• Tidak ada hasil yang ditemukan

Moderasi Beragama sebagai Pemersatu Bangsa serta Perannya dalam Perguruan Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Moderasi Beragama sebagai Pemersatu Bangsa serta Perannya dalam Perguruan Tinggi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 17

MODERASI BERAGAMA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA SERTA PERANNYA DALAM PERGURUAN TINGGI

M. Anzaikhan1, Fitri Idani2, Muliani 3 1. Institut Agama Islam Negeri Langsa

2. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh 3. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh Correspondence: m.anzaikhan@iainlangsa.ac.id

INFO ARTIKEL ABSTRACT

Indonesia is a country that has a variety of ethnicities, cultures, and religions. Judging from these diverse backgrounds, the motto of the Indonesian state contained in the Garuda Pancasila is Bhineka Tunggal Ika. There are different mottos, but this one cannot be separated from its challenges. The challenge in question is the understanding that circulates in the midst of people's lives, causing conflict. The seeds of these ideas can emerge in the family, community, and college environment. In this case, it is necessary to have a middle ground attitude to resolve various differences and problems in society. The researcher uses a qualitative approach method with a literature study. The results of the discussion in this study are to know the definition, understanding of radicalism in the state, forms of spreading radicalism, and moderation in Islam. The researcher concludes that the challenges of a country's diversity can be overcome by cultivating an attitude of moderation so that it can become a unifying nation, especially in the university environment.

Keyword: Religion, Moderation, Radicalism

Info Publikasi:

Artikel Kajian Library Research

Sitasi Cantuman:

M.Anzaikhan, et all.

(2023). Moderasi Beragama Sebagai Pemersatu Bangsa Serta Perannya Dalam Perguruan Tinggi.

Abrahamic Religions:

Jurnal Studi Agama- Agama (ARJ), 3(1), 17- 34.

DOI:

10.22373/arj.v3i1.16088

Hak Cipta © 2023.

Dimiliki oleh Penulis, dipublikasi oleh ARJ

Dikirim: Januari 2023 Direview: Februari 2023 Dipublikasi: Maret 2023

(2)

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki aneka ragam suku, budaya, serta agama.

Dilihat dari latar belakang yang beranekaragam tersebut sangat ideal jika semboyan negara Indonesia yang terdapat pada garuda Pancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika. Adanya semboyan berbeda-beda tetapi tetap satu ini tidak lepas dari tantangannya. Tantangan yang dimaksud seperti paham paham yang beredar di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehingga menimbulkan konflik. Bibit paham-paham itu dapat muncul dalam lingkungan keluarga, masyarakat, serta perguruan tinggi. Dalam hal tersebut diperlukan adanya sikap jalan tengah untuk menyelesaikan berbagai perbedaan dan masalah dalam kalangan masyarakat. Peneliti menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan studi kepustakaan. Hasil dari pembahasan dalam penelitian ini adalah mengetahui tantangan keberagaman Indonesia, pemahaman radikalisme dalam negara, bentuk penyebaran radikalisme, serta moderasi dalam Islam. Peneliti menyimpulkan bahwa tantangan keanekaragaman sebuah negara dapat diatasi dengan menumbuhkan sikap moderasi sehingga dapat menjadikan pemersatu bangsa terutama dalam lingkungan perguruan tinggi.

Kata Kunci: Agama, Moderasi, Radikalisme A. Pendahuluan:

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berada di antara dua benua dan dua Samudra. Terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan berjajar pulau-pulau yang memiliki budayanya masing- masing. Kondisi geografis tersebut membuat Indonesia dikenal sebagai negara multikultur yaitu negara yang kaya akan keanekaragaman seperti suku, agama, ras, antar golongan (Lestari, 2016) Sejalan dengan lambang negara Indonesia Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika tentunya menjadi way of life masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan dalam perbedaan.

Kekayaan etnis dan budaya yang variatif ini merupakan rahmat dari Tuhan yang luar biasa. Meski begitu, dalam sebuah kebaikan selalu ada fenomena dan tantangan.

Tantangan yang dimaksud seperti konflik yang sering terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Dilihat dari segi kepercayaan, ada 6 agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Namun, mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Agama lain yang di akui oleh pemerintah Indonesia yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu. Melaui keragaman agama ini, pemerintah Indonesia membebaskan masyarakat untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Senada dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan masyarakat untuk memiliki sikap toleransi antar umat beragama dan tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama tertentu.

Adanya sila pertama Pancasila bukan berarti masyarakat Indonesia selalu hidup rukun dengan azas toleransi. Sikap toleransi ini tidak sepenuhnya dijalankan oleh semua masyarakat Indonesia, karena ada juga masyarakat yang memiliki cara pandang tersendiri tentang masalah agama. Ada yang ingin membangun tempat ibadah dengan mengikuti persyaratan dan ketentuan tertentu namun dikarenakan mayoritas agama di daerah setempat tidak setuju, terjadilah konflik. Ada yang menolak pemimpin dikarenakan berbeda agama. Kemudian ada juga yang mengatas nama kan agama untuk menggantika

(3)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 19 ideologi negara yang sudah menjadi suatu kesepakatan besama. Tidak hanya itu, ada juga yang dinamakan jihad agama untuk megkafirkan sesama.

Inilah yang terjadi di Indonesia, walaupun sudah ada Pancasila sebagai dasar negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai motto negara, hal ini merupakan fakta yang dihadapi. Oleh karena itu masyarakat Indonesia harus respontif, salah satunya adalah dengan cara menumbuhkan sikap moderasi beragama. Artikel ini tergolong dalam penelitian pustaka dengan pendekatan kualitatif. Adapun metodologi yang digunakan adalah studi deskriptif analisis. Sumber rujukan yang digunakan adalah referensi literasi seperti buku dan jurnal terkait moderasi beragama.

B. Metode Penelitian

Artikel ini tergolong dalam penelitian pustaka dengan pendekatan kualitatif.

Adapun metodologi yang digunakan adalah studi deskriptif analisis. Sumber rujukan yang digunakan adalah referensi literasi seperti buku dan jurnal terkait moderasi beragama.

Langkah yang dilakukan dalam proses studi kepustakaan yakni dengan mengumpulkan sejumlah data yang berkaitan dengan persoalan moderasi beragama. Data inilah yang nantinya dipakai dan disesuaikan untuk ditambahkan atau dicantumkan ke dalam tulisannya. Sehingga data yang merupakan data yang valid atau data yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya karena sesuai dengan referensi yang ada.

C. Islam Moderat

Moderat dilihat dari sudut tertentu memiliki dua penafsiran yaitu tidak bersifat ektrim dan memilih jalan tengah yang tidak merugikan kedua belah pihak (Kamisa, 1997). Islam moderat merupakan Islam yang di dalamnya terintegrasi nilai-nilai ketaatan kepada Allah, cinta perdamain serta menjunjung tinggi rasa keamanan (Syu‘aibi, 2010).

Islam moderat umumnya dikatakan antonim dari Islam radikal yakni golongan Islam yang keras dan anti toleran dan dapat merusak keberagaman umat. Oleh karena Islam yang ektrim telah membuat sebuah citra tidak nyaman bagi golongan tertentu maka dipopulerkanlah istilah muslim moderat yang diistilahkan Islam moderat sebagai solusi.

Harapannya, agar citra Islam di mata dunia tidak dilabelkan radikal, teroris, dan sejenisnya.

