• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Yuridis Perbuatan Pidana Dan Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2239 K Pid.Sus 2012)"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FORMULASI PERBUATAN PIDANA DAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN

A. Perbuatan Pidana dalam Lingkup Perpajakan

Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagaimana dinamakan

“Perbuatan Pidana” juga disebut orang dengan “delik”. Menurut wujudnya atau sifatnya,

perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan ini juga merugikan

masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam

pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan

pidana adalah perbuatan yang antisosial.43

Dalam literatur Hukum Pajak belum dilahirkan secara tegas definisi dari Tindak

Pidana Perpajakan baik oleh para ahli maupun akademisi dan dalam undang-undang pajak

sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan Tindak Pidana Perpajakan.

Berikut pendapat beberapa ahli tentang definisi Pajak dan Hukum Pajak :

Menurut Rochmat Sumitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan

undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik

(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar

pengeluaran umum.44

Menurut P.J.A. Adriani, Guru Besar Hukum Pajak Universitas Amsterdam

mengatakan bahwa Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi

kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai

43 Bachtiar Agus Salim dalam Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia (Yogyakarta, Liberty,

1988), Hlm. 107.

(2)

pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara harus menyelenggarakan

pemerintahan.45

Tindak Pidana Perpajakan merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam

Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lex Specialis)46. Segala bentuk

pelanggaran ataupun kejahatan yang termasuk delik47 perpajakan harus diadili berdasarkan

undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku serta peraturan terkait

lainnya.

Tindak Pidana Pajak adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan tindak

kejahatan di bidang perpajakan, yang pelakunya dapat dikenakan Hukum Pidana sesuai

ketentuan undang-undang yang berlaku. Biasanya, kejahatan perpajakan ini dilakukan tanpa

kekerasan, sehingga kejahatan ini masuk dalam kelompok kejahatan jenis Concursus Idealis,

artinya memiliki basis dasar dari kejahatan tertentu seperti : Penggelapan, Penipuan,

Pemalsuan, Pencurian dan sebagainya.48

Dalam UU Perpajakan tidak dijelaskan apa yang dimaksud Tindak Pidana pajak,

namun demikian dalam kepustakaan hukum dapat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

tindak pidana (delict) adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana. Apabila ketentuan yang dilanggar berkaitan dengan Undang-undang perpajakan,

disebut dengan tindak pidana pajak dan pelakunya dapat dikenakan hukum pidana (termasuk

yang diatur dalam undang-undang pajak) sebenarnya merupakan senjata pamungkas (terakhir)

atau Ultimum Remedium yang akan diterapkan apabila sanksi administrasi dirasa belum

cukup untuk mencapai penegakan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh

45 Boediono. B, Op. Cit., hlm 8.

46 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Hlm. 8.

47 Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap

undang-undang tindak pidana.

48 Rochim, Modus Operandi Tindak Pidana Pajak dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan,

(3)

karenanya, tidak heran apabila dalam undang-undang perpajakan juga mengatur masalah

ketentuan pidana.49

Undang-undang Penanaman Modal pula yang mengatur tentang pengertian Tindak

Pidana Perpajakan secara parsial. Dalam Penjelasan Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi Tindak

Pidana perpajakan adalah informasi yang tidak benar mengenai laporan yang terkait dengan

pemungutan pajak dengan menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga dapat

menimbulkan kerugian pada negara dan kejahatan lain yang diatur dalam undang-undang

yang mengatur perpajakan.50

Kapan seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana pajak? Jawaban atas

pertanyaan tersebut tentu baru dapat diketahui bila telah dilakukan pemeriksaan terlebih

dahulu oleh pemeriksa pajak dan diperoleh bukti-bukti bahwa Wajib Pajak benar melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 38 yang memuat unsur subjektif berupa karena

keaalpaan, unsur objektifnya : tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau menyampaikan

surat pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, merugikan keuangan negara

dan Pasal 39 yang memuat unsur subjektif yaitu dengan sengaja, dan unusr objektifnya : tidak

mendaftarkan diri atau tidak melaporkan usaha, menyalahgunakan NPWP, tidak

menyampaikan Surat pemberitahuan, menyampaikan Surat pemberitahuan yang isinya tidak

benar atau tidak lengkap, menolak dilakukan pemeriksaan, tidak menyelenggarakan

pembukuan di Indonesia, tidak menyimpan buku atau catatan pembukuan yang dikelola

secara elektronik, tidak menyetorkan pajak, dan merugikan keuangan negara.51

49 Wirawan B Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak (Jakarta : Salemba empat, 2004), Hlm 73-74. 50 Pasal 33 Ayat 3 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007.

(4)

Tindak Pidana52 di bidang Perpajakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh

wajib pajak pada umumnya berupa penghindaran terhadap pemungutan atau manipulasi atas

laporan pajak yang melanggar ketentuan hukum pajak dan/atau undang-undang perpajakan.

Perbuatan Pidana atau Tindak Pidana Perpajakan dalam lingkup perpajakan, meliputi :

1. Tindak Pidana oleh Aparat Pajak

Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh pihak fiskus dan diancam dengan sanksi

pidana terdapat dalam :

a. Pasal 34 UU KUP, ketentuan ini memuat larangan bagi pejabat memberitahukan

kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh

Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya guna menjalankan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan. Larangan tersebut juga berlaku bagi

tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam

pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pelanggaran

terharap ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 41 UU KUP yang menyatakan bahwa

Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan

sebagaimana dimaksud, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan

dendea paling banyak Rp 4.000.000. pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi

kewajibannya sebagaimana dimaksud diancam dengan pidana penjara paling lama

dua tahun dan denda paling banyak 10.000.000 tetapi, pejabat dan tenaga ahli yang

bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan, maupun pejabat dan

tenaga ahli yang memberikan keterangan kepada pihak lain ditetapkan oleh Menteri

Keuangan, dikecualikan dari ketentuan ini. Delik yang ini merupakan delik aduan.

b. Pasal 36 KUP, apabila petugas pajak dalam menghitung atau menetapkan pajak tidak

sesuai dengan UU Perpajakan yang berlaku sehingga merugikan negara, maka

52 Pompe, Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang

(5)

petugas pajak yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan

peraturan Undang-undang Perpajakan yang berlaku.

