• Tidak ada hasil yang ditemukan

artikel dr.doly.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "artikel dr.doly."

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

Demo

:

Penatalaksanaan

Epistaksis

Dr, Bestari Jaka Budiman, Sp. THT-KL(K)

Dr. Dolly lrfandy, SP.THT-KL

Bagian llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr.M.Djamil Padang

ANATOMI HIDUNG

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi pada bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut

nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dindrng medial, lateral, inferior dan superior r.

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang

rawan. Bagian tulang terdiri dari larnina perpendikularis os ehnoid, vomer, krista nasalis

os. rnaksila, kista nasalis os. palatina. Bagian tulang rawan septum adalah kartilago

septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada

bagian tulang. sedangkan diluamya dilapisi mukosa. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, media, superior dan konka suprema. Konka inferior,

merupakan konka terbesar dan merupakan fulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid sedangkan konlia media, superior dan suprema merupakan bagian dari

labirin etmoid.

Pada rongga hidung terdapat rongga sempit antara konka dan dinding lateral hidung yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yatu meatus inferior, terletak antara konka inferior dan dasar hidung dan disini terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media

terletak antara konka media dan dinding lateral rongga hidung, disni terdapat muara sinus

frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Meatus superior merupakan ruang antala konka superior dan konka media dan disini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoid.

*"-i-i

-Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh osi Maksila dan

os. Palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lanina

kibriformis yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kibrosa

(2)

PERDARAHAN HIDUNG

Mukosa nasal mempunyai cabang-cabang pembuluh darah yang sangat banyak.2

'

Perdarahan hidung berasal dari cabang terminal a. Karotis ekstema dan a. Karotis intema 3 Bagian atas rongga hidung mendapat perrlarahan dari a. Etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. Oftalmika dari a. Karotis interna.l Walaupun hanya dinamai

dengan anterior dan posterior, arteri etmoid mungkin terdiri lebih dari dua pembuluh darah.z Bagian bawah rongga hidung rnendapat perdarahan dari cabang a. Maksilaris interna dintaranya a. Palatina mayor tlan a. Sfenopalatina yang keluar dari foramen

sfenopalatina dan memasuki rongga hirlung di belakang ujung posterior konka media.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. Fasialis. Pada bagian

depan septum nasi terdapat little's area alau plexus kiesselbach yang merupakan gabungan

dari pembuluh darah kecil yang berasal dari arteri etmoid anterior, arteri palatina mayor dan arteri labialis superior yang merupakan cabang a. fasialis. Bagian superior dari mukosa

hidung diperdarahi oleh arteri etmoid.r

[image:2.381.59.338.223.325.2]

@e @a

Gambar Perdarahan hidungl

Vena-vena hidung mernpuyai narna yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan stru]<tur luar hidung bermuara ke v. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak mernpunyai katup, sehingga merupakan faktor predisposisr untuk mudahnya penyebaran inleksi sampai ke

(3)

EPISTAKSIS

Sumber perdarahan dari hidung pada umumnya dibagi dua yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior (90

-

95%). Epistaksis anterior ini bisa te{adi spontan atau disebabkan tauma pada septum

nasl.

l. Epistaksis anterior

Sumber perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach atau dari arteri efinoidalis anterior. Perdarahan dari pleksus Kiesselbach paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak (gambar 2). Perdarahan biasanya tidak begitu hebat, sering

berhenti spontan, mudah diatasi dan bila pasien duduk, darah akan keluar melalui

Iubang hidung.r'2

C6'ffho oari. d{@ltyndlrr

solvre Xi!..{bdrl

[image:3.381.49.339.64.291.2]

Hrd Frrr. (@f or 0P

Gambar 2. Pleksus Kiesselbach (little area, anastomosis a. etmoid anterior dan posterior, a. sfenopalatina cabang septal,a.palatina mayor, a. labialis superior) 2. Epistaksis posterior

Sumber perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior.

(gambar 2). Epistaksis posterior bersifat rnasif dan dapat mengancam nyawa. Penyebab epistaksis masif ini umumnya tidak diketahui, sehingga perlu anamnesis

yang hati-hati dan cermat untuk mencari faktor resiko, yang tersering adalah menggunakan obat-obatan anti pembekuan darah dan pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, penyakit kardiovaskular atau penyakit sistemik

larnnya. Perdarahan biasanya hebat danjarang berhenti spontan sehingga memerlukan

(4)
[image:4.381.47.291.42.147.2]

Gambar 3.Pleksus l{oodruff(anastomosis a. sfenopalatina, a. palatina descenden dan kontribusi kecil dari a. etmoid posterior)

Penyebab dari epistaksis dapat

di

bagi menjadi akibat lokal dan sistemik, bagaimanapun yang terbanyak (80-90 %) adalah idiopatik (tabel I ). r

Tabel l. Faktor resiko dan penyebab episraksis l

LOCAL CAUSES OF' EPISTAXIS SYSTEMIC CAUSES OF EPISTAXIS Traumatic

Nasal fracture with disruption of the

nasal mucosa

Nasal surgical procedures Nasal intubation Digital trauma

Antihistamine and steroid nasal sprays Cocaine, snuff, and heroin sniffing Nasal oxygen or continuous positive airway pressure

Nasal foreign bodies

Coagulation deficits Thrornbocytopenia Acquired coagulopathies

Congenital coagulopathies

Vitamin A, D, C, E, or K deficiency Liver disease

Renal failure Chronic alcohol abuse Malnutrition Polycythemia vera

Multiple myeloma

Anticoagulant

drugs

(aspirin,

nonsteroidal antiinflammatory drugs,

heparin, Coumadin) Leukemia

Structural

Nasal septal deformity (deflections

and spurs) Septal perforations

Vascular disease Arteriosclerotic Collagen abnormalities

Hereditarv hemorrhagic telangiectasia

Inflammatory disease

Viral upper respiratory infections

Bacterial sinusitis

Allergic rhinitis

Pyogenic granuloma

Granulomatous diseases (Wegener's granulomatosis.tuberculosis,

sarcoidosis, syphilis)

Cardiovascular conditions that venous pressure (congestive heart

[image:4.381.41.371.239.550.2]
(5)

Environmental

irritants

(cigarette

smoking, chemicals, pollution)

Hypertension (unproven relationship)

TumorVvascular malformations Angiofibroma

Aneurysms

Epidermoid carcinomas Nasal papilloma

Adenocarcinoma Encephalocele Esthesioneuroblastoma Hemangioma

Pembuluh darah pada mukosa hidung berjalan sangat superfisial dan hampir tidak ada proteksi dan merupakan faktor penting dalam pecahnya pembuluh darah pada

epistaksis. rl

Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan aliut

atau tidak. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Beberapa cara megatasi perdarahan antara lain : l3

l.

Menekan cuping hidung

Langkah awal mengontrol perdarahan. Cara : pasien duduk dengan kepala ditegakkan,

[image:5.382.37.333.51.173.2]

kemudian cuping hidung ditekan ke arah septutn dapat dilakukan penekanan pada bagian kartilago hidung selama l5 menit, dengan cara.

(6)

-!

2.

Kauterisasi

Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dapat dilakrrkan kaustik dengan kauter l.imiawi (larutan nitras argenti AgNO320%-30%, asam trikloroasetat l0%,elektrokauter) dengan tekanan ringan pada lokasi perdarahan selama 5-10 detihatau dengan laser atau eleklrokauter di barvah anestesi lokal dengan

memberikan energi termal pada pembuluh darah hidung.

3. Tampon anterior

Bila dengan kauterisasi perdaraharr anterior masih terus berlangsung, atau sumber perdarahan tidak terlihat, diperlukan pemasangan tampon anterior, berupa :

a) Kapas atau pita kain kasa yang diberi vaselin dan dicampur betadin atau zat

antibiotika

[image:6.382.146.278.342.400.2]

,#

Gambar 5. Tarnpon anterior pita kmsa

b) Merosel : dibuat dari alkohol polivinyl, foam yang dikompresi dimasukan kedalam hidung dan akan membesar bila basah yang akan mengisi kavum nasi rnengakibatkan tekanan dialas sunrber perdarahan, keadan ini juga menjadikan

faktor lokal untuk terbentuk-nya clotting yang memfasilitasi pembekuan. Merosel mudah untuk dimasukan ke dalam hidung. Tingkat efektifitasnya 85 %, tidak ada

perbedaan dibandingkan dengan tampon kasa tradisionil.

Grnrbar 6. Tampon Merocel

c)

Rapid zno : mengandung karboksi metil selulosa. Rapid rino ini merupakan

materi hodrokoloid yang diperkaya agregator platelet dan menjad licin bila kontak dengan air. Rapid rino ini punya cuffyang digembungkan dengan udara.

