, sisa makanan, atau sisa cairan anestesi topikal.

Teknik Injeksi

Beberapa hal perlu mendapat perhatian pada waktu melakukan injeksi. 1. Sebelum deponasi larutan anestesi, perlu dilakukan aspirasi darah dengan

(16)

dengan diameter kecil diperlukan waktu aspirasi lebih lama untuk dapat melihat adanya darah yang masuk ke dalam cartridge. Hal ini untuk menghindari masuknya larutan anestesi lokal ke dalam pembuluh darah. Pada injeksi intravaskular dapat terjadi reaksi toksik yang dapat membahayakan jiwa penderita.

2. Lakukan injeksi larutan anestesi lokal secara perlahan-lahan (kecepatan idealnya 2 ml/menit). Dengan cara demikian konsentrasi obat yang tinggi dalam pembuluh darah akibat injeksi intravaskular dapat dihindarkan.

3. Setelah injeksi selesai tariklah jarum dari tempat injeksi dengan perlahan-lahan. Efek anestesi mulai terasa mulai beberapa detik sampai 10 menit setelah injeksi. Pada umumnya efek anestesi sudah tercapai dalam waktu 5 menit.

Klasifikasi Teknik Anestesi Lokal

Teknik-teknik anestesi lokal di bidang kedokteran gigi dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan atas luas area yang teranestesi, dan tepat insersi jarum.

Berdasarkan area yang teranestesi, anestesi lokal dapat dibedakan menjadi :

Nerve Block

Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar batang saraf utama, sehingga mampu menganestesi daerah yang luas yang mendapat inervasi dari percabangan saraf utama tersebut. Teknik ini sering digunakan di rongga mulut khususnya di rahang bawah. Kerugian dari teknik ini adalah bahwa biasanya pembuluh darah letaknya berdekatan dengan batang saraf, maka kemungkinan terjadi penetrasi pembuluh darah cukup besar. Contoh : inferior alveolar nerve block.

Field Block

Larutan anestesi lokal disuntikkan pada atau disekitar cabang saraf terminal dengan tujuan untuk memblokir semua persarafan sebelah distal dari

(17)

tempat injeksi cairan anestesi. Efek anestesi meliputi darah yang terbatas (tidak seluas pada teknik nerve block) contoh : injeksi di sekitar apeks akar gigi rahang atas.

Lokal infiltrasi

Larutan anestesi lokal dituntikkan di sekitar ujung-ujung saraf terminal sehingga efek anestesi hanya terbatas pada tempat difusi cairan anestesi tepat pada area yang akan dilakukan instrumentasi. Teknik ini terbatas hanya untuk anestesi jaringan lunak.

Topikal anesthesia

Teknik ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan anestesi pada permukaan mukosa atau kulit dengan tujuan untuk meniadakan stimulasi pada ujung-ujung saraf bebas (free nerve endings). Anestesi topikal dapat digunakan pada tempat yang akan diinjeksi untuk mengurangi rasa sakit akibat insersi jarum.

Berdasarkan tepat insersi jarum, teknik injeksi anestesi lokal dapat dibedakan menjadi :

Submucosal injection

Jarum diinsersikan dan cairan anestesi dideponir ke dalam jaringan di bawah mukosa sehingga larutan anestesi mengadakan difusi pada tempat tersebut.

Paraperiosteal injection

Jarum diinsersikan sampai mendekati atau menyentuh periosteum, dan setelah diinjeksikan larutan anestesi mengadakan difusi menembus periosteum dan porositas tulang alveolar.

Intraosseous injection

Injeksi dilakukan ke dalam struktur tulang, setelah terlebih dahulu dibuat suatu jalan masuk dengan bantuan bur.

(18)

xxx

Gambar 5. Klasifikasi teknik anestesi lokal yang digunakan pada anestesi intra oral. Garis terputus-putus mewakili daerah anestesi yang dihasilkan pada teknik regional (nerve block and field block) sedangkan garis kontinyu menunjukkan darah anestesia yang dihasilkan pada teknik infiltrasi lokal dan anestesia topikal. (diambil dari Jastak, J.T., &

Yagiela J.A., 1981).

Interseptal injection

Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik intraosseous, dimana jarum disuntikkan ke dalam tulang alveolar bagian interseptal diantara kedua gigi yang akan dianestesi. Teknik ini biasanya dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan injeksi intraosseous.

Intraperiodontal injection

Jarum diinjeksikan langsung pada periodontal membran dari akar gigi yang bersangkutan.

Pappilary Injection

Teknik ini sebenarnya termasuk teknik submukosa yang dilakukan pada papila interdental yang melekat dengan periosteum. Teknik ini diindikasikan terutama pada gingivectomy, yang memerlukan baik efek anestesi maupun efek hemostatis dari obat anestesi.

Anestesi lokal di rahang atas dapat dilakukan dengan beberapa teknik injeksi di bawah ini :

a. Lokal infiltration (submucous injection) b. Field block (araperiosteal injection)

c. Anterior superior alveolar nerve block (paraperiosteal injection) d. Middle superior alveolar nerve block (paraperiosteal injection)

(19)

e. Posterior superior alveolar nerve block f. Infra orbital nerve block

g. Nasopalatine nerve block h. Anterior palatine nerve block

A. Local infiltration (submucosal injection)

1. Saraf yang teranestesi : cabang terminal atau ujung-ujung saraf (free nerve endings).

2. Area yang teranestesi : hanya pada tempat dimana larutan anestesi lokal diinfiltrasikan.

3. Pedoman anatomis : tidak ada pedoman khusus karena larutan anestesi diinfiltrasikan di daerah yang diinginkan.

4. Indikasi : teknik ini diindikasikan bila yang akan dianestesi hanya sebatas mukosa dan jaringan ikat di bawahnya, misalnya pada insisi mukosa.

5. Teknik : jarum diinsersikan di bawah mikosa ke dalam jaringan ikat yang akan dianestesi kemudian larutan anestesi dideponir dengan perlahan-lahan. 6. Simptom : tidak ada simptom subyektif.

B. Field Block (paraperiosteal injection)

1. Saraf yang teranestesi : cabang saraf terminal

2. Area yang teranestesi : gigi rahang atas yang bersangkutan beserta dengan ligamen periodontal, tulang alveolar dan periosteum, dan mukosa gingiva bagian labial/bukal.

3. Pedoman anatomis : tergantung dari area yang ingin dianestesi. Pedoman yang umum dipakai adalah letak gigi dan akarnya serta periosteum dari tulang alveolar yang bersangkutan.

