• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Pajak Ekspor terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pengaruh Pajak Ekspor terhadap Kinerja Industri Kelapa Sawit di Sumatera Utara"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luas Areal Kelapa Sawit

Komoditas kelapa sawit yang sangat potensial ini sangat didukung oleh pemerintah yang ditandai dengan dikeluarkannya SK Menteri Pertanian No.469/Kpts/KB/510/6/1985 mengenai upaya pengembangan luas lahan. Prospek industri kelapa sawit yang semakin cerah baik di pasar domestik maupun internasional memberikan peluang bagi industri untuk dapat lebih berkembang.

Luas areal merupakan salah satu faktor yang diduga dapat mempengaruhi produksi CPO. Peningkatan luas areal kelapa sawit di Indonesia merupakan akibat dari meningkatnya perkembangan permintaan akan kelapa sawit. Luas lahan yang potensial untuk pengembangan kelapa sawit Indonesia secara umum berada pada pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006).

(2)

Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2006), permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya permintaan CPO baik lokal maupun internasional sebagai input industri minyak goreng, biodiesel dan potensi kelapa sawit lainnya yang besar dalam perekonomian mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, kebutuhan minyak sawit mentah dan turunannya di Indonesia dan pasar dunia juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati lain, seperti: minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak bunga matahari dan lain-lain.

2.2 Produksi CPO

Kebijakan pemerintah khususnya dalam perluasan areal kelapa sawit merupakan respon positif yang dapat mempengaruhi produksi CPO yang semakin meningkat. Pada sisi produksi, Arifin (2001) menyatakan bahwa teknologi dapat berupa suatu proses produksi atau bagaimana faktor-faktor produksi (input) dikombinasikan untuk menghasilkan suatu produk (output). Perubahan teknologi yang demikian merupakan cara mengkombinasikan faktor produksi. Sementara itu, produktivitas dimaksudkan sebagai suatu ukuran efisiensi yang berupa rasio produk dengan faktor produksi tertentu. Inovasi dan perubahan teknologi biasanya mampu meningkatkan tingkat produksi sekaligus produktivitasnya (meningkatnya faktor produksi mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas).

2.3 Produktivitas CPO

(3)

(penggunaan traktor sederhana dan pembangunan sarana irigasi teknis, dan sebagainya) secara langsung ataupun tidak langsung telah mewarnai peningkatan produktivitas itu sendiri (Arifin, 2001). Hal ini secara langsung akan mempengaruhi harga suatu komoditi (CPO) sebagai hasil produk pertanian. Harga CPO yang tinggi di pasar internasional mengakibatkan para pengusaha lebih memilih untuk mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri.

2.4 Ekspor CPO

Secara teori suatu negara akan mengekspor suatu komoditi (misalnya CPO), jika di negara asalnya mengalami kelebihan produksi. Kenyataannya, pengusaha akan tetap mengekspor jika harga minyak sawit di pasar dunia jauh lebih tinggi harganya dibandingkan dengan harga di pasar domestik. Kecenderungan harga yang selalu meningkat ini dipengaruhi oleh keadaan perekonomian Indonesia yang belum stabil.

Secara luas, Kindleberger dan Lindert (1995) mendefinisikan bahwa penawaran ekspor suatu negara merupakan kelebihan penawaran domestik produksi barang dan jasa yang tidak dikonsumsi oleh konsumen dari negara yang bersangkutan atau tidak disimpan dalam bentuk persediaan. Berdasarkan teori tersebut, maka fungsi ekspor suatu negara dapat dituliskan sebagai berikut:

X

t = Qt – Ct + St Dimana:

X

t = Jumlah ekspor komoditas suatu negara pada tahun ke-t Q

(4)

S

t = Jumlah persediaan komoditas suatu negara pada tahun ke-t

Untuk membatasi ekspor CPO maka pemerintah mengenakan pajak ekspor terhadap eksportir. Tujuannya, untuk menjamin kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga di pasar internasional, hingga menjaga stabilitas harga dalam negeri. Kebijakan tarif ekspor CPO dimulai pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagkop (No.275/KPB/X1/78), Mentan (No.764/Kpts/UM/12/1978) dan Menperindag (No.252/M/SK/12/1978). Nilai tukar diduga menjadi bahan pertimbangan oleh pengusaha dalam mengekspor CPO.

2.5 Konsep Pajak Ekspor Secara Umum

(5)

Pajak Ekspor adalah pungutan resmi dari pemerintah untuk kegiatan ekspor. Sedangkan Ekspor adalah kegiatan menjual barang ke luar negri. Pengenaan Pajak Ekspor (PE) untuk barang-barang tertentu adalah dalam rangka :

1. Menjaga kesinambungan persediaan bahan baku sehingga terjaminnya pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

2. Terlindunginya kelestarian sumber daya alam.

3. Terjaminnya stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri. 4. Meningkatkan daya saing ekspor tertentu.

Adapun Dasar Hukum dalam pengenaan pajak ekpsor untuk barang-barang tertentu adalah diatur dalam :

1. Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 Tahun 2005 tanggal 10 September 2005 tentang Pungutan Ekspor Atas Barang Ekspor Tertentu.

2. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 92/PMK.02/2005 tanggal 10 Oktober 2005 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor Tertentu dan Besaran Tarif Pungutan Ekspor.

3. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 95/PMK.02/2005 tanggal 11 Oktober 2005 tentang Penetapan Tarif Pungutan Ekspor Batu Bara.

4. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 24/M-DAG/PER/11/2005 tanggal 25 Nopember 2005 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) Atas Barang Ekspor Tertentu.

(6)

Perhitungan pungutan ekspor didasarkan pada Harga Patokan Ekspor (HPE) yang diterapkan setiap bulan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan harga rata-rata Internasional.

Pungutan Ekspor (PE) dihitung berdasarkan rumus : Tarif Pajak Ekspor (PE) x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs.

Tarif adalah pajak ekspor atau impor yang dikenakan oleh suatu negara terhadap produk ekspor atau impor dari negara lain yang dibawa ke dalam atau ke luar daerah pabean. Jenis-jenis tarif pajak, yaitu :

1. Ad Valorum atau bea Harga adalah besarnya pajak yang dipungut ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari nilai produk atau harga tarif tertinggi.

2. Tarif Spesifik adalah besarnya pajak diterapkan untuk tiap unit produk atau harga satuan atas suatu barang, dipakai untuk barang-barang tertentu, misalnya kemeja (dihitung per satuan kemeja dengan tarif dalam nominal Rupiah yang sudah pasti). Digunakan untuk melindungi industri dalam negeri sebagai bentuk proteksi.

3. Compound Tarif merupakan kombinasi dari tarif Ad Valorum dan Tarif Spesifik. Tarif ini biasanya diterapkan di bidang cukai (dari 10% hingga 250%) juga berdasarkan spesifik menurut jumlah produk yang dihasilkan sehingga dapat diketahui, misalnya harga per batang hasil tembakau. 4. Tarif Antidumping, merupakan penambahan besar tarif daripada yang

(7)

hukuman atau sanksi atas produk tertentu suatu negara yang diekspor ke negara yang menggunakan tarif tersebut.

5. Tarif Pembalasan atau tarif Restorsi, merupakan penerapan tarif yang bersifat resiprokal, berkaitan dengan pengenaan tarif yang sama.

6. Tarif Diferensial, merupakan tarif maximum dan tarif minimum atas produk-produk tertentu antara negara-negara yang mempunyai hubungan baik atau memiliki kemitraan misalnya antara 2 anggota Asean, seperti Indonesia-Malaysia.

7. Tarif Preferensi adalah tarif yang berlaku untuk negara-negara yang tergabung dalam uni atau asosiasi dan berbeda dengan tarif bea masuk untuk negara lainnya.

Dengan adanya Udang-Undang Nomor 7 tahun 1994, tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization dan dilanjutkan dengan World Customs Organization, besaran tarif pajak maximum yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan bea masuk adalah 0% paling tinggi 40%. Dimana penerapan besaran tarif, yaitu:

1. Pembebasan bea masuk atau keringanan bea masuk antara 0% hingga 5% dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok seperti gula, beras, mesin-mesin dan alat-alat pertahanan.

(8)

barang-barang lainnya yang sudah diproduksi di dalam negri dan bukan barang-barang kebutuhan pokok.

Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa kena pajak ke luar daerah pabean. Jenis jasa Kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN adalah :

1. Jasa Maklon

Jasa maklon adalah jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Batasan Jasa maklon yang termasuk Ekspor JKP :

a. Pemesan atau penerima JKP berada di luar daerah pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap. b. Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau penerima JKP. c. Bahan adalah bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau bahan

penolong/pembantu yang akan diproses menjadi Barang Kena Pajak yang dihasilkan.

d. Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima Jasa Kena Pajak.

e. Pengusaha Jasa maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar Daerah Pabean.

Atas kegiatan ekspor barang yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon, tidak dilaporkan sebagai ekspor BKP dalam SPT Masa PPN.

(9)

a. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.

b. Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

c. Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi.

a) Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.

b) Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.

2.6 Kebijakan Pemerintah Indonesia Dari Sisi Ekspor CPO

Ekspor adalah kegiatan menjual barang atau jasa ke luar negeri. Orang atau pihak yang melakukan kegiatan ekspor disebut eksportir. Kegiatan ekspor yang meningkat akan memberikan keuntungan bagi negara, yaitu negara memperoleh peningkatan pendapatan yaitu dari pajak barang yang dikespor. Selain itu ada pula pihak-pihak dalam negeri yang juga mendapat keuntungan, seperti perusahaan transportasi, perusahaan asuransi, perusahaan penghasil barang yang diekspor. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia terus menggiatkan usaha-usaha yang dapat mendorong kegiatan ekspor.

(10)

pemerintah selalu berusaha mendorong ekspor melalui kebijakan ekspor dengan cara berikut.

1. Diversifikasi Ekspor/Menambah Keragaman Barang Ekspor

Diversifikasi ekspor merupakan penganekaragaman barang ekspor dengan memperbanyak macam dan jenis barang yang diekspor. Misalnya Indonesia awalnya hanya mengekspor tektil dan karet, kemudian menambah komoditas ekspor seperti kayu lapis, gas LNG, rumput laut dan sebagainya. Diversifikasi ekspor dengan menambah macam barang yang diekspor ini dinamakan diversifikasi horizontal. Sedangkan divesisifikasi ekspor dengan menambah variasi barang yang diekspor seperti karet diolah dahulu menjadi berbagai macam ban mobil dan motor atau kapas diolah dulu menjadi kain lalu diproses menjadi pakaian. Diversifikasi yang demikian ini disebut diversifikasi vertikal.