Moderat berasal dari kata moderare yang memiliki makna mengurangi atau mengontrol (Faiqah & Pransiska, 2018). Selanjutnya, Islam moderat diproyeksikan sebagai solusi agar umat Islam dapat bersikap atau berperilaku tidak ekstrem dengan mengedepankan jalan tengah. Tengah disini tentu bersifat majas, intinya dapat bersikap adil serta seimbang yang kerap populer dinamakan Islam Wasathiyah. Penulis sendiri memaknai wasathiyah, tidak sebatas kaku pada sesuatu yang berada ‘di pertengahan’.

Seperti jenjang pendidikan misalnya, antara S1 dan S3 dimensi tengahnya adalah S2, namun S2 bukanlah yang terbaik dalam orientasi pendidikan.

Wasathiyah atau yang populernya disebut jalan tengah (moderat), merupakan keunikan yang ada dalam ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Konsep ini menebarkan nilai-nilai solutif dimana dalam berdakwah (menyebarkan ajaran Islam)

(4)

dilakukan dengan santun, toleran, dan tidak memaksakan (Nur & Lubis, 2015).

Toleransi pada hakikatnya adalah kesediaan diri untuk menjaga perasaan terhadap perilaku orang lain. Orang yang memiliki sikap toleransi yang tinggi akan lebih mudah memaafkan orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat toleransi sering dimaknai dengan sikap tenggang rasa. Hal itu karena toleransi dan tenggang rasa sama sama memiliki arti menghormati antara satu kelompok terhadap kelompok lain.

Sepintas sama, akan tetapi dalam dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari memiliki perbedaan. Sikap toleransi merupakan cara menjaga perasaan seseorang terhadap perbuatan orang lain. Orang yang tidak memiliki sikap toleransi biasa disebut fanatik. Sedangkan tenggang rasa merupakan cara menjaga perasaan orang lain terhadap perbuatan seseorang. Orang yang tidak memiliki sikap tenggang rasa disebut sebagai sikap ignorance (Hannan, 2018). Oleh karena itu, sikap toleransi dan sikap tenggang rasa memiliki makna yang berbeda sebagaimana penerapannya dalam Islam yang multikultur.

Islam multikultur adalah kesiapan dalam diri seseorang untuk menerima segala seuatu yang ada dalam diri orang lain secara sama, tanpa memperhatikan perbedaan (Mujiburrahman, 2013). Islam amat sering diartikan sebagai tunggal bukan multikultur.

Padahal, di Indonesia Islam multikultur sangat melekat dari segi lokal maupun sejarahnya. Pada khazanah keindonesiaan, terbagi manjadi Islam tradisional dan Islam modern. Adapun dari aspek historis, Islam hadir di Indonesia tidak terlepas dari catatan sejarah khususnya perjalanan masuknya Islam ke Nusantara.

Selanjutnya, multikulturalisme sangat bermanfaat bagi umat manusia untuk mencapai sebuah kehidupan yang damai. Seiring berjalannya waktu, hal itu tercemarkan oleh orang-orang yang memiliki sikap intoleran, bahkan radikalisme. Hal tersebut dapat diatasi apabila seseorang dapat menjadikan iman serta ketaqwaan yang beraktualisasi sebagai realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa Islam moderat dan Islam multikultur merupakan sikap yang mencari jalan tengah.

Sebuah sikap keberagaman yang tidak menyetujui adanya cara kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita Islam. Sebaliknya justeru lebih memilih cara menghargai perbedaan dengan memandang Islam sebagai agama pembawa rahmat dan keselamatan.

D. Moderasi dalam Agama-Agama

Realita Indonesia sendiri didominasi oleh macam macam agama, selanjutnya setiap agama memiliki pengikutnya masing-masing. Kemudian ada yang membuat komunitas masing-masing yang berdasarkan agama yang dianutnya. Faktor sosial dan budaya dapat memperlihatkan bagaimana suasana keberagaman agama di Indonesia.

Begitu pula pendidikannya, setiap agama memiliki tingkatan pendidikan yang berbeda, kesenjangan itu mempengaruhi dimensi ekonomi sehingga adanya kelas-kelas dalam masyarakat. Belum lagi adanya budaya yang variatif, menjadikan moderasi beragama adalah sebuah kebijakan ideal meskipun ke depan diformulasikan dengan nama yang berbeda.

Indonesia memiliki macam agama-agama, dalam prakteknya ada yang merasa canggung ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Kebanyakan

(5)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 21 dari mereka memandang remeh penganut agama lain, sampai menjelek-jelekkan penganut agama lain. Padahal, setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan (truth claim) bahwasanya agama yang mereka anut mempunyai kebenaran dan membawa keselamatan.

Memiliki kesadaran akan realitas ini adalah bagian penting dalam menyelami pentingnya tolerasi dalam beragama.

Begitu juga, setiap agama memiliki pemahaman yang berbeda, adalah karakteristik dari agama masing masing. Perbedaan dapat dijadikan sebagai anugrah, namun dapat juga menjadi permasalahan. Bisa menjadi anugrah bagi banyak orang jika dapat memahami mengelolanya dengan baik dan dapat menambah makna dalam kehidupan. Sebaliknya, dapat menjadi permasalahan bila tidak mau memahami perbedaan yang ada dan tidak mau untuk bertoleransi. Seseorang yang memiliki sikap keberagaman khusus yang mau mengakui pembenaran suatu pihak, namun dapat menyebabkan perselisihan antar agama.

Permasalahan yang muncul di Indonesia sering kali berangkat dari keberagaman, baik yang sifatnya sepele maupun riskan. Padahal, agama adalah kedamaian, penyejuk, menjadi harapan dari kebahagian, namun masih saja ada yang menjadikan agama sebagai motif perselisihan dengan cara pandang yang keliru. Berdasarkan pernyataan ini untuk membangun sebuah kerukunan bukan hal yang mudah, membutuhkan kebijak sanaan dan trategi yang lebih, dan membutuhkan pendekatan yang terstruktur, baik bersifat teologis maupun sosiologis.

Modal sosial menjadi pokok utama yang dibutuhkan dalam membangun kerukunan antara masyarakat. Para ahli menyatakan kondisi damai dalam masyarakat dapat tercipta dan dibantu dengan adanya modal sosial. Beberapa pendapat mengatakan semakin erat hubungan sosial antara sesama masyarakat akan kecil peluang terjadinya tindakan kekerasan. Modal sosial yang paling penting merupakan hubungan keterlibatan antara sesama masyarakat sehingga menumbuhkan sikap saling mempercayai satu sama lain, jika semakin erat hubugan antar sesama masyarakat maka kemungkinan untuk bekerja sama akan semakin luas dan mencapai tujuan yang diharapkan akan terbuka lebar. Selanjutnya, dapat menurunkan potensi kerusuhan di kalangan masyarakat.

Hubungan tersebut termasuk hubungan formal dan hubungan informal. Asosiasi merupakan salah satu bentuk hubungan formal, hubungan informal yaitu seperti saling silaturahmi, makan-makan bersama, menyapa dijalan, kumpu-kumpul bersama dan sebagainya. Jika semakin terjalin hubungan kekeluargaan dalam masyaraat, semakin mudah untuk menjadi sebuah modal dalam menciptakan situasi sosial yang damai.

Hubungan antara kelompok warga yang saling berpartisipasi dan bekerjasama dapat mencegah kerusuhan. Hubungan formal yang terjalin di pedesaan mungkin mampu untuk menjaga korelasi di pedesaan namun hal tersebut tidak berlaku di kehidupan kota.

