UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN SEKTOR PROPERTI
DAN REAL ESTAT YANG TERDAFTAR DI BEI TAHUN
2009-2013
Diajukan oleh:
Agust Hendra Silaban – 1206316761
Arie Pangestu Gazali – 1206316824
Frenda Nic Qomar Ernanto – 1206317266
Khaliful Azhar – 1206317543
Muhammad Septianniko Prasetio – 1206317713
Ratna Emilia - 1206317865
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI EKSTENSI AKUNTANSI
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237 juta jiwa, naik 31 juta jiwa apabila dibandingkan pada tahun 2000. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksi Indonesia akan menikmati bonus demografi pada tahun 2020 dan 2030, dimana rasio ketergantungan akan sangat rendah (sekitar 44 persen), dengan jumlah penduduk diperkirakan menjadi 268 juta jiwa dan 293 juta jiwa untuk masing-masing tahun tersebut. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dimaksud tidak dibarengi dengan peningkatan jumlah lahan yang dibutuhkan untuk penyediaan kebutuhan primer, yaitu perumahan.
Tingginya demand dan rendahnya supply menyebabkan booming pada sektor industri properti dan real estat. Setiap tahunnya, sektor ini mampu bertumbuh di atas 7%. Ditambah lagi, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menargetkan pembangunan 450.000 unit perumahan per tahun untuk mengatasi kekurangan (backlog) yang saat ini sudah mencapai 15.000 unit rumah. Tidak heran, pihak asing juga tertarik untuk berinvestasi pada sektor ini. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian, terdapat 678 proyek real estat yang berasal dari Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk ke Indonesia dalam kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2014, dengan total nilai proyek sebesar US$2.546,6 juta selama kurun waktu tersebut.
2
pemasaran yang biasanya “dibarengi” dengan proses konstruksi. Panjangnya proses yang diperlukan sebelum properti dan real estat siap untuk diserahkan ke tangan konsumen tentunya membutuhkan modal yang sangat besar. Dari uraian sebelumnya, proses pembebasan lahan dan konstruksi merupakan dua proses yang paling banyak membutuhkan dana.
Besarnya dana yang dibutuhkan oleh sektor ini untuk dapat beroperasi menarik perhatian Penulis. Dana tersebut dapat berasal dari internal perusahaan maupun dari eksternal, berupa penerbitan surat utang maupun saham. Dalam pencarian dan penggunaan sumber dana untuk membiayai kegiatan dan proses konstruksi dimaksud, tentunya faktor leverage perusahaan menjadi penting untuk dilihat. Frank dan Goyal (2009) menilai median industry leverage, market-to-book assets ratio, tangibility, profits, log of assets, dan inflasi merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan market leverage, sedangkan firm size, market-to-book ratio, dan inflasi tidak cukup reliable dalam menentukan book leverage di Amerika. Chang, Chen, dan Liao (2014) menambahkan growth, state control, dan pengaruh pemegang saham terbesar sebagai faktor yang dapat memengaruhi struktur modal di China. Sementara Jong, Kabir, dan Nguyen (2008) yang melakukan penelitian berdasar global dataset dari 42 negara membedakan pengaruh langsung dan tidak langsung dari faktor-faktor tersebut terhadap leverage effect perusahaan, dengan menambahkan beberapa faktor lain seperti tingkat pajak, risiko, maupun pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis mengajukan penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal Perusahaan Sektor Properti dan Real Estat yang Terdaftar di BEI Tahun 2009-2013”.
1.2. Perumusan Masalah
telah dibuktikan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya. Sedangkan, untuk variabel dependen adalah struktur modal perusahaan yang dalam penelitian ini diukur dengan leverage.
Selanjutnya, dari variabel-variabel tersebut disusun 7 (tujuh) pertanyaan pokok dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh ukuran perusahaan (firm size) terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
2. Apakah terdapat pengaruh profitabilitas (profitability) terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
3. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan perusahaan (firm growth) terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
4. Apakah terdapat pengaruh tangibilitas aset (asset tangibilit)y terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
5. Apakah terdapat pengaruh tingkat pajak terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
6. Apakah terdapat pengaruh tingkat inflasi terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
7. Apakah terdapat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis pengaruh ukuran perusahaan (firm size) terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
2. Menganalisis pengaruh profitabilitas (profitability) terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
3. Menganalisis pengaruh pertumbuhan perusahaan (firm growth) terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013. 4. Menganalisis pengaruh tangibilitas aset (asset tangibility) terhadap struktur
modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
5. Menganalisis pengaruh tingkat pajak terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
6. Menganalisis pengaruh tingkat inflasi terhadap struktur modal perusahaan sektor properti dan real estat tahun 2009-2013.
