• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA RINGAN (Studi Kasus di Polresta Mataram) JURNAL ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA RINGAN (Studi Kasus di Polresta Mataram) JURNAL ILMIAH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL ILMIAH

Oleh:

RIFIANI APRILIANTI D1A117261

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM 2021

(2)

(Studi Kasus di Polresta Mataram)

JURNAL ILMIAH

Oleh :

RIFIANI APRILIANTI D1A117261

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Pertama

Laely Wulandari, SH., M.H.

NIP.197507252001122002

(3)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Polresta Mataram dan kendala- kendalanya. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Hasil dari penelitian ini yaitu penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan di Polresta Mataram sudah sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dan PERKAP Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Adapun beberapa kendalanya yaitu : 1). kendala internal meliputi : terbatasnya personil anggota kepolisian sebagai tenaga penyidik dan kurangnya kemampuan dari beberapa penyidik. 2). kendala eksternal meliputi : kurangnya pengetahuan masyarakat tentang upaya restorative justice, kesulitan dalam pembuktian dari pihak korban, sikap pihak keluarga dan kesulitan dalam mempertemukan para pihak yang berperkara.

Kata Kunci : Restorative Justice, Tindak Pidana Ringan dan Polresta Mataram.

APPLICATION OF RESTORATIVE JUSTICE ON THE CASES OF MINOR OFFENCE (Case Study at Mataram County Police)

ABSTRACT

This study aims to determine the application of restorative justice in the settlement of minor offence at the Mataram County Police and the its obstacles.

This research is an empirical legal research. The results of this study are that the application of restorative justice to the cases of minor offence at Mataram County Police has been implemented accordance with the Supreme Court Regulation Number 2 of 2012 regarding to Minor Offence Limits and Fine Quatities in The Criminal Code, and The Chief of Police Regulation of The Republic of Indonesia Number 6 of 2019 regarding to Criminal Investigations. There are some obstacles, namely: 1). internal constraints which includes limited personnel of police officers as investigators; lack of ability of some investigators. 2). external constraints which includes lack of public knowledge about restorative justice efforts, difficulties in proving from the victim's side, uncooperative family, and distress in bringing together the litigants.

Key Words: Restorative Justice, Minor Offences dan Mataram County Police.

(4)

I. PENDAHULUAN

Restorative justice merupakan salah satu upaya penyelesaian tindak pidana

diluar sistem peradilan pidana (criminal justice system) dengan proses penyelesaian yang melibatkan korban, pelaku dan masyarakat serta pihak-pihak terkait dalam suatu tindak pidana yang terjadi. Salah satu tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice adalah tindak pidana ringan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tercantum dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana jo. Pasal 5 Ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Tindak pidana ringan atau yang biasa dikenal dengan istilah tipiring menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP adalah suatu perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 7.500; (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas.

Sebagaimana telah disebutkan diatas, tindak pidana ringan ini tidak hanya pelanggaran tapi juga mencangkup kejahatan-kejahatan ringan yang terletak dalam Buku II KUHP yang terdiri dari, penganiayaan hewan ringan, penghinaan ringan, penganiayaan ringan, pencurian ringan, penggelapan ringan, penipuan ringan, perusakan ringan, dan penadahan ringan.

Penanganan tindak pidana ringan pada prinsipnya tetap berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perbedaan penanganan tindak pidana ringan dan tindak pidana lainnya adalah dalam tindak pidana ringan

(5)

dikenal istilah dengan prosedur pemeriksaan cepat.1 Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, bahwa perkara tindak pidana ringan juga dapat diselesaikan melalui mekanisme penerapan restorative justice dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp. 2.500.000;

(dua juta lima ratus ribu rupiah).