Kota besar sangat membutuhkan hubungan kekeluargaan formal agar menghargai keberagama antar etnis yang ada sehingga dapat terciptanya hubungan yang damai.

Permasalahan umum terjadi karena kurangnya kearifan dalam golongan masyarakat dan tipisnya sudut publik, ikatan warga dapat lemah dari dua hal tersebut.

Penyebab lain dari melemahnya ikatan antara warga adalah faktor historis, politik,

(6)

ekonomi, dan budaya, hal ini dapat menimbulkan permasalahan atara masyarakat yang bergeser dari pertegangan individu ke permasalahan umum, permasalahan etnis dan agama pun ikut dijurumuskan karena hal tersebut.

Harmonis sosial dapat terwujud dari hubungan yang baik antara penganut beragama terutama dalam masyarakat. Cerita atau pencumplikan dari masyarakat tidak dapat dijadikan sebagai usaha untuk meningkatkan perdamaian antara masyarakat beragama, akan etapi diperlukan keterlibatan yang aktif, ialah mengethui adanya agama lain dan haknya namun bukan itu saja yang ditentukan oleh pemeluk agama, akan tetapi di tuntut untuk saling memahami perbedaan yang dilakukan dengan cara interaksi sosial.

Selanjutnya, menegakkan bhineka tungal ika seperti yang diharapkan. Berbagai agama yang masuk di Indonesia dan diterima dalam kalangan masyarakat, hal tersebut merupakan sejarah yang pernah dilewati Indonesia padahal pada saat itu sebagian masyarakat sudah memiliki agama.

Sejarah yang paling lama mengatakan bahwa mereka tetab berinteraksi, interaksi tersebut tidak menimbulkan permasalahan diantar mereka. Sikap tersebut dapat tercerminkan karena adanya sifat toleran yang tinggi diantara mereka. Maka dari situlah mereka dapat hidup saling melengkapi dan menerima perbedaan. Sifat moderat yang menjadi pegangan agama mereka masing-masing sehingga mereka dapat menjalankan hidup secara berdampingan. Agama lain juga ciptaan Tuhan yang patut di lindungi dan dihargai ini merupakan sudut pandang kelompok dari moderat. Kelompok moderat berpandangan bahwa keaneka ragaman ialah sunatullah, harmonis sosial-sosial dapat terimplementasikan dengan mengedepankan sifat toleransi dan saling menghargai (Kementrian Agama RI, 2019).

E. Tantangan Moderasi di Indonesia

Indonesia mempunyai banyak budaya dan adat istiadat yang memiliki ciri khas masing-masing. Hubungan yang telah terjalin menjadi kunci dari dinamika kehidupan sosial yang sudah melekat. Realitas yang terjadi di kehidupan masyarakat adalah mereka saling berinteraksi antar agama, mulai dari tingkatan bertetangga satu komplek sampai tingkat nasional (Fuad, 2020). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang ada pada masyarakat Indonesia mepunyai suatu tujuan yang sama, yaitu dapat memberi manfaat satu sama lain dan untuk menciptakan kehidupan sosial yang bersamaan. Akan tetapi tidak sedikit muncul paham-paham yang bertentangan dengan hal tersebut.

Saat ini sudah muncul pandangan pandangan subjektif yang berasal dari sekelompok agama Islam sendiri yang menfonis bahwa aqidah ummat Islam di Indonesia sudah melampaui batasan (Fathurrochman & Muslim, 2021). Hal tesebut merupakan suatu fenomina sosial yang pada kenyataannya banyak yang bernggapan bahwa ajaran agama Islam di Indonesia sudah dipengaruhi oleh budaya lokal yang dikenal dengan sebutan bid`ah, bukan hannya ummat Islam yang mendapat pernyataan seperti iti akan tetapi agama yang lain juga mendapat hal yang sama.

(7)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 23 Maka muncullah pernyataan yang mengatakan bahwa apapun yang tidah bersesuain dengan aqidah ialah berlawanan dari ajaran Islam, kelompok yang mengatakan hal seperti itu dikenal dengan istilah takfiri (pengkafiran). Kelompok tersebut menyebarkan agama Islam dengan cara yang berlawanan dari metode dakwah yang diterapkan oleh ulama. Gerakan seperti ini sudah muncul di negara Indonesia. Penyebab utama hadirnya gerakan semacam ini adalah sikap protes mereka tentang penolakan ideologi dan politik yang tidak sesuai dengan paham ajaran Islam yang mereka anut.

(Muna, 2020) Sehingga muncullah aksi terror meneror. Seperti munculnya bom bunuh diri, mencelakai banyak orang dengan topeng agama.

Aksi radikalisme yang terjadi pada negara Indonesia merupakan sesuatu yang mengharapkan dapat mengubah mutu yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat dengan sepenuhnya dengan melakukan suatu tindakan ekstrim. Saat ini terorisme sasarannya perlahan lahan sudah mulai mengalami penyusutan dikarenakan aparat kepolisian dan fasilitas negara yang kurang (Mohan & Hakim, 2022). Bom bunuh diri bukan merupakan salah satu aksi teror, selain itu hal lain seperti melakukan penganiayaan pada sekelompok agama lain adalah bentuk radikalisme secara soft action. Tidak hanya itu, akibat pesatnya perkembangan teknologi, radikalisme berubah pada muatan yang berbeda yaitu hoaks dan ujaran kebencian terhadap penganut agama berbeda.

Bila merujuk pada rentetan sejarah Indonesia, kasus penolakan pembangunan greja juga sering terjadi. Seperti kejadian di Banten dan Jawa Barat, pada saat itu masyarakat Islam memberi respos yang buruk sebagi bentuk penolakan dibangunya greja dilingkungan setempat, karena kebanyakanpenduduk di wilayah tersebut adalah Muslim sehingga mereka merasa tergangu jika ada greja di lingkungan tersebut (Siahaan, 2017).

Negara Indonesia memiliki dominasi Muslim, realitas itu kerap menjadi alasan untuk non-Muslim terdiskreditkan. Setelah di telusuri, penyebab terjadinya pemberontakan yang utama adalah masyarakat yang mayoritas Islam merasa terganggu dengan kehadiran eksistensi agama lain.

Maka dari itu, agama-agama minoritas sering kali tidak diterima oleh masyarakat apalagi jika sudah menyangkut pembangunan tempat ibadah. Selanjutnya, agama minoritas harus mengakui kekuatan masyarakat yang mayoritas. Penduduk Islam Indonesia memiliki tantangan yang sangat kuat berdasarkan dari pernyataan diatas,apalagi mengenai kebebasan dan toleran (Winarti, 2017). Pada saat gelora politik di dunia pluralisme Indonesia mendapat ujian dengan negara yang menganut sistem demokrasi, semua warganegara dapat untuk menentukan sikap dam memiliki kebebasan atas hak tersebut yang bersifat sosial maupun ekonomi dan politik kebersatuan bangsa dan pemersatuan merupakan dampak dari hal tersebut. Kerenggangan yang terjadi antara perbedaan agama dapat memengaruhi ketentraman sosial.

F. Hakikat Radikalisme

Kata Radikal dapat di artikan amat keras, hal politik, dan sempurna. Sedangkan Radikalisme terdapat beberapa definisiSuatu paham yang bersifat radikal dalam politis.