4
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan melihat pengaruh dari karakteristik perusahaan yang bersifat company-specific dan faktor makroekonomi terhadap struktur modal perusahaan properti dan real estat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Pengembangan ilmu pengetahuan yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat lebih mengingat selain faktor-faktor yang bersifat company specific yang akan diuji pengaruhnya terhadap struktur modal perusahaan, penelitian ini juga melibatkan variabel indikator makroekonomi.
2. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator di bidang pasar modal untuk dapat mengetahui sejauh mana karakteristik perusahaan dan faktor makroekonomi mempengaruhi struktur modal perusahaan properti dan real estat sehingga pengambilan kebijakan di sektor tersebut dapat lebih efektif terkait dengan struktur permodalannya.
3. Para pengusaha/emiten sektor properti dan real estat sebagai bahan kajian dan analisis atas struktur modalnya sehingga dapat menempuh langkah-langkah antisipatif atau korektif atas operasional perusahaan dalam mencapai sasarannya.
4. Para Peneliti, untuk dapat melengkapi berbagai penelitian terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan.
5. Bagi Penulis, untuk menambah wawasan mengenai konsep hubungan antara karakteristik perusahaan yang bersifat company-specific dan faktor makroekonomi terhadap struktur modal perusahaan.
1.5. Sistematika Pembahasan
Skripsi akan disusun dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan gambaran umum tentang penelitian. Penjelasan tersebut mencakup uraian mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan.
Bab ini akan menguraikan teori-teori serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang melandasi permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian dan pengembangan hipotesis.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan secara terinci menggambarkan kerangka pemikiran, metode pemilihan sampel, model penelitian beserta operasionalisasi variabel, serta pengolahan data atas sumber data yang telah ada. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menjabarkan deskripsi data hasil penelitian dengan melaporkan hasil penelitian, pengujian hipotesis, dan pembahasan atas penelitian yang telah dilakukan.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Properti dan Real Estat
2.1.1. Definisi Properti dan Real Estat
Definisi properti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
“harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yg merupakan bagian yang tidak terpisahkan dr tanah dan/atau bangunan yg dimaksudkan; tanah milik dan bangunan”
Menurut Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor 05/KPTS/BK4PN/1995 tanggal 23 Juni 1995 :
“Properti (real property) adalah tanah hak dan atau bangunan permanent yang menjadi objek pemilik dan pembangunan”
Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI) 2007, pengertian real properti adalah hak perseorangan atau badan untuk memiliki, dalam arti menguasai tanah dengan suatu hak atas tanah, misalnya hak milik atau hak guna bangunan berikut pengembangan yang melekat padanya. Misalnya tanah, bangunan dan sarana pelengkapnya.
Dari definisi-definisi tersebut, properti merupakan istilah yang menyangkut hubungan hukum antara objek dengan subjek yakni adanya hak atau kepemilikan atas tanah dan semua benda yang menyatu di atasnya.
Oxford English Dictionary online mendefinisikan real estat sebagai berikut : "property consisting of land and the buildings on it, along with its
natural resources such as crops, minerals, or water; immovable property of this nature; an interest vested in this (also) an item of real property; (more generally) buildings or housing in general. Also: the business of real estate; the profession of buying, selling, or renting land, buildings or housing."
Dari definisi tersebut, real estat merupakan istilah yang melekat kepada objek yakni properti yang terdiri dari tanah dan semua benda yang menyatu di atasnya.
2.1.2. Perkembangan Sektor Properti dan Real Estat di indonesia
didorong oleh meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal, peningkatan kebutuhan akan tempat usaha, maupun keinginan masyarakat untuk berinvestasi di bidang properti.
Data Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) menunjukkan bahwa penyaluran kredit properti yakni kredit yang diberikan kepada kontraktor untuk pembangunan perkantoran, perhotelan, rumah, dan pertokoan, kredit real estat, serta kredit kepada perorangan untuk kepemilikan serta pemugaran rumah sampai dengan Triwulan 2014 (data November 2014) mencapai Rp.584,04 triliun.
