• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan hukum warisan penjajahan Belanda yang berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia. Secara yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang dimana merupakan penegasan negara Indonesia untuk memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

(2)

kejahatan (misdrijven), dan sebagainya, diatur oleh Hukum Pidana (Strafrecht) dan dimuat dalam satu Kitab Undang-Undang.1

Sebagai sebuah hukum warisan pemerintah kolonial Belanda, hukum pidana yang berlaku saat ini dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Hukum pidana yang berlaku saat ini dirasa perlu diperbaharui atau dalam konteks ini pembaharuan hukum pidana menjadi sangat urgen, yaitu sebagai upaya untuk menyelaraskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat ke dalam hukum pidana Indonesia.

Urgensi pembaharuan hukum pidana Indonesia juga telah dikemukakan oleh Sudarto, yang mengemukakan adanya tiga alasan penting dalam rangka penyusunan hukum nasional, yaitu:

1. Alasan Politis

Adalah wajar bahwa Indonesia sebagai negara merdeka mempunyai hukum (pidana) yang bersifat nasional, yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

2. Alasan Sosiologis

Urgensi pembentukan hukum (pembaharuan hukum pidana) nasional didasarkan pada keharusan, bahwa hukum nasional itu harus didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia sendiri. Hukum nasional haruslah mencerminkan kultur masyarakat Indonesia.

3. Alasan Praktis

Alasan ini mengisyaratkan, bahwa hukum nasional itu harus dapat dipahami oleh masyarakatnya sendiri. Alasan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum pidana yang sekarang berlaku di Indonesia secara resmi menggunakan Bahasa Belanda, sementara dalam

1

(3)

perkembangannya sangat sedikit masyarakat (termasuk para penegak hukum) yang mempunyai kemampuan berbahasa Belanda.2

Sangat disadari bahwa hukum pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia sudah tidak dapat menampung aspirasi masyarakat yang berkembang sangat dinamis serta tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Pembaharuan hukum pidana dalam rangka menciptakan sistem hukum pidana nasional menjadi sangat urgen dan mendesak untuk dikedepankan.

Pada dasarnya, hukum pidana itu dibangun di atas substansi pokok yaitu: (1) tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan. Dalam perkembangannya, pidana dan pemidanaan selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh adanya upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya demi meningkatkan kesejahteraan. Tingkat kriminalisasi dalam masyarakat pun meningkat akibat kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat disertai dengan kemiskinan yang relatif masih cukup tinggi. Hal tersebut menyebabkan perlu adanya pembaharuan hukum pidana dalam penjatuhan suatu sanksi pidana yang nantinya akan menjadi peringatan setiap orang agar berfikir dua kali dalam melakukan suatu tindak pidana.

Apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana, maka akan muncul ancaman sanksi pidana sebagai suatu pertanggungjawaban atas perbuatannya tersebut. Jenis-jenis sanksi pidana telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 KUHP,

2

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

(4)

dimana pidana terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan.3 Terdapat 3 (tiga) sistem dalam hukuman penjara yaitu:

1. Sistem Pennsylvania (suatu negara bagian di Amerika Serikat) yang menghendaki para hukuman terus-terusan ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar atau sel.

2. Sistem Auburne (satu kota dalam negara bagian New York di Amerika Serikat) yang menentukan bahwa para hukuman pada siang hari disuruh bersama-sama bekerja tetapi tidak boleh bicara.

3. Sistem Irlandia yang menghendaki para hukuman mula-mula ditutup terus-menerus, tetapi kemudian dikerjakan bersama-sama, dan tahap demi tahap diberi kelonggaran bergaul satu sama lain sehingga pada akhirnya, setelah tiga perempat dari lamanya hukuman sudah lampau, dimerdekakan dengan syarat.4

Di Indonesia, keberadaan ketiga sistem ini seolah-olah seperti digabungkan karena biasanya beberapa pelaku tindak pidana dikumpulkan dalam satu ruangan dan tidur didalam ruangan yang sama. Ada kemungkinan pula seorang pelaku tindak pidana dapat ditutup sendiri dalam satu sel.

