• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN PERILAKU MEMBELI KOMPULSIF (COMPULSIVE BUYING) PADA REMAJA PUTERI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN PERILAKU MEMBELI KOMPULSIF (COMPULSIVE BUYING) PADA REMAJA PUTERI SKRIPSI"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN PERILAKU

MEMBELI KOMPULSIF (COMPULSIVE BUYING)

PADA REMAJA PUTERI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Agnes Endah Wulandari NIM: 089114026

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN PERILAKU

MEMBELI KOMPULSIF (COMPULSIVE BUYING)

PADA REMAJA PUTERI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Agnes Endah Wulandari NIM: 089114026

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Untuk bisa meluncur maju dengan cepat, dayunglah

dengan perlahan”

-Norman Vincent Peale-

“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh

kepercayaan,

kamu akan menerimanya”

-Matius 21:22-

“ Buah paling manis dari berani bermimpi adalah

kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya”

-Andrea Hirata-

“Saya tidak dapat mengatakan seperti apa daya ini.

Yang saya ketahui adalah daya ini memang ada”

-Alexander Graham Bell (1847-1922)-

Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup

cukup lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri

(6)

v

SKRIPSI ini kupersembahkan bagi, Tuhan Yesus Kristus

Yang menjadi sahabat terbaik disetiap kesenangan dan kesulitan yang kutemukan Serta

Orang-orang terkasihku, yang banyak berkorban untukku dan memberikan cinta serta kasih sayang yang tulus

(7)
(8)

vii

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN PERILAKU MEMBELI KOMPULSIF (COMPULSIVE BUYING) PADA REMAJA PUTERI

Agnes Endah Wulandari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) pada remaja puteri. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan negatif antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) pada remaja puteri. Subjek penelitian ini adalah 136 remaja puteri dengan batasan usia 13 tahun sampai 21 tahun. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran skala harga diri dan skala perilaku membeli kompulsif. Koefisien reliabilitas dari skala harga diri adalah 0.900 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku membeli kompulsif adalah 0.769. Hasil uji linearitas dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kedua variabel yaitu variabel harga diri dan perilaku membeli kompulsif linier karena memiliki probabilitas sebesar 0.002 (p< 0.05). Penelitian ini menggunakan teknik korelasi Product Moment untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif pada remaja puteri Koefisien korelasi (r) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah -0.258 dengan probabilitas 0,001(p < 0.05). Hal ini menunjukkan ada korelasi negatif antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) pada remaja puteri. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi harga diri, maka semakin rendah perilaku membeli kompulsif pada remaja puteri

(9)

viii

CORRELATION BETWEEN SELF ESTEEM AND COMPULSIVE BUYING IN GIRLS ADOLESCENT

Agnes Endah Wulandari

ABSTRACT

This research aim was to find the correlation between self esteem and compulsive buying in girls adolescent. The hypothesis proposed there was a negative correlation between self esteem and compulsive buying in girls adolescent.The research subject were 136 girls adolescent from13 to 21 years old. Data collecting was performed by distributing the self esteem scale and compulsive buying scale. The reliability coefficient of the self esteem scale was 0.900 and

compulsive buying’s reliability coefficient was 0,769. Result of the linearity test in this study suggesting that two variables, which were self esteem and compulsive buying, was linier since they have probability by 0.002 (p < 0.05). This research used Product Moment correlation technique to finding out relationship between self esteem and compulsive buying in girls adolescent. Coefficient correlation (r) obtained in this study was -0.258 with probability by 0.001 (p < 0.05). This mean that there was negative correlation between self esteem and compulsive buying in girls adolescent. It can be concluded that the higher self esteem, the lower compulsive buying in girls adolescent

(10)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Agnes Endah Wulandari Nomor Mahasiswa: 089114026

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Hubungan Antara Harga Diri dan Perilaku Membeli Kompulsif (Compulsive

Buying) Pada Remaja Puteri

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 14 Februari 2012 Yang menyatakan,

(11)

x

KATA PENGANTAR

Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Skripsi dengan judul “Hubungan Antara Harga Diri dan Perilaku Membeli Kompulsif (Compulsive Buying) pada Remaja Puteri” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak pihak yang telah memberikan bantuan dengan caranya masing-masing, sehingga Skripsi ini bisa diselesaikan. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Christina Siwi. H., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik.

2. Ibu Titik Kristiyani., S. Psi., M. Psi., selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak Y. Heri Widodo., S. Psi., M. Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih pak karena telah membagikan ilmunya dan membimbing saya dalam mengerjakan skripsi hingga selesai.

4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, terima kasih untuk ilmu-ilmunya.. 5. Ibu Nanik, Mas Gandung, Mas Doni, dan Mas Muji, terima kasih untuk

keramahan dan pelayanan yang memuaskan.

6. Pak Gie untuk ketulusan dan kehangatan sapaannya saat berpapasan. 7. Ibu Andre, selaku Kepala Tata Usaha SMP Budya Wacana yang telah

(12)

xi

8. Bapak Joko, selaku guru SMA Stella Duce yang telah membantu penulis dalam kelancaran teknis penelitian.

9. Papa dan Mama yang telah bekerja keras untuk membiayai kuliah penulis dan selalu menyemangati penulis untuk menyelesaikan studi, terima kasih banyak ya Pap-Mom. You are the best for me, hanya karya ini yang bisa kupersembahkan untuk kalian selama aku berada di Jogja. I Love You so Much.

10.Saudara kandungku Mbak Sari dan Mas Kunto yang selalu menjadi pedoman dan sahabat terbaik yang selalu menghibur. Kalian selalu menjagaku dan selalu menghiburku disaat aku merasa bosan dan saat aku merasa sangat lemah. I Love You so Much.

11.Sahabatku dalam suka dan duka Giovani Batista Dian Argo, kamu tidak akan pernah tergantikan. Orang yang sangat mengerti aku dan selalu sabar denganku. Ich Liebe Dich.

12.Mbak Yanti’06, Mbak Vivi’06, Mbak Dita’07, Mbak Bernadeta Puteri’07,

Mbk Jes’05, Mbak Sisil’07, Mbak Sela’07, Mbk Anas’07, dan Mbak

Tia’07 yang telah menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang penelitian

ini, makasih banyak ya mbak.

(13)

xii

14.Anak-anak mantan Kos Puteri Ayu, Mbak Ica, Fheni, Novia, Nadia, Heni, Berta, Lia, Rista, Asti, Nona, Wiwik, Rinda, dan Ana. Kalian adalah teman-teman kos yang paling gila hahaha.. terima kasih atas kebersamaannya.

15.Sepupuku Hidram dan Anton. Kalian selalu menyemangati aku untuk menyelesaikan skripsi ini. Danke Gut.

16.Teman-teman kecilku Ivan, Caesa, Raindy, Martin, Pipit, Raras, Ratih, Andrew, Yoga dan Rio, kalian juga tidak akan pernah tergantikan. Terima kasih untuk semangatnya dan persahabatan kita selama ini. I Love you all.. 17.Teman-teman Psikologi, Budi, Noni, Vivi, Flavia, Lucy, Ade, Mila, Ayu, Dewi, Berto, Vincent, Dila, Stenly, Sinto, Fani, Adit, Tiwi, Agung, Devi, Puput, Chelly, Flavia, Chike, Mbak Ray, dan seluruh angkatan 2008. Thanks for the support.

(14)

xiii

Dengan rendah hati penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai kritik dan saran untuk perbaikan Skripsi ini sangat diharapkan. Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.