Gambar 2.1
Perkembangan Kredit Properti Bank Umum
Sumber: Bank Indonesia, Survei Perkembangan Properti Komersil Triwulan IV-2014
Grafik di atas menunjukkan perkembangan kredit properti bank umum di Indonesia mulai tahun 2011 sampai dengan bulan November 2014 yang terus mengalami peningkatan.
8
2.2. Karakteristik Industri Sektor Properti dan Real Estat 2.2.1. Gambaran Umum Aktivitas Industri
Aktivitas pengembangan subsektor industri Real Estate adalah kegiatan perolehan tanah untuk kemudian dibangun perumahan dan atau bangunan komersial dan atau bangunan industri. Bangunan tersebut dimaksudkan untuk dijual atau disewakan, sebagai satu kesatuan atau secara eceran (retail). Aktivitas pengembangan ini juga mencakup perolehan kapling tanah untuk dijual tanpa bangunan. Secara spesifik, aktivitas subsektor industri Real Estate lebih mengarah pada kegiatan pengembangan perumahan konvensional berikut sarana pendukung berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial. Di sisi lain, aktivitas subsektor industri properti lebih mengarah pada kegiatan pengembangan bangunan hunian vertikal (antara lain apartemen, kondominium, rumah susun), bangunan komersial (antara lain perkantoran, pusat perbelanjaan) dan bangunan industri. Dari segi pengelolaan, subsektor industri Real Estate cenderung lebih bebas karena adanya pemindahan hak kepemilikan dari pengembang kepada pemilik bangunan (penghuni pemukiman) sehingga pemeliharaan dan pengelolaan bangunan diserahkansepenuhnya kepada pemilik yang bersangkutan, sedangkan subsektor industri propertilebih memiliki ketergantungan dalam hal pemeliharaan dan pengelolaan bangunan miliknya. Dari segi pendapatan, pendapatan subsektor industri Real Estate diperoleh dari penjualan dan peningkatan harga tanah, sedangkan pendapatan subsektor industri properti berasal dari penjualan, penyewaan, pengenaan service charge, dan lain-lain.
2.2.2. Risiko Industri
Siklus operasi normal perusahaan pengembang pada umumnya lebih dari satu tahun dan dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian yang cukup tinggi. Banyak risiko yang mungkin timbul dalam aktivitas subsektor industri Real Estate, di antaranya adalah :
1. Risiko Keberadaan Tanah
b. Ketergantungan pada kebijakan pemerintah dalam pengembangan perumahan masyarakat.
2. Risiko Gugatan Hukum
Dalam proses pembebasan tanah, kemungkinan akan timbul sanggahan-sanggahan atas keabsahan hak atas tanah, antara lain disebabkan karena Indonesia menganut sistem negatif untuk sistem pendaftaran tanah. Untuk mengurangi timbulnya sengketa tanah, dalam melakukan pembebasan tanah perusahaan subsektor industri Real Estate harus bertindak hati-hati dengan meneliti kebenaran dan keaslian dokumen-dokumen tanah pada instansi yang berwenang serta wajib mengadakan pemeriksaan fisik tanah.
3. Peraturan Pihak Terkait
Industri Real Estate memiliki posisi yang strategis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dan pelaku bisnis serta keterkaitannya dengan masalah lingkungan dan politik sehingga menjadi obyek regulasi. Keberadaan dan perubahan dalam regulasi ini akan secara langsung mempengaruhi operasi industri.
4. Risiko berfluktuasinya nilai tukar rupiah
Sebagaimana dalam industri lain, perusahaan memiliki risiko mengalami kerugian atas transaksi valuta asing (misal : pembelian peralatan untuk pembangunan dan bahan baku dalam valuta asing secara kredit) yang terjadi karena perubahan naiknya kurs valuta asing.
5. Risiko Pemogokan atau kerusuhan (riot)
Terjadinya pemogokan atau kerusuhan (riot) dapat terjadi antara lain karena ketidakpuasan karyawan terhadap kompensasi yang diterima, kondisi perekonomian, atau kondisi politik yang tidak stabil.
6. Risiko leverage (leverage risk)
Risiko-risiko yang terkait pada kewajiban perusahaan karena pendanaan yang berasal dari luar perusahaan (external financing).