:'w

Gambar 7. Tarnpon Rapid rino

ea

,m

(7)

Tarnpon anterior harus dilapisi dengan antibiotika topikal, dan pasien juga diberi antibiotika sistemik selain untuk mencegah infeksi juga untuk mencegah toxic shock

syndrome.3

4.

Tampon posterior

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon

[image:7.381.117.281.170.394.2]

Bellocq (gambar 8 ). Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon (gambar 9). Pada perdarahan anterior dan posterior dapat digunakan tampon pita kassadan balon kateter (gambar l0)

Gambar 8. Tampon Bellocq

[oht €lh.t.r

Gambar 9. Tampon posterior balon kateter

ffi

(8)
[image:8.381.70.262.48.141.2]

Gambar 10. Tampon anterior pita kassa dan tampon posterior balon kateter pada

epistaksis anterior dan posterior

5. Intervensi bedah

Beberapa intervensi yang dapat dilalukan

d) Diatermi

e) Operasi septum

Dilakukan untuk mengoreks;i septum yang deviasi atau mengangkat spina

septum yang menyebabkan epistaksis atau apabila perdarahan terjadi dari septum sendti.

$

Ligasi arteri, dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang lidak dapat

diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Ligasi arteri dapat dilakukan pada a. Sfenopalatina, a. Ethmoid anterior/posterior, a. Maksilaris ekstema dan a.

Karotis eksterna.

Komplikasi epistaksis dapat te!;rdi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat

usaha penanggulangannya.Akibat perdar:ftan hebat dapat terjadi syok dan anemia" iskemia otak insufisiensi koroner, infark miok;rrd dan akhirnya kematian. Akibat pemasangan

tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media bahkan septikemi4 sehingga pada setiap pemasangan tampon harus selalu diberil<an antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut

rneski akan dipasang tampon baru bila lnasih berdarah. Akibat rnengalimya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius, darat terjadi hemotimpanum dan air mata yang berdarah. Pada waktu pem.Lsangan tampcn Bellocq dapat terjadi laserasi palatum mole dan

(9)

Daftar Pustaka

l. Mangunkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin.T,

Restuti RD, editors. Buku ajar telinga hidung tenggorok kepala & leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI;2007. h. 155-9

2. Synderman CH, Carrau RL. Epistaxis. ln: Myers EN, ed. Operative Otolaryngology Head and

Neck Surgery. 2d ed. Philadelphia: Saunders, Elsevier in corp ' 2006. p7-16

3. Cumnnng CW, Flint PW, Haughey .BH, Robbins KT, Thomas JR. Harker LA, et al.

Otolaryngology head & neck surgery. 4rd edition. Philadelphia.Elsevier Mosby;2005. p. 943-9

4. Wormald PJ. Epistaxis. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors.Head & Neck

Strrgery-Otolaryngology.4'r edition. Philadelphia: Lipincolt Williams & Wilkins; 2006. p.50s-14.

5. Nguyen QA. Epistaxis. Available fiom: http://www.emedicine.medscape.com.Accesed octobe120h, 20 1 1.

6. Kucik CJ, Clenney T. Managementof epistaxis. Am Fam Phy 2005;71(2):305-l l.

(10)

,.Demo

:

Penatalaksanaan Benda

Asing

Hidung

Dr. Effy Huriyati, Sp. THT-KL

Dr. Dolly lrfandy, Sp.THT-KL

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedolleran Universitas AndalaVRS UP Dr.M.Djamil Padang

Benda asing di hidung pada anal merupakan kasus yang sering dijumpai. Angka kejadian benda asing hidung cukup banlrak ,terutarna pada anak balita, sering pada anak

yang hiperaktif atau sebaliknya pada ani& dengan retardasi mental, namun kasus ini juga sering dijumpai pada orang dewasa dengan retardasi mental. Benda asing hidung dapat

berupa benda asing organik dan anorganik. r'2

1. Benda asing organik seperti lintah (sering kita jumpai pada petani yang bekerja disawah,dirawa), larva lalat dll

2. Benda asing anorgani&, adalah segala substansi yang tidak bergerak yang cukup

[image:10.381.54.338.201.492.2]

kecil dan dapat masuk dalam rongga hidung seperti baterai cakram, manik-manik, kerikil, kertas/tisu, mainan logam kecil dll.r

Gambar l. Jenr s-jenis benda asing di hidung

(11)

.l lt,

,./lliFESS

.L

.

.,.. .r.n\wr H\\,, H.,,,U,r,E,,

.tut,r,J\t,,tnr, r\tr,kir!,,t r\,1,,\,\,\-t), (,r,,,,tt,\,Lr\rv!,,|t(,tr, . r\trx,1r\,1,,\,{r

Endonasal

prelacrimal

approach

to remove

impacted

tooth in

Maxillary

Sinus

Dolly

Irfandy,

Bestari Budiman,

Arsia

Dilla

Faculty of Medicine Andalas University/ Dr. M. Djamil Hospital

Padang

ABSTRACT

Background:

Dentigerous cysts ar€ odontogenic cyst derived

from

the crown

of

the

impacted teeth, ectopic teeth

or

from

unerupted

teeth.

These

cysts

are

generally

more

in

men. Approximately

30%

of

these cysts arise

from the

ma,rilla.

Purpose: There are several approaches

to

treat this cyst, this

case reported

with pre

lacrimal

approach

with

endoscopic. Case: Reported a case

of

a male 24 years old

with

swelling in right cheek that enlarged slowly during 1.5 years with a history

of

dental pain, results

of

a

CT

scan

of

paranasal sinuses is

suspected

as

a

dentigerous

cyst.

Management:

Extirpation using endoscopic

with

prelacrimal approach. Operarive ftnding

found a molar teeth and cyst in right maxillary sinus- Patfiologic Anatomy finding was similar to dentigerous cysts. Conclusion:

Dentygerous

cyst

in

maxillary

sinus was

a

cyst that

usually come

form

impacted

or

ectopic teeth. The involvement

of

the

maxillary sinus can lead to the severity of symptoms in patients

with

these cysts. There are various approach

to

this case, but

we choose preJacrimal approach with endoscopy because it has

a minimum risk and high success rate.

Keywords: Dentygerous cyst, maxillary sinus, impacted tooth, prelacrimal approach with endoscopy

(12)

Endonasal

Prelacrimal Approach

to

Remove

Impacted Tooth

in

Maxillary

Sinus

Dolly

Irfandy,

Bestari

Budiman,

arsia

Dilla

Abstrak

Pendahuluan:

Kista

dentigerus

adalah

kista

odontogenik

yang

berasal

dari

mahkota gigi

yang

impaksi,

gigi

ektopik

atau

gigi

yang

tidak tumbuh.

Kista

ini

umunnya

lebih

banyak pada

laki-laki

dibandingkan perempuan. Sekitar 70% dari

kista

ini

muncul

pada

daerah

mandibula

dan

30Yo

pada

maksila.

Terdapat beberapa pendekatan

untuk

penatalaksaan

kista

ini.

Pada

kasus

ini

dilaporkan

pendekatan secara

maksilektomi

mediai

perendoskopik.

Laporan

Kasus:

Dilaporkan

satu kasus seorang

laki laki

24 tahun dengan bengkak pada

pipi

kanan

yang

membesar secara perlahan selama 1,5

tahun

dengan

riwayat

sakit

gigi,

dan

hasil

CT

scan sinus paranasal

dicurigai

sebagai

kista

dentigerus. Penatalaksanaan

dengan dilakukan ekstirpasi mengggunakar

teknik

maksilektomi

medial

perendoskopik. Ditemukan

adanya

gigi

molar

dan

kista

di

dalam sinus maksila

kanan. Hasil

patologi anatomi

sesuai

untuk kista

dentigerus.

Kesimpulan:

Kista

dentigerus pada sinus

maksila

adalah

kista yang muncul

perlahan yang biasanya

berasal

dari

gigi

yang

impaksi

atau

gigi

ektopik. Keterlibatan

sinus maksila dapat

mengakibatkan beratnya gejala pada pasien

ini.

Terdapat berbagai

pendekatan

untuk

kasus

ini,

yang

dipilih

adalah

maksilektomi medial perendoskopik

karena

memiliki risiko

yang

paling minimal dan memiliki

angka

keberhasilan lebih

tinggi.

Kata

Kunci:

Kista

dentigerus,

sinus

maksilla,

maksilektomi

medial

perendoskopik

Abstract

Introduction:

Dentigerous cysts is odontogenic cyst

derivedfrom

the

crown

of the

impacted teeth,

ectopic

teeth or

from

unerupted

teeth.