Yogyakarta, Februari 2012 Penulis

(15)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR BAGAN ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

(16)

xv

1. Pengertian Remaja ... 11

2. Rentang Usia Masa Remaja ... 12

3. Perkembangan Pribadi ... 13

4. Beberapa Minat Remaja………... ... 17

5. Tugas-tugas Perkembangan Pada Remaja Puteri ... 21

6. Kesulitan Yang Akan Muncul Dalam Pelaksanaan Tugas Perkembangan ... 22

B. Perilaku Membeli Kompulsif ... 24

1. Pengertian Perilaku Membeli Kompulsif ... 24

2. Gejala Membeli Kompulsif ... 25

3. Etiologi Perilaku Membeli Kompulsif ... 28

4. Tahapan Perilaku Membeli Kompulsif ... 34

5. Akibat Perilaku Membeli Kompulsif ... 35

C. Harga Diri ... 37

1. Pengertian Harga Diri ... 37

2. Aspek-aspek Harga Diri ... 38

3. Perkembangan Harga Diri ... 40

D. Dinamika Hubungan Antara Harga Diri dan Perilaku Membeli Kompulsif ... 42

E. Hipotesis Penelitian ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

(17)

xvi

C. Definisi Operasional ... 48

1. Harga Diri ... 48

2. Perilaku Membeli Kompulsif ... 49

D. Sampling Penelitian ... 50

E. Subjek Penelitian ... 50

F. Metode Pengumpulan Data ... 51

1. Skala Compulsive Buying ... 51

2. Skala Harga Diri ... 52

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52

1. Estimasi Validitas ... 52

2. Seleksi Item ... 53

3. Estimasi Reliabilitas ... 56

H. Teknik Analisis Data ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

a. Uji Normalitas ... 57

b. Uji Linearitas ... 57

2. Uji Hipotesis.……….... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 58

A. Pra Penelitian, Pelaksanaan Penelitian dan Data Demografi ... 58

1. Pra Penelitian ………. ... 58

2. Pelaksanaan Penelitian ………. .... 58

3. Data Demografi ……….. .. 59

(18)

xvii

1. Uji Normalitas ... 60

2. Uji Linearitas ... 61

3. Uji Hipotesis ... 61

C. Data Deskriptif ... 63

D. Pembahasan ……….. 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Keterbatasan Penelitian ... 72

C. Saran ... 73

(19)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Harga Diri Sebelum Uji Coba ... 54

Tabel 2 Blue Print Skala Harga Diri Setelah Uji Coba... 55

Tabel 3 Blue Print Skala Harga Diri untuk Penelitian Setelah Penyusunan Ulang Nomer Item... 56

Tabel 4 Data Demografi. ... 59

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Sebaran. ... 60

Tabel 6 Hasil Uji Linearitas Hubungan. ... 61

Tabel 7 Hasil Korelasi Skor Harga Diri dan Perilaku Membeli Kompulsif ... 62

Tabel 8 Tabel Deskripsi Data Penelitian. ... 63

(20)

xix

DAFTAR BAGAN

(21)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

SKALA PENELITIAN ... 79

SKALA HARGA DIRI ... 80

SKALA COMPULSIVE BUYING ... 83

HASIL PENELITIAN ... 84

Reliabilitas Skala Harga Diri ... 85

Reliabilitas Skala Compulsive Buying ... 87

Normalitas ... 88

Linearitas ... 88

Korelasi ... 89

Korelasi Setiap Aspek ... 90

Deskriptif ... 91

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang tingkat konsumsinya menempati urutan ke tujuh di wilayah Asia Pasifik (Cannon, 2006). Pembelanjaan konsumsi komersial di Indonesia senilai US$381 miliar. Angka ini termasuk tinggi untuk daratan Asia Pasifik. Posisi pertama diduduki oleh Jepang yang pembelanjaan konsumsi komersialnya mencapai US$5,4 triliun, Cina diposisi kedua sebesar US$3,6 dan India US$1,9 triliun.

(23)

sebanyak 64%. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa perilaku pembelian pada remaja awal sebagian besar dipengaruhi oleh teman sebaya dan peran mode.

Tahapan perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh peran teman sebaya adalah tahap remaja. Teman sebaya menjadi faktor yang sangat penting dimasa remaja karena teman sebaya akan membantu memberikan penilaian, perbandingan, dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh remaja yang bersangkutan (Hurlock, 1991).

Informasi yang dibutuhkan remaja tidak lepas dari minat remaja pada umumnya seperti minat terhadap penampilan diri dan pakaian. Minat pakaian akan bertambah besar pada masa remaja akhir ketika mereka menyadari bahwa penampilan yang menarik berperan penting dalam dukungan sosial (Hurlock, 1991).

(24)

merasa lebih nyaman dengan diri mereka sendiri, jika mereka menggunakan pakaian yang modis.

Berbelanja merupakan hal yang wajar dilakukan oleh para remaja puteri, menjadi tidak wajar ketika mereka belanja secara berlebihan. Uni Eropa mengidentifikasi 46% dari orang Scotlandia yang berumur 16-18 tahun menunjukkan kecenderungan awal kearah perilaku membeli yang tidak terkontrol. Mereka dilaporkan tidak sanggup melawan stimuli iklan dan kurang dapat mengontrol kebiasaan membeli yang berlebihan atau membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan (Garces Prieto dalam Dittmar, 2005). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh Niu dan Wang (2009) melibatkan 337 siswa yang berusia 13-20 tahun. Dari penelitian tersebut didapat bahwa subjek yang mempunyai pekerjaan paruh waktu menunjukkan kecenderungan pembelian impulsif.

(25)

penelitian ini berumur 18 tahun ke atas. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang positif antara usia konsumen dengan kecenderungan pembelian kompulsif. Perilaku membeli kompulsif diawali pada individu yang berusia lebih muda. Selain itu, Coulton (dalam Robert, 1998) memperkirakan 12-15 juta mahasiswa prasarjana di United State berpotensi memiliki perilaku membeli kompulsif.

Black dan Kuzma (2006) mendeskripsikan bahwa perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) sebagai keinginan kompulsif untuk belanja dan hal ini dianggap sebagai kecanduan klinis atau gangguan kontrol impuls karena individu tidak dapat mengendalikan dorongan. Istilah lainnya disebut

shopaholism, oniomania, compulsive shopping, dan addictive buying.

Individu yang mengalami compulsive buying mempunyai dorongan yang begitu besar untuk membeli suatu barang, tetapi dorongan tersebut tidak dapat dikontrol oleh individu yang bersangkutan. Menurut O‟Guinn dan Faber (1989), individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif tidak bisa mengontrol dirinya untuk membeli suatu barang. Selanjutnya menurut Mc Elroy dan Arnold (dalam Durand & Barlow, 2006) beberapa individu mempunyai dorongan tak-dapat-ditolak dalam tindakan membeli atau berbelanja yang kompulsif.

(26)

dan Jones, 2001). Sedangkan lebih dari 60% keadaan bangkrut melibatkan orang-orang muda yang berumur dibawah 30 tahun karena penggunaan kartu kredit (Credit Action dalam Dittmar, 2005).

Selain tagihan kartu kredit, remaja puteri akan meminta uang ke orang tua, memakai uang kuliah, mengutang pada teman, dan melakukan penipuan atau penggelapan. Dalam contoh kasus, Betty Jean Brachie dari Kunkletown telah mendapat hukuman 27 bulan dalam penjara karena menggelapkan 1.5 juta US dollar selama 8 tahun dari kredit union tempat dia bekerja sebagai kepala cabang. Dia menggunakan uang tersebut untuk membeli banyak barang seperti 100 pasang sepatu, lebih dari 3000 buku, dan 58 mantel (Pat Curry, tanpa tahun). Selain itu, dalam penelitian yang dilakuan O‟Guinn dan Faber (1989), individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif mempunyai banyak kartu kredit tetapi mereka tidak membayar secara penuh tagihannya disetiap bulan.

(27)

atau penyesalan yang mendalam setelah membeli barang yang tidak dibutuhkan. Hasil dari penelitian mereka ditemukan bahwa individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif memperlihatkan secara signifikan angka yang lebih besar tentang penyesalan yang dalam setelah berbelanja. Dari wawancara yang dilakukan oleh O‟Guinn dan Faber (1989), didapat adanya perasaan kesepian dan individu akan mengasingkan diri dari orang lain. Individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif akan malu pada perilaku mereka dan merasa bahwa orang lain tidak mengerti dengan masalah mereka.

