• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Virus SARS-CoV-2

Pada awal tahun 2020 dunia digemparkan oleh merebaknya virus baru yaitu Coronavirus. Diketahui, asal mula virus ini berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China pada bulan Desember 2019. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja tanpa terkecuali, adapun penyebab penyakit COVID-19 adalah sebuah virus yang diberi nama SARS-COV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2).

Dinamakan Coronavirus karena permukaannya yang berbentuk seperti mahkota (crown/corona). Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Peningkatan yang terjadi dari hari kehari menyebabkan jumlah pasien yang terinfeksi virus Covid-19 sulit untuk dikendalikan, Coronavirus sendiri merupakan sekumpulan virus yang berasal dari subfamili Orthocronavirinae dalam keluarga Coronaviridae dan ordo Nidovirales (Wahidah et al., 2020). Pandemi COVID-19 menjadi ancaman luar biasa yang terjadi secara global. Infeksi dari virus SARS-COV-2 kedalam tubuh manusia dapat mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bagian bawah lalu dapat berkembang menjadi sindrom pernapasan akut yang parah, beberapa kegagalan organ, dan bahkan kematian. Penyakit ini dapat menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh kelompok lanjut usia dan yang memiliki penyakit bawaan (komorbid). Penyakit bawaan yang dapat meningkatan faktor resiko COVID-19 antara lain Hipertensi, Diabetes, Jantung, Asma, Kanker, dan Gagal ginjal. Virus corona pada umumnya dapat menyebar melalui tetesan pernapasan atau droplet. Adapun kemungkinan moda transmisi SARS-COV-2, termasuk transmisi kontak, droplet (percikan), melalui udara (airborne), fomit, fekal-oral, melalui darah, ibu ke anak, dan binatang ke manusia. Infeksi SARS-CoV-2 umumnya menyebabkan penyakit pernapasan ringan hingga berat dan kematian, sedangkan sebagian orang yang terinfeksi virus ini tidak pernah menunjukkan gejala (WHO, 2020). Perjalanan penyakit ini dimul ai dengan masa inkubasi yang lamanya 3-14 hari (median 5 hari). Pada keadaan ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak bergejala, lalu pada fase selanjutnya (gejala awal), virus mulai menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE-2 seperti paru-paru, saluran

(2)

cerna dan jantung. Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun, kemudian penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika fase tersebut tidak teratasi maka fase selanjutnya inflamasi yang terjadi menjadi semakin tidak terkontrol, terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi lainnya. Di dalam tubuh virus tersebut menempel pada saluran pernafasan dan menghasilkan protein yang disebut ACE-2, kemudian spike protein pada permukaan virus corona akan mengikat penerima ACE-2 pada permukaan sel target. Protease serin II transmembran pada virus corona mengikat dan membelah reseptor ACE-2. Pada proses ini, protein spike diaktifkan. Pecahan ACE-2 dan spike protein yang teraktivasi menjadi jalan masuk virus. Kerja TMPRSS2 meningkatkan penyerapan seluler dari virus corona. Sehingga virus dapat masuk kedalam sel target atau bisa disebut proses infeksi virus (Mu’afa & Asih, 2021).

Gambar 2. 1 Siklus Hidup Virus Sars Cov-2 (Du et al., 2009)

(3)

2.1.1 Struktur dan Genom Virus SARS-CoV-2

Virus ini termasuk kedalam ordo Nidovirales, famili Coronaviridae dan subfamili Orthocoronavirinae. Virus ini memiliki bentuk bulat atau elips dan sering pleomorfik, diameter sekitar 60−140 nm, virus ini memiliki nukleokapsid yang terdiri atas genom RNA genom dan protein nukleokapsid terfosforilasi (N), Struktur genom SARS-CoV-2 terdiri atas, protein struktural dan protein non struktural.

terdapat empat struktural protein yang penting dalam genom SARS CoV-2, yaitu (Minggu et al., 2021)

1. Protein S (Spike) berfungsi untuk menempel pada reseptor sel untuk mengikat reseptor sel inang serta sebagai antigen utama atau sebagai komponen genom utama pada virus

2. Protein E (Envelop) merupakan selubung pembungkus virus dan juga berperan dalam siklus hidup virus

3. Protein M (Membran) yaitu pembentuk struktur virus serta berperan dalam pengenalan sel

4. Protein N (Nuckleocapsid) yang akan berikatan dengan RNA membentuk nukleokapsid

Selain protein struktural , genom SARS-CoV-2 menurut Wang H dkk mengandung 16 protein non-struktural, nsp1 hingga nsp10 dan nsp12 hingga nsp16, dan 8 protein aksesori (3a, 3b, p6, 7a, 8a, 8b, 9b, dan ORF14). Semua protein ini memainkan peran khusus dalam replikasi virus

Gambar 2. 2Struktur Genom dan Struktur Virus (SARS-CoV 2) (Schütz et al., 2020).

(4)

a). Skema struktur primer protein S virus Sars-CoV-2

b). Struktur Cryo-EM dari protein S virus Sars-CoV-2. Keadaan tertutup (PDB:

6VXX) dari glikoprotein S virus SARS-CoV-2 keadaan terbuka (PDB: 6VYB) dari glikoprotein S virus SARS-CoV-2 (Wang et al., 2020).

