• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN MENGINTERPRETASI DAN MENGANALISIS SISWA KELAS V SD SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN MENGINTERPRETASI DAN MENGANALISIS SISWA KELAS V SD SKRIPSI"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE

MAKE A MATCH

TERHADAP

KEMAMPUAN

MENGINTERPRETASI

DAN

MENGANALISIS

SISWA KELAS V SD

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh :

Margaretha Herlin Pratiwi

NIM: 151134120

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv PERSEMBAHAN

Karya ilmiah ini peneliti persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu melindungi dan menjadi

sumber kekuatanku

2. Orang tuaku yang tak pernah lelah mendoakan dan mendukungku.

3. Kakak dan adikku yang selalu memberikan semangat dan tak bosan

mengingatkan.

4. Sahabat-sahabat seperjuangan, teman-teman, dan para penyemangatku

yang selalu mengingatkan dikala lelah.

5. Teman-teman KMPKS yang selalu menghiburku disela-sela kebosanan.

(5)

v MOTTO

“Setiap manusia itu punya keunikan masing-masing, jadikanlah keunikan itu

sebagai suatu kelebihanmu untuk berkarya”

“Ia yang mengerjakan lebih dari apa yang dibayar pada suatu saat akan dibayar lebih dari apa yang ia kerjakan” (Napoleon Hill)

“Kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau”

(Amsal 2: 11)

Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia

(6)

vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam /

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Januari 2019

Peneliti

(7)

vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAHUNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Margaretha Herlin Pratiwi

Nomor Mahasiswa :151134120

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN

MENGINTERPRETASI DAN MENGANALISIS SISWA KELAS V SD”.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 24 Januari 2019

Yang menyatakan

(8)

viii ABSTRAK

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN MENGINTERPRETASI DAN

MENGANALISIS SISWA KELAS V SD Margaretha Herlin Pratiwi

Universitas Sanata Dharma 2019

Latar belakang penelitian ini adalah adanya keprihatinan terhadap rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA. Hal ini dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan PISA pada tahun 2009, 2012, dan 2015 yang menunjukkan bahwa peringkat literasi IPA siswa Indonesia masih berada diperingkat 10 terbawah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan menginterpretasi dan menganalisis siswa kelas V SD.

Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experimental tipe pretest-posttest non-equivalent group design. Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V yang berjumlah 73 siswa dari salah satu SD yang ada di Yogyakarta tahun ajaran 2018/2019. Sampel penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelas A sebagai kelompok kontrol dengan jumlah siswa 24 anak, kelas B sebagai kelompok eksperimen dengan jumlah siswa 24 anak. Treatment yang diterapkan di kelompok eksperimen adalah model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match yang memiliki 7 langkah yaitu menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban, mencari pasangan, pemberian nilai, pengulangan permainan dan pemberian penghargaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berpengaruh terhadap kemampuan menginterpretasi. Rerata selisih skor yang diperoleh kelompok eksperimen (M = 0,9162;SE = 0,14235) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (M = 0,4579; SE = 0,15133). Perbedaan tersebut signifikan dengan t(46)= -2,206; p = 0,32 (p < 0,05). Besar pengaruh r = 0,31 termasuk kategori efek menengah atau setara dengan 9,61%. 2) Penerapan model pembelajaran tipe kooperatif tipe Make a Match tidak berpengaruh terhadap kemampuan menganalisis. Rerata selisih skor yang diperoleh pada kelompok eksperimen (M = 1,013; SE = 0,13548) lebih tinggi dari selisih skor kelompok kontrol (M = 0,986; SE = 0,12761). Meskipun demikian, perbedaan tersebut tidak signifikan dengan t(46)= -0,148; p = 0,883 (p > 0,05). Besar pengaruh r = 0,02 termasuk kategori efek kecil atau setara dengan 0,04%.

(9)

ix

ABSTRACT

THE EFFECT OF IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE LEARNING

“MAKE A MATCH TYPE” ON STUDENTS’ ABILITY IN INTERPRETING AND

ANALYZING OF FIFTH GRADERS OF ELEMENTARY SCHOOL

Margaretha Herlin Pratiwi influence of implementation of cooperative learning type “Make a Match” to the

student’s interpreting and analyzing abilities of fifth graders of elementary

school.

This research was a quasi-experimental research type pre-test and post-test non-equivalent group design. The population used in this research were all fifth graders, which were 73 students, of one of private elementary schools in Yogyakarta school year 2018/2019. The sample of this research consisted of two groups, which were group A as the control group which was consisted of 24 students, while group B as the experiment group which was consisted of 24 students. The treatment applied on the experiment group was model of

cooperative learning type “Make a Match”. The model of cooperative learning

type “Make a Match” has 7 steps which were preparing cards, distributing cards,

thinking questions and answers, finding partner, giving score, repeating the game, and giving rewards.

The result of this research showed that 1) model of cooperative learning

type “Make a Match influenced students’ interpreting skill. The average

difference score of experiment group was (M = 0,9162;SE = 0,14235) higher than control group (M = 0,4579; SE = 0,15133). The differences was significant with t (46)= -2,206; p = 0,32 (p < 0,05). The effect of r= 0,31 which was categorized as middle effect or equal to 9,61%. 2) The implementation of model of cooperative

learning type “Make a Match” had no influences to students’ analyzing skill. The

average difference score of experiment group was (M = 1,013; SE = 0,13548) higher than control group (M = 0,986; SE = 0,12761). The differences was not significant with t (46)= -0,148; p = 0,883 (p > 0,05). The effect of r = 0,22 which was categorized as small effect or equal to 0,04 %.

(10)

x KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya

sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan tepat waktu.

Skripsi yang berjudul “PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN

MENGINTERPRETASI DAN MENGANALISIS SISWA KELAS V” disusun

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru

Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Peneliti menyadari

bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak. Karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd,. M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

3. Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi

Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

4. Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., BST., M.A. selaku Dosen

Pembimbing I yang telah membimbing dengan sabar dan bijaksana.

5. Agnes Herlina Dwi Hadiyanti, S.Si., M.T., M.Sc. selaku Dosen

Pembimbing II yang telah membimbing dengan penuh kesabaran.

6. Eny Winarti M.Hum., Ph.D. selaku dosen Penguji III yang telah

memberikan masukan pada penelitian ini.

7. Tarcicius Tri Indartanta, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SD penelitian.

8. Putri El Pareka, S.Pd. selaku guru mitra yang membantu pelaksanaan

penelitian hingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.

9. Roberta Imma Dyas, S.Pd. selaku guru kelas V A yang telah memberi

izin untuk melakukan penelitian di kelas tersebut.

10.Siswa kelas V A dan V B SD penelitian yang bersedia terlibat dalam

(11)

xi 11.Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah membantu

proses perizinan penelitian skripsi.

12.Kedua orang tua, Lukas Rustamsi dan Ceicilia Sularni yang selalu

mendampingi, memberi semangat, dan menyertai perjuanganku lewat

doa dan nasihat.

13.Kakakku Maria Vianney dan adikku Valensia Anggia putri yang

selalu mendampingi, membantu dan memberi semangat.

14.Sahabatku, Fr. Yuvens SCJ yang selalu mengingatkan, mendoakan dan

memberi semangat untukku.

15.Sahabatku, Melsa, Tika, Marcel, Ella, Intan, Nila, Dinda, Agatha,

Danang yang selalu memberikan semangat dan penghiburan di kala

bosan.

16.Temanku Poppy dan Clara, Mbak Atri dan kakakku Mbak Pipin yang

bersedia untuk mengoreksi tata bahasa dan tulisan salah ketikku

dengan teliti.