7. Risiko tidak tertagihnya piutang (accounts receivable risk)
10
Struktur modal merupakan kombinasi utang jangka panjang dan ekuitas perusahaan (Gitman dan Zutter, 2012). Struktur modal terkait dengan cara perusahaan memenuhi kebutuhan pendanaannya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, struktur modal suatu perusahaan berasal dari 2 (dua) sumber utama yaitu sumber internal dan sumber eksternal (utang dan ekuitas). Perbedaan utama dari sumber modal perusahaan yang berupa utang dan ekuitas terletak pada hak suara relatif, klaim atas pendapatan dan aset, maturity, dan perlakuan pajak. Perbedaan-perbedaan dimaksud dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Perlakuan Pajak Beban bunga menjadi pengurang
Bukan pengurang
Sumber: Gitman dan Zutter, 2012, p.267
Terdapat beberapa teori yang mendasari penelitian-penelitian terkait struktur modal, antara lain teori Modigliani-Miller, teori Trade Off, dan teori Pecking Order.
2.3.1. Teori Modigliani-Miller
tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya (Brigham dan Ehrhardt, 2012). Asumsi yang digunakan dalam studi Modigliani dan Miller tersebut adalah:
1) Tidak ada biaya broker 2) Tidak ada pajak
3) Tidak ada biaya kebangkrutan
4) Investor dapat meminjam dengan tingkat bunga yang sama dengan perusahaan
5) Semua investor memiliki informasi yang sama dengan manajemen tentang peluang investasi perusahaan di masa depan
6) EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang
Salah satu asumsi yang digunakan di atas adalah ketiadaan pajak. Dalam praktiknya ketiadaan pajak ini sulit ditemukan atau diterapkan sehingga pada tahun 1963, Modigliani dan Miller menerbitkan artikel Corporate Income Taxes and the Cost of Capital: A Correction. Dalam artikel dimaksud, Modigliani dan Miller membuktikan bahwa dalam hal terdapat pajak, maka nilai perusahaan akan meningkat. Peraturan perpajakan memperbolehkan pembayaran beban bunga sebagai deductible expense sedangkan pembayaran dividen bukan merupakan faktor pengurang. Perlakukan yang berbeda ini menimbulkan kecenderungan penggunaan utang dalam struktur modal perusahaan karena utang dapat berfungsi sebagai shield atas laba perusahaan sehingga nilai perusahaan meningkat.
2.3.2. Teori Trade-Off
12
Kondisi di atas mendorong lahirnya teori trade-off. Menurut trade-off teory yang diungkapkan oleh Myers (1984), rasio utang yang optimal bagi perusahaan ditentukan melalui adanya trade off antara biaya dan manfaat dari penggunaan utang, dengan menganggap bahwa aset perusahaan dan rencana investasi tetap. Dalam teori ini, perusahaan akan mensubstitusi utang dengan ekuitas atau ekuitas dengan utang hingga nilai perusahaan maksimal.
Penentuan struktur modal yang optimal menurut teori trade-off memperhatikan beberapa faktor seperti pajak, biaya keagenan (agency cost), dan biaya kesulitan keuangan (cost of financial distress). Tingkat utang yang optimal dapat tercapai jika manfaat dari penghematan pajak (tax shield) seimbang dengan biaya kesulitan keuangan (terjadi trade-off).
2.3.3. Teori Pecking Order
Teori Pecking Order menyatakan bahwa perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki) dalam pendanaannya. Dalam Brealey, Myers, dan Allen (2011) teori Pecking Order menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1) Perusahaan lebih memilih menggunakan sumber dana internal daripada eksternal.
2) Perusahaan menyesuaikan target dividennya dengan peluang investasi. Di sisi lain, perusahaan mencoba menghindari perubahan dalam pembayaran dividen secara drastis.
3) Terdapat kebijakan deviden yang sticky. Kebijakan dividen ini, digabungkan dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, menyebabkan arus kas yang diterima perusahaan lebih besar daripada pengeluaran investasi perusahaan pada saat-saat tertentu dan di saat yang lain, arus kas yang diterima perusahaan lebih kecil daripada pengeluaran investasinya. Jika arus kas masuk lebih besar, perusahaan akan membayar utang atau membeli surat berharga. Sebaliknya, jika arus kas masuk lebih kecil, perusahaan akan menggunakan kas atau menjual surat berharga yang dimiliki.
terendah. Setelah itu, perusahaan akan memilih yang lebih beresiko antara lain sekuritas hybrid seperti obligasi konversi dan terakhir saham biasa sebagai last resort.