Selain itu, pada kasus ini, Ms. A telah menjadi compulsive buying sejak ia berusia 19 tahun ketika pertama kali dia mendapatkan kartu kredit. Ms. A mengatakan bahwa berbelanja memberikannya desakan emosional dimana selalu diikuti oleh perasaan bersalah setelah berbelanja. Selain itu, dia sering mengembalikan atau memberikan barang yang sudah dibeli kepada orang lain (Black dan Kuzma, 2006).

Kesulitan-kesulitan yang muncul tidak akan dihiraukan oleh individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif karena perilaku ini dapat muncul lagi ketika seseorang sedang mengalami perasaan sedih, sepi, marah, depresi, dan cemas (Engs, tanpa tahun). Hal lainnya yang mempengaruhi individu mempunyai perilaku membeli kompulsif adalah harga diri yang rendah (Roberts dan Jones, 2001).

(28)

bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi individu terhadap dirinya sendiri. Evaluasi ini menyatakan suatu sikap yang dapat berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga menurut standar dan nilai pribadinya.

Berne dan Savary (1998) mengemukakan bahwa individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan mengenal dan menerima segala keterbatasan dalam dirinya. Dia tidak merasa malu akan keterbatasan itu, tetapi menjadikannya sebagai tantangan agar individu dapat berkembang. Pandangan yang tidak jauh berbeda diutarakan Michener dan DeLamater (dalam Sari, Rejeki, dan Mujab, 2006) bahwa individu dengan harga diri yang tinggi mempunyai sikap asertif, terbuka, dan memiliki keperayaan terhadap dirinya. Hal ini memungkinkan mereka untuk menyatakan diri apa adanya sehingga tidak menutupi kelemahan yang ada dalam dirinya.

(29)

Menurut pandangan Erikson (dalam Santrock, 2002) remaja memasuki masa pencarian dan pembentukan identitas diri. Remaja yang tidak berhasil membentuk identitas diri dan mengalami krisis identitas akan mengalami kebingungan identitas. Hal ini memungkinkan remaja untuk menarik diri dari lingkungan. Remaja yang menarik diri dari lingkungan salah satunya karena malu terhadap dirinya sendiri, sulit menghadapi kritik, dan sulit menghadapi penolakan. Hal ini merupakan ciri dari remaja yang mempunyai harga diri yang rendah (Bernichon, Cook, dan Brown, 2003).

Salah satu usaha untuk menaikkan harga diri individu adalah dengan berbelanja. Hal ini sesuai dengan pendapat O‟Guinn and Faber (1989), mereka mengatakan bahwa perilaku membeli kompulsifdigunakan untuk menetralkan perasaan atas harga diri yang rendah, sehingga individu akan berfikir bahwa belanja membuat mereka tampak makmur, mempesona, dan lebih menarik.

Ridgway, Kinney, & Monroe (2008) menunjukkan studi lain dari compulsive buying. Mereka menemukan bahwa compulsive buying merata di US, sekitar 8.9% atau lebih tinggi. Studi diselenggarakan dengan melibatkan 1.200 orang. Hasil studi ditemukan bahwa individu yang mengalami compulsive buying mempunyai harga diri yang rendah dan mempunyai perasaan negatif yang akan dibebaskan melalui berbelanja. Selain itu, dalam

penelitian yang dilakukan Faber and O‟Guinn (1989), mereka mengumpulkan

(30)

tersebut, individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif secara signifikan mempunyai skor harga diri yang lebih rendah daripada subjek yang tidak mempunyai perilaku membeli kompulsif.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian permasalahan tersebut peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) pada remaja puteri.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) pada remaja puteri?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying) pada remaja puteri.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(31)

2. Manfaat Praktis

(32)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Remaja Akhir

1. Pengertian Remaja

Gunarsa (1986) mendefinisikan remaja menjadi dua kelompok:

1. Pubertas (dalam bahasa Latin) adalah perubahan dalam fisik dan psikis pada diri individu. Selain itu juga adanya pelepasan diri dari ikatan emosional dengan orang tua untuk membentuk rencana kehidupan dengan menggunakan sistem nilai sendiri.

2. Adolescentia (berasal dari bahasa Latin) adalah masa setelah pubertas. Pada masa ini adanya perubahan dalam hubungan individu dengan lingkungan masyarakat individu.

Pandangan yang tidak jauh berbeda diutarakan Neidhart (dalam Gunarsa, 1986). Ia berpendapat bahwa adolesensia adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Pada masa ini individu harus bisa menjadi mandiri. Santrock (2007) menambahkan bahwa masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang memperlihatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.

(33)

tetap dikenali oleh orang lain. Anna Freud (dalam Gunarsa, 1986) menambahkan adolesensia adalah masa terjadinya perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual dan perubahan dalam hubungan dengan orangtua, orang lain, dan cita-cita yang ingin diraih.

Pandangan berbeda diutarakan Hall (dalam Santrock, 2007). Ia mengemukakan bahwa masa remaja sebagai masa badai dan stress yang ditandai adanya pergolakan dan konflik suasana hati.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa adolecensia adalah masa setelah pubertas. Masa ini merupakan masa peralihan sehingga akan terjadi perubahan-perubahan pada aspek identitas psikoseksual dan hubungan individu dengan orang lain, serta cita-cita yang ingin diraihnya.

2. Rentangan Usia Masa Remaja

Menurut Hall (dalam Santrock, 2007) rentang usia remaja antara 12 tahun - 23 tahun.

Menurut Hurlock (1991) masa puber atau pramasa remaja: 10/12 tahun-13/14 tahun dan masa remaja berkisar 13/14 tahun - 18 tahun.

(34)

adolescentia. Masa pubertas berkisar antara 12 tahun - 15 tahun, sedangkan adolescentia berkisar antara 17 tahun- 22 tahun.

Secara khusus Liang (dalam Mappiare, 1982) membedakan masa puberteit pada wanita dan pria. Pada wanita sebagai berikut: prae puberteit 12 tahun-13 tahun, puberteit 13 tahun-18 tahun, adolescence 18 tahun- 21 tahun. Sedangkan menurut WHO (dalam Sarwono, 1994) batasan usia remaja wanita adalah antara 10 tahun-20 tahun.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja terdiri dari 2 masa, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Individu ini umurnya berkisar antara 13 tahun - 22 tahun.

3. Perkembangan Pribadi

Santrock (2007) memaparkan mengenai perkembangan masa remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja puteri, maka yang dibahas pada perkembangan pribadi adalah remaja puteri. Santrock membaginya menjadi dua kelompok, antara lain:

a. Perkembangan biologis

(35)

perubahan fisik yaitu melebarnya pinggul pada wanita, pertambahan berat tubuh, dan pertumbuhan buah dada.

b. Perkembangan sosio-emosional

Perubahan sosio-emosional berlangsung dimasa remaja yang meliputi antara lain: tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua, dan keinginan lebih banyak untuk meluangkan waktu bersama teman-teman sebaya. Percakapan dengan teman sebaya menjadi lebih intim dan mereka lebih membuka diri. Wanita lebih mempunyai sikap kooperatif dengan teman-temannya. Selain itu, mereka mulai menyadari bahwa mereka akan segera bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan kehidupannya. Hal yang selanjutnya adalah prestasi menjadi hal yang penting dan tantangan akademis meningkat.

Gunarsa (1986) mempunyai pandangan yang hampir sama dengan Santrock. Ia membagi perkembangan pribadi remaja menjadi tiga kelompok, antara lain:

a. Perkembangan fisik

(36)

Pada perkembangan yang berkaitan dengan kognitif lebih mengarah ke pemikiran tentang dirinya atau refleksi diri.

c. Perkembangan sosio-emosional

Pada perkembangan ini terlihat adanya beberapa perubahan, antara lain: perubahan dalam hubungan antara anak dan orangtua, dan orang lain dalam lingkungan dekatnya, perubahan dalam perilaku, pengamalan, dan kebutuhan seksual, dan perubahan dalam harapan dan tuntutan orang terhadap remaja. Banyak perubahan dalam waktu yang singkat memungkinkan untuk timbul masalah dalam penyesuaian dan usaha memadukannya.

