PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE
MAKE A MATCH
TERHADAP
KEMAMPUAN
MENGINTERPRETASI
DAN
MENGANALISIS
SISWA KELAS V SD
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh :
Margaretha Herlin Pratiwi
NIM: 151134120
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv PERSEMBAHAN
Karya ilmiah ini peneliti persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang selalu melindungi dan menjadi
sumber kekuatanku
2. Orang tuaku yang tak pernah lelah mendoakan dan mendukungku.
3. Kakak dan adikku yang selalu memberikan semangat dan tak bosan
mengingatkan.
4. Sahabat-sahabat seperjuangan, teman-teman, dan para penyemangatku
yang selalu mengingatkan dikala lelah.
5. Teman-teman KMPKS yang selalu menghiburku disela-sela kebosanan.
v MOTTO
“Setiap manusia itu punya keunikan masing-masing, jadikanlah keunikan itu
sebagai suatu kelebihanmu untuk berkarya”
“Ia yang mengerjakan lebih dari apa yang dibayar pada suatu saat akan dibayar lebih dari apa yang ia kerjakan” (Napoleon Hill)
“Kebijaksanaan akan memelihara engkau, kepandaian akan menjaga engkau”
(Amsal 2: 11)
Apapun yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia
vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam /
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 Januari 2019
Peneliti
vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAHUNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Margaretha Herlin Pratiwi
Nomor Mahasiswa :151134120
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN
MENGINTERPRETASI DAN MENGANALISIS SISWA KELAS V SD”.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 24 Januari 2019
Yang menyatakan
viii ABSTRAK
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN MENGINTERPRETASI DAN
MENGANALISIS SISWA KELAS V SD Margaretha Herlin Pratiwi
Universitas Sanata Dharma 2019
Latar belakang penelitian ini adalah adanya keprihatinan terhadap rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA. Hal ini dilihat berdasarkan penelitian yang dilakukan PISA pada tahun 2009, 2012, dan 2015 yang menunjukkan bahwa peringkat literasi IPA siswa Indonesia masih berada diperingkat 10 terbawah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan menginterpretasi dan menganalisis siswa kelas V SD.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experimental tipe pretest-posttest non-equivalent group design. Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V yang berjumlah 73 siswa dari salah satu SD yang ada di Yogyakarta tahun ajaran 2018/2019. Sampel penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelas A sebagai kelompok kontrol dengan jumlah siswa 24 anak, kelas B sebagai kelompok eksperimen dengan jumlah siswa 24 anak. Treatment yang diterapkan di kelompok eksperimen adalah model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match yang memiliki 7 langkah yaitu menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban, mencari pasangan, pemberian nilai, pengulangan permainan dan pemberian penghargaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berpengaruh terhadap kemampuan menginterpretasi. Rerata selisih skor yang diperoleh kelompok eksperimen (M = 0,9162;SE = 0,14235) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (M = 0,4579; SE = 0,15133). Perbedaan tersebut signifikan dengan t(46)= -2,206; p = 0,32 (p < 0,05). Besar pengaruh r = 0,31 termasuk kategori efek menengah atau setara dengan 9,61%. 2) Penerapan model pembelajaran tipe kooperatif tipe Make a Match tidak berpengaruh terhadap kemampuan menganalisis. Rerata selisih skor yang diperoleh pada kelompok eksperimen (M = 1,013; SE = 0,13548) lebih tinggi dari selisih skor kelompok kontrol (M = 0,986; SE = 0,12761). Meskipun demikian, perbedaan tersebut tidak signifikan dengan t(46)= -0,148; p = 0,883 (p > 0,05). Besar pengaruh r = 0,02 termasuk kategori efek kecil atau setara dengan 0,04%.
ix
ABSTRACT
THE EFFECT OF IMPLEMENTATION OF COOPERATIVE LEARNING
“MAKE A MATCH TYPE” ON STUDENTS’ ABILITY IN INTERPRETING AND
ANALYZING OF FIFTH GRADERS OF ELEMENTARY SCHOOL
Margaretha Herlin Pratiwi influence of implementation of cooperative learning type “Make a Match” to the
student’s interpreting and analyzing abilities of fifth graders of elementary
school.
This research was a quasi-experimental research type pre-test and post-test non-equivalent group design. The population used in this research were all fifth graders, which were 73 students, of one of private elementary schools in Yogyakarta school year 2018/2019. The sample of this research consisted of two groups, which were group A as the control group which was consisted of 24 students, while group B as the experiment group which was consisted of 24 students. The treatment applied on the experiment group was model of
cooperative learning type “Make a Match”. The model of cooperative learning
type “Make a Match” has 7 steps which were preparing cards, distributing cards,
thinking questions and answers, finding partner, giving score, repeating the game, and giving rewards.
The result of this research showed that 1) model of cooperative learning
type “Make a Match influenced students’ interpreting skill. The average
difference score of experiment group was (M = 0,9162;SE = 0,14235) higher than control group (M = 0,4579; SE = 0,15133). The differences was significant with t (46)= -2,206; p = 0,32 (p < 0,05). The effect of r= 0,31 which was categorized as middle effect or equal to 9,61%. 2) The implementation of model of cooperative
learning type “Make a Match” had no influences to students’ analyzing skill. The
average difference score of experiment group was (M = 1,013; SE = 0,13548) higher than control group (M = 0,986; SE = 0,12761). The differences was not significant with t (46)= -0,148; p = 0,883 (p > 0,05). The effect of r = 0,22 which was categorized as small effect or equal to 0,04 %.
x KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya
sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dan tepat waktu.
Skripsi yang berjudul “PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH TERHADAP KEMAMPUAN
MENGINTERPRETASI DAN MENGANALISIS SISWA KELAS V” disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Peneliti menyadari
bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd,. M.Si. selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd. selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
3. Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
4. Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., BST., M.A. selaku Dosen
Pembimbing I yang telah membimbing dengan sabar dan bijaksana.
5. Agnes Herlina Dwi Hadiyanti, S.Si., M.T., M.Sc. selaku Dosen
Pembimbing II yang telah membimbing dengan penuh kesabaran.
6. Eny Winarti M.Hum., Ph.D. selaku dosen Penguji III yang telah
memberikan masukan pada penelitian ini.
7. Tarcicius Tri Indartanta, S.Pd. selaku Kepala Sekolah SD penelitian.
8. Putri El Pareka, S.Pd. selaku guru mitra yang membantu pelaksanaan
penelitian hingga penelitian dapat berjalan dengan lancar.
9. Roberta Imma Dyas, S.Pd. selaku guru kelas V A yang telah memberi
izin untuk melakukan penelitian di kelas tersebut.
10.Siswa kelas V A dan V B SD penelitian yang bersedia terlibat dalam
xi 11.Sekretariat PGSD Universitas Sanata Dharma yang telah membantu
proses perizinan penelitian skripsi.
12.Kedua orang tua, Lukas Rustamsi dan Ceicilia Sularni yang selalu
mendampingi, memberi semangat, dan menyertai perjuanganku lewat
doa dan nasihat.
13.Kakakku Maria Vianney dan adikku Valensia Anggia putri yang
selalu mendampingi, membantu dan memberi semangat.
14.Sahabatku, Fr. Yuvens SCJ yang selalu mengingatkan, mendoakan dan
memberi semangat untukku.
15.Sahabatku, Melsa, Tika, Marcel, Ella, Intan, Nila, Dinda, Agatha,
Danang yang selalu memberikan semangat dan penghiburan di kala
bosan.
16.Temanku Poppy dan Clara, Mbak Atri dan kakakku Mbak Pipin yang
bersedia untuk mengoreksi tata bahasa dan tulisan salah ketikku
dengan teliti.