4. Indikasi : teknik ini diindikasikan untuk anestesi satu gigi rahang atas atau untuk suatu area terbatas di maksila.

5. Teknik

Jarum diinsersikan pada cekungan terdalam dari mucobuccal fold dan diarahkan pada apeks gigi yang bersangkutan. Setelah menyentuh tulang

(20)

jarum ditarik sedikit lalu diinjeksikan larutan anestesi lokal sebanyak 0,5 – 1,8 ml tergantung gigi yang dianestesi (insisif : 0,5 – 1,0 ml; kaninus dan premolar : 1,0 ml; molar : 1,0 – 1,8 ml). Untuk anestesi gigi molar pertama ada sedikit kesukaran karena processus zygomaticus tepat menutupi akar gigi tersebut sehingga menghalangi penetrasi obat ke dalam tulang. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan dua kali injeksi, yakni pada akar premolar kedua dan pada akar bukal dari molar kedua.

5. Simptom : tidak ada simptom subyektif.

Teknik-teknik Anestesi Lokal di Rahang Atas

Prosedur anestesi di rahang atas meliputi teknik blok satu atau beberapa cabang saraf perifer dari Nervus Maksilaris yang merupakan divisi kedua dari Nervus Trigeminus (saraf kranial ke-5). Teknik yang sering dipakai untuk anestesi gigi-gigi rahang atas beserta jaringan penyangganya adalah injeksi

paraperiosteal, dimana larutan anestesi dideponir di sekitar periosteum tulang

alveolaris. Oleh karena tulang maksila ralatif porous dan mempunyai lapisan korteks yang tipis maka cairan anestesi dapat berdifusi ke dalam tulang dan menganestesi saraf-saraf terminal yang menginervasi gigi-gigi rahang atas dan jaringan penyangganya. Injeksi paraperiosteal dapat digolongkan sebagai field

block karena beberapa struktur anatomis seperti : papilla interdental dan pulpa

gigi ikut teranestesi meskipun tidak terkena cairan anestesi secara langsung.

xxx

Gambar 6. Inervasi gigi-gigi rahang atas oleh nervus alveolaris superior (diambil dari Jastak, J.T., & Yagiela, J.A., 1981)

xxx

Gambar 7. Injeksi paraperiosteal. Larutan anestesi diinjeksikan di sekitar periosteum setinggi apeks gigi (diambil dari Jastak, J.T., & Yagiela,

(21)

C. Anterior Superior Alveolar Nerve Block (paraperiosteal injection)

1. Saraf yang teranestesi : nervus alveolaris superior anterior

2. Area yang teranestesi : gigi insisif sentral, lateral, dan kaninus beserta ligamen periodontal, tulang alveolar dan mukosa gingiva labial.

3. Pedoman anatomis : mucolaial fold dan apeks gigi-gigi anterior rahang atas. 4. Indikasi : pencabutan lebih dari satu gigi anterior rahang atas.

5. Teknik

Insersi jarum dilakukan paa mucolabial fol sedikit lebih ke mesial dari gigi kaninus. Jarum diinsersikan sedalam beberapa milimeter sampai ujungnya menyentuh permukaan tulang alveolar yang menutupi apeks akar gigi dan deponir sebanyak 1,5 ml larutan anestesi.

6. Simptom : tidak ada simptom subyektif

D. Middle Superior Alveolar Nerve Block (paraperiosteal injection)

1. Saraf yang teranestesi : nervus alveolaris superior medius

2. Area yang teranestesi : gigi premolar pertama dan kedua, dan akar mesio bukal dari molar pertama beserta periodontal ligamen, tulang alveolar dan periosteum bagian bukal, dan mukosa gingiva bukal dari gigi-gigi yang bersangkutan.

3. Pedoman anatomis : mucobuccal fold dan apeks gigi premolar kedua rahang atas.

4. Indikasi : pencabutan gigi-gigi premolar rahang atas 5. Teknik.

Insersi jarum pada mucobuccal fold pada gigi premolar kedua rahang atas dan diarahkan pada apeks gigi tersebut, setelah jarum menyentuh tulang deponir larutan anestesi sebanyak 1,5 ml.

(22)

E. Poserior Superior Alveolar Nerve Block

1. Saraf yang teranestesi : nervus alveolaris superior posterior

2. Area yang teranestesi : gigi-gigi molar rahang atas kecuali akar mesiobukal molar pertama, perocessus alveolaris dan periosteumnya, dan mukosa gingiva pada regio tersebut.

3. Pedoman anatomis : mucobuccal fold, processus zygomaticus, gigi molar kedua dan ketiga rahang atas.

4. Indikasi : prosedur pembedahan yang melibatkan gigi-gigi molar rahang atas. 5. Teknik

Insersi jarum dilakukan pada vestibulum tepat di bawah posterior processus zygomaticus, pada suatu titik yang letaknya kira-kira diantara akar distobukal molar kedua dan akar mesiobukal molar ketiga. Arah jarum membentuk sudut 45 derajat dengan bidang medial, posterior dan superior. Untuk memudahkan pelaksanaan teknik ini penderita diminta untuk sedikit menutup mulutnya dan mandibula digerakkan ke sisi yang diinjeksi. Kedalaman insersi jarum sekitar 1,5-2,0 cm. Deponir obat anestesi 1,0 – 1,8 ml secara perlahan. Jangan melakukan injeksi jarum melebihi 2,0 cm atau terlalu ke lateral karena jarum bisa menembus pterygoid venous plexus sehingga dapat menyebabkan terjadinya hamatoma dan reaksi sistemik yang tidak diinginkan.

Hematoma dalam hal ini lebih sering disebabkan karena laserasi dari arteri

alveolaris superior posterior, mengingat bahwa arteri ini letaknya sangat

berdekatan dengan saraf dan tidak selalu dapat dihindarkan dengan teknik anestesi yang benar sekalipun. Karena itu teknik tidak dianjurkan selama injeksi paraperiosteal masih dapat dilakukan.

6. Simptom : tidak ada simptom subyektif

F. Infraorbital Nerve Block

1. Saraf yang teranestesi : nervus alveolaris superior anterior dan medius, semua percabangan nervus infraoritalis : nervus palpebral inferior, nervus

(23)

2. Area yang teranestesi : gigi-gigi insisif, kaninus, dan premolar rahang atas beserta jaringan penyangganya, sebagian hidung, bibir bagian atas, pipi bagian anterior, dan pelupuk mata bagian bawah.