Eksistensi penerapan restorative justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia saat ini sudah banyak diupayakan di berbagai tingkat, seperti tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Pada penelitian ini lebih fokus membahas tentang penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan pada tingkat Kepolisian Resort Kota Mataram. Upaya penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan pada tingkat kepolisian berdasarkan pada Pasal 12 Peraturan Kepala Polisi Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penyusun merumuskan dua permasalahan, yaitu : 1). Bagaimana penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Polresta Mataram ? dan 2). Apa saja kendala-kendala yang timbul dalam menerapkan restorative justice terhadap penyelesaian tindak pidana ringan di Polresta Mataram ?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Polresta Mataram dan untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dalam menerapkan restorative justice

1 Asrid Tatumpe, Penegakan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Indonesia, Jurnal Scientia De Lex, Vol. 7 No. 2, 2019, hlm. 1.

(6)

terhadap penyelesaian tindak pidana ringan di Polresta Mataram. Manfaat penelitian ini adalah secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan ilmu hukum pidana terkait penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan dan diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pidana. Manfaat secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana dengan menerapkan restorative justice khususnya terhadap kasus tindak pidana ringan.

Penelitian ini menggunakan metode hukum empiris, dengan metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan sosiologis. Sedangkan sumber dan jenis data yang digunakan adalah data lapangan dan data kepustakaan. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Adapun Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis diskripsi kualitatif.

(7)

II. PEMBAHASAN

Penerapan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Ringan di Polresta Mataram

Pelaksanaan penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan upaya restorative justice pada tahap penyelidikan dan tahap penyidikan berpedoman

pada Surat Edaran Kapolri Nomor 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Berdasarkan hasil wawancara dengan IPTU Dwi Narni Selaku Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Polresta Mataram, menjelaskan bahwa penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan di Polresta Mataram sudah sesuai dengan kedua peraturan diatas.

Dirangkum dari kedua peraturan tersebut, suatu tindak pidana dapat diselesaikan melalui penerapan restorative justice, tentu saja harus memenuhi syarat secara materiil dan syarat formil.2 Berikut ini adalah syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam proses penyidikan terkait tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice, menurut Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik

Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yaitu : a. Syarat Materiil, meliputi :

1) Tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada penolakan masyarakat

2) Tidak berdampak konflik sosial

3) Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum

2 Hasil Wawancara dengan IPTU Dwi Narni selaku Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 Pukul 09.10 WITA di Polresta Mataram.

(8)

4) Prinsip pembatas, meliputi : a) Pada pelaku

(1) Tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat, yakni kesalahan dalam bentuk kesengajaan

(2) Pelaku bukan residivis.

b) Pada tindak pidana dalam proses (1) Penyelidikan;

(2) Penyidikan, sebelum Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikirim ke Penuntut Umum.

b. Syarat Formil, meliputi :

1) Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan terlapor) 2) Surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian perselisihan

para pihak yang berperkara (pelapor, dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan Penyidik

3) Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang berperkara setelah dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif

4) Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian keadilan restoratif

5) Pelaku tidak keberatan dan dilakukan secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi

Ketua Unit PPA yaitu Ibu Narni menyebutkan bahwa penerapan restorative justice di Polresta Mataram juga mengacu pada syarat-syarat diatas,

beliau juga menjelaskan bahwa apabila syarat-syarat diatas terpenuhi maka dapat diproses untuk dapat dihentikannya penyelidikan dan atau penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyelidikan dan atau Penyidikan dan Surat Ketetapan Penghentian Penyelidikan dan atau Penyidikan, dengan alasan keadilan restoratif (restoratis justice). Penghentian penyelidikan dan atau penyidikan ini harus melalui proses administrasi dan juga setelah dilakukannya proses gelar perkara.

Penerapan restorative justice terhadap penyelesaian suatu kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana ringan di Polresta Mataram, tentu saja tidak terlepas dari dukungan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait dengan tindak

(9)

pidana ringan yang terjadi. Menurut keterangan dari Bripka I Putu Dedy Wardana, SH. selaku BA Tipiring Sat Sabhara, menuturkan bahwa Penerapan restorative justice menjadi salah satu upaya yang seringkali dipilih oleh masyarakat dalam

penyelesaian tindak pidana ringan yang terjadi.3

Polresta Mataram dalam menangani dan menyelesaikan suatu perkara, tentu saja melalui beberapa tahapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan AIPTU Eka Legawa, SH. selaku Penyidik Sat Reskrim Polresta Mataram, ada beberapa tahapan-tahapan penyelesaian kasus tindak pidana ringan melalui penerapan restorative justice di Polresta Mataram. Berikut ini adalah tahapan-tahapannya :4