17.Teman-teman PPL JB, Dom, Bronto, Cindy, Cici, Clara, Agatha,
Poppy atas kerja sama serta dukungan selama penelitian di sekolah.
18.Teman-teman 7C yang selalu memberi semangat dan menghibur di
kala bosan.
19. Sahabat penelitian kolaboratif, Agnes, Lintang, Rani, Melsa, Felis,
Erien, Halimah, Niken, Anggun, Clara, dan Poppy yang telah memberi
bantuan selama melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi.
20. Sahabat-sahabat ku sejak SMA yang selalu memberi semangat dan
doa.
21. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namun
telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna karena keterbatasan
kemampuan peneliti. Segala kritik dan saran yang membangun akan
peneliti terima dengan senang hati. Peneliti berharap, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan dan pembaca.
xii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMANPERSEMBAHAN ... iv
HALAMANMOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUKKEPENTINGANAKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
1.5 Definisi Operasional ... 8
BAB IILANDASAN TEORI ... 9
2.1 Kajian Pustaka ... 9
2.1.1 Teori yang Mendukung ... 9
2.1.1.1 Teori Perkembangan Anak ... 9
2.1.1.2 Teori Perkembangan Kognitif menurut Piaget ... 10
2.1.1.3 Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky ... 14
2.1.1.4 Model Pembelajaran Kooperatif ... 16
2.1.1.5 Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match ... 20
2.1.1.6 Kemampuan Berpikir Kritis ... 23
2.1.1.7 Kemampuan Menginterpretasi ... 24
2.1.1.8 Kemampuan Menganalisis ... 25
2.1.1.9 Pembelajaran Tematik-Integratif... 26
2.1.1.10 Materi Sistem Pernapasan pada Hewan ... 27
2.1.2 Penelitian yang Relevan ... 28
xiii
2.3 Hipotesis Penelitian... 34
BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 35
3.1 Jenis Penelitian ... 35
3.2 Setting Penelitian ... 37
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 37
3.2.2 Waktu Penelitian... 37
3.3 Populasi dan Sampel ... 38
3.3.1 Populasi ... 38
3.3.2 Sampel ... 38
3.4 Variabel penelitian ... 39
3.4.1 Variabel Independen ... 39
3.4.2 Variabel Dependen ... 39
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 40
3.6 Instrumen Penelitian ... 42
3.7 Teknik Pengujian Instrumen ... 43
3.7.1 Uji Validitas ... 43
3.7.2 Uji Reliabilitas ... 47
3.8 Teknik Analisis data... 47
3.7.3 Analisis Pengaruh Perlakuan ... 48
3.7.3.1 Uji Asumsi ... 48
3.7.3.2 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 49
3.7.3.3 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 50
3.7.3.4 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 51
3.8 Analisis lebih Lanjut ... 53
3.8.1 Perhitungan Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I ... 53
3.8.2 Uji Besar Efek Peningkatan Skor Pretest ke Posttest I ... 54
3.8.3 Uji Korelasi antara Rerata Pretest ke Posttest I ... 56
3.8.4 Uji Retensi Pengaruh Perlakuan ... 57
3.9 Ancaman Terhadap Validitas Internal ... 58
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64
4.1 Hasil Penelitian ... 64
4.1.1 Implementasi Pembelajaran ... 64
4.1.1.1 Deskripsi Sampel Penelitian ... 64
4.1.1.2 Deskripsi Implementasi Pembelajaran ... 65
4.1.2 Deskripsi Sebaran Data ... 74
xiv
4.1.2.2 Kemampuan Menganalisis... 76
4.1.3 Hasil Uji Hipotesis Penelitian I ... 78
4.1.3.1 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 78
4.1.3.2 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 80
4.1.3.3 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 84
4.1.3.4 Analisis Lebih Lanjut ... 85
4.1.4 Hasil Uji Hipotesis Penelitian II ... 92
4.1.4.1 Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 93
4.1.4.2 Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 95
4.1.4.3 Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 98
4.1.4.4 Analisis Lebih Lanjut ... 99
4.2.1 Analisis Terhadap Ancaman Validitas Internal Penelitian ... 107
4.2.2 Pembahasan Hipotesis ... 110
4.2.2.1 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Kemampuan Menginterpretasi ... 110
4.2.2.2 Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Kemampuan Menganalisis ... 114
4.2.3 Analisis Hasil Penelitian Terhadap Teori ... 117
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 121
5.1 Kesimpulan ... 121
5.2 Keterbatasan Penelitian ... 122
5.3 Saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 123
LAMPIRAN ... 128
CURRICULUM VITAE ... 227
xv DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Kecakapan Berpikir kritis ... 23
Tabel 3. 1 Jadwal Pengambilan Data ... 38
Tabel 3. 2 Matriks Perkembangan Instrumen ... 43
Tabel 3. 3 Hasil Uji Validitas Instrumen Kemampuan Menginterpretasi dan Menganalis ... 46
Tabel 3. 4 Uji Reliabilitas ... 47
Tabel 3. 5 Kriteria Uji Pengaruh Perlakuan ... 53
Tabel 3. 6 Kriteria Uji Pengaruh perlakuan ... 53
Tabel 4. 1 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Kontrol Kemampuan Menginterpretasi... 74
Tabel 4. 2 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Eksperimen Kemampuan Menginterpretasi... 75
Tabel 4. 3 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Kontrol Kemampuan Menganalisis ... 76
Tabel 4. 4 Frekuensi Sebaran Data Kelompok Eksperimen Kemampuan Menganalisis... 77
Tabel 4. 5 Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Skor Pretest ... 79
Tabel 4. 6 Uji Homogenitas Varian Skor Rerata Pretest kemampuan Menginterpretasi... 79
Tabel 4. 7 Uji Statistik Perbedaan Kemampuan Awal pada kemampuan Menginterpretasi... 80
Tabel 4. 8 Uji Normalitas Distribusi Data Rerata Selisih Skor Pretest-Posttest I 81 Tabel 4. 9 Uji Homogenitas Varian Rerata Selisih Skor Pretest- Posttest I Kemampuan Menginterpretasi ... 82
Tabel 4. 10 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan... 82
Tabel 4. 11 Hasil Uji Besar Pengaruh Perlakuan ... 84
Tabel 4. 12 Hasil Uji Normalitas Distribusi Dara Rerata Skor Pretest dan Posttest I Kemampuan Menginterpretasi ... 85
Tabel 4. 13 Peningkatan rerata Pretest ke Posttest I ... 85
xvi DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Tahapan Belajar Menurut Piaget ... 11
Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Proximal ... 15
Gambar 2. 3 Denah Kelas Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match ... 22
Gambar 2. 4 Literature Map Penelitian yang Relevan ... 31
Gambar 3. 1 Rumus Pengaruh Perlakuan ... 36
Gambar 3. 2 Desain Penelitian ... 36
Gambar 3. 3 Variabel Penelitian... 40
Gambar 3. 4 Rumus Besar Efek Distribusi Normal ... 52
Gambar 3. 5 Rumus Besar Efek Distribusi Tidak Normal... 52
Gambar 3. 6 Rumus Persentase Pengaruh ... 52
Gambar 3. 7 Rumus Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest 1 ... 53
Gambar 3. 8 Rumus Gain Score ... 54
Gambar 3. 9 Rumus Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I Distribusi Data Normal ... 55