3. Pedoman anatomis : infraorbital notch, infraorital depression, mucobuccal fold premolar kedua rahang atas, fossa canina, pupil mata.

4. Indikasi : pada tindakan bedah yang melibatkan gigi-gigi anterior dan premolar rahang atas, dan bila injeksi paraperiosteal merupakan kontraindikasi atau tidak efektif.

5. Teknik

Untuk melaksanakan teknik ini kita perlu mengetahui letak dari foramen

infraorbitalis dari mana keluar n. infraorbitalis yang akan dianestesi. Foramen infraorbitalis terletak pada garis khayal yang melewati pupil mata, infraorbital notch, dan permukaan bukal gigi premolar kedua rahang atas.

Dalam arah vertikal letak foramen infraorbitalis ini dapat ditentukan dengan melakukan palpasi dengan jari telunjuk pada infraorbital depression yaitu suatu cekungan yang letaknya sekitar 5 – 10 mm di bawah infraorbital notch. Sementara jari telunjuk tetap pada tempatnya, bibir atas ditarik dengan ibu jari. Insersi dilakukan pada vestibulum sekitar 5 mm lateral dari premolar kedua dimana arah jarum sejajar dengan garis yang menghubungkan aspek medial pupil dan foramen infraorbitalis. l Jarum dimasukkan perlahan-lahan melewati fossa canina sampai ujung jarum menyentuh foramen (kedalaman rata-rata insersi jarum sekitar 1,5 cm). Deponir cairan anestesi sekitar 1,0 ml secara perlahan, sementara jari telunjuk tetap menekan pada infraorital depression untuk membantu aliran larutan anestesi ke dalam kanalis infraorbitalis.

6. Simptom : rasa kebas pada mukosa bibir atas, pelupuk mata bagian bawah, pipi, dan sebagian hidung.

xxx

Gambar 8. Hubungan linier antara pupil mata, sutura sygomaticomaxilaris,

foramen infraorbitalis, dan gigi premolar kedua (diambil dari Jastak J.T., & Yogiela, J.A., 1981)

(24)

xxx

Gambar 9. Teknik anestesia lokal pada papila incisiva dan faramen palatinus

anterior (diambil dari Longmore, R.B. & McRae, D.A., 1985).

G. Nasopalatine Nerve Block

1. Saraf yang teranestesi : nervus nasopalatinus yang keluar dari foramen

incisivus (foramen palatina anterior).

2. Area yang teranestesi : mukoperiosteum sepertiga anterior palatum durum dan mukosa palatal keenam gigi anterior rahang atas, dimana pada regio kaninus terdapat ramifikasi (inervasi ganad) oleh nervus palatina anterior. 3. Pedoman anatomis : gigi insisif pertama rahang atas dan papilla incisivus

pada palatum.

4. Indikasi : untuk anestesia mukosa palatum (mis : pada pencabutan gigi-gigi anterior).

5. Teknik

Jarum diinsersikan pada batas lateral pipilla insisivus sedalam kurang lebih 0,5 cm sampai jarum menyentuh tulang, kemudian diponasikan cairan anestesi sekitar 0,25 ml secara perlahan.

6. Simptom : terasa kebas pada palatum bila terkena lidah.

G. Anterior Palatine Nerve Block

1. Saraf yang teranestesi : nervus palatinus anterior yang keluar dari foramen

palatinus majus.

2. Area yang teranestesi : mukoperiosteum dan mukosa palatal duapertiga bagian posterior palatum durum mulai pertengahan kaninus atas sampai ke batas posterior palatum durum.

3. Pedoman anatomis : molar kedua dan ketiga rahang atas, gingiva marginalis bagian palatal dari molar kedua dan ketiga, garis median pelatum.

4. Indikasi ; untuk tindakan operatif yang melibatkan mukosa palatal gigi-gigi posterior rahang atas (mis : pencabutan gigi premolar atau molar rahang atas).

(25)

5. Teknik

Nervus palatinus anterior keluar dari palatum melalui foramen palatinus majus yang terletak diantara molar kedua dan molar ketiga rahang atas sejauh

satu cm dari marginal gingiva bagian palatal. Jarum diinsersikan pada mukosa di atas foramen tersebut dari arah yang berlawanan sampai jarum menyentuh tulang. Kemudian dideponir dengan perlahan larutan anestesi sebanyak 0,25 sampai 0,5 ml.

6. Simptom : rasa kebas pada palatum bagian posterior bila terkena lidah.

Teknik-teknik Anestesi Lokal di Rahang Bawah

Anestesia pada mandibula sebagian besar dilakukan dengan teknik blok pada persarafan yang merupakan cabang dari nervus mandibularis (divisi ketiga n. trigeminus) yaitu : nervus alveolaris inferior, n. buccalis, dan n. lingualis. Ada dua alasan yang mendasari pemakaian teknik nerve block pada mandibula. Pertama, saraf yang melayani mandibula relatif mudah dicapai. Kedua, karena kepadatan lapisan korteks mandibula yang tinggi maka anestesia dengan injeksi paraperiosteal menjadi tidak efektif, kecuali pada regio gigi-gigi anterior rahang bawah. Pada regio keenam gigi anterior rahang bawah korteks tulang tidak begitu padat sehingga injeksi paraperiosteal dapat dilakukan.

xx

Gambar 10. Inervasi sensoris pada mandibula dan tempat-tempat utama dari nerve block di rahang bawah (daerah yang diarsir) (diambil dari

Yastak, J.T., & Yagiela, J.A., 1981)

Anestesi lokal di rahang bawah dapat dilakukan dengan teknik-teknik sebagai berikut :

A. Local infiltration (submucous injection) B. Field Block (paraperiosteal injection) C. Inferior alveolar nerve block

D. Lingual nerve block

(26)

F. Mental nerve block G. Incisive nerve block

H. Gow-Gates Mandibular Nerve Block

A. Local infiltration (submucous injection)

1. Saraf yang teranestesi : free nerve endings

2. Area yang teranestesi : mukosa dan mucopriosteum pada area yang dianestesi 3. Pedoman anatomis : tak ada pedoman khusus karena cairan anestesi langsung

disuntikkan pada mukosa dan mucoperiosteum pada tempat yang diinginkan. 4. Indikasi : untuk anestesi pada daerah terbatas dari mukosa (pada operasi

jaringan lunak).

