• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Merek NonTradisional Berbasis Daya Pembeda di Indonesia T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Merek NonTradisional Berbasis Daya Pembeda di Indonesia T1 BAB I"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kompleksnya mekanisme pasar dalam sistem pasar bebas, telah menyebabkan Indonesia kebanjiran berbagai barang dan jasa sejenis dengan ciri pengenalan yang hampir sama. Situasi tersebut berdampak panjang yaitu terjadinya persaingan usaha yang curang antara pelaku usaha yang bukan hanya merugikan produsen melainkan juga konsumen yang mana terkait dengan kualitas barang tiruan. Atas hal ini progresifitas hukum merek menjadi tuntutan dalam dunia perdagangan di Indonesia.

Sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), merek (trademark) merupakan tanda (signs) yang berfungsi untuk mengidentifikasi asal barang dan jasa (an indication of origin). Dalam fungsi ini, merek berperan sebagai tanda pembeda antara barang.1 Artinya dalam pemasaran suatu barang atau jasa, merek hadir sebagai tanda pengenal sekaligus pembeda. Dalam perkembangannya2, merek kemudian dibedakan menjadi merek tradisional dan merek non-tradisional. Pengertian merek tradisional terlihat eksklusif3 dalam Undang-undang (UU) Merek

1 Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menuru Hukum Indonesia , Rineka

Cipta, Jakarta, 2008, h. 18.

2 Marie Jeanne menegaskan perkembangan teknologi dan globalisasi dalam perdagangan

telah menyebabkan pergeseran metode dan strategi merek dalam perdagangan. Ia menggambarkan

“historically, the conventional way of distinguishing products or services of one person from those of another was through the use of traditional trade-marks. however, the expansion of the Internet, the growing use of new technologies, and the globa lization of markets have led to the development of a wide variety of new methods and strategies to distinguish products and services. As a result, conventional trade-marks, which are essentially limited to the use of words and designs, are joined by innovative, non-traditional trade-marks.” Marie Jeanne, Canada’s Current Position with Respect to Sound Marks Registration: A Need for Change?, Canadian Journal Of Law And Technology, Universit´e de Montr´eal, 2010, h.32.

3 Sebenarnya pengertian merek tradisional terlihat pada UU Merek dan Indikasi Geografis,

(2)

sebelumnya, yaitu Pasal 1 ayat (1) Undang undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, bahwa “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut

yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”

Jenis tanda tradisional di atas oleh Landa dan Robin (2006: 4-7) dijelaskan sebagai tanda yang bersifat identitas visual (brand identity), yaitu melekat dan dapat diidentifikasi secara kasat mata pada suatu barang dan jasa. Sedangkan, pengertian tentang merek non-tradisional telah disinggung pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis, yang menyatakan bahwa:

“Merek adalah tanda ya ng dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, ka ta, huruf, angka, susuna n warna, dalam bentuk 2 (dua ) dimensi dan/atau 3 (tiga ) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua ) atau lebih unsur tersebut untuk membeda kan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”

Penegasan daya pembeda pada UU Merek di atas adalah sedikit menjelaskan pengertian merek nontrasisional. Sebab, pada hakikatnya merek non-tradisional adalah tanda yang memiliki daya pembeda dengan penampilan baru dan inovatif dari jenis tanda tradisional. Artinya, bukan eksis karena penampilan grafis melainkan daya pembedanya4. Lebih jauh menjelaskan eksistensi tanda non-tradisional, Jarome Gilson menerangkan sebagai berikut:

Sehingga sekalipun tidak lagih berkekuatan hukum, UU Merek sebelumnya tetap dikutip pengertiannya sebagai perbandingan dengan UU Merek yang baru.

4

(3)

You can see, smell, taste, touch and hear them. You can even store your firewood in them, feed your dog with them, sit on them, clean your pool with them and, if hunger strikes, eat them. What, if anything, do they ha ve in common? They are a ll nontraditional trademarks5.

Ragam tanda yang diterangkan Gilson di atas adalah tiga jenis tanda yang dewasa ini telah dilindungii sebagai merek di beberapa Negara di dunia. Ketiga tanda tersebut melipuri; Bentuk, berupa bentuk alat seperti botol/ kemasan suatu produk. Pendaftarannya sebagai merek telah dilakukan oleh Coca Cola di Amerika Serikat pada 1916;6 Bunyi, tanda berupa alunan nada yang menggambarkan barang atau jasa dalam pemasarannya. Pendaftaran bunyi telah dilakukan atas deru motor oleh Harley Davidson di Amerika pada 1997;7 Aroma, yaitu tanda yang memberikan bau dan harum yang berbeda sebagai pembeda antara produk. Prospek pendaftarannya terkenal dengan kasus smell of fresh cut grass di Belanda 19968. Ketiga jenis tanda tersebut sampai saat ini belum dilindungii di Indonesia. Namun, apakah jenis tanda tersebut saat ini eksis di Indonesia? Ya, tanda bunyi misalnya.