Pandangan yang berbeda mengenai perkembangan sosio-emosional tentang remaja diutarakan Erikson (dalam Santrok, 2007). Remaja memasuki tahap identitas versus kebingungan identitas. Individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapa diri mereka, bagaimana mereka nantinya dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidup. Jika suatu identitas terlalu dipaksakan oleh orangtua dan jika remaja tidak cukup berhasil dalam menjajaki berbagai peran dan mendefinisikan masa depannya secara positif, maka mereka akan mengalami kebingungan identitas.

(37)

dimasa-masa selanjutnya. Banyak hal yang akan mempengaruhi kepribadian, citra diri, dan rasa percaya diri pada remaja. Hal tersebut antara lain:

a. Penampakan menyeluruh

Dalam pembentukkan pribadi dipengaruhi oleh kondisi fisik dan psikis. Kondisi fisik yang kurang seperti cacat dan tubuh yang mudah lemah ataupun kondisi psikis yang lemah seperti rasa malu yang berlebihan dan lemah dalam berfikir. Keadaan ini bisa memunculkan masalah seperti rasa rendah diri dihadapan teman sebaya.

b. Nama atau panggilan

Nama atau panggilan yang aneh atau yang tidak sesuai dengan norma kelompok dapat mengurangi rasa percaya diri mereka sehingga remaja akan mengganti nama atau panggilan tersebut.

c. Pakaian dan perhiasan

(38)

11

d. Teman-teman sebaya

Teman-teman sebaya sangat mempengaruhi remaja dalam melakukan penilaian diri. Penerimaan dari kelompok memperkuat citra diri dan penilaian diri seorang remaja. Selain itu, penolakan dari kelompok akan mengurangi penilaian diri yang positif bagi remaja tersebut.

e. Keadaan keluarga

Keadaan keluarga seperti situasi rumah, pola asuh orang tua, dan hubungan inter anggota keluarga berpengaruh terhadap citra diri remaja yang positif dan rasa percaya diri bagi remaja.

4. Beberapa Minat Remaja

Remaja mempunyai minat yang pada akhirnya minat ini akan dinilai secara lebih kritis oleh individu yang bersangkutan agar mengetahui mana yang benar-benar penting. Remaja yang sudah melakukan penilaian kritis terhadap minatnya ini cenderung akan menstabilkan minatnya dan membawanya kedalam masa dewasa (Hurlock, 1991). Minat itu antara lain:

a. Minat rekreasi

(39)

banyak menggunakan waktu dan tenaganya untuk rekreasi. Oleh karena itu, remaja lebih memilih kegiatan yang benar-benar ia sukai. Bentuk rekreasi yang disukai oleh remaja seperti permainan kartu, bersantai sambil mengobrol, merokok, minum-minuman keras, atau obat-obatan terlarang, berpergian bersama teman untuk berlibur dan ingin pergi jauh dari rumah, melakukan hobi yang disenangi diri sendiri seperti memperbaiki motor dan menjahit, membaca majalah dan surat kabar, menonton televisi, mendengarkan lagu dari radio dan kaset, menonton film di bioskop, dan melamun.

b. Minat sosial

(40)

c. Minat pribadi

Minat ini merupakan minat yang paling kuat yang terjadi di masa remaja. Hal ini karena remaja tahu bahwa dukungan sosial akan kuat bila mereka mempunyai penampilan diri yang menarik, jumlah benda-benda yang dimiliki, kemandirian, keanggotaan sosial dan banyaknya uang yang dibelanjakan. Hal ini merupakan

“simbol status” yang akan meningkatkan wibawa remaja dan

menambah dukungan sosial. Minat pribadi dibedakan menjadi: c.1. Minat pada penampilan diri

Minat pada perhiasan pribadi, kerapihan, daya tarik, dan bentuk tubuh yang sesuai dengan seksnya. c.2. Minat pada pakaian

(41)

c.3. Minat pada prestasi

Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan pribadi dan ketenaran. Dengan adanya kepuasan pribadi diharapkan mampu menimbulkan harga diri yang tinggi terhadap dirinya sendiri karena prestasi tersebut diterima oleh teman sebayanya. Tetapi remaja cenderung mempunyai cita-cita tinggi yang tidak realistis, bila cita-citanya tidak tercapai maka tidak akan mendatangkan kepuasan.

c.4. Minat pada kemandirian

Adanya sikap kemandirian yang kuat dari awal sampai akhir masa remaja. Kemandirian ini dapat memunculkan perselisihan jika orang tua terlalu mengikuti kehendaknya seperti menginginkan anaknya tetap tinggal dirumah. Disisi lain, remaja tidak ingin dikekang untuk tinggal di rumah.

c.5. Minat pada uang

(42)

5. Tugas-tugas Perkembangan Pada Remaja Puteri

Menurut Havighurs (dalam Yusuf, 2008) tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai berikut:

a. Menerima keadaan fisik. Remaja wanita pertumbuhan fisiknya lebih cepat daripada remaja pria. Selain itu, fisik remaja wanita menjadi daya tarik pria. Namun, fisik remaja wanita lebih lemah daripada remaja pria.

b. Menerima peran sebagai wanita. Peran remaja wanita sekarang lebih diberikan kebebasan daripada remaja wanita pada generasi sebelumnya, sebagai contoh remaja wanita dapat memilih secara mandiri untuk bekerja dalam bidang bisnis atau profesi lainnya. c. Menjalin hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

Pada remaja wanita akan cenderung membentuk “kelompok”.

d. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lain, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan tentang tingkah laku pribadinya sendiri.

e. Memperoleh kebebasan untuk mengatur ekonomi/keuangan. f. Memilih dan mempersipkan diri pada suatu pekerjaan atau

jabatan.

(43)

h. Menginginkan dan berperilaku yang diperbolehkan oleh masyarakat. Remaja puteri lebih banyak berperilaku patuh, mengikuti arturan, bersikap manis dan tertib.

i. Mempersiapkan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga.

6. Kesulitan Yang Akan Muncul Dalam Pelaksanaan Tugas Perkembangan

Menurut Gunarsa (1986) ada beberapa kesulitan yang akan dialami remaja dalam melaksanakan tugas perkembangannya, antara lain:

a. Tidak mampu menerima keadaan fisik

Perbedaan antara harapan remaja maupun harapan lingkungan dengan keadaan fisik remaja, menimbulkan masalah bagi remaja, sehingga sulit bagi remaja menerima keadaan fisiknya termasuk didalamnya adalah penampilan dirinya. Penampilan yang tidak sesuai dengan penampilan yang diidamkannya akan dapat mengecewakan diri, sehingga ruang gerak pergaulannya menjadi sempit.

b. Tidak memperoleh kebebasan emosional

(44)

harus dihindari, tujuan mana yang harus dikejar dan tindakan atau keputusan mana sebaiknya yang diambil. Pertentangan dan perselisihan paham yang tidak terselesaikan di rumah sering memaksa remaja mencari ketenangan diluar rumah, sehingga akan mudah mendapatkan pengaruh yang kurang baik yang menjerumuskan.

c. Tidak mampu bergaul

Adanya perasaan malu pada remaja. Perasaan diri tidak sesuai dengan harapan sendiri dan harapan orang lain, akan menghambat usahanya dalam melibatkan diri dalam pergaulan yang lebih laus. Dalam hal ini remaja mudah terombang-ambing dan tidak dapat menempatkan dirinya.

d. Tidak menemukan model untuk identifikasi

Ikatan pribadi antara remaja dan orang lain sangat penting untuk pembentukkan identitas diri. Pembentukkan identitas diri bisa didapat dari masyarakat. Individu akan mencontoh tingkah laku dan kepribadian dari model yang ada dalam masyarakat.

e. Tidak mengetahui dan menerima kemampuan diri

(45)

perasaan putus asa. Masalah yang sering timbul adalah keinginan yang terlalu tinggi dan cita-cita yang muluk sehingga tidak terjangkau oleh kemampuannya. Hal ini bisa menimbulkan frustasi bagi remaja. Hal lainnya adalah pandangan masyarakat baik harapan maupun tuntutan terhadap remaja yang tidak bisa dipenuhinya akan menjadi salah satu sumber penyebab frustasi. Akibatnya ada rasa putus asa, agresifitas, dan tindakan nekat, sehingga perlu penanganan pencegahan sedini mungkin.