2. Subsidi Ekspor

Subsidi ekspor diberikan dengan cara memberikan subsidi/bantuan kepada eksportir dalam bentuk keringanan pajak, tarif angkutan yang murah, kemudahan dalam mengurus ekspor, dan kemudahan dalam memperoleh kredit dengan bunga yang rendah.

3. Premi Ekspor

Untuk lebih menggiatkan dan mendorong para produsen dan eksportir, pemerintah dapat memberikan premi atau insentif, misalnya penghargaan atas kualitas barang yang diekspor. Pemberian bantuan keuangan dari pemerintah kepada pengusaha kecil dan menengah yang orientasi usahanya ekspor.

(11)

Devaluasi merupakan kebijakan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang dalam negeri (rupiah) terhadap mata uang asing. Dengan kebijakan devaluasi akan mengakibatkan harga barang ekspor di luar negeri lebih murah bila diukur dengan mata uang asing (dollar), sehingga dapat meningkatkan ekspor dan bisa bersaing di pasar internasional.

5. Meningkatkan Promosi Dagang ke Luar Negeri

Pemasaran suatu produk dapat ditingkatkan dengan mempromosikan produk yang akan dijual. Untuk meningkatkan ekposr ke luar negeri maka pemerintah dapat berusaha dengan melakukan promosi dagang ke luar negeri, misalnya dengan dengan mengadakan pameran dagang di luar negeri agar produk dalam negeri lebih dapat dikenal.

6. Menjaga Kestabilan Nilai Kurs Rupiah terhadap Mata Uang Asing

Kestabilan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing sangat dibutuhkan oleh para importir dan pengusaha yang menggunakan peroduk luar negeri untuk kelangsungan usaha dan kepastian usahanya. Bila nilai kurs mata uang asing terlalu tinggi membuat para pengusaha yang bahan baku produksinya dari luar negeri akan mengalami kesulitan karena harus menyediakan dana yang lebih besar untuk membiayai pembelian barang dari luar negeri. Akibatnya harga barang yang diproduksi oleh pengusaha tersebut menjadi mahal. Hal ini dapat menurunkan omzet penjualan dan menurunkan laba usaha, yang akhirnya akan mengganggu kelangsungan hidup usahanya.

(12)

Melakukan perjanjian kerja sama ekonomi baik bilateral, regional maupun multilateral akan dapat membuka dan memperluas pasar bagi produk dalam negeri di luar negeri. serta dapat menghasilkan kontrak pembelian produk dalam negeri oleh negara lain. Misalnya perjanjian kontrak pembelin LNG (Liquid Natural Gas) Indonesia yang dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan.

Untuk mengatasi persoalan ekspor didalam negeri, pemerintah

mengeluarkan kebijakan strategis berupa national interest account yang diemban

oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesian Eximbank.

Menurut Menteri Keuangan M Chatib Basri, Salah satu masalah yang

dihadapi perekonomian global adalah turunnya harga komoditas. Eksportir

membutuhkan kepastian dalam mengekspor. Karena itu, ekspor memerlukan suatu

proses national interest untuk masuk ke pasar nontradisional dan mengurangi

risiko. Menurut dia, NIA yang diemban Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

(LPEI) menjadi tahap awal untuk mendorong ekspor. Isu yang terjadi dalam

negara berkembang adalah adanya permintaan, tetapi tidak dapat meresponsnya.

Chatib juga menyampaikan, diversifikasi ekspor penting, Jangan terpaku

mengekspor ke negara tertentu, kita perlu membuka pasar baru. Kepala Pusat

Pengelolaan Risiko Fiskal Freddy R Saragih mengatakan, NIA adalah proses

pembiayaan, penjaminan, dan asuransi yang dananya disiapkan pemerintah dan

dilaksanakan LPEI jika kapasitas keuangan LPEI belum mencukupi dan kegiatan

ekspor itu berisiko tinggi. Penyediaan dana disiapkan pemerintah dan akan masuk

dalam APBN. Melalui program NIA, pemerintah menetapkan suatu proyek atau

(13)

atau Indonesian Eximbank adalah institusi yang dibentuk dengan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2009 untuk mendorong peningkatan ekspor dari aspek

pembiayaan, penjaminan, dan asuransi ekspor. Penugasan umum yang

diamanatkan pemerintah dalam LPEI adalah fungsi fiskal. Perbankan, lembaga

keuangan bukan bank, dan asuransi tidak dapat menjalankan fungsi ini karena

pertimbangan komersial. Pembiayaan perdagangan berupa pembiayaan,

penjaminan, dan asuransi ekspor adalah aspek dalam perdagangan internasional

yang perlu mendapatkan perhatian. LPEI ingin aktif dalam pembiayaan atau

pemberian kredit ekspor dan menjamin eksportir dari risiko politik di luar negeri.