2. Tindak pidana oleh Wajib Pajak dan Penanggung Pajak

Tindak pidana yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dan Penanggung Pajak dan

diancam dengan sanksi pidana dapat dilihat dalam :

a. Pasal 38 UU KUP, pasal ini mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh

orang, yang karena kealpaannya tidak menyampaikan surat pemberitahuan, atau

menyampaikan Surat Pemberitahuan , tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga menimbulkan

kerugian negara. Ancaman pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana

tersebut adalah ancaman pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling

banyak dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

b. Pasal 39 UU KUP, Pasal ini mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh

setiap orang dengan sengaja :

1. Tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan, atau menggunakan tanpa hak Nomor

Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2; atau

2. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

3. menyampaikan surat pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap; atau

4. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

atau

5. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar; atau

6. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau

tidak meminjamkan buku catatan, atau dokumen lainnya; atau

7. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atai dipungut, sehingga dapat

(6)

Ancaman pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut di

atas adalah ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak empat

kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Ancaman pidana tersebut dilipat

duakan apabila seseorang mengulangi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu

tahun, terhitung sejak pidana penjara yang dijatuhkan selesai dijalani.

Setiap orang yang mencoba untuk menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau

menyampaikan Surat Pemberitahuan dan /atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak

lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak,

diancam dengan ancaman pidana penjara paling lama dia tahun dan denda paling banyak

empat kali jumlah restitusi yang dimohon dan/atau kompensasi yang dilakukan oleh wajib

pajak.

c. Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, UU ini memuat tentang perubahan atas UU

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berkaitan dengan

pasal ini , tindak pidana yang dimaksud adalah jika seseorang memberi atau

menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan

maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atai tidak

berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya atau

memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban yang dilakukan

atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Tindakan ini dikenakan ancaman pidana

penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda

paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 250.000.000.

d. Pasal 24-26 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No. 2 Tahun 1994, Pasal-pasal ini

(7)

24 menyatakan bahwa tindak pidana terjadi ketika suatu pihak yang karena

kealpaannya tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP (Surat Pemberitahuan Objek

Pajak) kepada Direktorat Jenderal Pajak atau menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak

benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga

menimbulkan kerugian keuangan negara. Sanksi yang diberlakukan terhadap pelaku

tindak pidana tersebut adalah ancaman pidana penjara paling lama enam bulan atau

denda paling tinggi sebesar dua kali pajak yang terutang.

e. Pasal 13 dan Pasal 14 UU No. 13 Tahun 1985, Bab V Pasal 13 dan Pasal 14 UU No.

13 Tahun 1985 mengatur tentang Bea Materai. Dalam pasal 13 UU tersebut

dinyatakan bahwa sanksi pidana dapat dikenakan pada orang yang :

1. meniru atau memalsukan materai tempel dan memalsukan tanda tangan yang

perlu untuk mengesahkan materai.

2. dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk mengedarkan atau

memasukkan ke Negara Indonesia materai palsu, yang dipalsukan, atai yang

dibuat dengan melawan hak.

3. dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan,

menyediakan untuk dijual, atau memasukkan ke Negara Indonesia materai

yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya, atau tanda waktunya

telah dihilangkan, seolah-olah materai itu belum dipakai dan/atau menyuruh

orang lain menggunakannya dengan melawan hak.

4. menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya

digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan

memalsukan benda materai.

5. Keempat hal tersebut merupakan ketentuan yang didasarkan pada KUHP

(Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

f. KUHP, di dalam KUHP ditentukan mengenai tindak pidana yang dapat berkaitan

dengan pajak, seperti penyuapan petugas pajak (Pasal 209), melawan perintah pejabat

yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan (Pasal 216), memberi keterangan lisan

(8)

253), menggunakan materai tempel yang telah digunakan (Pasal 260), membuka

rahasia jabatan (Pasal 322), dan sebagainya.

3. Tindak Pidana Oleh Pihak ke-3

Selain tindak pidana yang dapat dilakukan oleh aparat pemerintah selaku fiskus dan

anggota masyarakat selaku wajib pajak ataupun penanggung pajak, terdapat kemungkinan

tindak pidana dilakukan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai pihak

ketiga adalah pihak selain fiskus dan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Beberapa tindak

pidana yang dilakukan dapat dilakukan oleh pihak ketiga tersebut antara lain meliputi :

a.Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 41a jo. Pasal 35 Undang-undang tentang

Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan. Menurut ketentuan tersebut, apabila

dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan

keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor

administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan Wajib

Pajak yang diperiksa atau disidik, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal

Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.

Setiap orang yang menurut ketentuan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas

waji memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak

memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti yan gtiadk benar

dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling

banyak Rp 10.000.000. apabila Wajib Pajak mempunyai simpanan uang di bank

dalam bentuk giro atau deposito, yang datanya diperlukan oleh aparat pajak dalam

rangka pemeriksaan, maka pihak bank diwajibkan untuk memberitahukan kepada

aparat yang bersangkutan.

b.Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 41b Undang-undang Ketentuan Umum dan

(9)

menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat

dikenakan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak

Rp 10.000.000. tindakan menghalangi penyidikan dapat dilakukan, baik oleh Wajib

Pajak maupun pihak ketiga.

c.Selain kedua tindak pidana tersebut masih terdapat tindak pidana di bidang pajak

yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga, khususnya berkaitan dengan ketentuan bea

materai. Misalnya meniru atau memalsukan materai tempel dan kertas materai,

dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk mengedarkan atau memasukkan

ke Negara Indonesia berupa materai yang mereknya , capnya, tanda tangannya,

tanda sahnya, atau tanda waktu mempergunakannya telah dihilangkan seolah-olah

materai itu belum dipakai dan/atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan

melawan hak atau menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang

diketahuinya dapat digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru

dan memalsukan benda materai.

