• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM MENGENALKAN PENDIDIKAN SEKSUAL KEPADA ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI AUTIS PROVINSI SUMATERA UTARA TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODEL KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM MENGENALKAN PENDIDIKAN SEKSUAL KEPADA ANAK AUTIS DI SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI AUTIS PROVINSI SUMATERA UTARA TESIS"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

SYAIRA ARLIZAR RITONGA 177045016

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(2)

PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAIRA ARLIZAR RITONGA 177045016

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2019

(3)

MODEL KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM

MENGENALKAN PENDIDIKAN SEKSUAL KEPADA ANAK AUTIS DI “SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI AUTIS”

PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara orang tua dan anak autis, serta untuk menemukan model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi. Subjek penelitian adalah enam orang tua yang mempunyai anak autis sebagai informan utama dan tiga orang guru sebagai informan pendukung.

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara orang tua dan anak autis berlangsung secara satu arah dan dua arah. Di dalam proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara orang tua dan anak autis, terdapat tiga hal penting yang berkaitan dengan teori interaksi simbolik yaitu makna, konsep diri, dan masyarakat. Model komunikasi yang diterapkan oleh orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis yaitu model komunikasi linear dan interaksional. Model komunikasi linear diterapkan oleh orang tua yang menggunakan komunikasi satu arah. Dalam model ini orang tua berperan aktif memberikan pesan / instruksi, sedangkan anak autis berperan pasif dalam menerima pesan / instruksi. Kemudian model komunikasi interaksional diterapkan oleh orang tua yang menggunakan komunikasi dua arah. Dalam model ini, terjadi interaksi di antara orang tua dan anak autis. Orang tua mengenalkan dan mengajarkan tentang pendidikan seksual kepada anak autis secara terus-menerus dan berulang-ulang.

Kata kunci: Model Komunikasi, Pendidikan Seksual, Anak Autis, SLB Negeri Autis Provinsi Sumatera Utara.

(4)
(5)
(6)

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Telah diuji pada

Tanggal: 8 November 2019

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Syafruddin Pohan, S.H, M.Si., Ph.D Anggota : 1. Dr. Nurbani, M.Si

2. Dra. Mazdalifah, M.Si, Ph.D 3. Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini tentunya tidak terlepas dari bantuan, dukungan serta dorongan dari berbagai pihak. Rasa cinta dan terima kasih tak terhingga, senantiasa saya sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta ayahanda Syafruddin Ritonga dan ibunda Nurmaida Irawani Siregar, atas segala doa dan kasih sayang kepada saya.

Selain itu saya juga banyak memperoleh bantuan moril dan materi dari berbagai pihak, karenanya pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A, Ph.D, selaku Ketua Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, S.H, M.Si, Ph.D, selaku Sekretaris Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.

5. Ibu Dr. Nurbani, M.Si, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.

6. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si, Ph.D, selaku Komisi Pembanding yang telah mengarahkan dan membimbing penulis serta telah memberikan masukan dan arahan dalam penulisan karya ilmiah ini.

(9)

9. Para informan penelitian yaitu keenam orang tua (Ibu Tami, Ibu Leli, Ibu Wahidah, Ibu Suhaida, Ibu Nurasriah, Ibu Maria) yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diberikan oleh penulis.

10. Staf Administrasi Magister Ilmu Komunikasi yang telah membantu dalam mengurus keperluan administrasi penulis selama proses penyelesaian tesis di Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

11. Poscop Grup, teman seperjuangan dan tempat berbagi keluh kesah selama dunia pertesisan. Terimakasih sudah menjadi teman sekaligus keluarga yang setia menemani sampai proses akhir.

12. Rekan-rekan Magister Ilmu Komunikasi Reguler dan Kominfo 2017 yang memiliki semangat tinggi dalam menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini.

Penulis juga menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat beberapa kelemahan, oleh karenanya penulis dapat menerima saran dan kritik konstruktif dengan lapang hati. Semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga segala kebaikan Bapak, Ibu dan rekan-rekan sekalian dibalas oleh Allah SWT, yang senantiasa selalu memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua. Amin Ya Rabbal „Alamin.

Medan, 14 Oktober 2019 Penulis,

Syaira Arlizar Ritonga

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………...………... i

ABSTRACT ………...………....………... ii

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ...………. iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...…………. iv

PERNYATAAN …...………... v

KATA PENGANTAR ………...………. vi

DAFTAR ISI ………...………... viii

DAFTAR GAMBAR ………...……… x

DAFTAR TABEL ………...………... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Fokus Penelitian ………...……… 10

1.3 Tujuan Penelitian ………...………. 10

1.4 Manfaat Penelitian ………...……….. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian ...………...….. 12

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu ...………... 13

2.3 Uraian Teoretis ...….………...……….. 22

2.3.1 Komunikasi Antarpribadi .…………...……….. 22

2.3.2 Teori Interaksi Simbolik ………...………. 27

2.3.3 Model Komunikasi ……...………... 30

2.3.4 Autis ………..………...………... 40

2.3.5 Pendidikan Seksual untuk Anak Autis …...…….... 45

2.4 Kerangka Pemikiran ………... 51

(11)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ………... 52

3.2 Aspek Kajian ...…….………..………. 53

3.3 Subjek Penelitian ...………..………. 53

3.4 Teknik Pengumpulan Data ...……..………. 54

3.5 Teknik Analisis Data ...…………..………. 56

3.6 Teknik Keabsahan Data (Triangulasi) ...………. 57

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Proses Penelitian ...…….………..………... 58

4.2 Deskripsi Lokasi Penelitian …...………... 63

4.3 Temuan Penelitian ...……..……...………...………... 65

4.4 Kategorisasi Temuan Penelitian ...……….... 84

4.5 Triangulasi ...………..……...………... 100

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Proses Komunikasi Antarpribadi yang Terjalin antara Orang tua dan Anak Autis ...……….………..……...……….. 104

5.2 Model Komunikasi Orang tua dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual kepada Anak Autis ...………..……...……….. 111

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ………...………...……...………. 115

6.2 Saran ………..……...………...………... 116

DAFTAR PUSTAKA ………..……...…………...……….... 117 LAMPIRAN

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Model Komunikasi Linier ... …… 31

Gambar 2.2 Model Komunikasi Interaksional ... 34

Gambar 2.3 Model Komunikasi Transaksional ... 38

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran ... 51

Gambar 5.1 Model Komunikasi Linear pada Informan 3, 4, dan 5 …... 112

Gambar 5.2 Model Komunikasi Interaksional pada Informan 1, 2, 6 ... 114

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Sejenis Terdahulu ... 22

Tabel 4.1 Data Umum Informan Utama ... 66

Tabel 4.2 Data Umum Informan Pendukung ... 84

Tabel 4.3 Penyajian Data (Data Display) Temuan Penelitian ... 98

Tabel 4.4 Kategorisasi Temuan Penelitian ... 100

(14)

1.1 Latar Belakang

Komunikasi merupakan suatu hal yang penting dan selalu dilibatkan dalam segala aktivitas yang dilakukan makhluk hidup. Komunikasi yang terjalin bisa dalam bentuk komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal yaitu ucapan langsung yang menggunakan kata-kata sedangkan komunikasi non verbal yaitu simbol-simbol yang diciptakan dari gerakan tubuh (gesture). Komunikasi memiliki berbagai jenis, yaitu komunikasi antarpribadi, kelompok, massa, dan lain sebagainya. Salah satu jenis komunikasi yang dikaitkan dalam penelitian ini adalah komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi merupakan proses pertukaran informasi yang dilakukan oleh dua orang individu yang dianggap paling efektif dan prosesnya dapat dilakukan dengan sederhana. Komunikasi antarpribadi berpusat pada kualitas pertukaran informasi antar orang-orang yang terlibat (Harapan, 2014:5).