Pidana penjara merupakan jenis pidana pokok yang paling banyak diancamkan terhadap pelaku tindak pidana. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa ancaman pidana penjara yang sangat dominan terjadi dalam KUHP Indonesia, bahkan

3

Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 120.

4

(5)

sampai saat ini. Perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di Indonesia tersebut merupakan warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan pidana dengan definite sentence.5 Alasan pidana penjara masih menjadi pidana pokok yang paling banyak diancamkan terhadap pelaku tindak pidana karena pidana penjara masih dianggap oleh Negara sebagai sanksi pidana yang paling ampuh untuk membuat jera para pelaku tindak pidana agar tidak melakukan atau mengulangi perbuatannya tersebut.

Namun pada kenyataannya, di sisi lain sanksi pidana penjara juga menimbulkan suatu dilema, dikarenakan sejak dahulu sampai saat ini efektivitas dari pidana penjara semakin diragukan. Berdasarkan hasil penelitian Djisman Samosir di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang pada tahun 1990 menemukan bahwa 85 (delapan puluh lima) orang dari 100 (seratus) narapidana yang diteliti menyatakan, bahwa pidana penjara bukan sesuatu yang menakutkan, karena sebelum melakukan tindak pidana sudah mengetahui tentang resiko dari perbuatannya yaitu dijatuhi pidana penjara.6

Melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini, pidana penjara sudah tidak ditakuti lagi keberadaannya oleh para pelaku tindak pidana. Ruangan penjara para

5

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, (selanjutnya disebut Barda

Nawawi Arief II), h. 201-202.

6

(6)

pelaku tindak pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) bahkan oleh sebagian pelaku tindak pidana diubah menjadi ruangan pribadi yang mewah dilengkapi dengan segala fasilitas yang membuat pelaku seolah-olah tidak berada di dalam penjara, karena pelaku dapat melakukan segala aktifitas yang seharusnya tidak didapatkan di dalam penjara. Seperti yang terjadi pada Artalita Suryani, setelah ditelusuri keberadaan sel tahanannya yang telah dia sulap menjadi kamar yang mewah dan dari sel tahanannya itu pula dengan segala fasilitas yang canggih dia dapat mengendalikan pekerjaaannya dari dalam sel. Oleh karena itu, pidana penjara semakin banyak mendapat sorotan tajam dari para ahli penologi dan selain itu sangat diperlukan peranan hakim agar lebih selektif dalam penjatuhan pidana penjara.

Shain, seorang Direktur Penelitian dari Judicial Council of California mengemukakan bahwa perlu adanya pedoman bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara agar lebih selektif. Terdakwa yang memenuhi persyaratan berikut tidak layak dijatuhi pidana penjara, (a) Terdakwa tidak termasuk penjahat professional, dan tidak mempunyai riwayat kejahatan yang buruk; (b) Banyak faktor subjektif yang meringankan terdakwa; (c) Terdakwa tidak melakukan ancaman maupun menyebabkan penderitaan atau kerugian yang serius terhadap korban; (d) Ada bukti bahwa terdakwa melakukan tindak pidana karena provokasi dari pihak korban; (e) Terdakwa bersedia memberikan ganti kerugian atas kerugian material maupun nonmaterial yang diderita korban; (f) Tidak terdapat cukup alasan yang menunjukkan, bahwa terdakwa akan melakukan tindak pidana lagi, atau tidak terdapat cukup indikasi bahwa sifat-sifat jahat terdakwa akan muncul lagi.7

Penggantian pidana penjara dalam konteks ini adalah mencari alternatif pengganti pidana penjara jangka pendek dengan pidana jenis lain. Setiap negara perlu

7

Eddy Junaedi Karnasudirdja, 1983, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan

(7)

mencari alternatif pengganti pidana penjara dengan pidana yang lebih bermanfaat sesuai dengan kondisi suatu negara dan lebih banyak melibatkan masyarakat luas, dalam rangka melakukan rehabilitasi bagi pelanggar atau pelaku suatu tindak pidana.