Radikalisme juga diartikan sebagai paham yang menginginkan perubahan atau

(8)

pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Selain itu radikalime juga dapat diartikan sebagai sebuah sikap yang ekstrem disuatu aliran politik. (Kamisa, 1997). Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa kesalahpahaman dalam memahami makna kata radikal. Hal itu yang menyebabkan terdapat berbagai macam hal dalam memaknai kata radikalisme.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata radikal memiliki arti yang bermakna positif dan bermakna negatif. Radikalisme dalam makna positif merupakan sebuah upaya dalam mencari jalan penyelesaian dengan benar secara dalam serta mendasar hingga ke akar-akarnya. Sedangkan radikalisme dalam makna negatif merupakan sebuah paham yang menginginkan adanya perubahan dengan cara kekerasan. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa radikalisme dapat bermakna positif maupun negatif.

Radikalisme yang bermakna negatif dapat dilihat pada seseorang yang memiliki sikap intoleran. Intoleran merupakan sebuah sikap yang tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Sikap ini dikenal dengan kebalikan dari sikap toleransi. Selain itu ada juga fanatik. Sebuah sikap dimana kelompoknya merasa paling benar serta menganggap kelompok lain salah (Muthohirin, 2015). Kelompok yang terbiasa membedakan diri dari umat Islam lainya, dan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut merupakan ciri-ciri kelompok yang memiliki paham radikal.

Jika paham radikalisme sudah berkembang lebih lanjut akan mendorong seorang untuk berperilaku teroris. Terorisme ini tidak semata-mata terjadi begitu saja. Tetapi dengan adanya paham radikalisme yang mengubah jalan pikiran mereka. Biasanya diawali dengan sikap tidak menghargai perbedaan sampai ke sikap dimana mulai menyalahkan orang lain (Rijal, 2016). Dapat dikatakan bahwa paham radikalisme merupakan awalan dari terorisme yang bertujuan untuk mengubah sesuatu yang sudah lama menjadi kesepakatan bersama dengan tindakan dan aksi kekerasan. Jika ingin menangkal paham radialisme sehingga dapat berjalan dengan baik maka yang harus di tangani terlebih dahulu yaitu sikap intoleran nya. Jika sikap intoleran nya sudah berkurang maka radikalisme dan terorisme bisa di tanganin sejak dini.

G. Pemahaman Radikalisme dalam Negara

Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman, Indonesia tidak hanya menganut satu agama, tetapi ada 6 agama legal sehingga di haruskan untuk saling hidup berdampingan. Hal tersebut menunjukkan pentingnya toleransi yang dalam skema Islam Wasathiyah dikenal dengan istilah thasamuh. Pada konteks keindonesiaan, implementasi thasamuh termaktu dalam esensi nilai Pancasila terutama sila ke 1 yang berlambangkan bintang. Meskipun muatan toleransi terpatrikkan dalam ideology negara, praktek di lapangan masih banyak temuan sikap dan perbuatan masyarakat yang tidak menerima perbedaan satu sama lain. Seringkali muncul kesenjangan yang menyebabkan konflik, yang pada akhirnya dapat berujung dengan tindakan-tindakan radikalisme.

Tindakan radikalisme seringkali didapatkan dalam agama tertentu. Radikalisme merupakan suatu pandangan atau aliran yang ingin melakukan perubahan pada sosial

(9)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 25 maupun politik dengan cara menggunakan kekerasan. Sikap seperti itu bisa terdapat pada agama manapun. Namun karena mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam maka radikalisme yang paling intens terjadi adalah dari kelompok mazhab keislaman.

Radikalisme ini biasanya memiliki visi berupa ingin menggantikan dasar dan ideologi negara dengan mengutamakan syariat-syariat Islam. Tidak hanya itu, kalangan ini berfikir sempit, ekslusif dan cenderung main hakim sendiri. Menjadikan motif beragama sebagai panggilan jihad sehingga tanpa ragu berbuat sesuatu yang menghilangkan nyawa pihak lain.

Sikap radikal sering muncul dikalangan umat beragama Islam karena mayoritas agama Indonesia merupakan agama Islam. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dalam tempat ibadah agama lainya juga ada pandangan ekstrem yang tidak memiliki sikap toleransi terhadap keyakinan yang lain (Azra, 2019). Oleh karena itu sebagai masyarakat Indonesia harus bisa mengetahui bagaimana orang-orang yang terjangkit dengan paham radikal agar tidak sembarangan dalam menilai seseorang atau kelompok yang memiliki sikap paham radikal.

Umumnya, kelompok radikal memiliki beberapa tahapan untuk menyebarkan sebuah paham. Salah satunya melalui gerakan dakwah. Dakwah sangat mudah dalam mengembangkan paham radikal seperti menumbuhkan sikap tidak menghargai perbedaan, membidah orang yang tidak memiliki keyakinan agama yang sama, serta mudah mengkafirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan kelompoknya. Hal tersebut merupakan tahapan awal dalam menanamkan sikap radikal. Apabila hal itu terjadi dalam kurun waktu yang lama maka dapat membuat negara Indonesia yang memiliki keberagamaan ini memiliki sikap intoleran. Dengan begitu bukan berarti Gerakan dakwah itu bersifat radikal. Hanya saja kelompok-kelompok radikal menyebarkan pahamnya melalui jalur dakwah (Lukman, 2019).

Gerakan kelompok radikal ada juga yang melalui gerakan politik. Gerakan politik ini ingin mengubah dan menggantikan ideologi negara dengan mnegakkan agama Islam.

kelompok ini menolak sistem demokrasi yang sudah menjadi kesepakatan bersama, mengatakan dasar negara itu salah, dan harus digantikan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Bersyariah. Tidak hanya itu, tindakan radikal ada juga yang melalui kelompok teroris. Kelompok ini melakukan tindakan kekerasan dengan membunuh orang lain yang berbeda agama. Mereka meyakini bahwa yang mereka lakukan itu dinamakan jihad suci (Diyani, 2019). Dalam prakteknya gerakan kelompok radikal ini bisa saja gabungan dari ketiga ciri-ciri diatas: mengkafirkan orang lain, ingin menggantikan dasar negara dan melakukan kekerasan yang mengatasnamakan jihad suci ini merupakan tindakan radikalisme yang sangat berbahaya bagi masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman, sehingga dapat mengakibatkan perecahan antar masyarakat.

H. Esensi Radikalisme di Aceh

Aceh merupakan suatu provinsi yang terletak di paling barat pulau sumatera negara Indonesia. Disini lah daerah pertama yang menerima kedatangan agama Islam tepatnya di kerajaan Samudra Pasai, Peureulak, Kabupaten Aceh Timur(Bahri, 2012).

(10)

Oleh karena itu, sampai saat ini Aceh dikenal sebagai pelaksanaan syari’ah Islam.

Namun, pelaksaan syari’ah ini tidak sepenuhnya dijalankan seperti apa yang di harapkan.

Konflik yang pernah terjadi di Aceh yaitu Gerakan Aceh Merdeka ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang hukum Islam. Hal ini mengakibatkan mereka melakukan gerakan separatisme bersenjata agar Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kurun waktu yang lama, Aceh sudah berada dalam fase yang aman.

Gerakan Aceh Merdeka berdamai dengan Pemrintah Indonesia disebabkan adanya perjanjian Helsinki ditahun 2005. Februari 2010 masyarakat Aceh dikejutkan dengan berita penangkapan sejumlah orang yang diduga teroris(Bah, 2011). Tidak sedikit masyarakat yang tidak percaya dengan hal tersebut. Masyarakat Aceh menganggap itu adalah rekayasa yang ingin menjelek-jelekkan tanah rencong saja. Media-media elektronik sering menampilkan teroris Aceh, namun ternyata nama-nama yang terlibat tidak bertradisi Aceh, dan tidak dapat berbahasa Aceh, hanya saja oknum tersebut mengku berasal dari Aceh.