Penelitian ini membahas tentang proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara orang tua dan anak autis, dan juga tentang model komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

Dalam hal ini, komunikasi antarpribadi orang tua sangat dibutuhkan untuk mengubah sikap dan pemikiran anak autis tentang seks. Intensitas dan kedekatan antara orang tua dan anak autis dapat mempengaruhi keefektifan komunikasi yang dilakukan di antara keduanya.

(15)

Autis merupakan suatu kondisi seseorang yang mengalami gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, kognisi, dan atensi. Autis juga bisa dikatakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf yang biasanya dapat mengganggu perkembangan anak. Anak penderita autis adalah anak yang membutuhkan perhatian dan perlakuan khusus dari lingkungan sekitarnya yang berbeda dengan anak normal lainnya. Mereka seperti terbelenggu dengan dunianya sendiri karena mengalami hambatan dalam komunikasi dan interaksi sosial dengan orang lain.

Mereka mengalami kurangnya kemampuan dalam merespon sesuatu dari orang lain dan lingkungan sekitar sebagaimana mestinya dan ketika mereka memberikan respon balik sering menggunakan cara yang unik. Pada dasarnya anak-anak penderita autis bukanlah anak yang “bodoh” atau “idiot”. Mereka hanya anak- anak yang mengalami gangguan komunikasi dan sosialisasi dalam dirinya.

Menurut bahasa, autis berasal dari kata „autos‟ yang artinya segala sesuatu yang pribadi dari seseorang. Sedangkan menurut terminologi psikologi, autis memiliki definisi yaitu cara berpikir seseorang yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, bersikap berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dalam menanggapi dunia, dan juga berpikir dengan fantasinya sendiri (Reefani, 2013:27). Autis juga berarti suatu keadaan dimana seorang anak berbuat semaunya sendiri baik dalam cara berfikir maupun berperilaku. Keadaan ini biasanya terjadi sejak usia masih balita dan biasanya terjadi berkisar usia 2 sampai dengan 3 tahun. Dimana biasanya pada usia tersebut anak sudah mulai belajar untuk bicara, tapi pada anak penderita autis mengalami keterlambatan dalam hal

(16)

interaksi sosial, masalah dalam bahasa yang digunakan, dalam komunikasi sosial dan permainan simbolik atau imajinatif.

Seiring berjalannya waktu, anak-anak penderita autis ini akan bertambah usia dan menjadi seorang remaja. Setiap inidividu memasuki masa remaja yang berbeda-beda, begitu juga dengan masa remaja yang dialami oleh remaja autis.

Namun perkembangan berfikir mereka masih belum sempurna layaknya remaja normal lainnya. Dengan kekurangan yang dimilikinya, remaja autis semakin sulit dalam memahami hal-hal yang berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa pubertas. Misalnya seperti bagaimana cara menjaga kebersihan diri dan bagian-bagian tubuh (intim) lainnya. Selain itu pada fase ini, remaja autis juga harus mengetahui batasan-batasan dalam berhubungan (bergaul) dengan orang lain, apa yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh orang lain. Hal-hal semacam inilah yang dikhawatirkan dapat menimbulkan suatu masalah pada remaja penderita autis.

Dikutip dari sumber berita online tirto.id, Rachel L. Loftin dan Ann Hartlage S, dalam penelitian bertajuk “Sex Education, Sexual Health, and Autism Spectrum Disorder (ASD)” yang dipublikasikan pada tahun 2015 mencuplik teori dominan ASD, yaitu Theory of Mind (ToM). Teori ToM menegaskan bahwa

“mindblindness” pada ASD sebagai akar gangguan. Artinya, individu dengan ASD sulit memahami keadaan mental (keyakinan, keinginan, dan niat) diri sendiri dengan orang lain. Kemampuan kognitif sosial seperti mendeteksi penipuan atau kejahatan sulit dipahami. Akibatnya, tak jarang individu dengan ASD menjadi korban perundungan, penipuan, hingga kejahatan seksual. Contoh terakhir sering

(17)

terjadi, paling baru di awal tahun 2017 lalu. Seorang siswi Sekolah Luar Biasa (SLB) Ma‟inong, Sulawesi Selatan melahirkan seorang bayi karena diperkosa.

Di sisi lain, masih dalam lingkup seksualitas, individu dengan ASD terkadang juga melakukan tindakan yang apabila diukur dengan standar umum dinilai tak senonoh. Misal, melepas pakaian di tempat umum atau menyentuh bagian vital dari lawan jenis. Menurut dr. Merwin Tjahjadi, Sp.OG, spesialis kandungan dan kebidanan, hal tersebut dapat terjadi lantaran individu dengan ASD mengalami pubertas dan memiliki dorongan seksual normal. Penyandang autisme punya mekanisme seksual dan masa pubertas seperti remaja pada umumnya, sehingga pendidikan seks tetap perlu diajarkan kepada anak dengan ASD untuk menghindari pelecehan dan perilaku seksual yang dianggap tak pantas. Menurut penelitian Rachel L. Loftin dan Ann Hartlage S ini, pubertas dapat terjadi lebih awal pada remaja laki-laki dengan ASD dibandingkan menstruasi pertama pada remaja perempuan ASD. Artinya, pendidikan seks harus dimulai lebih awal pada remaja laki-laki dengan ASD (tirto.id/saat penyandang autisme mulai puber orang tua harus bagaimana).

Berdasarkan pengalaman peneliti pada tahun 2016, peneliti pernah melakukan penelitian dengan tema dan subjek penelitian yang sama yaitu tentang anak autis yang berjudul “Komunikasi Interpersonal Guru dan Siswa dalam Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Autis di SLB Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan”. Dalam penelitian, salah satu subjek penelitian yaitu anak autis yang berinisial “K”, pada saat itu berumur 15 tahun. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru anak autis yaitu Ibu Rahmah, menurutnya

(18)

“K” sudah mulai mengerti dan menyukai lawan jenisnya. Dia mengatakan kepada gurunya bahwa dia menyukai teman perempuan di kelasnya. Dia tidak mengerti dan belum mengerti malu ketika “membuka celananya” di depan teman perempuannya. Hal semacam inilah yang seharusnya diberitahukan kepada mereka, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Peran orang tua dan guru juga sangat penting dalam memberikan pengetahuan dan pendidikan tentang seks kepada anak autis yang sudah mulai beranjak remaja.

Penyandang autis sama halnya dengan mereka yang tidak memiliki gangguan perkembangan seperti ini, yaitu merupakan makhluk seksual yang memiliki gejolak seksualitas yang sama dengan orang lain. Pertumbuhan fisik yang dialami oleh remaja autis juga sama dengan pertumbuhan fisik yang dialami oleh remaja normal lainnya. Namun perkembangan emosi dan keterampilan sosial mereka masih tertinggal dari teman-teman seusianya yang non-autisme. Jika pada remaja normal lainnya, mereka bisa mudah mengobrol, mencari informasi, dan mendiskusikan perubahan-perubahan tubuh yang terjadi kepada orang tua atau orang terdekatnya. Namun berbeda halnya dengan remaja autis, mereka mengalami gangguan komunikasi dan interaksi kepada orang lain sehingga membuat mereka sulit untuk mendapatkan pengetahuan dan memberitahukan tentang perubahan tersebut.

Pendidikan seksual sangat penting diberikan kepada anak-anak dan remaja.

Apalagi dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian ini adalah anak autis.