Pemerintah akan menampung harapan para eksportir terhadap perubahan atau

dukungan regulasi dari pemerintah. Setidaknya dalam jangka dekat sebelum dapat

mengatasi turbulensi dan masalah ekonomi secara global. Indonesia sebagai salah

satu yang terkena imbasnya harus segera mengatasi. Melalui interaksi itu para

pengusaha dapat mengajukan usulan yang positif dan konstruktif. Pemerintah

berkepentingan agar dalam dua tiga bulan Indonesia dapat mengatasi kemelut

imbas ekonomi global ini.

2.7 Kebijakan Pemerintah Dari Sisi Pembangunan Industri Kelapa Sawit di Indonesia dan Sumatera Utara

(14)

USD 20 milliar ( sekitar 10 % dari pendapatan ekspor total), terbesar kedua setelah minyak dan gas (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2014).

Industri kelapa sawit memiliki prospek yang baik karena memiliki daya saing sebagai incustri minyak nabati. Sawit adalah salah satu sumber yang paling kompetitif di dunia untuk biofuels, dan aplikasi teknis dan yang paling penting adalah sebagai sumber makanan.

Kebijakan utama pemerintah Indonesia dalam mengmbangkan kelapa sawit adalah mengembangkan industry hilir. Kebijakan ini dilakukan dengan mengembangkan cluster industry di Zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang diatur dengan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang saat ini di fokuskan di KEK Sei Mangkei untuk Sumatera Utara, Maloy Untuk Kalimantan Timur, dan Dumai untuk Riau. Kebijakan tersebut mengatur pengenaan tariff yang lebih rendah pada produk hasil olahan dari kelapa sawit, CPO dan turunannya. Hal itu bbertujuan untuk meningkatkan nilai tambah serta daya saing industry sawit di dalam negri. Berdasarkan hal tersebut, penerimaan bea keluar atas CPO diperkirakan akan mengalami penurunan.

(15)

penguatan kelembagaan dengan melalui pemberian kesempatan kepada petani plasma sebagai pemilik saham perusahaan. Pemilikan saham ini dilakukan dengan pembelian saham dari hasil potongan penjualan hasil atau dari hasil outsourching dana oleh organisasi petani.

Untuk menunjang pertumbuhan industri kelapa sawit pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN 10 % dalam pengelolahan CPO dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas insetif PPh berdasarkan revisi Perarutan Pemerintah No. 148. Kebijakan tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini sehingga peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat.

2.8 Teori Produksi

Menurut Lipsey (1995), bahwa produksi adalah tindakan dalam membuat komoditas, baik barang maupun jasa. Fungsi produksi adalah hubungan fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap input dan oleh kombinasi berbagai input. Fungsi produksi memperlihatkan jumlah output maksimum yang bisa diperoleh dengan menggunakan berbagai alternatif kombinasi kapital (K) dan tenaga kerja (T).

Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam bentuk persamaan aljabar. Secara sistematis fungsi produksi sebagai berikut:

Q = f (K, T, ...) Dimana:

(16)

T = tenaga kerja

f = menggambarkan bentuk hubungan dari perubahan input menjadi output 2.9 Teori Nilai Tukar

Nilai tukar adalah harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang lain yang dapat dibeli dan dijual (Lipsey, 1995). Menurut Mankiw (2003), kurs (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Kurs dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana suatu negara bisa memperdagangkan barang-barangnya dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain.

Kurs riil mempengaruhi kebijakan perdagangan antara masing-masing negara pengekspor dan pengimpor. Jika kurs riil rendah, harga barang-barang luar negeri lebih mahal dan harga barang-barang domestik akan relatif lebih murah. Apabila kurs riil tinggi maka barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan barang-barang domestik relatif lebih mahal, sebagai akibatnya penduduk domestik lebih berkeinginan untuk mengkonsumsi barang-barang impor dan orang asing akan sedikit membeli barang kita.

2.10 Teori Perdagangan Internasional

(17)

yaitu yang sering disebut sebagai Merkantilisme. Pada bagian di bawah ini disampaikan perkembangan teori perdagangan internasional tersebut.

2.10.1 Merkantilisme

Teori perdagangan ini menyatakan bahwa negara-negara harus mengumpulkan kekayaan finansial, biasanya dalam bentuk emas dengan mendorong ekspor dan menghambat impor. Negara-negara yang menganut paham ini adalah Inggris, Perancis, Belanda, Portugal dan Spanyol. Penganjur merkantilisme antara lain Sir Josiah Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von Hornich. Kebijakan merkantilisme berpusat pada dua ide pokok dalam bidang perdagangan luar negeri:

1. Penumpukan logam mulia

2. Surplus perdagangan, hasrat yang besar untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan nilai ekspor atas nilai impor.

(18)

Negara mengimplementasikan merkantilisme dengan cara: pertama, negara meningkatkan kesejahteraannya dengan memelihara surplus perdagangan, yaitu suatu kondisi dimana nilai ekspor suatu negara lebih besar dari nilai impornya.