Gambar 3. 10 Rumus Besar Efek Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I Distribusi Data Tidak Normal ... 55
Gambar 3. 11 Rumus Persentase Besar Pengaruh ... 55
Gambar 3. 12 Skema ancaman sejarah (history) ... 59
Gambar 4. 1 Grafik Rerata Skor Pretest dan Posttest I ... 83
Gambar 4. 2 Diagram Rerata Selisih Skor Pretest – Posttest I ... 84
Gambar 4. 3 Grafik Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I... 86
Gambar 4. 4 Grafik Gain Score Kemampuan Menginterpretasi ... 87
Gambar 4. 5 Grafik Perbandingan Skor Pretest, Posttest I, dan Posttest II Kemampuan menginterpretasi ... 91
Gambar 4. 6 Grafik Rerata skor Pretest-Posttest I ... 97
Gambar 4. 7 Grafik Rerata Selisih Skor Pretest – Posttest I ... 98
Gambar 4. 8 Grafik Perbandingan Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I ... 100
Gambar 4. 9 Grafik Gain Score Kemampuan menganalisis ... 101
xvii DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. 1 Surat Ijin Penelitian ... 129
Lampiran 1. 2 Surat Ijin Validasi Soal ... 130
Lampiran 2. 1 Silabus Kelompok Kontrol ... 131
Lampiran 2. 2 Silabus Kelompok Eksperimen ... 135
Lampiran 2. 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol ... 139
Lampiran 2. 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ... 145
Lampiran 3. 1 Soal Uraian ... 158
Lampiran 3. 2 Kunci Jawaban ... 163
Lampiran 3. 3 Rubrik Penilaian ... 167
Lampiran 3. 4 Hasil Rekap Nilai Expert Judgement ... 173
Lampiran 3. 5 Hasil Analisis SPSS Uji Validitas ... 185
Lampiran 3. 6 Tabulasi Nilai Validitas ... 188
Lampiran 3. 7 Hasil Analisis SPSS Uji Reliabilitas ... 190
Lampiran 3. 8 Sampel Jawaban Siswa ... 191
Lampiran 4. 1 Tabulasi Nilai Kemampuan Menginterpretasi Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 201
Lampiran 4. 2 Tabulasi Nilai Kemampuan Menganalisis Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 201
Lampiran 4. 3 Hasil SPSS Uji Normalitas Distribusi Data ... 203
Lampiran 4. 4 Hasil SPSS Homogenitas Varian Kemampuan Awal ... 204
Lampiran 4. 5 Hasil SPSS Uji Perbedaan Kemampuan Awal ... 205
Lampiran 4. 6 Hasil SPSS Uji Homogenitas Varian Selisih Pretest ke Posttest I ... 207
Lampiran 4. 7 Hasil Uji Signifikansi Pengaruh Perlakuan ... 208
Lampiran 4. 8 Perhitungan Manual Besar Pengaruh Perlakuan ... 210
Lampiran 4. 9 Perhitungan Persentase Peningkatan Rerata Pretest ke Posttest I211 Lampiran 4. 10 Hasil SPSS Uji Korelasi Antara Rerata Pretest ke Posttest I .... 216
Lampiran 4. 11 Hasil Uji Retensi Perlakuan ... 218
Lampiran 5. 1 Lampiran Foto ... 224
1 BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab I ini akan dikemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan,
penelitian, manfaat penelitian dan definisi operasional.
1.1Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan, kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan
dalam proses pembelajaran. Berpikir kritis melibatkan pemahaman lebih
mendalam arti dari masalah-masalah, menunjukkan pemikiran yang terbuka
tentang perbedaan pendekatan dan sudut pandang, tidak menerima secara
mentah-mentah apa yang dijelaskan orang lain dan apa yang ada dalam buku, dan berpikir
secara reflektif (Santrock dalam Desmita 2011: 153). Kemampuan berpikir kritis
adalah kemampuan membuat penilaian untuk tujuan tertentu yang menghasilkan
interpretasi, analisis, evaluasi, dan kesimpulan atas dasar bukti, konsep, metode,
kriteria, atau konteks tertentu yang digunakan untuk menilai (Facione, 1990: 6).
Dalam pembelajaran, berpikir kritis merupakan suatu bagian dari kecakapan
praktis yang dapat membantu siswa dalam menyelesaikan masalah. Pendapat lain
mengungkapkan bahwa berpikir kritis berarti proses mental yang efektif dan
handal, digunakan dalam mengejar pengetahuan yang relevan dan benar (Jensen
2011: 195). Kemampuan berpikir kritis dapat mendorong siswa memunculkan
ide-ide atau pemikiran baru terhadap masalah yang dihadapi. Dengan demikian,
kemampuan berpikir kritis penting dimiliki oleh anak-anak sejak dini sehingga
mereka dapat menganalisis suatu permasalahan dan mencoba mengembangkan
kemungkinan-kemungkinan jawaban lain berdasarkan analisis dan informasi yang
telah didapatkan.
Facione membagi kemampuan berpikir kritis dalam dimensi kognitif
menjadi enam unsur, yaitu kemampuan menginterpretasi, kemampuan
menganalisis, kemampuan evaluasi, kemampuan menyimpulkan, kemampuan
eksplanasi dan kemampuan regulasi diri (Facione 1990: 3). Anak diharapkan
memiliki kemampuan berpikir kritis untuk mengatasi masalah yang dihadapi
dengan caranya sendiri berdasarkan informasi dan pengalaman yang didapatkan
selama proses belajar, dan dapat mengkaitkan masalah-masalah secara logis,
2 Kemampuan yang dibutuhkan antara lain yaitu kemampuan menginterpretasi dan
menganalisis. Kemampuan menginterpretasi adalah kemampuan di mana anak
mencoba mengerti dan mengungkapkan arti dari pengalaman, situasi, data
kejadian, penilaian, kesepakatan, kepercayaan, aturan, prosedur, atau kriteria
(Facione, 1990: 3). Kemampuan menganalisis adalah kemampuan siswa, dimana
ia dapat mengidentifikasi relasi-relasi logis dari berbagai pernyataan, pertanyaan,
atau konsep yang mengungkapkan keyakinan, penilaian, pengalaman, alasan,
informasi, atau opini (Facione, 1990: 7).
Kemampuan berpikir kritis perlu dikembangkan sejak usia dini yaitu saat
anak berada di Sekolah Dasar (SD). Anak usia Sekolah Dasar berada pada tahap
operasional-konkret (usia 7-11 tahun) (Piaget dalam Ibda, 2015: 37). Anak pada
tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi,
tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Hal ini berarti bahwa anak usia
Sekolah Dasar belajar dari hal-hal yang terlihat konkret/nyata dan belum bersifat
abstrak. Vygotsky dengan teori pembelajaran sosialnya mengemukakan bahwa
anak membutuhkan scaffolding yaitu panduan atau arahan dari orang dewasa atau
teman sebayanya yang lebih mampu agar proses pembelajaran yang dia dapatkan
menjadi lebih optimal (Santoso, 2010: 131).Tujuan pembelajaran merupakan
perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dengan melakukan aktivitas
belajar yang direncanakan. Jenis perilaku yang diharapkan muncul setelah
mengikuti sebuah kegiatan pembelajaran yaitu 1) perilaku kognitif, yang berkaitan
dengan kemampuan mengingat dan berpikir, 2) perilaku afektif, yang berkaitan
dengan nilai, norma, sikap, dan kemauan, serta 3) perilaku psikomotor, yang
menyangkut aspek keterampilan atau gerakan (Sani, 2013: 51-52).
Salah satu pelajaran yang dapat melibatkan siswa secara langsung dalam
proses pembelajarannya dan membantu dalam mengembangkan kemampuan
berpikir kritis yaitu pelajaran IPA. Ilmu Pengetahuan Alam merupakan salah satu
mata pelajaran yang memiliki peranan penting bagi anak-anak Sekolah Dasar.
