• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF PEMBELAJARAN MATEMATIKA: Studi Di Sekolah Dasar Kota Banjarmasin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF PEMBELAJARAN MATEMATIKA: Studi Di Sekolah Dasar Kota Banjarmasin."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF

PEMBELAJARAN MATEMATIKA

(STUDI DI SEKOLAH DASAR KOTA BANJARMASIN)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Dalam Bidang Pendidikan Umum

OLEH:

MUHAMMAD ROYANI

NIM 0908539

JURUSAN PENDIDIKAN UMUM/NILAI

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

B A N D U N G

(2)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif

Pembelajaran Matematika

(Studi di Sekolah Dasar Kota Banjarmasin)

Oleh

Muhammad Royani

Drs. FKIP Unlam Banjarmasin, 1991

M.Pd. Universitas Negeri Malang, 2003

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Umum/Nilai Sekolah Pascasarjana UPI

Bandung

© Muhammad Royani 2013

Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,

(3)

Muhammad Royani, 2013

(4)

INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF

PEMBELAJARAN MATEMATIKA (STUDI DI SEKOLAH DASAR KOTA BANJARMASIN)

Disertasi Muhammad Royani dengan Tim Promotor Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd., Bana G. Kartasasmita, Ph.D., Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D.

Belajar matematika dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan kemampuan mengeluarkan pendapat dengan singkat dan tepat, berpikir rasional, dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-unsur kedisiplinan yang terdapat di dalam matematika merupakan sarana untuk menanamkan, mengembangkan dan membina karakter karena bahasa simbol matematika yang universal sarat dengan nilai-nilai sosial universal. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang mendasar dalam matematika. Kejujuran dapat ditanamkan dengan membiasakan menyebutkan sifat, rumus, teorema yang digunakan. Siswa yang belajar matematika dengan sadar atau tidak ia mempraktekkan kebenaran dan kejujuran. Kebenaran dan kejujuran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan bertindak merupakan kebaikan yang diperoleh secara tidak langsung dari belajar matematika. Akan tetapi masih banyak kita temukan perilaku ketidakjujuran siswa seperti berbohong terhadap teman, mengambil milik teman, melihat pekerjaan teman, bertanya atau nyontek pada saat tes dan kecurangan lainnya. Belajar matematika selama ini hanya dari aspek kognitif saja dan belum menyentuh aspek afektifnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: gambaran kejujuran siswa sebagai akibat dari pembelajaran matematika dilaksanakan guru, proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi kejujuran, serta pengaruh model integratif pembelajaran matematika terhadap internalisasi kejujuran siswa.

Metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

Pretest-Postest Design dan Quasi Experimental Design. Teknik pengumpulan data

menggunakan angket, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data pada uji coba pertama dan kedua menggunakan T-Test tipe Paired Samples Test, sedangkan uji coba ketiga menggunakan T-Tes tipe Independent Samples Test. Semua data diolah dengan fasilitas software SPSS ver.18.

(5)

Muhammad Royani, 2013

INTERNALIZING HONESTY THROUGH INTEGRATIVE MATHEMATICS TEACHING MODEL (STUDY IN ELEMENTARY SCHOOLS IN THE CITY OF BANJARMASIN)

Disertation. Muhammad Royani. Promoters: Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.; Bana G. Kartasasmita, Ph.D.; Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D.

Learning mathematics can develop concentration, improve the skill to express opinion concisely and precisely, and encourage rational thingking and accurate decision making. The aspects of self-discipline in mathematics accommodate character development, cultivation, and guidance because the universal symbols of mathematics abound with universally social values. Veracity and honesty are the two principles in mathematics. Honesty can be developed by habituating properties, formulations, and theorems used. Students learning mathematics, whether unconsciously or not, are practicing veracity and honesty. Veracity and honesty in thinking, speaking, writing, and acting are direct benefits from learning mathematics. Nevertheless, dishonesty among students still prevails, such as lying to their friends,

taking others’ property, peeking at friends’ work, asking or cheating during test, and

other dishonesty behaviors. Until recently, learning mathematics has been focused on the cognitive, not the affective aspect. Thus, the research aimed to find the

descriptions of students’ honesty as a result of learning mathematics with teachers,

the process of how the model of integrative mathematics teaching learning internalizes honesty, and the impact of the model of integrated mathematics teaching

learning on the internalization of students’ honesty.

The research employed experimental method with pretest-posttest design and quasi experimental design. Data collection techniques employed were questionnaires, observation, and documentation. Data from the first and second tests were analyzed usingPaired Samples t-Test, while the analysis of the third test used Independent Samples t-Test. All data were processed using the software of SPSS version18. The results demonstrate that: (1) There was still a large number of students who were not honest, especially to their friends, siblings, parents, and teachers, and the dilemmatic situations began to surface and develop; (2) The process of integrated mathematics teaching learning model is the expression and emphasis on the value of honesty in each moment of the teaching learning, starting from mathematical problems containing socio-cultural values, grouping for assignment, field study, group and class discussion, conclusion and reward; (3) The integrated mathematics

teaching learning model had an impact on the internalization of students’ honesty,

(6)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika

Halaman

B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………….. C. Definisi Operasional ………... D. Karakter Jujur dalam Kajian Pendidikan Umum ……… E. Hasil Kajian yang Relevan dengan Kejujuran dan Model Integratif …………..