Adanya laporan masuk ke Kapolresta Mataram

Polresta Mataram dalam menangani kasus tindak pidana ringan dimulai dengan adanya laporan ke Kapolresta, karena dengan adanya laporan yang masuk terkait dengan adanya suatu tindak pidana yang terjadi, sehingga Kapolresta Mataram dapat mengetahui adanya suatu kasus tindak pidana yang harus diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Laporan masuk ke Bagian Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Laporan yang masuk langsung diterima oleh bagian Sentral Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), laporan yang telah diterima tersebut dilampiri lembaran disposisi dan dibawa langsung ke Kapolserta untuk ditandatangani.

Kemudian didisposisi ke bagian Sat Sabhara sebagai bagian khusus yang menangani tindak pidana ringan.

3 Hasil Wawancara dengan Bripka I Putu Dedy Wardana, SH. Selaku BA Tipiring Sat Sabhara Pada Senin, 14 Juni 2021, Pukul 09.14 WITA, di Polresta Mataram.

4 Hasil Wawancara dengan AIPTU Eka Legawa, SH. Selaku Penyidik Sat Reskrim Pada Senin, 13 Agustus 2021, Pukul 11.17 WITA, di Polresta Mataram.

(10)

Sat Sabhara menerima laporan terkait berkas tindak pidana ringan

Berkas yang diterima oleh bagian SPKT harus dilanjutkan ke Sat Sabhara untuk ditindak lanjuti atau untuk di pelajari mengenai laporan tersebut. Berkas yang dibawa oleh SPKT selanjutnya akan dipelajari mengenai laporan yang masuk tersebut serta memberikan surat panggilan kepada pelapor, terlapor, dan saksi-saksi yang terlibat dalam suatu tindak pidana ringan yang terjadi.

Selanjutnya dilakukannya pemeriksaan terhadap pelapor, pelaku serta saksi-saksi.

Berita Acara Pemeriksaan Cepat

Setelah kasus yang masuk kebagian Sat Sabhara telah dipelajari bersama oleh Kasat Sabhara beserta anggotanya, maka akan menindak lanjuti dengan membuat berita acara pemeriksaan cepat. Dalam hal ini, sebelum berita acara pemeriksaan cepat dan kasus ini diserahkan kepada Kejaksaan, maka pihak kepolisian harus memberikan kesempatan kepada pelapor dan terlapor untuk berdamai. Pada tahap ini pihak kepolisian mempertemukan kedua belah pihak untuk melakukan penyelesaian kasusnya melalui upaya restorative justice atau masyarakat lebih mengenal dengan istilah mediasi atau kekeluargaan. Apabila berhasil dengan dilakukannya restorative justice atau ada kesepakatan antara para pihak yaitu pelapor dan terlapor, selanjutnya dibuatkan surat pernyataan perdamaian. Pelapor dibuatkan berita acara terkait dengan bahwa pelapor tidak keberatan dan selanjutnya pelapor mencabut laporannya, maka kasus ini tidak dilanjutkan ke Kejaksaan dan dianggap telah selesai, namun sebaliknya jika pada saat itu pihak pelapor dan terlapor tidak mencapai kesepakatan untuk berdamai, maka kasus ini dilanjutkan ke Kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

(11)

Berdasarkan hasil wawancara dengan AIPTU Eka Legawa, SH. selaku Penyidik Sat Reskrim Polresta Mataram, menuturkan bahwa suatu perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian materi lebih dari Rp. 2.500.000; (dua juta lima ratus rupiah).5 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan di Polresta Mataram sudah sesuai

dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, yang menjelaskan bahwa penerapan restorative justice terhadap penyelesaian perkara tindak pidana yang dikategorikan sebagai perkara tindak pidana ringan adalah perkara yang tidak menimbulkan kerugian materi lebih dari Rp. 2.500.000; (dua juta lima ratus rupiah), namun tidak hanya itu, penerapan restorative justice di Polresta Mataram tidak hanya mengacu pada nilai

kerugiannya saja, akan tetapi dilihat juga dari bagaimana cara melakukan tindak pidananya, meskipun nilai kerugiannya tergolong kecil (kurang dari Rp.