Aceh dikenal sebagai pusat penyebaran Islam pertama di Nusantara. Hal ini direpresentasikan dengan adanya dayah yang berkembang di Aceh. Dayah merupakan Lembaga Pendidikan tua yang tidak ada pelajaran seperti Lembaga Pendidikan umum, hanya mengaji kitab saja. Hal itu disebut juga sebagai Dayah Salafi (Marhamah, 2018).

Perkembangan dayah-dayah yang ada di Aceh telah melahirkan para lulusan terbaik dari segi keagamaan yang tersebar tengah-tengah kehidupan masyarakat yang dikenal sebagai ulama dayah. Akan tetapi, satu persatu masalah menghampiri para ulama dayah salah satunya tuduhan radikalisme yaitu konflik antara kelompok Ahlisunah Waljamaa’h dan kalangan yang diklaim Salafi Wahabi.

Kelompok Aswaja merupakan sekelompok pemikiran Islam dayah, sedangkan Salafi Wahabi merupakan kelompok golongan yang memahami ilmu-ilmu keislaman dari Timur Tengah. Kelompok ini mengupayakan agar ilmu-ilmu keislaman tersebut padu dengan ilmu pengetahuan modern. Kelompok Salafi Wahabi merasa bahwa pemahamannya berasal dari islam yang sebenar-benarnya. Dengan begitu, kelompok ini menganggap umat Islam yang berbeda pendapat dengannya sebagai orang yang belum memiliki keautentikkan tauhid. Para ulama dayah Aceh menginginkan agar langkah- langkah Salafi Wahabi mesti dihapuskan dari tanah rencong ini karena dikhawatirkan dapat mengkafirkan sesama Islam yang mengakibatkan pada tindakan radikalisme. Hal tersebut merupakan salah satu peristiwa konflik antara kelompok Aswaja dan Salafi Wahabi yang menunjukkan pertantangan pendapat (Yunanda, 2019).

Apa yang terjadi di atas memang bukanlah gesekan yang secara jelas memuat bilai radikal dan terorisme, meski begitu esensi radikal bermain di dalamnya dalam konteks intoleran. Sebagaimana dipahami, kerukunan dalam bingkai keindonesiaan terbagi menjadi tiga dimensi; Kerukunan antara sesama agama (mazhab yang berbeda), kerukunan antara agama yang berbeda, dan kerukunan antara konsep beragama dan ideologi negara. Kasus di Aceh secara tersirat adalah bentuk intoleran dalam konteks

(11)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 27 pertama dan ketiga. Meskipun, pada konteks ke tiga muatannya masih bermain di bawah tanah.

I. Bentuk Penyebaran Radikalisme

Penyebaran paham-paham radikal berawal dari penyeludupan ke Lembaga- lembaga sekolah serta Lembaga dayah secara langsung. Hari demi hari perkembangan teknologi pun tidak bisa dipungkiri, kelompok tersebut memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai penyebaran paham radikal seperti melalui teknologi internet, sosial media, serta layanan pesan singkat (Muslimin & Fikro, 2021). Penyebaran paham itu umumnya memiliki jaringan khusus yang bertujuan untuk menanamkan ideologi agar dapat memiliki paham yang sama. Seorang penyampai ideologi memaparkan paham- paham radikal secara bertahap.

Kemudian penyampai ideologi memperkenalkan jaringan-jaringan sosial yang mendukung untuk melakukan perubahan serta memberikan alat sarana untuk serangan terorisme seperti bom bunuh diri seiring dengan mengiming-imingkan kenikmatan berupa surga di hari akhir nanti. Penyebaran ideologi secara tidak langsung memanfaatkan perkembangan teknologi lebih efektif dalam meraih suatu dukungan (Hadziq, 2019). Kelompok paham radikal juga menggunakan media cetak yang dikemas semenarik mungkin serta informasi yang menyentuh emosi agar mendorong untuk terus berfikir dalam paham radikal.

Pada umumnya, penyebaran ide-ide paham radikal ada yang dilakukan melaui sarana pengajian, dan pertemuan keagamaan. Tidak semua pengajian ini menganut paham radikal. Namun, ada sebagian pengajian yang menyisipkan paham-paham radikal tanpa di sadari. Penyebaran paham radikal juga dapat melalui media elektronik, seperti televisi, film, serta pamphlet yang berisi paham radikal. Kemudian media online seperti fecebook, Instagram, whatsapp, serta beberapa media sosial lain nya juga dimanfaatkan untuk menyebarkan ide-ide radikal (Mohan & Hakim, 2022). Aksi kemanusiaan seperti demonstrasi juga bisa digunakan sebagai alat untuk menyebarkan ide-ide radikal.

Dukungan terhadap suatu kelompok dapat digunakan untuk membenci kelompok lain.

Hal ini biasanya menyebarkan kebencian dengan sengaja. Selain itu, pendidikan juga bisa berperan aktif dalam menyebarkan paham-paham radikal. Biasanya melalui pandangan guru yang memiliki paham radikal, kegiatan ekstrakurikuler, serta melalui kurikulum.

J. Radikalisme dilingkungan Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi merupakan tempat mahasiswa untuk mengembangkan sesuatu baik itu dalam bentuk berfikir, tindakan, bahkan jati diri. Dalam lingkungan perguruan tinggi ini pastinya memiliki mahasiswa yang majemuk, mahasiswa yang memiliki keberagaman suku, agama, serta ras. Hal ini sangat rentan dengan adanya paham radikal jika mereka memiliki sikap intoleran (Djubaedi, S, & Ahdar, 2022). Perbuatan yang dapat mengarah pada radikalisme biasanya dengan menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan yang bermuat ujaran kebencian terhadap salah satu suku, agama, ras, serta antar golongan.

(12)

Kemudian penyampaian pendapat yang bermuat ujaran kebencian terhadap ideologi negara, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, serta NKRI melalui media sosial.

Menyelenggarakan kegiatan yang bertujuan untuk menghina ideologi negara, memprovokasi serta membenci sistem pemerintahan NKRI. Penggunaan atribut yang bertantangan dengan Pancasila, serta pelecehan terhadap symbol negara secara langsung maupun tidak langsung juga merupakan perbuatan yang mengarah pada radikalisme.

Adapun yang harus dilakukan oleh mahasiswa jika ancaman radikalisme berkembang dilingungan perguruan tinggi yaitu dengan melakukan pencegahan. Hal ini untuk mengusir penyebaran ide-ide paham radikal serta ancaman radikalisme.

Pencegahan dapat dilakukan dengan menutup media penyebaran di lingkungan perguruan tinggi (Junaidi & Ninoersy, 2021). Dekan serta Rektor dapat memanfaatkan kewenangannya dalam memutuskan paham radikal, memutuskan saluran-saluran tersebut dengan pendekatan yang lemah lembut.

Seperti mengikuti secara aktif perkembangan yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi, menekan rasa kebersamaan dalam lingkungan pergurungan tinggi, memakmurkan masjid serta tempat ibadah dalam lingkungan perguruan tinggi, Ketika tes masuk perguruan tinggi, rektor membuat kebijakan untuk melakukan test psikotes yang bertujuan untuk melihat apakah calon mahasiswa baru memiliki kepribadian paham radikal atau tidak.

