• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap Learning Organization dan kinerja karyawan pada PT. Kanisius - USD Repository"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEPEMIMPINAN SPIRITUAL

TERHADAP

LEARNING ORGANIZATION DAN KINERJA KARYAWAN

PADA P.T. KANISIUS

TESIS

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN

.

Diajukan oleh

Robertus Peter Satriyo Sinubyo

132222209

Kepada

FAKULTAS EKONOMI

(2)

i

PENGARUH KEPEMIMPINAN SPIRITUAL

TERHADAP

LEARNING ORGANIZATION DAN KINERJA KARYAWAN

PADA P.T. KANISIUS

TESIS

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN

MENCAPAI DERAJAT SARJANA S-2

.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh

Robertus Peter Satriyo Sinubyo

132222209

FAKULTAS EKONOMI

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada yang kita sebut sebagai “Allah” sehingga tesis yang

berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Spiritual terhadap Learning Organization

dan Kinerja Karyawan pada P.T. Kanisius” dapat selesai. Tesis ini ditulis sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar derajat sarjana S-2 pada Program Studi

Manajemen, Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Penulisan tesis ini dapat selesai secara baik berkat bantuan berbagai

pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Herry Maridjo, M.Si selaku Dekan Fakultas

Ekonomi Sanata Dharma.

2. Bapak T. Handono Eko Prabowo, MBA, Ph.D, selaku Ketua

Program Studi Magister Manajemen Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Lukas Purwoto, M.Si selaku dosen pembimbing, yang

telah mengarahkan dan membimbing penulis.

4. Manajemen PT Kanisius yang memberi kesempatan kepada

penulis untuk mengembangkan diri.

5. Bu Susi dan Nak Boni yang merelakan mengurangi waktu

bersama membangun kisah.

6. Kawan-kawan angkatan satu MM USD.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca guna

(8)

vi

DAFTAR ISI

Bab Halaman

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 9

C. Tujuan Penelitan 10

D. Manfaat Penelitian 11

E. Ruang Lingkup Penelitian 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13

a. Teori Kepemimpinan Visioner 18 b. Teori Kepemimpinan Transaksional 18 c. Teori Kepemimpinan Trasformasional 19

5. Teori Modern 19 f. Transcendent Leadership 22 g. Level Five Leadership 22 h. Open Leadership 22

B. Kepemimpinan Spiritual 23

1. Faith/ hope 30

2. Vision 31

3. Altruistic love 31

C. Learning Organizaation 37

D. Kinerja Karyawan 44

E. Kerangka Penelitian 49

(9)

vii

Bab Halaman

BAB III METODE PENELITIAN 55

A. Desain Penelitian 55 2. Pengembangan Diagram Alur (Path Diagram) 66 3. Konversi Diagram Alur ke dalam Persamaan

Struktural dan Model Pengukuran 68 4. Melakukan Full Structural Equation Model Analysis 69 5. Memilih Matrik Input dan Estimasi Model 69 6. Evaluasi Kriteria Goodness of Fit 69

7. Pengujian Mediasi 71

8. Pengujian Hipotesis 72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 73

A. Identitas Responden 73

1. Responden Berdasarkan Umur 73

2. Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 74 3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 74 4. Responden Berdasarkan Masa Kerja 75 B. Analisis Structural Equation Model 76 1. Full Structural Equation Model Analysis 76 2. Matrik Input dan Estimasi Model 80 3. Evaluasi Kriteria Goodness of Fit 81

4. Pengujian Normalitas Data 82

5. Pengujian Outliers 84

6. Pengujian Hipotesis 87

C. Pembahasan 93

1. Kepemimpinan Spiritual 93

(10)

viii

Bab Halaman

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 109

A. Kesimpulan 109

B. Saran 112

1. Bagi Penelitiaan Selanjutnya 112 2. Bagi Manajemen PT Kanisius 113

DAFTAR PUSTAKA 115

(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry 32 Gambar 2.2 Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik 37

Gambar 3.1 Diagram Alur 67

Gambar 4.1 Full Structural Equation Model 77 Gambar 4.2 Structural Equation Model Pengaruh Langsung

(Direct Effect) Kepemimpinan Spiritual terhadap

Kinerja Karyawan 91

(12)

x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain 34

Tabel 3.1 Definisi Operasi 58-59

Tabel 4.1 Responden Berdasarkan Umur 73 Tabel 4.2 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 74 Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir 74 Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Masa Kerja 75 Tabel 4.5 Goodness of Fit Index 78

Tabel 4.6 Regression Weight 79

Tabel 4.7 Kriteria Goodness of Fit 81 Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Data 83 Tabel 4.9 Hasil Uji Outliers 84-86

Tabel 4.10 Pengujian Hipotesis 87

Tabel 4.11 Indirect Effect 89-90

(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Identitas Responden 121

Lampiran 2 Hasil Uji Regression Weight 122 Lampiran 3 Kriteria Goodness of Fit Index 123 Lampiran 4 Hasil Uji Indirect Effect 124 Lampiran 5 Hasil Uji Outliers Model 125 Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas Data 128 Lampiran 7 Surel kepada Louis Fry 129 Lampiran 8 Transkip Wawancara 131 Lampiran 9 Surat Pengantar Kuesioner 132

(14)

xii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh

kepe-mimpinan spiritual terhadap learning organization dan kinerja karyawan. Jenis

penelitian ini adalah explanatory research dengan menggunakan pendekatan

kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah karyawan-karyawan PT Kanisius,

berjumlah 125 responden. Data penelitian dianalisis menggunakan SEM

(Structural Equation Modeling). Hasil analisis menunjukkan bahwa

kepe-mimpinan spiritual berpengaruh terhadap learning organization dan kinerja

karyawan, dan learning organization memediasi hubungan antara

kepemim-pinan spiritual dan kinerja karyawan di PT Kanisius. Hasil penelitian

me-nunjukkan bahwa ketiga hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini didukung.

Implikasi dari penelitian ini bagi PT Kanisius adalah diterapkannya gaya

kepemimpinan spiritual secara kontinu untuk menguatkan habitus learning

organization di perusahaan. Muaranya, diharapkan PT Kanisius memiliki

ke-unggulan kompetitif sehingga semakin siap menghadapi persaingan di pasar

bebas ASEAN.

Kata kunci: kepemimpinan, kepemimpinan spiritual, learning organization,

(15)

xiii

ABSTRACT

This research aim to show the influence of spiritual leadership to learning

organization dan employee performance. The type of this research is explanatory

research with quantitative approach. The subject of this research is the employee

of PT Kanisius, with the total of 125 respondens. The research data is analyzed

using SEM (Structural Equation Modeling). The result shows that spiritual

leadership influence on learning organization and performance of employees,

and the learning organization mediates the relationship between spiritual

leadership and employee performance in PT Kanisius. The results showed that

the three hypotheses were constructed in this study are supported. The

implication of this research for PT Kanisius, spiritual leadership style is applied

continuously to strengthen habitus learning organization in the company. Finally

PT Canisius has a competitive advantage so that more and more prepared to face

the competition in the free market of ASEAN.

Keywords: leadership, spiritual leadership, learning organization, the

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemimpin-pemimpin Association of Southeast Asian Nations (ASEAN)

membangun kesepakatan untuk membawa ASEAN ke zaman baru yang lebih

integratif dengan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada

akhir tahun 2015. Implementasi kesepakatan ini diwujudkan dalam

pembangunan pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Ada ragam tujuan yang

hendak dicapai terkait pembentukan komunitas ini, antara lain untuk

menciptakan stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi, untuk menurunkan jumlah penduduk miskin dan

meningkatkan standar hidup penduduk ASEAN, untuk meningkatkan daya saing

kawasan ASEAN di pasar internasional terutama terkait menguatnya daya saing

ASEAN terhadap Tiongkok dan India dalam menarik modal asing.