2.500.000;), apabila cara melakukan tindak pidananya dengan cara menjambret atau merampok, sebagaimana tindak pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 365 KUHP, maka perkara tersebut tidak dapat diselesaikan melalui upaya restorative justice, karena perbuatan tersebut dinilai dapat membahayakan korban dan bukan termasuk perkara tindak pidana ringan.

5Hasil Wawancara dengan AIPTU Eka Legawa, SH. Selaku Penyidik Sat Reskrim Pada Senin, 13 Agustus 2021, Pukul 11.17 WITA, di Polresta Mataram.

(12)

Kendala-Kendala Yang Timbul dalam Menerapkan Restorative Justice Terhadap Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Polresta Mataram

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka I Putu Dedy Wardana, SH.

BA Tipiring Sat Sabhara Polresta Mataram, bahwa ada beberapa faktor yang menjadi kendala bagi pihak Kepolisian dalam menangani permasalahan terkait dengan penerapan restorative justice terhadap kasus tinndak pidana ringan.

Adapun kendala-kendala yang timbul dalam menerapkan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan adalah sebagai berikut :6

Kendala Internal

Terbatasnya Personil Anggota Kepolisian Sebagai Tenaga Penyidik

Jumlah personil anggota kepolisian sebagai tenaga penyidik pembantu di Sat Sabhara Polresta Mataram yang ada pada saat ini masih belum memadai, jika dilihat dari perbandingan jumlah penduduk di Wilayah Hukum Polresta Mataram itu sendiri yang dapat diketahui dari Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 berjumlah lebih dari 907.162 jiwa, serta terbatasnya jumlah personil kepolisian sebagai anggota penyidik pembantu tidak sebanding dengan banyaknya kasus yang ditangani yang menjadikan lamanya penyelesaian suatu tindak pidana ringan ini.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bripka I Putu Dedy Wardana, SH.

BA Tipiring Sat Sabhara Polresta Mataram bahwa terbatasnya jumlah anggota kepolisian sebagai tenaga penyidik di Sat Sabhara Polresta Mataram disebabkan karena menjadi anggota penyidik harus memenuhi beberapa persyaratan,

6Hasil Wawancara dengan Bripka I Putu Dedy Wardana, SH. Selaku BA Tipiring Sat Sabhara Pada Senin, 14 Juni 2021, Pukul 09.14 WITA, di Polresta Mataram.

(13)

diantaranya adalah berpangkat perwira dan bergelar S1. Sementara di Sat Sabhara masih terbatas anggota kepolisian yang berpangkat perwira dan bergelar S1 serta terbatasnya anggota kepolisian yang memenuhi pesyaratan menjadi penyidik berdasarkan Pasal 2A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Kurangnya Kemampuan dari Beberapa Penyidik

Kurangnya kemampuan dari beberapa penyidik yang dimaksud adalah terkait dengan kompetensi penyidik dibidang pengetahuan hukum, peraturan perundang-undangan dan cara pandang tentang prinsip restorative justice.

Kemampuan mengenai keterampilan teknis dan taktis masih belum optimal, karena belum semua personel Polresta Mataram, khususnya penyidik memiliki pemahaman secara komprehensif terhadap prinsip restorative justice itu sendiri.

Kendala Eksternal

Kurangnya Pengetahuan Masyarakat Tentang Upaya Restorative Justice Istilah restorative justice kurang dikenal dalam lingkup masyarakat, sehingga dalam perkara tindak pidana ringan yang diselesaikan melalui penerapan restorative justice lebih dikenal dengan upaya penyelesaian secara kekeluargaan

atau musyawarah. Akibat dari ketidaktahuan masyarakat terhadap upaya restorative justice yang dapat diterapkan dalam sistem hukum pidana, khususnya

dalam penyelesaian tindak pidana ringan masih banyak mendapat penolakan, dikarenakan masyarakat hanya mengetahui bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana harus dihukum dan hukuman tersebut adalah hukuman penjara. Dari

(14)

kurangnya pengetahuan masyarakat, maka perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat terkait upaya restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana khususnya tindak pidana ringan.