17.Teman-teman PPL JB, Dom, Bronto, Cindy, Cici, Clara, Agatha,

Poppy atas kerja sama serta dukungan selama penelitian di sekolah.

18.Teman-teman 7C yang selalu memberi semangat dan menghibur di

kala bosan.

19. Sahabat penelitian kolaboratif, Agnes, Lintang, Rani, Melsa, Felis,

Erien, Halimah, Niken, Anggun, Clara, dan Poppy yang telah memberi

bantuan selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi.

20. Sahabat-sahabat ku sejak SMA yang selalu memberi semangat dan

doa.

21. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun

telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna karena keterbatasan

kemampuan peneliti. Segala kritik dan saran yang membangun akan

peneliti terima dengan senang hati. Peneliti berharap, semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan pembaca.

(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMANPERSEMBAHAN ... iv

HALAMANMOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUKKEPENTINGANAKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

1.5 Definisi Operasional ... 8

BAB IILANDASAN TEORI ... 9

2.1 Kajian Pustaka ... 9

2.1.1 Teori yang Mendukung ... 9

2.1.1.1 Teori Perkembangan Anak ... 9

2.1.1.2 Teori Perkembangan Kognitif menurut Piaget ... 10

2.1.1.3 Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky ... 14

2.1.1.4 Model Pembelajaran Kooperatif ... 16

2.1.1.5 Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match ... 20

2.1.1.6 Kemampuan Berpikir Kritis ... 23

2.1.1.7 Kemampuan Menginterpretasi ... 24

2.1.1.8 Kemampuan Menganalisis ... 25

2.1.1.9 Pembelajaran Tematik-Integratif... 26

2.1.1.10 Materi Sistem Pernapasan pada Hewan ... 27

2.1.2 Penelitian yang Relevan ... 28

(13)

xiii

2.3 Hipotesis Penelitian... 34

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 35

3.1 Jenis Penelitian ... 35

3.2 Setting Penelitian ... 37

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 37

3.2.2 Waktu Penelitian... 37

3.3 Populasi dan Sampel ... 38

3.3.1 Populasi ... 38

3.3.2 Sampel ... 38

3.4 Variabel penelitian ... 39

3.4.1 Variabel Independen ... 39

3.4.2 Variabel Dependen ... 39

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.6 Instrumen Penelitian ... 42

3.7 Teknik Pengujian Instrumen ... 43

3.7.1 Uji Validitas ... 43

3.7.2 Uji Reliabilitas ... 47

3.8 Teknik Analisis data... 47

3.7.3 Analisis Pengaruh Perlakuan ... 48

3.7.3.1 Uji Asumsi ... 48

3.7.3.2 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 49

3.7.3.3 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 50

3.7.3.4 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 51

3.8 Analisis lebih Lanjut ... 53

3.8.1 Perhitungan Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I ... 53

3.8.2 Uji Besar Efek Peningkatan Skor Pretest ke Posttest I ... 54

3.8.3 Uji Korelasi antara Rerata Pretest ke Posttest I ... 56

3.8.4 Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 57

3.9 Ancaman Terhadap Validitas Internal ... 58

BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64

4.1 Hasil Penelitian ... 64

4.1.1 Implementasi Pembelajaran ... 64

4.1.1.1 Deskripsi Sampel Penelitian ... 64

4.1.1.2 Deskripsi Implementasi Pembelajaran ... 65

4.1.2 Deskripsi Sebaran Data ... 74

(14)

xiv

4.1.2.2 Kemampuan Menganalisis... 76

4.1.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian I ... 78

4.1.3.1 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 78

4.1.3.2 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 80

4.1.3.3 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 84

4.1.3.4 Analisis Lebih Lanjut ... 85

4.1.4 Hasil Uji Hipotesis Penelitian II ... 92

4.1.4.1 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 93

4.1.4.2 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 95

4.1.4.3 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 98

4.1.4.4 Analisis Lebih Lanjut ... 99

4.2.1 Analisis Terhadap Ancaman Validitas Internal Penelitian ... 107

4.2.2 Pembahasan Hipotesis ... 110

4.2.2.1 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Kemampuan Menginterpretasi ... 110

4.2.2.2 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Kemampuan Menganalisis ... 114

4.2.3 Analisis Hasil Penelitian Terhadap Teori ... 117

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 121

5.1 Kesimpulan ... 121

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 122

5.3 Saran ... 122

DAFTAR PUSTAKA ... 123

LAMPIRAN ... 128

CURRICULUM VITAE ... 227

(15)

xv DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Kecakapan Berpikir kritis ... 23

Tabel 3. 1 Jadwal Pengambilan Data ... 38

Tabel 3. 2 Matriks Perkembangan Instrumen ... 43

Tabel 3. 3 Hasil Uji Validitas Instrumen Kemampuan Menginterpretasi dan Menganalis ... 46

Tabel 3. 4 Uji Reliabilitas ... 47

Tabel 3. 5 Kriteria Uji Pengaruh Perlakuan ... 53

Tabel 3. 6 Kriteria Uji Pengaruh perlakuan ... 53

Tabel 4. 1 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Kontrol Kemampuan Menginterpretasi... 74

Tabel 4. 2 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Eksperimen Kemampuan Menginterpretasi... 75

Tabel 4. 3 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Kontrol Kemampuan Menganalisis ... 76

Tabel 4. 4 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Eksperimen Kemampuan Menganalisis... 77

Tabel 4. 5 Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest ... 79

Tabel 4. 6 Uji Homogenitas Varian Skor Rerata Pretest kemampuan Menginterpretasi... 79

Tabel 4. 7 Uji Statistik Perbedaan Kemampuan Awal pada kemampuan Menginterpretasi... 80

Tabel 4. 8 Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Selisih Skor Pretest-Posttest I 81 Tabel 4. 9 Uji Homogenitas Varian Rerata Selisih Skor Pretest- Posttest I Kemampuan Menginterpretasi ... 82

Tabel 4. 10 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 82

Tabel 4. 11 Hasil Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 84

Tabel 4. 12 Hasil Uji Normalitas Distribusi Dara Rerata Skor Pretest dan Posttest I Kemampuan Menginterpretasi ... 85

Tabel 4. 13 Peningkatan rerata Pretest ke Posttest I ... 85

(16)

xvi DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Tahapan Belajar Menurut Piaget ... 11

Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Proximal ... 15

Gambar 2. 3 Denah Kelas Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match ... 22

Gambar 2. 4 Literature Map Penelitian yang Relevan ... 31

Gambar 3. 1 Rumus Pengaruh Perlakuan ... 36

Gambar 3. 2 Desain Penelitian ... 36

Gambar 3. 3 Variabel Penelitian... 40

Gambar 3. 4 Rumus Besar Efek Distribusi Normal ... 52

Gambar 3. 5 Rumus Besar Efek Distribusi Tidak Normal... 52

Gambar 3. 6 Rumus Persentase Pengaruh ... 52

Gambar 3. 7 Rumus Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest 1 ... 53

Gambar 3. 8 Rumus Gain Score ... 54

Gambar 3. 9 Rumus Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I Distribusi Data Normal ... 55

Gambar 3. 10 Rumus Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I Distribusi Data Tidak Normal ... 55

Gambar 3. 11 Rumus Persentase Besar Pengaruh ... 55

Gambar 3. 12 Skema ancaman sejarah (history) ... 59

Gambar 4. 1 Grafik Rerata Skor Pretest dan Posttest I ... 83

Gambar 4. 2 Diagram Rerata Selisih Skor Pretest – Posttest I ... 84

Gambar 4. 3 Grafik Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I... 86

Gambar 4. 4 Grafik Gain Score Kemampuan Menginterpretasi ... 87

Gambar 4. 5 Grafik Perbandingan Skor Pretest, Posttest I, dan Posttest II Kemampuan menginterpretasi ... 91