Perbuatan Pidana dibagi dalam dua bentuk. Yakni Pelanggaran dan Kejahatan.

Pelanggaran yaitu perbuatan pelaku tindak pidana perpajakan tanpa sengaja. Sedangkan,

kejahatan yaitu perbuatan pelaku tindak pidana perpajakan dengan sengaja.

Selain dari sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat

daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa53 :

1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja

2. Jika menghadapi kejahatan, maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan)

yang diperlukan di situ, harus dibuktikan oleh Jaksa. Sedangkan jika menghadapi

Pelanggaran, pembuktian tersebut tidak diperlukan. Berhubung dengan itu,

kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan yang dolus dan culpa.

(10)

3. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54 KUHP). Juga

pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP).

4. Tenggang kadaluarsa, baik untuk hak menentuakan maupun hak penjalanan pidana

bagi pelaggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut. Masing-masing

adalah satu dan dua tahun.

5. Dalam hal perbarengan (concursus), cara pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan

kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (Pasal

65, 66, 70).

Pasal 38 huruf a dan b UU KUP menentukan, bahwa setiap orang yang karena kealpaanya :

a. Tidak menyampaikan surat pemberitahuan; atau

b. Menyampaikan surat pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan

setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A,

didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang

dibayar atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama (satu)

tahun.

Pasal 39 ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i, ayat (2) dan (2) menentukan :

1. Setiap orang dengan sengaja :

a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

(11)

d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap;

e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak

memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau

pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang

dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga menimbulkan

kerugian pada pendapatan negara dpidana dengan pidana penjara paling singkat 6

(enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan denda paling banyak 4

(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua)

kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan

sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang

dijatuhkan.

3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana

menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau

menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau

(12)

permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)

tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau

kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah

resitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Sedangkan, tentang faktur pajak Pasal 39A huruf a dan b menentukan :

Setiap orang yang dengan sengaja :

a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang

sebenarnya, atau

b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,

dipidana dengan penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun

serta denda paling sedikit dua (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti

pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak dan paling

banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Berdasarkan ketentuan pidana perpajakan tersebut, maka uraian pasal 38 mengatur

tentang kealpaan (Culpa) yang terkait dengan Surat Pajak Tahunan (SPT), yang berhubungan

dengan Pasasl 13A UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Undang-undang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pasal 39 berkaitan dengan kesengajaan (Dolus) SPT, Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP), Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPKP), Pemeriksaan, Pembukuan,

Penyetoran Pajak, dan Pasal 39 ayat (2) terkait dengan Tindak Pidana Pengulangan

menentukan pidana akan ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila

(13)

terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. Pasal 39 ayat (3) terkait

dengan Tindak Pidana Percobaan, Pasal 39A terkait dengan Tindak Pidana Faktur Pajak.

1. Subjek Hukum Pidana

Menurut Riduan Syahrani, subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban

manusia, yaitu manusia dan badan hukum. 54 Yang dapat dimintai pertanggungjawaban

hukum disebut “subyek hukum” (legal subject), yang menurut pendapat Jimly Asshidiqie,

adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan

hukum. Subyek hukum dapat merupakan orang-perorangan (natuurlijk persoon atau

menselijk persoon), dan bukan orang (Recht Persoon).55

Tindak Pidana Perpajakan dilakukan oleh Wajib Pajak yang perbuatannya merupakan

Delik Pajak dan memenuhi unsur pidana perpajakan. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau

badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak

dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.56 Wajib Pajak terdiri dari Wajib Pajak Pribadi dan Wajib Pajak Badan, Badan

adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan

usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan

komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam

bentuk perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik atau organisasi lainnya,

lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha

tetap.57

Hukum tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum, dengan

demikian, disamping manusia, hukum masih membuat konstruksi fiktif yang kemudian

diterima, diperlakukan dan dilindungi seperti halnya ia memberikan perlindungan terhadap

54 Riduan Syahrani dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 78. 55 Jimly Asshiddiqie dalam Simon Nahak, Ibid. Hlm 78.

56 Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

57 Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdewawati Djafar, Kejahatan di Bidang Perpajakan (Jakarta:

(14)

manusia. Konstruksi yang demikian itu disebut Badan Hukum. Bagaimanapun juga,

perluasan fiktif tersebut tentulah dimaksud untuk mencapai tujuan tertentu dan dalam rangka

itulah hukum menciptakan suatu kepribadian yang baru tersebut. Badan yang diciptakannya

itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur

animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini

merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan

oleh hukum.58

Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan,

lebih-lebih di era globalisasi serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi baik yang

bersifat domestik maupun transnasional, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi

hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, yaitu

kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal

person) maupun bukan badan hukum. Dalam hal ini korporasi dapat dijadikan sarana untuk

melakukan tindak pidana (corporate criminal) dan dapat pula memperoleh keuntungan dari

suatu tindak pidana (crimes for corporation). Dengan dianutnya paham bahwa korporasi

adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non-badan

hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam

hukum pidana (corporate criminal responsibility).59

Subjek hukum pidana korporasi, perumusannya lebih luas bila dibandingkan dengan

pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum pidana pengertian korporasi

bisa berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum. Muladi memberikan contoh : firma

dan CV (Perseroan Komanditer) merupakan bentuk badan usaha yang bukan badan hukum.

Suatu perkumpulan yang bukan badan hukum, tidak memerlukan syarat pengesahan akta

pendirian oleh pemerintah. Tidak semua badan usaha berbadan hukum, badan usaha yang

(15)

dikategorikan sebagai badan hukum adalah : PT, Yayasan, Koperasi, BUMN dan bentuk

badan usaha lain yang anggaran dasarnya disahkan oleh Menteri dan diumumkan dalam

berita negara, sedangkan UD, PD, Firma dan CV adalah badan usaha yang bukan badan

hukum.60

Recht persoon biasa disebut badan hukum yang merupakan persona ficta atau orang

yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Pandangan demikian dianut oleh Carl von

Savigny, C.W. Opzoomer, A.N Houwing, dan Langemeyer. Oleh karena itu, badan hukum

adalah hanya fiksi hukum, dan pendapat ini disebut teori fiktif atau teori fiksi.61.