Sektor tenaga kerja menjadi sektor penting yang terkena dampak dari

pembentukan Komunitas ASEAN. Website resmi Kementerian Sekretaris Negara

Republik Indonesia http://www.setneg.go.id menyajikan hasil riset yang

dilakukan Organisasi Perburuhan Dunia atau International Labour Organization

(ILO). Hasil riset menunjukkan data terkait pembukaan pasar tenaga kerja yang

akan berdampak cukup signifikan pada penciptaan lapangan kerja. Pembentukan

(17)

2

orang yang hidup di Asia Tenggara. ILO juga memprediksi bahwa permintaan

tenaga kerja profesional akan naik 41% atau sekitar 14 juta. Sementara

permintaan tenaga kerja kelas menengah akan naik 22% atau 38 juta, sedangkan

tenaga kerja level rendah meningkat 24% atau 12 juta. Selain itu, riset ILO juga

memberikan prediksi bahwa banyak perusahaan akan memiliki pegawai yang

kurang terampil atau akan salah menempatkan karyawannya karena karyawan

tersebut kurang mendapatkan pelatihan dan pendidikan profesi sehingga kinerja

mereka menjadi rendah.

Dengan pembentukan Komunitas ASEAN, ada banyak peluang terbuka

lebar bagi kesepuluh negara anggota (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei

Darussalam, Thailand, Filiphina, Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja).

Masing-masing negara berkesempatan untuk melakukan ekstensifikasi cakupan skala

ekonomi, mereduksi garis kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi,

meningkatkan daya tarik sebagai tujuan bagi investor dan wisatawan,

mengurangi biaya transaksi perdagangan, serta memperbaiki fasilitas

perdagangan dan bisnis. Dampak positif lain yang akan dirasakan dengan

terbentuknya Komunitas ASEAN adalah kemudahan dan peningkatan akses

pasar antarnegara anggota, peningkatan transparansi, percepatan sosialisasi dan

adaptasi regulasi serta standarisasi domestik.

Menghadapi destinasi pembentukan Komunitas ASEAN,

perusahaan-perusahaan yang selama ini bergerak, baik pada tingkat lokal, tingkat regional

(18)

3

banyak sektor, dan salah satu yang terpenting adalah sektor tenaga kerja/

karyawan. Salah satu faktor sukses bagi perusahaan-perusahaan dalam

Komunitas ASEAN adalah karyawan yang berkinerja tinggi. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang

diperlihatkan. Trisnantoro dan Agastya (1996) (dikutip dalam Anwar, 2004)

menyatakan bahwa kinerja menunjuk pada proses yang dilakukan dan hasil yang

dicapai oleh organisasi dalam memberikan produk, baik barang maupun jasa

kepada pelanggan. Motowidlo et al (1997) (dikutip dalam Jimoh, 2008)

menyatakan bahwa kinerja karyawan meliputi tindakan, perilaku, dan hasil yang

dapat diukur yang dilakukan karyawan yang berhubungan dengan tujuan

organisasi dan berkontribusi pada tujuan organisasi. Dalam hal ini, kinerja bukan

hasil konsekuensi, melainkan perbuatan atau aksi itu sendiri. Kane (1986)

(dikutip dalam Anwar, 2004) menjelaskan kinerja sebagai rekaman hasil kerja

yang diperoleh karyawan tertentu melalui kegiatan dalam kurun waktu tertentu.

Kinerja karyawan dipengaruhi oleh ragam hal, misalnya struktur, desain

pekerjaan, kemampuan dan keterampilan, umur, latar belakang, pengalaman, asal

usul, kepribadian, sikap, persepsi, kemauan berkembang, kepuasan kerja, dan

kepemimpinan. Terkait kepemimpinan, Fry (2003) menggagas gaya

kepemimpinan spiritual sebagai gaya kepemimpinan yang menyempurnakan

gaya kepemimpinan sebelumnya. Gaya kepemimpinan ini berpengaruh pada

(19)

4

Gaya kepemimpinan ini mengarahkan pada pembangunan refleksi yang

berdampak pada kesadaran diri sebagai manusia seutuhnya, baik sebagai pribadi

maupun sebagai bagian dari kelompok. Secara organisatoris, gaya kepemimpinan

spiritual mengembangkan pemberdayaan individu dan tim yang pada akhirnya

membangun produktivitas karyawan. Fry (2003) mengungkapkan tiga

karakteristik kepemimpinan spiritual, yakni keyakinan/ harapan pencapaian

tujuan (faith/ hope), pemahaman visi (vision), cinta altruistik (altruistic love).

Dengan demikian, kepemimpinan, secara spesifik kepemimpinan spiritual

memengaruhi organisasi dalam membangun kinerja tinggi para karyawannya

yang mana Komunitas ASEAN menjadi wilayahnya.

Kesiapan masuk dalam Komunitas ASEAN juga harus dilakukan oleh

P.T. Kanisius, sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang penerbitan dan

percetakan. Organisasi ini didirikan pada 26 Januari 1922 di Yogyakarta.

Organisasi ini pada awal berdirinya diberi nama Canisius Drukkerij dan

dikukuhkan sebagai sebuah karya misi. Organisasi ini membantu menyediakan

buku-buku pelajaran bagi sekolah kaum pribumi serta buku-buku doa bagi

Gereja Katolik di Indonesia. Pada 1928, Canisius Drukkerij mencetak beberapa

majalah pergerakan, seperti Tamtama Dalem dan Swaratama yang memberi

kontribusi penting dalam perjuangan kaum muda di Indonesia untuk meraih

kemerdekaan. Di awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia memercayai

Kanisius untuk mencetak ORI, Oeang Repoeblik Indonesia. Itulah pertama

kalinya ORI dicetak dan diedarkan sebagai alat perjuangan mempertahankan

(20)

5

Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, Indonesia

memasuki era baru: "Proses Indonesianisasi". Pada era ini, Kanisius memberikan

kontribusi dalam proses Indonesianisasi dengan menerbitkan buku-buku

pelajaran berbahasa Indonesia. Pada pertengahan 1990-an, Kanisius memperluas

bidang layanan hingga ke jenis produk majalah dan multimedia dengan tetap

berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang diharapkan mampu

memberikan pencerahan dan memberdayakan manusia, membangkitkan

sensititivitas manusia terhadap kondisi di sekitarnya. Memasuki usia 92 tahun,

Kanisius yang selama ini berdiri sebagai lembaga nonprofit milik Yayasan

Kanisius, mengubah badan hukumnya untuk kemudian berdiri sebagai Perseroan

Terbatas (P.T.).

Sejak awal didirikan sebagai Canisius Drukkerij sampai pada bentuk

sebagai Perseroan Terbatas (P.T.), Kanisius menjadikan spiritualitas sebagai

patron. Baik sejak kepemimpinan dipegang oleh para misionaris FIC, Yesuit,

maupun awam, spiritualitas tidak dilepaskan dari diri Kanisius sebagai lembaga

karya yang didirikan dalam rangka mendukung Gereja dan pendidikan. Hal ini

seperti diungkapkan oleh Ibu Mg. Sulistyorini, wakil direktur P.T. Kanisius.

Menurut Ibu Mg. Sulistyorini sejak bekerja di Kanisius, beliau merasakan

spiritualitas begitu kuat mewarnai. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari jati diri

Kanisius. Dalam setiap gerak langkah dan strategi yang dietapkan, harus

didasarkan pada spiritualitas Ignasian. Hal itu juga dimasukkan secara eksplisit

(21)

6

Spiritualitas yang dihidupi di Kanisius memungkinkan karyawan

merasa nyaman dalam bekerja. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bapak Iman,

staf artistik redaksi. Bapak Iman mengungkapkan bahwa kurang dua tahun lagi

pensiun. Selama bekerja di Kanisius, Bapak Iman merasa nyaman, merasa

dikembangkan, merasa dihargai. Gaji yang diterima memang tidak besar, tapi

sudah lebih dari cukup. Bagi Bapak Iman, yang penting adalah nyaman dalam

bekerja. Menurut Bapak Iman, gaji besar tapi tidak nyaman tidak ada artinya.

Spiritualitas yang dihidupi di Kanisius memungkinkan karyawan

merasa diterima dan didukung. Hal ini seperti dikatakan Melania Ayu, staf

Sekretariat Perusahaan. Melania Ayu senang bekerja di Kanisius karena ia

merasa diterima dan didukung oleh teman-teman. Berbeda dengan tempat

kerjanya yang dulu yang tidak ada suasana kekeluargaan.