IPA merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan untuk memupuk
rasa ingin tahu siswa secara alamiah guna membantu mengembangkan
kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti yang ada
3 untuk bisa berinteraksi langsung dengan alam dan mempelajari
fenomena-fenomena alam yang tidak lepas dari kehidupannya sehari-hari. Selain itu, dengan
berlangsungnya pembelajaran IPA mampu melatih anak untuk berpikir kritis dan
objektif yang dimulai dengan tahap-tahap yang paling sederhana sampai yang
paling kompleks, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami
pembelajaran secara langsung, sehingga siswa mempunyai pengalaman secara
langsung.
Permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dewasa ini
adalah lemahnya pelaksanaan proses pembelajaran yang diimplementasikan
guru-guru di sekolah. Pelaksanaan proses pembelajaran yang berlangsung di kelas
hanya berfokus pada kemampuan siswa untuk menghafal informasi tanpa dituntut
untuk memahami informasi yang diperoleh untuk menghubungkannya dengan
situasi dalam kehidupan sehari-hari (Susanto, 2013: 165-166). Pada dasarnya hal
yang perlu diutamakan untuk anak usia Sekolah Dasar adalah bagaimana
mengembangkan rasa ingin tahu mereka terhadap suatu masalah (Susanto: 2013:
167). Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan sebuah organisasi
dalam naungan Organization Economic Cooperation and Development (OECD)
yang bernama Program for International Student Assessment (PISA) telah
mengadakan sebuah survei mengenai sistem pendidikan dan kemampuan dari
siswa yang diadakan tiap 3 tahun sekali. Survei dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam menghadapi tantangan pada kehidupan
nyata. Studi ini juga digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam
matematika, membaca, dan sains. Pada hasil PISA tahun 2012, Indonesia berada
pada peringkat 64 dari 65 negara dengan hasil skor literasi IPA sebesar 382
(OECD, 2013: 5). Pada hasil PISA tahun 2015, Indonesia berada pada peringkat
62 dari 70 negara dengan hasil skor literasi IPA sebesar 403 (OECD, 2016: 5).
Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan hasil skor literasi IPA dari 382
menjadi 403, namun peringkat Indonesia masih berada di 10 besar terbawah dari
70 negara peserta PISA tahun 2015. Peringkat tersebut menunjukkan bahwa para
siswa di Indonesia mengalami kesulitan pada kemampuan berpikir tingkat tinggi
yang melibatkan aspek kognitif karena soal-soal yang digunakan pada PISA
4 diperlukan karena pendidikan di abad ke-21 menuntut berbagai keterampilan yang
harus dikuasai seseorang, salah satunya kemampuan berpikir kritis. Pencapain
keterampilan abad ke-21 ini dilakukan dengan cara memperbaharui kualitas
pembelajaran, mengembangkan pembelajaran student-centered, bersifat
kolaboratif, kontekstual dan terintegrasi dengan siswa (Daryanto, 2017: 13).
Proses pembelajaran di Indonesia belum terlaksana sesuai dengan harapan.
Proses pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan formal saat ini masih
didominasi oleh model pembelajaran yang masih bersifat konvensional.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sekolah-sekolah khususnya sekolah di
Jawa Tengah, hampir 80% guru masih menggunakan pendekatan pembelajaran
konvensional yaitu model ceramah. Pembelajaran konvensional adalah proses
pembelajaran yang didominasi guru sebagai “pentransfer” ilmu, sementara siswa
lebih pasif sebagai “penerima” ilmu (Agustin, 2011: 81-82). Model pembelajaran
yang menyenangkan belum tentu efektif dalam keberhasilan suatu proses
pembelajaran. Model pembelajaran dikatakan berhasil jika dalam prosesnya dapat
melibatkan siswa, sehingga siswa belajar berdasarkan pengamatan dan praktek
secara langsung dan guru bukan menjadi satu-satunya sumber informasi. Dalam
kenyataannya, masih banyak guru yang menggunakan model dan metode yang
membuat siswa menjadi cepat bosan dan dirasa monoton, sehingga siswa juga
tidak begitu antusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Guru perlu
mengunakan model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara langsung
dalam proses pembelajarannya.
Salah satu model pembelajaran yang dapat melibatkan siswa secara
langsung dalam proses pembelajarannya yaitu model pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang
dapat membantu anak bekerja sama dalam menyelesaikan persoalannya apalagi
terkait dengan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar. Model
pembelajaran kooperatif mengacu pada metode pembelajaran di mana peserta
didik bekerja sama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar
(Huda, 2014: 32). Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yaitu tipe Make
a Match. Model Pembelajaran Make a Match adalah model pembelajaran yang
5 sama dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah yang disajikan dalam
bentuk permainan. Model pembelajaran Make a Match memiliki 7 tahap yaitu
menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban, mencari
pasangan, pemberian nilai, pengulangan permainan dan pemberian penghargaan.
Berbagai jurnal penelitian diterbitkan untuk mendukung pengembangan
kemampuan berpikir kritis dan suatu kemampuan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match.
Artawa dan Suwatra (2012) meneliti perbedaan prestasi belajar
Matematika antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan model pembelajaran
konvensional pada kelas V SD N 1 Muncan.. Maula dan Rustopo (2012) meneliti
perbedaan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan metode
konvensional terhadap hasil belajar matematika materi mengenal lambang
bilangan romawi siswa kelas IV SDN 03 Sumberejo tahun ajaran 2012/2013.
Anggarawati, Kristiantari, dan Asri (2014) meneliti perbedaan hasil belajar antara
siswa yang belajar dengan model pembelajaran Make a Match berbantuan media
kartu gambar dengan siswa yang belajar secara konvensional pada mata pelajaran
IPS. Coker (2010) bertujuan untuk menguji efek dari satu minggu uji coba,
program pembelajaran praktek terhadap penalaran klinis dan kemampuan berpikir
kritis dari siswa terapi okupasi.
Kurniawati, Wartono, dan Diantoro (2014) meneliti perbedaan penguasaan
konsep dan kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan pembelajaran
inkuiri terbimbing integrasi peer instruction, pembelajaran inkuiri terbimbing, dan
pembelajaran konvensional. Selain itu, peneliti tersebut juga meneliti pengaruh
pembelajaran inkuiri terbimbing integrasi peer instruction, pembelajaran inkuiri
terbimbing dan pembelajaran konvensional berturut-turut terhadap penguasaan
konsep dan kemampuan berpikir kritis fisika. Spijunovic dan Lazic (2016)
bertujuan untuk membahas tentang pentingnya perkembangan kemampuan
berpikir kritis siswa pada awal proses belajar mengajar Matematika dan
menggarisbawahi beberapa masalah yang bersangkutan dengan pelaksanaannya.
Penelitian-penelitian tentang model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match
6 tipe Make a Match memiliki dampak yang positif bagi siswa. Hal ini menjadi
acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match. Berbagai jurnal
juga diterbitkan untuk mendukung kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Ada
beberapa hal yang menjadi pembeda dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu
pada variabel dependennya, kemampuan menginterpretasi dan menganalisis.
Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh dari penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan berpikir kritis
siswa yaitu kemampuan menginterpretasi dan menganalisis.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, peneliti
melakukan penelitian di dua kelas sebagai kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Peneliti menggunakan salah satu SD swasta di Yogyakarta ini karena SD ini
merupakan SD paralel dari kelas I –VI , yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V yang berjumlah 73
siswa. Kelas yang akan digunakan sebagai kelas kontrol adalah kelas V A dengan
jumlah siswa 24 anak dan kelas V B dengan jumlah siswa 24 anak sebagai kelas
eksperimen. Konsep penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
konsep dari teori Peter Facione.
Penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match terhadap kemampuan
menginterpretasi dan menganalisis siswa kelas V SD. Materi pembelajaran IPA
dibatasi pada Tema 2 kelas V, yaitu tentang Sistem Pernafasan pada Hewan. Jenis
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian quasi
experimental design dengan tipe pretest-posttest non-equivalent group design.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tes dalam bentuk
essay. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
non probability sampling dengan tipe convenience sampling.
1.2Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match
7 1.2.2 Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match
berpengaruh terhadap kemampuan menganalisis siswa kelas V SD?
1.3Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make
a Match terhadap kemampuan menginterpretasi siswa kelas V SD.
1.3.2 Mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make
a Match terhadap kemampuan menganalisis siswa kelas V SD.
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Siswa
Siswa memperoleh pengalaman belajar menggunakan pembelajaran
kooperatif tipe Make a Match untuk meningkatkan kemampuan
menginterpretasi dan menganalisis dalam pembelajaran IPA khususnya
pada materi Sistem Pernafasan pada Hewan.
1.4.2 Bagi Guru
Guru memperoleh pengetahuan dan pengalaman langsung dalam
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match dan
mengetahui pengaruhnya terhadap kemampuan menginterpretasi dan
menganalisis siswa SD.
1.4.3 Bagi Sekolah
Sekolah memperoleh wawasan baru mengenai pembelajaran inovatif
khususnya pembelajaran kooperatif tipe Make a Match yang dapat
berpengaruh terhadap kemampuan menginterpretasi dan menganalisis
siswa SD.
1.4.4 Bagi Peneliti
Peneliti memperoleh pengalaman langsung dalam merancang dan
merencanakan pembelajaran kooperatif tipe Make a Match pada mata
pelajaran IPA yang dapat menjadi bekal peneliti untuk mengajar di masa
8 1.5Definisi Operasional
1.5.1 Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang
dilakukan secara berkelompok, di mana siswa belajar bersama sebagai
suatu tim dalam menyelesaikan tugas kelompok untuk mencapai tujuan
bersama, serta setiap pembelajar dari kelompok-kelompok tersebut
didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain.
1.5.2 Model pembelajaran Make a Match adalah salah satu model pembelajaran
kooperatif yang mengajarkan siswa memahami konsep-konsep secara
aktif, kreatif, interaktif, efektif dan menyenangkan bagi siswa sehingga
konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif siswa
yang disajikan dalam bentuk permainan dengan 7 langkah yaitu
menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban,
mencari pasangan, pemberian nilai, pengulangan permainan dan
pemberian penghargaan.
1.5.3 Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan dan kecenderungan untuk
membuat dan membuktikan penilaian terhadap kesimpulan berdasarkan
bukti yang diharapkan dapat dilakukan dengan tujuan tertentu.
1.5.4 Kemampuan menginterpretasi adalah kemampuan di mana anak dapat
mengerti, memahami sesuatu bukan hanya secara teoretis, melainkan juga
mengerti arti dari pengalaman, situasi, data kejadian, penilaian,
kesepakatan, kepercayaan, aturan, prosedur, atau kriteria yang telah ia
pelajari.
1.5.5 Kemampuan menganalisis adalah kemampuan dimana anak dapat
mengidentifikasi relasi-relasi logis dari berbagai pernyataan, pertanyaan,
atau konsep yang dapat membuat penilaian untuk menyetujui, menilai dan
menganalisis suatu gagasan tertentu.
1.5.6 Ilmu Pengetahuan Alam adalah ilmu yang mempelajari tentang
gejala-gejala alam dan kebendaan yang diperoleh dengan cara observasi,
pengamatan, eksperimen/penelitian, atau uji coba yang berdasarkan pada
hasil pengamatan manusia berupa fakta-fakta, aturan, hukum-hukum,
9 BAB II
LANDASAN TEORI
Bab II ini berisi tentang kajian teori, kerangka berpikir dan hipotesis
penelitian. Kajian teori membahas teori-teori yang mendukung dan beberapa
kajian penelitian yang relevan. Kerangka berfikir berisikan kerangka pemikiran
dan hipotesis penelitian berisi tentang jawaban suatu rumusan masalah penelitian.
2.1Kajian Pustaka
2.1.1 Teori yang Mendukung
Untuk sebuah penelitian yang berkaitan dengan siswa sekolah dasar, pada
bab II ini penting untuk menggunakan teori-teori yang mendukung seperti teori
perkembangan kognitif oleh Jean Piaget, Teori Sosial oleh Lev Semyonovich
Vygotsky, dan teori tentang materi pernafasan pada hewan untuk penelitian ini.
2.1.1.1Teori Perkembangan Anak
Perkembangan merujuk kepada bertambah matangnya suatu organ atau
sikap manusia baik itu secara sosioemosional, maupun perkembangan kognisi
(pemikiran), dan perkembangan bahasa yang tidak dapat diukur dengan alat ukur
(kualitatif). Perkembangan adalah pola gerakan atau aktivitas perubahan yang
dimulai pada waktu konsepsi dan berlanjut sepanjang siklus hidup seseorang
(Santrock, 2003: 23). Perkembangan secara luas merujuk kepada keseluruhan
proses perubahan dari kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu yang
kemudian tampak dalam kualitas, kemampuan, dan ciri-ciri yang menjadi baru.
Dalam pembelajaran, perkembangan terjadi apabila siswa secara terus menerus
menunjukkan progres atau peningkatan, baik dalam pengetahuan, sikap, maupun
keterampilan dalam suatu pembelajaran. Apabila hal atau kesulitan yang dialami
siswa tersebut dipelajari terus-menerus, baik dipelajari sendiri maupun dengan
bantuan orang lain, maka lambat laun siswa akan mengalami perkembangan yang
meningkat dalam pembelajaran.
Dalam penelitian ini, teori yang menjadi acuan adalah teori Piaget dan
Vygotsky. Kedua ahli ini adalah tokoh yang membahas teori konstruktivisme.
10 sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan memperbaharui kembali apabila aturan-aturan
tersebut tidak sesuai lagi (Trianto, 2010: 74).
Penelitian ini menggunakan teori perkembangan kognitif menurut Piaget,
karena dalam hal ini anak-anak masih dalam tahap perkembangan operasional
konkret, di mana anak masih kesulitan untuk memikirkan sesuatu secara abstrak
dan konseptual dan teori pembelajaran sosio-historis oleh Vigotsky, karena dalam
teori ini dipaparkan tentang pembelajaran sosial. Teori pembelajaran sosial dalam
hal ini perlu dibahas, karena peneliti akan melakukan penelitian tentang model
pembelajaran kooperatif. Teori-teori Vygotsky mendukung penggunaan model
pembelajaran kooperatif dimana anak-anak bekerja sama untuk membantu belajar
satu sama lain (Slavin, Hurley & Chamberlain, 2003).
2.1.1.2Teori Perkembangan Kognitif menurut Piaget
Jean Piaget lahir di Neuchatel (1896-1980), sebuah kota Universitas di
Swiss pada tahun 1896. Ayahnya adalah sebagai pemikir yang cermat dan
sistematis, sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang emosional. Sejak kecil
ia menunjukkan kemampuan sebagai ilmuan yang sangat menjanjikan di masa
depan (Piaget dalam Crain, 2007: 167). Ia adalah pakar psikologi perkembangan
yang paling berpengaruh dalam sejarah psikologi. Setelah memperoleh gelar
doktor dalam biologi, Piaget lebih tertarik pada psikologi yang mendasarkan
teori-teorinya yang paling awal pada pengamatan yang seksama yang ia lakukan pada
ketiga anaknya sendiri. Mengapa dan bagaimana kemampuan mental akan
berubah lama-kelamaan inilah yang menjadi pengamatan Piaget.