Namun pada kenyataannya masalah pendidikan seksual kerap kali disalahartikan oleh kebanyakan orang tua. Ketika berkaitan dengan seks, maka akan dianggap

(19)

tabu dan tidak pantas untuk diperkenalkan kepada anak. Apalagi ketika sang anak masih berusia dini dan ketika sudah mulai beranjak dewasa, khususnya pada budaya timur tersirat bahwa adanya jarak pemisah antara orang tua dan anak dalam membicarakan hal-hal yang dianggap intim. Pendidikan seksual dianggap tidak layak untuk diperbincangkan antara orang tua dan anak, sehingga kerap kali dikesampingkan nilainya. Bukan hanya untuk menghindari tindakan tidak bertanggung jawab di kemudian hari dari sang anak, memberikan pendidikan seksual kepada anak apalagi yang mengalami gangguan seperti autis ini, juga dibutuhkan untuk membantu mereka menjaga diri dan tubuhnya dari orang-orang di sekitar yang tidak dikenalnya.

Dikutip dari laman situs berita online tirto.id, pada tahun 2018 lalu terdapat beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Seperti kasus di Jambi, seorang remaja putri berinisial WA (15) diperkosa hingga hamil oleh kakak kandungnya, AA (18). Namun AD, ibu kedua anak itu justru mengaborsi bayi WA dengan memberi ramuan tradisional dan memijat perut anak perempuannya itu. Pada bulan Mei 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi menjatuhkan vonis enam bulan penjara kepada WA dengan tuduhan melakukan aborsi. Sementara sang kakak divonis dua tahun penjara atas perkosaan yang ia lakukan. Selanjutnya, kasus yang cukup menyita perhatian adalah kasus Agni, seorang mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) pada bulan November lalu. Ia mengalami kekerasan seksual dari rekannya saat menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) periode Juli-Agustus 2017 di Pulau Seram, Maluku. Agni baru berani melakukan pelaporan ke kepolisian pada

(20)

pertengahan Desember lalu, setelah banyak dukungan mengalir kepadanya.

Sebelumnya, Agni harus menerima kenyataan bahwa pihak kampus menyikapi kasusnya sebagai pelanggaran ringan. Pelaku tak bisa dikeluarkan, melainkan hanya diberi sanksi berupa penundaan kelulusan dan pengulangan KKN. Pihak rektorat juga belum memberi keputusan terkait rekomendasi sanksi yang diajukan tim investigasi sejak Juli 2018 (tirto.id/2018 jadi tahun yang buruk bagi korban kekerasan seksual).

Selain kasus kekerasan seksual di atas, ada juga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada remaja autis. Dilansir dari halaman detik.com (Rabu, 26/10/2016), gadis berusia 13 tahun penyandang autis asal kota Sukabumi, Jawa Barat diduga menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual di Rumah Sakit (RS) R Syamsuddin SH, Kota Sukabumi. Ibu korban NK (54) kemudian mengadukan masalah itu ke aparat kepolisian. Menurut pengakuan NK, dirinya memergoki sendiri putrinya itu dalam keadaan telanjang di ruang Kemuning khusus perawatan penyandang kejiwaan di Rumah Sakit (RS) R Syamsudin SH, Kota Sukabumi. Peristiwa itu disebut NK terjadi pada Kamis (20/10) sekitar pukul 20.00 WIB. Saat itu ia berniat melihat kondisi putrinya di ruang kemuning. “Saya lihat anak saya tidak memakai baju, berada di ruangan khusus pasien penyakit jiwa laki-laki. Saya sempat protes ke pihak rumah sakit namun tidak mendapat tanggapan,” kata NK, kepada detik.com, Selasa (25/10/2016). Tak hanya itu, NK juga melihat putrinya dalam keadaan babak belur. Ada luka lebam dibagian wajah dan luka cakaran di pergelangan tangan. Malam itu juga NK melaporkan kejadian itu ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Sukabumi Kota.

(21)

Kepada petugas ia mengadukan semua yang terjadi pada putrinya itu (news.detik.com/berita/bocah penyandang autis diduga jadi korban kekerasan seksual di sukabumi).

Kasus kekerasan atau pelecehan seksual saat ini sudah banyak terjadi di Indonesia. Mirisnya lagi yang menjadi korban kebanyakan masih berada di bawah umur dan pelakunya justru adalah orang terdekat korban tersebut. Pendidikan seksual yang selama ini masih dianggap tabu oleh sebagian orang tua, seharusnya adalah sesuatu yang wajib dikenalkan kepada anak sedari mereka kecil. Orang tua bisa memulainya dari hal-hal yang kecil seperti misalnya memberitahukan kepada anak beberapa bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan ataupun disentuh oleh orang lain. Jika dilihat dari cara penyampaian pesan, pastilah berbeda cara penyampaian pesan tentang pendidikan seksual kepada anak autis dan anak normal lainnya. Butuh usaha dan pengemasan yang lebih dalam menyampaikan pesan kepada anak autis agar mereka dapat mudah memahami pesan yang ingin disampaikan tersebut. Kekurangan dalam hal berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain menjadi salah satu penghambat dalam hal menyampaikan edukasi tentang seksual kepada anak autis.

Mengingat pentingnya pendidikan seksual untuk penyandang autis, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis. Dari penelitian ini, peneliti ingin mengetahui proses komunikasi antarpribadi yang terjadi antara orang tua dan anak autis. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui dan menemukan model komunikasi yang efektif yang dapat diterapkan orang tua dalam memberikan

(22)

pemahaman seputar pendidikan seksual kepada anak autis yang mengalami kesulitan dan gangguan dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Dari penjelasan permasalahan di atas, maka dibutuhkan suatu model komunikasi yang dapat membantu orang tua untuk menjelaskan tentang pendidikan seksual kepada anak autis. Model komunikasi merupakan cara atau pola yang ditampilkan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan, ide atau gagasan. Model komunikasi dapat dilihat ketika seseorang berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal, serta memberikan gambaran ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Komunikasi terkait dengan pengiriman dan penerimaan pesan, apabila dilakukan secara tepat maka pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Dari pemaparan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, peneliti memilih lokasi penelitian di SLB Negeri Autis Provinsi Sumatera Utara. SLB ini merupakan satu-satunya SLB yang hanya fokus dalam menangani anak autis.

Selain itu, SLB ini berada langsung di bawah Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Kurikulum yang diajarkan juga mengikuti kurikulum dari Dinas Pendidikan. Sistem penerimaan murid di SLB ini yaitu dengan melakukan proses assessment terlebih dahulu. Setelah melakukan proses assessment, barulah dapat diketahui apakah murid tersebut sudah bisa masuk langsung ke Sekolah Luar Biasa atau harus menjalani proses terapi terlebih dahulu.

(23)

1.2 Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis memfokuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara orang tua dan anak autis?

2) Bagaimana model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1) Untuk menganalisis proses komunikasi antarpribadi yang terjalin antara orang tua dan anak autis.

2) Untuk menemukan model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Aspek Teoritis

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam memperluas wawasan secara teori, khususnya yang berkaitan dengan model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

(24)

2) Aspek Akademis

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam menambah dan memperluas khazanah penelitian ilmu komunikasi, serta dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa khususnya mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara (USU).

3) Aspek Praktis

Penelitian ini bermanfaat dan menjadi masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait tentang model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

(25)

2.1 Paradigma Penelitian

Penelitian adalah suatu rangkaian kegiatan yang terencana. Untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan dari suatu penelitian, seorang peneliti harus memiliki paradigma yang merupakan sudut pandang atau alur dalam berfikir.