Kemudian, melakukan tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi induvidu atau kelompok agar tidak terpapar paham radikalisme. Seperti melibatkan tokoh-tokoh agama, serta aparat pemerintah untuk merangkul serta mendekati mahasiswa yang terpapar dalam paham radikal. Tidak hanya itu, mahasiswa juga perlu melakukan suatu tindakan campur tangan yang dilakukan untuk menghentikan penyebaran paham radikal serta ancaman radikalisme. Seperti apabila ada mahasiswa yang terpapar radikalisme, segera lapor ke sebuah lembaga pemerintah seperti Badan nasional Penanggulangan Terorisme Indonesia (Firman, Indriawati, & Basri, 2022). Perguruan Tinggi perlu memaparkan strategi agar tempat Ibadah, serta organisasi-organisasi yang ada dalam lingkungan perguruan tinggi tidak diseludupi oleh induvidu yang menyebarkan paham radikal. Kelompok serta induvidu yang berpaham radikal sering memanfaatkan tempat serta kumpulan pengajian untuk menyebarkan paham radikal yang biasanya melalui cara- cara tertutup.

K. Implementasi Moderasi Beragama dalam Mencegah Radikalisme 1. Dalam Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan tempat yang paling awal seorang anak untuk mendapatkan pendidikan. Kedua orang tua memiliki peran untuk kehidupan anak, termasuk menanamkan sikap tenggang rasa terhadap anak (Baihaqi, 2017). Selain itu, memberikan pemahaman agama secara utuh juga sangat amat penting. Memberikan pemahaman tentang keberagaman, sehingga mereka bisa menerima akan berbedaan yang ada.

Menanamkan sikap toleransi sejak dini terhadap anak juga sangat penting. Ketika kakak

(13)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 29 sedang mengerjakan ibadah shalat dzuhur, adik sedang menghidupkan televisi dengan suara yang keras.

Kemudian ibu memberitahukan kepada adik bahwa kakak sedang shalat dzuhur, dan menyuruh adik untuk mengecilkan suara televisi. Hal ini merupakan contoh sederana menanamkan sikap toleransi terhadap anak. Sikap menghargai orang lain yang sedang melakukan ibadah. Jika suatu keluarga bisa memberikan rasa nyaman dan aman maka seorang anak dapat merasa betah untuk berada di rumah. Oleh karena itu keluarga sangat penting bagi pembentukan karakter seorang anak agar membiasakan diri untuk selalu hidup dengan sikap toleransi, menghargai pendapat orang lain, mengargai akan perbedaan yang ada, dan tidak menjelekkan orang lain. Sehingga, mereka terbiasa menanamkan sikap tersebut Ketika mereka berada diluar rumah.

2. Dalam Lingkungan Pendidikan

Selain dalam lingkungan keluarga, lingungan pendidikan juga sangat penting dalam menanamkan sikap moderasi. Dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sudah dipaparkan bahwa Indonesia memiliki keberagaman mulai dari suku, agama, ras, dan antar golongan yang di dasar kan dengan Pancasila dengan motto Bhineka Tunggal Ika (Adiwilaga, 2020). Peran guru sangat penting dalam menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan keberagaman. Guru-guru harus menyiapkan diri agar menjadi pendidik yang sangat benar untuk mendidik.

Semua guru harus diberikan wawasan tentang kebangsaan agar nilai-nilai kebangsaan dapat tersampaikan kepada murid dengan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami. Misalnya, ketika guru sedang memaparkan materi tentang keberagaman yang ada di Indonesia, tentunya seorang guru yang paham akan nilai-nilai kebangsaan akan menjelaskan bagimana hidup dengan masyarakat yang majemuk, dimana terdapat banyak sekali perbedaan. Seperti, suku, ras, budaya, dan agama. Hal ini dapat membentuk karakteristik murid yang menerima dan menghargai akan kearifan lokal.

Kemudian dalam lingkungan perguruan tinggi merupakan tempat dimana terdapat mahasiswa yang plural. Yakni mahasiswa yang terdiri dari suku, ras, agama yang berbeda-beda. Lingkungan perguruan tinggi merupakan tempat akan pengembangan dalam hal pemikiran, tindakan, dan segala sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini membuatnya memiliki peran penting dalam menjaga persatuan bangsa. Dalam lingkungan perguruan tinggi diharapkan dapat menciptakan kerukunan bangsa dengan menanamkan sikap toleransi dalam kehidupan (Djubaedi dkk., 2022).

Toleransi dimaksud yaitu saling menghargai pendapat sesama umat beragama dan antar umat beragama, kemudian harus mampu menciptakan upaya untuk bersatu dalam kehidupan bernegara. Dalam lingkungsn orgnisasi atau kelompok belajar pun harus menumbuhkan sikap tenggang rasa yang mengajarkan untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda. Tidak mudah menyalahkan hingga sampai pengkafiran terhadap suatu organisasi yang berbeda pandangan. Sehingga, paham radikal dapat berkurang.

(14)

3. Dalam Lingkungan Masyarakat.

Indoneisa memiliki masyarakat yang majemuk, dimana terdapat keberagaman dalam suku, ras, dan agama. Moderasi agama berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Artinya dalam masyarakat majemuk diperlukan sikap toleransi karena moderasi beragama sangat erat kaitannya dengan toleransi antar masyarakat dan mengedepankan sikap tenggang rasa. Misalnya, seseorang kedatangan tetangga yang baru saja pindah kesebelah rumahnya. Kebetulan orang tersebut dari suku dan agama yang berbeda. Agar menciptakan moderasi dalam agama diharus menumbuhkan sikap toleransi, dan menerima mereka menjadi tetangganya (Fuad, 2020).

Kesediaan menghormati, dan menerima mereka seperti itu bukan berarti saling menukarkan aqidah dan keyakinan. Namun lebih mencari ke titik temu, dari pada membesar-besarkan perbedaan. Sebagian masyarakat yang berada dikehidupan majemuk ini pastinya ada beberapa masyarakat yang memiliki sikap fanatik dalam memahami sesuatu. Hal ini dapat menimbulkan konflik yang bisa menghancurkan keharmonisan kehidupan dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, implementasi moderasi beragama masyarakat Indonesia yang majemuk sangat penting agar terhindar dari hal-hal yang berbau perpecahan.

Penyuluh agama merupakan salah satu anggota dari Kementerian Agama Republik Indonesia. Penyuluh Agama adalah seseorang yang mempu memberi arahan, serta bimbingan dari pemerintah dalam menyampaikan pesan-pesan agama maupun program pemerintah (Akhmadi, 2019). Penyuluh agama memiliki peran penting dalam lingkungan masyarakat sebagai patokan atau tokoh agama dalam masyarakat karena berdasarkan ucapan dan tindakan yang berulang-ulang akan menjadi contoh dalam menhadapi kehidupan sosial dalam sehari-hari. Adapuun peran penyuluh agama sebagai pemberi edukasi terhadap masyarakat melalui juru dakwah.

Mereka menyampaikan penerangan tentang agama dan mendidik masyarakat dengan baik sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Selain itu, penyuluh agama juga dapat berperan sebagai bertukar pikiran dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat. Dalam menyampaikan edukasi dalam menangkal radikalisme, penyuluh agama membutuhkan sikap moderasi beragama, yaitu sikap yang tidak memvonis dirinya atau kelompoknya yang paling benar, tidak menggunakan paksaan serta kekerasa, dan tidak melakukan Kerjasama dengan kepentingan politik (Asmara, 2021).

