• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan “inclusive class”

merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan.

Hal ini karena pendidikan inklusif merupakan suatu sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat mengikuti proses belajar- mengajar dengan anak pada umumnya dalam satu ruang lingkup yang sama pada sekolah reguler. Pendidikan inklusif dirancang untuk menghargai persamaan hak masyarakat atas pendidikan tanpa membedakan usia, gender, etnik, bahasa, kekurangan, dan keterbatasan lainya yang dimiliki seseorang.

Pendidikan inklusif juga disebut-sebut sebagai salah satu komitmen yang dilakukan untuk mencapai target dari kebijakan global yakni Education For All yang diprakarsai oleh UNESCO. Kebijakan Education for All sendiri

merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Seperti yang tertera pada pasal 26 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menyatakan bahwa:

Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.

Istilah pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen kebijakan internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on Special Needs Education, Spanyol 1994 bekerjasama dengan UNESCO.

(2)

Dalam konferensi yang dihadiri lebih dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintahan di dunia tersebut mempromosikan tentang kebijakan pendidikan inklusif yang memungkinkan setiap sekolah untuk melayani semua anak, terutama mereka dengan kebutuhan pendidikan khusus.

Hadirnya pendidikan inklusif di dunia juga sebagai upaya untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan, khususnya pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas yang jumlahnya tidak sedikit. Menurut data dari PBB seperti dikutip oleh Hikmawati dan Rusmiyati (2011) dalam Sulistyadi (2014:2) menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 12% penyandang disabilitas dari jumlah populasi penduduk di dunia atau sekitar 650 juta jiwa adalah penyandang disabilitas, dimana hampir 25% dari jumlah tersebut atau sekitar 163 juta orang adalah kelompok anak usia sekolah.

Sistem pendidikan berbasis inklusif juga turut merubah paradigma masyarakat bahwa anak berkebutuhan khusus harusnya disekolahkan di lembaga-lembaga tertentu seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan inklusif pun dapat mengurangi segala bentuk diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus karena mereka dapat bersekolah di sekolah reguler bercampur dengan anak pada umumnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di berbagai negara menunjukan hal yang positif.

Pendidikan inklusif dapat diterima dan berjalan normal sesuai dengan tujuan pemerintah maupun sekolah penyelenggara.

Tahun 1997, model pendidikan inklusif telah diterapkan di Taiwan, sejak saat itu departemen pendidikan secara khusus menerbitkan peraturan tentang Taiwan Special Education Act (TWSE). Regulasi tersebut mengatur terkait

(3)

pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang diikutsertakan dalam kelas umum dan diberikan jadwal yang sesuai dengan kurikulum pendidikan umum di Taiwan. Melalui regulasi tersebut, di tahun ajaran 2012 sebanyak 84%

anak dengan kebutuhan khusus (ABK) menerima pendidikan di kelas umum dan berbaur dengan siswa normal lainya (Chen dan Chiu, 2015: 204-205).

Pendidikan inklusif juga dikembangkan di Australia dengan menggunakan bahasa lokal yang diberikan dari guru di masing-masing sekolah yang meliputi precision teaching, task analysis, baselines dan ecological analysis. Mereka meyakini bahwa kontribusi sekecil apapun dari

guru akan berpengaruh terhadap kelas inklusif yang dijalaninya. Bentuk dukungan dari orang tua dan masyarakat setempat juga diperlukan dalam model pendidikan inklusif tersebut. Yang terpenting ialah tidak perlu membeda-bedakan dan meragukan seorang siswa dengan jenis kekuranganya layak untuk masuk ke dalam sekolah tertentu (Jenkinson, 2000: 5-6).

Negara-negara di Eropa timur, pendidikan inklusif dikembangkan dengan metode pendekatan berbasis kompetensi. Dimana kesiapan guru menjadi prioritas utama dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan inklusif.

Adapun pendekatan berbasis kompetensi yang dimaksudkan terbagi ke dalam tiga hal; (a) akademik, dimana pendekatan ini mengadopsi nilai-nilai pendidikan inklusif, pengetahuan tentang Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan sebagainya. (b) profesional, pendekatan ini lebih merujuk pada ketrampilan yang dimiliki guru meliputi kemampuan menganalisis, membentuk model pembelajaran inklusif, dan kemampuan melihat kepribadian anak. (c) kepribadian sosial, sedangkan pendekatan ini meliputi

(4)

sikap seorang guru dalam menghadapi berbagai situasi sosial di lingkungan pendidikan inklusif (Hitryuk, 2013: 72-73).