Gambar 4. 6 Grafik Rerata skor Pretest-Posttest I ... 97

Gambar 4. 7 Grafik Rerata Selisih Skor Pretest – Posttest I ... 98

Gambar 4. 8 Grafik Perbandingan Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I ... 100

Gambar 4. 9 Grafik Gain Score Kemampuan menganalisis ... 101

(17)

xvii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. 1 Surat Ijin Penelitian ... 129

Lampiran 1. 2 Surat Ijin Validasi Soal ... 130

Lampiran 2. 1 Silabus Kelompok Kontrol ... 131

Lampiran 2. 2 Silabus Kelompok Eksperimen ... 135

Lampiran 2. 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol ... 139

Lampiran 2. 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ... 145

Lampiran 3. 1 Soal Uraian ... 158

Lampiran 3. 2 Kunci Jawaban ... 163

Lampiran 3. 3 Rubrik Penilaian ... 167

Lampiran 3. 4 Hasil Rekap Nilai Expert Judgement ... 173

Lampiran 3. 5 Hasil Analisis SPSS Uji Validitas ... 185

Lampiran 3. 6 Tabulasi Nilai Validitas ... 188

Lampiran 3. 7 Hasil Analisis SPSS Uji Reliabilitas ... 190

Lampiran 3. 8 Sampel Jawaban Siswa ... 191

Lampiran 4. 1 Tabulasi Nilai Kemampuan Menginterpretasi Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 201

Lampiran 4. 2 Tabulasi Nilai Kemampuan Menganalisis Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 201

Lampiran 4. 3 Hasil SPSS Uji Normalitas Distribusi Data ... 203

Lampiran 4. 4 Hasil SPSS Homogenitas Varian Kemampuan Awal ... 204

Lampiran 4. 5 Hasil SPSS Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 205

Lampiran 4. 6 Hasil SPSS Uji Homogenitas Varian Selisih Pretest ke Posttest I ... 207

Lampiran 4. 7 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 208

Lampiran 4. 8 Perhitungan Manual Besar Pengaruh Perlakuan ... 210

Lampiran 4. 9 Perhitungan Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I211 Lampiran 4. 10 Hasil SPSS Uji Korelasi Antara Rerata Pretest ke Posttest I .... 216

Lampiran 4. 11 Hasil Uji Retensi Perlakuan ... 218

Lampiran 5. 1 Lampiran Foto ... 224

(18)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab I ini akan dikemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan,

penelitian, manfaat penelitian dan definisi operasional.

1.1Latar Belakang Masalah

Dalam dunia pendidikan, kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan

dalam proses pembelajaran. Berpikir kritis melibatkan pemahaman lebih

mendalam arti dari masalah-masalah, menunjukkan pemikiran yang terbuka

tentang perbedaan pendekatan dan sudut pandang, tidak menerima secara

mentah-mentah apa yang dijelaskan orang lain dan apa yang ada dalam buku, dan berpikir

secara reflektif (Santrock dalam Desmita 2011: 153). Kemampuan berpikir kritis

adalah kemampuan membuat penilaian untuk tujuan tertentu yang menghasilkan

interpretasi, analisis, evaluasi, dan kesimpulan atas dasar bukti, konsep, metode,

kriteria, atau konteks tertentu yang digunakan untuk menilai (Facione, 1990: 6).

Dalam pembelajaran, berpikir kritis merupakan suatu bagian dari kecakapan

praktis yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah. Pendapat lain

mengungkapkan bahwa berpikir kritis berarti proses mental yang efektif dan

handal, digunakan dalam mengejar pengetahuan yang relevan dan benar (Jensen

2011: 195). Kemampuan berpikir kritis dapat mendorong siswa memunculkan

ide-ide atau pemikiran baru terhadap masalah yang dihadapi. Dengan demikian,

kemampuan berpikir kritis penting dimiliki oleh anak-anak sejak dini sehingga

mereka dapat menganalisis suatu permasalahan dan mencoba mengembangkan

kemungkinan-kemungkinan jawaban lain berdasarkan analisis dan informasi yang

telah didapatkan.

Facione membagi kemampuan berpikir kritis dalam dimensi kognitif

menjadi enam unsur, yaitu kemampuan menginterpretasi, kemampuan

menganalisis, kemampuan evaluasi, kemampuan menyimpulkan, kemampuan

eksplanasi dan kemampuan regulasi diri (Facione 1990: 3). Anak diharapkan

memiliki kemampuan berpikir kritis untuk mengatasi masalah yang dihadapi

dengan caranya sendiri berdasarkan informasi dan pengalaman yang didapatkan

selama proses belajar, dan dapat mengkaitkan masalah-masalah secara logis,

(19)

2 Kemampuan yang dibutuhkan antara lain yaitu kemampuan menginterpretasi dan

menganalisis. Kemampuan menginterpretasi adalah kemampuan di mana anak

mencoba mengerti dan mengungkapkan arti dari pengalaman, situasi, data

kejadian, penilaian, kesepakatan, kepercayaan, aturan, prosedur, atau kriteria

(Facione, 1990: 3). Kemampuan menganalisis adalah kemampuan siswa, dimana

ia dapat mengidentifikasi relasi-relasi logis dari berbagai pernyataan, pertanyaan,

atau konsep yang mengungkapkan keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan,

informasi, atau opini (Facione, 1990: 7).

Kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan sejak usia dini yaitu saat

anak berada di Sekolah Dasar (SD). Anak usia Sekolah Dasar berada pada tahap

operasional-konkret (usia 7-11 tahun) (Piaget dalam Ibda, 2015: 37). Anak pada

tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi,

tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Hal ini berarti bahwa anak usia

Sekolah Dasar belajar dari hal-hal yang terlihat konkret/nyata dan belum bersifat

abstrak. Vygotsky dengan teori pembelajaran sosialnya mengemukakan bahwa

anak membutuhkan scaffolding yaitu panduan atau arahan dari orang dewasa atau

teman sebayanya yang lebih mampu agar proses pembelajaran yang dia dapatkan

menjadi lebih optimal (Santoso, 2010: 131).Tujuan pembelajaran merupakan

perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dengan melakukan aktivitas

belajar yang direncanakan. Jenis perilaku yang diharapkan muncul setelah

mengikuti sebuah kegiatan pembelajaran yaitu 1) perilaku kognitif, yang berkaitan

dengan kemampuan mengingat dan berpikir, 2) perilaku afektif, yang berkaitan

dengan nilai, norma, sikap, dan kemauan, serta 3) perilaku psikomotor, yang

menyangkut aspek keterampilan atau gerakan (Sani, 2013: 51-52).

Salah satu pelajaran yang dapat melibatkan siswa secara langsung dalam

proses pembelajarannya dan membantu dalam mengembangkan kemampuan

berpikir kritis yaitu pelajaran IPA. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan salah satu

mata pelajaran yang memiliki peranan penting bagi anak-anak Sekolah Dasar.

IPA merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan untuk memupuk

rasa ingin tahu siswa secara alamiah guna membantu mengembangkan

kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti yang ada

(20)

3 untuk bisa berinteraksi langsung dengan alam dan mempelajari

fenomena-fenomena alam yang tidak lepas dari kehidupannya sehari-hari. Selain itu, dengan

berlangsungnya pembelajaran IPA mampu melatih anak untuk berpikir kritis dan

objektif yang dimulai dengan tahap-tahap yang paling sederhana sampai yang

paling kompleks, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami

pembelajaran secara langsung, sehingga siswa mempunyai pengalaman secara

langsung.

Permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dewasa ini

adalah lemahnya pelaksanaan proses pembelajaran yang diimplementasikan

guru-guru di sekolah. Pelaksanaan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas

hanya berfokus pada kemampuan siswa untuk menghafal informasi tanpa dituntut

untuk memahami informasi yang diperoleh untuk menghubungkannya dengan

situasi dalam kehidupan sehari-hari (Susanto, 2013: 165-166). Pada dasarnya hal

yang perlu diutamakan untuk anak usia Sekolah Dasar adalah bagaimana

mengembangkan rasa ingin tahu mereka terhadap suatu masalah (Susanto: 2013:

167). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan sebuah organisasi

dalam naungan Organization Economic Cooperation and Development (OECD)

yang bernama Program for International Student Assessment (PISA) telah

mengadakan sebuah survei mengenai sistem pendidikan dan kemampuan dari

siswa yang diadakan tiap 3 tahun sekali. Survei dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui kemampuan siswa dalam menghadapi tantangan pada kehidupan

nyata. Studi ini juga digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam

matematika, membaca, dan sains. Pada hasil PISA tahun 2012, Indonesia berada

pada peringkat 64 dari 65 negara dengan hasil skor literasi IPA sebesar 382

(OECD, 2013: 5). Pada hasil PISA tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat

62 dari 70 negara dengan hasil skor literasi IPA sebesar 403 (OECD, 2016: 5).

Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan hasil skor literasi IPA dari 382

menjadi 403, namun peringkat Indonesia masih berada di 10 besar terbawah dari

70 negara peserta PISA tahun 2015. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa para

siswa di Indonesia mengalami kesulitan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi

yang melibatkan aspek kognitif karena soal-soal yang digunakan pada PISA

(21)

4 diperlukan karena pendidikan di abad ke-21 menuntut berbagai keterampilan yang

harus dikuasai seseorang, salah satunya kemampuan berpikir kritis. Pencapain

keterampilan abad ke-21 ini dilakukan dengan cara memperbaharui kualitas

pembelajaran, mengembangkan pembelajaran student-centered, bersifat

kolaboratif, kontekstual dan terintegrasi dengan siswa (Daryanto, 2017: 13).

Proses pembelajaran di Indonesia belum terlaksana sesuai dengan harapan.

Proses pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal saat ini masih

didominasi oleh model pembelajaran yang masih bersifat konvensional.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sekolah-sekolah khususnya sekolah di

Jawa Tengah, hampir 80% guru masih menggunakan pendekatan pembelajaran

konvensional yaitu model ceramah. Pembelajaran konvensional adalah proses

pembelajaran yang didominasi guru sebagai “pentransfer” ilmu, sementara siswa

lebih pasif sebagai “penerima” ilmu (Agustin, 2011: 81-82). Model pembelajaran

yang menyenangkan belum tentu efektif dalam keberhasilan suatu proses

pembelajaran. Model pembelajaran dikatakan berhasil jika dalam prosesnya dapat

melibatkan siswa, sehingga siswa belajar berdasarkan pengamatan dan praktek

secara langsung dan guru bukan menjadi satu-satunya sumber informasi. Dalam

kenyataannya, masih banyak guru yang menggunakan model dan metode yang

membuat siswa menjadi cepat bosan dan dirasa monoton, sehingga siswa juga

tidak begitu antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru perlu

mengunakan model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara langsung

dalam proses pembelajarannya.

Salah satu model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara

langsung dalam proses pembelajarannya yaitu model pembelajaran kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang

dapat membantu anak bekerja sama dalam menyelesaikan persoalannya apalagi

terkait dengan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Model

pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pembelajaran di mana peserta

didik bekerja sama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar

(Huda, 2014: 32). Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yaitu tipe Make

a Match. Model Pembelajaran Make a Match adalah model pembelajaran yang

(22)

5 sama dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang disajikan dalam

bentuk permainan. Model pembelajaran Make a Match memiliki 7 tahap yaitu

menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban, mencari

pasangan, pemberian nilai, pengulangan permainan dan pemberian penghargaan.

Berbagai jurnal penelitian diterbitkan untuk mendukung pengembangan

kemampuan berpikir kritis dan suatu kemampuan menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match.

Artawa dan Suwatra (2012) meneliti perbedaan prestasi belajar

Matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan model pembelajaran

konvensional pada kelas V SD N 1 Muncan.. Maula dan Rustopo (2012) meneliti

perbedaan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan metode

konvensional terhadap hasil belajar matematika materi mengenal lambang

bilangan romawi siswa kelas IV SDN 03 Sumberejo tahun ajaran 2012/2013.

Anggarawati, Kristiantari, dan Asri (2014) meneliti perbedaan hasil belajar antara

siswa yang belajar dengan model pembelajaran Make a Match berbantuan media

kartu gambar dengan siswa yang belajar secara konvensional pada mata pelajaran

IPS. Coker (2010) bertujuan untuk menguji efek dari satu minggu uji coba,

program pembelajaran praktek terhadap penalaran klinis dan kemampuan berpikir

kritis dari siswa terapi okupasi.

Kurniawati, Wartono, dan Diantoro (2014) meneliti perbedaan penguasaan

konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan pembelajaran

inkuiri terbimbing integrasi peer instruction, pembelajaran inkuiri terbimbing, dan

pembelajaran konvensional. Selain itu, peneliti tersebut juga meneliti pengaruh

pembelajaran inkuiri terbimbing integrasi peer instruction, pembelajaran inkuiri

terbimbing dan pembelajaran konvensional berturut-turut terhadap penguasaan

konsep dan kemampuan berpikir kritis fisika. Spijunovic dan Lazic (2016)

bertujuan untuk membahas tentang pentingnya perkembangan kemampuan

berpikir kritis siswa pada awal proses belajar mengajar Matematika dan

menggarisbawahi beberapa masalah yang bersangkutan dengan pelaksanaannya.

Penelitian-penelitian tentang model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match

(23)

6 tipe Make a Match memiliki dampak yang positif bagi siswa. Hal ini menjadi

acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh

penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match. Berbagai jurnal

juga diterbitkan untuk mendukung kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Ada

beberapa hal yang menjadi pembeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu

pada variabel dependennya, kemampuan menginterpretasi dan menganalisis.

Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh dari penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan berpikir kritis

siswa yaitu kemampuan menginterpretasi dan menganalisis.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, peneliti

melakukan penelitian di dua kelas sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Peneliti menggunakan salah satu SD swasta di Yogyakarta ini karena SD ini

merupakan SD paralel dari kelas I –VI , yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V yang berjumlah 73

siswa. Kelas yang akan digunakan sebagai kelas kontrol adalah kelas V A dengan

jumlah siswa 24 anak dan kelas V B dengan jumlah siswa 24 anak sebagai kelas

eksperimen. Konsep penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

konsep dari teori Peter Facione.

Penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh penerapan model

pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan

menginterpretasi dan menganalisis siswa kelas V SD. Materi pembelajaran IPA

dibatasi pada Tema 2 kelas V, yaitu tentang Sistem Pernafasan pada Hewan. Jenis

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian quasi

experimental design dengan tipe pretest-posttest non-equivalent group design.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tes dalam bentuk

essay. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

non probability sampling dengan tipe convenience sampling.

1.2Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match

(24)

7 1.2.2 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match

berpengaruh terhadap kemampuan menganalisis siswa kelas V SD?

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make

a Match terhadap kemampuan menginterpretasi siswa kelas V SD.

1.3.2 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make

a Match terhadap kemampuan menganalisis siswa kelas V SD.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Siswa

Siswa memperoleh pengalaman belajar menggunakan pembelajaran

kooperatif tipe Make a Match untuk meningkatkan kemampuan

menginterpretasi dan menganalisis dalam pembelajaran IPA khususnya

pada materi Sistem Pernafasan pada Hewan.