BAB III. PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian ………

B. Langkah-langkah Penelitian ………

C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian……….. D. Teknik Pengumpulan

E. Pengembangan Instrumen

F. Teknik Analisis Data………..……

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Tempat Penelitian

B. Deskripsi Kejujuran dari Proses Pembelajaran Konvensional ……….……….. C. Deskripsi Model Integratif

(7)

Muhammad Royani, 2013

Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Umum ………..……

B. Kesimpulan Khusus ……….……

C. Rekomendasi………

DAFTAR PUSTAKA ……….

LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….

217 219 219

(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kita tidak ingin anak-anak kita berbohong, menyontek dalam ujian, atau

mengambil apa yang bukan menjadi miliknya, tetapi kita ingin agar mereka

berbicara jujur, berlaku adil, sopan, menghormati para orangtua dan guru mereka,

menyelesaikan pekerjaan rumah mereka, dan bersikap baik satu sama lain.

Singkatnya, walaupun kita berada dalam sebuah lingkungan di mana

masyarakatnya memiliki makna nilai yang bertentangan, kepedulian, tanggung

jawab, dan manifestasi kehidupan kitalah yang sebenarnya menjadi dasar dari

kehidupan moral kita. Mengenal pemikiran dasar yang secara umum dapat

diterima oleh seluruh masyarakat adalah langkah awal yang paling utama dalam

memberikan pendidikan tentang nilai di sekolah (Lickona, 1991:74). Kebajikan

terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti kejujuran, berani bertindak,

dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Menurut Lickona (1992: 70) ada

tiga kelompok karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral

action.

Pada masyarakat sekarang ini, setiap orang dituntut untuk memiliki

tingkat literasi matematika yang memadai (Hayat & Yusuf, 2010: 211).

Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi

(9)

daya pikir manusia, oleh karena itu untuk menguasai dan mencipta teknologi di

masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Departemen

Pendidikan Nasional, 2006). Hal ini senada dengan pendapat Zhang (2005)

bahwa matematika merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat modern, secara faktual pendidikan matematika merupakan suatu

kekuatan yang mendorong masyarakat untuk maju, oleh karena itu reformasi

pendidikan matematika tidak boleh berhenti. Pemerintah mencoba mereformasi

pendidikan dengan mengubah paradigma proses pendidikan dari paradigma

pengajaran ke paradigma pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).

Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan

potensi peserta didik. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan

(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,

berpikir, bersikap dan bertindak.

Sujono (1988:19-20) menyatakan bahwa dengan belajar matematika maka

karakter atau watak seseorang dapat dibina atau dikembangkan. Ini terjadi karena

belajar matematika dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan

kemampuan mengeluarkan pendapat dengan singkat dan tepat, berpikir rasional,

dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-unsur kedisiplinan yang terdapat di

dalam matematika ternyata merupakan sarana yang baik untuk membina dan

mengembangkan karakter. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang mendasar

(10)

memeriksa kembali hasil kerjanya. Jika dari hasil pemeriksaan kembali ternyata

hasilnya salah, maka dengan tulus hati dan kejujuran siswa yakin bahwa ia

berbuat salah. Kejujuran juga ditanamkan melalui pelajaran matematika. Dalam

pelajaran ini siswa dibiasakan menyebutkan sifat, rumus, teorema yang

digunakan. Ini berarti bahwa dalam diri siswa ditanamkan kebiasaan untuk

mengetahui dan menghargai bantuan orang lain. Matematika adalah bidang studi

penuh kebenaran dan kepastian. Bila seseorang mencintai maka ia mencintai

kebenaran. Siswa yang mempelajari matematika dengan sadar atau tidak ia

mempraktekkan kebenaran. Kebenaran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan

bertindak merupakan kebaikan yang diperoleh secara tidak langsung dari belajar

matematika. Cinta akan kebenaran dan kejujuran, dua nilai terpuji ini ditanamkan

dalam jiwa siswa melalui pelajaran matematika.

Menurut Soedjadi (2000:66-67) bahwa pembelajaran matematika tidak

hanya mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga

nilai edukasi yang membantu membentuk pribadi siswa. Memang untuk dapat

mengetahui apakah nilai edukasi pembentuk pribadi siswa telah tercapai tidaklah

mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan upaya

terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama. Selama ini nilai-nilai yang

terkandung dalam pembelajaran matematika diharapkan akan tercapai dengan

sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para

siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam

(11)

Akan tetapi sekarang kita lebih memerlukan perencanaan pembelajaran

matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai tersebut

yang disebut pembelajaran by-design. Dalam pembelajaran ini perlu dilengkapi

dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor yang memerlukan instrumen

pengukurnya.