B. Perilaku Membeli Kompulsif

1. Pengertian Perilaku Membeli Kompulsif

(46)

McElroy, Phillips, & Keck (dalam Frost, Kim, Morris, Bloss, Close, dan Steketee, 1998) telah mendefinisikan perilaku membeli kompulsif sebagai perilaku yang tidak dapat dikendalikan dan perilaku yang sangat menyusahkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mueller & Zwaan (2008) yang mendefinisikan perilaku membeli kompulsif sebagai belanja yang berlebihan dan tidak ada gunanya. Hal ini disebabkan oleh kesulitan yang akan mengganggu kehidupan sosial atau fungsi yang berhubungan dengan pekerjaan serta akan menimbulkan masalah finansial.

Dari pengertian yang dijabarkan oleh para tokoh, dapat disimpulkan bahwa perilaku membeli kompulsif adalah perilaku pembelian yang dilakukan secara impulsif (berulang) dan individu yang bersangkutan tidak bisa mengontrol impuls membeli. Individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif, kehidupan sosialnya akan terganggu dan memunculkan masalah finansial.

2. Gejala Membeli Kompulsif

Berdasarkan ciri-cirinya, gejala tersebut bisa dibagi menjadi gejala psikologis, yaitu gejala yang dirasakan orang yang bersangkutan sendiri dan gejala perilaku, yaitu gejala yang bisa dilihat dan diamati orang lain.

a. Gejala psikologis

(47)

a) Dorongan yang tidak dapat ditahan yaitu dorongan mendesak dalam diri yang mengharuskan seseorang berbelanja.

b) Berbelanja dengan rasa semangat dan senang yang berlebihan.

c) Merasa malu, merasa sangat menyesal, dan distress setelah berbelanja.

McElroy, Keck, Pope, Smith, dan Strakowski (1994) berpendapat gejala psikologis membeli kompulsif seperti:

a) Adanya impuls untuk membeli.

b) Sering merasa senang yang berlebihan ketika membeli sesuatu.

c) Merasa distress setelah berbelanja.

b. Gejala perilaku

Menurut Black dan Kuzma (2006) gejala perilaku membeli kompulsif seperti:

a) Perilaku belanja yang berulang.

b) Mencurahkan waktu hanya untuk belanja. c) Sering menghabiskan uang untuk berbelanja. d)Melakukan penyangkalan terhadap perilaku

(48)

e) Sering menyembunyikan belanjaannya dari orang lain.

f)Berfantasi mengenai pembelanjaan yang akan datang.

McElroy, Keck, Pope, Smith, dan Strakowski (1994) berpendapat gejala perilaku membeli kompulsif seperti:

a)Subjek tidak dapat menahan diri untuk melakukan pembelian.

b) Sering membeli barang yang tidak dibutuhkan. c) Belanja untuk periode waktu yang panjang.

Pandangan yang hampir serupa diutarakan oleh O‟Guinn dan Faber (1989). Mereka mengidentifikasi tiga dimensi konseptual yang berkaitan dengan membeli kompulsif:

a) Kecenderungan untuk menghabiskan

Pembeli kompulsif harus menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk menghabiskan/ mengeluarkan uang daripada pembeli yang tidak kompulsif.

b) Aspek reaktif (adanya dorongan tak tertahankan untuk membeli)

(49)

c) Rasa bersalah pasca-pembelian

Individu yang terlibat dalam pembelian kompulsif sering merasa penyesalan atas perilaku mereka.

3. Etiologi Perilaku Membeli Kompulsif

Ada beberapa etiologi dari perilaku membeli kompulsif seperti keluarga, psikologis, dan sosiologis (Faber, 1992)

a. Pengaruh keluarga

(50)

penghargaan terhadap perilaku. Perhargaan berupa barang atau uang merupakan reward yang akan menimbulkan sikap matrealistik, sehingga lama-lama anak akan termotivasi untuk mendapatkan barang yang ia inginkan. Anak akan mempelajari perilaku orangtuanya tersebut untuk membeli barang sebagai hadiah atau penghargaan untuk dirinya sendiri sehingga ia akan berpotensi menjadi pembeli kompulsif.

b. Pengaruh psikologis b.1. Harga diri

(51)

kemungkinan akan meningkatkan perilaku membeli kompulsif.

b. 2. Berfantasi

Menurut Orford (dalam Faber, 1992) fantasi adalah cara untuk menghindar dari masalah. Individu yang berfantasi akan menekan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri. Berfantasi menjadi orang yang sukses, dapat diterima dalam masyarakat dan juga berfantasi hal-hal yang menyenangkan lainnya. Kemampuan untuk berfantasi mungkin dibutuhkan untuk terjadinya perilaku membeli kompulsif. Ketika individu merasa tidak bisa diterima dimasyarakat, maka ia akan berfantasi mengenai dirinya yang mempunyai dan memakai barang-barang yang mewah sehingga ia akan diterima masyarakat. Pada akhirnya fantasi tersebut akan direalisasikan dalam kenyataan.

c. Pengaruh sosiologis

(52)

c. 1. Siaran televisi

Penonton televisi mempercayai bahwa dunia yang nyata digambarkan sama dengan yang ada di televisi. Perbedaan antara apa yang dilihat di televisi dan kehidupan penonton menciptakan tegangan dan ketidakbahagiaan karena orang lain mempunyai sesuatu yang lebih dari apa yang dimilikinya sendiri. Selain itu, penonton belajar untuk menilai penampilannya dan barang-barang yang dimiliki, apakah barang-barang tersebut tergolong mewah atau tidak mewah. Hal ini menciptakan suatu keinginan untuk memiliki apa yang orang lain miliki dan hal ini memunculkan perilaku membeli kompulsif.

c.2. Tekanan teman sebaya

Pengaruh teman sebaya kuat pada masa remaja dan dewasa awal. Teman sebaya memberikan penilaian, perbandingan, dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh individu. Menurut

d‟Astous (dalam Faber, 1992) teman adalah peran

(53)

akan memunculkan perilaku membeli kompulsif. Remaja akan terus-menerus membeli pakaian sesuai dengan standart kelompoknya karena itulah cara agar ia mendapatkan penerimaan dan dihargai oleh orang lain (Moschis & Cox, 1989).

c.3. Penggunaan dan akses kartu kredit

(54)

(2006). Penelitian ini dilakukan oleh 2.513 individu dewasa United States. Pendapatan pekerjaan mereka dibawah $50.000. Hasil dari penelitian ini ditemukan jumlah kredit yang tersisa pada kartu kredit compulsive buyers tidak lebih dari $500. Kartu kredit akan memunculkan kecenderungan untuk membeli secara kompulsif karena individu tersebut bisa membeli bermacam barang yang diinginkan dengan kredit.

c.4. Motivasi berbelanja secara online

(55)

4. Tahapan Perilaku Membeli Kompulsif

Donald Black (2007) mengidentifikasi 4 tahap dari perilaku membeli kompulsif, antara lain:

1. Antisipasi

Individu dengan perilaku membeli kompulsif mengembangkan pemikiran adanya dorongan atau perasaan senang dengan salah satu barang atau dengan tindakan berbelanja itu sendiri.

2. Persiapan

Individu mempersiapkan untuk belanja dan menghabiskan uang. Ini bisa termasuk keputusan tentang waktu dan tempat dimana ia akan belanja, menentukan pakaian apa yang mau dibeli, dan mempersiapkan kartu kredit yang akan digunakan. Orang dengan perilaku membeli kompulsif mungkin memilih tempat yang menawarkan barang diskon, mode terbaru, atau toko yang baru.

3. Belanja

(56)

4. Menghabiskan Uang

Adanya pembelian yang diikuti oleh sebuah perasaan kecewa dengan diri sendiri. Emosi yang negatif (seperti depresi, cemas, bosan, marah) merupakan hal yang paling umum pada perilaku membeli kompulsif. Perasaan yang sangat senang merupakan pembebasan dari emosi yang negatif tersebut.