5. Teknik : digunakan teknis injeksi submukosa 6. Simptom : tidak ada simptom subyektif.

B. Field Block (paraperiosteal injection)

1. Saraf yang teranestesi : cabang saraf terminal rahang bawah.

2. Area yang teranestesi : semua area yang diinervasi oleh cabang-cabang saraf terminal yang teranestesi.

3. Pedoman anatomis : gigi-gigi yang bersangkutan, daerah apikal gigi-gigi tersebut, dan periosteum tulang alveolar.

4. Indikasi : terbatas pada enam gigi anterior rahang bawah. 5. Teknik : digunakan teknik paraperiosteal

6. Simptom : tidak ada simptom subyektif

C. Inferior alveolar nerve block

1. Saraf yang teranestesi : nervus alveolaris inferior dan subdivisinya yakni

nervus mentalis dan nervus incisivus.

2. Area yang teranestesi : corpus mandibula dan bagian inferior ramus, seluruh gigi rahang bawah sampai linea mediana, gingiva dan mukoperiosteum bagian bukal sebelah anterior dari molar pertama rahang bawah, mukosa bibir bawah, jaringan sebelah anterior dari molar pertama rahang bawah, mukosa

(27)

bibir bawah, jaringan subkutan dan kulit daerah dagu pada sisi yang dianestesi.

3. Pedoman anatomis : linea oblique externa, linea oblique inerna, tendon

profundus muskulus temporalis yang terletak pada temporal crest dari ramus, coronoid notch, dan pterygomandibular raphe. Titik sasaran dari teknik ini

adalah suatu tempat di dalam pterygomandibular space. Agar dapat berhasil melaksanakan teknik ini diperlukan pemahaman yang baik tentang spasia ini (skema dapat dilihat pada lampiran).

4. Indikasi :

a. Anestesia untuk prosedur perawatan yang melibatkan semua gigi di rahang bawah

b. Tindakan bedah pada semua gigi rahang bawah dan jaringan penyangganya (perlu dilengkapi dengan anestesia n. lingualis dan n. buccinator).

c. Untuk keperluan diagnostik dan terapi 5. Teknik

Indirect Technique

a. Dengan jari telunjuk lakukan perabaan pada mucobuccal fold diteruskan sampai pada linea oblique externa dan batas anterior ramus ascendens. b. Carilah cekungan yang terdalam dari ramus, cekungan ini disebut dengan

coronoid notch. Letak coronoid notch ini setinggi sulcus mandibularis di

tempat mana nervus alveolaris inferior masuk ke dalam foramen

manibularis.

c. Insersikan jarum dari arah yang berlawanan tepat di pertengahan ujung jari telunjuk tadi sampai ujung jarum menyentuh tulang.

d. Tarik jarum sedikit, kemudian ubahlah arah syringe hingga sejajar dengan gigi-gigi posterior pada sisi yang sama dan insersikan jarum ke arah posterior melewati linea obliqu interna.

e. Ubahlah syringe ke arah semula dan insersi diteruskan sampai ujung jarum terasa menyentuh tulang.

(28)

f. Jarum ditarik kira-kira 1 mm dan deponir larutan anestesi sebanyak 1,0-1,5 ml. Untuk menganestasi nervus lingualis jarum ditarik perlahan-lahan sampai kedalaman jarum di dalam jaringan tersisa kurang lebih 1 cm kemudian diponir larutan anestesi sebanyak 0,5 ml.

Direct Technique

a. Sebagai persiapan ramus dipegang dengan ujung jari telunjuk berada pada batas posterior ramus, sedangkan ibu jari berada pada pterygomandibular

space.

b. Ibu jari kemudian menarik pipi penderita ke lateral sampai ujung ibu jari menyentuh coronoid notch.

c. Syringe diarahkan paralael dengan bidang oklusal atau setinggi garis khayal yang melewati pertengahan ujung ibu jari, kemudian dari arah kontralateral regio premolar jarum diinsersikan pada suatu tempat diantara

pterygomandibular raphe dan tendon profundus musculus temporalis (lihat

lampiran).

d. Insersi jarum diteruskan dengan perlahan melalui pterygomandibular space sampai ujung jarum menyentuh ramus pada kedalaman 1,5 sampai 2,0 cm. e. Jarum ditarik sedikit dan dilakukan injeksi larutan anestesi sebanyak 1,0

sampai 1,5 ml dengan perlahan.

6. Simptom : perasaan kebas pada bibir bawah, kulit dagu, dan separoh ujung lidah bila n. lingualis ikut teranestesi.

D. Lingual nerve block

1. Saraf yang teranestesi : nervus lingualis, cabang dari nervus mandibularis. 2. Area yang teranestesi : dua pertiga bagian anterior dari lidah dan mukosa

dasar mulut, mukosa dan mukoperiosteum sisi lingual sampai linea mediana. 3. Pedoman anatomis : sama dengan apa yang digunakan pada teknik inferior

alveolar nerve block.

4. Indikasi untuk prosedur operasi yang melibatkan dua pertiga anterior lidah, mukosa dasar mulut dan mukosa mandibula sisi lingual.

(29)

5. Teknik : sama dengan teknik pada inferior alveolar nerve block. 6. Simptom : rasa kebas pada dua pertiga anterior dari lidah.

E. Buccinator (long buccal) nerve block

1. Saraf yang teranestesi : nervus buccinator, cabang dari nervus mandibularis. 2. Area yang teranestesi : mukosa bukal dan mucoperiosteum darah molar

rahang bawah.

3. Pedoman anatomis : linea oblique externa, trigonum retromolar, gigi molar ketiga rahang bawah.

4. Indikasi : untuk pembedahan dan tindakan lain yang melibatkan mukosa bukal rahang bawah dan sebagai pelengkap inferior alveolar nerve block. 5. Teknik.

Insersikan jarum pada mukosa bukal sebelah lateral dan distal dari molar ketiga rahang bawah setinggi bidang oklusal.

6. Simptom : tidak ada gejala subyektif.

F. Mental nerve block

1. Saraf yang teranestesi : nervus mentalis, cabang dari nervus alveolaris

inferior

2. Area yang teranastesi : bibir bawah dan mukosa labial fold di sebelah anterior dari foramen mentalis.

3. Pedoman anatomis : premolar rahang bawah, karena foramen mentalis biasanya terletak pada apeks dan sebelah anterior dari gigi tersebut.

4. Indikasi : untuk operasi pada bibir bawah, atau membran mukosa labial fold sebelah anterior dari foramen mentalis.

5. Teknik.

Pipi penderita ditarik ke sisi bukal kemudian jarum diinsersikan pada mukosa labial fold di sekitar apeks gigi premolar kedua. Deponir obat anestesi sebanyak 0,5 sampai 1 ml.