2.1.2 Varian SARS-COV 2

SARS COV-2 merupakan virus yang memiliki genom berupa RNA beruntai tunggal, virus tersebut juga dapat bermutasi. Mutasi merupakan peristiwa yang senantiasa terjadi secara acak, pada saat replikasi virus atau proses perbanyakan virus maka akan terjadi mutasi, untuk memperbanyak dirinya, virus juga perlu untuk menduplikasi genomnya, sehingga ada proses pembentukan pasangan. Pada saat pembentukan pasangan genom inilah, apabila terjadi kesalahan dalam pemilihan pasangan maka mutasi akan terjadi. Virus akan berusaha menghindari perlawanan sistem imun, menggandakan diri, dan menyebar ke manusia-manusia lain. Karakteristik yang membantu kelangsungan hidup virus itu umumnya bertahan saat terjadi penggandaan diri. Namun mutasi tidak selalu akan menghasilkan virus yang lebih kuat. Adapun jenis-jenis varian virus SARS-COV- 2 yakni (WHO, 2020):

1. Varian virus corona Inggris B.1.1.7 disebut Alpha Varian

B.1.1.7 merupakan varian virus corona yang pertama kali muncul di Inggris pada Desember 2020.

2. Varian virus corona Afrika Selatan B.1.351 disebut Beta Varian

Virus corona varian B.1.351 pertama kali ditemukan di Teluk Nelson Mandela, Afrika Selatan pada Oktober 2020.

3. Varian virus corona Brazil P.1 disebut Gamma Varian

Varian ini pertama kali ditemukan di Brazil dan Jepang, meski jenis mutasinya berbeda dengan varian lainnya, virus Corona varian Gamma diketahui dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan varian lain, seperti varian Beta. Hingga saat ini, efektivitas vaksin COVID-19 terhadap varian Gamma masih belum diketahui dengan jelas dan terus di lakukan penelitian.

4. Varian India B.1.617.2 disebut Delta varian `

Varian Delta dari virus Corona adalah varian yang paling mudah menular dan menyebar dengan cepat. Sejak awal ditemukan kasus hingga Juni 2021,

(5)

infeksi varian Delta sudah menyebar ke 74 negara dan bahkan sudah menjadi varian dominan di India dan Inggris.

5. Varian B.1.525 disebut Eta

Virus corona variaan B.1525 adalah varian yang baru-baru ini diidentifikasi di Inggris. Para ilmuwan mengawasi varian virus corona Eta karena memiliki beberapa mutasi pada gen protein lonjakan. Mutasi tersebut termasuk adanya E484 K.

6. Varian Filipina P.3 disebut Theta

Varian virus corona asal Filipina ini dideteksi di Filipina pada 13 Maret 2021 dan ditemukan pada sampel lokal Filipina. Mengutip dari Rappler, meskipun belum cukup bukti varian virus corona Theta tersebut berdampak pada kesehatan masyarakat namun tetap ada kemungkinan virus lebih menular dibandingkan versi asli SARS-CoV-2.

7. Varian Amerika Serikat B.1.526 disebut Iota

Virus corona varian B.1526 mulai ditemukan pada sampel yang dikumpulkan di New York pada Bulan November 2020. Belum diketahui apakah varian virus corona Iota lebih menular dibandingkan virus aslinya, virus corona Iota juga belum tersebar luas.

8. Varian India B.1.617.1 disebut Kappa

Varian virus corona Kappa merupakan varian baru yang terdiri dari mutasi ganda di India.

9. Varian Lambda C. 37

Virus Corona varian lambda pertama kali ditemukan di Peru dan beberapa negara lain di Amerika latin dan kini telah menyebar ke Eropa dan Inggris.

(6)

Tabel II. 1Tabel Variant Sars-Cov-2 (WHO, 2021).

2.2 Tinjauan UmumVaksin

Pada tahun 1789 Edward Jennser berhasil mengembangkan temuan vaksin pertamanya untuk penyakit cacar, sejak saat itu teknologi pembuatan vaksin telah berkembang dengan pesat dan berbagai jenis vaksin untuk mencegah penyakit infeksi telah banyak digunakan. Vaksin merupakan produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme atau bagiannya atau zat yang dihasilkannya yang telah diolah sedemikian rupa sehingga aman, yang apabila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Vaksinasi tidak hanya bertujuan untuk memutus rantai penularan penyakit dan menghentikan wabah saja, tetapi juga dalam jangka panjang untuk mengeliminasi bahkan mengeradikasi (memusnahkan/ menghilangkan) penyakit itu sendiri.

Hingga saat ini tergolong beberapa generasi pada perkembangan vaksin virus, yaitu meliputi vaksin yang mengandung mikroorganisme yang sudah di lemahkan atau disebut dengan vaksin pada generasi satu, generasi selanjutnya yakni vaksin yang mengandung mikroorganisme yang dimatikan atau disebut vaksin pada generasi kedua, serta vaksin generasi yang ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang mengandung fragmen antigenik dari suatu mikroorganisme yang dapat merangsang respon imun. Dalam penggunaannya pada kasus yang sering terjadi pada generasi satu dan dua masih memiliki kelemahan,

WHO LABEL PANGO LINEAGES Additional amino acid changes monitored

Alpha B.1.1.7 +S:484K

+S:452R

Beta B. 1.351

B. 1.351.2 B. 1.351.3

+S:L18F

Gamma

P. 1 P.1.1 P.1.2

+S:681H

Delta B. 1.627.2

AY .1 AY .2 AY .3

+S:417N

(7)

pada vaksin generasi pertama seringkali dapat bermutasi kembali menjadi virulen sehingga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sedangkan vaksin generasi kedua adalah vaksin mengandung mikroorganisme yang dimatikan dengan menggunakan zat kimia tertentu, biasanya dengan menggunakan formalin atau fenol, dalam penggunaannya sering mengalami kegagalan atau tidak menimbulkan respon imun tubuh.