Pecking order theory tidak menetapkan target struktur modal atau kombinasi utang-ekuitas, namun menjelaskan urut-urutan pendanaan. Pecking Order theory menjelaskan bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung memiliki tingkat utang yang rendah. Hal tersebut bukan karena target rasio utang dari perusahaan yang rendah melainkan karena perusahaan memerlukan sumber pendanaan eksternal yang lebih sedikit.
2.4. Penelitian Terdahulu
Jong et al (2008) melakukan penelitian secara cross country (42 negara) atas faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan tahun 1997-2001 dengan jumlah perusahaan sebanyak 11.845 perusahaan. Dalam penelitiannya dimaksud, Jong et al (2008) mempergunakan 2 kelompok variabel independen yaitu firm-specific dan country–specific yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel dependen yaitu leverage. Untuk faktor firm-specific, digunakan variabel tangibilitas aset, risiko perusahaan, ukuran perusahaan, beban pajak, pertumbuhan perusahaan, profitabilitas, dan likuiditas perusahaan. Untuk faktor country-specific digunakan variabel efisiensi sistem hukum, aturan hukum, legalitas, tingkat korupsi, penegakan hukum, perlindungan terhadap kreditor, perkembangan pasar obligasi, perkembangan pasar saham, perlindungan terhadap pemegang saham, sistem keuangan bank dan pasar, formasi modal, dan pertumbuhan GDP.
14
Degryse et al (2012) juga melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal dengan sampel perusahaan Small and Medium Enterprise (SME) di Belanda periode 2003-2005. Variabel dependen yang digunakan Degryse et al (2012) meliputi ukuran perusahaan, asset tangibility, aset intangible, net debtors, ROA, pertumbuhan aset perusahaan, tingkat pajak efektif, dan tingkat depresiasi. Penelitian tersebut menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan SME di Belanda konsisten dengan teori pecking order. SME di Belanda mempergunakan profitabilitas untuk mengurangi tingkat utang dan SME yang memiliki pertumbuhan yang tinggi akan menambah jumlah utangnya karena kebutuhan pendanaan yang besar.
Penelitian Koksal dan Orman (2014) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal atas perusahaan non keuangan yang terdaftar di bursa Turki periode 1996-2009. Koksal dan Orman (2014) mempergunakan variabel independen ukuran perusahaan, profitabilitas, tangibilitas aset, pertumbuhan perusahaan, risiko industri, beban pajak, tingkat inflasi, pertumbuhan GDP, dan arus modal. Penelitian Koksal dan Orman (2014) membuktikan hasil yang sejalan dengan teori trade-off . Walaupun teori trade off mampu menjelaskan lebih baik daripada teori pecking order, penggunaan teori pecking order menurut Koksal dan Orman baik digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor struktur modal untuk perusahaan-perusahaan yang ukurannya relatif lebih kecil.
2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal
Dengan mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan Orman (2014), struktur modal dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan perhitungan leverage. Perhitungan leverage tersebut dirumuskan sebagai berikut:
Leverage=Total Debt
Total Asset
Berdasarkan Gitman dan Zutter (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan struktur modal perusahaan antara lain:
1. Stabilitas pendapatan
Perusahaan yang memiliki pendapatan yang lebih stabil (volatilitasnya tidak terlalu jauh) dapat lebih aman mengambil kebijakan tingkat leverage yang tinggi. Penggunaan leverage yang optimal akan mampu memaksimalkan tingkat return yang diterima perusahaan.
2. Cash flow
Dalam menentukan kebijakan struktur modal, suatu perusahaan harus mempertimbangkan kemampuannya untuk menggenerate cash flow sehingga dapat memenuhi kewajiban-kewajiban perusahaan.
3. Preferensi manajemen
Struktur modal perusahaan dapat dipengaruhi juga oleh tingkat risiko yang bersedia ditanggung manajemen. Manajemen memiliki batasan-batasan risiko yang dapat diterima jika perusahaan menambah jumlah utangnya.
4. Penilaian risiko eksternal
Perusahaan harus mempertimbangkan dampak dari keputusan struktur modal perusahaan berupa penerbitan saham atau penambahan jumlah utang kepada investor dan pemberi pinjaman. Selain itu, perusahaan juga harus mempertimbangkan dampak keputusan tersebut terhadap harga saham perusahaan dan rating risiko atas kemampuan perusahaan dalam membayar kembali pinjamannya.