Alunan nada dengan gambaran kata “paddle pop... paddle pop... super-duper

yummy” merupakan tanda yang dikenal untuk membedakan pemasaran ice cream dari PT Walls dengan ice cream dari pelaku usaha lain di Indonesia.

Tesis bahwa merek non-tradisional harus dilindungii di Indonesia merupakan langkah nyata pembaharuan hukum merek nasioal. Saat ini Indonesia dalam situasi terjebak pada pengertian literal tentang merek (UU Merek

5 Jerome Gilson dan Anne Gilson LaLonde, “Cinnamon Buns, Marching Ducks And

Cherry-Scented Racecar Exhaust: Protecting Nontraditional Trademarks”, Official Journal of the International Trademark Association: Vol. 95, INTA, 2005, h. 773.

6 Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan hak Eksklusif, Airlangga

University Press, Surabaya, 2007, h. 89.

7 Verena V.Boomhard, European Trademark Law, Planck Institute, Jerman, 2004, h.28. 8 Carsten Schaal, The Registration of Smell Trademark in Europe; another EU

(4)

sebelumnya) dan miskonsepsi atas syarat penampilan secara grafis suatu tanda (UU Merek). Dalam situasi seperti ini ada kekosongan hukum dalam UU Merek. Di lain sisi jika melihat perkembangan hukum merek di dunia, Negara-negara diantaranya Amerika Serikat telah melindungi merek non-tradisional sejak 1916, sehingga apakah saat ini 2016 Indonesia masih tidak akan memberikan perlindungan? Tidak, Indonesia harus memberikan perlindungan.

Perlindungan merek non-tradisional harus memenuhi syarat perlindungan dalam hukum merek. Untuk dapat dilindungii sebagai merek, tanda haruslah dibuat atas dasar itikad baik, tidak bertentangan dengan peraturan perundangan dan kepatutan, harus memiliki daya pembeda, tidak menjadi milik umum, tidak membingungkan pada penampilannya, dan sebagai syarat tambahan adalah dapat ditampilkan secara grafis. Dari ketujuh syarat tersebut,9 ketiga syarat yang menjadi kontroversial atas gagasan perlindungan merek non-tradisional adalah penampilan secara grafis (be visually perceptible), daya pembeda (capable of distinguishing) dan tidak bersifat membingunkan (likelihood of confusion).

Penulis berargumen bahwa daya pembeda merupakan syarat yang sifatnya substansial atau alpha terhadap kedua syarat yang lain. Daya pembeda adalah syarat yang menentukan dapat atau tidaknya tanda non-tradisional diberikan perlindungan. Pendirian tersebut sejalan dengan pendapat Wauran dan Kurnia, yang menegaskan bahwa: Konsep daya pembeda memiliki fungsi yang sifatnya vital dan

fundamental dalam suatu merek. Keberadaan daya pembeda suatu merek, akan

9

(5)

berdampak pada kemampuan merek tersebut untuk tidak menyebabkan

kebingungan pada waktu dipasarkan10.

Selain menempatkan kedudukan daya pembeda sebagai premis mayor dalam perlindungan merek, Wauran dan Kurnia juga menegaskan korelasi antara syarat memiliki daya pembeda (capable of distinguishing) dan syarat penampilan yang membingunkan (likelihood of confusion). Kedua syarat tersebut terlihat memiliki hubungan kausalitas, yaitu ditemukannya pembeda pada suatu tanda menjadi jaminan bahwa tanda tersebut tidak bersifat membingungkan ketika dipasarkan. Selanjutnya mengenai hubungan antara syarat penampilan secara grafis (be visually perceptible) dan syarat daya pembeda (capable of distinguishing), penting untuk memperhatikan klausul Pasal 15 ayat (1) Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS):

“Any sign, or any combination of signs capable of distinguishing

goods or services of one undertaking from those of undertakings

shall capable of constituting of trademark. such signs, in particular words including names, letters, numerals, figurative elements and combinations of colours of such signs sha ll be eligible for registration of trademarks. Where signs a re not inherently capable of distinguishing the relevant good or services, member may make registerably dependend on distinctiviness acquired through use. Member may require as a condition of registration

that signs be visually perceptible”.