1.4.2 Bagi Guru

Guru memperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung dalam

menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan

mengetahui pengaruhnya terhadap kemampuan menginterpretasi dan

menganalisis siswa SD.

1.4.3 Bagi Sekolah

Sekolah memperoleh wawasan baru mengenai pembelajaran inovatif

khususnya pembelajaran kooperatif tipe Make a Match yang dapat

berpengaruh terhadap kemampuan menginterpretasi dan menganalisis

siswa SD.

1.4.4 Bagi Peneliti

Peneliti memperoleh pengalaman langsung dalam merancang dan

merencanakan pembelajaran kooperatif tipe Make a Match pada mata

pelajaran IPA yang dapat menjadi bekal peneliti untuk mengajar di masa

(25)

8 1.5Definisi Operasional

1.5.1 Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang

dilakukan secara berkelompok, di mana siswa belajar bersama sebagai

suatu tim dalam menyelesaikan tugas kelompok untuk mencapai tujuan

bersama, serta setiap pembelajar dari kelompok-kelompok tersebut

didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain.

1.5.2 Model pembelajaran Make a Match adalah salah satu model pembelajaran

kooperatif yang mengajarkan siswa memahami konsep-konsep secara

aktif, kreatif, interaktif, efektif dan menyenangkan bagi siswa sehingga

konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif siswa

yang disajikan dalam bentuk permainan dengan 7 langkah yaitu

menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban,

mencari pasangan, pemberian nilai, pengulangan permainan dan

pemberian penghargaan.

1.5.3 Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan dan kecenderungan untuk

membuat dan membuktikan penilaian terhadap kesimpulan berdasarkan

bukti yang diharapkan dapat dilakukan dengan tujuan tertentu.

1.5.4 Kemampuan menginterpretasi adalah kemampuan di mana anak dapat

mengerti, memahami sesuatu bukan hanya secara teoretis, melainkan juga

mengerti arti dari pengalaman, situasi, data kejadian, penilaian,

kesepakatan, kepercayaan, aturan, prosedur, atau kriteria yang telah ia

pelajari.

1.5.5 Kemampuan menganalisis adalah kemampuan dimana anak dapat

mengidentifikasi relasi-relasi logis dari berbagai pernyataan, pertanyaan,

atau konsep yang dapat membuat penilaian untuk menyetujui, menilai dan

menganalisis suatu gagasan tertentu.

1.5.6 Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang mempelajari tentang

gejala-gejala alam dan kebendaan yang diperoleh dengan cara observasi,

pengamatan, eksperimen/penelitian, atau uji coba yang berdasarkan pada

hasil pengamatan manusia berupa fakta-fakta, aturan, hukum-hukum,

(26)

9 BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II ini berisi tentang kajian teori, kerangka berpikir dan hipotesis

penelitian. Kajian teori membahas teori-teori yang mendukung dan beberapa

kajian penelitian yang relevan. Kerangka berfikir berisikan kerangka pemikiran

dan hipotesis penelitian berisi tentang jawaban suatu rumusan masalah penelitian.

2.1Kajian Pustaka

2.1.1 Teori yang Mendukung

Untuk sebuah penelitian yang berkaitan dengan siswa sekolah dasar, pada

bab II ini penting untuk menggunakan teori-teori yang mendukung seperti teori

perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, Teori Sosial oleh Lev Semyonovich

Vygotsky, dan teori tentang materi pernafasan pada hewan untuk penelitian ini.

2.1.1.1Teori Perkembangan Anak

Perkembangan merujuk kepada bertambah matangnya suatu organ atau

sikap manusia baik itu secara sosioemosional, maupun perkembangan kognisi

(pemikiran), dan perkembangan bahasa yang tidak dapat diukur dengan alat ukur

(kualitatif). Perkembangan adalah pola gerakan atau aktivitas perubahan yang

dimulai pada waktu konsepsi dan berlanjut sepanjang siklus hidup seseorang

(Santrock, 2003: 23). Perkembangan secara luas merujuk kepada keseluruhan

proses perubahan dari kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu yang

kemudian tampak dalam kualitas, kemampuan, dan ciri-ciri yang menjadi baru.

Dalam pembelajaran, perkembangan terjadi apabila siswa secara terus menerus

menunjukkan progres atau peningkatan, baik dalam pengetahuan, sikap, maupun

keterampilan dalam suatu pembelajaran. Apabila hal atau kesulitan yang dialami

siswa tersebut dipelajari terus-menerus, baik dipelajari sendiri maupun dengan

bantuan orang lain, maka lambat laun siswa akan mengalami perkembangan yang

meningkat dalam pembelajaran.

Dalam penelitian ini, teori yang menjadi acuan adalah teori Piaget dan

Vygotsky. Kedua ahli ini adalah tokoh yang membahas teori konstruktivisme.

(27)

10 sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru

dengan aturan-aturan lama dan memperbaharui kembali apabila aturan-aturan

tersebut tidak sesuai lagi (Trianto, 2010: 74).

Penelitian ini menggunakan teori perkembangan kognitif menurut Piaget,

karena dalam hal ini anak-anak masih dalam tahap perkembangan operasional

konkret, di mana anak masih kesulitan untuk memikirkan sesuatu secara abstrak

dan konseptual dan teori pembelajaran sosio-historis oleh Vigotsky, karena dalam

teori ini dipaparkan tentang pembelajaran sosial. Teori pembelajaran sosial dalam

hal ini perlu dibahas, karena peneliti akan melakukan penelitian tentang model

pembelajaran kooperatif. Teori-teori Vygotsky mendukung penggunaan model

pembelajaran kooperatif dimana anak-anak bekerja sama untuk membantu belajar

satu sama lain (Slavin, Hurley & Chamberlain, 2003).

2.1.1.2Teori Perkembangan Kognitif menurut Piaget

Jean Piaget lahir di Neuchatel (1896-1980), sebuah kota Universitas di

Swiss pada tahun 1896. Ayahnya adalah sebagai pemikir yang cermat dan

sistematis, sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang emosional. Sejak kecil

ia menunjukkan kemampuan sebagai ilmuan yang sangat menjanjikan di masa

depan (Piaget dalam Crain, 2007: 167). Ia adalah pakar psikologi perkembangan

yang paling berpengaruh dalam sejarah psikologi. Setelah memperoleh gelar

doktor dalam biologi, Piaget lebih tertarik pada psikologi yang mendasarkan

teori-teorinya yang paling awal pada pengamatan yang seksama yang ia lakukan pada

ketiga anaknya sendiri. Mengapa dan bagaimana kemampuan mental akan

berubah lama-kelamaan inilah yang menjadi pengamatan Piaget.

Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecerdasan atau

kemampuan kognitif anak akan mengalami kemajuan melalui empat tahap yang

jelas dan berjalan berurutan (Piaget dalam Slavin, 2011: 42). Masing-masing dari

tahap tersebut ditandai dengan kemunculan kemampuan baru atau penambahan

informasi baru yang diterima oleh anak-anak pada tahap tersebut melalui tindakan

yang mereka lakukan. Karya Piaget ini menjadi dasar penting dalam memahami

(28)

11 Setiap anak akan lahir dengan membawa skema. Skema adalah pola

mental yang menuntun perilaku anak (Piaget dalam Slavin, 2011: 43). Piaget

percaya bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi

dengan lingkungannya dan untuk memahami sekitarnya. Anak yang masih muda

memperlihatkan pola perilaku atau pemikiran yang disebut skema. Asimilasi

adalah proses memahami dan memahami objek atau pengalaman baru berdasarkan

skema yang telah ada (Piaget dalam Slavin 2011: 43). Anak akan menggunakan

skema-skema yang ada untuk mempelajari benda yang belum mereka kenal

tersebut

(sumber:http://m-edukasi.blogspot.co.id/2014/09/teori-konstruktivisme-jean-piaget.html)

Gambar 2. 1 Tahapan Belajar Menurut Piaget

Akomodasi adalah proses mengubah skema yang ada berdasarkan

informasi baru atau pengalaman baru (Piaget, dalam Slavin, 2011: 43). Cara ini

akan digunakan apabila anak merasa bahwa cara lama untuk menghadapi dunia

tidak berhasil. Adaptasi adalah proses penyesuaian skema sebagai tanggapan atas

lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi (Piaget, dalam Slavin, 2011: 43).

Seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struk dalam (skema)

melalui ekuilibrasi. Ekuilibrasi adalah proses pergerakan dari keadaan

disekuilibrium ke keadaan ekuilibrium (Suparno, 2012: 23). Ekuilibrium adalah

keadaaan di mana asimilasi dan akomodasi dalam keadaaan seimbang.

(29)

12 Setiap tahap perkembangan kognitif selalu berjalan berurutan.

Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget dibagi menjadi 4 Tahap-tahap (Piaget

dalam dalam Slavin, 2011: 43)

a. Tahap Sensorimotor (usia 0 - 2 tahun)

Pada tahap ini, anak akan mulai menjelajahi dunia mereka dengan alat indera

mereka dan kemampuan motorik yang mereka miliki. Pada tahap ini, Piaget

menggunakan istilah skema untuk membicarakan struktur tindakan yang

dilakukan anak (dari bayi). Pada tahap 1 (0-1 bulan), anak mulai menggunakan

istilah skema. Sebuah skema bisa menjadi tolak ukur atau pola tindakan apapun

untuk menghadapi lingkungan yang berada disekitar bayi, seperti menetap,

menggenggam, memukul, merangkak, dan menendang. Pada tahap kedua (1-4

bulan) akan terjadi reaksi sirkuler primer dimana bayi akan menghadapi sebuah

pengalaman baru dan berusaha untuk mengulanginya. Pada tahap ketiga (4-10

bulan) bayi akan mengalami reaksi sirkuler sekunder, yaitu terjadi ketika bayi

menemukan atau mengulang kejadian atau peristiwa menarik di luar dirinya.

Pada tahap keempat dan kelima ini, anak mulai mengembangkan

kategori-kategori dasar tentang pengalaman dan mereka mulai bereksperimen untuk

melakukan tindakan yang beda untuk mengamati hasil yang

berbeda-beda. Pada tahap ke 6 (18 bulan-2 tahun) dapat dilihat sebagai upaya untuk

berimitasi. Anak mulai dapat mengikuti serangkaian pemindahan yang tidak

tampak. Anak mulai mempunyai kemampuan untuk memvisualisasikan tindakan

yang mungkin baru saja ia temui secara internal. Tahap periode sensorimotor

lainnya adalah perkembangan pemahaman tentang keajekan objek (objec

permanence). Anak-anak harus belajar bahwa objek adalah stabil serta fisik dan

tetap ada sekalipun objek itu tidak ada dihadapan fisik anak tersebut (Piaget dalam

Slavin, 2011: 46).

b. Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun)

Pada tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia mereka dengan

kata-kata dan gambar. Kata-kata-kata dan gambar ini mencerminkan pemikiran simbolik

yang semakin maju. Pemikiran pra-operasional dibagi menjadi dua sub-tahap:

sub-tahap fungsi simbolik (2-4 tahun) anak melatih kemampuan untuk

(30)

13 pemikiran intuitif (4-7 tahun) di mana anak mulai menggunakan pemikiran

primitif mereka dan mengetahui jawaban untuk semua jenis pertanyaan (Piaget,

dalam Slavin 2011: 46). Di sebut sub-tahap “intuitif” karena anak tampak sangat

yakin tentang pengetahuan dan pemahaman mereka, namun mereka terkadang

mengatakan bahwa mereka mengetahui semua, tetapi mengetahuinya tanpa

menggunakan pemikiran rasional.

Pada tahap pra-operasional ini anak juga cenderung mengalami egosentris

dan animisme. Egosentris merupakan salah satu pemikiran di mana anak kurang

mampu dalam membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain.

Animisme merupakan karakteristik pemikiran dalam tahap operasional, dimana

anak mengandaikan bahwa benda mati juga memiliki sifat seperti makhluk hidup.

c. Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun)

Anak-anak pada tahap operasional konkret belum bisa berpikir seperti

orang dewasa. Mereka masih kesulitan untuk berpikir yang abstrak. Anak-anak

pada tahap ini dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan

masalah, tetapi hanya sejauh jika mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah

tidak asing lagi. Salah satu tugas penting yang dipelajari selama dalam tahap ini

adalah pengurutan (seriation) atau menyusun sesuatu ke deret yang logis. Begitu

kemampuan dalam hal pengurutan sudah dikuasai oleh anak, maka anak dapat

menguasai kemampuan yang terkait yaitu transitivitas yaitu kemampuan untuk

menyimpulkan hubungan hubungan antara dua objek berdasarkan pengetahuan

tentang hubungannya masing-masing dengan objek ketiga. Kemampuan terakhir

yang diperoleh anak dalam tahap ini adalah penyertaan ke kelompok (class

inclusion). Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir sekaligus tentang seluruh

kelompok objek dan tentang hubungan di antara kelompok-kelompok pada

tingkatan yang lebih rendah.

d. Tahap Operasional Formal (11 tahun-dewasa)

Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir secara sistematis berdasarkan

tindakan-tindakan mentalnya. Tetapi pada masa ini anak-anak dapat berfikir logis

dan sistematis hanya selama mengacu pada objek-objek yang bisa diindra yang

tunduk pada aktivitas nyata. Mereka dapat menghasilkan sejumlah hubungan

(31)

14 abstrak dari informasi satu dengan yang lainnya secara logis. Anak yang duduk di

Sekolah Dasar pada umumnya berumur 7 – 12 tahun.

Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang di kemukakan oleh Jean

Piaget, anak kelas V masuk dalam tahap operasional konkret karena masih

berumur 10-11 tahun.

2.1.1.3Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky

Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934) adalah psikolog Rusia yang

hidup sejaman Piaget dan meninggal pada tahun 1934. Vygotsky hidup tumbuh

besar di Gomel, sebuah kota pelabuhan di Rusia sebelah barat. Ayahnya adalah

seorang eksekutif bank dan ibunya seorang guru. Saat tumbuh remaja, ia dikenal

teman-temannya sebagai ‘profesor kecil’, karena ia selalu mengarahkan

percakapan mereka pada diskusi, pembantahan, dan perdebatan. Vygotsky banyak

membahas tentang teori-teori konstruktvisme. Teori konstruktivisme adalah salah

satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah

konstruksi (bentukan) kita sendiri (Glaserfeld, dalam Anggiamurti, 2009). Teori

pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru

dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan

sendiri dan menstransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru

dengan aturan-aturan lama dan memperbaharuinya apabila aturan tersebut sudah

tidak sesuai lagi (Trianto, 2010: 74). Salah satu teori konstruktivisme yaitu teori

sosial. Karya Vygotsky didasarkan pada dua gagasan utama, pertama, ia

berpendapat bahwa perkembangan intelektual hanya dapat dipahami berdasarkan

konteks historis dan budaya yang sudah dialami oleh anak-anak, kedua, ia percaya

bahwa perkembangan bergantung pada sistem tanda.

Sistem tanda yaitu simbol-simbol yang diciptakan oleh suatu budaya untuk

membantu orang dalam berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah.