Menurut UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

perubahan ketiga atas UU No. 16 Tahun 1983 menyatakan adanya beberapa pihak yang dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana apabila terjadi tindak pidana di bidang perpajakan

meliputi62 :

a. Wajib pajak orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan

pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan (Pasal 1 ayat (2),

Pasal 13A, 38, 39, 39A, 40).

b. Pegawai (/Pejabat (Pasal 34, 36A ayat (3) dan ayat (4), 41 ayat (1) dan ayat (2).

c. Badan, sekumpulan orang/modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan

usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseoran terbatas,

perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan

Usaha Milik Daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana

pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial

politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak

invetasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 32, 38, 39, 39A).

60 Ibid,. Hlm 26. 61 Ibid.

(16)

d. Pihak ketiga meliputi bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor

administrasi, instansi pemerintah, lembaga asosiasi (Pasal 35 dan 35A)

e. Setiap orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang

perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda..

(Pasal 41B).

Dalam lingkup tindak pidana di bidang perpajakan, yang berposisi sebagai pihak yang

dapat dimintai pertanggung jawaban pidana adalah Wajib Pajak, baik seseorang maupun

badan hukum/korporasi yang di dalamnya terdapat subyek hukum orang dan subyek hukum

badan hukum. Akan tetapi yang diwajibkan untuk dibuktikan unsur kesalahan kepada

pelakunya hanyalah subjek hukum orang yang memiliki akal untuk menentukan kehendaknya.

2. Unsur Perbuatan Pidana

Tidak dapat dijatuhkan pidana karena suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam

rumusan delik. Ini tidak berarti bahwa selalu dapat dijatuhi pidana kalau perbuatan itu

tercantum dalam rumusan delik. Untuk itu diperlukan dua syarat : Perbuatan itu bersifat

melawan hukum dan dapat dicela. Dengan demikian, rumusan pengertian Perbuatan Pidana

menjadi jelas : suatu perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang

lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.63

Perbuatan Manusia : bukan mempunyai keyakinan atau niat, tetapi hanya melakukan

atau tidak melakukan, dapat dipidana. Yang juga dianggap perbuatan manusia adalah

perbuatan badan hukum. Dalam lingkup rumusan delik, semua unsur rumusan delik yang

tertulis harus dipenuhi.

Bersifat Melawan Hukum : Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur rumusan

delik yang tertulis (misalnya, sengaja membunuh orang lain) tidak dapat dipidana kalau tidak

(17)

bersifat melawan hukum (misalnya, sengaja membunuh tentara musuh oleh seorang tentara

dalam perang).

Dapat Dicela : Suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang tertulis dan

juga bersifat melawan hukum, namun tidak dapat dipidana kalau tidak dapat dicela pelakunya.

Sifat melawan hukum dan sifat dapat dicela itu merupakan syarat umum untuk dapat

dipidananya perbuatan, sekalipun tidak disebut dalam rumusan delik. Inilah yang dinamakan

unsur di luar undang-undang.

Antara petindak dan suatu tindakan yang terjadi harus ada hubungan kejiwaan

(psychologisch), selain daripada penggunaan salah satu bagian tubuh, panca-indera atau alat

lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan. Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian

rupa, dimana petindak dapat menilai tindakannya, dapat menentukan apakah dilakukannya

atau dihindarinya, dapat pula menginsyafi ketercelaan tindakannya itu, atau setidak-tidaknya,

oleh kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela. Bentuk

hubungan kejiwaan itu (dalam istilah hukum pidana) disebut kesengajaan atau kealpaan.

Selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan peniadaan bentuk hubungan

kejiwaan tersebut.

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan

karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan,

lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu

tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan

itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku, dipandang

dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam

dengan pidana (belum daluarsa), dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu

(18)

yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah

merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia.

Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat dan keadaan (WTK) ini

dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal sangat penting. Karena tanpa kejelasan WTK dalam

surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum karena samar dan kabur,

sama dengan unsur-unsur lain yang harus terbukti.

Dari uraian tersebut diatas, secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur tindak pidana

yaitu :64

1. Subjek

2. Kesalahan

3. Bersifat melawan hukum (Dari Tindakan)

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan

terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana

5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Y. Sri Pudyatmoko berpendapat, berdasarkan ketentuan di dalam UU No. 28 Tahun

2007 tentang Perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, maka dapat dipahami unsur-unsur dari tindak pidana perpajakan itu,

yaitu : 65

1. Tidak dilaksanakannya perbuatan yang diwajibkan, seperti tidak menyampaikan

SPT, atau adanya perbuatan yang dilarang seperti memperlihatkan pembukuan palsu.

2. Berada dalam kaitannya dengan masalah pajak

3. Dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja

4. Secara melawan hukum : tidak memenuhi kewajiban hukum ataupun melakukan

sesuatu yang dilarang oleh hukum.

64 E.Y Kanter dan S.R Sianturi,Op. Cit., Hlm 211.

65 Y. Sri Pudyatmoko dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan (Malang : Setara Press, 2014),

(19)

5. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Azis syamsuddin menulis bahwa, Unsur-unsur Tindak Pidana Perpajakan berdasarkan

ketentuan di dalam UU No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun

1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah (1) siapa saja, baik orang

pribadi maupun badan yang (2) melakukan perbuatan yang melanggar kewajiban perpajakan,

dan (3) menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.66

Berikut uraian unsur-unsur dari rumusan Pasal Undang-undang Tindak Pidana

Perpajakan beserta perubahannya :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Pasal 38

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur Subjektif :

a. Barang Siapa

b. Karena kealpaannya

Unsur Objektif :

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi yang isinya tidak benar atau tidak

lengkap, atau melampirkan keterangan yang tidak benar

c. Dapat menimbulkan kerugian pada Keuangan Negara

Pasal 39

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur Subjektif :

a. Barang Siapa

b. Dengan sengaja

Unsur Objektif :

a. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

Nomor Pokok Wajib Pajak

66 Azis Syamsuddin dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan (Malang : Setara Press, 2014),

(20)

b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; dan/atau

c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap; dan/atau

d. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah olah benar; dan/atau

e. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan pembukuan, pencatatan, atau

dokumen lainnya;dan/atau

f. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;

g. Dapat menimbulkan kerugian pada keuangan negara.