Menurut Mulyana (2004: 179) secara ideal pembelajaran matematika

semestinya mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotor sebagai komponen

esensial. Dalam pemahaman seperti itu, maka pengembangan nilai dan etika

dalam pembelajaran matematika tidak tepat lagi jika hanya diposisikan sebagai

komponen krusial atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Nilai, moral

dan etika harus secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap topik

pembelajaran. Melalui pembelajaran seperti itu, keseimbangan antara

kepemilikan pengetahuan, kompetensi teknologi, moral individu dan apresiasi

terhadap nilai-nilai sosial dan budaya dapat ditingkatkan. Pembelajaran

matematika perlu juga diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang

berdiversifikasi. Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan

matematika adalah membangkitkan peserta didik agar memiliki dorongan untuk

tahu dan paham, memiliki kemampuan mengumpulkan data, menemukan makna,

berpikir logis, memilih alternatif pilihan beserta akibatnya, memahami manusia

pada posisi manusiawi, dan menghargai perbedaan pendapat.

Pembelajaran matematika yang disertai oleh pengembangan nilai, moral,

(12)

yang dicapai dalam pembelajaran konvensional. UNESCO mencatat bahwa

pembelajaran matematika yang dilakukan secara terpadu dengan kebutuhan

pendidikan nilai akan mampu merubah makna belajar dan meningkatkan

kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek, mengembangkan

minat mereka dalam belajar, dan memiliki sikap ilmiah yang jelas. Karena itu,

materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai pada materi-materi

esensial yang terkandung di dalamnya. Materi esensial adalah pokok-pokok

bahasan tentang matematika yang di dalamnya terkandung nilai, moral, dan etika

yang harus dimiliki oleh peserta didik dan dianggap krusial andai kata hal

tersebut tidak disampaikan dalam proses pembelajaran (Mulyana, 2004:179-180).

Dengan demikian perlu pengintegrasian nilai, moral dan etika ke dalam

pembelajaran matematika dengan menggunakan model terintegrasi yang disebut

model integratif. Model integratif adalah model pembelajaran yang

mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai kemanusiaan ke dalam

mata pelajaran.

Pembelajaran matematika seperti telah dikemukakan di atas selain dapat

memperluas wawasan berpikir siswa tentang matematika, namun juga dapat

menanamkan dan mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai yang secara

esensial terdapat di dalamnya. Pemahaman tentang substansi materi matematika

tidak ditempatkan sebagai akhir proses pembelajaran. Cara seperti itu sesuai apa

yang dikatakan Brameld (1975) sebagai education of power yang menekankan

(13)

mampu berpikir, bersikap, dan bertindak lebih matang. Sebaliknya ketika

pembelajaran matematika lebih mengutamakan substansi materi dengan tidak

terlalu berurusan pada kesadaran nilai, maka proses pembelajaran berpihak pada

knowledge as power.

Kemendiknas (2010:4) mengemukakan bahwa pengembangan pendidikan

budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan

bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui

perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta

pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan

karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan

secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata

pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Menurut Soedarsono (2009: 23) pada umumnya kita akan sepakat tentang

kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang menghadapi hal serius, yaitu

masalah moral dan sosial yang akar permasalahannya memerlukan solusi yang

sistemik. Diantara kita pasti akan sudah sampai pada kesimpulan bahwa ternyata

ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan masyarakat dan pendidikan

karakter individu. Hal yang tak mungkin pernah terjadi ialah memenuhi hasrat

untuk mengembangkan masyarakat yang penuh dengan kepemilikan nilai, tanpa

kita mengembangkan kebajikan dalam hati, pikiran, dan jiwa dalam diri manusia

secara individual. Oleh karena itu pula, pendidikan karakter itu harus kita mulai

(14)

yang lebih luas, dan bangsa secara nasional. Masing-masing komponen di atas

harus mengambil inisiatif dan proaktif mengambil bagian dalam membangun

budaya berkarakter. Keluarga, sekolah, dan masyarakat yang berkarakter akan

sangat ditentukan oleh kesungguhan kita untuk berkomitmen pada pendidikan

karakter.

Persepsi bahwa matematika sulit tidak terlepas dari proses pembelajaran

matematika yang disajikan guru di kelas yang kurang menarik, kurang realistik,

kurang kontekstual, sehingga seolah-olah tidak terkait dengan masalah kehidupan

dan bukan realitas. Padahal dalam gerak gerik kehidupan manusia tidak lepas dari

matematika, baik kehidupan pribadi, sosial, berbangsa, bernegara, maupun

beragama. Menurut Sobel & Maletsky (2004: 2) banyak sekali guru yang

menggunakan waktunya untuk membahas tugas yang lalu, memberi pelajaran

baru, dan memberi tugas baru, padahal pendekatan ini dikategorikan 3M, yaitu

membosankan, menghambat, merusak minat siswa. Menurut Turmudi (2009: 8)

bahwa kenyataannya belajar matematika tanpa pemahaman berlangsung cukup

lama, padahal visi matematika sekolah didasarkan kepada belajar matematika

dengan pemahaman.

Pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru harus memperhatikan

karakteristik siswa yang belajar dan karakteristik matematika yang dipelajari.

Pembelajaran matematika selama ini kurang memperhatikan kedua karakteristik

tersebut, dan lebih cenderung pada pola pembelajaran yang sama, baik

(15)

tinggi. Pola pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru dikelas cenderung

mengikuti pola yang dimulai dengan penjelasan konsep atau prinsip yang disebut

rumus, dilanjutkan dengan pemberian contoh penggunaan rumus yang bersifat

prosedural/mekanistik, kemudian siswa diberi latihan agar lebih paham, dan

diakhiri dengan pemberian pekerjaan rumah (PR). Secara singkat polanya adalah

jelaskan, contoh, latihan, dan PR

Pada saat ini pola pembelajaran matematika seperti itu masih banyak

dipakai oleh guru, dan masih sedikit guru yang menggunakan hasil

inovasi-inovasi pembelajaran yang terbaru untuk meningkatkan pemahaman siswa.

Orientasi pembelajaran matematika selama ini nampak jelas hanya untuk

menguasai matematika itu dari aspek kognitif, tanpa memperhatikan aspek afektif

dan psikomotrik. Dengan kata lain belajar matematika hanya untuk kepentingan

pengembangan daya pikir siswa tanpa memperhatikan bagaimana bersikap dan

berperilaku sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan perkembangan

peradaban manusia.

Menurut Zamroni (2000:45) usaha meningkatkan kualitas pendidikan di

tingkat manapun juga akan sulit terlaksana, apabila kualitas pendidikan yang

lebih rendah tidak ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas

pendidikan di tingkat dasar merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk

meningkatkan mutu lulusan pendidikan menengah. Guru yang

(16)

(2006:49) melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa

berpartisipasi dalam mengelola semua fungsi kelas.

Pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran yang mampu

memfasilitasi peserta didik untuk terlibat secara fisik dan mental dalam proses

belajar untuk memperoleh pengetahuan, dan pada akhirnya dapat membentuk

kepribadian peserta didik yang baik. Akan tetapi menurut Aunillah (2011:47)

bahwa banyak persoalan yang terjadi di negara kita saat ini antara lain disebabkan

oleh semakin menipisnya kejujuran. Padahal dapat dikatakan bahwa kejujuran

termasuk salah satu sendi utama yang bisa menopang tegaknya sendi-sendi

kehidupan. Sebagai contoh, pejabat yang tidak jujur menyebabkan ia korupsi,

pelajar yang tidak jujur menyebabkan ia suka menyontek. Hasil penelitian Hakam

(2010: 287) menunjukkan bahwa bentuk-bentuk sikap dan perbuatan immoral

yang umum terjadi di sekolah seperti nyontek pada saat ulangan, tidak

mengerjakan PR, malak adik kelas, mencuri makanan di kantin, mencuri buku

perpustakaan, berkelahi. Kadang-kadang juga terjadi bias nilai moral oleh warga

sekolah secara spontan dihadapan siswa.

Sekolah telah berupaya dengan berbagai cara untuk bisa melatih atau

proses pembiasaan berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma-norma yang

berlaku, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti yang dilakukan

oleh sekolah-sekolah yang ada di kota Banjarmasin, pesan-pesan moral secara

langsung sering disampaikan pada akhir pembelajaran atau momen-momen

(17)

materi yang dipelajari atau dampak strategi yang digunakan). Sedangkan pesan

moral secara tidak langsung melalui berbagai media, diantaranya tulisan-tulisan

berbentuk poster seperti kalimat “Biasakan LISA (Lihat Sampah Ambil)” yang di

tempatkan di depan pintu masuk halaman sekolah, kalimat “Jadilah Anak Yang

Jujur” yang ditempatkan di Kantin Kejujuran. Hasil dari upaya yang telah

dilakukan belum maksimal karena hanya berupa himbauan, karena belum

menyentuh tentang dampak apa yang ia ketahui, yang ia rasakan dan apa yang ia

lakukan.

Banyak sekolah di kota Banjarmasin yang membuka kantin kejujuran

(tanpa ada yang menjaga). Namun banyak yang gagal atau bangkrut, ada juga

kantinnya dijaga oleh petugas seperti yang terjadi di SDN Antasan Besar 7

Banjarmasin, SDN Mawar 7 Banjarmasin tidak memiliki kantin kejujuran lagi,

SDN Telaga Biru 1 Banjarmasin dan SD Kristen Kanaan Banjarmasin selalu ada

petugas yang menjaganya. Hal ini mengindikasikan mulai hilangnya kejujuran.