These cysts

are generally

more

in

men

than

in

women.

Approximately

70oh

of

these cysts afise

from

the

mandibular region and

30ok

of

the

maxilla.

There

are

several approaches

to treat

this

cyst, this case

reported approach

with

endoscopic

medial maxillectomy.

Case

report:

Reported

a

case

ofa

male 21

years

old

with

swelling

in

right

cheek

that

enlarged

slowly

during

I .5 years

with

a

history of

dental

pain

, and

the results

of

a

CT

scan

of paranasal

sinuses

is

suspected as

a

dentigerous cyst. Management

extirpation using

endoscopic

medial

maxillectomy. Operatite

./inding Found

a

molar

teeth and cyst

in

the

right

maxillary

sinus,

Anqtomic

Pathologt

results suite

lo

dentigerous

cysts.

Conclusion:

Dentygerous

cyst

in

maxillary

sinus

is

4

cyst

that

usually

came

form

impacted

or

ectopic teeth. The

involvement

of

the

maxillary

sinus can lead

to

the

severily of

symptoms in

patients

with

these cysts. There

are various

approach lo

this

case,

but

we choose endoscopic

maxillectomi

medial becoause

it

has a

minimum

risk and high success rate.
(13)

PENDAHULUAN

Kista

dentigerus

adalah

kista

odontogenik

yang

berasal

dari

mahkota

gigi

yang

impaksi, gigi

ektopik

atau

gigi

yang

tidak

tumbuh. Kista

ini

merupakan

lesi

kistik

yang

paling umum dari

rahang

setelah

kista radikular. Kista

dentigerus secara

klasik

diartikan

sebagai

lesi

kistik

yang

disebabkan

oleh

pemisahan

dari

folikel

disekitar mahkota

dari

gigi

yang

tidak tumbuh. Kista

dentigerus mulanya

diberi

nama kista

folikular

karena

kista

ini

berasal

dari folikel

gigi

yang

merupakan bagian

dari

struktur mesodermal. l-7

GIGI PERMANEN 1-4 untul ajtt p€.,i.n€nt

I - rahantat.skanan

2 = rahant atas kiri

3. r.hangbawah kti

4 = rehant b.wah lanan

1817 16 15 14 13 12 11 2122 23 24 23 26 27 2a aa at rcas

uti tztl!r

32 33 34 35 36 37 38

l)s

U

LCUrL.l

J

J.1,l

u ltirt

,,'rr

fr'

f/

lPf

I

fl

Tt(

1l'r{t't.'t

Gambar 1.

Nomenklatur gigi permanen

Patofisiologi

Kista

dentigerus

berasal

dari

enamel

gigi

setelah

terjadi

amelogenesis

yang

komplit. Kista

dentigerus

muncul

akibat

akumulasi

dari

cairan

antara

gigi

yang tidak

erupsi

dengan daerah

sekitar

gigi

yang enamel epitelnya berkurang.l'3

Cairan yang muncul

ini

bersifat

hiperosmolar

karena

adanya

albumin,

immunoglobulin

dan

debris

epitel

skuamosa.

Cairan

hiperosmolar

ini

menyebabkan

masuknya

cairan

ekstraselular

ke

dalam

kista

sehingga

mengakibatkan membesamya

kista. Lapisan

epitel dari kista

ini

mensekresikan kolagen dan

faktor aktivasi

osteoklas yang menyebabkan reasorbsi

tulang

lokal

yang

menyebabkan

semakin

membesamya ukuran kista.16

Gambaran

Klinis

Penderita

kista

dentigerus biasanya

datang dengan bengkak

pada

sisi

yang terkena

yang

tidak

disertai nyeri.

Kista

ini

dapat bersifat

asimptomatis

jika

berada

dalam

ukuran

kecil.

Jika

pada

palpasi

pembengkakan

ini

teraba keras,

hal

ini

mengindikasikan

adanya

ekspansi

ke

tulang.a

Jika

terjadi

perluasan

dengan

struktur disekitamya

seperti sinus maksila,

atau

terjadi

infeksi

sekunder,

pasien dapat

Epidemiologi

Kista

ini

umunnya

lebih

banyak

pada

laki-laki

dibandingkan

perempuan.

Kista

ini

muncul

pada dekade dua sampai

tiga kehidupan. r'2'3'6

Sekitar

70%

dari

kista

ini

muncul

pada

daerah mandibula

dan 30%

pada

maksila.

Kista

dentigerus

dapat

berasal

dari

gigi

impaksi,

gigi

supernumary

(adanya

satu

atau

lebih

elemen

gigi

melebihi

jumlah gigi.

yang

normal), gigi

ektopik

atau akar

gigi

yang ditemukan

di

dalam

sinus maksila.l'sAdapun

gigi

yang

paling

sering

terlibat

adalah

gigi

molar

ketiga

mandibula

dan

gigi

kaninus

maksila,

kemudian

dikuti

oleh

gigi

premolar mandibula

dan

gigi

molar

tiga

maksilla.l'2'3'5'7

Kista

dentigerus sangat

jarang

berasal

dari

gigi

ektopik

yang

tumbuh

di

sinus

maksilla.l

Kista

dentigerus

yang

berhubungan

dengan

gigi

supernumary

sekitar hanya sekitar 5-6%

dari

semua

kista

dentigerus,

dan

90

%

berasal dari

meisodens

maksila

(gigi

supemumerary

di

(14)

mengeluhkan

adanya

nyeri

pada

wajah,

sumbatan

hidung,

gejala

sinusitis

dan

adanya deformitas

wajah

dengan

gejala seperti abses, perubahan saraf sensorik dan

pembentukan fistuia.a's

Jika

pasien datang

dengan

rasa

nyeri dan

pembengkakan

berlangsung

cepat,

hal

ini

akibat

telah terjadinya

proses

infl amasi.3

Gambaran Radiologi

Kista

dentigerus

umumnya

ditemukan secara

tidak

sengaja

pada

pemeriksaan

radiologi

rutin

atau

pada

pemeriksaan

radiologi

yang

bertujuan

untuk

mengetahui kenapa

ada

gigi

yang

tidak

tumbuh.

Kista

dentigerus

pada pemeriksaan panoramik ditemukan sebagai

gambaran

radiolusen

unilokular,

berbatas

sklerotik

yang

tegas, berhubungan dengan

mahkota

gigi

yang

tidak

erups i.1'2'3 '6'7 '13

Pemeriksaan

CT

scan pada

kista

dentigerus

dapat memberikan

gambaran

tulang yang lebih

jelas

sehingga membantu

memberikan

informasi

mengenai

keterlibatan

tulang

dan perluasan

dari kista

dentigerus

ini.

Gambaran

CT

scan

pada

kista

dentigerus

yang

berada

di

sinus

maksila

dapat

memperlihatkan

adanya

"tooth

like

density" pada

lesi

kistik

di

dalam sinus

yang

terlibat.

Pada

pemeriksaan

MRI,

gambaran

gigi

dapat

tidak

terlihat atau

tampak

gambaran

hipointens dan cairan kista lz

ipointens

pada

T1 dan

hiperintens

padaT2.l's

Histopatologi

Kista

dentigerus

dibatasi

oleh

lapisan

dari epitel

skuamosa berlapis

tidak

berkeratin,

yang

terdiri

dari

2-4 lapis

sel

dan

elemen

keratin

jarang

ditemukan di

dinding

dalam kista.

Kista

ini

dikelilingi

oleh

jaringan

ikat

yang mengandung epitel

respirasi.

Juga

ditemukan

sel silia,

sel

kuboid, sel

kolumnar,

hyaline body

dan

jugaditemukkan

invasi

dari

sel radang.l'7'13

Stroma

jaringan

ikat

pada

kista

ini,

akan

menunjukkan gambaran

dari

tipe

primitif

dari

ektomesenkim.

Temuan

histologi

untuk kista dentigerus

didasari

oleh

terinfeksi atau

tidak

terinfeksinya

kista dentigerus tersebut. 7'13

Pada

kista

dentigerus

yang

tidak

meradang, ketebalan

lapisan

epitel

dapat

muncul

dengan lapisan

jaringan

ikat

fibrous yang

tersusun

longgar.

Lapisan

pembatas

kista yaag

berasal

dari

epitel enamel

berjumlah

sekitar

2-4 lapis

dengan

bentuk yang

berasal

dari

ektomesenkim

yang

primitif.

Bentuk

selnya

adalah

kuboid,

atau

kolumnar

pendek.

Formasi

retepegs

tidak

ditemukan,

kecuali

pada

kasus dengan

infeksi

sekunder.