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn. Menurut beliau, paradigma bukan sekedar teori, paradigma menjadi model atau pola yang menjadi konsensus / kesepakatan dalam bidang ilmu pengetahuan dan dipergunakan sebagai peralatan analisis. Maka dari itu, paradigma juga digunakan sebagai konsep dalam komunikasi dan penelitian yang dilakukan di dalamnya.

Arifin (2012:146) menyebutkan bahwa paradigma adalah acuan yang menjadi landasan untuk setiap peneliti dalam mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis maupun tindakan peneliti. Paradigma berperan dalam menjelaskan asumsi-asumsi yang spesifik mengenai bagaimana penelitian harus dilakukan dalam bidang ilmu penelitian. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami masalah serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh Jesse Delia dan koleganya (Littlejohn dan Foss, 2011:179), yang menyebutkan bahwa individu menafsir dan

(26)

bertindak menurut kategori konseptual yang ada dalam pikiran. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti memiliki tujuan utama yaitu berusaha memaknai / menafsirkan makna-makna yang dimiliki orang lain tentang dunia ini (Creswell, 2016:12). Paradigma konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor / tokoh sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya (Bungin, 2011:206). Pada pandangan konstruktivis, seorang peneliti akan berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan / informan tentang situasi yang tengah diteliti. Semakin terbuka pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik, agar peneliti bisa mendengarkan dengan cermat apa yang dibicarakan dan apa yang dilakukan partisipan dalam kehidupan mereka.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai paradigma konstruktivisme, maka penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis karena dianggap mampu melihat realitas sosial untuk mengetahui pengalaman-pengalaman dalam proses komunikasi. Adapun komunikasi yang diamati dalam penelitian ini adalah model komunikasi orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan hal yang bisa menjadi dasar atau acuan serta dapat memberikan ide dan gambaran dalam penelitian ini. Peneliti telah membaca dan merangkum beberapa penelitian terdahulu yang dianggap berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Adapun penelitian terdahulu yang berkaitan dengan masalah yang ada di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(27)

1) Penelitian Tri Setyo Ariyanti (2011). Penelitian ini berjudul “Komunikasi Pendidikan Seksual untuk Remaja Autisme (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Guru dan Murid dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan guru mengenai seksualitas sangat berpengaruh pada proses komunikasi. Keterbukaan guru mengenai masalah seksual menentukan jumlah informasi yang diterima remaja autisme. Media yang digunakan untuk mendukung komunikasi pendidikan seksual terdiri dari media verbal, yaitu bahasa dan media visual. Contohnya seperti gambar, foto, tulisan, dan sebagainya. Hambatan yang dirasakan selama proses komunikasi berlangsung berasal dari sumber, media, dan komunikan.

2) Penelitian yang berjudul “Memahami Komunikasi Antarpribadi Orang tua dengan Anak Autis dalam Memberikan Pendidikan Seksual pada Masa Puber”.

Penelitian ini dilakukan oleh Della Novika Ayu Pradini (2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi dalam memberikan pendidikan seksual antara orang tua dan anak autis terjalin dengan baik, ditandai dengan komunikasi asertif yang dilakukan orang tua, dan gaya pengasuhan authoritative yang diterapkan orang tua kepada anak autis. Dalam hal memberikan pendidikan seksual hanya orang tua yang dituntut untuk melihat lawan bicara (anak autis) sebagai pribadi yang unik. Sebaliknya, sulit mengharapkan anak autis untuk melakukan hal yang sama. Hal ini dikarenakan anak autis berada pada area self blind dimana ia tidak mampu memahami perubahan yang terjadi pada dirinya selama masa puber. Orang tua yang

(28)

memiliki inisiatif lebih dahulu untuk memberi pendidikan seksual dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang masa puber anak autis, agar orang tua dapat lebih siap dalam menghadapi tingkah laku anak autis pada masa puber.

Proses komunikasi antarpribadi orang tua dengan anak autis dalam memberikan pendidikan seksual tidak selalu berjalan lancar dan efektif. Hal ini dikarenakan anak autis tidak memiliki keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan, percaya diri, kedekatan (immediacy), manajemen interaksi, daya ekspresi, berorientasi kepada pihak lain yang menjadi indikator terjadinya komunikasi efektif antara orang tua dengan anak autis.

3) Penelitian yang dilakukan oleh Zahra Lutfi Masyitah (2015) ini merupakan penelitian berdasarkan kajian buku pendidikan seks untuk anak autis karya Fauziah Rachmawati. Penelitian ini berjudul “Strategi dan Metode Pendidikan Seks untuk Anak Autis (Kajian Buku Pendidikan Seks untuk Anak Autis karya Fauziah Rachmawati)”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan seks untuk anak autis merupakan hal yang perlu dilakukan sedini mungkin. Strategi dan metode yang digunakan yaitu strategi social stories, strategi percakapan komik, metode demonstrasi, sosiodrama, dan one-on-one.

4) Penelitian Linda Retnawati (2017). Penelitian ini berjudul “Strategi Pembelajaran Pendidikan Seksual untuk Remaja Autis di SMPLB Cita Hati Bunda Sidoarjo”. Hasil penelitian dan analisis data dari penelitian ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran kelompok-individu dan pembelajaran langsung. Prosedur pembelajaran pendidikan seksual di SMPLB Cita Hati Bunda Sidoarjo

(29)

melibatkan langkah pra-instruksional, instruksional, dan evaluasi / tindak lanjut. Langkah pra-instruksional adalah menentukan tujuan pembelajaran dengan melakukan kegiatan penilaian terlebih dahulu, membuat program pembelajaran, dan menyiapkan media dan bahan yang dibutuhkan dalam pembelajaran pendidikan seksual. Langkah-langkah instruksional dan tindak lanjut melibatkan penyajian materi, menghubungkan (korelasi, pelatihan asosiasi atau membimbing), menyimpulkan dan memberikan umpan balik, dan pelatihan aplikasi konsep. Metode pembelajaran pendidikan seksual yang digunakan di SMPLB Cita Hati Bunda Sidoarjo adalah metode demonstrasi, metode bor, metode bercerita, metode simulasi, metode penugasan, metode komunikasi melalui gambar dan video. Selain itu terdapat juga beberapa faktor gangguan / hambatan dalam menerapkan strategi belajar pendidikan seksual di SMPLB Cita Hati Bunda Sidoarjo yaitu hambatan ringan dan parah dari perilaku siswa, tingkat kecerdasan siswa, dan media pembelajaran yang digunakan kurang memadai.

5) Penelitian Diah Retno Anggraini, dkk (2018). Penelitian ini berjudul “Peran Orang tua dalam Mengenalkan Anggota Tubuh pada Anak Usia Pra Sekolah dengan Autistik”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peran orang tua yang maksimal menghasilkan perilaku individu autis yang mandiri. Mandiri dalam hal memahami anggota tubuh, menjaga kebersihan anggota tubuh dan memahami anggota tubuh yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Para orang tua juga dilatih untuk memiliki cara yang menyenangkan dan kreatif dalam mengajarkan dan mengenalkan anggota tubuh pada anak autis yaitu

(30)

dengan cara bermain tebak-tebakan, bernyanyi bersama, bermain dengan cermin dan stiker, story telling, dan bermain peran.