Untuk mengatasi berbagai Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terjadi pada penggunaan vaksin generasi pertama dan kedua diperlukan pengembangan vaksin generasi ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub unit yang dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk memperoleh fragmen antigenik dari mikroorganisme, namun demikian vaksin generasi ketiga inipun ternyata hanya dapat menimbulkan respon imun humoral dan tidak dapat menimbulkan respon imun seluler. Dalam usaha pengembangannya dalam bidang biologi molekuler dan rekayasa genetika telah memungkinkan untuk mengembangkan vaksin generasi keempat yaitu vaksin DNA (Kefarmasian, 2009).

2.2.1 Tujuan Pemberian Vaksin

Salah satu kunci penting penanggulangan COVID-19 adalah vaksinasi yang dapat memberi kekebalan pada masyarakat. Kita tahu bahwa ada dua aspek utama dari sebuah vaksin, yaitu efektifitas proteksinya agar yang mendapat vaksin memang bisa terlindung sehingga tidak sakit, dan keamanan bagi orang yang di vaksin agar tidak ada hal membahayakan yang terjadi (Satgas Covid-19, 2021). The emergency committee telah menyatakan bahwa penyebaran COVID-19 dapat dihentikan jika dilakukan proteksi, deteksi dini, isolasi, dan perawatan yang cepat agar tercipta implementasi sistem yang kuat untuk menghentikan penyebaran COVID-19, sebagai upaya proteksi terhadap COVID-19, berbagai negara dari seluruh dunia telah berkomitmen bersama dengan melibatkan pemerintah, perusahaan bioteknologi, ilmuwan, dan akademisi untuk dapat menciptakan vaksin COVID-19. Sampai saat ini sudah berbagai program terkait vaksin COVID-19 masih dalam tahap pengembangan dan telah banyak kandidat vaksin yang diluncurkan untuk melawan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 (Makmun &

Hazhiyah, 2020).

(8)

2.2.2 Jenis Vaksin

Menurut jenisnya, vaksin akan dibagi menjadi (Makmun & Hazhiyah, 2020). : 1. Vaksin mati dan Vaksin yang dilemahkan

Sistem kerja pada vaksin ini sel utuh yang dimatikan atau vaksin hidup yang dilemahkan menghadirkan beberapa komponen antigenik ke inang dan dengan demikian dapat berpotensi menyebabkan beragam efek imunologis terhadap patogen.

2. Sub unit Vaksin

Jenis vaksin ini lebih aman dan lebih mudah untuk diproduksi, tetapi seringkali membutuhkan penambahan bahan pembantu untuk memperoleh respon imun protektif yang kuat. Vaksin subunit biasanya mencakup satu atau lebih antigen dengan imunogenisitas kuat yang mampu menstimulasi sistem imun inang secara efisien.

3. Vaksin mRNA

Model Vaksin berbasis mRNA mengandung mRNA yang dapat mengkode antigen, yang diterjemahkan di mesin seluler inang dengan vaksinasi. Vaksin mRNA memiliki keunggulan dibandingkan vaksin konvensional, dengan tidak adanya integrasi genom, respon imun yang meningkat, perkembangan yang cepat, dan produksi antigen multimeric.

4. Vaksin DNA

Pada model vaksin yang menggunakan DNA ini biasanya terdiri dari molekul DNA plasmid yang mengkodekan satu atau lebih antigen. Mereka lebih unggul dari vaksin mRNA dalam formulasi yang diperlukan untuk stabilitas dan efisiensi pengiriman, namun vaksin model ini harus memasukkan nukleus yang dapat membawa risiko integrasi vector dan mutasi pada genom inang.

5. Vaksin Live Vector

Model Vaksin vektor langsung adalah virus hidup (vektor) yang mengekspresikan antigen heterolog. Mereka memiliki karakteristik dengan menggabungkan imunogenisitas yang kuat dari vaksin yang dilemahkan hidup dan keamanan vaksin subunit, dan secara luas digunakan untuk menginduksi imunitas seluler in vivo.

(9)

6. Vaksin Peptida Sintetis atau Epitop

Pada Model vaksin ini hanya mengandung fragmen antigen utuh tertentu dan biasanya dibuat dengan teknik sintesis kimia, karena lebih mudah dalam persiapan dan kontrol kualitas. Namun, berat molekul rendah dan kompleksitas struktural dari vaksin ini biasanya menghasilkan imunogenisitas yang rendah, sehingga modifikasi struktural, sistem pengiriman, dan bahan pembantu juga diperlukan dalam formulasinya.

2.2.3 Vaksin yang beredar

Sebagaimana diketahui, Indonesia telah menetapkan tujuh jenis vaksin yang dapat digunakan untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Hingga awal Maret 2021, dari tujuh jenis vaksin tersebut, sudah tiga vaksin yang mendapatkan Persetujuan Penggunaan Dalam Kondisi Darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM, yaitu Sinovac, AstraZeneca, dan vaksin dari PT Bio Farma (Persero) (Satgas Covid-19, 2021).

1. Vaksin Sinovac

Sinovac adalah produsen vaksin COVID-19 (CoronaVac) asal Cina yang memproduksi vaksin jenis inactivated, yaitu berasal dari virus yang telah dimatikan. Diberikan dalam dua dosis atau dua kali suntikan dalam jangka waktu 14 hari.

2. Vaksin Pfizer-BioNTech

Vaksin Pfizer-BioNtech termasuk jenis vaksin biosintetik. Vaksin yang berisi kode genetik dari virus tersebut yang disuntikkan ke tubuh, tidak menyebabkan sakit tetapi mengajari sistem imun untuk memberikan respons perlawanan.

3. Vaksin AstraZeneca

Vaksin hasil kerjasama Oxford-AstraZeneca ini merupakan vaksin yang mampu memicu respons imun terhadap penyakit seperti COVID-19. Vaksin ini juga dapat dikategorikan jenis vaksin biosintetik.