Karena

dinding

jaringan ikat

berasal

dari

folikel

gigi

dari

enamel

organ

yang

sedang

berkembang,

maka

stroma

jaringan

ikat

longgamya

kaya

dengan

asam

mukopolisakarida.?

Pada

kista

dentigerus

yang

meradang, gambaran

sel

epitel

akan

mennnjukkan

adanya

hiperplasia

dai

rete

ridges

dan

dinding kista

yang

fibrosa

akan

menunjukkan

infiltrat

sel radang. Fibroblas muda akan

muncul

pada stroma. Pembatas

sel

dapat

menunjukkan

adanya perubahan

metaplasia

dari

bentuk

sel

yang

memproduksi

mukus

atau

sel

skretorik

seperti sel goblet.T

Diagnosis

Banding

Diagnosis

banding

untuk

kasus

kista

dentigerus

adalah

uniksitik

ameloblastoma, adenomatoid odontogenik

tumor

(AOT),

stadium awal

dari

kista

Gorlin,

ameloblstik fibroma,

ameloblastik

fibro-odontoma,

odontogenik keratosit.

Unikistik

ameloblastoma

biasa
(15)

30 tahun, sebarannya sama rata,

baik

pada

laki-laki

ataupun

perempuan, memiliki

tendensi

untuk

kambuh pada

mandibula

bagian posterior dan

berhubungan dengan

mahkota

dari

gigi

molar

tiga

yang

tidak

erupsi.

AOT

umunnya muncul

pada

dekade

kedua,

mengenai perempuan

dua

kali

lebih

banyak dibanding

laki-laki,

tempat

predileksinya

terbatas pada

maksila

anterior

dan

74%

berhubungan

dengan

mahkota

dari

gigi

taring yang

tidak

tumbuh.

Kista Gorlin

umumnya tumbuh

pada

daerah

incisivus

dan

caninus.

Ameloblastik

fibroma

merupakan

jenis

tumor

yang

tidak

umum,

biasanya

muncul

pada dekade kedua,

lebih

sering pada

laki

laki,

umumnya

ditemukan

pada mandibula

posterior,

dan

75Yo

berhubungan

dengan

gigi

yang tidak

erupsi.

Odontogenik

keratosit

dapat

dijumpai

mulai dari

anak

sampai

dewasa,

umumnya

dijumpai

pada

bagian

posterior

dari

ramus

mandibula,

dan

25%-40%

kasus

ini

berhubungan

dengan

gigi

yang

tidak

erupsi. I

Kista

dentigerus

dan

beberapa

tumor

jinak

dengan tertanamnya

gigi

di

dalamnya,

menunjukkan

kesamaan bentuk

dalam radiografi. Tumor-tumor

jinak

itu

diantaranya

adalah

ameloblastoma

dan

tumor

odontogenik

adenomatoid,

ameloblastik

fibroma,

ameloblastik

fibro-odontoma dan odontogenik

keratosit.

r'8

Terapi

dan Prognosis

Terapi

definitif untuk

kasus kista

dentigerus adalah dengan membuang

kista

dan

gigi

impaksi

yang

ikut

terlibat.r

Prognosis

untuk

kasus

kista

dentigerus

adalah

baik,

kekambuhan sangat jarang

ditemukan.6'7 Pada semua

kista

dentigerus,

semua gambaran

mikoskopiknya

harus

diperhatikan,

untuk

menyingkirkan

terjadinya

transformasi

menjadi

ameloblastoma

atau

karsinoma

sel skuamosa.T'lo

Tatalaksana Kista Dentigerus

Secara

umum,

kista

maksila

dapat

diterapi

dengan

marsupialisasi,

enukleasi,

penggunaan

teknik

Caldwell

Luc

dan

graft

tulang

dengan

pendekatan

intraoral.

Karena

indikasi untuk

operasi bedah sinus

telah

meluas,

telah

dilaporkan

beberapa

kasus

kista

odontogenik dan

tumor

yang

diterapi secara

endoskopik,

namun

demikian,

tidak

selalu mungkin

untuk

mengenukleasi

lesi

ini

pada

semua

kista

hanya

dengan

teknik

endoskopi

saja.9' 11'lz't+'t s

Maksilektomi

Medial Perendoskopik

Maksilektomi

medial

adalah

prosedur

yang aman dan

efektif

untuk

tatalaksana

beberapa

kasus

kista

odontogenik. Terdapat beberapa

cara

untuk

melakukan maksilektomi

medial

perendoskopik

seperti

yang

akan

dijabarkan

berikut

ini.

Dilakukan

insisi

pada meatus

inferior

pada perbatasan

dari

dinding lateral

dengan

lantai

karum

nasi.

Dilakukan

inferior

meatotomi

pada

ujung

anterior

dari

meatus. Gunakan

pahat

lurus

untuk

memahat

dinding

sinus maksila.e,l 1,12,14,r5,17

Batas anterior

dari

reseksi ini

adalah perlekatan anterior

dari

konka

media

ke

dinding lateral

karum

nasi

hingga

prosesus

unsinatus

dapat

juga

sampai

ke

krista

maksila

dan

duktuss

nasolakrimal. Osteotomi

ini

berada di

anterior

dari

kanal

nasolakrimal.

Dinding

lateral

dibuka

sehingga terdapat

jala

masuk

ke

sinus

maksila

sehingga

jika

ada massa

atau

kista

yang

berada

di

sinus

maksila

dapat terpapar dengan

baik.

Diperlukan

penggunaan

hopbin

telescope

30'

dan

70'

agar dapat

melihat

secara keseluruhan

dari

dinding

superior,

lateral,

inferior

dan
(16)

maksila

dapat dibersihkan dengan

baik. [image:16.599.83.280.118.287.2] [image:16.599.366.480.174.321.2]

Jika perlu,

dapat

dilakukan

pengeboran dari

dinding

sinus maksila.17

Gambar

2.

Ilustrasi

skematik

untuk

bats

reseksi

pada

maksilektomi

medial perendoskopik secara transnasal

LAPORAN

KASUS

Seorang pasien

laki-laki

berusia 24

tahun

datang

ke

poliklinik THT-KL

sub

bagian Rinologi RSUP

Dr.

M.

Djamil

Padang pada

tanggal2llldarct

2015 dengan

keluhan utama bengkak

di

pipi

kanan yang

membesar

secara perlahan.

Keluhan

bengkak

di

pipi

kanan sudah

dirasakan

sejak

1,5

tahun yang

lalu.

Mulanya

bengkak berukuran

kecil,

makin

lama

makin

membesar. Sebelumnya

pasien

mengeluhkan

nyeri

di

sekitar

gusi

bagian atas. Pasien selama

ini

berobat

ke

dokter

gigi

untuk

meredakan

rasa

nyeri

di

gusinya,

sampai

akhimya

bengkak

di

pipi

kanan pasien

semakin membesar,

pasien

pun

disarankan

untuk

berobat

ke

dokter

THT

oleh dokter gigi.

Kemudian

pasien

berobat

ke

dokter

THT

di

salah satu

RS

swasta

di

Padang

dan

diajurkan

untuk

dilakukan

CT

Scan. Setelah

hasil CT

scan

keluar, pasien

dilakukan pungsi

dan

irigasi

sinus maksila, 2

minggu

sesudah

itu

pasien

kembali

ke

RS

swasta tersebut

dengan

keluhan

keluar

darah

dari

hidungnya

dan pasien disarankan

untuk

ke RS

M.Djamil.

Tidak

ada riwayat

penurunan

penciuman,

tidak

ada

riwayat

keluhan

hidung

tersumbat sebelumnya,

tidak

ada

rasa ingus

mengalir di

tenggorok,

tidak

ada

ingus kental,

tidak

ada riwayat

keluar

darah

dan

nanah

dari

hidung dan

mulut.

Tidak

ada keluhan

bersin-bersin

lebih

dari

lima kali

jika

pasien terpapar

debu

atau

dingin.

Gambar 3. Foto pasien saat pertama kali datang. Tampak pembengkakan di pipi sebelah kanan.

Pada pemeriksaan

fisik

didapatkan

status generalis dalam batas

normal. Tidak

ditemukan

kelainan pada

pemeriksaan

telinga dan

tenggorok.

Pada pemeriksaan nasoendoskopi,

kawm

nasi kanan

sempit,

konka

inferior

edem, terdapat

sinekia

antara

konka

inferior

dengan

lantai kavum

nasi, konka media atrofi,

meatus

media

terbuka, terdapat

sekret

serous,

tidak

terapat

septum

deviasi.

Kavum nasi kiri

sempit,

konka inferior

edema,

konka

media

edema, meatus

media

terbuka,

terdapat

sekret

serous, terdapat

septum

deviasi (krista).