(30)

G. Incisive nerve block

1. Saraf yang teranestesi : nervus incisivus dan nervus mentalis 2. Area yang teranestesi :

a. Mandibula dan struktur labialnya sebelah anterior dari foramen mentalis b. Gigi premolar, kaninus, dan insisif pada sisi yang teranestesi.

c. Bibir bawah dan dagu pada sisi yang teranestesi.

3. Pedoman anatomis : sama dengan yang digunakan pada teknik mental nerve

block

4. Indikasi : untuk prosedur operasi pada mandibula dan struktur labial mandibula sebelah anterior dari foramen mentalis dan bibir bawah bila karena suatu alasan tidak dapat dilakukan inferior alveolar nerve block.

5. Teknik.

Teknik ini sama dengan teknik pada mental nerve block, perbedaannya adalah bahwa pada teknik ini ujung jarum harus diinjeksikan tepat ke dalam foramen

mentalis untuk menganestesi langsung pada nervus incisivus. Dalam hal ini

dengan sendirinya nervus mentalis akan teranestesi pula. 6. Simptom : sama dengan teknik mental nerve block.

H. Gow-Gates Mandibular Nerve Block

1. Saraf yang teranestesi : nervus alveolaris inferior (berserta cabang-cabangnya), nervus lingualis, dan nervus bucallis.

2. Area yang teranestesi : semua area yang diinervasi oleh ketiga saraf tersebut di atas.

3. Pedoman anatomis : intertragic notch, sudut mulut, batas anterior ramus mandibula, tendon profundus musculus temporalis.

4. Indikasi : apabila teknik blok pada n. alveolaris inferior tidak berhasil. 5. Teknik.

Penderita disuruh membuka mulut selebar mungkin. Lakukan perabaan pada batas anterior ramus dengan ibu jari sementara ujung jari telunjuk memegang

intertragic notch sebelah anterior meatus acusticus externus. Arah syringe

(31)

intertragic notch tersebut. Insersi dilakukan pada suatu titik sebelah medial dari tendon profundus musculus temporalis lebih tinggi dari pada titik yang digunakan pada inferior alveolar nerve block. Dengan posisi syringe dari arah kaninus kontralateral jarum dimasukkan perlahan-lahan sampai ujung jarum menyentuh leher condyl. Setelah dilakukan aspirasi deponir obat anestesi dengan cepat untuk mempermudah penyebaran cairan anestesi pada saraf yang dituju. Untuk membantu difusi cairan anestesi, pasien diminta untuk tetap membuka mulutnya selama 20 detik setelah injeksi.

6. Simptom : sama dengan simptom yang terjadi pada inferior alveolar nerve block, lingual nerve block dan buccal nerve block sekaligus.

Faktor-faktor Penyebab Kegagalan Anestesi Lokal Kesalahan Teknik Injeksi

Kesalahan di dalam menempatkan jarum di tempat yang benar akan menyebabkan tidak tercapainya efek anestesi yang diharapkan. Hal ini biasanya disebabkan karena kurangnya pengalaman operator, atau karena anatomical

landmark yang terhalang oleh jaringan yang menutupinya.

Variasi Anatomis

Variasi letak saraf sering terjadi pada mandibula. Contoh : lingula yang biasanya terletak 5 – 10 m di atas bidang oklusi atau setinggi coronoid notch, pada beberapa individu bisa terletak pada atau sedikit di bawah bidang oklusi. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan teknik inferior alveolar nerve block.

Injeksi Intravaskuler

Injeksi cairan anestesi ke dalam pembuluh darah disamping menyebabkan kegagalan anestesi lokal juga akan menimbulkan efek sistemik dengan segala akibatnya. Hal ini sering terjadi pada anestesi nervus infraorbitalis, mentalis, superior posterior, dan maxillaris. Untuk mencegah terjadinya injeksi intravaskuler perlu dilakukan aspirasi setiap kali kita akan melakukan injeksi cairan anestesi.

(32)

Inervasi oleh Saraf Tambahan

Inervasi oleh saraf tambahan sering terjadi pada mandibula sehingga dapat menyebabkan efek anestesi yang tidak penuh/dalam meskipun telah dilakukan anestesi yang memadai. Pada individu-individu tertentu dapat terjadi inervasi tambahan di bawah ini :

a. Nervus mylohyoid memberian inervasi tambahan pada gigi-gigi anterior rahang bawah. Bila letak pemisahan saraf tersebut dari nervus alveolaris

inferior jauh di atas foramen mandibularis maka tindakan inferior alveolar

nerve block tidak akan memberikan efek anestesi yang dalam pada gigi-gigi anterior rahang bawah.

b. Nervus alveolris inferior mempunyai beberapa percabangan yang menginervasi gigi-gigi molar rahang bawah dimana letak percabangannya berada di atas foramen mandibularis. Pada mandibular block cabang-cabang saraf tersebut tidak teranestesi sehingga efek anestesi pada gigi-gigi tersebut di atas menjadi tidak lengkap/penuh.

c. Nervus buccalis, lingualis, dan mylohyoid dapat memberikan inervasi tambahan pada gigi-gigi posterior rahang bawah.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas dapat dilakukan teknik Gow-Gates

mandibular lok karena teknik ini dapat menganestesi semua percabangan

saraf dari nervus alveolaris inferior, lingualis, buccalis, dan mylohyoid.

Pembelokan Jarum

Pemakaian jarum dengan diameter kecil dapat menyebabkan defleksi (pembelokan) jarum. Pada keadaan tertentu pembelokan jarum ini menyebabkan deposisi cairan anestesi di belakang tahanan jaringan sehingga menghambat difusi larutan anestesi ke saraf yang dituju. Contohnya, deposisi cairan anestesi disebelah medial dari ligamen pterygo mandibular akibat pembelokan jarum yang terlalu ke medial pada inferior alveolar nerve block.

(33)

Keradangan

Cairan anestesi lokal tidak dapat bekerja dengan baik pada daerah yang mengalami keradangan. Beberapa alasan yang mendasari fenomena ini telah dijelaskan pada bab terdahulu.