Kesulitan dalam Pembuktian dari Pihak Korban

Pembuktian terkait adanya tindak pidana ringan, seringkali pihak korban mengalami kesulitan dalam mencari bukti-bukti, khususnya dalam tindak pidana pencurian ringan. Hal ini disebabkan karena sulitnya mengungkap berapa nilai kerugian yang dialami korban. Seperti contoh kasus pencurian ringan yang terjadi di salah satu supermarket di Kota Mataram pada tahun 2020 lalu. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik pembantu Sat Sabhara Polresta Mataram yaitu Bapak I Putu Dedy Wardana, SH. yang mana menangani kasus tersebut, menuturkan bahwa korban kesulitan menunjukan barang bukti, seperti barang apa saja yang telah dicuri pelaku dan jumlah kerugiannya berapa. Jadi dalam hal ini harus ada niat baik dari pelaku mengembalikan barang-barang yang telah dicuri dan mengganti kerugian yang diakibatkan dari perbuatannya tersebut.

Sikap Pihak Keluarga

Partisipasi dari pihak keluarga korban juga menjadi salah satu kendala dalam penerapan restorative justice terhadap penyelesaian kasus tindak pidana ringan. Hal ini disebabkan karena adanya penolakan dari pihak keluarga, sehingga tidak setuju jika peristiwa yang menimpa salah satu anggota keluarganya diselesaikan secara kekeluargaan atau damai. Apabila terjadi penolakan dari pihak keluarga dan menimbulkan keributan antara pihak korban dan pelaku serta masyarakat terkait dan menimbulkan konflik publik serta tidak menemukan titik

(15)

temu dari proses penyelesaian perkara tersebut, maka restorative justice tidak dapat diterapkan, karena tidak memenuhi syarat-syarat materiil yang dirumuskan pada Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Kesulitan dalam Mempertemukan Para Pihak Yang Berperkara

Pada proses penyelesaian perakara tindak pidana ringan melalui restorative justice, antara korban dan pelaku serta masyarakat terkait harus

bersama-sama hadir untuk bermusyawarah mengenai perkara tersebut, dan jika salah satu pihak tidak hadir pada saat jadwal pertemuan tersebut, maka proses penyelesain ini tidak bisa dilanjutkan. Menurut keterangan dari Penyidik Pembantu Sat Sabhara, yaitu Bripka I Putu Dedy Wardana, SH. mengatakan bahwa hal tersebut sering terjadi, pada saat dijadwalkannya pertemuan antara korban dan pelaku serta masyarakat terkait, terkadang salah satu pihak, baik pihak korban maupun pihak pelaku tidak bisa hadir dengan dalih sakit atau sedang ada urusan lain, padahal untuk penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice harus dihadiri kedua belah pihak. Hal ini juga berhubungan dengan peraturan yang mengatur tentang pelaku tindak pidana ringan tidak dapat dilakukan penahanan. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (3) Peraturan Mahkaman Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, menyebutkan bahwa :

“Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjang penahanan”.

Sehingga hal ini menjadi salah satu kendala bagi penyidik, karena tidak dapat melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana ringan.

(16)

III. PENUTUP Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penyusun, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1). Penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan di Polresta Mataram yaitu sudah sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan di Polresta Mataram menjadi salah satu upaya penyelesaian terbaik dan paling efektif. Upaya tersebut memang sudah menjadi suatu keutamaan bagi pihak kepolisian khususnya penyidik. Sehingga pihak kepolisian selalu konsisten dalam menerapkan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan, dengan tidak mengabaikan syarat-syarat penerapan restorative justice terhadap penyelesaian suatu tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 12 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Dan 2). Kendala-kendala yang timbul dalam menerapkan restorative justice terhadap penyelesaian tindak pidana ringan di Polresta Mataram yaitu kendala internal dan eksternal, sebagai berikut : a). kedala internal meliputi : terbatasnya personil anggota kepolisian sebagai tenaga penyidik dan kurangnya kemampuan dari beberapa penyidik. Selanjutnya b). kendala eksternal meliputi : kurangnya pengetahuan masyarakat tentang upaya restorative justice, kesulitan dalam