Negara Amerika merupakan salah satu negara yang berhasil melaksanakan alternatif pemidanaan dalam wujud pidana pengawasan, dimana pelaksanaan pidana pengawasan di Amerika Serikat ternyata menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, meskipun efektifitasnya masih belum terukur secara pasti.8 Pidana pengawasan bukan merupakan jenis pidana pokok baru dalam hukum pidana Indonesia, tetapi merupakan jenis pidana pokok baru dalam RUU KUHP. Selain didalam RUU KUHP, Pidana pengawasan dikenal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan penjelasan Pasal 77 RUU KUHP, pidana pengawasan bersifat

noncustodial, probation, atau pidana penjara bersyarat sebagaimana dimaksud dalam

KUHP. Dapat diketahui disini bahwa istilah pidana pengawasan memiliki pengertian yang sama dengan pidana bersyarat. Pengertian pidana bersyarat (suspended

sentence) adalah sebagai berikut.

Pidana bersyarat adalah suatu jenis pidana, dalam hal ini si terpidana tidak perlu menjalani pidana tersebut, kecuali jika selama masa percobaan tersebut terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang menangani perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan

8

Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja

(8)

syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar supaya pidana dijalani bilamana terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.9

Pasal 14 a KUHP secara garis besar menyebutkan, bahwa terhadap terpidana yang akan dijatuhi pidana penjara kurang dari 1 (satu) tahun atau pidana penjara jangka pendek, kurungan bukan pengganti denda dan denda yang tidak dapat dibayar oleh terpidana dapat diganti dengan pidana bersyarat. Dengan demikian terhadap pelaku tindak pidana telah ada penjatuhan pidana secara pasti, yang pelaksanaannya ditunda dengan bersyarat, sehingga telah terjadi proses stigmatisasi terhadap pelaku tindak pidana melalui keputusan hakim yang disampaikan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Negara Indonesia yang didalam RUU KUHPnya mengadopsi pidana pengawasan, tidak terlepas dari rasa ketidakpuasaan masyarakat khususnya pakar-pakar hukum pidana terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang telah terbukti sangat merugikan baik individu yang dikenai pidana maupun masyarakat pada umumnya. Diadopsinya pidana pengawasan ini merupakan upaya untuk menjadikan hukum pidana di Indonesia lebih manusiawi dan tidak saja berorientasi pada perbuatan saja tetapi juga berorientasi pada pelaku sekaligus.

Pidana pengawasan sebagai upaya alternatif pidana perampasan kemerdekaan, diharapkan dapat menekan biaya ekonomi pelaksanaan pidana dan dapat

9

(9)

menghindarkan terpidana dari dampak negatif seperti kelakuan yang semakin buruk setelah menyelesaikan masa hukuman, adanya pemikiran negatif masyarakat yang menganggap terpidana adalah orang jahat sehingga terpidana tidak dapat bersosialisasi dengan baik didalam masyarakat dan tidak menutup kemungkinan terpidana tersebut untuk kembali melakukan kejahatan. Keberadaan pidana pengawasan bagi terpidana diharapkan juga mampu membuat terpidana tersebut hidup secara normal di dalam masyarakat.

Pidana pengawasan atau pidana bersyarat sebagai alternatif pidana perampasan kemerdekaan dalam KUHP yang berlaku sekarang dirasa masih kurang mampu memberikan perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Selain itu, dalam KUHP yang berlaku sekarang, pidana bersyarat bukan merupakan suatu pidana pokok dan hanya merupakan cara penerapan pidana, sehingga hal ini tidak memberikan dasar yang kuat bagi hakim dalam penerapannya. Pengaturan pidana pengawasan atau pidana bersyarat ini dalam KUHP belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek.