Berdasarkan pemaparan beberapa penelitian sejenis terdahulu di atas, maka terdapat perbedaan antara penelitian yang sudah pernah dilakukan dan penelitian yang baru saja dilakukan. Perbedaan-perbedaan tersebut yaitu sebagai berikut:

No. Judul Penelitian

Perbedaan dengan Penelitian yang Akan Dilakukan

1. “Komunikasi Pendidikan Seksual untuk Remaja Autisme (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Interpersonal Guru dan Murid dalam Mengenalkan Pendidikan Seksual di SLA Fredofios Yogyakarta)” oleh Tri Setyo Ariyanti (2011).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan yaitu:

a) Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi deskriptif, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan menggunakan metode penelitian studi fenomenologi.

b) Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana komunikasi interpersonal guru dan murid dalam mengenalkan pendidikan seksual, sedangkan dalam penelitian yang sudah dilakukan bertujuan untuk menganalisis proses

(31)

komunikasi antarpribadi orang tua dan anak autis, dan juga untuk menemukan model komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

2. “Memahami Komunikasi Antarpribadi Orang tua dengan Anak Autis dalam Memberikan Pendidikan Seksual pada Masa Puber” oleh Della Novika Ayu Pradini (2013).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan yaitu:

a) Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan menggunakan metode studi fenomenologi.

b) Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran bagaimana proses komunikasi antarpribadi orang tua dengan anak autis dalam memberikan pendidikan seksual pada masa puber, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan bertujuan untuk menganalisis proses komunikasi antarpribadi orang tua dan anak autis,

(32)

dan juga untuk menemukan model komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

3. “Strategi dan Metode Pendidikan Seks untuk Anak Autis (Kajian Buku Pendidikan Seks untuk Anak Autis karya Fauziah Rachmawati)” oleh Zahra Lutfi Masyitah (2015).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan yaitu:

a) Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian berdasarkan kajian buku pendidikan seks untuk anak autis karya Fauziah Rachmawati, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan merupakan jenis penelitian lapangan.

b) Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan menggunakan metode studi fenomenologi.

c) Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui strategi dan metode yang digunakan dalam memberikan

(33)

pendidikan seks untuk anak autis menurut buku “Pendidikan Seks untuk Anak Autis karya Fauziah Rachmawati”, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan bertujuan untuk menganalisis proses komunikasi antarpribadi orang tua dan anak autis, dan juga untuk menemukan model komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

d) Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini yaitu Fauziah Rachmawati, penulis buku

“Pendidikan Seks untuk Anak Autis”, sedangkan subjek dalam penelitian yang sudah dilakukan yaitu orang tua yang memiliki anak autis.

4. “Strategi Pembelajaran Pendidikan Seksual untuk Remaja Autis di SMPLB Cita Hati Bunda Sidoarjo” oleh Linda Retnawati (2017).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan yaitu:

a) Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui strategi pembelajaran

(34)

pendidikan seksual untuk remaja autisme, sedangkan tujuan penelitian yang sudah dilakukan yaitu untuk menganalisis proses komunikasi antarpribadi orang tua dan anak autis, dan juga untuk menemukan model komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

b) Metode penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif, sedangkan metode dalam penelitian yang sudah dilakukan yaitu menggunakan metode studi fenomenologi.

5. “Peran Orang tua dalam Mengenalkan Anggota Tubuh pada Anak Usia Pra Sekolah dengan Autistik” oleh Diah Retno Anggraini, dkk (2018).

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan yaitu:

a) Tujuan penelitian

Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk menggambarkan bagaimana peran yang dijalankan dan ditampilkan oleh orang tua individu autis dalam

(35)

memperkenalkan anggota tubuh, sedangkan penelitian yang sudah dilakukan bertujuan untuk menganalisis proses komunikasi antarpribadi orang tua dan anak autis, dan juga untuk menemukan model komunikasi yang diterapkan orang tua dalam mengenalkan pendidikan seksual kepada anak autis.

b) Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus, sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian yang sudah dilakukan adalah metode studi fenomenologi.

Tabel 2.1 Penelitian Sejenis Terdahulu

2.3 Uraian Teoretis

2.3.1 Komunikasi Antarpribadi

2.3.1.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan pertemuan dari paling sedikit dua orang yang bertujuan untuk memberikan pesan dan informasi secara langsung. DeVito dalam Harapan (2014:4) mengartikan komunikasi

(36)

antarpribadi sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di sekelompok kecil orang, dengan beberapa effect atau umpan balik seketika. Sedangkan, Muhammad dalam Harapan (2014:4) mengartikan komunikasi antarpribadi sebagai proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Lain halnya dengan Barnlund dalam Harapan (2014:4) menjabarkan komunikasi antarpribadi merupakan orang-orang yang bertemu secara bertatap muka dalam situasi sosial informal yang melakukan interaksi terfokus melalui pertukaran isyarat verbal dan nonverbal yang saling berbalasan.

Dengan kata lain, komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang dilakukan antara komunikator dengan komunikan secara tatap muka dan dianggap paling efektif dalam mengubah sikap, perilaku, atau pendapat melalui komunikasi lisan yang dilakukan tersebut.

Menurut teori Lasswell (Mulyana, 2011:147) komunikasi interpersonal mempunyai 5 unsur yang saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu:

1) Sumber (source)

Sering disebut juga dengan komunikator yaitu orang yang akan menyampaikan pesan kepada penerima. Pesan yang disampaikan melalui proses encoding, yaitu proses mengubah gagasan menjadi simbol-simbol yang umum dapat berupa kata, bahasa, tanda, atau gambar sehingga pesan tersebut dapat dipahami oleh penerima.

(37)

2) Pesan (message)

Pesan merupakan apa yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Pesan dapat berupa hal-hal yang bersifat verbal maupun nonverbal yang dapat mewakili perasaan, pikiran, keinginan, ataupun maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada komunikan.

3) Saluran atau media (channel)

Yaitu alat atau wahana yang digunakan komunikator untuk menyampaikan pesannya kepada komunikan.

4) Penerima (receiver)

Sering disebut juga dengan komunikan yaitu orang yang menerima pesan dari sumber/komunikator. Penerima pesan akan menerjemahkan apa saja yang disampaikan oleh sumber yang berupa simbol-simbol verbal maupun nonverbal sehingga maksud dan tujuan dari komunikator dapat dipahami olehnya.

5) Efek (effect)

Efek merupakan apa yang terjadi pada komunikan setelah menerima pesan dari komunikator. Sesuatu atau hal yang ditunjukkan bisa berupa perubahan sikap, perilaku, atau bahkan dapat menambah pengetahuan dalam diri komunikan.

Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar pribadi dengan pribadi lain yang terjadi antara dua orang atau lebih secara langsung atau tatap

(38)

muka dalam memberi dan menerima informasi atau pesan, gagasan atau ide- ide yang dilakukan secara timbal balik dan menimbulkan efek.

2.3.1.2 Aspek-aspek Komunikasi Antarpribadi

De Vito dalam Liliweri (2015) menyatakan agar komunikasi antarpribadi berlangsung dengan efektif, maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh pelaku komunikasi antarpribadi tersebut.

1) Keterbukaan (openness)

Keterbukaan dapat dipahami sebagai keinginan untuk membuka diri dalam rangka berinteraksi dengan orang lain. Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi antarpribadi. Yaitu:

komunikator harus terbuka pada komunikan demikian sebaliknya, kesediaan komunikator untuk bersaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang, serta mengakui perasaan, pikiran serta mempertanggungjawabkannya.

2) Empati (empathy)

Empati didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengetahui hal- hal yang dirasakan orang lain. Hal ini termasuk salah satu cara untuk melakukan pemahaman terhadap orang lain.