4. Vaksin COVID-19 Sinopharm

Vaksin dari produsen Sinopharm (China National Pharmaceutical Group Corporation). Vaksin ini memanfaatkan virus yang sudah dimatikan atau

(10)

masuk jenis inactivated vaccine dan tidak jauh beda dengan vaksin Sinovac untuk perlakuannya.

5. Vaksin COVID-19 Moderna

Vaksin COVID-19 Moderna yang merupakan jenis vaksin biosintetik.

Moderna digunakan untuk usia 18 tahun ke atas dengan dua suntikan yang diberikan selang 28 hari.

6. Vaksin COVID-19 Novavax buatan Novavax Inc

Novavax adalah jenis vaksin biosintetik, dengan menggunakan spike protein yang dibuat khusus untuk meniru protein spike alami dalam virus Corona.

Vaksin ini bekerja dengan memasukkan protein yang memicu respons antibodi, yang menghalangi kemampuan virus Corona di masa depan menginfeksi.

7. Vaksin COVID-19 yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero)

Vaksin ini adalah hasil kerjasama Business to Business antara PT. Bio Farma dengan Sinovac, di mana Bio Farma mendatangkan bulk bahan baku vaksin yang siap untuk di-filling dan dikemas di sarana produksi milik PT. Bio Farma. Vaksin COVID-19 yang diproduksi PT. Bio Farma sama kandungan dan profil khasiat-keamanannya dengan vaksin CoronaVac yang diproduksi oleh Sinovac.

8. Vaksin COVID-19 secara mandiri yang diberi nama Vaksin Merah Putih Vaksin ini yang dikembangkan oleh Lembaga Biomolekuler Eijkman (LBME) dan diproduksi PT Bio Farma (Persero), bekerja sama dengan sejumlah institusi seperti Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Gadjah Mada (UGM), PT Kalbe Farma Tbk., Biotis, dan Tempo Scan.

(11)

2.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada kasus ini sangat luas dan bervariasi, baik dari tingkat berat ringannya gejala penyakit, gejala dan tanda klinis yang bisa muncul, maupun prognosisnya sampai masuk perawatan intensif dan kematian yang berbeda antar individu seperti halnya tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala berat/kritis. Pasien dengan gejala yang ringan akan sembuh dalam watu kurang lebih 1 minggu, sementara pasien dengan gejala yang parah akan mengalami gagal napas progresif karena virus telah merusak alveolar dan akan menyebabkan kematian. Manifestasi klinis biasanya muncul dalam 2 hari hingga 14 hari setelah paparan, tanda dan gejala umum infeksi coronavirus antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas, biasanya pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tingkat keparahan dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, usia dan penyakit yang telahada sebelumnya (komorbid), seperti hipertensi, DM, asma, seperti penyakit infeksi saluran pernapasan lainnya, 2019-nCoV dapat menular melalui percikan saat bersin atau batuk, namun saat ini masih sedikit bukti terjadinya penularan antar manusia (Kementerian Kesehatan RI, 2020).

2.2.5 Tingkat Keparahan

Para penulis laporan CDC China membagi manifestasi klinis penyakit dengan tingkat keparahan (Tim Kerja Kementerian Dalam Negeri, 2013).

1. Penyakit ringan: non-pneumonia dan pneumonia ringan; ini terjadi pada 81%

kasus.

2. Penyakit berat: dispnea, frekuensi pernapasan ≥ 30 / menit, saturasi oksigen darah (SpO2) ≤ 93%, rasio PaO2 / FiO2 [rasio antara tekanan darah oksigen (tekanan parsial oksigen, PaO2) dan persentase oksigen yang disuplai (fraksi oksigen terinspirasikan, FiO2)] 50% dalam 24 hingga 48 jam ini terjadi pada 14% kasus.

3. Penyakit kritis: gagal pernapasan, syok septik, dan / atau disfungsi organ multipel (MOD) atau kegagalan (MOF); ini terjadi pada 5% kasus.

(12)

2.2.6 Tata Laksana

Dalam penatalaksanaannya untuk pasien COVID-19 dibagi menjadi

tatalaksana orang tanpa gejala atau asimtomatis, orang dengan gejala ringan, sedang, berat, dan kritis, adapun penjelasannya sebagai berikut (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2021) :

1. Pemeriksaan PCR Swab

- Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis, Bila pemeriksaan hari pertama sudah postif maka tidak perlu pemeriksaan di hari kedua. Apabila pemeriksaan hari pertama negatif, maka diperlukan pemeriksaan pada hari kedua. Untuk pasien yang dirawat inpa, Pemeriksaan RT-PCR dilakukan tiga kali selama perawatan.

- Untuk pasien tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan pemeriksaan RT-PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan pada pasien berat dan kritis. Dapat dilakukan setelah sepuluh hari dari pengambilan swab yang positif. Bila dibutuhkan, pemeriksaan RT-PCR tambahan bisa dilakukan sesuai kondisi kasus dengan pertimbangan DPJP dan kapasitas di fasilita pelayanan kesehatan masing- masing

- Untuk kasus berat dan kritis termasuk imunocompromised, bila setelah klinis membaik, bebas demam selama tiga hari namun pada follow-up RT-PCR menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan terdeteksinya fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif.

2. Tanpa Gejala

- Isolasi dan pemantauan

Untuk orang tanpa gejala, isolasi mandiri di rumah ataupun pada fasilitas publik yang disediakan, selama 14 hari sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- Farmakologis

a. Meneruskan obat-obatan penyakit penyerta (komorbid) dan obat komplikasi (jika terjadi komplikasi).