Pada

pemeiksaan oral

cavity,

tidak

ditemukan

gigi

molar 3

pada

regio maksila

kanan dan

kiri,

dan

molar

3

pada

regio

mandibula kanan dan

kiri,

tidak

ditemukan

adanya

fistula.

Pada

pemeriksaan regio maksila dekstra terdapat

edema

di

regio tersebut (gambar 3).

Hasil

CT

scan

yang dilakukan di

RS

swasta tersebut (gambar

4)

menunjukkan

adanya

lesi

isodense

pada

sinus maksilaris kanan

dengan

struktur

gigi

di

dalamnya. Pasien

didiagnosis

{

L

(17)

dengan suspek massa

terinfeksi

+

septum

deviasi, dengan diagnosis banding sinusitis

maksila

dengan destruksi

dinding

sinus

maksila

dan

pasien

disarankan

untuk

dilakukan

rontgen panoramik

dan

disarankan

untuk meminta

second

opinion

pada

radiolog

RSUP

Dr.

M.

Djamil

Padang, selanjutnya

pasien

diberikan

terapi

siprofloksasin

2

x

500

mg,

dan [image:17.598.75.269.397.488.2]

mehonidazole

3

x

500

mg,

dan

dianjurkan

kontrol

satu

minggu

.

Gambar 4. CT Scan sinus paranasal menunjukkan

adanya perselubungan di sinus maksila dekstra dan

tampak struktur gigi di dalamnya.

Grmbrr 5. Foto panoramik pasien yang menunjukkan

adanya kista dentigerus

di

sinus maksila kanan dan tarnpak struktur gigi di dalamnya

Pada

tanggal

10 maret 2015 pasien datang membawa

hasil

rontgen

panoramik

(gambar

5)

dan

didapatkan

hasil

tampak gambaran

gigi

molar

kemungkinan

besar

molar 3

geraham kanan atas

di

intra

sinus

maksilaris

kanan dengan

dinding

inferior

sinus

yang

sudah

tidak

terlihat

jelas

kemungkinan

destruksi tulang.

Tampak

impacted

M3

kanan dan

kiri

bawah, M3

kiri

atas.

Kesimpulan

suspek dentygerous

cysl

mencapai sinus maksilaris

kanan,

impacted 3 geraham kanan dan

kiri

bawah,

Ml kiri

atas.

Kemudian

pasien

dipersiapkan

untuk

dilakukan

ekstirpasi

kista

dentigerus pada

sub

bagian

rinologi.

Dilakukan

pemeriksaan

laboratorium

darah dan didapatkan

hasil

Hb

16,8 g/dl,

Leukosit

72.2001mm3,

Trombosit

240.000imm3,

PT

9,9

detik,

APTT

34,5

detik

yang

disimpulkan

masih dalam batas

normal. Pasien dikonsulkan

ke

bagian

anestesi

dan

disetujui

untuk

dilakukan

tindakan dalam anestesi umum.

Pada tanggal

26

Maret

2015

dilakukan tindakan maksilektomi

medial

perendoskopi

dalam

anestesi

umum.

Operasi

dilakukan

dengan

posisi

pasien

berbaring telentang

diatas meja

operasi

dalam

anestesi

umum

dan

dipasang

oral

pac,t.

Dilakukan tindakan aseptik

dan

antiseptik

pada

lapangan

operasi

dan

dipasang

duk

steril.

Operasi

dilakukan

pada lobang hidung kanan.

Dilakukan

pemasangan tampon

adrenalin

I

:

200.000

pada kedua lobang hidung selama

10

menit,

lalu

tampon dibuka.

Insisi

dilakukan pada

konka inferior

dekstra

untuk dijadikan

flap kira-kira 3 mm

dari

anterior

konka

inferior.

Kemudian

mukosa

konka

inferior

dilepaskan

dari

dinding

lateral hidung

dengan

raspatolium.

Kemudian

tulang dinding lateral

hidung

yang

merupakan

sisi medial

sinus

maksila

dipahat,

dan

dilebarkan

dengan

rongeur,

terlihat

massa

kistik

di

dalam

sinus

maksila. Kemudian

dicoba mengidentifi kasikan massa tersebut, massa

kistik

coba

dikeluarkan secara

intoto,

namun saat

proses

pengeluaran,

massa

tersebut pecah, dan

keluar cairan

kuning

kecoklatan, dan

ditemukan

gigi

pada dasar

kista, dan

gigi

dikeluarkan. Massa

kistik

dikeluarkan

dengan

cara dikuret

sampai

bersih. Ditemukan adanya

ostium

assesoris

sinus

maksila" kemudian

dilakukan

unsinektomi

untuk

melebarkan

dan

menggabungkan ostium

assesoriss dengan

ostium natural. Ditemukan pula

jaringan

l.t

aaE

7!--=;

(18)

seperti

polip

diantara prosesus

unsinatus

dengan

konka media, jaringan

tersebut

diangkat.

Perdarahan

dirawat.

Dilakukan

evaluasi

kawm nasi

sinistra,

tampak adanya

krista, namun

setelah

dinilai

krista

ini

tidak

mengganggu

aliran

KOM,

sehingga diputuskan

untuk tidak dilakukan

septoplasti pada pasien

ini

Dilakukan

evaluasi

akhir

pada sinus maksila

dekstra

dan

tidak

ditemukan

lagi

sisa

jaringan kista

dipasang

tampon anterior.

Tampon [image:18.598.84.260.273.463.2] [image:18.598.75.283.507.715.2]

difiksasi

dibagian luar. Operasi selesai.

Gambar 6, Temuan operasi di dalam sinus maksila

kanan, ditemukan selaput kista dan gigi molar

Pasca operasi

diberikan terapi drip

tramadol

dalam

1

kolf

IVFD

RL

8

jam/kolf,

Injeksi

seftriaksone

2

x

1

gr

intravena.

Injeksi

deksametason

3

x

5

mg

intravena.

Direncanakan

untuk

pengangkatan tampon keesokan harinya.

Gambar

7.

Foto pasien saat

kontrol

ketiga. Bengkak di pipi kanan sudah berkurang.

Pada

tanggal 27

Marel2015

(hari

pertama pasca

operasi) pasien

tidak

mengeluhkan

nyeri

kepala,

tidak

ada

air

mata

mengalir

terus

menerus,

pasien

mengeluhkan

ada rasa

nyeri

di

daerah

pipi

kanan dan ada

air

ludah

bercampur

darah.

Dilakukan

pengangkatan tampon anterior pada

kalum

nasi

kanan dan dilakukan

evaluasi tidak

terdapat

tanda

perdarahan.

Pasien

diperbolehkan

pulang

dan

disarankan

untuk kontrol ke

poli THT 3 hari

setelah

pulang

dari

rumah

sakit. Terapi

pulang

yang

diberikan kepada pasien

adalah

siprofloksasin tablet 2

x

500

mg

dan asam

mefenamat3x500mg.

Pada saat

kontrol

pertama 30

Maret

2015

(5

hari

setelah operasi),

pasien

mengatakan

bengkak

di

pipi

kanan

sudah

berkurang,

nyeri

di

pipi

kanan

sudah

berkurang,

hidung

kanan

tersumbat,

dan

tidak

ada keluhan mata berair. Pada

kavum

nasi

kanan

tampak

flap

yang

merupakan

konka

inferior dalam posisi baik,

tidak

terbuka, tampak

krusta

kecokatan,

dan

darah yang

membeku,

evaluasi

ostium

sinus

asesoris

yang

dihubungkan

dengan

ostium natural

menggunakan

scope

30'

tampak dalam

kondisi baik,

hanya terdapat

sedikit

krusta

disekelilingnya.

Krusta

dibersihkan dan

dicuci hidung

NaCl

0,9 %

3

kali

sehari

sebanyak

20

cc,

terapi

antibiotik

dan analgetik diteruskan.

Saat

kontrol

kedua

6

April

2015

pasien mengatakan bengkak

di pipi

kanan

sudah

berkurang, namun

terkadang masih

nyeri

jika

ditekan.

Pasien

tidak

terlalu

mengeluhkan adanya

hidung

tersumbat.

Pasien

juga

mengatakan

keluar

gumpalan darah

dari

hidung

dan

mulut

setelah

cuci

hidung. Pada

kavum

nasi

kanan,

ditemukan

flap

dalam

kondisi

baik,

tampak

kusta

kecoklatan

bercampur

seket

mukoid

yang kemudian dibersihkan,

ostium

assesoris

dievaluasi dengan

scope

I

\

L

a-l

il

(19)

30'

tampak dalam kondisi baik,

krusta

yang

berada disekitar

ostium

sudah

berkurang. Terapi

sebelumnya

dilanjutkan

dan ditambah pemberian ambroksol 3

x

30

mg peroral.