Pasal 41 Ayat (1)

a. Pejabat yang karena kealpaannya

b. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 41 Ayat (2)

a. Pejabat yang dengan sengaja

b. Tidak memenuhi kewajiban atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya

kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

2. UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Pasal 38

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur Subjektif :

a. Setiap orang

b. karena kealpaannya

Unsur Objektif :

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau

melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

c. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pasal 39

(21)

Unsur Subjektif :

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja.

Unsur Objektif :

a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2

b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap; atau

d. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau

e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar; atau

f. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau

tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lainnya; atau

b. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut

c. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pasal 41 Ayat (1)

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Pejabat

b. Karena kealpaannya

c. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 41 Ayat (2)

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Pejabat

b. Dengan sengaja

c. Tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya

kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 41A

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap orang, yang menurut Pasal 35 Undang-undang ini

(22)

c. dengan sengaja

d. Tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak

benar,

Pasal 41B

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap orang

b. dengan sengaja

c. Menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

3. UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

Pasal 38

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur Subjektif :

a. Setiap orang

b. Karena kealpaannya

Unsur Objektif :

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

c. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara

d. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali.

Pasal 39 ayat (1)

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur Subjektif :

a. Setiap orang

b. Dengan Sengaja

(23)

a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak

melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;

c. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;

d. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar

atau tidak lengkap;

e. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

f. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau

dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;

g. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak

memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;

h. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau

pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang

dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di

Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau

i. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut

j. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Pasal 39A

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur Subjektif :

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja

Unsur Objektif :

a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti

pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi

yang sebenarnya; atau

b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Ayat (2)

a. Pejabat

(24)

c. Tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak

dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.

Pasal 41

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Ayat (1)

a. Pejabat

b. Karena kealpaanya

c. Tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34.

Pasal 41A

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap orang

b. Wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 35

c. tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan

atau bukti yang tidak benar.

Pasal 41B

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja

c. Menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal 41C

Yang memuat unsur-unsur sebagai berikut :

Ayat (1)

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja

c. Tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1).

Ayat (2)

a. Setiap orang

(25)

c. Menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1).

Ayat (3)

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja

c. Tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2).

Ayat (4)

a. Setiap orang

b. Dengan sengaja

c. Menyalahgunakan data dan informasi perpajakan

d. Menimbulkan kerugian kepada negara.

Unsur Objektif :

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap,

atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

b. Dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara

c. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A.

B. Pertanggung Jawaban Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan

Pertanggung jawaban pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan, terdiri dari dua subjek

hukum yang dapat dimintai pertanggung jawaban yaitu Manusia (Natuurlijk Persoon) dan

Badan Hukum (Recht Persoon). Untuk meminta Pertanggung Jawaban terhadap Manusia,

perlu memperhatikan hal mendasar yaitu Kesalahan meliputi Kesengajaan atau kelalaian,

selanjutnya apakah terdapat Alasan Pemaaf dan bagaimana kemampuan bertanggung jawab

daripada si pelaku.

Sedangkan pertanggung jawaban terhadap Badan Hukum (Recht Persoon) berpedoman

pada tiga teori yang mengesampingkan kesalahan atau meniadakan asas Korporasi tidak

(26)

Identifikasi), Strict Liablity (Tanggung Jawab Langsung), Vicarious Liability (Tanggung

Jawab Pengganti). Ketiga teori ini meniadakan unsur kesalahan sehingga korporasi dapat

dimintai pertanggungjawabannya.

1. Orang-Perorangan (Natuurlijk Persoon) a. Kesalahan

Secara doktriner, Kesalahan diartikan sebagai keadaan psychis yang tertentu pada

orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut

dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena

melakukan perbuatan tadi.67 Kesalahan tidak mungkin ada tanpa melakukan perbuatan yang

bersifat melawan hukum, bertentangan dengan undang-undang. Dengan perkataan lain,

kesalahan tidak mungkin ada tanpa perbuatan pidana.68

Van Hammel mengatakan bahwa kesalahan dalam suatu delik berhubungan dengan

aspek psikologis, dimana ada hubungan antara keadaan jiwa sipembuat dan terwujudnya

unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam

hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens). Pada pelanggaran norma yang

dilakukan karena kesalahan, sifat melawan hukum biasanya merupakan segi luarnya, dimana

yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Sedangkan, yang bertalian dengan

kehendak dari dalam si pembuat adalah kesalahan.69

Vos, dengan pandangan yang memisahkan antara tindak pidana dengan kesalahan

dengan unsurnya masing-masing (pandangan dualistis), menyatakan pengertian kesalahan

mempunyai tiga tanda khusus, yaitu :

1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan

(toerekeningsvatbaarheid van de dader)

67 Moeljatno, Op. Cit., Hlm. 63.

68 Bambang Poernomo, Op. Cit., Hlm 150.

69 Made Sadhi Astuti dalam Simon Nahak, Hukum Pidana Perpajakan (Malang : Setara Press, 2014),

(27)

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa

kesengajaan dan kealpaan.

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban bagi si pembuat

atas perbuatannya itu.