Menurut Fry (2003), kepemimpinan spiritual adalah salah satu gaya

kepemimpinan yang menyempurnakan gagasan-gagasan kepemimpinan

sebelumnya. Selama ini, gaya kepemimpinan cenderung berorientasi pada

standarisasi, formalisasi, dan sentralisasi yang nota bene relatif tidak cukup jika

harus mengantisipasi perubahan. Selain itu, juga tidak mendukung manusia yang

bekerja untuk mendapatkan makna hidupnya karena cenderung berjalan

mengikuti rutinitas. Dampak akhirnya, manusia yang bekerja tersebut mencari

atau melakukan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan status,

bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan menemukan makna hidup di

(22)

7

materialisme yang digagas Karl Marx terkait homo faber mendapatkan

tempatnya.

Palmer (2007) (dikutip dalam Dudung, 2011) menegaskan bahwa teori

kepemimpinan spiritual telah menjadi bagian dalam kajian ilmu manajemen.

Teori kepemimpinan spiritual ini meramu konsep kepemimpinan dan konsep

spiritualitas. Peramuan ini tidak pernah bermaksud mengingkari atau bahkan

menolak gaya-gaya kepemimpinan yang selama ini sudah lazim dipraksiskan,

misalnya gaya kepemimpinan transformasional atau kepemimpinan

transaksional.

Fry (2003) menekankan bahwa gaya kepemimpinan spiritual hendak

menyempurnakan gaya kepemimpinan lain dengan memasukkan komponen

spiritual. Fry (2003) berpendapat bahwa kepemimpinan spiritual merupakan

kepemimpinan yang mengajak orang untuk membangun motivasi dengan

memahami hidupnya yang berdimensi spiritual. Menurut Fry (2003), gaya

kepemimpinan yang ada selama ini cenderung memberi perhatian hanya pada

aspek fisik, mental, dan interaksi antarmanusia dalam organisasi. Thompson

(2000) menegaskan bahwa perhatian yang berlebih pada aspek fisik, mental, dan

interaksi antarmanusia akan berimbas pada diabaikannya aspek-aspek spiritual

dalam kepemimpinan.

Fry (2003), Lok dan Crawford (2004) (dikutip dalam Yusof et al, 2011)

mengungkapkan bahwa penelitian terkait dampak atau pengaruh gaya

(23)

8

kepemimpinan memengaruhi karyawan untuk meningkatkan hasil organisasi

sudah banyak dilakukan. Namun, Chen et all (2011) (dikutip dalam Yusof et al,

2011) mengungkapkan bahwa sedikit sekali penelitian tentang dampak atau

pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap kinerja karyawan.

Gaya kepemimpinan spiritual yang dipraksiskan menurut hasil

penelitian Aydin dan Ceylan (2009) mempunyai hubungan positif dengan

learning organization. Learning organization memegang peranan penting, vital,

dan strategis dalam meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi secara

keseluruhan. Dari pemikiran-pemikiran tersebut dapat dipahami bahwa learning

organization adalah faktor signifikan bagi kesuksesan organisasi. Learning

organization akan membawa organisasi pada keunggulan kompetitif. Habitus

belajar terus-menerus yang dibangun anggota-anggota organisasi akan

berdampak kuat pada perkembangan organisasi secara keseluruhan. Dalam

learning organization, masing-masing pribadi mengembangkan kapasitas

mereka secara terus-menerus untuk menciptakan hasil yang diinginkan, yang

mana pola pikir yang luas dan baru dipelihara, yang mana aspirasi kolektif

diakomodasi, yang mana seluruh anggota organisasi belajar tanpa henti untuk

melihat segala hal secara bersama-sama. Learning organization dapat dipandang

sebagai organisasi yang dapat membangun dan mengembangkan kapasitas

pribadi, pola pikir, cita-cita bersama, dan belajar berkelanjutan untuk mengubah

(24)

9

Dalam learning organization, potensi masing-masing anggota sungguh

diperhatikan. Mereka berkesempatan untuk berkembang sehingga tujuan

bersama dapat dicapai dengan pola kepemimpinan yang adaptif dan efektif.

Kapasitas masing-masing pribadi yang mampu mengonstruksi sistem belajar

berkelanjutan dalam rangka mengubah dan mengadaptasi organisasi sesuai

dengan kondisi lingkungan yang sedang berubah sungguh diperhatikan. Di

Kanisius sendiri, hal ini cukup kuat dirasakan oleh karyawan-karyawannya.

Dalam perjalanan sejarah, para pemimpin Kanisius selalu memberikan

kesempatan bagi karyawan untuk mengembangkan diri, baik dalam sektor

informal maupun formal.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap

learning organization dan kinerja karyawan pada P.T. Kanisius”.

B. Perumusan Masalah

Kepemimpinan spiritual melalui visi, keyakinan/ harapan, dan cinta

altruistik menjadi pijakan kuat untuk menumbuhkan motivasi internal setiap

pribadi yang berdampak pada terbangunnya motivasi kelompok/ organisasi.

Menurut Deci dan Ryan (2000) (dikutip dalam Yusof et al, 2011), gaya

kepemimpinan ini memungkinkan perjumpaan antara pembangunan kualitas diri

dan keterhubungan antarpribadi dalam kelompok.

Kepemimpinan spiritual, semata-mata bukanlah tentang kecerdasan dan

(25)

10

untuk membantu melakukan refleksi atas hidup dengan menjunjung nilai-nilai

humanisme-etis, baik per se pribadi maupun orang lain. Kekhasan

kepemimpinan yang disertai dengan spiritualitas inilah yang membuat penulis

ingin mengungkap lebih jauh gaya kepemimpinan spiritual di P.T. Kanisius, dan

bagaimana gaya kepemimpinan itu berdampak pada learning organization serta

pada akhirnya berdampak pada kinerja karyawan. Secara spesifik, penelitian ini

didasarkan pada pertanyaan:

a. Bagaimana kepemimpinan spiritual berpengaruh terhadap

learning organization pada P.T. Kanisius?

b. Bagaimana learning organization berpengaruh terhadap kinerja

karyawan pada P.T. Kanisius?

c. Bagaimana learning organization berpengaruh pada hubungan

kepemimpinan spiritual terhadap kinerja karyawan pada P.T.

Kanisius?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami

kepemimpinan spiritual yang dihidupi P.T. Kanisius, organisasi yang bergerak

dalam misi-bisnis penerbitan dan percetakan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui dan menganalisis:

a. Pengaruh kepemimpinan spiritual terhadap learning organization

(26)

11

b. Pengaruh learning organization terhadap kinerja karyawan pada

P.T. Kanisius.

c. Pengaruh learning organization pada hubungan kepemimpinan

spiritual terhadap kinerja karyawan pada P.T. Kanisius.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai kepemimpinan spiritual pada lembaga misi-bisnis

ini diharapkan sebagai bentuk penerapan dan pengembangan gaya

kepemimpinan yang relevan dengan kebutuhan lembaga, baik untuk saat ini

maupun masa mendatang. Hasil penelitian ini diharapkan:

a. Menjadi masukan dan informasi bagi manajemen P.T. Kanisius

dalam mengimplementasi gaya kepemimpinan spiritual sehingga

mengembangkan learning organization yang bermuara pada

kinerja tinggi karyawan. Secara spesifik, hasil penelitian ini bisa

digunakan oleh manajer personalia untuk merancang

program-program kerja terkait rencana pengembangan karyawan. Selain itu

juga bisa diimplementasikan pada poin-poin dalam penilaian

kinerja karyawan.

b. Memperkaya wawasan penerapan teori-teori sumber daya

manusia dan manajemen, khususnya kepemimpinan spiritual.

c. Berguna sebagai bahan penelitian lanjutan dengan objek

(27)

12

dan acuan pustaka, yang dapat memberi masukan bagi

pihak-pihak yang berminat terhadap topik ini.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan fokus seputar kepemimpinan spiritual

dalam membangun keunggulan kompetitif yang ditandai dengan kinerja tinggi

karyawan. Kinerja tersebut terbangun dari pengembangan learning organization

yang mempunyai dasar kuat pada gaya kepemimpinan spiritual. Untuk

menegaskan pokok persoalan, dikemukakan ruang lingkup dari penelitian ini.