3) Dukungan (supportiveness)

Dukungan meliputi tiga hal. Pertama, descriptiveness dipahami sebagai lingkungan yang tidak dievaluasi menjadi orang bebas dalam mengucapkan perasaannya, tidak defensive sehingga orang tidak malu dalam mengungkapkan perasaannya dan orang tidak akan merasa bahwa

(39)

dirinya bahan kritikan terus menerus. Kedua, spontanity dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara spontan dan mempunyai pandangan yang berorientasi ke depan, yang mempunyai sikap terbuka dalam menyampaikan pemikirannya. Ketiga, provisionalism dipahami sebagai kemampuan untuk berfikir secara terbuka (open minded).

4) Perasaan positif (positiveness)

Sikap positif dalam komunikasi antarpribadi berarti bahwa kemampuan seseorang dalam memandang dirinya secara positif dan menghargai orang lain. Sikap positif tidak dapat lepas dari upaya menghargai keberadaan serta pentingnya orang lain. Dorongan positif umumnya berbentuk pujian atau penghargaan, dan terdiri atas perilaku yang biasa kita harapkan.

5) Kesamaan (equality)

Tidak ada dua orang yang benar-benar sama dalam segala hal.

Terlepas dari ketidaksamaan ini, komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Dengan suatu hubungan antarpribadi yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesamaan/kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl Rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan “penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

(40)

2.3.2 Teori Interaksi Simbolik

Teori interaksi simbolik berasal dari George Herbert Mead dan teman- temannya di Universitas Chicago, yang percaya bahwa realitas bersifat dinamis. Mereka mencetuskan pemikiran munculnya struktur sosial dan makna diciptakan dalam suatu interaksi (West dan Turner, 2008:97).

Teori interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide mengenai diri dan hubungannya dengan masyarakat. Orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikannya pada orang, benda maupun peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang, baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri atau pikiran pribadinya.

Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri sendiri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas (West dan Turner, 2013:98).

Morissan (2013:224) menyatakan bahwa teori interaksi simbolik lebih memfokuskan perhatiannya pada cara-cara yang digunakan untuk membentuk makna dan struktur masyarakat melalui percakapan. Ada enam hal yang menjadi dasar gagasan dari teori interaksi simbolik, yaitu:

1) Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya.

2) Kehidupan sosial merupakan proses interaksi. Kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan oleh sebab itu akan terus mengalami perubahan.

(41)

3) Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang digunakan di lingkungan terdekatnya, dan bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.

4) Dunia terdiri dari berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

5) Manusia mendasarkan tindakannya atas interpretasi mereka dengan mempertimbangkan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu.

6) Diri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya, diri didefinisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain.

George Herbert Mead (1934) dalam West dan Turner (2008:98), mengidentifikasi asumsi-asumsi yang menjadi tiga tema besar dalam teori interaksi simbolik, yaitu:

1) Pentingnya makna bagi perilaku manusia

Teori interaksi simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan kontruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Tujuan dari interaksi menurut teori ini adalah untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanpa ada makna yang sama, proses komunikasi akan menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin. LaRossan dan Reitzes (1993) dalam (West dan Turner, 2008:98) mengasumsikan 3 asumsi dalam interaksi simbolik berdasarkan karya Blumer (1969), bahwa:

(42)

a) Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka.

b) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.

c) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

2) Pentingnya konsep diri

Teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri.

Konsep diri merupakan seperangkat persepsi yang relatif stabil dipercaya orang mengenai dirinya sendiri. ciri-ciri fisik, peranan, talenta, keadaan emosi, nilai, keterampilan dan keterbatasan sosial. Intelektualitas merupakan karakteristik yang dapat membentuk konsep diri. Hal ini penting untuk interaksi simbolik. Interaksi simbolik tertarik dengan cara orang mengembangkan konsep diri. Interaksi simbolik menggambarkan individu dengan diri yang aktif didasarkan pada interaksi sosialnya dengan orang lain. Ada dua asumsi tambahan bahwa individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain serta konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.

3) Hubungan antara individu dan masyarakat

Mead dan Blumer mencoba untuk menjelaskan mengenai bagaimana keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Dalam pernyataan ini dapat dikaitkan dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:

a) Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. Asumsi ini mengakui bahwa ada norma-norma sosial yang membatasi perilaku individu. Selain itu asumsi ini juga mengungkapkan bahwa budaya

(43)

secara kuat memengaruhi perilaku dan sikap yang dianggap penting dalam konsep diri.

b) Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini menengahi asumsi sebelumnya. Interaksi simbolik dalam konteks ini mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah dan mengakui bahwa individu dapat memodifikasi situasi sosial. Dengan demikian orang-orang yang berinteraksi mampu memodifikasi struktur dan struktur sosial tidak sepenuhnya mampu untuk membatasi perilaku sosial. Dengan kata lain interaksi simbolik percaya bahwa manusia adalah si pembuat pilihan.

2.3.3 Model Komunikasi

Model komunikasi menurut Sereno dan Mortensen dalam Mulyana (2011:132), adalah deskripsi ideal mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi. Sebuah model dapat membantu mengorganisasikan data-data sehingga dapat tersusun kerangka konseptual yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya.

Liliweri (2011:64) menyatakan model merupakan gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan teori. Dengan kata lain, model adalah teori yang lebih disederhanakan. Model tidak hanya menunjukkan elemen-elemen komunikasi, tetapi hubungan dan arah hubungan yang menggambarkan rangkaian aktifitas, urutan aktifitas dari awal sampai akhir atau berulang-ulang

(44)

terus menerus. Model dapat memandu untuk melihat dimana letak elemen yang rentan pada gangguan dan bagaimana cara mengatasi gangguan tersebut.

Dalam Mulyana (2011), terdapat beberapa model komunikasi, yaitu:

1) Model Komunikasi Linear

Model komunikasi linear dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver pada tahun 1948. Model komunikasi linear ini disebut juga dengan model komunikasi Shannon dan Weaver. Model komunikasi ini mendeskripsikan komunikasi sebagai proses linear karena tertarik pada teknologi radio dan telepon sehingga ingin mengembangkan suatu model yang dapat menjelaskan bagaimana informasi melewati berbagai saluran (channel).

Model komunikasi linear mengasumsikan bahwa seseorang hanyalah pengirim atau penerima, yang berarti proses komunikasi yang terjalin di dalamnya bersifat satu arah.

a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Linear

NOISE FEEDBACK

Gambar 2.1 Model Komunikasi Linear

SENDER ENCODER CHANNEL DECODER RECEIVER

(45)

Dalam model komunikasi Shannon dan Weaver (1948) terdapat 6 komponen yaitu:

1. Pengirim (sender / information source) – orang yang membuat pesan, memilih media yang akan digunakan dan mengirimkan pesan.

2. Encoder (transmitter) – orang yang menggunakan mesin yang mengubah pesan ke dalam bentuk sinyal atau data biner. Dimungkinkan juga encoder merujuk pada mesin itu sendiri.

3. Media (channel) – media yang digunakan untuk mengirim pesan.

4. Decoder (transmitter) – mesin yang digunakan untuk mengubah sinyal atau data biner ke dalam bentuk pesan atau penerima pesan yang menginterpretasikan pesan dari sinyal yang diberikan.

5. Penerima (receiver / destination) – orang yang menerima pesan atau tempat dimana pesan harus dijangkau. Penerima pesan memberikan umpan balik berdasarkan pesan yang dikirimkan oleh pengirim.

6. Gangguan (noise) – gangguan fisik seperti lingkungan, manusia, dan lain-lain yang tidak membiarkan pesan diterima dengan baik oleh penerima pesan.