Sebab-sebab lain

Kegagalan tindakan anestesi lokal juga dapat terjadi pada beberapa penderita antara lain :

1. Penderita yang mempunyai rasa takut berlebihan 2. Penderita pecandu alkohol, atau narkotik

3. Penderita yang resisten terhadap segala macam obat termasuk obat anestesi lokal

(34)

BAB V

KOMPLIKASI PADA ANESTESI LOKAL DAN

PENANGANANNYA

KOMPLIKASI AKIBAT LARUTAN ANESTESI LOKAL Toksisitas

Toksisitas biasanya dihubungkan dengan gejala-gejala sistemik yang timbul akibat penggunaan obat anestesi lokal dengan dosis berlebihan atau injeksi intravaskular secara tak sengaja. Komplikasi terjadi karena terdapatnya konsentrasi obat yang cukup tinggi di dalam aliran darah sehingga mampu mempengaruhi sistim susunan saraf pusat dan sistem kardiovaskuler.

Beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya “blood level” obat anestesi lokal adalah :

1. Kondisi fisik penderita secara umum 2. Injeksi obat terlalu cepat

3. Injeksi intravaskuler secara tak sengaja 4. Keadaan emosi penderita

5. Pemakaian obat dengan volume berlebihan (overdosis)

Gejala awal reaksi toksisitas karena overdosis adalah stimulasi sistim saraf pusat. Tanda-tanda yang tampak mulai dari yang ringan seperti : penderita bicara lebih banyak, gelisah, pusing, tinnitus, pandangan kabur, nausea, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Pada keadaan lanjut ( dimana asorpsi obat sudah semakin meningkat) akan timbul manifestasi pre-konvulsi antara lain : nystagmus, fasikulasi otot, tremor pada pelupuk mata, rahang dan ekstremitas pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi konvulsi dengan gejala tonic-clonic seizure. Keadaan ini kemudian diikuti dengan gejala depresi sistim susunan saraf pusat yang ditandai dengan turunnya tekanan darah, denyut nadi cepat dan lemah, kadang-kadang terjadi bradikardi, apnea, dan hilangnya kesadaran penderita. Pada dosis yang fatal dapat terjadi kematian karena kegagalan pernafasan.

(35)

Reaksi toksik yang terjadi bervariasi mulai dari beberapa menit sampai lebih dari satu jam. Biasanya semakin lambat timbulnya reaksi, semakin ringan reaksi yang akan terjadi. Reaksi toksik yang disebabkan karena overdosis obat biasanya berlangsung cukup lama; konsentrasi puncak dalam darah tercapai dalam waktu 15-60 menit. Sedangkan reaksi toksik yang terjadi karena injeksi intravaskuler timbulnya relatif cepat (1 sampai 2 menit) dan pada umumnya berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama (tidak lebih dari 30 menit).

Penanganan yang harus dilakukan tergantung keparahan yang terjadi. Pada keadaan yang ringan cukup dilakukan : observasi tanda-tanda vital, penghentian tindakan anestesi dan menenangkan penderita. Pada keadaan yang agak berat dapat dilakukan pemberian oksigen. Apabila terjadi konvulsi sebaiknya diberikan diazepam. Dapat juga diberikan barbiturat yang “shot-acting atau long-acting”, tetapi obat-obatan ini cenderung menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Succinylcholine chloride (skletal muscle relaxant) juga dapat dipakai untuk menghentikan konvulsi yang terjadi, namun pemberian obat ini harus hati-hati karena akan menyebabkan paralisa otot-otot pernafasan.

Tanda-tanda dan gejala-gejala toksisitas overdosis, meskipun pada umumnya mudah diketahui dan ditangani, pada kasus-kasus tertentu dapat terjadi dengan begitu cepat sehingga sangat sulit didalam penanganannya. Oleh karena itu akan lebih baik jika kita lebih menekankan pada tindakan pencegahan daripada perawatannya.

Untuk mencegah terjadinya reaksi toksik beberapa hal di bawah ini perlu diperhatikan yaitu :

1. Penderita telah dievaluasi secukupnya sebelum diberikan anestesi lokal 2. Gunakan larutan anestesi yang mengandung vasokonstrikor sejauh tidak

kontra indikasi.

3. Gunakan obat anestesi seminimal mungkin

4. Gunakan konsentrasi obat anestesi seminimal mungkin 5. Injeksi dilakukan secara perlahan-lahan

(36)

Idiosyncrasy

Yang dimaksud dengan Idiosyncrasy adalah setiap reaksi terhadap pemberian suatu obat dimana gejala-gejala yang timbul tidak dapat digolongkan sebagai reaksi otoksik atau alergik. Reaksi yang terjadi bukan disebabkan oleh efek farmakologi obat melainkan karena pengaruh faktor emosional penderita, dimana intensitas gejala yang timbul dapat bervariasi bahkan pada penderita yang sama.

Perawatan pada penderita dengan idiosyncrasy tidak dapat ditentukan karena tergantung dari jenis gejala yang timbul. Pada dasarnya prinsip perawatan adalah mempertahankan jalan napas penerita agar intake oksigen dapat terjamin, dan mengevaluasi sistim sirkulasi darah penderita. Untuk mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan mengubah posisi duduk penderita, dengan obat-obatan atau cairan infus bila diperlukan.

Reaksi Alergi

Reaksi alergi terhadap larutan anestesi sangat jarang terjadi. Diperkirakan hanya 1% dari seluruh reaksi terhadap obat anestesi lokal yang benar-benar bersifat alergi, terutama setelah mulai ditinggalkannya oat anestesi jenis procaine dan diganti engan obat anestesi golongan amida. Jika timbul biasanya itandai dengan perubahan paa kulit, mukosa dan pembuluh darah. Reaksi yang mungkin timbul adalah : asma, rhinitis, angioneurotic edema, erytema, pruritus, urticaria dan bercak kulit yang lain. Untuk menangani keadaan ini dapat diberikan antihistamin (diphenhydramine, 25-50 mg) intramuskuler.

Walaupun dapat dikatakan jarang, syok anafilktik apat terjadi setelah injeksi anestesi lokal. Bila terjadi shok anafilaktik tempatkan penderita pada posisi supine dan untuk penanggulangannya dapat diberikan epinephrine hydrochloride (adrenalin 1:1.000) intramuskuler atau subkutan sebanyak 0,2 sampai 0,5 ml ditambah dengan pemberian oksigen. Pada kasus-kasus berat perawatan di atas dapat ditambah dengan injeksi antihistamin IM atau IV (misalnya : diphenhydramine 50 mg), dan/atau glucocorticoid IM atau IV,

(37)

misalnya hydrocortisone soium succinate 100 mg dengan tujuan untuk mengembalikan tekanan darah.