Dari beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan inklusif diatas, pendidikan inklusif menjadi sangat esensial keberadaanya di dunia pendidikan. Namun tentunya juga dipengaruhi oleh beberapa hal yakni adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang mendukung pendidikan inklusif, kontribusi dari sekolah penyelenggara (meliputi guru, orang tua murid, masyarakat) dan sistem pendidikan berbasis inklusif yang mendukung proses belajar-mengajar di sekolah.

Konsep pendidikan inklusif yang juga muncul ialah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang dikeluarkan

oleh PBB Pada tanggal 13 Desember 2006. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani konvensi tersebut pada Maret 2007 di New York. Konvensi ini secara keseluruhan membahas tentang hak-hak kaum difabel di seluruh dunia. Salah satu isi konvensi yang menyinggung tentang pendidikan inklusif ialah pada pasal 24 disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. (http://www.kompasiana.com/anin.rianto/sekolah- inklusif-dan-abk, diakses 22 september 2015)

Di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan dari tahun ke tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) jumlah penyandang difabilitas cenderung mengalami peningkatan. Data terakhir yang diperoleh pada tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penyandang difabilitas di Indonesia mencapai sekitar 2% dari

(5)

total 244.775.796 jiwa penduduk Indonesia, atau sebesar 3.654.356 jiwa.

Sedangkan di tahun yang sama, jumlah penyandang difabilitas usia sekolah di Indonesia sebesar 532.130 jiwa, atau sekitar 14,56% dari total penduduk penyandang difabilitas di Indonesia.

Sebagai salah satu negara yang turut dalam konvensi dunia, Indonesia juga berperan cukup aktif untuk mendukung terselenggaranya pendidikan inklusif. Pada tanggal 8-14 Agustus 2004, Deklarasi Bandung dengan komitmen “Indonesia menuju Pendidikan Inklusif” menjadi langkah awal tumbuhnya pendidikan inklusif di negara ini. Dari hasil deklarasi tersebut berisi tentang himbauan kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat menjamin dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan akses dan kesempatan yang sama dengan anak pada umumnya.

Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Bandung, pemerintah melalui Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menerbitkan kebijakan pendidikan inklusif untuk diselenggarakan disetiap kabupaten/ kota. Pengertian dari pendidikan inklusif sendiri sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 1 ialah:

Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya

Adapun peserta didik yang dimaksudkan sesuai Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 3 ialah :

(6)

1. Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusiff pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

2. Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas: Tunanetra; Tunarungu; Tunawicara; Tunagrahita;

Tunadaksa; Tunalaras; Berkesulitan belajar; Lamban belajar; Autis;

Memiliki gangguan motorik; Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; Memiliki kelainan lainnya; Tunaganda.

Kehadiran pendidikan inklusif di Indonesia merupakan salah satu bentuk tindak lanjut pemerintah dalam upaya memberikan kesamaan dan kesetaraan akses pendidikan bagi masyarakat. Meskipun dalam praktiknya, tentu masih terdapat banyak kekurangan. Di tahun 2013 jumlah anak berkebutuhan khusus yang yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif baru berjumlah 116.000 anak dari total 300.000 anak. (http://www.antaranews.

com/berita, diakses 24 September 2015).Pendidikan inklusif memiliki tingkat kesulitan yang cukup rumit. Hal ini disebabkan perlunya peran dan partisipasi dari banyak pihak, mulai dari orang tua, sekolah dan tentunya masyarakat sekitar.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Yakni sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai

keberagaman dan tidak memandang suatu perbedaan sebagai masalah yang kompleks. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1 telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga pendidik yang

(7)

mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus.

Sebagai kelanjutan dari regulasi-regulasi yang telah diterbitkan pemerintah, banyak daerah-daerah di Indonesia yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai kota inklusif. Namun penyelenggaraan kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia tidak selalu membuahkan hasil sesuai dengan tujuan. Di Surakarta, implementasi pendidikan inklusif pada tiga sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan hasil bahwa masih banyak komponen yang belum terpenuhi dalam rangka kesiapan sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusif (Septianingrum, 2012: 130-131). Sedangkan kajian lainya yang mengambil sampel di salah satu sekolah menengah atas (SMA), menyebutkan bahwa peran dari guru pendamping khusus (GPK) masih sekitar 60%. Dengan kata lain, peran GPK dalam membantu penyelenggaraan pendidikan inklusif di SMA di Surakarta masih belum optimal (Prawesti, 2013: 77-78).