Menurut model ini, terdapat tiga macam permasalahan komunikasi, yaitu:

1. Masalah teknis – masalah yang disebabkan oleh channel.

2. Masalah semantik – adanya perbedaan dalam mengartikan pesan yang dikirim dan diterima.

3. Masalah efektivitas – reaksi penerima terhadap pesan yang disampaikan.

(46)

b. Karakteristik Model Komunikasi Linear

Model komunikasi linear memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Komunikasi berlangsung dalam dua proses yang membuatnya sebagai model yang dapat diterapkan dalam semua bentuk komunikasi.

2. Konsep gangguan atau noise membantu dalam membuat komunikasi efektif dengan cara menghilangkan gangguan atau masalah yang menyebabkan berbagai gangguan.

3. Hanya dapat diterapkan dengan baik pada komunikasi interpersonal dibandingkan dengan komunikasi massa atau komunikasi kelompok.

4. Penerima pesan berperan sebagai bagian yang pasif dalam proses komunikasi.

5. Pengirim pesan berperan aktif dalam mengirim pesan.

6. Umpan balik tidak begitu penting jika dibandingkan dengan pesan yang dikirimkan oleh pengirim.

2) Model Komunikasi Interaksional

Model komunikasi interaksional dikenalkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1954. Model komunikasi ini menggambarkan proses komunikasi yang berlangsung secara dua arah. Pengirim pesan ataupun penerima pesan dapat berganti peran dalam mengirim dan menerima pesan. Pesan dikirimkan setelah proses encoding karenanya pengirim pesan juga disebut dengan encoder. Sementara itu, penerima pesan atau receiver disebut juga dengan decoder karena pesan yang telah di-encode oleh pengirim pesan

(47)

kemudian mengalami proses decoding yang dilakukan oleh penerima pesan atau receiver.

Model komunikasi Schramm (1954) diadaptasi dari teori yang dikemukakan oleh Ryan A. Osgood (1903), karenanya model komunikasi ini disebut dengan Model Komunikasi Osgood dan Schramm. Melalui model ini, Osgood mengganti model komunikasi linear dengan model proses komunikasi sirkular dan Schramm menambahkan konsep field of experience ke dalamnya. Field of experience adalah hal-hal yang mempengaruhi pemahaman dan mengeinterpretasi pesan yang umumnya meliputi budaya, latar belakang budaya, kepercayaan, pengalaman, nilai- nilai, dan peraturan.

a. Komponen-komponen Model Komunikasi Interaksional

Gambar 2.2 Model Komunikasi Interaksional MESSAGE

DECODER INTERPRETER

ENCODER ENCODER

INTERPRETER DECODER

MESSAGE

(48)

Menurut model komunikasi Osgood dan Schramm (1954), terdapat 9 komponen dalam proses komunikasi, yaitu:

1. Sender (transmitter) – orang yang mengirimkan pesan.

2. Encoder – orang yang mengubah pesan ke dalam bentuk kode.

3. Decoder – orang yang mendapatkan pesan yang telah di-encode yang telah dikirimkan oleh encoder dan mengubahnya ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain.

4. Interpreter – orang yang mencoba untuk memahami dan menganalisa pesan. Pesan diterima setelah interpretasi. Interpreter dan receiver adalah orang yang sama.

5. Receiver – orang yang menerima pesan yang melakukan proses decoding dan menginterpretasikan pesan-pesan aktual.

6. Message – data yang dikirimkan oleh pengirim pesan dan informasi yang diterima oleh penerima pesan.

7. Feedback – proses merespon pesan yang diterima oleh penerima pesan.

8. Medium – media atau saluran yang digunakan oleh pengirim pesan untuk mengirim pesan.

9. Noise – gangguan yang terjadi selama proses komunikasi berlangsung.

Gangguan juga dapat berupa gangguan semantic dimana terjadi perbedaan dalam pemaknaan pesan yang dikirimkan oleh pengirim pesan dan pemaknaan pesan yang diinterpretasi oleh penerima pesan.

Menurut Schramm, latar belakang individu yang terlibat dalam proses komunikasi memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi.

(49)

Sebagaimana diketahui, setiap orang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman, serta budaya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan latar belakang ini mempengaruhi setiap individu dalam menginterpretasi pesan yang diterima.

b. Karakteristik Model Komunikasi Interaksional

Model komunikasi interaksional memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

1. Fokus pada encode dan decode.

2. Komunikasi berlangsung dua arah.

3. Adanya konsep field of experience yang merupakan efek psikologis dapat membantu untuk memahami proses komunikasi.

4. Umpan balik bersifat tidak langsung dan lambat.

5. Terdapat konsep umpan balik sehingga memudahkan bagi pengirim pesan untuk mengetahui apakah pesan diinterpretasi dengan baik oleh penerima pesan.

6. Tidak diabaikannya konsep gangguan atau noise.

7. Penerima pesan dan pengirim pesan dapat bertukar peran dalam menyampaikan dan menerima pesan.

8. Bersifat dinamis dan berguna secara praktis.

9. Gangguan semantik merupakan konsep yang dapat membantu memahami permasalah yang dapat terjadi selama pesan diinterpretasi.

10. Konsep interpretatif membuat komunikasi menjadi efektif.

(50)

11. Konsep konteks membuat faktor lingkungan dapat dimasukkan ke dalam interpretasi pesan dan membuat perubahan dalam nilai pesan.

12. Tidak sesuai atau tidak cocok untuk diterapkan dalam proses komunikasi yang sangat kompleks.

13. Hanya terdapat dua sumber utama yang berkomunikasi. Banyaknya sumber justru akan membuat proses komunikasi mengalami komplikasi dan model komunikasi tidak dapat diimplementasikan dengan baik.

14. Dimungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi terhadap pesan yang dikirimkan dan pesan yang diterima.

15. Digunakan untuk media baru.

16. Dapat menjadi model komunikasi linear jika penerima pesan tidak memberikan tanggapan.

3) Model Komunikasi Transaksional

Model komunikasi transaksional dikenalkan oleh Dean C. Barnlund pada tahun 1970. Barnlund mengenalkan sebuah model komunikasi yang menggambarkan proses pengiriman dan penerimaan pesan yang terjadi secara simultan antara partisipan komunikasi. Model komunikasi Barnlund dikenal dengan nama Model Komunikasi Transaksional Barnlund. Model ini merupakan respon terhadap model komunikasi linear yang bersifat statis ke model komunikasi yang bersifat dinamis dan model komunikasi dua arah.

(51)

Model komunikasi transaksional Barnlund menggambarkan proses komunikasi yang berlangsung secara berkesinambungan dimana pengirim dan penerima saling bertukar peran dan bertukar tempat secara seimbang.

Pesan berjalan mengambil tempat dengan umpan balik konstan yang diberikan oleh partisipan komunikasi. Umpan balik yang diberikan oleh salah satu pihak adalah pesan bagi pihak lainnya.

a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Transaksional

Gambar 2.3 Model Komunikasi Transaksional GANGGUAN:

- Semantik - Fisik - Psikologis - Fisiologis

Pesan / Umpan Balik

Komunikator

Bidang Pengalaman

Komunikator

Bidang Pengalaman

Kesamaan Pengalaman

(52)

Dalam model komunikasi Barnlund terdapat beberapa komponen, yaitu:

1. Cues – tanda untuk melakukan sesuatu. Terdapat tiga macam cues, yaitu:

a) Public cues – lingkungan, fisik, artifisial atau alamiah.

b) Private cues – dikenal dengan orientasi obyek pribadi, dapat berupa verbal dan nonverbal.

c) Behavioral cues – dapat berupa verbal atau non verbal.