Kedua, pemerintah suatu negara mengintervensi perdagangan internasional, dengan memelihara surplus perdagangan. Menurut merkantilisme surplus perdagangan, timbunan kekayaan tergantung atas kenaikan surplus perdagangan suatu bangsa, bukan dengan memaksa menambah nilai atau volume perdagangan. Pemerintah merkantilis melakukan surplus perdagangan dengan melarang impor secara resmi atau menciptakan berbagai macam pembatasan-pembatasan impor seperti tarif atau kuota. Pada saat yang sama mereka mensubsidi industri-industri di negaranya untuk memperluas ekspor.

Ketiga, negara-negara merkantilis akan melakukan kolonialisasi ke seluruh dunia dengan mengeksploitasi bahan baku dan perluasan pasar sehingga harga produk akhirnya menjadi lebih tinggi.

(19)

2.10.2 Keunggulan Absolut

Ekonom Skotlandia Adam Smith, menempatkan keunggulan absolut pada urutan pertama dari empat teori perdagangan di tahun 1776. Kemampuan suatu negara untuk memproduksi dengan baik dan efisien dibanding negara lainnya disebut keunggulan absolut. Dengan kata lain, negara yang mempunyai keunggulan absolut dapat menghasilkan keluaran yang lebih baik dengan menggunakan sumberdaya yang lebih sedikit atau sama dibanding negara lain. Alasan Smith diantaranya adalah bahwa perdagangan internasional akan sangat terbatas dengan tarif dan kuota tetapi diperbolehkan agar ada aliran perdagangan.

Suatu negara dapat berkonsentrasi pada pembuatan suatu barang yang punya keunggulan dari negara lain yang membutuhkannya tapi tidak memproduksinya. Teori ini tidak menilai suatu negara dengan berapa banyak emas dan perak yang dimiliki tetapi dinilai dari kehidupan standar (kesejahteraan warganya).

2.10.3 Keunggulan Komparatif

(20)

2.10.4 Teori Faktor Proporsi/Teori Heckscher-Ohlin

Di awal tahun 1900, teori perdagangan lebih terfokus pada proporsi (supply) sumber daya suatu negara. Biaya-biaya sumberdaya sederhana untuk permintaan dan penyediaan. Faktor supply permintaan akan relatif lebih mahal dari faktor-faktor supply permintaan relatif. Teori faktor proporsi menyatakan suatu negara akan memproduksi dan mengekspor barang-barang yang memerlukan sumberdaya yang tersedia banyak dan mengimpor barang-barang yang memerlukan sumberdaya yang lebih sedikit ketersediaannya di suatu negara. Teori ini muncul dari penelitian dua ekonom Heckscher-Ohlin.

Teori faktor proporsi berbeda dengan teori keunggulan komparatif menyatakan suatu negara akan berspesialisasi menghasilkan barang jika dapat memproduksinya secara lebih efisien dari barang lainnya. Selanjutnya fokus dari teori keunggulan absolut adalah pada produktifitas dari proses produksi beberapa barang. Sangat kontras, teori faktor proporsi menyatakan suatu negara akan berspesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor barang yang memerlukan faktor produksi yang banyak tersedia dan murah bukan barang-barang yang paling produktif.

(21)

memproduksi suatu barang yang memerlukan lahan dan peralatan modal jika biayanya lebih murah dari biaya tenaga kerja.

2.11 Teori Ekspor Impor

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Menurut Salvatore (1997) perdagangan internasional dalam arti sempit merupakan suatu masalah yang timbul akibat adanya pertukaran komoditas suatu negara.

(22)

dari negara lain yang harganya lebih murah. Jika terjadi komunikasi antara kedua negara tersebut maka akan menyebabkan adanya perdagangan, dalam hal ini negara A mengekspor komoditasnya ke negara B.

Panel A Panel B Panel C

Pasar di Negara 1 Hubungan Perdagangan Pasar di Negara 2 Untuk komoditi X Internasional Komoditi X Untuk komoditi X

Px/Py Px/Py Px/Py

2(E*) : Harga komoditi X setelah terjadi perdagangan internasional P

3 : Harga domestik komoditi X di negara 2 tanpa perdagangan internasional

(23)

A’ : Keseimbangan di Negara 2

B-E : Jumlah yang diekspor oleh Negara 1 B’E’ : Jumlah yang diimpor oleh Negara 2

Secara spesifik, panel A (Gambar 2.8) memperlihatkan bahwa dengan adanya perdagangan internasional, negara 1 akan mengadakan produksi dan konsumsi di titik A berdasarkan harga relatif komoditi X sebesar P

1, sedangkan negara 2 akan berproduksi dan mengkonsumsi di titik A’ berdasarkan harga relatif P

3. Setelah hubungan perdagangan berlangsung diantara keduanya, harga relatif komoditi X akan berkisar antara P

1 dan P3 seandainya kedua negara tersebut cukup besar (kekuatan ekonominya). Jika harga yang berlaku di atas P

1, maka negara 1 akan memasok atau memproduksi komoditi X lebih banyak daripada tingkat permintaan domestik.

Kelebihan produksi tersebut selanjutnya akan diekspor (panel A) ke negara 2. Jika harga yang berlaku lebih kecil dari P

3, maka negara 1 akan mengalami peningkatan permintaan sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada produk domestik. Hal tersebut akan mendorong negara 2 untuk mengimpor kekurangan kebutuhan atas komoditi X itu dari negara 1 (panel C).

Panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P

(24)

penawaran ekspor negara 1). Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P

2, maka akan terjadi kelebihan penawaran (QSx) apabila dibandingkan dengan tingkat permintaan untuk komoditi X (QD

x), dan kelebihan itu sebesar BE. Kuantitas BE itu merupakan kuantitas komoditi X yang akan diekspor oleh negara 1 pada harga relatif P

2. BE sama dengan B*E* dalam panel B, dan disitulah terletak titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran ekspor komoditi X dari negara 1 atau S.

Sementara itu, panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P 3 maka penawaran dan permintaan untuk komoditi X akan sama besarnya atau QD

x = QS

x (titik A’), sehingga negara 2 tidak akan mengimpor komoditi X sama sekali. Hal tersebut dilambangkan dengan oleh titik A’ yang terletak pada kurva

permintaan impor komoditi X negara 2 (D) yang berada di panel B. Panel C itu juga menunjukkan bahwa berdasarkan harga relatif P

2 akan terjadi kelebihan permintaan (QD

x lebih besar dari QSx) sebesar B’E’. Kelebihan itu sama artinya dengan kuantitas komoditi X yang akan diimpor oleh negara 2 berdasarkan harga relatif P

2. Lebih lanjut, jumlah itu sama dengan B*E* pada panel B yang menjadi kedudukan E*. Titik ini sendiri melambangkan jumlah atau tingkat permintaan impor komoditi X dari penduduk di negara 2 (D).

Berdasarkan harga relatif P

2, kuantitas impor komoditi X yang diminta oleh negara 2 (yakni B’E’ dalam panel C) sama dengan kuantitas ekspor komoditi

(25)

diperdagangkan diantara kedua negara tersebut (panel B). Dengan demikian P 2 merupakan harga relatif ekuilibrium untuk komoditi X setelah perdagangan internasional berlangsung. Dari panel B tersebut kita juga dapat melihat bahwa apabila P

x/Py lebih besar P2, maka kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan akan melebihi tingkat impor sehingga lambat laun harga relatif komoditi X itu (P

x/Py) akan mengalami penurunan sehingga pada akhirnya akan sama dengan P2. Dilain pihak apabila P

x/Py lebih kecil dari P2, maka kuantitas impor komoditi X yang diminta akan melebihi kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan sehingga P

x/Py pun akan meningkat dan pada akhirnya akan sama dengan P2. 2.12 Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional diartikan sebagai pertukaran barang dan jasa yang terjadi melampaui batas-batas antar negara. Perdagangan internasional diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang dimungkinkan oleh spesialisasi. Masing-masing negara akan memproduksi barang dan jasa yang dapat dilakukan secara efisien sementara negara tersebut akan berdagang dengan negara lain untuk memperoleh barang dan jasa yang tidak diproduksinya (Lipsey, 1997).

Adapun faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut:

1. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri.

2. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan Negara. 3. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi

(26)

4. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.

5. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.

6. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.

7. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain dan terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

Selanjutnya Salvatore (1997) mengemukakan bahwa pada dasarnya model perdagangan internasional harus berlandaskan empat hubungan utama sebagai berikut.

1. Hubungan antar batas-batas kemungkinan produksi dengan kurva penawaran relatif.

2. Hubungan antara harga-harga relative.

3. Penentuan keseimbangan dunia dengan penawaran relatif dunia dan permintaan relatif dunia.

4. Dampak-dampak atau pengaruh nilai tukar perdagangan (terms of trade) yakni harga ekspor dari suatu negara dibagi dengan harga impornya terhadap kesejahteraan suatu negara.

2.13 Dampak Kebijakan Perdagangan

(27)

tersebut meliputi pengenaan pajak masuk kepada barang yang akan masuk ke dalam suatu negara dengan harapan akan mengurangi persaingan yang akan terjadi apabila produk tersebut juga dihasilkan oleh petani dalam negeri.

Kebijakan yang sering diambil oleh pemerintah adalah kebijakan terhadap barang ekspor dan kebijakan terhadap barang impor. Kebijakan ekspor diberlakukan pada barang yang akan diekspor oleh produsen ke negara lain dengan harapan agar barang tersebut tetap berada dalam negara sehingga harganya relatif stabil. Kebijakan impor adalah kebijakan yang diberlakukan pemerintah untuk melindungi produsen dalam negeri dari harga internasional yang lebih murah dan bersaing (Mankiw, 2003).

Menurut Mankiw (2003), kebijakan perdagangan yang didefinisikan secara luas merupakan kebijakan yang dirancang untuk mempengaruhi secara langsung jumlah barang dan jasa yang diekspor atau diimpor. Biasanya kebijakan perdagangan berbentuk melindungi industri domestik dari pesaing asing, baik dengan menerapkan pajak impor (tarif) atau membatasi jumlah barang dan jasa yang diimpor (kuota).