Pada

kontrol ketiga

13

April

2015

sebagian besar keluhan pasien

sudah

berkurang, hanya

tinggal

bengkak

di

pipi

kanan

yang belum hilang

seutuhnya,

tidak

ada

lagi

nyeri

di

pipi

kanan

saat ditekan,

tidak ada

lagi

keluhan

keluar

darah

menggumpal

dari

hidung

atau tenggorok

saat

cuci

hidung.

Pasien

juga

tidak

mengeluhkan

lagi

adanya

hidung

tersumbat.

Pada pemeriksaan

kalum

nasi

kanan,

flap

dalam

posisi

baik,

krusta

minimal, tampak

sedikit

sekret

seromukous

pada

kavum nasi

kanan,

dan

ostium assesoris dalam

kondisi

baik.

Pasien

datang

membawa

hasil

Patologi

Anatomi

dengan

hasil

tampak stroma

jaringan ikat

yang

sebagian udem,

mengandung

kelenjar

seromukous

yang sebagian

melebar dan

berisi

massa

amorf

eosinofilik.

Tampak

juga

pembuluh

darah

yang

melebar, stroma

bersebukan

ringan

limfosit dan sel

lasma,

diagnosis

nasal

polip.

Ditemukan

juga

potongan jaringan

yang

sebagian

dilapisi epitel

berlapis

gepeng,

sebagian

oleh epitel

respiratorius

dan

sebagian

dilapis

2-3

lapis

epitel.

Dibawahnya

tampak

jaringan

ikat

dengan

sebukan

sedang

limfosit dan

sel

plasma,

ada potongan

tulang rawan,

serta kristal

kolestrol. tampak

juga

bagian

yang

hiperemik hemoragik,

diagnosis

dentygerous

cyst

(gambar

8).

Terapi

antibiotik

dan

analgetik

pada

pasien

dihentikan,

pasien hanya

diberi

terapi cuci

hidung

NaCl

0,9%

3 x

20

cc

dan

ambroksol

3

x

30 mg

dan

disarankan

kontrol

2

minggu lagi

dan

direncanakan

untuk konsul

ke

bagian

gigi

dan

mulut

mengenai

gigi

impaksinya.

Gamtrar

8.

Tampak lapisan

kista

dengan

epitel respiratorius

DISKUSI

Telah dilaporkan

satu kasus kista

dentigerus

di

sinus maksila kanan

pada seorang

laki-laki

24 tahun yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaan

penunjang

seperti

nasoendoskopi

serta

CT

scan

sinus

paranasal

dan

dipertegas

dengan

hasil

patologi

anatomi.

Pasien

adalah seorang

laki-laki

berusia

24

tahun,

hal

ini

sesuai

dengan

kepustakaan

yang

mengatakan

bahwa

kasus

kista

dentigerus

lebih

banyak

terjadi

pada

lakiJaki

dibandingkan

perempuan.

Dengan kejadian banyak

muncul

pada dekade

2-

3 kehidupan.r'2'3'6

Pasien

datang

dengan

keluhan

utama bengkak pada

pipi

kanan

yang membesar secara

perlahan.

Hal

ini

sesuai

dengan banyak kasus

yang

ditemukan dikepustakaan

bahwa pasien akan

datang

dengan keluhan bengkak pada

pipi

yang

terkena

yang

membesar

secara

perlahan.l'a'6'? Pada beberapa kasus seperti yang dikemukakan

oleh

Mili

et

alro

bahwa

mereka

juga

pemah

mendapatkan

kasus

kista

dentigerus

yang

berukuran

sangat besar. dan ganggu penglihatan pasien.

Dengan adanya

keterlibatan

sinus

maksila pada pasien

ini,

semakin memperberat

kondisi

pasien, karena dapat

terjadi

destruksi

tulang

akibat

pembesaran

dari

massa

kista

ini

secara

perlahan.

ZfrI

f,s

E'rq

=rt-{

L-1

?

L(r

.a

(20)

Seperti

yang

dikutip

dari

Singh6

dan MhaskeT

bahwa

kista

dentigerus

memiliki

potensi

untuk

menjadi

sangat besar

dan

menyebabkan

ekspansi

bahkan

erosi

tulang. Motamedi

et

al3

mengemukakan bahwa

kista

dentigerus dapat menghalangi

gigi

yang

akan tumbuh,

menjadi

sangat

besar

hingga

menghancurkan

tulang

dan

mencapai

struktur

vital

seperti

sinus

maksila.

Sedangkan Soon5

menyatakan

bahwa

jika

kista

dentigerus

berukuran

besar, maka

kista

ini

dapat mengobstruksi

sinus maksila.

Pada

pemeriksaan

fisik,

dan

nasoendoskopi

tidak

ditemukan

kelainan

yang khas untuk

kasus

ini.

Pada

kasus

tertentu,

dapat

ditemukan

adanya

pendorongan

dinding

lateral sinus maksila. Setelah

dilakukan

foto

panoramik,

barulah

muncul

kecurigaan

bahwa

pembengkakan

pada

pipi

pasien

kemwrgkinan adalah kista dentigerus. Pada

hampir

semua

literatur

menyatakan bahwa

kista

dentigerus

umunnya

terdiagnosis

secara

tidak

sengaja saat pasien melakukan

foto

panoramik

rutin.l'7

Pada

gambaran

foto

panoramik

pasien

ini di

dapatkan

kesimpulan

suspek

dentigerous

cyst mencapai sinus maksilaris kanan, impacted

M3

geraham

kanan dan

kiri

bawah, M3

geraham

kiri

atas.

Secara

radiologik

perlu

dibedakan

antara

kista

dentigerus dengan tumor

jinak

lainnya

yang

juga

terdapat

struktur

gigi

didalamnya.

Seperti yang

dikemukakan

oleh

Ikeshima

et

al8

bahwa

kista

dentigerous

dapat

didiagnosis

banding

dengan

tumor

yang

juga

memiliki

struktur

gigi

di

dalamnya,

yaitu

ameloblasoma dan

adenomatoid

tumor

tanpa

kalsifikasi.

Hal

ini

dapat

ditegaskan

dengan

memeriksa

jarak

antara cemento

enamel

junction

ketempat

gigi

yang tertanam.8

Pada

pemeriksaan

CT

Scan

ditemukan adanya

struktur

gigi

di

dalam

sinus

maksila

yang

menguatkan

kecurigaan

bahwa

ini

adalah suatu kista

dentigerus. Seperti yang dikemukakan oleh Soon

et

al5, gambaran

CT

scan pada

kista

dentigerus

yang

berada

di

sinus

maksila

dapat memperlihatkan adanya

"tooth

like

densiyr'pada lesi

kistik

yang

berada

di

dalam sinus yang

terlibat.

Pemeriksaan

CT

scan pada kasus

ini

juga

sangat

penting

untuk

mengetahui apakah

terjadi

perluasan

ke

tulang yang

mengakibatkan

destruksi dan

perlu untuk menyingkirkan

keganasan

jika terjadi

keterlibatan

yang

mengakibatkan destruksi

pterygoid plate

atau orbita.5

Teknik

operasi

yang

digunakan

pada kasus

ini

adalah

maksilektomi

medial

perendoskopik.

Teknik

ini

dipilih

karena

aman

dan

efektif untuk

mengobati

beberapa

kasus

kista

odontogenik termasuk

kista

dentigerus.e'l l'12 Dahulunya

teknik yang

digunakan

untuk

menatalaksana

kasus

kista

dentigerus

adalah dengan

menggunakan

prosedur

Caldwell-Luc. Namun

temyata

teknik ini

merusak

mukosa sinus maksila

sehingga

mengakibatkan

hilangnya

fungsi

mukosiliar yang

ada

di

dalamnya

karena

mucociliary

clearance

dari

sinus maksila

selalu

mengarah

ke

ostium

natural,

dan

alirannya

dimulai

dari

lantai sinus

dan

berlanjut

sampai

dinding ostium

natural melawan gravitasi.l6

Seno et

al

12

mengutarakan bahwa

pembedahan

sinus

perendoskopik

selain dapat digunakan sebagai tatalaksana

untuk

menterapi

rinosinusitis

konis,

tumor

jinak

kavum nasi,

fistula

serebrovaskular, dapat

juga

digunakan

untuk

mengobati

pasien

dengan

kista

odontogenik sinus

maksila.

Teknik

maksilektomi medial

perendoskopi
(21)

invasif,

angka keberhasilan

lebih

tinggi

dan

komplikasi lebih minimal.

Nakayama

et

ale

menggunakan

teknik maksilektomi

medial perendoskopik

untuk

mengevakuasi

kista

dentigerus yang

berada

di

dalam sinus maksila.