(13)

b. Pasien rutin meminum terapi obat antihipertensi golongan obat ACE- inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker dianjurkan berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung c. Mengonsumsi Vitamin C, dengan pilihan Vitamin C tablet isap

(500mg per 12 jam oral selama 30 hari), Vitamin C tablet non acid (500mg per 6-8 jam oral untuk 14 hari), dan dianjurkan meminum multivitamin yang mengandung vitamin C (1-2 tablet/24 jam selama 30 hari)

d. Mengonsumsi Vitamin D yang Tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet Effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup (Dosis 400 IU-1000 IU/hari selama 14 hari)

e. Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.

f. Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan 3. Orang dengan gejala ringan

- Isolasi dan pemantauan

Untuk orang tanpa gejala, isolasi mandiri di rumah ataupun pada fasilitas publik yang disediakan, selama 14 hari sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- Farmakologis

a. Mengonsumsi Vitamin C, dengan pilihan Mengonsumsi Vitamin C, dengan pilihan Vitamin C tablet isap (500mg per 12 jam oral selama 30 hari), Vitamin C tablet non acid (500mg per 6-8 jam oral untuk 14 hari), dan dianjurkan meminum multivitamin yang mengandung vitamin C (1-2 tablet/24 jam selama 30 hari)

b. Mengonsumsi Vitamin D dengan Dosis 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU) selama 14 hari

c. Diberikan Antivirus: Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2- 5)

(14)

d. Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam. 5) Obat- obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien

e. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.

4. Orang dengan gejala sedang - Isolasi dan Pemantauan

a. Isolasi dan pemantuan di Rumah Sakit Rujukan/ Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19

b. Pengambilan swab untuk RT-PCR - Farmakologis

a. Konsumsi vitamin C 200-400 mg per 8 jam (100 cc NaCl 0,9%) habis 1 jam (drip intravena) selama peraawatan.

b. Mengonsumsi Vitamin D Dosis 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)

c. Diberikan Salah satu antivirus Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5 dan dapat diperpanjang sampai hari ke 7) atau Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5) d. Diberikan Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP e. Klorokuin fosfat 500 mg per 12 jam oral selama 5-7 hari /

Hidroksiklorokuin (sediaan 200 mg) sebanyak 400 mg per 12 jam per oral dilanjutkan 400 mg per 24 jam per oral dalam 5-7 hari

f. Azitromisin 500 mg per 24 jam per intravena atau peroral dalam 5-7 dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri menggunakan levofloxacin 750 mg per 24 jam per intrravena atau peroral dalam waktu 5-7 hari.

g. Pengobatan simtomatis bila demam diberi paracetamol h. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

(15)

5. Orang dengan gejala berat - Isolasi dan Pemantauan

a. Melakukan isolasi diri di rumah sakit rujukan serta dirawat secara kohorting

b. Pengambilan swab untuk PCR - Terapi Oksigen

Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan udara bebas dengan mulai dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%

- Farmakologis

a. Mengonsumsi Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan

b. Vitamin B1 (1 ampul/24 jam/intravena)

c. Vitamin D Dosis 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)

d. Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan terapi empiris pneumonia komunitas atau dapat disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah sebaiknya dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan

e. Pemberian Antivirus Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-7 dan dapat diperpanjang sampai hari ke 10) dan Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2- 10).

f. Deksametason 6 mg/24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti metilprednisolon 32 mg, atau hidrokortison 160 mg pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator

(16)

g. Klorokuin fosfat 500 mg per 12 jam per oral pada hari ke 1-3 selanjutnya 250 mg per 12 jam per oral pada hari ke 4-10 atau hidroksiklorokuin 400 mg per 24 jam per oral dalam 5 hari dan control EKG setiap 3 hari sekali

h. Azitromisin 500 mg per 24 jam dalam 5 hari atau levofloxacin 750 mg per 24 jam per iv dalam 5 hari

i. Antivirus menggunakan oseltamivir 75 mg per 12 jam per oral atau favipiravir (sediaan 200 mg ) dengan loading dose 1600 mg per 12 jam per oral pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 2 x 600 mg pada hari ke 2-5

j. Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan terapi empiris pneumonia komunitas atau dapat disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien

k. Anti interleukin-6 (IL-6) Tocilizumab atau Sarilumab merupakan obat kelompok anti IL-6. Sarilumab belum tersedia di Indonesia, sehingga yang dipakai adalah Tocilizumab, diberikan dengan dosis 8 mg/kgBB single dose atau dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan apabila gejala memburuk atau tidak ada perbaikan dengan dosis yang sama.

Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam maksimal pemberian 800 mg per dosis

l. Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman Tatalaksana syok yang sudah ada

m. Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi n. Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP 2.2.7 Epidemiologi

Virus SARS-CoV-2 didunia semakin tidak terkontol penyebaranya,Sejak kasus pertama di Wuhan, terjadi peningkatan kasus COVID-19 di China setiap hari dan memuncak diantara akhir Januari hingga awal Februari 2020. Kasus terbanyak dilaporkan datang dari Hubei dan provinsi di sekitar, kemudian bertambah hingga ke provinsi-provinsi lain dan seluruh China.7 Tanggal 30 Januari 2020, telah terdapat 7.736 kasus terkonfirmasi COVID-19 di China, dan 86 kasus lain

(17)

dilaporkan dari berbagai negara seperti Taiwan, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nepal, Sri Lanka, Kamboja, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina, India, Australia, Kanada, Finlandia, Prancis, dan Jerman. Sedangkan di Indonesia sendiri COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 sejumlah dua kasus. Kasus yang terkonfirmasi hingga 27 Desember 2021 berjumlah 4.261.879 kasus dengan kematian sebesar 144.063 kasus (WHO, 2021).