Adapun ruang lingkup penelitian ini terbatas pada pengaruh kepemimpinan

spiritual yang digagas oleh Fry (2003) terhadap learning organization yang

berdampak pada kinerja karyawan pada P.T. Kanisius. Terkait learning

organization, penulis tidak membahas variabel ini lebih dalam seturut

kaidah-kaidah statistik. Penulis, dalam penelitian ini, sebatas menunjukkan pengaruh

learning organization pada hubungan kepemimpinan spiritual dan kinerja

(28)

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Tempora mutantur et nos mutamur in illis (waktu selalu berubah dan

kita juga ikut berubah di dalamnya). Pepatah kuno ini kiranya selalu relevan

melintasi waktu. Pada saat ini, zaman kita memasuki abad ke-21 dan wilayah

regional ASEAN memasuki destinasi baru sebagai Komunitas ASEAN. Dalam

abad yang penuh tantangan ini, organisasi-organisasi yang tidak berubah dan

adaptif seturut tuntutan zaman akan habis terkikis. Nilai-nilai seperti

profesionalisme, kreativitas, inovasi, dan sikap antisipatif menjadi keniscayaan

yang tak terhindarkan.

Shelly dan David (2007) dalam jurnalnya Social Capital and

Leadership Development Building Stronger Leadership Through Enhanced

Relational Skills menyebutkan bahwa komplekitas, perubahan internal organisasi

serta lingkungan eksternal yang dinamis, menuntut kemampuan dalam

mengaplikasikan gaya kepemimpinan yang relevan dan signifikan. Signifikansi

gaya kepemimpinan ini berdampak pada kepemimpinan efektif yang membentuk

dan membangun karakteristik organisasi.

Kepemimpinan efektif semata-mata tidak menunjuk pada kemampuan

dan keterampilan untuk menggulirkan organisasi, pengetahuan yang luas, tetapi

terkait pula kemampuan relasional untuk berjejaring dan bermitra demi

(29)

14

penciptaan suasana dan iklim yang membangun kepercayaan serta saling

mendukung menjadi elemen penting yang perlu dikembangkan terus-menerus

untuk mencapai kesuksesan organisasi.

Gaya kepemimpinan yang efektif dan adaptif memungkinkan organisasi

berkembang secara optimal, meraih peluang-peluang yang muncul, serta

mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan, baik sebagai konsep maupun

praksis telah banyak menjadi sumber penelitian dan mendapatkan tempat dalam

pustaka manajemen. Mencapai definisi tunggal dan pasti terkait kepemimpinan

menjadi keniscayaan yang tidak akan terjadi. Bukan perkara mudah mencapai

kata sepakat dan konsensus dari para ahli kepemimpinan. Namun demikian, Yukl

(2006) mengungkapkan bahwa ada benang merah yang menghubungkan, yakni

bahwa kepemimpinan melibatkan proses pengaruh sosial yang mana pengaruh

yang disengaja digunakan oleh satu orang (atau kelompok) atas orang lain (atau

kelompok lain) untuk menyusun aktivitas dan hubungan dalam satu kelompok

atau organisasi.

Perubahan, baik dalam sisi internal maupun lingkungan eksternal,

menuntut gaya kepemimpinan yang mampu membawa organisasi pada tujuan

baru dengan strategi pencapaian yang sesuai. Kepemimpinan memegang peranan

penting dalam mengembangkan gagasan yang berdampak pada perubahan.

Semakin adaptif gaya kepemimpinan terhadap kondisi organisasi, semakin

efektif gaya kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan yang efektif berdampak

(30)

15 A. Teori-Teori Kepemimpinan

Kepemimpinan selalu berkait erat setidaknya dengan penentuan arah

yang dilaksanakan dengan menyusun visi sampai dengan implementasi dan

evaluasi strateginya, praksis pengelolaan perubahan, penyatuan segala aspek,

pengomunikasian gagasan yang memengaruhi/ menginspirasi seluruh organisasi

untuk secara bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut

Pavlop et al (2001) (dikutip dalam Yukl 2006), kepemimpinan memegang peran

krusial dalam pelaksanaan perubahan. Kepemimpinan terkait dua aspek penting,

yaitu perubahan dan perilaku manusianya sehingga dalam proses perubahan,

peran kepemimpinan tidak bisa dilepaskan. Kepemimpinan yang efektif

membantu mengintegrasikan nilai-nilai baru dan mempertahankan nilai-nilai

lama yang masih relevan yang dibutuhkan.

Dalam pustaka tentang kepemimpinan, ada banyak ragam teori

kepemimpinan yang telah dikembangkan oleh para ahli. Kajian teoritis tersebut

menjadi landasan dan acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya. Menurut

Sandiasa (2013), kajian tentang teori perilaku yang dikemukakan oleh teori X

dan Y, Studi Ohio State (1945) dan Universitas Michigan, Manajemen Grid dan

Likert dimasukkan dalam kategori penelitian awal tentang kepemimpinan.

Kemudian, dikembangkan pula teori situasi oleh Bennis (1981), kepemimpinan

karismatik oleh Conger dan Kanungo (1988), teori kepemimpinan kontemporer

yang terbagi menjadi teori transaksional yang dikembangkan Burn (1978),

kepemimpinan transformasional yang dikembangkan Bass (1985), dan

(31)

16

yang dilakukan Davis (1993), Hersey dan Blankart (1998) menginspirasi

kemunculan teori sifat dan teori situasional.

Kajian terbaru teori kepemimpinan diungkapkan oleh Suryadi. Dalam

tulisannya, Suryadi (2010) mengklasifikasikan teori kepemimpinan menjadi

empat, yaitu: 1) teori sifat, 2) teori perilaku, 3) teori situasional, 4) teori

kontemporer, yang terdiri terdiri dari: kepemimpinan visioner, kepemimpinan

transaksional, dan kepemimpinan transformasional.

1. Teori Sifat

Bolden dan Wart (2003) (dikutip dalam Suryadi, 2010) mengungkapkan

bahwa terdapat ragam sifat atau kualitas yang berelasi dengan kepemimpinan.

Sifat atau kualitas ini ada dalam diri manusia. Ragam sifat ini tidak bisa per se

berdiri sendiri tanpa hubungan korelasional, yang dalam konteks ini secara

spesifik terkait dengan kepemimpinan. Sifat atau kualitas yang melekat ini

memengaruhi gaya kepemimpinan yang dikembangkan, misalnya kesalehan,

kejujuran, integritas, integralitas, kemampuan memengaruhi, keterampilan

berkomunikasi.

Terkait dengan teori sifat, Suryadi (2010) mengemukakan bahwa

pendekatan sifat merupakan pendekatan paling tua dalam studi tentang

kepemimpinan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat atau kualitas

tertentu akan menjadikan seseorang sebagai pemimpin yang baik dibandingkan

dengan lainnya. Kualitas dari dalam diri itu juga berpengaruh kuat, bahkan

(32)

17

kualitas pemimpin meliputi kemampuan, pengalaman kerja, motivasi, dan

kepribadian, sedangkan penelitian Lord dan Alinger (1986) (dikutip dalam

Suryadi 2010) mengemukakan sifat-sifat kepemimpinan, yaitu: kecerdasan,

agresivitas, ketegasan, dan dominasi terhadap yang lain.

2. Teori Perilaku

Teori ini tidak lagi merujuk pada penerapan kualitas pribadi, alih-alih

pada tindakan kepemimpinan yang sungguh-sungguh dilakukan. Menurut

Bolden et al (2003) (dikutip dalam Suryadi 2010), penelitian ini berangkat dari

pengamatan terhadap ragam perilaku berbeda yang kemudian dikategorikan

sebagai “gaya kepemimpinan”. Penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi,

mendeskripsi, memahami, dan mengevaluasi perilaku orang-orang yang

menjalankan kepemimpinan.