5. Akibat Perilaku Membeli Kompulsif

Menurut Black & Kuzma (2006) perilaku membeli kompulsif mempunyai beberapa akibat yaitu:

a. Adanya masalah finansial

Individu yang tidak mempunyai uang untuk membeli barang bisa melakukan berbagai cara, seperti: minta uang ke orangtua, berhutang pada teman dan memakai uang kuliah.

b. Adanya gangguan emosional

(57)

adalah perasaan malu pada diri sendiri dan orang lain karena tidak mampu mengontrol dorongan belanja yang kuat.

O‟Guinn dan Faber (1989) mempunyai pendapat yang serupa

mengenai akibat dari perilaku membeli kompulsif, yaitu:

a. Adanya rasa tidak puas padahal sudah banyak waktu yang terbuang untuk berbelanja.

b.Adanya rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. c. Adanya perselisihan di keluarga dan perceraian. d. Hutang yang berlebihan.

e. Penggelapan atau pencurian, menulis cek palsu. f. Usaha bunuh diri.

Selain itu, menurut Dittmar (2005) individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif mempunyai akibat pada:

a. Masalah sosial dan pekerjaannya. b. Masalah finansial seperti berhutang.

Menurut Lejoyeux (dalam Ergin, 2008) akibat negatif dari perilaku membeli kompulsif yaitu:

(58)

C. Harga Diri

1. Pengertian Harga Diri

Ada beberapa pengertian mengenai harga diri. Coopersmith (1967) juga menyatakan bahwa harga diri merupakan hasil evaluasi individu terhadap dirinya sendiri. Evaluasi ini menyatakan suatu sikap yang dapat berupa penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa dirinya mampu, berarti, berhasil, dan berharga menurut standar dan nilai pribadinya.

Menurut Santrock (2007) harga diri yaitu image atau penilaian positif seseorang untuk dirinya yang berupa evaluasi global seseorang mengenai dirinya. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan dirinya. Rosenberg (dalam Santrock, 2007) berpendapat yang sama tentang harga diri, yaitu sebagai gambaran evaluasi diri yang positif dan negatif sebagai diri yang berharga. Selain itu, Tambunan (2001) menyatakan bahwa harga diri adalah penilaian individu terhadap diri. Hal ini diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat negatif dan positif.

(59)

Evaluasi ini didapat dari hasil interaksi individu dengan lingkungannya, serta penerimaan, penghargaan, dan perlakuan yang diterima dari orang lain

Pandangan berbeda diutarakan Brown (dalam Widodo, 2004), harga diri adalah objek kesadaran diri dan yang menentukan individu berperilaku. Selain itu, Steinberg (1999) mengatakan bahwa harga diri merupakan konstruk yang penting dalam kehidupan sehari-hari, juga berperan serta dalam menentukan tingkah laku seseorang.

Dari pengertian yang dijabarkan oleh para tokoh, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang berupa penilaian positif dan negatif yang dilakukan individu. Penilaian ini didasari dari interaksi individu dengan lingkungannya, serta penerimaan, penghargaan, dan perlakuan yang diterima dari orang lain. Penilaian ini akan menentukan perasaan bahwa dirinya berharga atau kurang berharga.

2. Aspek-aspek Harga Diri

Menurut pandangan Coopersmith (1967) harga diri dibagi dalam empat aspek yaitu:

a. Kekuasaan (power)

(60)

mengendalikan dan mempengaruhi orang lain agar mencapai tujuan dan mampu melakukan inisiatif yang baik.

b. Keberartian (significance)

Adanya penerimaan, kepedulian, penilaian, dan afeksi yang diterima individu dari orang lain. Semakin banyak ekspresi kasih sayang yang diterima individu, maka akan semakin berarti. Individu yang jarang atau tidak memperoleh stimulus positif dari orang lain, maka individu akan merasa ditolak dan akan mengisolasi diri dari pergaulan.

c. Kebajikan (virtue)

Ketaatan mengikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan. Kesesuaian diri dengan moral dan standart etik diadaptasi individu dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua. Pembahasan tentang kebajikan juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta ketaatan dalam beragama.

d. Kemampuan (competence)

(61)

cukup akan membuat individu merasa yakin untuk mencapai cita-citanya karena individu mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya serta mampu menghadapi lingkungannya.

3. Perkembangan Harga Diri

Rogers (dalam Schultz, 1991) berpendapat mengenai perkembangan harga diri.

Dalam masa kecil, anak mulai menggunakan kata “aku” dan

“kepunyaanku”. Anak mengembangkan “pengertian diri” atau “self

concept”. Dalam self-concept seorang anak, anak membentuk gambaran tentang siapa dia dan menggambarkan dirinya ingin menjadi siapa. Hal ini sebagai akibat dari interaksi dengan orang lain dan mengamati reaksi orang lain. Dengan mengamati tingkah laku orang lain, bisa timbul keinginan menjadi diri yang berbeda dengan sebagaimana adanya.

Cinta yang diterima anak ketika kecil menentukan apakah diri anak akan berkembang ke arah mental yang sehat atau mental yang tidak sehat.

Anak mempunyai kebutuhan “penghargaan positif” (positive regard). Anak

membutuhkan kepuasan dalam positive regard seperti menerima kasih sayang, cinta, dan persetujuan dari orang-orang lain. Sebaliknya ketidakpuasan akan muncul bila anak mendapat celaan dan mendapat cinta dan kasih sayang.

(62)

tingkah laku anak, maka kebutuhan akan positive regard semakin kuat dan mengerahkan banyak energi serta pikiran.

Dalam situasi ini, anak mengembangkan “penghargaan positif

bersyarat” (conditional positive regard). Kasih sayang dan cinta yang

diberikan ibu adalah syarat terhadap tingkah lakunya yang baik. Conditional

positive regard yang dilakukan ibu akan diterapkan juga ke dirinya. Anak akan mencintai dirinya sama seperti ibunya dengan menggunakan conditional positive regard.

Ketika anak menjatuhkan piring, ibu menyatakan celaan terhadap anak. Suatu saat anak akan mencela dirinya juga ketika ia bertingkah laku demikian. Anak menghukum diri seperti yang dilakukan ibunya dan mencintai dirinya menurut cara yang disetujui ibunya.

(63)

perasaan unconditional positive regard dan tidak mengembangkan syarat-syarat penghargaan, mereka merasa mempunyai diri yang berharga.

Pada umumnya, individu dengan harga diri yang tinggi merasa mampu untuk mengatasi tantangan kehidupan dan kebahagiaan yang pantas. Dilain sisi, individu yang mempunyai harga diri yang rendah akan kekurangan rasa kepercayaan diri.

(64)

melalui pembelian yang berulang dan individu tersebut tidak bisa mengontrol impuls untuk membeli.

Aspek lainnya yang ada dalam harga diri adalah aspek kebajikan (virtue). Menurut Copersmith (1967) kebajikan adalah ketaatan untuk bertanggung jawab atas moral, etik, dan prinsip religius, ditandai dengan menunjukkan perilaku yang dapat dicapai termasuk menghindari perilaku yang tidak sesuai. Perasaan atas penghargaan diri akan sedikit diwarnai perasaan atas kebajikan, kejujuran, dan pemenuhan spiritual. Berdasarkan tahapan perkembangan moral Kohlber (dalam Santrock, 2002) individu ini telah mengembangkan standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Hak manusia yang universal salah satunya adalah setiap individu berhak untuk mendapatkan kesejahteraan sumber daya alam. Adanya hak untuk mendapatkan sumber daya alam menyadarkan individu untuk tidak mengkonsumsi sumber daya alam secara berlebihan yang berpotensi mengambil hak orang lain sehingga perilaku membeli kompulsif cenderung rendah. Sebaliknya, individu yang tidak menyadari hak-hak manusia akan mengkonsumsi sumber daya alam secara berlebihan, sehingga individu cenderung mempunyai perilaku membeli kompulsif yang tinggi.