2.3 Tinjauan Umum Sistem Imun

Tubuh manusia mempunya sistem kekebalan atau sistem imunitas yang berfungsi sebagai imunitas tubuh untuk melawan benda asing (patogen) yang akan masuk ke dalam tubuh. Dengan adanya sistem imunitas yang optimal maka tubuh tidak rentan terkena oleh invasi mikroorganisme patogen, adapun mikroorganisme yang berpotensi dapat menginvasi tubuh yang terdapat dilingkungan kehidupan manusia seperti protozoa, jamur, virus dan bakteri (Taupiqurrohman et al., 2016).

Sistem imun dilengkapi dengan adanya kemampuan untuk membedakan (self) bagian dari dirinya sendiri, baik berupa bagian sel, sel, jaringan, maupun organ, atau sistem organ dari tubuh sendiri, dengan benda asing (non self) baik berupa virus, bakteri, plasmodium, sel kanker atau mikroorganisme yang lain melalui berbagai reseptor yang terdapat pada permukaan sel dan sistem pengenal lainnya untuk dapat dikenali oleh sistem imun tubuh (Akrom, 2017).

2.3.1 Klasifikasi Sistem Imun

Tubuh mempunyai dua tahap pertahanan yaitu, sistem imun bawaan (innate immunity) yang bersifat non-spesifik dan sistem imun adaptif (adaptive immunity) yang bersifat spesifik yang masing-masing memiliki peran dalam pertahanan tubuh, sistem imun bawaan (innate immunity) merupakan perlindungan awal dalam melawan infeksi dan memberikan efek perlindungan dengan cepat, sedangan sistem imun adaptif (adaptive immunity) merupakan sistem imun yang lebih spesifik terhadap antigen tertentu dan berkembang lebih lambat dan efektif dalam melawan infeksi seperti yang dijelaskan pada Gambar. Koodinasi di antara kedua sistem imun ini sangat diperlukan untuk melindungi tubuh dari patogen (Malik, 2019).

(18)

Gambar 2. 3Prinsip Mekanisme Imunitas Bawaan dan Adaptif (Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, 2015)

2.3.2 Sistem Imun Bawaan (Innate)

Sistem imun bawaan (Innate) ini bersifat non spesifik yang merupakan proses perlindungan awal terhadap zat asing yang memiliki fungsi untuk mencegah masuknya mikroba dan secara cepat akan mengeliminasi mikroba yang berhasil masuk ke jaringan tanpa harus mengenali suatu bibit penyakit tertentu karena sistem imun ini tidak memiliki ingatan atau memori (Hidayat & Syahputa, 2020). Sistem imun bawaan (Innate) sudah ada pada diri seseorang sejak dari kandungan dan mempunyai komponen pertahanan berupa sel epitel yang nantinya dapat memblokir patogen yang akan masuk kedalam tubuh. Jika patogen berhasil masuk kedalam sirkulasi darah dan jaringan, maka sel-sel yang bersifat fagositik yang diantaranya yakni makrofag, neutrofil, dan sel dendrit, non fagositik (NK) dan protein komplemen akan menyerang patogen dan membunuhnya. Sistem imun bawaan bersifat eksternal dan internal. Perlindungan eksternal juga disebut perlindungan permukaan, karena melindungi pada bagian luar yang terdiri dari jaringan epitelium yang dapat melindungi tubuh kita (kulit dan jaringan mukus) beserta sekresi yang dihasilkannya, sedangkan perlindungan internal bersifat perlindungan seluler dan kimiawi yang akan melawan bakteri, virus, atau zat-zat asing yang mampu melewati perlindungan external (Huldan, 2018).

(19)

2.3.2.1 Pertahanan Fisik/Mekanik

Kebanyakan mikroba yang ada tidak dapat menembus keratinosit dan lapisan epidermis kulit sehat dan epitel mukosa yang utuh. Mekanisme pertahanan fisik dapat berupa kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi (Imunoserologi, 2018).

2.3.2.2 Pertahanan Biokimia

Pertahanan ini berupa zat-zat kimia di dalam tubuh yang akan melawan mikroba yang lolos dari pertahanan fisik. Pertahanan ini dapat berupa ph asam yang dikeluarkan oleh kelenjar keringat, asam lambung yang diproduksi asam lambung, air susu dan saliva yang dapat melindungi tubuh terhadap berbagai kuman gram positif karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan pada dinding bakteri (Imunoserologi, 2018).

2.3.2.3 Pertahanan Humoral Non-Spesifik

Pertahanan ini disebut humoral karena melibatkan molekul-molekul yang larut untuk melawan mikroba, molekul yang bekerja pada pertahanan ini berada di sekitar daerah yang dilalui mikroba, contohnya Interferon (INF), Defensin, Kateisidin, dan sistem komplemen. Sel utama yang berperan dalam sistem imun bawaan (non-spesifik) adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta polimorfonuklear atau granulosit (neutrofil) yang merupakan senyawa – senyawa yang terdapat di alam cairan darah. Bahan-bahan tersebut ialah komplemen, interferon dan C Reaktive Protein (CRP) (Huldan, 2018).

2.3.2.4 Pertahanan Seluler Non-Spesifik

Pertahanan seluler ini melibatkan sel-sel sistem imun dalam melawan mikroba yang memiliki kemampuan fagositosis. Komponen yang berperan pada pertahanan seluler Non-spesifik meliputi, sel NK, sel mast.Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan.Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel dalam jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK makrofag dapat memfagosit bakteri dan sel neutrofil akan membunuh bakteri secara intraseluler caranya dengan menelannya (Huldan, 2018).