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecerdasan atau
kemampuan kognitif anak akan mengalami kemajuan melalui empat tahap yang
jelas dan berjalan berurutan (Piaget dalam Slavin, 2011: 42). Masing-masing dari
tahap tersebut ditandai dengan kemunculan kemampuan baru atau penambahan
informasi baru yang diterima oleh anak-anak pada tahap tersebut melalui tindakan
yang mereka lakukan. Karya Piaget ini menjadi dasar penting dalam memahami
11 Setiap anak akan lahir dengan membawa skema. Skema adalah pola
mental yang menuntun perilaku anak (Piaget dalam Slavin, 2011: 43). Piaget
percaya bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi
dengan lingkungannya dan untuk memahami sekitarnya. Anak yang masih muda
memperlihatkan pola perilaku atau pemikiran yang disebut skema. Asimilasi
adalah proses memahami dan memahami objek atau pengalaman baru berdasarkan
skema yang telah ada (Piaget dalam Slavin 2011: 43). Anak akan menggunakan
skema-skema yang ada untuk mempelajari benda yang belum mereka kenal
tersebut
(sumber:http://m-edukasi.blogspot.co.id/2014/09/teori-konstruktivisme-jean-piaget.html)
Gambar 2. 1 Tahapan Belajar Menurut Piaget
Akomodasi adalah proses mengubah skema yang ada berdasarkan
informasi baru atau pengalaman baru (Piaget, dalam Slavin, 2011: 43). Cara ini
akan digunakan apabila anak merasa bahwa cara lama untuk menghadapi dunia
tidak berhasil. Adaptasi adalah proses penyesuaian skema sebagai tanggapan atas
lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi (Piaget, dalam Slavin, 2011: 43).
Seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struk dalam (skema)
melalui ekuilibrasi. Ekuilibrasi adalah proses pergerakan dari keadaan
disekuilibrium ke keadaan ekuilibrium (Suparno, 2012: 23). Ekuilibrium adalah
keadaaan di mana asimilasi dan akomodasi dalam keadaaan seimbang.
12 Setiap tahap perkembangan kognitif selalu berjalan berurutan.
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut Piaget dibagi menjadi 4 Tahap-tahap (Piaget
dalam dalam Slavin, 2011: 43)
a. Tahap Sensorimotor (usia 0 - 2 tahun)
Pada tahap ini, anak akan mulai menjelajahi dunia mereka dengan alat indera
mereka dan kemampuan motorik yang mereka miliki. Pada tahap ini, Piaget
menggunakan istilah skema untuk membicarakan struktur tindakan yang
dilakukan anak (dari bayi). Pada tahap 1 (0-1 bulan), anak mulai menggunakan
istilah skema. Sebuah skema bisa menjadi tolak ukur atau pola tindakan apapun
untuk menghadapi lingkungan yang berada disekitar bayi, seperti menetap,
menggenggam, memukul, merangkak, dan menendang. Pada tahap kedua (1-4
bulan) akan terjadi reaksi sirkuler primer dimana bayi akan menghadapi sebuah
pengalaman baru dan berusaha untuk mengulanginya. Pada tahap ketiga (4-10
bulan) bayi akan mengalami reaksi sirkuler sekunder, yaitu terjadi ketika bayi
menemukan atau mengulang kejadian atau peristiwa menarik di luar dirinya.
Pada tahap keempat dan kelima ini, anak mulai mengembangkan
kategori-kategori dasar tentang pengalaman dan mereka mulai bereksperimen untuk
melakukan tindakan yang beda untuk mengamati hasil yang
berbeda-beda. Pada tahap ke 6 (18 bulan-2 tahun) dapat dilihat sebagai upaya untuk
berimitasi. Anak mulai dapat mengikuti serangkaian pemindahan yang tidak
tampak. Anak mulai mempunyai kemampuan untuk memvisualisasikan tindakan
yang mungkin baru saja ia temui secara internal. Tahap periode sensorimotor
lainnya adalah perkembangan pemahaman tentang keajekan objek (objec
permanence). Anak-anak harus belajar bahwa objek adalah stabil serta fisik dan
tetap ada sekalipun objek itu tidak ada dihadapan fisik anak tersebut (Piaget dalam
Slavin, 2011: 46).
b. Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun)
Pada tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia mereka dengan
kata-kata dan gambar. Kata-kata-kata dan gambar ini mencerminkan pemikiran simbolik
yang semakin maju. Pemikiran pra-operasional dibagi menjadi dua sub-tahap:
sub-tahap fungsi simbolik (2-4 tahun) anak melatih kemampuan untuk
13 pemikiran intuitif (4-7 tahun) di mana anak mulai menggunakan pemikiran
primitif mereka dan mengetahui jawaban untuk semua jenis pertanyaan (Piaget,
dalam Slavin 2011: 46). Di sebut sub-tahap “intuitif” karena anak tampak sangat
yakin tentang pengetahuan dan pemahaman mereka, namun mereka terkadang
mengatakan bahwa mereka mengetahui semua, tetapi mengetahuinya tanpa
menggunakan pemikiran rasional.
Pada tahap pra-operasional ini anak juga cenderung mengalami egosentris
dan animisme. Egosentris merupakan salah satu pemikiran di mana anak kurang
mampu dalam membedakan perspektif diri sendiri dan perspektif orang lain.
Animisme merupakan karakteristik pemikiran dalam tahap operasional, dimana
anak mengandaikan bahwa benda mati juga memiliki sifat seperti makhluk hidup.
c. Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun)
Anak-anak pada tahap operasional konkret belum bisa berpikir seperti
orang dewasa. Mereka masih kesulitan untuk berpikir yang abstrak. Anak-anak
pada tahap ini dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan
masalah, tetapi hanya sejauh jika mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah
tidak asing lagi. Salah satu tugas penting yang dipelajari selama dalam tahap ini
adalah pengurutan (seriation) atau menyusun sesuatu ke deret yang logis. Begitu
kemampuan dalam hal pengurutan sudah dikuasai oleh anak, maka anak dapat
menguasai kemampuan yang terkait yaitu transitivitas yaitu kemampuan untuk
menyimpulkan hubungan hubungan antara dua objek berdasarkan pengetahuan
tentang hubungannya masing-masing dengan objek ketiga. Kemampuan terakhir
yang diperoleh anak dalam tahap ini adalah penyertaan ke kelompok (class
inclusion). Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir sekaligus tentang seluruh
kelompok objek dan tentang hubungan di antara kelompok-kelompok pada
tingkatan yang lebih rendah.
d. Tahap Operasional Formal (11 tahun-dewasa)
Pada tahap ini anak sudah mulai berpikir secara sistematis berdasarkan
tindakan-tindakan mentalnya. Tetapi pada masa ini anak-anak dapat berfikir logis
dan sistematis hanya selama mengacu pada objek-objek yang bisa diindra yang
tunduk pada aktivitas nyata. Mereka dapat menghasilkan sejumlah hubungan
14 abstrak dari informasi satu dengan yang lainnya secara logis. Anak yang duduk di
Sekolah Dasar pada umumnya berumur 7 – 12 tahun.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif yang di kemukakan oleh Jean
Piaget, anak kelas V masuk dalam tahap operasional konkret karena masih
berumur 10-11 tahun.