(65)

yang baik dengan kehidupan sosialnya. Kehidupan sosial yang positif membuat individu tidak terisolasi dari pergaulan sehingga terhindar dari perasaan sedih, sepi, marah, depresi, dan cemas (Ruth Engs, tanpa tahun). Menurut O‟Guinn and Faber (1989) individu yang sehat tidak melakukan kompensasi untuk menetralkan perasaan-perasaan yang kurang menyenangkan. Individu yang tidak melakukan kompensasi cenderung mempunyai perilaku membeli kompulsif yang rendah. Sebaliknya, individu yang mempunyai harga diri yang rendah, kurang atau tidak mendapat penerimaan dan dukungan dari orang lain. Individu yang kurang mendapat penerimaan akan merasa terisolasi dari pergaulan sehingga merasa sedih, sepi, marah, depresi, dan cemas. Maka dari itu individu melakukan kompensasi untuk menetralkan perasaan-perasaan tersebut. Individu yang terus melakukan kompensasi cenderung mempunyai perilaku membeli kompulsif yang tinggi.

Sesuai yang dinyatakan oleh Faber dan O‟Guinn (1989) mengenai perilaku

membeli kompulsif, perilaku ini adalah respon terhadap suatu dorongan yang tidak terkontrol bila sedang mengalami peristiwa atau perasaan negatif.

(66)

mengatakan bahwa individu dengan harga diri yang tinggi akan merasa bahwa diri mereka mampu untuk mengatasi tantangan kehidupan. Individu yang mampu mengatasi tantangan kehidupan berarti individu tersebut mempunyai kepercayaan diri, sikap asertif, dan menyatakan diri apa adanya sehingga tidak menutupi kelemahan yang ada dalam dirinya (Michener dan DeLamater dalam Sari, Rejeki, dan Mujab, 2006). Selain itu, kompetensi diri yang tinggi mempunyai afek positif secara intrinsik, yaitu mempunyai peran memotivasi dan peran adaptasi dalam coping terhadap stres (Tafarodi dan Swann, 1995). Individu yang mampu melakukan coping terhadap stres berarti mampu mengontrol peristiwa atau perasaan negatif sehingga memungkinkan untuk

terhindar dari perilaku membeli kompulsif (Faber dan O‟Guinn, 1989).

(67)
(68)

E. Hipotesis Penelitian

(69)

48

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya berdasarkan pada koefisien korelasi (Azwar, 1999). Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif (compulsive buying).

B. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas: Harga Diri

2. Variabel Tergantung: Perilaku Membeli Kompusif (compulsive buying)

C. Definisi Operasional 1. Harga Diri

Harga diri adalah evaluasi diri yang berupa penilaian positif dan negatif dari individu. Harga diri akan diukur dengan skala harga diri dengan aspek-aspek:

a. Kekuasaan (power)

(70)

b. Keberartian (significance)

Perasaan bahwa ada penerimaan, penghargaan, perhatian dan kasih sayang dari orang lain.

c. Kebajikan (virtue)

Kesesuaian dari individu dari moral dan standart etik yang berlaku di lingkungan.

d. Kemampuan (competence)

Penampilan diri dalam upaya meraih kesuksesan dan keberhasilan.

Skor tinggi yang diperoleh menunjukkan subjek mempunyai harga diri yang tinggi. Sedangkan skor rendah yang diperoleh menunjukkan subjek mempunyai harga diri yang rendah.

2. Perilaku Membeli Kompulsif

Perilaku membeli kompulsif adalah perilaku pembelian yang dilakukan secara impulsif (berulang) dan individu yang bersangkutan tidak bisa mengontrol impuls membeli.

(71)

a) Kecenderungan untuk menghabiskan

Pembeli kompulsif harus menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk menghabiskan dan mengeluarkan uang daripada pembeli yang tidak kompulsif.

b) Aspek reaktif (yaitu, adanya dorongan tak tertahankan untuk membeli)

Adanya dorongan yang sangat kuat dan mendesak dalam membeli. Seorang individu yang mempunyai perilaku membeli kompulsif bahwa dorongan untuk membeli sangat menarik dan tidak dapat dikontrol.

c) Rasa bersalah pasca-pembelian

Individu yang terlibat dalam membeli kompulsif sering merasa penyesalan atas perilaku mereka.

Skor tinggi akan menunjukkan individu mempunyai perilaku membeli kompulsif yang tinggi. Sedangkan skor rendah akan menunjukkan individu mempunyai perilaku membeli kompulsif yang rendah.

D. Sampling Penelitian

Peneliti menggunakan sampling nonprobabilitas yaitu incidental sampling.

E. Subjek Penelitian

(72)

orang subjek sebagai responden penelitian ini. Semua subjek telah memiliki karakteristik yang akan diteliti, yaitu individu remaja usia 13 hingga 21 tahun dan berjenis kelamin perempuan.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan skala, yaitu serangkaian pernyataan yang akan direspon oleh responden. Pengguna skala ini adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri, apa yang dinyatakan subjek sebagai responden adalah benar dan dapat dipercaya, dan bahwa interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama yang dimaksud oleh peneliti (Hadi, 1989). Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.Skala Compulsive Buying

Disusun berdasarkan Skala yang diadaptasi dan

diterjemahkan dari SCB Faber dan O‟Guinn (1989). Skala ini

berisi 7 pernyataan. Dengan respon pernyataan “Sangat Sering”

(SS), “Sering” (S), “Agak Sering” (AS), “Jarang” (J), “Tidak

Pernah” (TP).

(73)

2. Skala Harga Diri

Skala ini disusun menggunakan teknik summated rating dari Likert, subjek diminta untuk memilih pernyataan dengan memilih salah satu jawaban dari empat alterntif jawaban yang

disediakan, yaitu “Sangat Setuju” (SS), ”Setuju” (S), “Tidak

Setuju”(TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS)

a. untuk item-item yang favorable, jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju masing-masing diberi skor 4, 3,2,1

b. untuk item - item yang nonfavorable, jawaban sangat setuju, setju, tidak setuju, sangat tidak setuju masing-masing diberi skor 1,2,3,4.

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Estimasi Validitas

Validitas adalah sejauhmana tes mampu mengukur atribut yang seharusnya diukur. Validitas yang digunakan adalah validitas isi, yaitu pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment. Validasi dilakukan dengan meminta penilaian

„ahli‟ terhadap isi tes dengan membandingkan tes terhadap

(74)

mana item-item tes mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur dan sejauh mana item-item tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (Azwar, 1999).

2. Seleksi Item

Kualitas suatu tes sangat ditentukan oleh kualitas item-itemnya maka penting bagi peneliti untuk melakukan seleksi item. Seleksi item dilakukan dengan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter item yaitu, berdasarkan daya diskriminasinya. Daya diskriminasi item adalah sejauh mana item mampu membedakan antara individu yang memilki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 1999)

Pengujian daya diskriminasi item akan menghasilkan koefisien korelasi item-total (rix) yang dikenal dengan istilah parameter daya beda

(75)

2. 1 Skala Harga Diri Tabel 1

(76)

Tabel 2

Blue Print Skala Harga Diri Setelah Uji Coba Aspek/

(77)

Tabel 3

Blue Print Skala Harga Diri untuk Penelitian Setelah Penyusunan Ulang Nomer Item Aspek/

2.2 Skala Perilaku Membeli Kompulsif

Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada item dari skala perilaku membeli kompulsif yang gugur, sehingga terdapat 7 item yang baik.

3. Estimasi Reliabilitas

(78)

menggunakan pendekatan konsistensi internal Alpha Cronbach (Azwar, 1996). Koefisien reliabilitas dari skala harga diri adalah 0.900 dan koefisien reliabilitas dari skala compulsive buying adalah 0.769.

H. Teknik Analisis Data 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data variabel penelitian berdistribusi normal atau tidak. Jika taraf signifikan lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka data yang diperoleh berdistribusi normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung mempunyai hubungan yang linear atau tidak. Jika taraf signifikan lebih kecil dari 0,05 (p<0,05) maka hubungan antara variabel mengikuti fungsi garis linear sehingga dapat diuji dengan statistik parametik. Sebaliknya, jika taraf signifikan lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka hubungan antara variabel mengikuti fungsi garis linear sehingga harus diuji dengan statistik nonparametik.