(20)

2.3.3 Sistem Imun Adaptif

Sistem imun adaptif membutuhkan waktu yang relatif lama dan sampai berhari-hari untuk bekerja melawan patogen, namun adaptive immunity lebih efektif dalam menangkal virus. Adaptive immunity mempunyai karakteristik yang khas, karenabaru terbentuk setelah adanya stimulasi dari patogen atau setelah terjadinya infeksi virus. Jenis imunitas ini mempunyai kemampuan memori imunologis yaitu dapat mengenali dan mengingat patogen yang pertama kali masuk ke dalam tubuh. Apabila tubuh kembali terpapar patogen yang sama, maka patogen tersebut akan cepat dikenali dan akan lebih cepat bereaksi dalam membunuh patogen dari dalam tubuh. Mekanisme adaptive immunity diperankan oleh antigen precenting cell (APC) atau biasa disebut makrofag, serta sel limfosit B dan T yang masing-masing mempunyai peran pada imunitas selular dan humoral. Yang pertama, sel limfosit T memproses respons imun dan melisis sel yang akan dihuni antigen. Terakhir sel limfosit B akan berubah menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang nantinya akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis dan lisis antigen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen atau biasa disebut proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC) (Keolahragaan et al., n.d.).

Gambar 2. 4Tipe Imunitas Adaptif (Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S, 2015)

(21)

2.3.4 Sistem Imunitas Humoral

Pada sistem imunitas adaptif humoral komponen yang berperan utama ini adalah sel limfosit B atau sel B. Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama dari antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri serta menetralkan toksinnya. Sistem imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah. Pada respons imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk klon sel B memory.

Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibody spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Agar limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper), yang atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibody. Selain oleh sel T- penolong, produksi antibody juga diatur oleh sel T penekan (T-supresor), sehingga produksi antibody seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pada respons imun humoral terhadap SARS-CoV-2, sel T CD4+ akan berinteraksi dengan sel B.

Kemudian sel B berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi (IgM dan IgG). Baik IgM dan IgG akan mulai muncul pada minggu kedua setelah pajanan virus, diikuti dengan antibodi yang mempunyai kemampuan untuk menetralisasi infeksi virus (antibodi penetralan) (Ida et al., 2017).

2.3.5 Sistem Imunitas Seluler (Cell Mediated Immunity)

Fungsi utama dari sistem imun spesifik seluler ialah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Banyak mikroorganisme yang hidup dan berkembang baik secara intra seluler, antara lain didalam makrofag sehingga sulit dijangkau oleh antibodi, dibutuhkan respon imun seluler untuk dapat melawan mikroorganisme intraseluler yang diperankan oleh limfosit T. Subpopulasi sel T yang disebut dengan sel T penolong (T-helper) akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui major

(22)

histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya interferon, yang dapat membantu makrofag untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang disebut dengan sel T-sitotoksik, karena berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell).

Selain menghancurkan mikroorganisme secara langsung, sel T-sitotoksik, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme kedalam sel lainnya (Ida et al., 2017).

2.4 Tinjauan umum Sel T

Sel T atau Limfosit T berasal dari sel yang sama seperti sel B, namun pada orang dewasa sel T dibentuk didalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus atau pengaruh berbagai faktor asal timus. 90-95% dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10%

menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk kedalam sirkulasi. , sel T terdiri atas beberapa subsset dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4⁺ (Th1, Th2), CD8⁺ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi dari Sel CD4⁺mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba dan Sel CD8⁺ memusnahkan sel terinfeksi (Imunoserologi, 2018). Mekanisme presentasi antigen yang masuk dalam tubuh dipicu oleh adanya antigen/mikrooragnisme yang masuk ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh sel limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen. Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respons imun dapat bersifat lokal atau

(23)

sistemik dan akan berhenti bila antigen sudah berhasil dieliminasi melalui mekanisme kontrol. Respons imun terhadap sebagian besar antigen hanya dimulai bila antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC (antigen presenting cell), oleh karena itu sel T hanya mengenali imunogen yang terikat pada protein Major Histo Compatibility (MHC) pada permukaan sel lain, adapun protein MHC terbagi menjadi 2 kelas yakni Protein MHC kelas I dan Protein MHC kelas II. Protein MHC kelas I diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk presentasi antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel sitotoksik, hampir sebagian besar sel mempresentasikan antigen ke sel T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc tersebut sedangkan Protein MHC kelas II Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk presentasi antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T helper (Th). Aktivasi sel Th ini diperlukan untuk respons imun yang sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan poros penting dalam mengontrol respons imun tersebut (Imunoserologi, 2018).

2.4.1 Jenis-jenis Sel T

Sel "T" berasal dari kata timus, yaitu suatu kelenjar dalam rongga dada di atas jantung yang berperan dalam pematangan limfosit T setelah diproduksi di sumsum tulang. Sel T dapat dibedakan menjadi tiga jenis berikut (Syafa’ah & Yudhawati, 2019) :

1. Sel T sitotoksik, berfungsi menyerang patogen yang masuk ke tubuh, sel tubuh yang terinfeksi, serta sel kanker secara langsung.

2. Sel T helper, berfungsi menstimulasi pembentukan jenis sel T lainnya dan sel B plasma serta mengaktivasi makrofag untuk melakukan fagositosis.

3. Sel T supresor, berfungsi menurunkan dan menghentikan respon imun dengan cara menurunkan produksi antibodi dan mengurangi aktivitas sel T sitotoksik.

Sel T supresor akan bekerja setelah infeksi berhasil ditangani 2.5 Analisis In silico Immunoinformatika

Seiring berkembangnya waktu muncul sejumlah penyakit/virus baru yang telah ditemukan, oleh karena itu diperlukan pengembangan vaksin sebagai solusi pengobatan alternatif, dengan adanya desain Immunoinformatika yang memadukan antara teknologi komputasi dengan biologi molekuler sehingga dapat melakukan

(24)

sebuah simulasi molekuler dengan akurasi hasil yang cukup tinggi. Dibandingkan dengan penelitian di Laboraturium, desain vaksin dengan menggunakan pendekatan immunoinformatika memiliki beberapa keunggulan diantaranya : efisiensi waktu, hasil dengan akurasi tinggi, biaya daoat ditekan dan simulasi molekuler dapat dilihat lebih jelas. Dalam pengembangan vaksin yang aman salah satunya menggunakan protein/peptida dari virus yang menjadikan sistem imun dapat langsung mengenai protein/peptida virus sintetik untuk menghasilkan respon imun dalam menghadapi virus yang sesungguhnya (Singh et al., 2020).