3. Teori Situasional

Menurut Suryadi (2010), pendekatan ini melihat kepemimpinan sebagai

tindakan khusus terkait dengan situasi atau keadaan lingkungan. Sebagai contoh,

dalam kondisi dan situasi tertentu dibutuhkan gaya kepemimpinan otoriter,

sementara pada tempat dan waktu yang berbeda dibutuhkan gaya kepemimpinan

yang demokratis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam satu organisasi

dapat dimungkinkan penerapan gaya kepemimpinan yang berbeda. Pada

departemen atau divisi tertentu, mungkin dibutuhkan gaya kepemimpinan

partisipatif, namun pada departemen atau divisi lainnya dituntut pemberlakuan

(33)

18 4. Teori Kontemporer

“Kontemporer” memiliki akar kata dalam bahasa Latin, “con” dan

“tempus”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: dengan

waktu, bergulir bersama waktu, dewasa ini, kekinian. Menurut Suryadi (2010),

teori kepemimpinan kontemporer terdiri dari tiga teori, yakni: a) teori

kepemimpinan visioner, b) teori kepemimpinan transaksional, dan c) teori

kepemimpinan transformasional.

a. Teori kepemimpinan visioner

Dalam penelitian Thom (1994) (dikutip dalam Sandiasa 2013),

ditunjukkan bahwa beberapa manusia cenderung berfokus pada

masa lalu, beberapa lagi berfokus pada masa sekarang, dan yang

lain, berfokus pada masa depan. Fokus ini bermanifestasi dalam

persepsi tentang diri. Sebagai contoh diri yang berfokus pada

masa lalu akan mengontemplasikan diri di masa lalu,

menghadirkan kembali pengalaman-pengalaman baik di masa

lalu. Adapun pemimpin yang berfokus pada masa depan adalah

tipe pemimpin visioner.

b. Teori kepemimpinan transaksional

Teori ini menggunakan pendekatan saling menguntungkan, yang

dilandaskan pada prinsip do ut des, melakukan untuk

(34)

19

memberikan penghargaan atau pengakuan sebagai imbalan atas

komitmen atau kesetiaan mereka yang dipimpin. Berdasarkan

penelitian Antonakis, Avolio, dan Sivasubramaniam (2003)

(dikutip dalam Mahmood dan Muhammad, 2010), kepemimpinan

transaksional adalah proses pertukaran yang didasarkan pada

pemenuhan kewajiban kontrak, dan biasanya direpresentasikan

sebagai penetapan tujuan dari hasil pemantauan dan pengendalian.

c. Teori kepemimpinan transformasional

Gagasan utama dalam teori ini, menurut Suryadi (2010), adalah

perubahan dan peran kepemimpinan dalam melaksanakan

transformasi organisasi. Titik timbangnya ada pada diri pemimpin

yang membuat perubahan dalam struktur, proses internal, dan atau

habitus perusahaan. Pemimpin memiliki visi yang menarik,

wawasan teknis yang cerdas, dan atau kualitas diri yang

karismatis.

5. Teori Modern

Dari ragam teori kepemimpinan, terbangun pula paradigma baru

kepemimpinan modern yang digagas Bambale (2011). Menurut Bambale (2011),

paradigma kepemimpinan modern muncul dari penelusuran Organizational

Citizenship Behaviors (OCB), yakni perilaku yang tidak secara langsung atau

eksplisit dapat dikenali dalam suatu sistem kerja yang formal, dan yang secara

(35)

20

penelusuran tersebut, menurut Bambale (2011), kepemimpinan modern

dibedakan menjadi delapan gaya kepemimpinan, yakni: a) adaptive leadership,

b) dispersed leadership, c) authentic leadership, d) respectful leadership, e)

spiritual leadership, f) transcendent leadership, g) level five leadership, h) open

leadership.

a. Adaptive leadership. Gaya kepemimpinan ini melibatkan para

pemimpin dalam menyusun visi dan mengilhami yang dipimpin

sehingga mau menerima perubahan serta berlibat dalam

perjalanan ke depan. Semua anggota dituntut untuk menjadi

kompeten di bidangnya, objektif dalam menangani keputusan dan

masalah, mawas diri dalam melihat sikap dan perilaku sendiri,

dapat dipercaya dalam menangani kepentingan lain, inovatif

dalam bekerja, berpikiran terbuka dalam mempertimbangkan

informasi yang relevan (Gordon, 2002 dikutip dalam Wildan,

2015).

b. Dispersed leadership. Gaya ini menggagas tentang pembagian

kekuasaan antara pemimpin dan pengikut (Gordon, 2002 dikutip

dalam Wildan, 2015). Dalam penelitian lain, digunakan istilah

berbeda antara lain “kepemimpinan super” (Kirkman dan Rosen,

1999; Uhl-Bien dan Graen, 1998; Kouzes dan Posner, 1993; Bono

dan Hakim, 2003 dikutip dalam Wildan, 2015), “kepemimpinan

(36)

21

“kepemimpinan pemberdayaan” (Srivastava, Bartol dan Locke,

2006 dikutip dalam Wildan, 2015), dan “kepemimpinan bersama”

(Pearce, Manz dan Sims, Jr., 2002 dikutip dalam Wildan, 2015).

Kepemimpinan ini memiliki ciri intuitif dalam menimbang

pengetahuan dan pengalaman; memiliki karakter humanis-etis;

memiliki inisiatif dan bersedia untuk mengambil tindakan; serta

memiliki keberanian untuk memegang prinsip.

c. Authentic leadership. Gaya kepemimpinan ini memberikan

tekanan pada autentisitas, keaslian pribadi pemimpin. Autentisitas

ini terkait dengan ragam sikap, pemikiran, dan pemahaman yang

seimbang antara diri sendiri dan orang lain. Gaya kepemimpinan

autentik membangkitkan kepercayaan dari yang dipimpin (Avolio,

Luthans, dan Walumba, 2004 dikutip dalam Sandiasa, 2013).

d. Respectfull leadership. Menurut Quaquebeke dan Eckloff (2010)

(dikutip dalam Sandiasa 2013), gaya kepemimpinan ini

mengidentifikasi aspek perilaku atau sikap pemimpin yang

dipersepsi oleh mereka yang dipimpin. Semakin sesuai sikap

pemimpin terhadap nilai-nilai humanis-etis universal, semakin

besar rasa hormat dari yang dipimpin.

e. Spiritual leadership. Para peneliti mulai mengeksplorasi

spiritualitas di tempat kerja dan kepemimpinan spiritual setelah

(37)

22

esoteris, tidak berwujud. Dalam hal ini, pribadi yang berada dalam

posisi pemimpin mendorong setiap orang untuk menemukan

makna hidup dan mengintegrasikan dimensi spiritual dalam

tindakan sehari-hari (Gordon, 2002 dikutip dalam Wildan, 2015).

f. Transcendent leadership. Menurut Waldman, Javidan, dan Varella

(2004) (dikutip dalam Sandiasa 2013), seorang pemimpin

transendental adalah pemimpin yang berpijak pada nilai-nilai

humanis-etis universal, mampu memberdayakan mereka yang

dipimpin, dan selalu membuka ruang dialog. Gaya kepemimpinan

ini membangun kerangka revolusioner dalam melihat hubungan

antarmanusia dalam organisasi.

g. Level five leadership. Gaya kepemimpinan ini menjadi paradigma

kepemimpinan yang didasarkan pada gagasan bahwa setiap orang

harus menjauhkan diri mereka dari kepentingan pribadi dan

mengalokasikan energi dan ambisinya untuk membangun

perusahaan. Namun demikian, tidak berarti bahwa orang tidak

boleh memiliki kepentingan dan ambisi pribadi. Ambisi mereka

harus besar, namun harus diarahkan untuk perusahaan dengan

kerendahan hati sebagai dasarnya (Collins, 2001 dikutip dalam

Sandiasa, 2013).

h. Open leadership. Gaya kepemimpinan ini hendak membangun

(38)

23

organisasi, baik pihak internal maupun eksternal. Pelibatan

semakin banyak pihak dalam berkolaborasi meningkatkan

efisiensi dan komunikasi serta membantu dalam pengambilan

keputusan yang baik bagi organisasi (Collins, 2001 dikutip dalam

Sandiasa, 2013).

B. Kepemimpinan Spiritual

Analisis tentang kepemimpinan berawal dari tahun 1900-an hingga

tahun 1950-an. Analisis ini berfokus pada perbedaan karakteristik antara

pemimpin dan yang dipimpin. Selanjutnya, kajian kepemimpinan berfokus pada

tingkah laku yang dilakukan oleh para pemimpin yang efektif. Setelah era itu,

pada tahun 1970-an sampai 1980-an, ragam kajian tentang kepemimpinan

kembali berfokus pada karakteristik para pemimpin yang memengaruhi

efektivitas kepemimpinan dan kesuksesan organisasi.

Dalam perjalanan ilmu manajemen, munculnya nilai-nilai dalam diri

karyawan mulai disadari pada akhir abad ke-20, yakni melalui studi yang

dilakukan Peters dan Waterman (1982). Jika pada tahun-tahun sebelumnya

penelitian tentang nilai-nilai dan makna dalam organisasi belum ada yang

menemukan, Peters dan Waterman (1982) menemukan hal baru yang membuat

karyawan berkehendak untuk mencurahkan seluruh daya upayanya. Hal baru

yang ditemukan adalah nilai-nilai yang bersifat abstrak. Penelitian Peters dan

Waterman (1982) ini menjadi penelitian pertama yang menemukan adanya

(39)

24

Penelitian Peters dan Waterman (1982) dilakukan ketika fenomena

pencarian makna dalam hidup, sesuatu yang bermakna di balik pekerjaan, mulai

berkembang karena ada kekosongan nilai dan kepercayaan dalam lingkungan

kerja. Fenomena ini menjadi antitesis gagasan Marx terkait homo faber.