Kebangkrutan kantin kejujuran merupakan salah satu indikator ketidakjujuran

telah terjadi dalam lingkungan sekolah apapun alasannya. Hal ini menunjukkan

adanya warga sekolah yang tidak jujur. Di samping itu, dari hasil wawancara

dengan guru dikatakan bahwa ketidakjujuran kadang terjadi pada saat tes seperti

ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dengan nyontek

pekerjaan teman, dan bahkan pada saat ujian akhir sekolah berstandar nasional

(UASBN) maupun ujian nasional (UN) sering kita dengar terjadi kecurangan oleh

(18)

bahwa kejujuran dalam penyelenggaraan sekolah saat ini dapat kita identifikasi

ketika sekolah menghadapi Ujian Nasional (UN). Banyak dugaan bahwa

pelaksanaan UN banyak dimanipulasi oleh penyelenggara sekolah itu sendiri,

bahkan beberapa kepala sekolah dan guru mengakui akan hal itu. Jika anak

mempersepsikan ketidakjujuran dalam UN ini sebagai hal yang biasa, maka telah

terbentuk dalam diri anak karakter toleran terhadap kebohongan, bahkan

menganggap “harus berbohong” . Tentu saja hal ini sangat berbahaya untuk

penguatan karakter anak. Persolaan tersebut menurut Aunillah (2011:18) hampir

terjadi setiap tahun, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Dari

berbagai media, kita sering kali mendengar ada lembaga pendidikan yang sengaja

melakukan kecurangan demi memperoleh nilai yang bagus bagi peserta didiknya.

Mengingat kejujuran merupakan salah satu sikap yang penting dimiliki

oleh semua lapisan masyarakat, maka perlu bagi sekolah-sekolah untuk

menanamkan sikap ini kepada peserta didik agar mereka memahami pentingnya

bersikap jujur sejak dini. Menanamkan kejujuran bagi para peserta didik sejak

dini tentu saja dapat dilakukan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.

Terkait itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa sekolah dasar dinilai menjadi

wadah utama dalam pembentukan karakter (Aunillah, 2011:48)

Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, perlu suatu model

pembelajaran matematika berdiversifikasi yang dapat menginternalisasikan

kejujuran kepada peserta didik secara terintegrasi dengan pengetahuan

(19)

B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

dapat diidentifkasi beberapa masalah yang ada di sekolah dasar kota Banjarmasin

berikut.

1. Dalam setiap kelas selalu ada siswa yang berperilaku kurang terpuji seperti

berbicara dengan berteriak, mengejek teman, membuang sampah

sembarangan, menyalin PR pekerjaan teman, menunggu dan berharap bantuan

teman bahkan nyontek pada saat tes.

2. Guru belum melaksanakan kebijakan pemerintah tentang pengitegrasian

pendidikan karakter melalui mata pelajaran, karena mengalami kesulitan dan

mempertanyakan bagaimana cara mengintegrasikannya ke dalam mata

pelajaran matematika.

3. Pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan

sekolah seperti pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS), kegiatan

keagamaan dan lain-lain dalam rangka mendukung penanaman nilai-nilai

kemanusiaan belum berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan.

4. Budaya sekolah yang dikembangkan nampaknya hanya sekedar formalitas

ritual yang harus dilakukan seperti berbaris saat mau masuk kelas (nilai

disiplin) namun pada saat belanja di kantin rebutan, berdoa sebelum memulai

pelajaran (nilai religius) namun pada saat makan di kantin tidak berdoa

bahkan makan sambil bercanda, guru mengatakan pada saat tes tidak boleh

(20)

berharap bantuan teman bahkan nyontek bila ada kesempatan. Dengan kata

lain budaya sekolah yang dikembangkan belum mampu menanamkan

nilai-nilai kemanusian dengan baik pada siswa.

5. Belum ada kesinambungan komitmen guru dalam integrasi nilai-nilai

kemanusiaan antara budaya sekolah dan pengembangan diri yang

dilaksanakan dengan kegiatan pembelajaran di kelas secara terencana,

walaupun ada sifatnya spontanitas.

6. Kejujuran siswa diragukan bahkan dipertanyakan walaupun pihak sekolah

sudah berupaya menciptakan budaya sekolah dan melakukan sosialisasi

melalui berbagai kesempatan (nasehat-nasehat pada saat upacara) dan media

banner yang dipasang di dalam dan di luar kelas sebagai pengingat.

7. Suasana pembelajaran matematika kurang menyenangkan, pendekatan dan

strategi yang digunakan guru terlalu berorientasi pada substansi matematika

(instructional effect) dan terabaikannya nilai-nilai kemanusian (nurturant effect).

8. Belum adanya model pembelajaran terintegrasi antara pendidikan nilai

dengan mata pelajaran, khususnya mata pelajaran matematika yang dapat

membantu guru dalam mengimplementasikannya dengan langkah-langkah

yang sederhana dan jelas.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah: mengapa pembelajaran

matematika di sekolah dasar belum mampu menginternalisasi karakter jujur pada

(21)

model integratif dapat menginternalisasikan kejujuran pada peserta didik? Agar

masalah penelitian lebih rinci, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah gambaran kejujuran siswa sebagai akibat dari proses

pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini?

3. Bagaimana proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi

kejujuran?

4. Bagaimanakah efektivitas model integratif pembelajaran matematika dalam

menginternalisasi kejujuran?