2.1.1.3Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934) adalah psikolog Rusia yang
hidup sejaman Piaget dan meninggal pada tahun 1934. Vygotsky hidup tumbuh
besar di Gomel, sebuah kota pelabuhan di Rusia sebelah barat. Ayahnya adalah
seorang eksekutif bank dan ibunya seorang guru. Saat tumbuh remaja, ia dikenal
teman-temannya sebagai ‘profesor kecil’, karena ia selalu mengarahkan
percakapan mereka pada diskusi, pembantahan, dan perdebatan. Vygotsky banyak
membahas tentang teori-teori konstruktvisme. Teori konstruktivisme adalah salah
satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah
konstruksi (bentukan) kita sendiri (Glaserfeld, dalam Anggiamurti, 2009). Teori
pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang baru
dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan
sendiri dan menstransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan memperbaharuinya apabila aturan tersebut sudah
tidak sesuai lagi (Trianto, 2010: 74). Salah satu teori konstruktivisme yaitu teori
sosial. Karya Vygotsky didasarkan pada dua gagasan utama, pertama, ia
berpendapat bahwa perkembangan intelektual hanya dapat dipahami berdasarkan
konteks historis dan budaya yang sudah dialami oleh anak-anak, kedua, ia percaya
bahwa perkembangan bergantung pada sistem tanda.
Sistem tanda yaitu simbol-simbol yang diciptakan oleh suatu budaya untuk
membantu orang dalam berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah.
Hendaknya perkembangan kognitif dan sosial pada anak berjalan seimbang.
Konstruktivisme sosial Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan
dikonstruksi secara mutual. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan
bagi mereka untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman. Dengan cara ini,
15 perkembangan pemikiran peserta didik. Teori Vygotsky mengatakan bahwa
terdapat dua tingkat perkembangan yaitu perkembangan aktual dan perkembangan
potensial.
Teori Vygotsky mengatakan bahwa pembelajaran mendahului perkembangan.
Pembelajaran melibatkan tanda-tanda yang diperoleh dari informasi yang
didapatkan dari orang lain. Pengaturan diri (self regulation) adalah kemampuan
untuk berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Sumbangan
terpenting dari teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran
sosio-budaya (Roth & Lee, 2007). Vygotsky percaya bahwa pembelajaran terjadi
ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (Zone of Proximal
Development/ ZPD) yaitu jarak antara perkembangan aktual dan perkembangan
potensial.
(sumber : http://parklandplayers.com/vygotskys-zone-of-proximal-development-in-early-childhood-education)
Gambar 2. 2 Zona Perkembangan Proximal
Perkembangan aktual ini ditandai dengan kemampuan individu
memecahkan masalah secara mandiri, dan perkembangan potensial yang
ditentukan oleh kemampuan individu memecahkan dengan bantuan orang lain
yang lebih dewasa atau dengan berkolaborasi bersama pasangan yang lebih
mampu (Vygotsky dalam Huda, 2014: 40). Anak-anak yang mempunyai
keunggulan dibanding teman sebayanya dalam hal kemampuan, atau anak yang
bekerja dalam zona perkembangan proximal anak lainnya, umumnya akan
menjadi contoh bagi anak-anak yang pemikirannya mungkin masih di bawahnya.
16 terjalin antar anak sehingga mereka dapat memperoleh informasi dan pemahaman
tentang proses penalaran satu sama lain.
Tugas-tugas dalam zona perkembangan proksimal adalah tugas yang
belum dapat diselesaikan sendiri melainkan melibatkan orang lain atau orang yang
lebih dewasa untuk membantu menyelesaikannya. Pada zona ini, anak mendapat
tugas yang mungkin belum mereka pelajari sebelumnya, tetapi ia dapat
menyelesaikan tugas tersebut dalam waktu tertentu dengan optimal. Untuk
mencapai taraf optimal, maka dibutuhkan suatu perancahan (scaffolding).
Perancahan adalah bantuan sementara yang diberikan oleh teman atau orang
dewasa yang lebih kompeten (Vygotsky dalam Slavin, 2008: 61). Scaffolding
disebut juga sebagai dukungan atau pembelajaran dan pemecahan masalah yang
mungkin saja meliputi petunjuk, sarana yang mengingatkan, dorongan,
penguraian persoalan menjadi langkah-langkah, penyediaan contoh, atau semua
hal yang memungkinkan siswa menjadi mandiri dalam proses pembelajaran.
Melalui Scaffolding, anak dapat mengalami loncatan. Hal itu dapat dilakukan jika
anak belajar dalam konteks sosial, baik dengan teman sebaya maupun dengan
orang yang lebih dewasa.
Agar anak dapat berkembang dalam pembelajaran melalui sudut pandang
sosialnya, dibutuhkan model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.
Salah satu model pembelajaran yang menarik dan dapat membangun interaksi
sosial antar individu adalah model pembelajaran kooperatif.
2.1.1.4Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan
secara berkelompok, dimana siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam
menyelesaikan tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama, serta setiap
pembelajar dari kelompok-kelompok tersebut didorong untuk meningkatkan
pembelajaran anggota-anggota yang lain (Roger dkk, dalam Huda, 2014: 29).
Pembelajaran kooperatif mengacu pada model pembelajaran dimana siswa bekerja
sama dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Pembelajaran
kooperatif biasanya melibatkan empat sampai lima orang dalam kelompoknya
17 kelompok dengan ukuran yang berbeda-beda. Model pembelajaran kooperatif
adalah model pembelajaran yang di dalamnya terdapat kelompok kecil
pembelajar/siswa yang bekerja sama dalam satu tim untuk mengatasi suatu
masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau mencapai satu tujuan bersama (Art &
Newman dalam Huda, 2014: 32).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka Model pembelajaran
kooperatif adalah model pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, di
mana siswa belajar bersama sebagai suatu tim dalam menyelesaikan tugas
kelompok untuk mencapai tujuan bersama, serta setiap pembelajar dari
kelompok-kelompok tersebut didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota
yang lain.
Dasar-dasar model pembelajaran kooperatif sudah banyak muncul dalam
teori-teori belajar saat ini. Teori-teori tersebut umumnya menampilkan satu
perspektif tertentu dalam pembelajaran kooperatif yang telah menjadi cara
pandang tersendiri. Ada empat perspektif teoritis yang mendasari pembelajaran
kooperatif ini (Huda 2014: 33), yaitu :
1. Perspektif motivasional
Perspektif motivasional beranggapan bahwa usaha-usaha kooperatif haruslah
didasarkan pada penghargaan kelompok dan struktur tujuan menurut
perspektif motivasional. Pembelajaran Kooperatif dapat menciptakan kondisi
yang di dalamnya setiap anggota kelompok berkeyakinan bahwa mereka akan
sukses dalam tujuan kelompoknya apabila teman-teman dalam kelompok lain
juga sukses mencapai tujuan tersebut (Huda, 2014: 34).
2. Perspektif Kohesi Sosial
Perspektif ini menegaskan bahwa pembelajaran kooperatif akan berpengaruh
apabila dalam kelompok tersebut terjalin kerja sama untuk membantu satu
sama lain karena mereka merasa peduli pada yang lain dan merasa ingin
mencapai tujuan yang sama (Huda 2014: 37). Dalam perspektif motivasional
siswa tidak sepenuhnya membantu teman dalam kelompok karena mereka
18 dalam perspektif kohesi sosial, siswa sepenuhnya membantu temannya karena
mereka merasa peduli terhadap kesuksesan kelompok tersebut.
3. Pespektif Kognitif
Perspektif ini berfokus pada bagaimana manusia bertindak, berpikir, dan
berproses untuk belajar (Huda 2014: 39). Perspektif kognitif berpandangan
bahwa interaksi antar siswa akan meningkatkan prestasi belajar selama mereka
mampu untuk memproses informasi secara mental (baca; pikiran/kognisi) dari
pada motivasional.