Berdasarkan klausul di atas, terlihat bahwa bahwa kedudukan antara kedua syarat jelas berbeda. Syarat daya pembeda lebih diutamakan ketimbang syarat penampilan grafis11. Hal ini senada dengan Kritarth Pandey yang berpendapat bahwa: “It further

10 Wauran dan Kurnia, confusion dan Pembatalan Merek oleh Pengadilan, UGM: Mimbar

Hukum Vol.27, Yogyakarta, 2015, h.276.

11 Syarat penampilan secara grafis dalam perlindungan merek juga bukanlah syarat yang

(6)

states that Members may require, as a condition of registration, signs to be visually

perceptible. This means that it is not compulsory for the Trademark to be visually perceptible so far TRIPs Agreement is concerned.12”

Sebagai bentuk uji, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah terkait penyebutan spesifik tanda pada pasal 15 di atas yaitu tidak meliputi jenis tanda tradisional. Sehingga, apakah tanda nontradisonal seperti bunyi, aroma, dan bentuk tidak termasuk sebagai tanda berdasarkan Pasal tersebut? Tidak. Jenis tanda di luar Pasal tersebut seperti diantaranya bentuk, aroma, dan bunyi, haruslah tetap dianggap sebagai tanda berdasarkan Pasal. Hal ini disebabkan penyebutan jenis tanda pada Pasal 15 di atas adalah tidak bersifat terbatas melainkan tidak

terbatas. Sebagaimana terlihat pada penyebutan tanda yang mencantumkan frasa

such signs”.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka pertanyaan yang paling substansial yang akan diulas dalam tulisan ini adalah, apakah tanda non-tradisional memiliki daya pembeda sehingga layak dikategorikan sebagai merek? Dan sejauh mana kemampuan membedakan yang dimilikinya sebagai merek? Menanggapi isu ini,

Jeremy Philips mengatakan “a sound, smell or tactile sensation as applied to goods

will be incapable of being a mark.13 Ketidakmampuan (incapable) yang dimaksud oleh Jeremy, lebih jauh terlihat pada pandangannya atas Bentuk:

“A container is not generally reckoned to be a ‘mark’. On this basis the distinctive Cola Cola bottle could not be registered as a ‘mark’ in respect on beverages, even though a drawing of the bottle would

registration) misalnya bunyi untuk didaftarkan harus didaftar melaui konotasi nada/ not yang digunakan.

12 Kritarth Pandey, Non Conventional Mark: A Legal Analysis,

https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2399286. dikunjungi pada tanggal 15 September pukul 15.47.

13 Jeremy Phillips, Introduction to Intelelectual Property Law, Buttrerworths, London,

(7)

be a ‘device’ and therefor a mark. This conclusion is hard to justify

when one considers that a container can be as effective as any other means of indicating a link between a trader and his goods”14

Dikuatirkan sebagai tanda yang tidak mampu mengidentifikasi asal barang. Juga merupakan pandangan yang dipertimbangkan Jerome dan Anne, yang menyatakan:

“Another major problem with enforcement in this context is that consumers may not perceive certain nontraditional marks as trademarks at all. They may see them as merely decorative, as an inherent part of the product or as an attempt to amuse rather than to indicate the source of the goods15

Ketimbang menjadi pembeda barang dalam menentukan sumbernya, merek non-tradisional lebih dipandang sebagai pelengkap atau dekorasi atas barang sehingga tidak dapat dilindungii sebagai merek dagang.

Di lain sisi, merek non-tradisional disebutkan memiliki kemungkinan untuk dilindungii sebagai merek. Sebagai oposisi, Jerome dan Anne dalam jurnalnya tetap menegaskan hal tersebut. Ia mengutip pendapat Martin Lindstrom, dalam tulisan BRAND sense: Build Powerful Brands through Touch, Taste, Smell, Sight, and Sound, yang menjelaskan:

“if branding wishes to survive another century it will need to change track. More communication in an already overcrowded world simply won’t do it.” Even distinctive brands need more than traditional television or print advertising in order to reach consumers. The new track would have brands go beyond sight and sound to reach consumers through smell, touch and taste”16

Merek non-tradisional merupakan transformasi dari tanda tradisional terhadap perkembangan zaman. Merek non-tradisional memiliki cara khusus untuk membedakan barang atau jasa. Martin Lindstrom menyebut hal ini dengan istilah

14 Ibid.,

(8)

“emotional connection.17” Ia menjelaskan: “Sight may convey information well, but

even at best it creates a less deeply felt emotional response.., an emotional connection to a brand makes the brand more compelling and engenders consumer loyalty18.”