5. Timing
Kondisi ekonomi secara makro dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan terkait struktur modal. Pada saat suku bunga tinggi, perusahaan lebih memilih menerbitkan ekuitas. Sebaliknya, pada saat suku bunga pinjaman rendah, perusahaan cenderung memperoleh pendanaan dengan melakukan pinjaman.
Selanjutnya, mengacu kepada penelitian Koksal dan Orman (2014), faktor-faktor yang mempengaruhi leverage perusahaan sebagai indikator pengukuran struktur modal yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
16
Teori trade-off memprediksi bahwa terdapat hubungan yang positif antara ukuran perusahaan dan leverage karena perusahaan besar lebih terdiversifikasi dan memiliki risiko kebangkrutan yang rendah. Di sisi lain, teori pecking order memprediksi hubungan negatif antara ukuran perusahaan dan leverage karena perusahaan besar cenderung lebih mudah menerbitkan ekuitas dibandingkan perusahaan berskala kecil.
Jong et al (2008) meneliti tentang struktur modal secara cross-country, termasuk Indonesia, dan menemukan hasil bahwa firm size berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Degryse et al (2012). Penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan Orman (2014) juga menunjukkan kesesuaian dengan teori trade-off bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage.
2.5.2. Profitabilitas Perusahaan
Teori trade off memprediksi bahwa terdapat hubungan positif antara profitabilitas perusahaan dan leverage karena perusahaan yang lebih profitable memiliki risiko kebangkrutan yang rendah dan cenderung menggunakan utang untuk mendapatkan manfaat pengurangan pajaknya. Sedangkan, teori pecking order memprediksi hubungan negatif antara profitabilitas perusahaan dengan leverage dengan pertimbangan bahwa perusahaan yang lebih profitable cenderung menggunakan sumber pendanaan internal daripada eksternal.
Penelitian yang dilakukan Jong et al (2008) dengan pendekatan cross-country membuktikan bahwa secara umum profitabilitas perusahaan berpengaruh negatif terhadap leverage. Jong et al (2008) menjelaskan hal ini konsisten dengan teori pecking order bahwa perusahaan akan menggunakan retained earning-nya telebih dahulu sebelum beralih ke utang atau ekuitas. Sebelumnya, Deesomsak et al (2004) meneliti struktur modal perusahaan-perusahaan di 4 negara Asia-Pasifik, yaitu Thailand, Malaysia, Australia, dan Singapura dan memperoleh hasil bahwa profitabilitas berpengaruh negatif terhadap leverage. Hasil serupa juga ditunjukkan dalam penelitian Koksal dan Orman (2014).
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan positif antara asset tangibility dengan leverage. Hal ini didasarkan bahwa tangible asset lebih mudah dijadikan sebagai jaminan utang. Namun, teori pecking order memprediksi bahwa hubungan antara tangibility dan leverage adalah negatif. Hal ini disebabkan tingkat asimetri informasi untuk tangible asset tergolong rendah sehingga memudahkan perusahaan menerbitkan ekuitas.
Hasil penelitian dari Koksal dan Orman (2014) mendukung teori trade-off bahwa terdapat hubungan positif antara asset tangibility dan leverage. Penelitian yang dilakukan oleh Huang dan Song (2006) atas struktur modal perusahaan-perusahaan di China juga menunjukkan hasil serupa.
2.5.4. Pertumbuhan Perusahaan
Teori trade off memprediksi terdapat hubungan negatif antara firm growth dengan leverage. Perusahaan yang mempunyai peluang pertumbuhan sebagaimana tercermin dalam kepemilikan intangible asset cenderung memiliki tingkat utang yang rendah karena intangible asset tidak dapat dijadikan pinjaman utang. Sebaliknya, teori pecking order mengasumsikan terdapat hubungan positif antara firm growth dengan leverage karena sumber dana internal tidak mencukupi untuk investasi perusahaan sehingga perusahaan meningkatkan jumlah utangnya.