Ditengarai, fenomena ini dipicu kuat oleh terbitnya ensiklik Paus Yohanes Paulus

II, Laborem Exercens pada tahun 1981, sebagai ulang tahun ke 90 Rerum

Novarum, yang menekankan manusia sebagai subjek kerja.

Penelitian terkait adanya sistem nilai dalam organisasi diperdalam oleh

Robert K. Greenleaf (2002) melalui buku yang berjudul Servant Leadership: A

Journey into the Nature of Legitimate Power and Greatness. Dalam buku ini,

Greenleaf (2002) menjelaskan bahwa teori kepemimpinan transformasional

memiliki karakteristik yang berbeda dengan teori servant leadership.

Kepemimpinan transformasional memberi tekanan pada perubahan dan peran

kepemimpinan dalam melaksanakan transformasi organisasi menuju perubahan

dan pembangunan budaya organisasi yang dinamis. Servant leadership yang

menekankan kepemimpinan bersama antara pemimpin dan yang dipimpin akan

menciptakan budaya kerja yang bersifat spiritual.

Spiritualitas dalam organisasi semakin diakui sebagai hal yang vital

ketika Mitroff dan Denton (1999) mendapatkan sesuatu yang bernilai dalam

penelitiannya. Melalui hasil kajian yang berjudul A Spiritual Audit of Corporate

America: A Hard Look at Spirituality, Religion, and Values in the Workplace,

(40)

25

lama menuju paradigma baru dalam organisasi. Organisasi mengalami

pergeseran dari values based companies (perusahaan berdasarkan nilai) menuju

spiritualities based organization (organisasi berdasarkan spiritual). Pergeseran

ini efektif berdampak pada seluruh karyawan saat mereka mencari sesuatu yang

lebih dari pekerjaan, yakni makna, tujuan akhir, serta subjective well-being.

Arti penting spiritualitas ditegaskan dalam penelitian Fairholm (1996)

yang memberikan bukti bahwa terdapat lebih dari 40 juta orang di Amerika

Serikat yang sedang mencari suatu gaya hidup yang bernilai secara intrinsik dan

diperkirakan jumlah ini akan terus bertambah. Walaupun pekerjaan sangat

penting bagi pemenuhan kesejahteraan ekonomi, namun diyakini bahwa hal itu

belum seluruhnya memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Dari pekerjaannya,

manusia membutuhkan lebih dari sekadar kesejahteraan ekonomi. Manusia

membutuhkan bentuk motivasi yang lebih bersifat intrinsik dengan

menghadirkan spiritualitas dalam pekerjaannya. Kebutuhan akan hadirnya

spiritualitas memunculkan kesadaran baru dalam kajian manajemen dan

organisasi modern sekarang ini, yaitu pengakuan atas peran penting spiritualitas

di tempat kerja dalam menciptakan kinerja organisasi yang unggul, baik pada

level pribadi, tim, maupun organisasi secara keseluruhan.

Perhatian pada aspek spiritual dalam organisasi dan kepemimpinan telah

dikemukakan dalam berbagai jurnal ilmiah sejak awal tahun 1990-an, misalnya

oleh Neck dan Milliman (1994) dan Fairholm (1996), yang akar-akar

(41)

26

perhatian pada aspek spiritual dimulai sejak tahun 1969, ketika Journal of

Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya. Pada saat itu, kajian

ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia.

Kurangnya perhatian para pakar organisasi terhadap dimensi spiritual

dalam kehidupan organisasi pada masa lalu, menurut Korac-Kakabadze (1999),

sebagian disebabkan oleh sikap akademik yang terlalu memfokuskan pada

perilaku-perilaku yang lebih dapat diamati dan diukur secara mudah, daripada

sesuatu yang elusif dan idiosyncratic. Munculnya minat yang besar terhadap

dimensi spiritualitas dalam kajian manajemen dan organisasi disebabkan oleh

sejumlah faktor pendorong, seperti tekanan-tekanan sosial yang semakin

meningkat, perkembangan teknologi informasi yang hipercepat, globalisasi yang

melahirkan fenomena borderless, bertambahnya populasi, serta tuntutan

perubahan lingkungan dan instanisasi pangan.

Faktor pendorong lain adalah berkembangnya posmodernisme sebagai

suatu aliran filsafat. Menurut Sugiharto (1996), pada milenium ketiga ini,

berbagai sikap kritis atas pola pikir dan mentalitas modernisme berkembang

pesat. Posmodernisme mempertanyakan ulang secara kritis konsep-konsep utama

meliputi rasionalitas, kebenaran, bahasa, manusia, dan spiritualitas. Kritik

terhadap konsep-konsep tersebut telah mengubah sedemikian rupa konstelasi

realitas kognitif sehingga menjadi sama sekali baru dengan menawarkan ragam

(42)

27

mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme yang sering dikenal

sebagai “jatuhnya narasi-narasi besar”.

Dalam memandang konsep spiritualitas, posmodernisme merayakan

bangkitnya agama dalam kehidupan manusia sebagai spiritualitas daripada

sebagai institusi; sebagai religiositas (keberagamaan) daripada sebagai religi

(sebagai nama agama). Gagasan ini muncul dari jejak kedua dekonstruksi

Derrida yang dikenal dengan “agama tanpa agama”. Gagasan Derrida muncul

dari penghayatan akan yang-tak-mungkin. Derida menemukan hasrat yang

“lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma, sebuah kerinduan

spiritual yang tidak terbahasakan terhadap Yang Tremendum dan Fascinosum.

Terkait hal ini, Sugiharto (1996) menjelaskan dengan lebih mudah pandangan

tersebut:

Secara umum muncul kesadaran bahwa inti kehidupan sebenarnya

memang “ruh” (atau spirit), namun “ruh” ini jauh lebih luas daripada yang

dibayangkan oleh agama-agama. Dalam bahasa masa kini, ruh adalah energi,

inteligensi kosmik, “self”, kepekaan atas arti hidup, kuantum, dsb. Segala bentuk

material adalah manifestasi saja dari “ruh” macam itu. Dan, tuhan bukanlah

sesuatu yang personal, melainkan totalitas segala energi, baik yang berada di

alam semesta maupun yang ada dalam diri kita.

Spiritualitas tidak pernah an sich. Ia berbicara tentang interaksi

jiwa-badan manusia pada dunia di luar dirinya. Spiritual menjadi bentuk tanggapan

yang memengaruhi perilaku manusia di mana pun dan dalam kondisi apa pun.

Spiritualitas membangun karakter diri yang memengaruhi gaya kepemimpinan

(43)

28

kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin belaka, namun terkait dengan

buah-buah refleksi yang mengintegrasikan visi pribadi ke dalam visi bersama

dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas,

kredibilitas, kebijaksanaan, dan belas kasih. Kepemimpinan spiritual adalah

kepemimpinan yang mengedepankan subjective well-being. Dalam perspektif

spiritual, fungsi kepemimpinan dalam organisasi diletakkan sebagai bagian dari

sarana untuk mewujudkan kebaikan dan reformasi dalam segala bidang

kehidupan.

Semakin tinggi spiritualitas seseorang, semakin kuat ia menerapkan

gaya kepemimpinan spiritual. Hal ini dibuktikan oleh Percy (2003). Dalam

penelitian yang berjudul Going Deep: Exploring Spirituality in Life and

Leadership, Percy (2003) menyimpulkan bahwa para direktur dan CEO yang

efektif memiliki spiritualitas yang tinggi dan menerapkan gaya kepemimpinan

spiritual dalam memimpin organisasi. Pemimpin yang spiritualis akan

mengintegrasikan spiritualitas dalam seluruh aspek kehidupannya.