Penyuluh agama dapat mengambil tempat dalam bagian moderasi beragama, sehingga dapat menghadirkan kedamaian, membangun masyarakat yang toleran, mengedepankan sikap tenggang rasa melalui kegiatan edukasi penyuluh agama. Oleh karena itu, penyuluh agama sangat berperan penting dalam menumbuhkan sikap moderasi beragama agar paham radikal dapat dicegah dalam lingkungan masyarakat.

L. Moderasi Sebagai Pemersatu Bangsa

Berbicara sejarah Islam, moderasi beragama bukanlah produk baru. Sejatinya nilai-nilau serupa sudah ada bahkan sejak masa Rasulullah Saw. Hal paling mendasar

(15)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 31 adalah bagaimana Nabi tidak memaksakan agama Islam kepada siapapun bahkan termasuk pamannya sendiri (Abu Thalib) yang tidak menjadi Muslim hingga akhir hayatnya. Meskipun ada upaya dakwah untuk mengajak secara lemah lembut, namun tidak ada paksaan apalagi sampai menjadikan musuh atas kepentingan agama. Kenyataan ini adalah bagian dari muatan moderasi dimana Islam sangat mencintai kedamaian.

Moderasi sangat penting karena dapat mengambil jalan tengah dari gesekan kemajemukan. Konsep yang dijadikan kunci untuk Islam yaitu wasathiyah agar menghasilakn pemikiran yang ideal dan praktis guna meningkatkan potensi seseorang dan mengontrol mekanisme masyarakat. Walaupun diambil dari ayat al-quran (ummatan wasatan) konsepnya, namun tetap mempunyai filosofi yang dalam. Dalam suatu agama dan tradisi yang lain juga ditemukan faktanya bahwa moderasi juga dijadikan sebagai konsep mendasar.

Hal sebenarnya moderasi ialah gagasan yang universal dan mereka membenarkan gagasan tersebut. Maka konfusianime dan Islam dijadikan sebagai perbandingannya, ada banyak yang dapat untuk diteliti dan diinvestigasi dengan moderat arti filosofnya yang terdapat pada agama ataupun tradisi. Andai untuk melakukan percakapan yang membahas tentang nilai keagamaan dijadikan sebagai semboyan adakala moderasi diimbangkan untuk mendapat posisi dalam pembicaraan utama (Ibrahim & Haslina, 2018).

Gerakan moderasi umat Islam jauh lebih mudah di Indonesia disebabkan pada tanah ini kapasitas moderat tercermin perilaku dan kehidupan bersosial masyarakat dengan umat Islam. Karakter Islam yang ada di Indonesia hakikatnya adalah moderat anti pada sikap yang radikal, exstrim, dan teroris, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama adalah dua bentuk oragnisasi moderat Islam yang memiliki sejarah panjang. Organisasi inilah yang menjungjung moderasi antar agama sehingga mereka mampu survive bahkan sebelum Indonesia merdeka.

Dalam menghadapi radikalisme Muhammadiyah sangat berpengaruh dalam mendukung adanya moderasi bahkan deradikalisme juga dikritiknya. Hal yang ditempuh bila sudah konsisten menjalankan sikap moderatharus moderat dan tidak bersikap dekontruksi, “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah” adalah legel yang diberikan Muhammadiyah kepada negara Indonesia. Legelnya tersebut adalah bukti dari menegaskan sikap moderat negara yang bersimbolkan bhineka tunggal ika dalam menentukan posisi sifat ideologisnya yang didasari oleh undang-undang 1945 dan berdasarkan Pancasila (Nurhadi, 2017).

Selanjutnya, di negara mana saja ummat Islam tidak dapat dipisah dari politik dan itu juga terjadi di Indonesia. Namun ini bukanlah sebuah sikap yang radikal/ekstrim dalam menjalankan sebuah agama. Maka dalam hal ini konteks pemahama keagamaan dikalangan ummat dalam bangsa Indonesia sangat penting supaya menghadirkan esensial esensial positif, progresif dan inklusif. Hal tersebut menjadi sebuah kekuatan untuk mempersatukan dan sebagai ruh dari kemajuan hidup. Perilaku dari politik yang melakuakan korup dapat dihalang dengan menanamkan nilai etika yang ada dalam

(16)

agama dan dapat dijadikan motifasi untuk menegakkan hukum secara adil hal ini adalah bentuk dari segi sosial dan politik (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015).

Bukanlah hal yang mudah jika ingin memisahkan, ideologi, Islam, dan politik.

Hal tersebut disebabkan oleh muamalah merupakan kesatuan kandungan dari dua aspek yaitu agama dan politik. Dimanapun dalam sebuah masyarakat secara umum apa lagi dalam masyarakat yang memiliki agama, politik, agama, dan ekonomi memang tidak mampu untuk dipisah bahkan mempunyai kesatuan antara ketiganya (Aljunied, 2018).

Maka dari itu, karakter solutif (jalan tengah) adalah gerakan keniscayaan yang dapat merubah gesekan perbedaan menjadi ikatan persaudaraan dalam bingkai NKRI.

Kesimpulan

Sebagai negara dengan penduduk yang besar dan multikultural, moderasi beragama adalah ide krusial guna menghilangkan gesekan antar agama atau antar mazhab.

Pada bingkai keislaman, istilah ini dikenal dengan sebutan Islam Wasathiyah yang bermakna Islam yang di tengah-tengah. Meskipun masih memiliki perdebatan antara kesamaan antara keduanya, namun pada esensinya memiliki kesamaan yang identic salah satunya adalah bagaimana bersikap thasamuh (toleran) dan thawasuth (moderat). Sejarah Islam Indonesia hari ini yang mulai eksist sejak masa kerajaan, tidak mungkin bertahan tanpa adanya muatan Islam yang moderat.

Moderasi beragama sangat penting dalam mencegah disintegrasi bangsa khususnya dalam lingkungan perguruan tinggi. Hal tersebut adalah filterisasi dari oknum- oknum tak bertanggung jawab yang berusaha meracuni pemikiran mahasiswa yang cenderung emosional dan gemar melakukan aksi. Maka tidak heran, moderasi beragama sangat kentara disosialisasikan di perguruan tinggi, baik melalui mata kuliah atau kegiatan ekstrakurikuler. Pada tatanan masyarakat, moderasi beragama adalah langkah bijak dalam mencerdaskan bangsa sehingga tidak mudah terprovokasi oleh kalangan yang menyeru untuk membenci negara dengan motivasi agama.

REFERENSI

Adiwilaga, R. (2020). Ketuhanan Pancasila Dan Ketuhanan Islamisme: Sebuah Tinjauan Teoritis. Jisipol, 4(1), 13.

Akhmadi, A. (2019). Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Jurnal Diklat Keagamaan, 13(2), 11.

Aljunied, A.-J. K. (2018). In Praise of Moderation Book. Cornell University Press:

Southeast Asia Program Publications at Cornell University.

Asmara, A. Y. (2021). Dakwah Wasathiyah Al-Islam Melalui Penyuluh Agama Islam di Kota Surakarta. Edugama: Jurnal Kependidikan dan Sosial Keagamaan, 7(1), 45–

75. https://doi.org/10.32923/edugama.v7i1.1935

Azra, A. (2019). Harmoni agama, Kebangsaan dan Pancasila. Yogyakarta: UGM.

Bah. (2011). Terpidana Teroris Kecewa Tidak Ditahan di Aceh. Serambi Indonesia.

Bahri, S. (2012). Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh Sebagai Bagian Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jurnal Dinamika Hukum, 12(2).