Penelitian yang dilakukan Chen (2004) dan Tong dan Green (2005) atas struktur modal perusahaan-perusahaan di China mendapatkan hasil hubungan positif antara firm growth dengan leverage sehingga sejalan dengan teori pecking-order. Namun, hasil berbeda didapatkan dari penelitian Deesomsak et al (2004) yang menunjukkan terdapat hubungan negatif antara firm growth dengan leverage di negara Thailand, Malaysia, dan Singapura sedangkan hubungan positif antara firm growth dengan leverage terjadi di Australia.
2.5.5. Tingkat Pajak
18
2.5.6. Inflasi
Data empiris menunjukkan bahwa dalam teori trade off diprediksi bahwa tingkat inflasi memiliki hubungan positif dengan tingkat leverage (Koksal dan Orman, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Koksal dan Orman (2014) menunjukkan hasil yang mendukung teori tersebut.
2.5.7. Pertumbuhan Ekonomi
Koksal dan Orman (2014) menyatakan bahwa dalam lingkungan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelangkaan atas tangible aset perusahaan relatif terhadap peluang investasi yang tersedia berdampak pada penurunan nilai yang lebih besar ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Oleh karena itu, trade off theory memprediksi terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan leverage. Sebaliknya, teori pecking order memprediksi hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan leverage karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan kebutuhan pendanaan eksternal yang besar bagi perusahaan.
2.6. Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal perusahaan sebagaimana telah diuraikan pada bagian 2.4, hipotesis yang dikembangkan dan akan diuji dalam penelitian ini meliputi:
1. Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Leverage Perusahaan
perusahaan dengan tingkat leverage. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis pertama yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
2. Pengaruh Profitabilitas terhadap Leverage Perusahaan
Perusahaan yang profitable mmapu menggenerate penggunaan aset-asetnya secara lebih baik dalam tujuannya mencapai laba. Dari laba yang dihasilkannya tersebut, perusahaan cenderung menggunakan sumber pendanaan internal daripada eksternal sehingga leverage perusahaan lebih rendah. Penelitian yang dilakukan Jong et al (2008) dan Koksal dan Orman (2014) menghasilkan simpulan yang sejalan dengan teori tersebut sehingga hipotesis kedua yang diuji dalam penelitian ini adalah:
H2: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap leverage perusahaan
3. Pengaruh Tangibilitas Aset terhadap Leverage Perusahaan
Aset berwujud lebih mudah dijadikan sebagai jaminan pengembalian utang daripada aset tidak berwujud. Semakin banyak suatu aset berwujud dimiliki perusahaan maka semakin besar pula kecenderungan perusahaan tersebut untuk menambah jumlah utangnya menurut teori trade-off. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Huang dan Song (2006) dan Koksal dan Orman (2014). Berdasarkan hal tersebut, hipotesis ketiga yang diuji adalah:
H3: Tangibilitas aset berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
4. Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Leverage Perusahaan
20
penelitian Chen (2004) dan Tong dan Green (2005) bahwa terdapat pengaruh positif antara pertumbuhan perusahaan dan tingkat leverage. Dengan demikian, hipotesis keempat dirumuskan:
H4: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap leverage perusahaan
5. Pengaruh Tingkat Pajak terhadap Leverage Perusahaan
Peraturan pajak memperkenankan beban bunga utang sebagai pengurang kewajiban pembayaran pajak. Penelitian Koksal dan Orman (2014) menyimpulkan hasil yang mendukung hal tersebut bahwa terdapat pengaruh positif antara tingkat pajak dengan leverage perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis kelima dirumuskan:
H5: Tingkat pajak berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
6. Pengaruh Tingkat Inflasi terhadap Leverage Perusahaan
Berdasarkan data empiris dan hasil penelitian Koksal dan Orman (2014) ditunjukkan bahwa tingkat inflasi mempunyai hubungan positif dengan leverage. Dengan demikian, hipotesis keenam dinyatakan:
H6: Tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan
7. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Leverage Perusahaan
Koksal dan Orman (2014) mengemukakan bahwa dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kelangkaan atas tangible asset relatif terhadap peluang investasi yang tersedia berdampak pada penurunan nilai yang lebih besar ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Berdasarkan hal tersebut, hipotesis ketujuh dinyatakan:
H7: Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap leverage
perusahaan
Hipotesis di atas dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
Tabel 2.2
Variabel Penelitian dan Prediksi Hipotesis
Uraian Predicted Sign
Leverage
Variabel Independen
Firm Size +
Profitability +
Asset Tangibility +
Firm Growth ?
Tingkat Pajak +
Tingkat Inflasi +
Economic Growth