KOMPLIKASI AKIAT INSRSI JARUM/TEKNIK PENYUNTIKAN Syncope (Fainting)

Syncope merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada tindakan

anestesi lokal. Komplikasi ini meruakan bentuk neurogenic shock yang disebabkan karena terjadinya iskemia cerebral sebagai akibat dari vasodilatasi dan turunnya perfusi jaringan serebral. Keadaan ini terutama dipengaruhi oleh faktor

emotional stress seperti : perasan gelisah, takut, rasa sakit yang sangat.

Faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan syncope adalah perasaan lapar (renahnya kadar gula darah), kelelahan, posisi uuk tegak, dan suhu udara yang panas dan lembab. Biasanya dialami oleh penderita pria yang berumur 15 – 40 tahun.

Gejala-gejala klinis neurogenic syncope yaitu : pucat, berkeringat, sering menguap, takhikardi. Penderita merasakan adanya perasaan yang lain, pusing, mual, lemah an jantung berdebar. Biasanya penderita mengeluhkan akan pinsan namun kesadaran paa umumnya masih ada.

Untuk menanganinya dapat dilakukan langkah-langkah berikut :

1. Tempatkan penderita pada posisi supine dengan posisi tungkai setinggi kepala 2. Penderita diinstruksikan untuk menarik napas dalam beberapa kali

3. Kendorkan pakaian yang terlalu ketat

4. Berikan bau-bauan yang dapat merangsang pernapasan seperti : amonia atau alkohol

5. Bila perlu dapat dilakukan inhalasi oksigen

Trismus

Trismus termasuk salahs atu komplikasi anestesi lokal yang umum dijumpai, khususnya setelah tindakan mandibular nerbe block. Penyebab dari kelainan ini adalah karena terjadinya trauma, perdarahan, atau infeksi derajat ringan pada otot yang disebabkan oleh karena insersi jarum. Penyebab utama trismus adalah gangguan pada musculus pterygoideus internus (medialis)oleh

(38)

karena insersi jarum yang terlalu ke medial pada teknik mandibular block (inferior alveolar nerve block).

Perawatan yang diberikan tergantung pada derajat keparahan trismus. Pada trismus ringan perawatan cukup bersifat simptomatik, yaitu : analgesik, dan kumur-kumur air garam hangat. Bila dicurigai adanya infeksi dapat diberikan antibiotika. Pada trismus yang agak berat dan berlangsung lama dapat dilakukan perawatan panas (kompres panas) latihan buka tutup mulut, analgesik, dan bila perlu dapat ditambahkan antibiotika dan CNS muscle relaxant.

Rasa Sakit atau Hyperesthesia

Rasa sakit selama atau setelah tindakan anestesi lokal adalah hal yang wajar, terutama bila operator kurang hati-hati didalam melakukan teknik yang benar. Namun rasa sakit juga bisa disebabkan karena infeksi pada tempat insersi jarum.

Untuk mencegah timbulnya rasa sakit yang berlebihan perlu diperhatikan beberapa faktor sebagai berikut :

1. Gunakan jarum yang tajam

2. Area tempat insersi diulasi larutan anestesi topikal

3. Insersi jarum dilakukan perlahan-lahan dan sedapat mungkin hindarkan trauma yang tak diperlukan (misalnya : insersi jarum berulang-ulang pada tempat yang sama).

4. Injeksikan larutan anestesi dengan perlahan-lahan dan gunakan tekanan yang sekecil mungkin.

Infeksi

Setiap kali kita melakukan injeksi intra oral sejumlah mikroorganisme akan terbawa masuk ke dalam jaringan. Namun karena mekanisme pertahanan tuuh yang sedemikian baik di rongga mulut maka cukup jarang dijumpai terjadinya asus infeksi setelah insersi jarum. Disamping itu sterilitas jarum dan larutan anestesi yang terjamin dan pemakaian alat injeksi yang disposable merupakan faktor yang mendukung fenomena tersebut.

(39)

Infeksi pasca anestesi lokal dapat terjadi oleh karena ; 1. Injeksi pada daerah yang mengalami infeksi

2. Pemakaian cartridge atau jarum pada lebih dari satu pasien 3. Injeksi berulang-ulang pada tempat yang sama

Apabila terjadi biasanya infeksi yang timbul bersifat ringan dan setempat, serta dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan.

Patahnya Jarum Suntik

Meskipun sekarang hal ini jarang terjadi, patahnya jarum akan sangat mengganggu dan membuat ngeri penerita. Kepatahan biasanya terjadi pada pangkal (hub) dari jarum. Oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menginsersikan keseluruhan jarum sampai pada pangkalnya. Untuk menghindarkan hal ini perhatikan hal-hal berikut :

1. Jangan memaksakan jarum pada jaringan yang keras (tulang atau periosteum).

2. Jangan mengubah arah jarum selagi jarum berada jauh di dalam jaringan 3. Jangan menggunakan jarum dengan diameter yang terlalu kecil

4. Jangan mensteril ulang jarum habis pakai, karena akan menyebabkan jarum mudah patah

5. Jangan menginsersikan jarum terlalu jauh ke dalam jaringan; sisakan sedikitnya sepertiga panjang jarum di luar jaringan

6. Jangan mengejutkan penderita dengan insersi jarum yang tiba-tiba tanpa sepengetahuan penderita.

Anestesia Berkepanjangan

Anestesia yang berkepanjangan biasanya bukan karena pengaruh obat anestesianya, melainkan oleh trauma jarum suntik. Penyebab yang paling mungkin adalah terjadinya kerusakan pada serat saraf oleh karena tusukan jarum pada tkenik inferior alveolar nerve block. Hal ini dapat juga disebabkan karena terjadinya perdarahan pada selaput pembungkus serat saraf sehingga menimbulkan tekanan dan anestesia. Anestesia yang terjadi berkepanjangan

(40)

karena absorpsi perdarahan memakan waktu cukup lama mengingat sirkulasi darah yang minim di daerah tersebut.

Trauma pada jaringan di seitar serat saraf dapat juga menyebabkan keradangan, an pembengkakan yang timbul dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada serat saraf. Akibat dari hal itu adalah turunnya sensasi sensoris.

Komplikasi ini biasanya dapat sembuh secara spontan dalam waktu beberapa minggu. Bila dalam waktu tiga bulan tidak ada tanda-tanda regenerasi saraf, dapat diindikasikan untuk perbaikan saraf melalui tinakan bedah.

Hematoma

Hematoma adalah salah satu komplikasi yang sering terjadi pada teknik anestesi lokal, biasanya terjadi setelah penyuntikan block pada nervus alveolaris superior posterior dan nervus infraoritalis.