Di daerah lainnya, yakni Kabupaten Wonogiri implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di salah satu SMP Negeri dapat dikatakan kurang berhasil. Hal ini ditengarai oleh beberapa hal seperti kurangnya kemampuan guru reguler dalam mengajar siswa ABK, tidak tersedianya GPK dalam sekolah tersebut, serta kurangnya anggaran untuk memberikan sarana prasarana guna memfasilitasi ABK yang ada di sekolah tersebut (Wulanningsih, 2013: 89-90).

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sidoarjo, sebagai salah satu kabupaten yang memiliki jumlah sekolah inklusif paling banyak di Jawa

(8)

Timur tentunya juga menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya.

Diantaranya ialah kurangnya pemahaman bagi sekolah-sekolah yang ditunjuk terhadap isi pedoman umum dan khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif. Selain itu juga kualitas dari GPK yang disediakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo yang kurang optimal dalam proses belajar mengajar, dan yang terakhir terkait minimnya anggaran yang disediakan pemerintah yang berakibat pada sekolah-sekolah penyelenggara tidak dapat memberikan sarana dan prasarana yang sesuai standar kebutuhan (Sulistyadi, 2014: 8-9).

Melihat masih banyaknya daerah-daerah penyelenggara pendidikan inklusif yang kurang berhasil dalam implementasinya, menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji salah satu daerah yang juga menyelenggarakan pendidikan inklusif di Provinsi Jawa Timur, yakni Kabupaten Pacitan.

Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah yang memiliki peraturan khusus tentang pendidikan inklusif. Melalui Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan, telah ditunjuk dan ditetapkan 90 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dibawah Keputusan Kepala Dinas Kabupaten Pacitan baik formal maupun non formal dan Keputusan Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pacitan yang terdiri dari pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah pertama (SMP).

Kabupaten Pacitan juga merupakan salah satu dari enam kota di Provinsi Jawa Timur yang meraih predikat Inclusive Award yaitu penghargaan bagi pelopor pembudayaan pendidikan inklusif di Indonesia yang diberikan oleh

(9)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 2013 (http://surabaya.

tribunnews.com, diakses pada 2 Oktober 2015). Hal ini tentunya menimbulkan banyak spekulasi apakah implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan juga mengalami ketidakberhasilan seperti daerah yang telah disebutkan diatas, atau justru Kabupaten Pacitan dapat memberikan perubahan yang positif khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.

Dibandingkan 6 Kabupaten di Jawa Timur yang memperoleh predikat Inclusive Award yakni Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik,

Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Trenggalek, di tahun 2012-2013 Kabupaten Pacitan memiliki peringkat cukup rendah perihal pendidikan yakni dalam Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Pada tahun 2013 di kelompok usia 7-12 tahun APK Kabupaten Pacitan menduduki peringkat ketiga setelah Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang dengan angka 103,08. Sedangkan di kelompok usia 13-15 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang yakni diangka 91,58.

Untuk APS sendiri pada tahun 2013, di kelompok usia 7-12 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Blitar dan Kota Malang dengan angka 99,14. Dan di kelompok usia 13-15 tahun, Kabupaten Pacitan menduduki peringkat kelima sebelum Kota Malang dengan angka 93,62. Sedangkan untuk APM pada tahun 2013 di kelompok usia 7-12 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat ketiga setelah Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang dengan angka 93,93 dan di kelompok usia 13-

(10)

15 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Bojonegoro dan Kota Malang dengan angka 74,33. Berikut merupakan APK, APM, dan APS Kabupaten Pacitan pada tahun 2012-2013.

Tabel 1.1

Angka Partisipasi Menurut Kelompok Usia Sekolah di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

Kelompok Usia Sekolah

APK (Angka Partisipasi Kasar)

APM (Angka Partisipasi Murni)

APS (Angka Partisipasi Sekolah ) (Dalam Persen)

2012 2013 2012 2013 2012 2013 Usia 7-12 Thn

(SD) 102,29 103,08 92,54 93,93 98,68 99,14

Usia 13-15 Thn

(SMP) 95,60 91,58 76,29 76,19 90,34 93,62

Usia 16-18 Thn

(SMA) 67,49 51,28 50,81 37,21 61,05 48,19

Sumber: Badan Pusat Statistik, Provinsi Jawa Timur, 2015

Sebagai salah satu daerah yang menyandang predikat Inclusive Award namun masih memiliki angka partisipasi pendidikan yang cukup rendah di Provinsi Jawa Timur, tentunya menimbulkan berbagai macam dugaan. Sebab pendidikan formal non inklusif yang semestinya menjadi prioritas pemerintah daerah pada faktanya masih di posisi rendah, namun bagaimana mungkin pendidikan inklusif yang baru saja ditetapkan justru meraih penghargaan dari Provinsi Jawa Timur. Hal ini yang menjadi salah satu daya tarik untuk melakukan kajian penelitian di Kabupaten Pacitan.