Pembedaan pada merek non-tradisional adalah khas yaitu dengan menciptakan emotional response konsumen terhadap barang dan jasa. Hubungan emosional antara tanda dengan konsumen terhadap barang akan memicu respon emosional yang dalam (creates a less deeply felt emotional response) untuk setia memilih barang dan jasa tertentu sehingga dapat dilindungii sebagai merek dagang. Sehingga merek non-tradisional sudah seharusnyanya dilindungii yaitu sebagai merek yang memiliki daya pembeda berbasis hubungan emosional.

Pro dan kontra keberadaan syarat pembeda pada merek non-tradisional di atas dikarenakan kekuatiran terhadap karakteristik bunyi, bentuk dan aroma yang disangkahkan memiliki penampilan yang membingungkan. Atas hal ini pararel dengan penjelasan sebelumnya bahwa daya pembeda merupakan hal yang menentukan membingungkan atau tidaknya penampilan suatu tanda. Maka penelitian dalam tulisan ini akan dilakukan dengan menempatkan syarat daya pembeda sebagai premis mayor. Yaitu eksistensinya ikut mempengaruhi dan menentukan pertimbangan syarat perlindungan merek yang lain.

17 Secara harafiah istilah emotional connection terdiri dari kata emotion yang berarti “strong feeling of any kind”, dan kata connection yang diartikan sebagai “the act of connecting” (Geddes and Grosset, English Dictionary, David Dale House: Scotland, 2002). Sehingga pengertian lain tentang emotional connection adalah suatu perbuatan yang berdasarkan pada ikatan emosional yang disebut respon.

18 Martin Lindstrom, BRAND sense: Build Powerful Brands Through Touch, Taste, Smell,

(9)

Saya menegaskan bahwa merek non-tradisional memiliki daya pembeda sehingga harus dilindungii sebagai merek dagang di Indonesia. Konsep pembedaan tersebut bersifat membangun hubungan emosional (emotional connection) antara merek suatu barang dengan konsumen yang akan membeli barang. Dalam kaitannya dengan penampilan membingungkan dan grafis, merek non-tradisional berdasarkan functionality doctrine adalah tidak bersifat fungsional melainkan memiliki keadaan khusus. Yaitu tetap hadir secara subtansial sebagai pembeda sekalipun pada saat bersamaan bersifat features barang dan jasa. Pembedaan tersebut diakukan secara unik dan menarik, yang dalam hukum merek disebut pembedaann dengan sifat

“fanciful”. Dalam semangat tersebut, saat ini Indonesia membutuhkan pengaturan

yang tepat tentang pengertian Merek. yaitu dengan tidak mendasarkan pada penampilan grafis karena justru akan menghalangi perlindungan BBA. Melainkan pengaturan perlindungan merek dagang yang berbasis pada daya pembeda.

B. Rumusan Masalah

Berpijak pada uraian di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah: Apakah merek nontradisonal memiliki daya pembeda, sehingga dapat dilindungii sebagai merek?

C. Tujuan

(10)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan melalui penelitian ini dari segi teoritis adalah untuk memperjelas makna daya pembeda dalam hukum merek, terkait dengan merek nontradisonal. Sementara itu, pada tataran praktis akan membantu legislator dalam penyusunan materi muatan Undang-Undang Merek kedepannya (ius constituendum) agar lebih progresif dengan perkembangan perdagangan barang dan jasa.

E. Metode Penelitian

(11)

konsep daya pembeda yang berbasis hubungan emosional pada merek nontradisonal.

F. Sistematika Penulisan

Referensi

Dokumen terkait

Pengendalian dalam proyek konstruksi pada umumnya menyangkut tiga aspek utama, yaitu, biaya, waktu dan SDM.Didalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi, perencanaan

LANGKAH – LANGKAH Memprakars ai dan menyepakati suatu proses perencanaan stratejik Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan Mengidentifik asi mandat

Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana perjudian ditinjau dari hukum pidana positif Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 1 Undang-Undang

iv) Kalau tak biasa makan sarapan pada awal pagi, boleh makan makanan yang tinggi karbohidrat sebelum tidur sehari sebelum perlawanan contohnya bijirin, oat, roti sapu

Guru sebagai pendidik, pembimbing dan fasilitator bagi siswa dan juga merupakan seseorang yang paling sering berinteraksi dengan siswa- siswanya seharusnya seorang guru

Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penerapan kesepakatan damai melalui mediasi penal yang berkedudukan untuk menghentikan proses perkara

Melonggarkan otot bahu.Gunakan seutas getah, pegang kedua hujungnya, angkat sebelah tangan melepasi kepala dan sebelah lagi separas dengan bahu.. Angkat kedua

maka terbentuk 3 faktor namun karena dalam penelitian ini faktor yang. diperlukan hanya dua faktor yaitu verbal dan matematis maka