(28)

Penurunan jumlah perdagangan total merupakan alasan yang selalu digunakan para ekonom untuk menentang kebijakan proteksionis. Perdagangan internasional menguntungkan semua negara dengan memberikan kebebasan pada setiap negara untuk melakukan spesialisasi dan memberikan setiap negara variasi barang dan jasa yang lebih beragam. Kebijakan proteksionis mengurangi manfaat perdagangan internasioal. Meskipun kebijakan ini menguntungkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Kebijakan menaikkan PE untuk mendorong pertumbuhan industri hilir dilandasai pemikiran bahwa kenaikan PE akan lebih menjamin ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih rendah. Kenaikan PE akan menghambat ekspor sehingga ketersediaan bahan baku di dalam negeri akan meningkat dengan harga yang lebih murah.

2.14 Penelitian Terdahulu

(29)

tingkat suku bunga. Produksi CPO di Indonesia dipengaruhi harga CPO domestik dan luas areal perkebunan kelapa sawit. Sedangkan ekspor CPO dipengaruhi oleh harga CPO domestik, produksi CPO, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Konsumsi CPO oleh industri minyak goreng sawit dipengaruhi oleh ekspor CPO, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, harga CPO domestik dan penewaran CPO domestik. Produksi minyak goreng sawit di Indonesia dipengaruhi penawaran CPO domestik. Pembentukan harga CPO domestik dipengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Harga ekspor CPO dipengaruhi oleh fluktuasi harga dunia CPO dan produksi CPO Indonesia. Harga minyak goreng sawit dipengaruhi fluktuasi harga CPO domestik.

(30)
(31)

diekspor. Ekspor CPO tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO pada tingkat kepercayaan 95 persen. Sedangkan harga ekspor CPO, nilai tukar, pajak ekspor, dan harga BBM dunia tidak berpengaruh nyata. Dan kebijakan pajak ekspor CPO diharapkan mampu memposisikan urutan prioritas secara tepat untuk mencari solusi terhadap masalah ekonomi yang mendesak. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PE hanya akan menambah mata rantai pungutan disamping biaya yang tak terduga dan yang selama ini telah meningkatkan ongkos produksi dan menghambat pertumbuhan sektor industri, khususnya dalam industri CPO.

Menurut Joseph Obado, Yusman Syaukat, dan Hermanto Siregar (2009), dalam penelitiannya yang berjudul The Impacts Of Export Tax Policy On The Indonesian Crude Oil Palm Industry, telah meneliti tentang dampak kebijakan pajak ekspor terhadap industri CPO Indonesia dengan menggunakan model

ekonometrik dengan metode 2SLS. Penelitian ini membuktikan bahwa pajak

ekspor berhubungan negatif dengan luas area perkebunan kelapa sawit , produksi ,

ekspor CPO , dan harga domestik CPO. Sementara pada konsumsi CPO domestik

dan tingkat persediaan, pajak ekpsor mempunyai hubungan yang positif. Dalam

penelitian ini, para peneliti menganggap bahwa kebijakan pajak ekspor yang

diterapka pemerintah hanya akan menguntungkan para konsumen CPO domestik.

Menurut para peneliti kebijakan pajak ekspor hanya akan mengurangi daya saing

Industri kelapa sawit Indonesia karena memberatkan produsen CPO dalam negeri.

Menurut Amzul Rifin (2010), dalam penelitiannya yang mengambil

judul The Effect of Export Tax On Indonesia’s Crude Oil Palm (CPO) Export

(32)

dibandingkan dengan Malaysia yang merupakan pesaing utama Indonesia akibat

adanya kebijakan pungutan ekspor yang diberlakukan pemerintah Indonesia.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kebijakan pajak ekspor

yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dan untuk menganalisis pengaruh

dari pajak ekspor terhadap daya saing ekspor CPO Indonesia dibandingkan

dengan Malaysia. Sebuah persamaan rasio ekspor antara Indonesia dan Malaysia

dibangun menggunakan data bulanan. Variabel dependen adalah ekspor CPO dari

kedua negara, sedangkan variabel independen yaitu rasio harga, perbedaan pajak

ekspor, rasio ekspor minyak sawit, dan rasio nilai tukar. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kebijakan pajak ekspor Indonesia akan menyebabkan

berkurangnya daya saing ekspor CPO Indonesia.

Menurut Peersis, Syafrial, dan Nuhfil (2013), dalam penelitiannya yang

mengambil judul Dampak kebijakan pajak ekspor terhadap kinerja ekspor CPO

(Crude Oil Palm), Produksi, dan Konsumsi minyak goreng di pasar domestik,

(33)

oleh harga dunia CPO, kebijakan pajak ekspor CPO, dan ekspor CPO Indonesia pada tahun sebelumnya. Sedangkan, ekspor CPO Malaysia dan nilai tukar tidak berpengaruh secara nyata terhadap ekspor CPO Indonesia. Produksi domestik minyak goreng dipengaruhi secara nyata oleh ekspor CPO Indonesia, lahan perkebunan kelapa sawit, dan produksi minyak goreng pada tahun sebelumnya. Sedangkan, harga domestik minyak goreng dan upah riil tenaga kerja tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi domestik minyak goreng. Sedangkan, konsumsi domestik minyak goreng dipengaruhi secara nyata oleh harga domestik minyak goreng, produksi domestik minyak goreng dan konsumsi domestik minyak goreng pada tahun sebelumnya. Sedangkan, harga domestik minyak kelapa dan pendapatan nasional tidak berpengaruh secara nyata terhadap konsumsi domestik minyak goreng. Dan berdasarkan hasil hasil simulasi dampak peningkatan kebijakan pajak ekspor CPO mengakibatkan penurunan ekspor CPO impor minyak goreng. Selain itu, meningkatkan produksi domestik minyak goreng, konsumsi domestik minyak goreng dan harga minyak goreng sawit. 2.15 Kerangka Konseptual