(17)

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/abrahamic | 33 Baihaqi, Y. (2017). Moderasi Hukum Keluarga Dalam Perspektif Al Qur’an. Istinbáth;

Jurnal of Islamic Law, 16(2), 25. https://doi.org/10.20414/ijhi.v16i2.10

Diyani, T. (2019). Implementasi Paradigma Islam Wasathiyah; Strategi Menjaga Masa Depan Keindonesiaan. SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i, 6(3), 303–316.

https://doi.org/10.15408/sjsbs.v6i3.13193

Djubaedi, D., S, A. B., & Ahdar. (2022). Meningkatkan Motivasi Mahasiswa dalam Membangun Jiwa Nasionalisme melalui Program Sabbatical Leave. Jurnal Abdimas Le Mujtamak, 1(2), 78–92. https://doi.org/10.46257/jal.v1i2.363

Faiqah, N., & Pransiska, T. (2018). Radikalisme Islam Vs Moderasi Islam: Upaya Membangun Wajah Islam Indonesia Yang Damai. Al-Fikra : Jurnal Ilmiah Keislaman, 17(1), 33.

Fathurrochman, I., & Muslim, A. (2021). Menangkal Radikalisme Dengan Penguatan Pendidikan Karakter Nasionalisme Melalui Amaliyah Aswaja di SD Islamiyah Magetan. QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, 13(2), 801–818.

https://doi.org/10.37680/qalamuna.v13i2.1071

Firman, Indriawati, P., & Basri, B. (2022). Penguatan Islam Wasathiyah melalui Organisasi Lembaga Dakwah Kampus. Jurnal Mu’allim, 4(2).

https://doi.org/10.35891/muallim.v4i2.3093

Fuad, A. J. (2020). Akar Sejarah Moderasi Islam Pada Nahdlatul Ulama. Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman, 31(1), 153–168. https://doi.org/10.33367/tribakti.v31i1.991 Hadziq, A. (2019). Nasionalisme Organisasi Mahasiswa Islam dalam Menangkal

Radikalisme di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta. Jurnal Pendidikan Agama Islam Al-Thariqah, 4(1), 50–59. https://doi.org/10.25299/al- thariqah.2019.vol4(1).2791

Hannan, A. (2018). Islam moderat dan tradisi popular pesantren: Strategi penguatan Islam moderat di kalangan masyarakat Madura melalui nilai tradisi popular Islam berbasis pesantren. 13(2), 153.

Ibrahim, & Haslina. (2018). The Principle of Wasaṭiyyah (Moderation) and the Social Concept of Islam. Journal Of Ilamic Sciences And Cparative Studies, 2(39), 21.

Junaidi, & Ninoersy, T. (2021). Nilai-Nilai Ukhuwwah dan Islam Wasathiyah Jalan Moderasi Beragama di Indonesia. Jurnal Riset dan Pengabdian Masyarakat, 1(1), 89–100. https://doi.org/10.22373/jrpm.v1i1.660

Kamisa. (1997). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Kartika.

Kementrian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Copyright.

Lestari, G. (2016). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan SARA. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(1), 7.

Marhamah. (2018). Pendidikan Dayah dan Perkembangan di Aceh. Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam, 10(1), 72.

Mohan, M. S. C., & Hakim, M. L. (2022). Konsep Tawassuth Sebagai Upaya Preemtif Dalam Pencegahan Aksi Terorisme (Studi Komparatif Buku Moderasi Beragama Kementrian Agama Ri Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018). Syifa al-

(18)

Qulub: Jurnal Studi Psikotrapi dan Sufistik, 6(2), 8.

https://doi.org/10.15575/saq.v6i2.14233

Mujiburrahman. (2013). Islam Multikultural: Hikmah, Tujuan, dan Keanekaragaman dalam Islam. 7(1), 70.

Muna, Moh. N. (2020). Moderate Islam In Local Culture Acculturation: The Strategy Of Walisongo’s Islamization. Islamuna: Jurnal Studi Islam, 7(2), 166–184.

https://doi.org/10.19105/islamuna.v7i2.3661

Muslimin, M., & Fikro, M. I. (2021). Islam Wasathiyah dalam Perspektif Santri.

Edukais : Jurnal Pemikiran Keislaman, 5(1), 1–12.

https://doi.org/10.36835/edukais.2021.5.1.1-12

Muthohirin, N. (2015). Radikalisme Islam dan Pergerakannya di Media Sosial. Afkaruna, 11(2), 240–259. https://doi.org/10.18196/aiijis.2015.0050.240-259

Nur, A., & Lubis, M. (2015). Konsep Wasathiyah Dalam Al-Qur’an. 4(2), 209.

Nurhadi, R. (2017). Pendidikan Nasionalisme-Agamis dalam Pandangan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari. Cakrawala: Jurnal Studi Islam, 12(2), 121–132.

https://doi.org/10.31603/cakrawala.v12i2.1716

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (2015). Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna. Yogyakarta: PP Muhammadiyah.

Ri, K. (2019). Lukman Hakim Saifuddin: Gagasan—Kinerja: Moderasi Beragama dan Transformasi Kelembagaan Pendidikan. Jakarta: Rehobot Literature (Bersama dengan Ditjen Bimas Kristen RI).

Rijal, F. (2016). Nasionalisme Ulama Dalam Penangkalan Paham Radikal Di Kalangan Santri Dayah Tradisional Di Aceh. Kalam; Jurnal Agama dan Humaniora, 4(1), 29. http://journal.lsamaaceh.com/index.php/kalam/article/view/16

Siahaan, H. E. (2017). Mengajarkan Nasionalisme Lewat Momentum Perayaan Paskah:

Refleksi Kritis Keluaran 12:1-51. DUNAMIS: Jurnal Penelitian Teologi dan Pendidikan Kristiani, 1(2), 140–140. https://doi.org/10.30648/dun.v1i2.119

Syu‘aibi, A. (2010). Meluruskan Radikalisme Islam Terj. Muhtarom. Jawa Timur: Duta Aksara Mulia.

Winarti, M. (2017). Mengembangkan Nilai Nasionalisme, Patriotisme, dan Toleransi Melalui Enrichment dalam Pembelajaran Sejarah tentang Peranan Yogyakarta Selama Revolusi Kemerdekaan. Historia: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 1(1), 13–13. https://doi.org/10.17509/historia.v1i1.7004

Yunanda, R. (2019). Radikalisme Dalam Persfektif Islam Dayah Di Aceh. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama, 2(2), 140.

All publication by Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama are licensed under a Lisensi Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan di Masjid Aljihad Jalan Abdullah Lubis Kota Medan tentang metode ceramah ustadz dalam memotivasi para pemuda dimasjid

adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa (gula) yang.. dilanjutkan dengan

Todd Johnson, seorang manajer proyek senior di FASB yang menyatakan bahwa dewan memerlukan penggunaan yang lebih besar dari pengukuran fair value dalam laporan

Impregnasi serat kaca dalam matriks polimer memegang peranan yang penting untuk meningkatkan sifat mekanis resin akrilik, impregnasi yang tidak baik dapat menurunkan

Berdasarkan tabel 4.2, nilai-nilai yang ada diberikan untuk variabel- variabel pada motor DC.Untuk memudahkan pemanggilan variabel, maka semua nilai dan variabel di atas

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematika Dasar, 2010 16... Perhatikan sistem

Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilaria dalam darah seringkali tidak subkutan dan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kinetika reaksi oksidasi minyak ikan tuna (Thunnus sp) selama penyimpanan dengan menentukan besarnya energi aktivasi (Ea) dan