Hematoma adalah keluarnya darah ke dalam jaringan sekitarnya sebagai akibat dari terkoyaknya pembuluh darah. Hematoma biasnaya terjadi karena tusukan pada arteri atau sobekan pada vena, atau karena adanya gangguan pada proses koagulasi dari penderita yang bersangkutan.

Tanda-tanda klinis hematoma karena perdarahan arteri antara lain : pembengkakan ekstra oral yang timbulnya mendadak, asimetri wajah, dapat disertai trismus ringan.

Hematoma sebenarnya tidak berbahaya meskipun tampaknya sangat mengerikan an menimbulkan gangguan kosmetis pada penderita. Untuk menanganinya dapat dilakukan beberapa cara antara lain :

1. Kompres dingin pada hari pertama setelah kejadian untuk menghambat pembengkakan.

2. Terapi panas setelah 24 jam

3. Pemberian antibiotika bila dicurigai adanya infeksi (menurut beberapa ahli kecenderungan terjadinya infeksi pada hematoma cukup tinggi).

(41)

Tindakan anestesi lokal yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya nerve block yang tidak diinginkan. Siptoma neurologis yang timbul merupakan akibat dari salah satu dari tiga kemungkinan penyebabnya : penyimpangan arah jarum, injeksi intra vaskuler, atau pola distribusi obat anestesi yang tidak umum. Komplikasi ini biasanya terjadi pada tindakan nerve block pada nervus alveolaris inferior (lihat gambar).

Insersi jarum yang terlalu dapat dapat mengenai kapsul kelenjar parotis dan menyebabkan anestesia pada nervus facialis (saraf kranial ke-7). Akibatnya dapat terjadi paralisa hemifacialis dan hilangnya reflek menutup dari kelopak mata yang bersifat sementara.

Insersi jarum secara tak sengaja pada areri carotis interna, atau penyearan larutan anestesi pada lateral pharyngeal space dapat menyebabkan blokade saraf simpatis yang melayani kepala. Manifestasinya berupa : ptosis kelopak mata bagian atas, vasodilatasi konjungtiva dan kepala bagian kiri, penyumbatan rongga hidung, dan konstriksi pupil. Bila terjadi juga blokade pada nervus laryngeus recurrens dapat menyebabkan suara serak dan perasaan tercekik.

Injeksi larutan anestesi ke dalam pembuluh darah arteri (arteri alveolaris inferior atau cabang-cabang arteri di rahang atas) dapat menyebabkan distribusi obat anestesia tersebut ke dalam arteri meningeus medialis yang berhubungan dengan arteria ophthalmicus. Simptoma klinis yang mungkin terjadi adalah : pusing, diplopia akibat palsy otot bola mata, atau bahkan dapat terjadi kebutaan sementara adalah : infraorbital nerve block, posterior superior alveolar nerve

block, maxillary nerve block xxxxxxxxxx

Gambar 11. Beberapa kesalahan letak jarum pada regio pterygomandibularis. 1. Jarum pada posisi yang benar pada teknik inferior alveolar nerve block. Reaksi neurologis yang timbul mungkin disebabkan karena pola distribusi yang menyimpang dari obat anestesi. 2. Injeksi pada

musculus pterygoid medialis yang dapat menyebabkan trismus. 3.

Penempatan jarum pada glandula parotis yang dapat menyebabkan anestesia nervus facialis dan paralisa hemifacialis. 4. Injeksi intravskular. Simptom yang timbul tergantung dari distribusi obat melalui cabang-cabang pembuluh darah yang ada. (diambil dari

(42)

xxx

Gambar 12. Aliran larutan anestesi yang dapat mengakibatkan kebutaan sementara atau paralisa saraf motoris dari mata. (diambil dari Jastak,

J.T., & Yagiela, J.A., 1981)

KOMPLIKASI AKIBAT VASOKONSTRIKTOR

Bahan vasokonstriktor (simpatomimetik) yang terdapat di dalam larutan anastesi lokal jarang menimbulkan reaksi mrugikan. Apabila hal ini terjadi, biasanya bersifat ringan dan berlangsung singkat. Komplikasi akibat vasokonstriktor adrenalin dapat terjadi apabila konsentrasinya cukup tinggi di dalam darah, misalnya pada kejadian injeksi intravaskular secara tak sengaja. Karena adrenalin cepat dimetabolisir, reaksi akibat injeksi intravskular ini biasanya tidak berlangsung lebih dari 5 menit. Derajat respon yang timul juga bervariasi dan sifatnya indiviual. Reaksi yang timbul lebih diakibatkan karena efek pada sistim kardiovaskular daripada efek pada susunan saraf pusat. Gejala klinis yang tampak yakni : palpitasi, takhikardi, hipertensi, sakit kepala, gelisah, dan perasaan tidak enak.

Penanganan pada kasus ini cukup sederhana, meliputi : menenangkan pasien, menghentikan perawatan, menempatkan penderita pada posisi semisupine, dan dapat diberikan obat penenang (diazepam).

Gambar

Tabel 2.  Data tentang pemakaian adrenalin pada penderita normal dan penderita jantung  : kaitan  antara  konsentrasi  obat dengan  dosis maksimal  dan jumlah   cartridge   yang   boleh   digunakan

Referensi

Dokumen terkait

the oligarchic power structure, stating that ‘Winters, Robison and Hadiz deserve credit for highlighting an important feature of Indonesian politics and political.. affairs

Berdasarkan Hasil Evaluasi Penawaran dan Evaluasi Kualifikasi yang dilakukan oleh Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Di Lingkup

Expression and conditioned inhibition synaptic transmission by cholinergic Metherate, R., see Hsieh, C.Y. All

[r]

Sehingga Tingkat Kesehatan Bank pada BNI Syariah dengan menggunakan metode CAMELS periode 2014-2017 menunjukkan kondisi Peringkat Komposit 2 (PK-2) yaitu “SEHAT”

3.11.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya. 3.11.2 Mengidentifikasi proses pembentukan bayangan pada cermin datar dan lengkung 3.11.3 Mengidentifikasi proses pembentukan

Ayrıca banka sermayesi çok fazla akışkan olduğu için sanayi sermayesi kadar fetihçi olmak durumunda değildir; yeni kaynaklar ve yeni pazarlara muhtaç olan, başta, sanayi üretimi

Dari hasil pengamatan telah terjadi kreatifitas dan keaktifan siswa secara mental maupun motorik, karena kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan mengadakan