(34)

Pemerintah telah merumuskan kebijakan baru untuk minyak sawit di tahun 2008 secara menyeluruh, baik dari sisi tarif maupun kebijakan pengembangan industri hilir, menjaga daya saing ekspor, penerapan sustainable palm oil, dan perumusan kebijakan jangka panjang. Pemerintah melakukan evaluasi pada kebijakan yang masih berlaku. Saat ini pemerintah menerapkan pengenaan pajak ekspor secara progresif dengan berpatokan pada harga minyak sawit mentah di Rotterdam. Besaran harga patokan ekspor dan PE-nya akan ditentukan secara periodik setiap bulan. Sedangkan kebijakan lainnya saat ini ialah pemberian subsidi bagi PPN minyak goreng.

Harga CPO dalam negeri sangat ditentukan oleh harga CPO internasional. Harga CPO dunia yang tinggi merupakan daya tarik yang besar bagi pengusaha dalam negeri untuk mengekspor CPO dan menghindarkan diri dari kewajibannya memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pasokan CPO bagi industri minyak goreng sehingga stabilitas harga minyak goreng juga akan terganggu. Menurut Menteri Perdagangan (2007), kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri disebabkan oleh kenaikan harga minyak sawit mentah di pasar internasional. Artinya, pasar CPO dunia diduga mempengaruhi pasar CPO dan minyak goreng domestik.

(35)

fluktuasi harga dan ketidakpastian kebijakan dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini akan menguntungkan baik bagi industri, konsumen, dan tentunya pemerintah.

Dampak kebijakan ini dapat diduga dengan menggunakan metode ekonometrika, yaitu 2SLS. Alasan dipilihnya metode 2SLS ini karena pendugaan setiap parameternya unik dan penerapannya relatif mudah. Kerangka konseptual kebijakan perdagangan pajak ekspor terhadap industri kelapa sawit terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2.15 Kerangka Konseptual

Industri Kelapa Sawit (CPO)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

industri kelapa sawit

Produktivitas Luas Areal

Kelapa Sawit

Tingkat Produksi CPO

Kebijakan Pajak Ekspor

(36)

2.16 Hipotesis

Menurut (Sekaren, U., 2003) dalam Sukaria Sinulingga (2011:94), hipotesis suatu pernyataan tentang hubungan logis antara dua variabel atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diuji kebenarannya.Hipotesis dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang merupakan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Hipotesis ada dua yaitu hipotesis nol (Ho) dan hipotesis statistik (Ha). Hipotesis nol adalah hipotesis negatif yang menyangkal jawaban sementara yang dirancang oleh peneliti yang harus diuji kebenarannya dengan analisa statistik. Sedangkan hipotesis statistik adalah rumusan hipotesis yang akan diuji kebenarannya melalui perhitungan statistik. Berdasarkan perumusan masalah maka peneliti menetapkan hipotesis di dalam penelitian ini yaitu:

1. Variabel Harga CPO Domestik, dan variabel luas areal kelapa sawit 5 tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap luas areal kelapa sawit Sumatera Utara.

2. Variabel harga ekspor CPO, harga CPO domestik, dan produktivitas tahun sebelumnya berpengaruh possitif terhadap produktivitas CPO Sumatera Utara.

3. Variabel harga ekspor CPO, nilai tukar, pajak ekspor, produksi CPO dan ekspor CPO tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap ekspor CPO Sumatera Utara.

Gambar

Gambar 2.11 Proses Perdagangan Internasional (Keseimbangan Parsial)
Gambar 2.

Referensi

Dokumen terkait

The computed 5.68 m RMSE of AW3D30 is slightly higher than the expected vertical accuracy of the ALOS World 3D which is 5 m (RMSE).The computed mean errors are also slightly higher

Surat Keterangan sehat yang dikeluarkan oleh Dokter Pemerintah yang menyebutkan tidak buta wama.. ljazahl Surat Keterangan Hasil Ujian dari

(5) Setelah Jenis Pelayanan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Rawat I nap maupun Puskesmas Keliling yang belum tertolong dalam kelompok pelayanan tersebut pada

Moreover, this ICESat/GLAS system provides a consistently referenced elevation data set with unprecedented accuracy and quantified measurement errors that can be used to

Pada waktu yang bersamaan kelompok P.lombinasi diberi diet tinggi kolesterol yaitu suspensi otak sapi sebanyak 3 ml per tikus per hari dan diet kombinasi madu + minyak

Salah satu keputusan penting yang dihadapi manajer (keuangan) dalam kaitannya dengan kelangsungan operasi perusahaan adalah keputussan pendanaan atau keputusan

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas

Hasil Penelitian : Dari hasil uji hipotesis menggunakan uji korelasi spearman rank pada tingkat kepercayaan 99% (α = 0,01), dimana nilai rho(correlation coeffisient) sebesar