4. Perspektif Perkembangan
Perspektif perkembangan ini berasal dari pemikiran Piaget dan Vygotsky.
Perspektif Piaget menegaskan bahwa ketika siswa bekerja sama, konflik
sosio-kognitif akan muncul dan melahirkan ketidakseimbangan sosio-kognitif (cognitive
disequilibrium). Ketidakseimbangan ini yang nantinya dapat meningkatkan
kemampuan siswa untuk berpikir, menalar, dan berbicara. Sementara itu,
perspektif Vygotsky menyatakan bahwa pengetahuan merupakan produk
sosial (Jhonson & Jhonson, dalam Huda, 2014: 40).
5. Perspektif Elaborasi Kognitif
Perspektif ini menekankan peran elaborasi dalam pengaruhnya terhadap
pembelajaran kooperatif (Huda, 2014: 43). Elaborasi berkaitan erat dengan
penambahan informasi baru dan restrukturasi (penataan kembali) informasi
yang sudah ada.
Salah satu teknik elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materi
pelajaran pada orang lain. Suatu penelitian menunjukkan bahwa siswa bisa belajar
lebih banyak dengan memberikan penjelasan kepada orang lain.
Pembelajaran kooperatif juga dapat memberikan manfaat untuk siswa
(Rusman, 2010: 205) antara lain:
1. Dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat
meningkatkan hubungan sosial.
2. Menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat oranga lain.
3. Memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan
19 Dalam pembelajaran kooperatif, ada 5 unsur yang harus diterapkan untuk
mencapai hasil yang maksimal (Roger & Jhonson, dalam Suprijono 2013: 58),
yaitu:
1. Saling Ketergantungan Positif
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua
pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang diberikan
kepada kelompok. Kedua, memastikan bahwa semua anggota kelompok
mempelajari bahan tersebut. Beberapa cara untuk membangun saling
ketergantungan positif : (a) Menumbuhkan perasaaan peserta didik bahwa
dirinya terintegrasi dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua
anggota kelompok mencapai tujuan, (b) Mengusahakan agar semua anggota
kelompok mendapatkan penghargaan yang sama jika kelompok mereka
berhasil mencapai tujuan bersama, (c) Mengatur sedemikian rupa sehingga
setiap peserta dalam kelompok mendapat bagian tugas dari semua tugas yang
diberikan kepada kelompok tersebut, (d) Setiap peserta didik diberikan tugas
yang saling berhubungan dan saling mendukung, saling melengkapi dan saling
terikat dengan peserta lainnya dalam kelompok.
2. Tanggung Jawab Perseorangan
Pertanggung jawaban ini akan muncul apabila dilakukan pengukuran
terhadap kelompok. Tanggung jawab perorangan adalah kunci untuk
menjamin setiap anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.
artinya, setelah mengikuti kelompok belajar, siswa diharapkan dapat
menyelesaikan tugas yang sama.
3. Interaksi Promotif
Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan
positif. Ciri-ciri interaksi promotif adalah: (a) saling membantu secara efektif
dan efisien, (b) saling memberikan informasi dan sarana yang diperlukan. (c)
memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien, (d) saling
mengingatkan, (e) saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan
argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang
20 4. Komunikasi Antar Anggota
Untuk mengkoordinasikan kegiatan peseta didik dalam pencapaian tujuan
peserta didik harus: (a) saling mengenal dan mempercayai, (b) mampu
berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, (c) saling menerima dan
saling mendukung, (d) mampu menyelesaikan masalah secara konstruktif.
5. Pemrosesan Kelompok
Kegiatan kelompok dan aktivitas kelompok dapat diidentifikasi melalui
pemrosesan kelompok. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan
efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan
kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
Terdapat berbagai macam tipe pembelajaran kooperative (Roger &
Jhonson, dalam Suprijono 2013) antara lain, Jigsaw, Think-Paor-Share,
Numbered Heads Together, Group Investigation, Make a Match, Student Team
Achievement Division, Two Stay Teo Stay, inside-Outside Circle,
Point-Counter-Point, Cooperative Integrated Reading And Composition, Team-Assisted
Individualization, Team Games Tournament, Number Head Together dan
sebagainya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Make a Match.
2.1.1.5Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match (mencari pasangan) adalah
salah satu pendekatan konseptual yang mengajarkan siswa memahami
konsep-konsep secara aktif, kreatif, interaktif, efektif dan menyenangkan bagi siswa
sehingga konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif
siswa (Huda, 2012: 135). Model pembelajaran Make a Match adalah salah satu
model pembelajaran kooperatif yang mengajarkan siswa memahami
konsep-konsep secara aktif, kreatif, interaktif, efektif dan menyenangkan bagi siswa
sehingga konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif
siswa yang disajikan dalam bentuk permainan dengan 7 langkah yaitu
menyiapkan kartu, pembagian kartu, memikirkan soal dan jawaban, mencari
21 Model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match mengajak siswa untuk belajar
dengan suasana menyenangkan, karena dalam pembelajaran ini, suasana dan
kegiatan pembelajarannya dilakukan dengan sistem mencari pasangan dari
kartu-kartu yang di dalamnya berisikan materi pelajaran, sehingga siswa tidak mudah
merasa bosan dan pembelajaran dapat berlangsung dengan antusias dan produktif.
a. Manfaat Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Pembelajaran kooperatif tipe Make a Match memiliki beberapa manfaat.
Adapun manfaat dari metode pembelajaran ini adalah sebagai berikut. a)
suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran, b) kerja sama
antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, c) munculnya dinamika gotong
royong yang merata di seluruh siswa, dan d) melatih ketelitian, ketepatan dan
kecepatan (Lie, 2010: 56).
b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Tujuan dari pembelajaran kooperatif tipe Make a Match ini adalah untuk
melatih peserta didik agar lebih cermat dan lebih kuat pemahamannya
terhadap materi. Siswa dilatih berpikir cepat dan menghapal cepat sambil
menganalisis dan berinteraksi sosial (Fachrudin, 2009: 169).
c. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Model pembelajaran Make a Match memiliki sintaks atau langkah-langkah
dalam pembelajaran. Langkah-langkah penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Make a Match yaitu (Sani, 2013: 196-197):
1. Menyiapkan kartu
Pada langkah ini guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi konsep
atau topik yang akan dipelajari bersama. Kartu yang dibuat terdiri dari
kartu pertanyaan dan kartu jawaban dengan jumlah yang sama pada
masing-masing kartu.
2. Pembagian kartu
Guru memberikan sebuah kartu kepada masing-masing siswa. Ada
siswa yang memperoleh kartu pertanyaan dan ada yang mendapat kartu
22 3. Memikirkan soal dan jawaban
Siswa yang memperoleh kartu pertanyaan memikirkan jawaban dari
kartu yang dipegang, sedangkan yang memperoleh kartu jawaban
memikirkan soal yang relevan.
4. Mencari pasangan
Siswa mencari siswa lain sebagai pasangan yang memiliki kartu yang
cocok dengan kartu yang sedang dipegang.
5. Pemberian nilai
Guru memberikan nilai (poin) untuk setiap pasangan siswa yang dapat
mencocokkan kartu sebelum batas waktu yang ditentukan.
6. Pengulangan permainan
Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapatkan
kartu yang berbeda dari sebelumnya.
7. Pemberian penghargaan
Guru memberikan penghargaan pada kelompok yang memiliki nilai
tertinggi dan membimbing siswa untuk membuat kesimpulan.
Berikut ini adalah bagan dari model pembelajaran Make a Match,
gambaran dari teori di atas :