Simons mengatakan bahwa “kesalahan” adalah keadaan psikis orang yang melakukan

perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang demikian rupa sehingga

orang itu dapat dicela karena perbuatan tersebut.70 Menurut Roeslan Saleh, seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan “perbuatan pidana”, dilihat dari segi

masyarakat, ia dapat dicela oleh karenanya sebab dapat dianggap berbuat lain, jika memang

tidak ingin berbuat demikian. “dilihat dari segi masyarakat” ini menunjukan pandangan yang

normatif mengenai kesalahan. Seperti diketahui, mengenai kesalahan ini dulu orang

berpandangan psikologis. Demikan misalnya pandangan dari pembentuk W.v.S tetapi

kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau

tidaknya perbuatan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa,

tetapi bergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan batinnya itu, apakah

dinilai ada kesalahan atau tidak ada.71

Bachtiar Agus Salim menyatakan bahwa untuk adanya kesalahan yang

mengakibatkan dipidananya seseorang itu. Maka haruslah dipenuhi beberapa syarat : 72

1. Terang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum

2. Mampu bertanggung jawab

3. Melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja atau karena kealpaanya

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

70 Roeslan Saleh dalam Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia (Yogyakarta, Liberty, 1988),

Hlm. 106.

71 Ibid.

(28)

Berdasarkan pengertian kesalahan tersebut tersimpul, bahwa untuk adanya kesalahan

harus dipikirkan adanya dua hal di samping melakukan perbuatan/tindak pidana, yaitu :

1. Adanya keadaan psychis (batin) yang tertentu

2. Adanya hubungan tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang

dilakukan, hingga menimbulkan celaan dalam masyarakat.

Syarat pertama mengandung arti, bahwa keadaan batin pelaku haruslah sedemikian

rupa, hingga pelaku mengerti makna dari perbuatannya, misalnya pelaku telah dewasa.

Syarat kedua mengandung arti, bahwa antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan

yang dilakukan haruslah sedemikian rupa, sehingga atas perbuatannya itu ia patut dicela,

misalnya jiwanya itu normal atau sehat, dengan keadaan batin seperti itulah pelaku mestinya

insyaf atau sadar terhadap perbuatannya. Syarat kedua inilah yang secara teoritis sering

disebut dengan istilah “kemampuan bertanggung jawab”. Hanya terhadap orang-orang yang

jiwanya normal inilah, dapat harapkan tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap

baik dalam masyarakat, sehingga terhadap pelanggarnya dapat dicelakan padanya.73

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya

pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana

jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang

dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang

dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu

melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena

perbuatan tersebut.74

73 Moeljatno dalam A Fuad Usfa & Tongat, Pengantar Hukum Pidana (Malang : UMM Press, 2004),

Hlm. 75.

74 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di

(29)

Sudarto juga menyatakan hal yang sama, yaitu “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam

undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut

belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya

syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih ada syarat, bahwa orang yang

melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan

perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau

jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada

orang tersebut.75

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana berkaitan dengan apakah dalam melakukan

perbuatannya, pelaku mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab, dalam hukum pidana, berlaku

asas geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea, dimana seseorang tidak

dapat dipidana jika tidak ada kesalahan.76

Kesalahan terbagi atas dua bentuk, yaitu kesalahan yang dilakukan berdasarkan

kealpaan dan kesalahan yang dilakukan karena kesengajaan untuk mencapai tujuan tertentu.

b. Kesengajaan

Pertanggungjawaban pidana ditentukan dari adanya “sifat melanggar hukum” dalam suatu perbuatan. Sifat melanggar hukum merupakan sifat terpenting dari tindak pidana.

Apabila sifat melanggar hukum dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pelaku tindak

pidana, maka perbuatannya dapat berupa “kesengajaan” (opzet) atau “kelalaian” (culpa). Akan tetapi, kebanyakan tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan bukan unsur kelalaian.

Dalam teori hukum pidana di Indonesia, kesengajaan terbagi atas tiga macam, yaitu77 :

75 Sudarto dalam Dwidja Priyatno, Op. Cit., Hlm, 31. 76 Moeljatno, Op. Cit., Hlm 165.

(30)

1. kesengajaan yang bersifat tujuan, dalam hal ini si pelaku dapat dikenai

pertanggungjawaban karena kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana,

sehingga pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan

yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu

akibat yang menjadi pokok alasan diberikannya ancaman hukuman.

2. kesengajaan secara keinsyafan kepastian, kesengajaan ini ada apabila si pelaku

dalam perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari

delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3. kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan, kesengajaan ini yang tidak disertai

bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat perbuatan yang bersangkutan,

melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

Menurut penjelasan MvT (Memorie van Toelichting), bahwa sengaja (Opzet) berarti

(bewuste) richting van den wil op een bepaald misdriff. (kehendak yang disadari yang

ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan tersebut “sengaja” (Opzet)

sama dengan willen en wetens (dikehendaki dan diketahui).

Hal ini dibantah oleh Van Hattum yang mengatakan bahwa willen tidak sama dengan

weten. Jadi, dengan sengaja dan willen dan wetens tidak sama. Seseorang yang willen

(hendak) berbuat sesuatu belum tentu menghendaki juga akibat yang pada akhirnya

sungguh-sungguh terjadi karena perbuatan tersebut. Menurut praktek katanya, hakim sangat sering

mempersamakan dua pengertian “dikehendaki” dan “diketahui” yang tidak sama itu, yaitu

“dengan sengaja” meliputi pula “mengetahui” bahwa perbuatan yang dilakukan adalah suatu

pelanggaran hukum.

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh van hattum ini, perlu diingat bahwa

sebagian besar penulis hukum pidana mengatakan bahwa “sengaja” itu sesuatu pengertian

(31)

dilarang oleh undang-undang. Menurut jonkers, sudah memadai jika pembuat dengan sengaja

melakukan perbuatan atas pengabaian (natalen) mengenai apa yang oleh undang-undang

tentukan sebagai dapat dipidana. Tidak perlu dibuktikan bahwa pelanggar mengetahui

dapatnya dipidana perbuatannya atau pengabaiannya, juga tidak tahu bahwa perbuatan

tersebut dilarang atau tidak bermoral.

Perbuatan Karena Kesengajaan (Dolus)78, adalah perbuatan yang didasari oleh

kehendak dan keinsyafan atas akibat yang akan terjadi karena perbuatannya.79Pada umumnya,

Perbuatan Pidana seringkali dilakukan dengan sengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan

tertentu, salah satunya mendapatkan keuntungan.

Dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sendiri lebih

banyak Pasal yang memuat unsur kesengajaan daripada kelalaian dalam melakukan tindak

pidana diantaranya Pasal 39 ayat (1), Pasal 39A, Pasal 41A huruf c, Pasal 41B, Pasal 41C

Ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4).

Salah satunya dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-undang KUP yang rumusannya

mengatur tentang perbuatan pidana yang didasari atas unsur kesengajaan, perbuatan berupa

manipulasi laporan pajak yang dapat merugikan keuangan negara.

Kelalaian

Kelalaian atau culpa menurut MvT (Memorie van Toelichting) terletak antara sengaja

dan kebetulan. Bagaimanapun juga, culpa itu dipandang lebih ringan dengan sengaja. Oleh

karena itu, Hazwinkel – suringa mengatakan delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict), sehingga diadakan pengurangan pidana. Dalam memori jawaban pemerintah

(MwA), mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti

(32)

mempergunakan salah kemampuannya, sedangkan siapa karena salahnya (culpa), melakukan

kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan.80

Van Hamel membagi culpa atas dua jenis :

1. Kurang melihat ke depan yang perlu

2. Kurang hati-hati yang perlu.

Yang pertama terjadi jika Terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau sama

sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Sedangkan, yang kedua misalnya, ia

menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya (padahal ada).

Vos mengeritik pembagian Van Hamel mengenai culpa (schuld) ini dengan

mengatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antar kedua bagian tersebut. Ketidakhati-hatian

itu sering timbul karena kurang melihat ke depan. Oleh karena itu, Vos membuat bagian juga,

yaitu kalau Van Hamel membedakan dua jenis culpa maka Vos membedakan dua unsur

(element) culpa itu. Yang pertama ialah Terdakwa dapat melihat ke depan apa yang akan

terjadi. Yang kedua, ketidakhati-hatian (tidak dapat dipertanggungjawabkan) perbuatan yang

dilakukan (atau pengabaian) atau dengan kata lain harus ada perbuatan yang tidak boleh atau

tidak dengan cara demikian dilakukan.

Menurut Vos selanjutnya, dapat melihat ke depan suatu akibat merupakan syarat

subjektif (pembuat harus dapat melihat ke depan). Misalnya seorang anak kecil yang

memindahkan wisel rel kereta api sehingga kereta api keluar rel, tidaklah ia bersalah (culpa)

jika ia tidak tahu apakah wisel rel kereta api itu. Tetapi culpa itu ada pula segi objektifnya,

yaitu sesudah dilakukan perbuatan, dikatakan pembuat dapat melihat ke depan akibatnya jika

seharusnya ia telah perkirakan. Ia sebagai orang normal dari sekelompok orang yang dapat

melihat ke depan akibatnya itu. Jadi, seorang profesional dipandang lebih dapat melihat ke

depan dibanding orang awam.

80 Hazwinkel Suringa dalam Jur Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan

(33)

Mengenai kekuranghati-hatian, Vos mengatakan ada beberapa perbuatan yang dapat

melihat ke depan suatu akibat, tetapi bukan culpa. Contoh dokter yang melakukan operasi

berbahaya yang dilakukan menurut keahliannya yang dapat melihat ke depan adanya

kemungkinan kematian, tetapi bukanlah culpa. Disini, perbuatan tersebut masih dapat

dipetanggungjawabkan. Jadi, untuk dipandang sebagai culpa, masih harus ada unsur kedua,

yaitu pembuat berbuat sesuatu yang lain daripada yang seharusnya ia lakukan. Maksud Vos

ialah masih harus ada unsur kedua yaitu kurang hati-hati.81

Perbuatan Karena Kealpaan, Kealpaan (Culpa) : seseorang yang melakukan perbuatan

atas dasar kealpaan, dimana ia tidak mengindahkan adanya larangan.82

Simons mempersyaratkan dua hal untuk culpa83 :

1. Tidak adanya kehati-hatian.

2. Kurangnya perhatian terhadap akibat yang mungkin.

Pasal-pasal yang mengatur tentang Perbutan Pidana di bidang Perpajakan karena

kelalaian antara lain, Pasal 38, Pasal 41 ayat (1)

Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, yang dimaksud Kelalaian menurut penjelasan dalam Pasal 38, berarti tidak

sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan

tersebut dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Terdapat ketentuan untuk memenuhi unsur kelalaian dalam Pasal 38 UU KUP, yaitu

perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang pertama kali. Artinya telah terjadi

beberapa kali bahkan berulang kali dilakukan barulah dapat dikategorikan sebagai Perbuatan

Pidana yang dilakukan dengan kelalaian.

c. Kemampuan Bertanggung Jawab

81 H.B Vos dalam Jur Andi Hamzah, Ibid., Hlm 169. 82 Teguh Prasetyo, Ibid, Hlm. 106.

(34)

Secara Yuridis Formal, tidak terdapat rumusan dalam KUHP yang memberi batasan

tentang Kemampuan Bertanggung Jawab. Persoalan yang berkaitan dengan kemampuan

bertanggung jawab diserahkan kepada doktrin.84

Secara doktriner, untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada dua hal,

yaitu : 85

1. Adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang bertentangan dengan hak.

2. Adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tersebut..

Menurut ketentuan dalam KUHP, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya karena dua alasan, yaitu : 86

1. jiwanya cacat dalam tumbuhnya

2. jiwanya terganggu karena penyakit

Menurut Memorie Van Toelichting (MvT), seseorang tidak dapat

dipertanggungjawabkan perbuatannya karena : 87

a. Ia tidak menginsyafi/menyadari akan perbuatan yang dilakukan

b. Ia tidak bebas menentukan perbuatannya.

d. Tidak adanya Alasan Pemaaf

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana

dibeda-bedakan menjadi :

1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya

perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang

patut dan benar.

84 Ibid., Hlm. 75. 85 Ibid., Hlm. 75-76. 86 Ibid., Hlm. 76.

(35)

2. Alasan Pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan

yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan

perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana.