Prinsip

dasar

dari

maksilektomi

medial

perendoskopik

untuk

kasus

kista

dentigerus

yang telah

mencapai

sinus

maksila

adalah

untuk

menjaga

keutuhan

konka

inferior

dan duktus

nasolakrimalis.

Keuntungan

untuk

penggunaan teknik

maksilektomi medial perendoskopi

adalah

teknik

ini

memungkinkan

dilakukannya

reseksi

komplit pada

satu

operasi.

Thulasidas

et

all6

menambahkan

bahwa

tujuan

dari

penggunaan

teknik

maksilektomi

medial

perendoskopik

adalah

untuk

menciptakan drainase

sinus

maksila

yang

gravity-dependent Berikut

dirangkum

perbedaan

pilihan

teknik

operasi

secara Caldwell-Luc

dengan

maksilektomi

medial perendoskopik.

Tabel

1,

Perbedaan maksitelrtomi medial perendoskopik dengan teknik Cadwell-Luc

Pada

temuan operatif

ditemukaa

adanya

gigi

molar,

yang

kemungkinan

besar adalah

gigi molar 3

pasien

ini,

hal

dikonfirmasikan dengan hilangnya

gigi

molar

3,

sehingga

gigi

yang

ditemukan pada sinus

maksila

kanan pasien

ini

adalah

gigi

molar

3

kanan pasien

yang

impacted

dan akibat terbentuknya kista

disekitar

gigi

maka

gigi

itu

masuk ke sinus maksila.

Hasil

Patologi

Anatomi

pada

temuan operasi

pada

pasien

ini

adalah

ditemukan potongan

jaringan yang

berisi

epitel

berlapis gepeng

yang

sebagian

merupakan

epitel

respiratorius

dan sebagian

dilapisi

oleh dua sampai

tiga

lapis

epitel.

Di

bawalrnya tampak

jaringan ikat

dengan sebukan sel radang

limfosit

dan sel

plasma, tampak potongan

tulang

rawan, serta

kristal

kolestrol,

tampak

juga

bagian

yang

hiperemik

hemoragik

dengan

diagnosis

kista

dentigerus.

Temuan diatas serupa dengan gambaran kista dentigerus

Menurut

Kasat

et

all,

Soon

et

als

Kista

dentigerus

dibatasi oleh

lapisan

dari

epitel

skuamosa

berlapis

tidak

berkeratin,

yang

terdiri

dari

2-4 lapis

sel dan

elemen keratin

jarang ditemukan

di

dinding

dalam kista,

kista

ini dikelilingi

oleh

jaringan

ikat

yang

mengandung

epitel

respirasi.

Dapat

juga

ditemukan

sel silia, sel kuboid,

sel

kolumnar,

hyaline body dan

dapat

juga

ditemukkan invasi dari

sel-sel radang.l'5

Prognosis

pada

kasus

kista

dentigerus

adalah

baik.

Seperti

yang

diungkapkan

oleh

Seno

et

alr2

dari

tiga

pasien

dengan

kista

dentigerus

yang

dilakukan

tindakan

modifikasi

maksilektomi

medial

perendoskopik

dan

dilakukan

follow up

pada

pasien-pasien

tersebut,

tidak

ditemukan

adanya kekambuhan setelah 11-72

bulan.

Mhsake

et

al7

mengutarakan

bahwa

prognosis

untuk hampir

semua kasus kista dentigerus

yang

didiagnosis secara

histopatologi

Caldwell-Luc

Maksilektomi

medial

perendoskopik

Dilakukan

endoskopi tersedia

bila

tidak

Dapat mengakibatkan gangguan persarafan

Tidak

mengganggu

persarafan

Lapangan

operasi

lebih

luas

Lapangan

operasi terbatas

Dapat

digunakan

untuk

mengangkat

kista yang

besar

secara

keseluruhan

di

sinus

maksila

Pengangkatan kista

yang

berukuran

besar

tidak

dapat

dilakukan

secara

utuh

Angka

kekambuhan

tinggi

Angka

kekambuhan

jarang

Dilakukan

jika

(22)

adalah

sangat

baik,

kekambuhan

sangat

jarang

ditemukan.

Singh

et

al6

menilai

radiografi

post

operatifpada

pasien dengan

kista

dentigerus

akan

memperlihatkan gambaran pembentukan dan penyembuhan

tulang

setelah 6 bulan post operasi.

KESIMPULAN

Keluhan bengkak

di

pipi

yang membesar secara

perlahan dan

ditemukan

struktur

gigi

pada

sinus

maksila,

merupakan

diagnosis

untuk

kista

dentigerus.

Namun demikian,

diagnosis

kista

dentigerus

tidak

dapat

berdiri

sendir

tanpa

adanya anamnesis

yang

baik

dan

pemeriksaan

penunjang

yang

lengkap

seperti Rontgen

panoramik dan

CT

Scan sinus paranasal, dan

konfirmasi

dari PA.

Ada

banyak

teknik

pembedahan

yang

dapat dipergunakan pada kasus

ini,

rurmun sebaiknya

dipilih teknik

yang

minimal

invasife dan

dapat

memaparkan

isi

sinus

dengan

baik

dan

meminimalisir

risiko

pasca operasi seperti

teknik

maksilektomi medial

perendoskopi. Jika

kista

ini

reseksi dengan

sempurna, maka

angka

kekambuhannya sangat

jarang,

dan

prognosisnya

baik.

DAFTAR PUSTAKA

l.

Kasat

VO,

Freny

R,

Laddha

RS.

Dentigerous

cyst

assosiated

with

an

ectopic

third

molar

in

maxillary

sinus: a case

report and review

of

literature. Contemp Clin Dent. 2013;3 (3):373-6.

2.

Chung

LW,

Cox DP,

Ochs

MW.

Odontogenic Cyst, Tumors, and Related

Jaw Lesion.

In

Bailey

BJ,

Johnson JT,

Newlands

SD,

editors. Head

And

Neck Surgery-Otolaryngology 4'h ed. Lippincott

Williams

&

Wilkins:

Texas;

2006; p.1590-l

3.

Motamedi

MHK,

Talesh

KT. Management

of

extensive

dentigerous

cyst.

Brit

Dent J. 2005; 198(4):203-6.

4.

Badran

W

Karam,

Yau

&ffiy,

Tracy

Lauren,

Hasso

A;

Massive dentigerous cyst presenting

with

facial deformity and maxillary sinusitis;

A

study

of

two cases.

Jar' 2013 Indian

J

Otolaryngol. 2013; 58

(l)

1

5.

Soon

HJ,

Heung

LM, Kim

HD, et

al. Dentigerous cyst involving the maxillary

sinus. J.Rhinol. 2001; 8 (1,2): 54-57

6.

Singh

S,

Singh

M,

Chhab

AN,

Yamuna

N.

Dentigerous

cyst:

Aa

case report. J

Indian Soc Pedo Prev Dent.

2001;9:

123-5.

7.

Mhasake

S,

Ragavendra

&

Doshki

JJ,

Nadaf

I.

Dentigerous cyst associated with

impacted

permanent

maxillary

canine. People's Sci Res

I.

2009;2(2):17 -19.

8.

Ikeshima

A,

Tamura

Y.

Differential

diagnosis between dentigerous

cyst

and benign

tumor

with

an

embedded tooth. Oral Sci 1.20A2; 44 (l):1317 .

9.

Nakayama

T,

Otori

N,

Asaka

D, et

al.

Endoscopic

modified

medial

maxillectomy

for

odontogenic

yst

and

tumours. J Rhinol. 2014; 52: 37 6-380. 10.

Mili

MK,

Pathak

GK.

A

giant

case

of

dentigerous

cyst

:

a

case

report.

Int

J

Dent Med Res. 2015; 1 (5) : 84-86. 11.

Eloy Ph,

Mardyla

N,

Bertrand

B,

Rombaux

Ph.

Endoscopic

endonasal

medial maxillectomy: case series. Indian J

Otolaryngol

.2010;62

(3):252-7 .

12. Seno S, Ogawa

T,

Shibayama

M,

et

al.

Endoscopic

sinus

surgery

for

the

odontogenic

maxillary

cyst.

J

Rhinol. 2009; 47:305-309.

13. Shergil

AK,

Singh P, Charotte

M,

et

al.

Dentigerous

cyst

associated

with

an

erupted tooth an unusual presentation.

Int

J

Sci Stud.2014;2 (2): 100-102

14.

Amin

ZA,

Amran

M,

Khairudin

A.

Removal

of

extensive

maxillary

dentigerous

cyst

via

a

caldwell-luc

procedure. Orofac Sci J.2008; 3

(2):48-5l

15.