5. Apakah status sosial ekonomi siswa berpengaruh langsung terhadap kejujuran

siswa?

C. Definisi Operasional

Untuk mempertegas variabel dalam penelitian ini, dikemukakan definisi

operasional penelitian berikut:

1. Internalisasi kejujuran adalah proses mengalirkan atau menanamkan sifat jujur

(lurus, hati tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas) yang didasarkan

pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam

berkata dan berperilaku terhadap teman, saudara, orang tua, guru, dan situasi

(22)

2. Model Integratif adalah model integrasi matematika ke dalam pendidikan nilai,

yaitu rangkaian langkah-langkah pembelajaran yang memfasilitasi terjadinya

interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar

dengan suasana dan nuansa pembelajaran matematika yang sarat dengan

nilai-nilai kemanusiaan.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui efektivitas model integratif pembelajaran matematika dalam

menginternalisasikan kejujuran. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah

untuk:

1. Menggambarkan keadaan kejujuran siswa sebagai akibat dari proses

pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini.

2. Mendeskripsikan pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama

ini.

3. Mendeskripsikan proses model integratif pembelajaran matematika

menginternalisasi kejujuran.

4. Mengetahui ada tidaknya perbedaan kejujuran antara siswa yang belajar

matematika menggunakan model integratif dengan siswa yang belajar

matematika secara konvensional.

5. Menguji pengaruh status sosial ekonomi terhadap kejujuran siswa.

(23)

Fitrah manusia menurut perspektif agama adalah cenderung kepada

kebaikan, namun masih mengakui adanya pengaruh lingkungan yang dapat

mengganggu proses tumbuhnya fitrah. Hal ini memberikan pembenaran perlunya

faktor nurture atau lingkungan budaya, pendidikan, dan nilai-nilai yang perlu

disosialisasikan kepada anak-anak. Oleh karena itu Tuhan menurunkan para

Nabi/Rasul atau orang-orang bijak untuk mendidik dan mengingatkan kembali

akan perlunya menjalankan prinsip-prinsip kebajikan agar manusia dapat

memelihara fitrahnya (Megawangi, 2004:26). Kebajikan terdiri atas sejumlah

nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan

hormat kepada orang lain. Baik buruknya perbuatan tergantung pada niat (Shubhi,

2001: 266). Dengan demikian guru sebagai orang yang dipercaya dalam

menanamkan kebajikan memegang peranan yang sangat penting dalam

pembentukan akhlak mulia peserta didik. Mengingatkan dan menempatkan niat

yang benar dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku melalui berbagai

kesempatan termasuk pada saat pembelajaran berlangsung dengan materi apapun.

Nilai-nilai dasar budaya (akal-pikiran) dan kebudayaan (Perilaku, nilai, norma)

diletakkan melalui proses sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi

(Koentjaraningrat, 1990:227).

Internalisasi atau penanaman nilai kejujuran melalui dua jalur, jalur di luar

sekolah dan jalur sekolah. Pada jalur di luar sekolah melalui keluarga dan

masyarakat. Sedangkan jalur sekolah sesuai dengan kebijakan pemerintah bisa

(24)

melalui kegiatan ekstra kurekuler dan budaya sekolah yang dikembangkan oleh

semua warga sekolah. Dengan demikian guru memiliki tugas untuk

mengintegrasikan kejujuran melalui mata pelajaran dan salah satunya adalah

matematika. Tujuan pembelajaran matematika tidak hanya pada aspek kognitif

saja (cerdas matematika), tetapi juga aspek afektif (memiliki nilai-nilai sosial

budaya). Akan tetapi guru mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan

pendidikan nilai pada umumnya dan khususnya kejujuran melalui pembelajaran

matematika. Pertanyaan yang sering muncul dari guru pada berbagai kesempatan

pertemuan peneliti dengan guru adalah “bagaimana caranya”. Karena belum ada

model-model pembelajaran yang secara eksplisit dalam langkah-langkahnya

mengintegrasikan secara langsung, terutama berdasarkan analisis bahan ajar atau

materi dalam perencanaannya memuat nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai

kemanusiaan, serta pengungkapan dan penekanan nilai-nilai tersebut selama

pembelajaran berlangsung. Walaupun dalam praktiknya ada, akan tetapi masih

bersifat implisit atau hidden, misalnya pada saat guru menggunakan model

kooperatif secara tidak langsung mempraktikkan nilai kepedulian, demokrasi,

kerjasama. Namun nilai-nilai tersebut jarang diungkapkan dan kurang mendapat

penekanan dari guru matematika, karena guru lebih fokus pada matematikanya.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas dapat dibuat kerangka berpikir

(25)

KERANGKA BERPIKIR

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis sebagai sumbangan akademis terhadap konsep dan

pengembangan pendidikan nilai di sekolah pada umumnya dan pendidikan

matematika pada khususnya dalam rangka membangun manusia Indonesia

yang berakhlak mulia dan cerdas.