(17)

pembuktian dari pihak korban, sikap pihak keluarga dan kesulitan dalam mempertemukan para pihak yang berperkara.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, penyusun memberikan saran yang dapat bergunana dalam hal penerapan restorative justice terhadap kasus tindak pidana ringan sebagai berikut : 1). Kepolisian Resort Kota Mataram hendaknya mengatasi keterbatasan jumlah personil, khususnya personil anggota kepolisian sebagai tenaga penyidik di Sat Sabhara, agar diharapkan dapat dilakukannya penambahan jumlah personil sebagai tenaga penyidik, karena jumlah penyidik di Sat Sabhara yang ada sekarang ini belum mampu memback-up jumlah populasi masyarakat di Wilayah Hukum Polresta Kota Mataram. Dan 2). Kepolisian Resort Kota Mataram khususnya penyidik yang menangani kasus tindak pidana ringan seharusnya memang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang tersebut, sehingga dalam menangani perkara tindak pidana ringan yang diselesaikan melalui upaya restorative justice tidak ada lagi kekhawatiran akan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat, mengingat tidak semua masyarakat paham akan hukum termasuk peraturan restorative justice dan Kepolisian Resort Kota Mataram hendaknya agar lebih sering melakukan sosialisasi dan memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat agar dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hukum, sehingga dapat tercipta situasi yang aman dan nyaman.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Makalah dan Artikel

Amiruddin, 2015, Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta, Genta Pubhlishing.

Syaufi, Ahmad, 2020, Kontruksi Model Penyelesaian Perkara Pidana yang Berorientas pada Keadilan Restoratif, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Samudra Biru.

Tatumpe, Asrid, 2019, Penegakan Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) di Indonesia : Scientia De Lex, Vol. 7 No. 2.

Peraturan Perundang-Undangan

Kepolisian Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restpratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Hasil Wawancara

Hasil Wawancara dengan AIPTU Eka Legawa, SH. Selaku Penyidik Sat Reskrim Pada Senin, 13 Agustus 2021, Pukul 11.17 WITA, di Polresta Mataram.

Hasil Wawancara dengan IPTU Dwi Narni selaku Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) pada hari Kamis, 19 Agustus 2021 Pukul 09.10 WITA di Polresta Mataram.

Hasil Wawancara dengan Bripka I Putu Dedy Wardana, SH. Selaku BA Tipiring Sat Sabhara Pada Senin, 14 Juni 2021, Pukul 09.14 WITA, di Polresta Mataram.

Referensi

Dokumen terkait

Akhirnya, pasukan bola keranjang wanita Qatar menarik diri daripada kejohanan di Sukan Asia tersebut pada saat-saat terakhir gara-gara peraturan yang melarang mereka memakai

ÐÛÎÌ×É× ÓßÔßÒÙßÒ ÌßØËÒ ßÖßÎßÒ îðïíñîðïì..

Kegiatan tahun pertama digunakan untuk mencari sifat fisis dan mekanis dari material dan tahun kedua untuk menentukan sifat fisis, mekanis dan ketahanan air

Poehlman (1979) menyatakan bahwa ragam genetik terdiri dari tiga komponen utama yaitu ragam aditif, dominan, dan epistasis.. Karakter yang digunakan adalah karakter yang memiliki

, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, karunia, kesehatan, kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaan magang serta penyusunan

Kabupaten ……, tanggal 17 September 2016, tentang persiapan pelaksanaan Ulangan Tengah Semester I (UTS) Tahun Pelajaran 2016/2017, maka kami memutuskan sebagai berikut :..

secara keseluruhan pada tahun 2008 sebesar 0,711 maka untuk wilayah penelitian.. masih lebih rendah daripada

Biaya Pengawasan Pembangunan Ruang Kelas Belajar Dayah Nurul Walidin 56M2 JB: Barang/jasa JP: Jasa Konsultansi.. 1