2.6 Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA-X)

Berbagai studi skala besar mengenai keanekaragaman biologis dengan tujuan melacak asal dan evolusi mengenai patogen mikroba sekuens genom (urutan genom) menjadi salah satu cara efisien dan ampuh, oleh karena itu diperlukan langkah untuk mendapatkan hasil data analisis komparatif mengenai urutan molekul untuk dapat menemukan perbedaan suatu genom fungsional dan adaptif, dengan adanya perangkat lunak Analisis Genetika Evolusi Molekuler (MEGA) yang mencakup program dalam penyelarasan sekuens kemudian menyimpulkan dengan pohon filogenetik, memperkirakan jarak keragaman suatu genetik dan pengujian. Pada perangkat ini juga diterapkan metode phylogenomics dan phylomedicine yang tidak memerlukan perangkat lunak virtualisasi dan telah ditingkatkan untuk penggunaan beberapa komputasi inti guna analisis evolusi molekuler (Kumar et al., 2018).

2.7 The Immune Epitope Database (IEDB)

Perangkat IEDB pertama dipublikasikan pada tahun 2003 yang membantu dalam memastikan aksesibilitas publik terhadap data imunologi atau bioinformatika, secara signifikan IEDB melakukan penambahan dan meningkatkan fitur untuk dapat berorientasi kepada masyarakat luas hingga tahun 2012 dan terus mempertahankan kualitas dengan meningkatkan perolehan, pengelolaan, analisis, penyebaran data serta pengetahuan terkait imunologi. Alat yang tersedia diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu : analisis dan prediksi. Alat analisis meliputi pengelompokan epitop dan urutan, sedangkan alat prediksi mencakup untuk menganalisis dan memprediksi epitop sel T dan B, imunogenisitas, dan struktur TCR/BCR. Alat prediksi mengekstrapolasi di luar data yang disimpan

(25)

dalam database dan dapat digunakan untuk memprediksi epitop dalam urutan protein atau memprediksi sifat epitop yang diketahui, seperti afinitas pengikatan MHC sedangkan alat analisis membantu mengekstrak dan menafsirkan data yang terkandung dalam database dengan mengidentifikasi karakteristik kumpulan data yang ada (Martini et al., 2020).

2.8 VaxiJen 2.0

Dalam penemuan vaksin diperlukan prediksi imunogenisitas, Vaxijen 2.0 adalah salah satu metode yang dapat membedakan antara imunogen dan non imunogen diantara protein virus, bakteri, parasit, jamur, serta patogen. VaxiJen 2.0 sendiri menggunakan skala Z untuk menggambarkan sifat fisikokimia utama asam amino untuk membangun protein yang telah diuji, kemudian mengkonversi dan diturunkan menjadi vektor yang berseragam oleh auto cross covariance (ACC).

Model turunan diuji dengan validasi silang internal leave-one-out dan validasi eksternal menggunakan test set. Lima set pelatihan tambahan untuk setiap kelas antigen digunakan untuk menguji stabilitas pembedaan antara antigen dan non- antigen. Model berkinerja baik di kedua validasi menunjukkan akurasi prediksi 70% hingga 89% (Hafidzhah et al., 2021).

2.9 Basic Local Alignment and Search Tool Protein (BLASTP)

Perangkat BLASTP populer digunakan untuk menyimpulkan hubungan fungsional dan evolusi antara sekuens serta membantu mengidentifikasi gen.

BLASTP menggunakan sequence protein sebagai query untuk mencocokan berdasarkan database sequence protein, mengetahui perbedaan antara sensitivitas dan selektivitas dapat ditingkatkan baik dengan meningkatkan sensitivitas, kemampuan metode untuk mengenali urutan yang berhubungan jauh, atau dengan meningkatkan selektivitas, yang berarti menurunkan skor untuk urutan yang tidak berhubungan. Karena ada banyak, lebih banyak urutan yang tidak terkait dalam database daripada yang terkait, perubahan yang mengurangi skor urutan yang tidak terkait dapat memiliki efek kurang efektif (Ayu et al., 2021).

Referensi

Dokumen terkait

persoalan yang harus dijawab seperti misal adalah apakah jika fokus tunggal telah dipilih oleh administrasi negara yakni ilmu administrasi, apakah ia berhak bicara tentang

Jika kedua ruas suatu persamaan ditambah dengan bilangan yang sama, maka diperoleh persamaan lain yang ekuivalen dengan persamaan semula..

Kondisi awal yang menjadi permasalahan di SD Negeri 1 Kalitinggar Kidul yaitu sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPA yang

SUIIARDJON0

Di antaranya yaitu dapat memenuhi kebutuhan makan sehat pada masyarakat perkotaan di masa yang akan datang, meningkatkan hasil produksi pertanian, serta melindungi tumbuhan

Sedangkan untuk lapisan bagian dalam yaitu length core dan cross core, masing-masing dapat menggunakan segala jenis kayu yang umum untuk pembuatan kayu lapis seperti meranti,

Tanaman pisang memiliki banyak manfaat, tidak hanya pada bagian buah dan daunnya tetapi bagian bonggol pisang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan

Remaja yang sudah kecandua rokok pada umumnya tidak dapat menahan keinginan untuk tidak merokok, yang dikarenakan mereka cenderung sensitif terhadap efek