(10)

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan pidana pengawasan di dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia?

2. Bagaimanakah prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah, perlu ditentukan secara tegas batasan materi yang dibahas dalam tulisan yang dimaksud sehingga pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan, hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, adapun pembatasannya adalah sebagai berikut :

1. Yang pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan pidana pengawasan di dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia. 2. Yang kedua akan membahas tentang prospek pidana pengawasan sebagai

alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

1.4. Orisinalitas Penelitian

(11)

terdahulu sebagai pembanding. Seperti judul Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, dengan penulis Bagus Surya Darma asal Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun 2015 dengan permasalahan sebagai berikut, Apakah pidana pengawasan relevan dengan tujuan pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana? dan, Bagaimana sebaiknya pidana pengawasan di formulasikan sebagai salah satu jenis pidana dalam pembaharuan KUHP dimasa mendatang?.

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan penulis terjamin orisinalitasnya, dikarenakan aspek penelitian penulis bertitik pada pengaturan pidana pengawasan dalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia dan Prospek ke depannya terhadap Pidana Pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum pidana dan juga terkait dengan prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

b. Tujuan Khusus

(12)

1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang pengaturan pidana pengawasan didalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia

2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis tentang prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

1.6. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana, khususnya pemahaman teoritis mengenai pengaturan pidana pengawasan didalam hukum positif dan Rancangan KUHP di Indonesia, termasuk di dalamnya mengenai prospek pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana.

b. Manfaat Praktis

(13)

pertimbangan bagi para pembentuk undang-undang terkait dengan upaya mencari jenis pidana baru di Indonesia, dimana pembaharuan hukum pidana yang dilakukan dapat mengakomodir pengaturan yang jelas tentang pidana pengawasan sebagai suatu jenis pidana yang memiliki prospek yang baik ke depannya untuk diterapkan di Indonesia.

1.7. Landasan Teoritis

1.7.1. Teori Pemidanaan

Pemidanaan merupakan penjatuhan atau pengenaan penderitaan pada seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terdapat tiga teori pemidanaan yaitu sebagai berikut:

a. Teori Pembalasan/Teori Absolute (vergerldingstheorien)

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.10

Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap

10

(14)

kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.11

Menurut J.E. Sahetapy, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam.12

b. Teori Tujuan/Teori Relatif (doeltheorien)

Teori pembalasan kurang memuaskan, kemudian timbullah teori tujuan. Teori ini memberikan dasar pemikirannya bahwa dasar hukuman dari pidana adalah terletak dari tujuannya sendiri. Teori ini terbagi menjadi dua bagian, pertama teori pencegahan umum (algemene preventive atau general

preventive).13 Teori ini ingin mencapai tujuan dari pidana, yaitu semata-mata dengan membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan-kejahatan. Sementara teori tujuan khusus (bijondere preventie atau

speciale preventie) mempunyai tujuan agar pidana itu mencegah penjahat

dalam mengulangi lagi kejahatannya, dengan memperbaikinya lagi.

11

Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rinneka Cipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Andi Hamzah II), h. 31.

12

J.E. Sahetapy, 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni, Bandung, h. 149.

13

(15)

c. Teori Gabungan

Selain teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yaitu teori gabungan. Teori ini menggabungkan antara teori absolut dan teori relatif.

Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:14

1) Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

2) Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukuman berat; kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.15 Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:

1) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti di pemidanaan

14

Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana dalam Rangka Pembangunan

Hukum Pidana, cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 11-12.

15

(16)

berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat;

2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan mengganggap pemidanaan untuk jalan mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar; Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.16 1.7.2. Pendekatan Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform)

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu sendiri. Pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Menurut Barda

16

Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System

(17)

Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah sebagai berikut :

a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan

- Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah-masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).

- Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

- Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.

b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan kembali (reorientasi dam re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (“reformasi”) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan pejajah (WvS).17

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian hukum normatif.18 Dipilihnya jenis penelitian

17

Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief III) h.

26.

18

(18)

normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.19 Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari adanya kekaburan norma hukum yang berkaitan dalam permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dimana belum terdapat pengaturan secara jelas atau norma kabur mengenai pengaturan pidana pengawasan di Indonesia. Selain itu pengaturan pidana pengawasan belum dapat digunakan secara lebih efektif sebagai sarana alternatif penerapan pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Penulisan ini mengunakan jenis pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & The

Conseptual Approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan

(19)

Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penulisan ini.20 Pendekatan perundang-undangan (The Statue Approach) digunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada dalam mengetahui tentang pengaturan hukum tentang pidana pengawasan di Indonesia. Pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & The Conseptual Approach) merupakan pendekatan yang digunakan untuk memahami konsep-konsep aturan yang jelas tentang pidana pengawasan, Pendekatan perbandingan (Comparative Approach) dilakukan untuk melihat bagaimana negara lain mengatur pidana pengawasan.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini berasal dari : 1) Sumber bahan hukum primer

Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat mengikat.21 Sumber bahan hukum primer yang digunakan adalah :

- Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945;

20

Ibrahim Johny, 2006, Teori Metodologi & Penulisan Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302.

21

(20)

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

- Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 153);

- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional Tahun 2015.

2) Sumber bahan hukum sekunder

Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.22 Dipergunakan juga bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui internet dengan cara mengcopy atau mendownload bahan hukum. 3) Sumber bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum.23

22

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta, h. 141.

23

(21)

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan ini yakni teknik kepustakaan (study document).24 Telaah kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (card system) yaitu cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara berurut dan sistematis sesuai dengan permasalahan.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.25 Obyek yang dimaksud dalam skripsi ini yakni tentang pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

24

H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penulisan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.107.

25

(22)

Metode interpretatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.26 Karena suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

Metode argumentatif adalah alasan berupa penjelasan yang diuraikan secara jelas, berupa serangkaian pernyataan secara logis untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian atau gagasan, berkaitan dengan asas hukum, norma hukum dan peraturan hukum konkret, serta sistem hukum dan penemuan hukum, yang berkaitan dengan pidana pengawasan sebagai alternatif ancaman pidana dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

26

Referensi

Dokumen terkait

Pada awal pertemuan dan berdiskusi dengan ketua pengurus komunitas pengrajin tembaga dapat disimpulkan bahwa belum adanya wadah atau tempat dalam proses

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, seluruh jabatan dan pejabat pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu dan Bappeda yang diangkat menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sigi

Sapta Panen yang dibacakan oleh Asisten Afdeling atau oleh Pimpinan Tertinggi jika ikut menghadiri Apel Pagi yang diikuti oleh seluruh peserta Apel Pagi

Kemampuan mewarnai gambar siswa kelompok A TK Anugrah Al Aliimu Kecamatan Tamalanrea Makassar dari keseluruhan aspek yaitu kebersihan, kerapihan, kreativitas, dan

Di sisi lain, jaringan/relasi guru dengan orangtua berdasarkan penelitian ini baru sekedar relasi administratif, belum dijadikan sebagai modal (sosial) penting yang bisa

Terlaksananya kegiatan  peningkatan kapasitas  pelayanan administrasi  kependudukan  pemerintah kota  setidaknya diikuti 20 ...

Diagnosis kebuntingan dini pada sapi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (a) dengan mendeteksi substansi spesifik yang terdapat di dalam darah induk seperti.. Pregnancy

Perlakuan pemupukan berupa pupuk an- organik, kombinasi pupuk anorganik dan organik serta pupuk organik pada tanaman jagung manis memberikan pengaruh tidak nyata