Hendaknya perkembangan kognitif dan sosial pada anak berjalan seimbang.

Konstruktivisme sosial Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan

dikonstruksi secara mutual. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan

bagi mereka untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan cara ini,

(32)

15 perkembangan pemikiran peserta didik. Teori Vygotsky mengatakan bahwa

terdapat dua tingkat perkembangan yaitu perkembangan aktual dan perkembangan

potensial.

Teori Vygotsky mengatakan bahwa pembelajaran mendahului perkembangan.

Pembelajaran melibatkan tanda-tanda yang diperoleh dari informasi yang

didapatkan dari orang lain. Pengaturan diri (self regulation) adalah kemampuan

untuk berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Sumbangan

terpenting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran

sosio-budaya (Roth & Lee, 2007). Vygotsky percaya bahwa pembelajaran terjadi

ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal

Development/ ZPD) yaitu jarak antara perkembangan aktual dan perkembangan

potensial.

(sumber : http://parklandplayers.com/vygotskys-zone-of-proximal-development-in-early-childhood-education)

Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Proximal

Perkembangan aktual ini ditandai dengan kemampuan individu

memecahkan masalah secara mandiri, dan perkembangan potensial yang

ditentukan oleh kemampuan individu memecahkan dengan bantuan orang lain

yang lebih dewasa atau dengan berkolaborasi bersama pasangan yang lebih

mampu (Vygotsky dalam Huda, 2014: 40). Anak-anak yang mempunyai

keunggulan dibanding teman sebayanya dalam hal kemampuan, atau anak yang

bekerja dalam zona perkembangan proximal anak lainnya, umumnya akan

menjadi contoh bagi anak-anak yang pemikirannya mungkin masih di bawahnya.

(33)

16 terjalin antar anak sehingga mereka dapat memperoleh informasi dan pemahaman

tentang proses penalaran satu sama lain.

Tugas-tugas dalam zona perkembangan proksimal adalah tugas yang

belum dapat diselesaikan sendiri melainkan melibatkan orang lain atau orang yang

lebih dewasa untuk membantu menyelesaikannya. Pada zona ini, anak mendapat

tugas yang mungkin belum mereka pelajari sebelumnya, tetapi ia dapat

menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu tertentu dengan optimal. Untuk

mencapai taraf optimal, maka dibutuhkan suatu perancahan (scaffolding).

Perancahan adalah bantuan sementara yang diberikan oleh teman atau orang

dewasa yang lebih kompeten (Vygotsky dalam Slavin, 2008: 61). Scaffolding

disebut juga sebagai dukungan atau pembelajaran dan pemecahan masalah yang

mungkin saja meliputi petunjuk, sarana yang mengingatkan, dorongan,

penguraian persoalan menjadi langkah-langkah, penyediaan contoh, atau semua

hal yang memungkinkan siswa menjadi mandiri dalam proses pembelajaran.

Melalui Scaffolding, anak dapat mengalami loncatan. Hal itu dapat dilakukan jika

anak belajar dalam konteks sosial, baik dengan teman sebaya maupun dengan

orang yang lebih dewasa.

Agar anak dapat berkembang dalam pembelajaran melalui sudut pandang

sosialnya, dibutuhkan model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.

Salah satu model pembelajaran yang menarik dan dapat membangun interaksi

sosial antar individu adalah model pembelajaran kooperatif.

2.1.1.4Model Pembelajaran Kooperatif

Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan

secara berkelompok, dimana siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam

menyelesaikan tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama, serta setiap

pembelajar dari kelompok-kelompok tersebut didorong untuk meningkatkan

pembelajaran anggota-anggota yang lain (Roger dkk, dalam Huda, 2014: 29).

Pembelajaran kooperatif mengacu pada model pembelajaran dimana siswa bekerja

sama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Pembelajaran

kooperatif biasanya melibatkan empat sampai lima orang dalam kelompoknya

(34)

17 kelompok dengan ukuran yang berbeda-beda. Model pembelajaran kooperatif

adalah model pembelajaran yang di dalamnya terdapat kelompok kecil

pembelajar/siswa yang bekerja sama dalam satu tim untuk mengatasi suatu

masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai satu tujuan bersama (Art &

Newman dalam Huda, 2014: 32).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka Model pembelajaran

kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, di

mana siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas

kelompok untuk mencapai tujuan bersama, serta setiap pembelajar dari

kelompok-kelompok tersebut didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota

yang lain.

Dasar-dasar model pembelajaran kooperatif sudah banyak muncul dalam

teori-teori belajar saat ini. Teori-teori tersebut umumnya menampilkan satu

perspektif tertentu dalam pembelajaran kooperatif yang telah menjadi cara

pandang tersendiri. Ada empat perspektif teoritis yang mendasari pembelajaran

kooperatif ini (Huda 2014: 33), yaitu :

1. Perspektif motivasional

Perspektif motivasional beranggapan bahwa usaha-usaha kooperatif haruslah

didasarkan pada penghargaan kelompok dan struktur tujuan menurut

perspektif motivasional. Pembelajaran Kooperatif dapat menciptakan kondisi

yang di dalamnya setiap anggota kelompok berkeyakinan bahwa mereka akan

sukses dalam tujuan kelompoknya apabila teman-teman dalam kelompok lain

juga sukses mencapai tujuan tersebut (Huda, 2014: 34).

2. Perspektif Kohesi Sosial

Perspektif ini menegaskan bahwa pembelajaran kooperatif akan berpengaruh

apabila dalam kelompok tersebut terjalin kerja sama untuk membantu satu

sama lain karena mereka merasa peduli pada yang lain dan merasa ingin

mencapai tujuan yang sama (Huda 2014: 37). Dalam perspektif motivasional

siswa tidak sepenuhnya membantu teman dalam kelompok karena mereka

(35)

18 dalam perspektif kohesi sosial, siswa sepenuhnya membantu temannya karena

mereka merasa peduli terhadap kesuksesan kelompok tersebut.

3. Pespektif Kognitif

Perspektif ini berfokus pada bagaimana manusia bertindak, berpikir, dan

berproses untuk belajar (Huda 2014: 39). Perspektif kognitif berpandangan

bahwa interaksi antar siswa akan meningkatkan prestasi belajar selama mereka

mampu untuk memproses informasi secara mental (baca; pikiran/kognisi) dari

pada motivasional.

4. Perspektif Perkembangan

Perspektif perkembangan ini berasal dari pemikiran Piaget dan Vygotsky.

Perspektif Piaget menegaskan bahwa ketika siswa bekerja sama, konflik

sosio-kognitif akan muncul dan melahirkan ketidakseimbangan sosio-kognitif (cognitive

disequilibrium). Ketidakseimbangan ini yang nantinya dapat meningkatkan

kemampuan siswa untuk berpikir, menalar, dan berbicara. Sementara itu,

perspektif Vygotsky menyatakan bahwa pengetahuan merupakan produk

sosial (Jhonson & Jhonson, dalam Huda, 2014: 40).

5. Perspektif Elaborasi Kognitif

Perspektif ini menekankan peran elaborasi dalam pengaruhnya terhadap

pembelajaran kooperatif (Huda, 2014: 43). Elaborasi berkaitan erat dengan

penambahan informasi baru dan restrukturasi (penataan kembali) informasi

yang sudah ada.

Salah satu teknik elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materi

pelajaran pada orang lain. Suatu penelitian menunjukkan bahwa siswa bisa belajar

lebih banyak dengan memberikan penjelasan kepada orang lain.

Pembelajaran kooperatif juga dapat memberikan manfaat untuk siswa

(Rusman, 2010: 205) antara lain:

1. Dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat

meningkatkan hubungan sosial.

2. Menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat oranga lain.

3. Memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan

(36)

19 Dalam pembelajaran kooperatif, ada 5 unsur yang harus diterapkan untuk

mencapai hasil yang maksimal (Roger & Jhonson, dalam Suprijono 2013: 58),

yaitu:

1. Saling Ketergantungan Positif

Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua

pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang diberikan

kepada kelompok. Kedua, memastikan bahwa semua anggota kelompok

mempelajari bahan tersebut. Beberapa cara untuk membangun saling

ketergantungan positif : (a) Menumbuhkan perasaaan peserta didik bahwa

dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua

anggota kelompok mencapai tujuan, (b) Mengusahakan agar semua anggota

kelompok mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka

berhasil mencapai tujuan bersama, (c) Mengatur sedemikian rupa sehingga

setiap peserta dalam kelompok mendapat bagian tugas dari semua tugas yang

diberikan kepada kelompok tersebut, (d) Setiap peserta didik diberikan tugas

yang saling berhubungan dan saling mendukung, saling melengkapi dan saling

terikat dengan peserta lainnya dalam kelompok.

2. Tanggung Jawab Perseorangan

Pertanggung jawaban ini akan muncul apabila dilakukan pengukuran

terhadap kelompok. Tanggung jawab perorangan adalah kunci untuk

menjamin setiap anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.

artinya, setelah mengikuti kelompok belajar, siswa diharapkan dapat

menyelesaikan tugas yang sama.

3. Interaksi Promotif

Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan

positif. Ciri-ciri interaksi promotif adalah: (a) saling membantu secara efektif

dan efisien, (b) saling memberikan informasi dan sarana yang diperlukan. (c)

memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien, (d) saling

mengingatkan, (e) saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan

argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang

(37)

20 4. Komunikasi Antar Anggota

Untuk mengkoordinasikan kegiatan peseta didik dalam pencapaian tujuan

peserta didik harus: (a) saling mengenal dan mempercayai, (b) mampu

berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, (c) saling menerima dan

saling mendukung, (d) mampu menyelesaikan masalah secara konstruktif.

5. Pemrosesan Kelompok

Kegiatan kelompok dan aktivitas kelompok dapat diidentifikasi melalui

pemrosesan kelompok. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan

efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan

kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.

Terdapat berbagai macam tipe pembelajaran kooperative (Roger &

Jhonson, dalam Suprijono 2013) antara lain, Jigsaw, Think-Paor-Share,

Numbered Heads Together, Group Investigation, Make a Match, Student Team

Achievement Division, Two Stay Teo Stay, inside-Outside Circle,

Point-Counter-Point, Cooperative Integrated Reading And Composition, Team-Assisted

Individualization, Team Games Tournament, Number Head Together dan

sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe Make a Match.

2.1.1.5Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match (mencari pasangan) adalah

salah satu pendekatan konseptual yang mengajarkan siswa memahami

konsep-konsep secara aktif, kreatif, interaktif, efektif dan menyenangkan bagi siswa

sehingga konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif

siswa (Huda, 2012: 135). Model pembelajaran Make a Match adalah salah satu

model pembelajaran kooperatif yang mengajarkan siswa memahami

konsep-konsep secara aktif, kreatif, interaktif, efektif dan menyenangkan bagi siswa

sehingga konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif

siswa yang disajikan dalam bentuk permainan dengan 7 langkah yaitu

menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban, mencari

(38)

21 Model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match mengajak siswa untuk belajar

dengan suasana menyenangkan, karena dalam pembelajaran ini, suasana dan

kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan sistem mencari pasangan dari

kartu-kartu yang di dalamnya berisikan materi pelajaran, sehingga siswa tidak mudah

merasa bosan dan pembelajaran dapat berlangsung dengan antusias dan produktif.

a. Manfaat Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match memiliki beberapa manfaat.

Adapun manfaat dari metode pembelajaran ini adalah sebagai berikut. a)

suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran, b) kerja sama

antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, c) munculnya dinamika gotong

royong yang merata di seluruh siswa, dan d) melatih ketelitian, ketepatan dan

kecepatan (Lie, 2010: 56).

b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Tujuan dari pembelajaran kooperatif tipe Make a Match ini adalah untuk

melatih peserta didik agar lebih cermat dan lebih kuat pemahamannya

terhadap materi. Siswa dilatih berpikir cepat dan menghapal cepat sambil

menganalisis dan berinteraksi sosial (Fachrudin, 2009: 169).

c. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Model pembelajaran Make a Match memiliki sintaks atau langkah-langkah

dalam pembelajaran. Langkah-langkah penerapan model pembelajaran

kooperatif tipe Make a Match yaitu (Sani, 2013: 196-197):

1. Menyiapkan kartu

Pada langkah ini guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi konsep

atau topik yang akan dipelajari bersama. Kartu yang dibuat terdiri dari

kartu pertanyaan dan kartu jawaban dengan jumlah yang sama pada

masing-masing kartu.

2. Pembagian kartu

Guru memberikan sebuah kartu kepada masing-masing siswa. Ada

siswa yang memperoleh kartu pertanyaan dan ada yang mendapat kartu

(39)

22 3. Memikirkan soal dan jawaban

Siswa yang memperoleh kartu pertanyaan memikirkan jawaban dari

kartu yang dipegang, sedangkan yang memperoleh kartu jawaban

memikirkan soal yang relevan.

4. Mencari pasangan

Siswa mencari siswa lain sebagai pasangan yang memiliki kartu yang

cocok dengan kartu yang sedang dipegang.

5. Pemberian nilai

Guru memberikan nilai (poin) untuk setiap pasangan siswa yang dapat

mencocokkan kartu sebelum batas waktu yang ditentukan.

6. Pengulangan permainan

Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapatkan

kartu yang berbeda dari sebelumnya.

7. Pemberian penghargaan

Guru memberikan penghargaan pada kelompok yang memiliki nilai

tertinggi dan membimbing siswa untuk membuat kesimpulan.

Berikut ini adalah bagan dari model pembelajaran Make a Match,

gambaran dari teori di atas :

Gambar

Gambar 2. 1 Tahapan Belajar Menurut Piaget
Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Proximal
Tabel 2. 1 Kecakapan Berpikir kritis
Gambar 2. 4 Literature Map Penelitian yang Relevan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data warehouse bi- cara mengenai bagaimana data-data yang besar dan beragam disimpan dalam satu repository dan disusun sedemikian se- hingga memudahkan

Jika tidak NULL, maka node bantu akan berpindah ke node selanjutnya dan membaca isi datanya dengan menggunakan field next sehingga dapat saling berkait.. Pemanggilan dalam c++

Resilience Dividend Valuation Model (RDVM) A dynamic, systems-based approach to estimating the resilience dividend that maps changes in the flow of goods and services from a

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) terdapat pengaruh interaksi antara pupuk P dan jarak tanam terhadap volume akar, serapan hara P tanaman, bobot gabah kering

Section 87 of t he Administration of the Religion of Islam (State of Selangor) Enactment 2003... Institution of zakat is one of the most important bodies in developing the

 Konsentrasi media korosif berpengaruh terhadap laju korosi bergantung dari jenis media tersebut dan jenis logam yang berada di media tersebut.. Gambar 2.2 Pengaruh konsentrasi

Berdasarkan permasalahan dan sistem yang berjalan saat ini maka, solusi yang ditawarkan adalah suatu perubahan sistem informasi layanan persidangan yang ditampilkan

Ginseng jenis ini umur panennya lebih cepat yaitu hanya 5 – 6 bulan dibanding ginseng dari Korea atau China (jenis Panax spp ) yang dipanen setelah umur 3 - 4 tahun. Kandungan