Semakin menguatnya dimensi spiritual dalam kepemimpinan dan

organisasi dinyatakan oleh Fry (2003) dalam tulisannya, Toward a Theory of

Spiritual Leadership. Tulisan Fry (2003) ini didukung dengan maraknya

penerbitan buku-buku teks kepemimpinan yang mengupas tentang

kepemimpinan dan budaya organisasi, kepemimpinan yang didasarkan pada misi

dan nilai-nilai, serta ragam artikel tentang spiritualitas di tempat kerja yang

(44)

29

Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa pengembangan spiritualitas di

tempat kerja berpengaruh positif terhadap sikap dan perilaku kerja

karyawan-karyawannya, misalnya menyangkut kehendak untuk mengembangkan diri,

kepuasan kerja, komitmen, motivasi, keberlibatan dalam kerja, inovasi, dan

produktivitas. Hal-hal tersebut sangat penting bagi efektivitas organisasi secara

keseluruhan.

Gaya kepemimpinan sebelumnya, menurut Fry (2003), tidak cukup

mampu mengantisipasi perubahan-perubahan dari lingkungan dan tidak

mendukung kebermaknaan hidup. Banyak orang bekerja hanya untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi dan status, bukan karena mencintai pekerjaan itu sendiri dan

menemukan makna hidup melalui pekerjaannya. Gaya kepemimpinan spiritual

dicetuskan untuk membantu karyawan menemukan makna. Kepemimpinan

spiritual memungkinkan semua pihak terkait untuk merefleksikan diri,

menemukan makna, bersikap dan berperilaku, memotivasi, baik diri sendiri

maupun orang lain secara intrinsik sehingga memberi pengaruh baik bagi

perkembangan organisasi secara keseluruhan, baik internal organisasi maupun

lingkungan di luar organisasi.

Konsep kepemimpinan spiritual muncul sebagai kelanjutan dari teori

kepemimpinan transformasional yang bertujuan untuk mengembangkan

organisasi secara keseluruhan. Kepemimpinan spiritual yang meramu antara

keyakinan/ harapan, visi, dan cinta altruistik menggali kebutuhan dasar dari

(45)

30

kepemimpinan spiritual peranan semua orang sangat menentukan, dalam

implementasinya tetap saja seorang pemimpin mempunyai peranan yang lebih

dalam membangkitkan spiritualitas. Dampaknya, yang dipimpin menjadi lebih

terorganisir, semakin mau mengembangkan diri dan produktif.

Kepemimpinan spiritual menjadi paradigma baru yang muncul ketika

manusia ditantang untuk memahami diri, bersama siapa, dan akan menjadi apa.

Pemahaman reflektif ini terimplementasi dalam pembangkitan dorongan intrinsik

(motivasi) diri sendiri dan sesama (kelompok) untuk “menjadi”, mewujudkan

visi. Fry (2003) merumuskan unsur-unsur dalam kepemimpinan spiritual sebagai

berikut:

a. Faith/ hope (keyakinan/ harapan)

Harapan adalah pemenuhan akan keinginan pada masa mendatang.

Harapan didasarkan pada keyakinan, yakni sikap yang

ditunjukkan saat merasa cukup tahu dan menyimpulkan telah

mencapai kebenaran. Per se keyakinan mensyaratkan adanya

pengenalan yang kuat terhadap diri sendiri yang dimunculkan,

kadang tidak eksplisit, dalam pertanyaan, “Siapa (aku)?”

Memahami yang di luar diri sampai pada pengenalan akan diri

membangun keyakinan semakin kuat. Harapan yang dilandaskan

pada keyakinan kuat membangkitkan motivasi untuk membangun

visi. Harapan akan semakin besar dengan adanya perhatian,

(46)

31

yang memiliki harapan tinggi demi tercapainya tujuan organisasi

akan memiliki motivasi kuat untuk bekerja.

b. Vision (visi)

Visi (videre, Latin) berarti melihat ke depan; merujuk pada

gambaran pada masa depan. Dalam hal ini, visi muncul dari

pertanyaan dasar, “Akan menjadi apa (aku)?” Pertanyaan “Akan

menjadi apa?” tidak bisa an sich, namun selalu dilekatkan dalam

konteks tertentu. Visi akan mengakomodasi semua kemungkinan

perubahan yang akan terjadi dengan berkolerasi dengan cinta

altruistik.

c. Altruistic love (cinta altruistik)

Cinta altruistik dipahami sebagai perasaan harmonis kepada

sesama yang diwujudkan dalam kepedulian, empati, apresiasi.

Sesama, dalam konteks ini adalah segala ada di luar diri tempat

terciptanya kesalingan. Tercipta hubungan emosional kuat yang

merupakan esensi dari memberi dan menerima. Cinta altruistik

mendefinisikan asumsi, pemahaman, kebenaran yang dibagikan

antarpribadi dan ditradisikan kepada pribadi (anggota) baru dalam

kelompok. Pentradisian itu menguatkan dan atau menumbuhkan

harapan-harapan baru yang berkolerasi dengan berintegrasinya

visi pribadi dan visi bersama. Dalam hal ini, altruistik dipahami

(47)

32

konteks sifat mementingkan kepentingan orang lain, perhatian

terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri

sendiri.

Gambar 2.1

Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry (Fry, 2003)

Mendukung gagasan Fry (2003), Tobroni, (2010) mendefinisikan

kepemimpinan spiritual sebagai puncak gaya kepemimpinan karena berangkat

dari paradigma manusia sebagai makhluk yang rasional, emosional, dan spiritual.

Gaya kepemimpinan ini menyempurnakan gaya kepemimpinan yang

dikembangkan sebelumnya, yakni kepemimpinan transaksional dan

transformasional.

Menurut Tobroni, (2010) kepemimpinan spiritual terkait erat dengan

etika religius yang mampu membentuk karakter, integritas, integralitas, dan

(48)

33

pangkat, kedudukan, jabatan, keturunan, kekuasaan dan kekayaan, juga tidak

terkait dengan kekuatan gaib sebagaimana terkandung dalam istilah “tokoh

spiritual” atau “penasihat spiritual”. Kepemimpinan spiritual terkait erat dengan

kecerdasan spiritual, ketajaman intuisi. Kepemimpinan spiritual juga tidak bisa

disamakan dengan yang serba esoteris (batin) yang dilawankan dengan yang

serba eksoteris (lahir), melainkan berupaya membawa dan memberi nilai dan

makna yang lahir menuju rumah batin (spiritual) atau memberi muatan

spiritualitas dan kesucian terhadap segala yang profan.

Sebagai sebuah proses perkembangan gaya kepemimpinan,

kepemimpinan spiritual berbeda dari gaya kepemimpinan yang lain. Dalam

matra teori evolusi kepemimpinan modern, berikut ini disajikan perbedaan

kepemimpinan transaksional, tranformasional, dan spiritual ditinjau dari hakikat

kepemimpinan, fungsi kepemimpinan, etos kepemimpinan, sasaran tindakan

kepemimpinan, pendekatan kepemimpinan, dalam memengaruhi yang dipimpin,

(49)

34

Tabel 2.1

Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain

Uraian Kepemimpinan

(50)

35

Konsep kepemimpinan spiritual yang digagas Tobroni memasukkan

“faham” Islam karena latar belakang Tobroni (2010) sebagai pemeluk Islam. Hal

ini tidak menjadi persoalan dalam memahami kepemimpinan spiritual. Hal ini

juga menjadi penguat bahwa spiritualitas tidak pernah an sich, yang dalam

gagasan Tobroni berkorelasi dengan Islam.

Ada ragam pemahaman dari para peneliti terkait spiritualitas. Schuster

(1997) menyatakan bahwa spiritualitas adalah kesediaan dan kemampuan untuk

menggali makna dari kenyataan hidup. Stamp (1997) (dikutip dalam

Korac-Kakabadze et al, 1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai kesadaran dalam diri

yang muncul sebagai rasa keterhubungan diri dengan yang lain dan dunia.

Gibbons (2000) mendefinisikan spiritualitas sebagai pencarian arah, makna,

keutuhan dalam relasi dengan orang lain, baik untuk seluruh ciptaan maupun

sang Pencipta. Dari ragam definisi tersebut, tampak sejumlah konsep penting

yang disepakati tentang spiritualitas, yaitu: pencarian arah, makna, refleksi,

keterkaitan, keterhubungan, dan kesucian. Dari konsep-konsep tersebut, tidak

ada satu pun yang menyebut agama sebagai entitas yang menjadi unsur dari

spiritualitas.