2. Uji Hipotesis

(79)

58

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pra Penelitian, Pelaksanaan Penelitian dan Data Demografi 1. Pra Penelitian

Peneliti mengawali penelitian dengan melakukan tryout. Tryout dilakukan pada tanggal 1 – 9 Oktober 2011. Pengambilan data dilakukan di SMP Negeri 1, Sekolah Menengah Kejuruan YPKK 3 Sleman, dan mahasiswa. Subjek penelitian sebanyak 59 orang remaja puteri dengan batasan usia 13-22 tahun. Setelah dilihat ada 9 subjek yang gugur karena tidak mengisi skala secara lengkap, sehingga tersisa 50 subjek yang memenuhi kriteria penelitian.

2. Pelaksanaan Penelitian

(80)

Penelitian dilakukan pada tanggal 2 – 10 November 2011. Pengambilan data dilakukan di kota Yogyakarta. Peneliti menyebarkan skala di SMA Stella Duce I, SMP Budya Wacana dan para mahasiswi. Subjek penelitian sebanyak 150 orang remaja puteri dengan batasan usia 13

– 22 tahun. Setelah dilihat ada 136 orang remaja puteri yang memenuhi

kriteria penelitian, sedangkan 14 orang gugur karena subjek tidak lengkap dalam mengisi skala. Pengumpulan data dilakukan dengan meminta subjek mengisi skala harga diri yang terdiri dari 29 item dan skala perilaku membeli kompulsif sebanyak 7 item.

3. Data Demografi

(81)

B. Analisis Data

Sebelum dilakukan uji hipotesis, peneliti harus melakukan uji asumsi. Uji asumsi terdiri dari uji normalitas sebaran dan uji linearitas hubungan.

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat sebaran kedua variabel normal atau tidak. Dalam uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov (K-S) pada program SPSS 17.0 dengan hasil sebagai berikut, untuk variabel harga diri diketahui K-S sebesar 0.997 dengan p sebesar 0.273. Hal ini menunjukkan variabel harga diri mempunyai sebaran normal karena p lebih besar dari 0.05 (p > 0.05). Sedangkan variabel perilaku membeli kompulsif diketahui K-S sebesar 1.284 dengan p sebesar 0.074. Hal ini menunjukkan variabel perilaku membeli kompulsif memiliki sebaran normal karena p lebih besar dari 0.05 (p > 0.05). Berdasarkan hasil tersebut didapat bahwa sebaran variabel harga diri dan sebaran perilaku membeli kompulsif normal.

Tabel 5

Hasil Uji Normalitas Sebaran

Harga Diri Perilaku Membeli Kompulsif Kolmogorov-Smirnov Z 0.997 1.284

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.273 0.074

(82)

2. Uji Linearitas

Hasil uji linearitas dari hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif pada remaja puteri menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel linear karena memiliki p lebih kecil dari 0.05 (p < 0.05).

Hasil uji linearitas dari hubungan antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif pada remaja puteri diketahui 0.002 lebih kecil dari 0.05 (0.002 < 0.05) ini menunjukkan kedua variabel tersebut mempunyai hubungan yang linear.

Tabel 6

Hasil Uji Linearitas Hubungan

F Sig.

Linearitas 9.688 0.002

3. Uji Hipotesis

Setelah melakukan uji normalitas dan uji linearitas, penguji melakukan uji hipotesis dengan menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan SPSS 17.00 for Windows dengan taraf signifikansi sebesar 0.05 dan taraf kepercayaan 95%.

(83)

Tabel 7

Hasil Korelasi Skor Harga Diri dan Perilaku Membeli Kompulsif

Hubungan r Sig. (p)

Harga diri dan perilaku membeli

kompulsif -0.258 0.001

Dari hasil analisis didapat skor korelasi antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif sebesar -0.258 dengan taraf signifikan 0.05 dan probabilitas 0.001 (p < 0.05), artinya kedua variabel berkorelasi secara signifikan. Nilai r negatif, artinya adanya korelasi yang negatif.

Analisis data ini membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang lemah dan signifikan pada taraf 5% antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif, sehingga hipotesis yang diajukan ada hubungan negatif antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif pada remaja puteri diterima. Jadi semakin tinggi harga diri individu maka perilaku membeli kompulsif individu tersebut semakin rendah, demikian sebalikya.

(84)

C. Data Deskriptif

Berdasarkan penelitian, deskripsi data dapat dilihat pada table 8 Tabel 8

Selanjutnya dilakukan perbandingan mean empiric dan mean teoritic pada skala harga diri dan perilaku membeli kompulsif untuk mengetahui tanggapan subjek penelitian terhadap variabel penelitian. Mean empiric dan mean teoritic dapat dilihat pada table 9.

Tabel 9

Tabel Hasil Mean Teoritic dan Mean Empiric

Variabel Mean Terotic Mean Empiric Sig.(p) Harga Diri

(85)

sebesar 14.12. Hasil ini menunjukkan bahwa perilaku membeli kompulsif pada remaja puteri relatif rendah.

D. Pembahasan

Dari hasil penelitian didapat angka korelasi sebesar -0.258 dengan nilai p 0.001 (p<0.05). Nilai koefisien korelasi negatif yang signifikan menunjukkan bahwa harga diri mempunyai hubungan yang berbanding terbalik dengan perilaku membeli kompulsif, yang berarti semakin tinggi harga diri maka semakin rendah perilaku membeli kompulsif. Sebaliknya, semakin rendah harga diri maka semakin tinggi perilaku membeli kompulsif. Hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan ada hubungan negatif antara harga diri dan perilaku membeli kompulsif diterima.

Data tersebut memaparkan bahwa semakin tinggi harga diri individu, maka semakin rendah perilaku membeli kompulsif. Menurut Faber and

O‟Guinn (1992), harga diri yang rendah telah terbukti berkaitan dengan

(86)

agar individu dapat berkembang. Menurut Coopersmith (1967) individu dengan harga diri yang tinggi mempunyai pengendalian dan kontrol diri sendiri, mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan dan cita-citanya, mendapat penerimaan dan dukungan dari orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dengan standart moral dan standart etik.

Dalam penelitian ini mean harga diri adalah 86.37. Hal ini menunjukkan bahwa subjek mempunyai harga diri yang tinggi. Pada aspek pertama, individu dengan harga diri yang tinggi mempunyai kekuatan untuk mengendalikan dan mengontrol. Pengendalian dan pengontrolan ini dimaksudkan bila individu mempunyai dorongan-dorongan untuk bertindak impulsif, individu tersebut mempunyai kekuatan untuk menahan serta mengontrolnya.

Gambar

Tabel 2 Blue Print Skala Harga Diri Setelah Uji Coba.............................
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dapat disimpulkanada hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dengan perilaku berisiko terhadap kesehatan pada remaja.. Peranan harga

Ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan impulsive buying, Hasil penelitian diketahui bahwa harga diri pegawai wanita di kantor Dinas Perhubungan Kota

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA

Sehingga individu yang memiliki harga diri tinggi akan lebih memiliki minat atau ketertarikan untuk membeli pakaian sesuai dengan kebutuhannya, dan sebaliknya individu dengan

Nilai materialistik pada individu yang compulsive buying, dan bahwa secara signifikan perbedaan jenis kelamin dan faktor usia yang telah diamati, dikatakan bahwa semakin banyak

Hal ini membuktikan bahwa secara signifikan mean empirik lebih kecil dari mean teoritik sehingga bisa dinyatakan bahwa kecenderungan perilaku compulsive buying

Hasil penelitian ketiga subjek menunjukkan latar belakang perilaku pembelian kompulsif berupa faktor internal yaitu kepercayaan diri, pengendalian diri, dan ketidak stabilan

Berdasarkan hasil penelitian terdapat hubungan korelasi yang negatif antara harga diri dengan perilaku seksual pranikah pada remaja di Kota Padang yang berarti bahwa apabila harga diri