3. Alasan Penghapus Penuntutan, di sini persoalannya bukan ada alasan pembenar

maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun

sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa

atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak

diadakan penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah kepentingan umum.

Kalau perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat

dijatuhi pidana. Contoh, Pasal 53 kalau terdakwa dengan suka-rela mengurungkan

niatnya percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.88

Alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum tindak pidana dalam kepustakaan

disebut dengan Alasan Pembenar, sedangkan alasan yang menghapuskan kesalahan disebut

dengan Alasan Pemaaf.89

Dalam pertanggung jawaban Pidana, terdapat alasan pemaaf dan alasan pembenar

yang dapat menghapus pidana, antara lain :

Dibedakannya alasan pembenar dari alasan pemaaf karena keduanya mempunyai

fungsi yang berbeda. Bahkan Wilson mengatakan terdapat moral force yang berbeda pada

kedua defense tersebut. Adanya alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak

pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada

pemaafan sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.90

Dalam pertanggungjawaban pidana, hanya dianut alasan pemaaf. Sebab dalam teori

alasan pembenar menghapus sifat melawan hukum dan perbuatan dalam KUHP yang

88 Moeljatno, Op. Cit., Hlm 148.

89Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggung jawaban

Pidana Tanpa Kesalahan (Jakarta : Kencana, 2006), Hlm 121.

(36)

dilarang, maka perbuatan yang semula melawan hukum menjadi dapat dibenarkan dengan

demikian pelakunya tidak dipidana.

Dasar Pemaaf atau fait d’excuse, sifat melanggar hukum dari dari semua unsur tindak

pidana tetap ada. Tetapi, hal-hal khusus menjadikan pelaku tidak dapat

dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, dihapuskan kesalahannya. Termasuk dasar

pemaaf adalah penyakit, kekurangan daya pikir, daya paksa (overmacht), bela paksa, lampau

batas (noorweerexes), dan perintah jabatan yang tidak sah.

Alasan Pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban

seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility.

Alasan Pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa

hal.

Alasan Pemaaf ini dapat kita jumpai di dalam hal orang itu melakukan perbuatan pidana

dalam keadaan :

1. Tidak dipertanggungjawabkan (ontoerekeningsvaatbaar)

2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess)

3. Daya paksa (overmacht).91

Tanggung jawab terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan dapat diuraikan sebagai

berikut :

1) Tanggung Jawab Pidana Bagi Wajib Pajak (Perorangan) Yang Melakukan Tindak Pidana

Perpajakan.

Wajib pajak yang bertanggung jawab atas suatu tindak pidana berarti secara sah dapat

dikenakan pidana atas tindakan yang telah dilakukannya itu. Suatu pidana dapat dikenakan

secara sah, apabila tindakan tersebut telah ada aturannya dalam suatu undang-undang yang

berlaku atas tindakan yang dilakukannya.

(37)

Penerapan pidana merupakan tindakan yang diarahkan kepada suatu tujuan, yang

tidak lain, untuk memperbaiki atau memberi sanksi kepada pelanggar hukum agar ia menjadi

orang baik dan memperhatikan ketentuan-ketentuan pidana dalam bidang perpajakan,

sehingga orang yang mengadili juga mengetahui arti dari apa yang dilakukannya itu. Dengan

demikian, pertanggungjawaban pidana adalah keputusan dalam keadaan konkret yang

diberikan terhadap pelaku tindak pidana. Pengertian subjek pidana meliputi dua hal, yaitu

siapa yang melakukan tindak pidana (pelaku tindak pidana) dan siapa yang

dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab perorangan merupakan tanggung jawab yang

sangat mendasar, yang melekat bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tindak pidana di

bidang perpajakan.92

2) Tanggung Jawab Pidana Bagi Pegawai/Pejabat Direktorat Jenderal Perpajakan Yang

Melakukan Tindak Pidana Perpajakan

Tanggung jawab melekat pada pegawai/pejabat yang melakukan tindak pidana di

bidang perpajakan di lingkungan direktorat jenderal perpajakan, yang meliputi : a. Kantor

Pelayanan Pajak (disingkat KPP) sebagai tempat Wajib Pajak terdaftar, tempat Pengusaha

Kena Pajak dikukuhkan, dan/atau tempat objek pajak terdaftar sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/MK.03/2011 (Berita Negara

Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 35), baik di tingkat kantor Pratama pada tingkat

Kabupaten/Kota Setempat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tingkat provinsi,

maupun Kantor Direktorat Jenderal Pajak pada tingkat Pusat dibawah naungan Menteri

Keuangan Republik Indonesia di jakarta; dan (b) Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara

(disingkat KPPN), yakni instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di

bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah Direktorat Jendel

Referensi

Dokumen terkait

v merupakan variable baru yang tidak mempunyai satuan dan digunakan untuk melukis spiral Cornu. Sumbu x dan sumbu Y adalah sepasang salib sumbu pada spiral Cornu. Sepasang

Berdasarkan beberapa penelitian dan literatur tentang teh putih menunjukkan bahwa, kandungan aktif yang terdapat dalam teh berupa EGCG yang merupakan derivat dari

Ruang lingkup pengembangan meliputi fasilitas ( airside) bandar udara yaitu landas pacu ( runway) , landas penghubung ( taxiway dan exit taxiway) dan juga landas parkir

MEMENUHI Auditee melakukan pembelian bahan baku dari pengepul berupak kayu rakyat dengan disertai Kwitansi pembelian bahan baku, dokumen angkutan hasil hutan yang

Pada pengujian serangan terhadap AP TP-LINK (TD- W8151N), proses berjalan cukup cepat dan hanya membutuhkan 15.602 detik untuk mendapatkan SSID yang terdeteksi sebagai

Dimana sistem pakar bila dikaitkan dengan kemampuan dokter dalam mendiagnosa secara dini kondisi kesehatan pasien, dapat diciptakan suatu sistem komputer yang bertugas untuk

Dengan program aplikasi multimedia interaktif ini diharapkan agar pemakai lebih mengenal dan mengetahui tentang doa sehari-hari yang digunakan, sehingga tahu doa apa yang cocok

[r]