2. Secara praktis turut serta membantu guru dalam menyelesaikan masalah

(26)

dapat dijadikan sebagai salah satu model integrasi pendidikan karakter melalui

mata pelajaran.

3. Sebagai bahan masukan bagi penulis buku ajar, buku pengayaan, dan lembar

(27)

130

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap,

yaitu tahap eksplorasi dan tahap eksperimen. Pada tahap eksplorasi menggunakan

metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Pada tahap eksplorasi dimaksudkan

untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang perilaku kejujuran siswa SD

dan pembelajaran matematika yang dilakukan guru selama ini sebagai dasar

dalam merancang model integratif pembelajaran berdasarkan analisis model

faktual yang diperoleh. Pada tahap eksperimen menggunakan metode eksperimen

dengan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2009: 107) menyatakan bahwa metode

penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan

untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi

yang terkendalikan. Sedangkan menurut Creswell (2010: 27-28) strategi

eksperimen ini diterapkan untuk menilai perilaku-perilaku, baik sebelum maupun

sesudah proses eksperimen dan data dikumpulkan menggunakan insrumen khusus

yang dirancang untuk menilai perilaku-perilaku, kemudian data dianalisis

menggunakan prosedur statistik dan pengujian hipotesis.

Eksperimen ini menggunakan dua model eksperimen, yaitu pada uji coba

pertama implementasi model integratif menggunakan Pretest-Postest Design

(28)

Sedangkan uji coba kedua implementasi model integratif menggunakan Quasi

Experimental Design (menggunakan kelas kontrol) yang dilaksanakan di tiga

sekolah berbeda, dan masing-masing dua kelas. Eksperimen yang dilakukan

dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menguji efektivitas atau pengaruh

penggunaan model integratif pembelajaran matematika dalam menginternalisasi

kejujuran siswa SD.

B. Langkah-langkah Penelitian

Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam penelitian ini dibagi menjadi

dua tahap, yaitu tahap eksplorasi dan tahap eksperimen. Tahap eksplorasi

dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum tentang pembelajaran

matematika yang dilaksanakan selama ini, profil sekolah terkait pendidikan

karakter/pendidikan nilai, dan kondisi awal kejujuran siswa. Sedangkan tahap

eksperimen dimaksudkan untuk menguji hasil internalisasi kejujuran melalui

model integratif pembelajaran matematika.

1. Tahap Eksplorasi

Langkah-langkah penelitian pada tahap studi eksplorasi meliputi:

a. Menyebarkan Angket kepada Guru

Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang (1)

pengembangan silabus dan penyusunan RPP, (2) model pembelajaran

yang sering digunakan guru dalam mengajar matematika selama ini, (3)

pendekatan pembelajaran yang digunakan selama ini, (4) pengetahuan

(29)

implementasi integrasi pendidikan karakter melalui pembelajaran dan

nilai-nilai yang ditanamkan kepada siswa.

b. Dokumentasi Profil Sekolah

Dokumentasi profil sekolah ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi

terkait dengan upaya sekolah terhadap pembentukan karakter peserta

didik, seperti visi, misi, tujuan, program kerja, budaya sekolah,

pengembangan diri, tata nilai, dan lain-lain.

c. Observasi Kelas Matematika

Observasi kelas matematika ini dimaksudkan untuk memperoleh

gambaran riil dalam pembelajaran matematika sebagai informasi

tambahan dan perbandingan hasil angket guru yang diperoleh

sebelumnya.

d. Menyebarkan Angket Kejujuran kepada Siswa

Angket kejujuran yang disebarkan kepada siswa ini dimaksudkan untuk

memperoleh gambaran kondisi kejujujuran awal siswa sebelum diberikan

perlakuan (treatment) pembelajaran matematika dengan model integratif.

2. Tahap Eksperimen

a. Selama tahap eksperimen implementasi model integratif pembelajaran

matematika ini dilakukan observasi kejujuran siswa, baik kelas

eksperimen maupun kelas kontrol. Langkah-langkah penelitian pada tahap

eksperimen model integratif pembelajaran matematika meliputi dua kali

(30)

tanpa kelas kontrol dilaksanakan di tiga sekolah dasar berbeda

masing-masing satu kelas. Uji coba kedua menggunakan kelas kontrol

dilaksanakan di tiga sekolah dasar berbeda dan masing-masing dua kelas.

Kelas yang dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada

masing-masing sekolah dengan klasifikasi SD Negeri Percontohan, SD

Negeri RSBI, SD Negeri Biasa, dan SD Swasta ditetapkan seperti pada tabel

rancangan eksperimen berikut.

Tabel 3.1 Rancangan Eksperimen

SD Kelas Banyak Siswa Kelompok Uji Coba

A VI U 36 Eksperimen Pertama tanpa control

B VI A 30 Eksperimen Kedua

VI B 31 Kontrol Kedua

VI C 30 Eksperimen Pertama tanpa control

C VI A 27 Eksperimen Pertama tanpa control

VI B 26 Eksperimen Kedua

VIC 27 Kontrol Kedua

D VI A 28 Eksperimen Kedua

VI B 27 Kontrol Kedua

Keterangan:

1. SD A: Sekolah Dasar Negeri Percontohan Antasan Besar 7 Banjarmasin. 2. SD B: Sekolah Dasar Negeri RSBI Telaga Biru 1 Banjarmasin.