2. Speech act – contoh khusus dalam model komunikasi.

3. Filter – realitas manusia yang terikat dengan komunikasi.

4. Noise – masalah yang berkembang dalam arus komunikasi dan mengganggu arus pesan.

b. Karakteristik Model Komunikasi Transaksional

Karakteristik model komunikasi Barnlund adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi bersifat transaksional.

2. Digunakan dalam komunikasi interpersonal.

3. Pengirim dan penerima pesan dapat bertukar peran.

4. Melibatkan peran konteks dan lingkungan.

5. Melibatkan gangguan dan hambatan-hambatan komunikasi sebagai faktor.

6. Membahas komunikasi non verbal.

7. Umpan balik bersifat simultan.

8. Pengirim pesan dan penerima pesan saling berbagi kedalaman pengalaman.

(53)

9. Fokus pada pengiriman pesan yang simultan, gangguan serta umpan balik.

10. Dipandang sebagai model komunikasi yang sangat sistematis.

11. Model komunikasi dipandang sangat kompleks.

12. Pengirim pesan dan penerima pesan harus mengerti kode-kode yang dikirim oleh masing-masing pihak.

2.3.4 Autis

2.3.4.1 Definisi Autis

Menurut bahasa, autis berasal dari kata „autos‟ yang artinya segala sesuatu yang pribadi dari seseorang. Sedangkan menurut terminologi psikologi, autisme memiliki definisi sebagai berikut:

a. Yaitu cara berpikir seseorang yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri.

b. Sikap seseorang dalam menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri sehingga ia akan menolak realitas.

c. Keadaan yang terlalu asyik dan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri (Reefani, 2013:27).

Bisa dikatakan juga bahwa autis merupakan gangguan perkembangan pervasif (menyeluruh dan meresap dalam) pada anak, yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Gejala-gejala autis ini mulai tampak sejak masa awal dalam kehidupan yaitu pada saat bayi. Gejala-

(54)

gejala tersebut ditunjukkan ketika bayi menolak sentuhan orang tuanya, tidak merespon kehadiran orang tuanya, dan melakukan kebiasaan- kebiasaan lainnya yang tidak dilakukan oleh bayi normal lainnya. Misalnya, ketika memasuki umur balita seharusnya anak tersebut sudah mampu mengucapkan beberapa kata seperti ayah, ibu, dan lainnya. Namun lain hal nya dengan anak yang mengalami gangguan autis, mereka mengalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan seperti dalam hal berbicara/bahasa.

Secara medis, autis merupakan gangguan perkembangan yang luas dan berat yang terjadi pada susunan syaraf pusat yang berakibat terganggunya fungsi otak. Akibat kelainan ini, penyandang autisme dapat jauh tertinggal dalam perkembangannya dibandingkan anak normal seusianya, bahkan jika tidak segera ditangani dapat mengakibatkan mereka menjadi abnormal seumur hidup. Setiap anak autis mempunyai kemampuan yang berbeda satu sama yang lain, dimana hal tersebut yang menentukan bagaimana mereka berinteraksi terhadap diri dan lingkungannya dan menjadikan mereka pribadi yang unik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa autis adalah sebuah gangguan perkembangan yang terjadi pada masa anak yang ditandai dengan adanya keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial. Gejalanya sudah mulai tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Ketika gejala-gejala tersebut sudah tampak,

(55)

maka sebaiknya orang tua harus siaga dan segera melakukan tindakan agar tingkat keparahan gangguan autis tersebut dapat segera ditangani.

Penyandang autis menunjukkan gangguan komunikasi yang menyimpang seperti keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan bahasa yang sulit dimengerti, atau bicara yang hanya meniru ucapan orang lain (ekolalia). Selain mengalami gangguan komunikasi, anak autis juga menunjukkan gangguan interaksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, baik itu orang dewasa maupun teman sebayanya.

2.3.4.2 Penyebab dan Gejala Autis

Penderita autisme dari masa ke masa mengalami peningkatan yang sangat tajam. Reefani (2013:41) menyebutkan secara umum penyebab autis adalah:

a. Makanan. Pada intinya, berbagai zat kimia yang ada di makanan modern (pengawet, pewarna, dll.) dicurigai menjadi penyebab autis pada beberapa kasus.

b. Vaksin yang mengandung Thimerosal, yaitu zat pengawet yang digunakan di berbagai vaksin.

c. Televisi dan gadget. Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara anak dan orang tua semakin berkurang karena berbagai hal.

Sebagai kompensasinya, seringkali TV ataupun gadget dijadikan sebagai alat yang dapat menghibur anak. Ternyata ada kemungkinan bahwa TV dan gadget bisa menjadi penyebab autis pada anak, karena dapat

(56)

membuat mereka jarang bersosialisasi dengan orang lain karena terlalu asyik menonton TV atau bermain gadget.

d. Folic acid. Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin. Hasilnya memang cukup nyata, tingkat cacat pada janin turun sampai sebesar 30%. Namun di sisi lain, tingkat autis menjadi semakin meningkat.

e. Genetik. Ini merupakan dugaan awal yang dapat menjadi penyebab autis.

Autis diketahui bisa diturunkan dari orang tua kepada anak-anaknya.

Namun tidak itu saja, ada juga kemungkinan lainnya. Salah satu contohnya yaitu pada anak yang lahir dari ayah yang sudah berusia lanjut, memiliki peluang lebih besar untuk menderita autis (walaupun sang ayah normal / bukan autis).

Selain beberapa penyebab autis di atas, ada juga beberapa ciri khas awal yang ditengarai dapat menimbulkan resiko timbulnya autis, yaitu:

a. Tidak dapat memberi respon ketika diajak senyum b. Ketika dipanggil tidak bereaksi sama sekali.

c. Memiliki temperamen yang pasif pada usia enam bulan.

d. Interaksi sosial yang kurang.

e. Cenderung fokus pada satu benda.

f. Tidak memiliki bahasa tubuh yang kompleks.

g. Pengertian bahasa reseptif maupun ekspresif rendah.

h. Ekspresi muka kurang hidup pada usia satu tahun.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Sejenis Terdahulu
Gambar 2.1 Model Komunikasi Linear
Gambar 2.2 Model Komunikasi Interaksional MESSAGE  DECODER  INTERPRETER ENCODER ENCODER INTERPRETER DECODER MESSAGE
Gambar 2.3 Model Komunikasi Transaksional GANGGUAN: - Semantik - Fisik - Psikologis - Fisiologis Pesan /  Umpan Balik Komunikator Bidang Pengalaman  Komunikator Bidang Pengalaman Kesamaan Pengalaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas

Aplikasi ini dapat dimanfaatkan pula oleh pedagang dan produsen untuk memperkirakan jumlah sayur yang akan dijual keesokan harinya melalui data pemesanan yang masuk

Demikian pengumuman ini kami sampaikan dan bagi peserta pengadaan yang keberatan atas penetapan hasil kualifikasi dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada

Peran perangkat Desa Gontor Kecamatan Mlarak Kabupaten Ponorogo dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang pertanian di antaranya adalah memberikan contoh

Pengguna- an kalsium polisulfida yang merupakan pestisida ramah lingkungan dapat menjadi alternatif untuk mengenda- likan penyakit yang diakibatkan kedua jamur tersebut..

General Policy Speech by Prime Minister Junichiro Koizumi to the 163'd Session of the

Berdasarkan perancangan sistem yang telah dibahas pada bab III, langkah selanjutnya adalah pengujian dan analisis data hasil penelitian. Pada skripsi ini alat yang

Remaja Panti Asuhan mengetahui saat yang tepat untuk meminta bantuan orang lain dalam pemecahan masalah. 16,17,18