Menurut data dari WHO (2005) “terdapat sekitar 7 – 10 % anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di suatu wilayah”. Ini berarti terdapat sekitar 14 ribu anak berkebutuhan khusus dari 143.975 jiwa anak di

(11)

Kabupaten Pacitan. Di tahun 2014, jumlah ABK yang mengenyam bangku pendidikan di sekolah inklusi hanya sekitar 1.136 anak. Dengan demikian dapat dikatakan ABK yang mendapatkan pelayanan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan belum ada sepertiganya. Adapun jumlah siswa inklusif di Kabupaten Pacitan sesuai dengan jenjang pendidikan ialah sebagai berikut :

Tabel 1.2

Rekapitulasi Pendataan ABK Tahun 2014 Di Kabupaten Pacitan

Jenjang Jumlah

TK 307

SD 798

SMP 31

SMA /SMK 2

JUMLAH 1.136

Sumber : Pokja Pendidikan Inklusif Kab. Pacitan, diolah

Melihat dari kondisi di atas Kabupaten Pacitan yang telah memiliki peraturan khusus pendidikan inklusif dan menjadi salah satu kota dengan predikat Inclusive Award, namun belum merangkul seluruh ABK untuk menikmati bangku pendidikan menjadikan penulis tertarik untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan khususnya pada sekolah-sekolah penyelenggara. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada studi implementasi, sebab implementasi merupakan sebuah tahap perealisasian suatu kebijakan sehingga dapat diketahui apa saja yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan untuk mencapai tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan. Chief J. O. Udoji, 1981 dalam Leo Agustino (2008: 140) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip

(12)

apabila tidak diimplementasikan. Hal serupa juga dipertegas oleh pernyataan Nugroho (2011: 119) :

Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20%

sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.

Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. selain itu ancaman utama adalah konsistensi implementasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan betapa pentingnya sebuah studi implementasi kebijakan guna mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan dari program atau kebijakan yang telah dijalankan tersebut.

Dengan merujuk atas dasar pemikiran tersebut peneliti merumuskan penelitian dengan judul “Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif Di Kabupaten Pacitan (Studi Implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Pada Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara ? 1.3 Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah:

(13)

1. Untuk menganalisa implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara.

2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan ilmu kebijakan publik khususnya studi implementasi kebijakan dengan praktik lapangan dalam hal ini adalah kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan.

2. Manfaat Praktis

a. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat dan pengambil keputusan bagi pemerintah Kabupaten Pacitan dalam Pengimplementasian Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan.

b. Penulisan ini diharapkan agar masyarakat peka terhadap pendidikan khusunya bagi anak berkebutuhan khusus, sehingga turut mendukung kegiatan pemerintah mengimplementasikan kebijakan.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis mencoba memberikan implikasi dan rekomendasi kepada pihak penyelenggara pelatihan cake dan cookies di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Garut,

diperoleh berdasarkan analisis ketiga metode tersebut adalah pada jumlah produksi minyak bumi model terbaik diperoleh dari metode hibrida ARIMA-neural network, dengan hasil ramalan

Kompetensi inti (core competence), yaitu kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang pustakawan, seperti pengetahuan tentang ilmu perpustakaan, pemahaman tentang

Kalau membunuh diri karena sebab tidak tahan dengan ujian Allah swt diharamkan, lantas bagaimana dengan bunuh diri dalam rangka mempertahankan kedaulatan

Dari hasil penelitian ini ditarik kesimpulan bahwa 1) Rata-rata Erosi yang di hasilkan pada berbagai jenis penutupan lahan berbeda-beda. 2) Hasil uji

Sedangkan nama BPR milik Pemerintah yang lebih baik di Propinsi Jawa Tengah adalah PD BPR Bank Tegal Gotong Royong yang terletak di Kabupaten Tegal dengan rasio 243% dan BPR

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari Tugas Akhir ini adalah: 1. b) Perbandingan antara FEM Kanavalli dengan FEM present terdapat perbedaan rata-rata sekitar 10,41%.

Namun, jika titik-titik pasangan data tersebar satu sama lain, maka persamaan linier yang baik untuk mengestimasi nilai variabel dependen adalah persamaan linier yang