Dagista

S,

Cakur

B,

Goregen

M.

A

dentigerous

cyst

containing

an

ectopic

canine

tooth below

the floor

of

the

maxillary sinus: a case report. Oral Sci J.

2007; 49 (3):249-252.

16. Thulasidas P, Vaidya

V.

Role of modified

endoscopic

medial

maxillectomy

in

persistent chronic

maxillary

sinusitis. Int

Arch

Otorhinolayngol.

2014;

18

:

159-164.

17. Sadeghi

N,

Al-Dhahri

S,

Manoukian J.

Transnasal endoscopic

medial
(23)

Polip

Nasi

Angiomatosa (Angiomatous

Nasal

Polyps)

dr. Bestari Jaka Budiman Sp.T.H.T.K.L (K), dr Dolly lrfandy Sp.T.H.T.K.L, dr. Eko wahyudi*

Departemen llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil Padang

Abstrak

Pendahuluan: Polip

nasi

angiomatosa

sangat jarang

terjadi

dan

kejadiannya hanya 4-5o/o

dari

kasus

polip

nasi. Polip nasi angiomatosa ditandai

dengan adanya proliferasi vaskular

yang

luas.

Tujuan:

Mengetahui

diagnosis dan penatalaksanaan polip nasi angiomatosa.

Laporan

Kasus:

Dilaporkan satu

kasus

laki

laki berumur

34

tahun yang didiagnosis awal dengan tumor

kavum

nasi bilateral. Pada kasus

ini

dilakukan biopsi eksisi tumor

perendoskopi. Dari

hasil

pemeriksaan histopatologi, didapatkan

kesan polip nasi

angiomatosa.

Kesimpulan:

Polip nasi angiomatosa

bisa

menyerupai gambaran keganasan di

kavum nasi. Pemeriksaan histopatologis menjadi baku emas dalam menegakkan

diagnosis dalam kasus ini

Kata

kunci

: polip angiomatosa, tumor kavum nasi, polip nasi

Abstract

lntroduction:

Angiomatous

nasal polyp

/Angiectatic nasal

polyps (ANP)

is rare

and

its incidence

is 4-5% of

all

nasal polyps. ANPS

a/e characteized by

extensive vascular

proliferation

and

ectasia.

Objectives:

To

understand about

diagnos,s

and

management

of

angiomatous

nasa, polyps. Case

Report:

Repofting

an

case in a 34

year

male that previously diagnosed

as

bilateral nasal

cavity

tumor.

Resuft

from

histopathology examination revealed

angiomatousa

nasal polyps

Conclusion:

ANPS

may presenf

as

malignancy

in

nasal

cavity.

Histopathology examination

as

gold standard can established diagnosis

of

nasal

polyp

Keryords:

Angiomatous

polyp,

nasal cavity tumor, nasal

pdyps

PENDAHULUAN

Berdasarkan

elemen utama

yang

membentuk

polip

nasi,

secara

histopatologis polip

nasi

inflamasi dibagi

atas

5

tipe:

(1)

tipe

edema,

terdiri

dari eosinofil

dan sel

mast dalam

jumlah yang

banyak,

(2) lipe

fibrous, mengandung
(24)

banyak limfosit,

(3),

tipe

glandular, mengandung kelenjar seromusin,

(4)

tipe

kistik

dan (5) tipe

angiomatosa,

terdapat

proliferasi

vaskular

yang

luas

dan deposit dari pseudoamiloid.1 '?

Hidung tersumbat

merupakan

gejala yang

sering dikeluhkan

pasien dengan polip nasi angiomatosa. Selain itu, epistaksis, bengkak pada wajah dan

snoflhg

juga

bisa

terjadi.

Pada

pemeriksaan

fisik

rinoskopi anterior,

diGmukan

adanya massa polipoid

yang

berwarna kebiruan

atau

merah, permukaan

licin

dan

mengkilat yang mengisi kavum nasi. Pada pemeriksaan

Cf

Scan, polip nasi

angiomatosa memberikan gambaran lesi dengan densitas

yang

heterogen yang

mengisi

kavum nasi atau sinus

dan

massa

menunjukkan penyangatan

yang

minimal pada batas lesi.26

Pada

pemeriksaan histopatologi,

polip nasi

angiomatosa

memberikan gambaran kelompokan pembuluh darah yang dikelilingi fibrin matrik ekstraselular

yang

menyerupai eosinofil,

jaringan

nekrosis,

sel

inflamasi,

trombosis

pembuluh

darah

dan

ekstravasasi komponen

darah

ke

dalam stroma.

Perubahan

histopatologi

yang terjadi

bisa

bervariasi,

dari

hanya

berupa

fibrosis

stromal

sampai terbentuknya perubahan

vaskularisasi,

termasuk

adanya

proliferasi

vaskular2'3'7

Penatalaksanaan

pada kasus polip

nasi

angiomatosa

berupa

pembedahan.

Eksisi

perendoskopi merupakan

prosedur

penatalaksanaan yang aman dan efektif pada polip nasi angiomatosa.5'8

LAPORAN KASUS

Seorang pasien

laki

laki berumur 34 tahun datang

ke

Poliklinik THT-KL RSUP Dr. M.Jamil Padang pada

tanggal

8 Januari 2016 dengan keluhan utama

hidung tersumbat sejak

4

bulan

yang lalu.

Pasien

mulai

merasakan

keluhan

hidung tersumbat sejak

6

tahun yang lalu, yang makin lama makin berat sejak 4

bulan

terakhir. Keluar ingus

kental

dari hidung

sejak

4

bulan

yang lalu.

Pasien

juga

mengeluhkan keluar

darah dari hidung,

sebanyak

t

I

sendok makan

dan

bisa

berhenti

sendiri.

Penciuman terganggu

ada.

Pasien merasakan

rasa

lendir

mengalir

di

tenggorok. Nyeri kepala ada, hilang timbul. Suara pasien

berubah

menjadi sengau

sejak

1

tahun yang lalu.

Keluhan telinga

terasa

penuh

ada.

Pasien sebelumnya telah menjalani operasi polip pada tahun 2009

di

RS swasta

dengan

keluhan

yang sama. Satu tahun setelah

operasi,

pasien

kembali merasakan keluhan hidung tersumbat. Pasien juga

telah

menjalani biopsi hidung

di

bagian THT-KL

pada

bulan Agustus 2015, dengan

hasil polip nasi

dan
(25)

dianjurkan kontrol,

tapi

pasien

tidak kontrol

ke

bagian

THT

setelah

operasi.

Mempunyai kebiasaan merokok 1 bungkus sehari sejak 10 tahun yang lalu.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum

dalam

batas normal.

Pada pemeriksaan status lokalis THT, pemeriksaan telinga dan tenggorok dalam

batas normal. Pada

pemeriksaan nasoendoskopi ditemukan

kedua kavum

nasi

sempit, massa memenuhi kedua kavum nasi dengan permukaan yang tidak rata,

mudah berdarah dan ditutupi dengan jaringan nekrotik. Ditemukan adanya sekret

yang

mukopurulen. Peme

Gambar

Gambar Perdarahan hidungl
Gambar 2. posterior, Pleksus Kiesselbach (little area, anastomosis a. etmoid anterior dana
Gambar 3.Pleksus kontribusi kecil dari l{oodruff(anastomosis a. sfenopalatina, a. palatina descenden dana
Gambar 4. A. Cara menekan hidung yang salah. B Cara yang benar
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

(5) Bagi Perusahaan Asuransi Jiwa, optimalisasi penempatan reasuransi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menempatkan sepenuhnya reasuransi

Bauran pemasaran adalah serangkaian alat pemasaran taktis yang dapat dikendalikan produk, harga, tempat (distributor), dan promosiyang di padukan oleh perusahaan

Sehingga penulis merancangkan suatu sistem e-learning dengan berbagai kemudahan yang dapat memudahkan tentor dalam memberikan tugas dan materi serta memudahkan siswa

a) Upaya yang dilakukan guru dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak adalah memilih metode dan media belajar yang sesuai dengan

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa paritas atau frekuensi beranak tidak berpengaruh nyata (P &gt; 0,05) terhadap S/C, tidak berbedanya rataan S/C pada

Dibandingkan dengan metode fisiko-kimia, pemanfaatan fitoplankton sebagai biosorben dalam penanganan kontaminasi logam berat di perairan merupakan alternatif dengan

Perkirakan berapa wawancara yang akan dilakukan dalam pembuatan film ini, berapa hari yang diperlukan, berapa tim yang akan ikut dalam produksi ini (penata suara, penata

Jika Mahkamah Konstitusi memutus bahwa presiden dan/atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, seperti yang terumus dalam pasal 7A UUD NRI Tahun