Spiritualitas memang berbeda dengan agama, namun antara keduanya

memiliki korelasi. Dalam konteks ini, spiritualitas bisa mempersatukan

keragaman berbagai aspek ritual dari setiap agama. Berdasarkan pemikiran

Harmer (2005) dalam jurnalnya How is a Spiritual Life, the Pinnacle of Well

(51)

36

Harmer, spiritualitas lebih universal daripada agama, bahkan para peneliti

menambahkan perbedaan, yang mana spiritualitas sama sekali tidak formal atau

terorganisir dan terstruktur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

spiritualitas hadir, baik di “dalam” maupun di “luar” konteks agama. Spiritualitas

tidak terbatas pada bidang agama saja sehingga implementasinya mencakup

segala bidang dalam hidup manusia.

Keberbedaan agama dan spiritualitas dijelaskan secara baik oleh Dalai

Lama (dikutip dalam Fry dan Matherly, 2003). Menurut Dalai Lama:

religion is concerned with faith in the claims of one faith tradition or

another and is connected with systems of belief, ritual prayer, and related

formalized practices and ideas. Spirituality, instead, is concerned with qualities

of the human spirit including positive psychological concepts such as love and

compassion, patience, tolerance, forgiveness, contentment, personal

responsibility, and a sense of harmony with one’s environment.

Meskipun konsep spiritualitas berbeda dengan konsep tentang agama,

namun kerangka kepemimpinan spiritual yang digagas Fry (2003) seperti tampak

pada gambar 2.1 sesuai dengan kerangka beriman dalam teologi Katolik.

(52)

37

Gambar 2.2

Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik

C. Learning Organization

Konsep learning organization yang mulai berkembang pada era 70-an,

pada saat ini, menjadi topik yang menarik perhatian. Menurut Dodgson (1993),

ada tiga alasan yang mendasarinya: 1) Perubahan lingkungan menuntut

organisasi-organisasi untuk menyesuaikan diri dan membangun strategi baru. 2)

Perubahan tersebut membawa ketidakpastian yang berimplikasi pada sikap

organisasi untuk bersiap dengan mempelajari banyak hal. 3) Learning

organization merupakan konsep dinamis yang menyebabkan perusahaan

mengalami perubahan secara terus-menerus.

Learning organization memegang peranan penting, vital, dan strategis

dalam meningkatkan kinerja karyawan dan organisasi secara keseluruhan. Hal

ini ditegaskan oleh Schwandt (1999) (dikutip dalam Carrell et al, 2005).

(53)

38

learning organization is system of action, actors, symbols, and

processes that enables an organization to transform information into valued

knowledge, which in turn increase its long run adaptive capacity.

Gagasan Schwandt tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh

Dale dan Daniel (2003). Mereka mengungkapkan bahwa learning organization

adalah kemampuan suatu organisasi untuk terus-menerus melakukan proses

belajar (self learning) sehingga organisasi tersebut memiliki kecepatan berpikir

dan bertindak dalam merespon beragam perubahan yang muncul.

Dalam tulisannya yang berjudul Key Leverage Points for Improving

Competitive Performance, Nadler et al (1992) meyakini bahwa terdapat empat

critical success factors bagi organisasi untuk mampu berkompetisi secara efektif.

Keempat hal tersebut adalah strategi, kualitas, desain organisasi, dan learning

organization. Berkaitan dengan keempat faktor penting penentu kesuksesan

tersebut, kemudian Nadler et al (1992) menyatakan:

even those companies with great strategies, total quality management,

and innovative organizational architectures do not always get it right the first

time. They make mistakes. The best competitors have the unique capacity to

reflect on and understand those mistakes quickly and turn insight into action;

they are learning-efficient organization. They learn from customers, competitors,

and suppliers. They learn from success and they learn from failure.

Dari pemikiran-pemikiran tersebut dapat dipahami bahwa learning

organization adalah faktor signifikan bagi kesuksesan organisasi. Learning

(54)

39

belajar terus-menerus yang dibangun anggota-anggota organisasi akan

berdampak kuat pada perkembangan organisasi secara keseluruhan.

Definisi learning organization pertama kali muncul dari Argyris

(1974) yang mana learning hanya difokuskan sebagai proses deteksi (detecting)

dan koreksi (correcting) terhadap kesalahan. Selanjutnya, Argyris dan Schon

(1978) memperluas definisi learning organization dengan menambahkan

learning individual dan organizational knowledge. Argyris dan Schon (1978)

menyatakan:

Learning organization occurs when members of the organization acts

as learning agents for the organization, responding to changes in the internal

and external environments of the organization by detecting and correcting errors

intheory-in-use and embedding the result of their inquiry in private images and

shared maps of the organization.

Konsep Argyris dan Schon (1978) tentang learning organization

menitikberatkan pada belajar secara kolektif dan berkelanjutan. Senge (1990)

mengembangkan konsep di atas dan melihat learning organization sebagai

organisasi yang bergerak secara holistik yang mana seluruh anggota, tanpa

terkecuali, menciptakan solusi-solusi baru. Senge (1999) dalam bukunya The

Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization

mengemukakan lima hal inti dalam pembentukan learning organization, yaitu: 1)

keahlian pribadi, 2) model mental, 3) visi bersama, 4) kelompok belajar, dan 5)

(55)

40

Menurut Nevis et al (1995), learning organization adalah kapasitas

atau proses dalam suatu organisasi untuk mempertahankan atau meningkatkan

kinerja berdasarkan pengalaman. Adapun menurut Wood (1998), learning

organization adalah proses yang mana karyawan memperoleh kompetensi dan

kepercayaan sehingga tindakan dan perilaku mereka berpengaruh terhadap

organisasi. Dalam definisi ini, selain menekankan proses, Wood (1998) juga

memberi tekanan pada karyawan sebagai subjek yang dikenai penerapan

learning organization. Penulis yang mendefinisikan learning organization

sebagai proses adalah Duncan dan Weiss (1979). Menurut Duncan dan Weiss

(1979), learning organization adalah proses dalam organisasi yang mana

pengetahuan tentang hubungan tindakan-hasil dan pengaruh lingkungan pada

hubungan tersebut dikembangkan.

Definisi learning organization dengan menekankan pentingnya peran

berbagai pihak internal dimunculkan oleh Dixon (2001). Menurut Dixon,

learning organization adalah tindakan yang dirancang sebagai proses belajar

pada tingkat, baik pribadi, kelompok, maupun sistem untuk terus mengubah

organisasi ke arah yang semakin baik.

Penulis yang menekankan learning organization berbasis pengetahuan

di antaranya adalah Antal (2002) yang menekankan pentingnya pengetahuan.

Menurut Antal (2002), learning organization adalah sebuah proses kreatif dan

interaktif. Hal ini kadang-kadang dicapai dengan memperoleh dan menerapkan

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry Gambar 2.2 Kerangka Beriman dalam Teologi Katolik
Gambar 2.1 Kerangka Kepemimpinan Spiritual Menurut Fry (Fry, 2003)
Tabel 2.1 Kepemimpinan Spiritual di Antara Gaya Kepemimpinan Lain
Tabel 3.1 Definisi Operasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

b. Implementasi Pendidikan dikaitkan dengan kekhususan Kurikulum Berbasis Kompetensi baik kekhususan dalam penetapan beban studi maupun dalam proses belajar mengajarnya yang

Navika Beverages yang hasil laporanya akan ditujukan untuk manajer marketing agar dapat mengetahui kinerja salesnya serta karena berdasar penelitian, dalam melakukan penginputan

Hubungan antara limit satu sisi dan dua sisi juga berlaku untuk turunan, yakni sebuah fungsi memiliki turunan pada suatu titik jika dan hanya jika fungsi

Al-M a ward i mengukuhkan lagi penjelasan mengenai kehinaan sifat dengki ini dengan menyatakan apa yang telah disebut oleh Mu‘ a wiyah iaitu tiada keburukan yang

Pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan pada awalnya menggunakan hukum waris secara adat, yakni hanya anak laki-laki yang mewarisi,

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaiman konsep green road construction dengan mengkaji berbagai teori dan informasi serta prospek penerapanya di

Analisis resepsi khalayak atau audience memahami proses pembuatan makna (making meaning process) yang dilakukan oleh audience ketika mengkonsumsi tayangan sinema atau program

“Pengaruh Kinerja Pegawai, Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pegawai Melalui Etika Pelayanan Publik Pada Program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) di