3. SD C: Sekolah Dasar Swasta Kristen Kanaan Banjarmasin. 4. SD D: Sekolah Dasar Negeri Mawar 7 Banjarmasin.

(31)

konsep atau rumus, memberikan contoh, siswa mengerjakan latihan, dan diakhiri dengan pemberian PR.

6. Kelompok eksperimen adalah kelas dengan pembelajaran matematika menggunakan model integratif yang dimulai dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya, pengelompokan untuk penugasan, studi lapangan untuk pengumpulan informasi berupa data, diskusi kelompok dan diskusi kelas, membuat kesimpulan dan pemberian penghargaan.

Langkah-langkah penelitian ini sesuai tahapannya dapat digambarkan

(32)

Gambar 3.1

Langkah-langkah Penelitian

C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian

Populasi dan sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian pada

tahap eksplorasi dan tahap eksperimen.

1. Populasi dan sampel tahap eksplorasi

Populasi guru, kelas, dan siswa pada tahap studi pendahuluan ini adalah

seluruh guru, kelas dan siswa SD di Kota Banjarmasin yang tersebar di 283

SD negeri dan swasta. Sampel guru sebanyak 125 orang guru sebagai

responden pengisian angket yang sedang mengikuti KKG (Kelompok Kerja

Guru) di dua tempat yakni SD Pasar Lama 3 Banjarmasin dan SD Antasan

Besar 1 Banjarmasin. Sampel kelas matematika untuk observasi awal

melibatkan 4 kelas dari sekolah yang berbeda seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.2

Daftar Sekolah Kelas Observasi Awal

No Nama Sekolah Kelas Observasi Materi 1 SDN Percontohan

Antasan Besar 7

V Unggulan Penjumlahan Pecahan

(33)

2 SDN Mawar 4 VB KPK

3 SDN Mawar 7 VIB Operasi Hitung

Bilangan Bulat

4 SDN Basirih 3 VIA Penyajian Data

Sedangkan sampel siswa yang terlibat dalam eksplorasi ini adalah siswa kelas

VI SD sebanyak 262 orang sebagai responden pengisian angket kejujuran

awal dari empat sekolah yang dijadikan tempat penelitian pada tahap

eksperimen. Kelas yang di observasi adalah Distribusi sampel kelas dan

sampel siswa pada eksperimen disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.3

Distribusi Sampel Siswa

No SD Banyaknya Kelas Banyaknya Siswa

1 A 1 36

2 B 3 91

3 C 3 80

4 D 2 55

J u m l a h 9 262

2. Populasi dan sampel tahap eksperimen

Populasi kelas, dan siswa pada tahap eksperimen ini adalah seluruh kelas,

dan siswa SD di Kota Banjarmasin yang tersebar di 283 SD negeri dan

swasta. Guru yang dilibatkan pada tahap eksperimen ini sebanyak empat

orang guru. Sedangkan sampel kelas sebanyak sembilan kelas dari empat

sekolah yang berbeda. Sampel siswa yang dilibatkan dalam eksperimen ini

(34)

berlangsung. Distribusinya sampel kelas dan sampel siswa seperti pada tabel

3.3 di atas.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan angket,

dokumentasi, dan observasi langsung.

a. Angket yang dibuat ada 2, yaitu angket siswa untuk memperoleh data

kejujuran awal siswa dan angket guru untuk memperoleh gambaran tentang

pengembangan silabus dan penyusunan RPP, model dan pendekatan

pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar, pengetahuan dan

implementasi kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran.

Dari hasil angket siswa dan guru diperoleh informasi awal adanya masalah

kejujuran awal siswa dan gambaran pembelajaran matematika.

b. Dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran profil sekolah terkait

dengan upaya sekolah dalam membentuk karakter peserta didik melalui

budaya sekolah yang dikembangkan dan pengembangan diri yang

dilaksanakan.

c. Observasi dilakukan sebanyak dua kali. Observasi pertama terhadap

pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini, yang

dimaksudkan untuk memperoleh gambaran faktual proses pembelajaran

matematika yang dilaksanakan oleh guru selama ini sebagai informasi

(35)

terhadap proses internalisasi kejujuran siswa selama eksperimen implementasi

model integratif pembelajaran matematika dilaksanakan.

E. Pengembangan Instrumen

Instrumen yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah

angket untuk guru dan angket untuk siswa serta lembar observasi.

1. Angket pembelajaran guru dimaksudkan untuk memperoleh data yang

menggambarkan tentang model pembelajaran yang digunakan selama ini

dalam pembelajaran matematika dan informasi awal tentang pengintegrasian

pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, serta pengetahuan guru tentang

kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran.

2. Angket kejujuran siswa dimaksudkan untuk memperoleh informasi awal

tentang kejujuran siswa.

Angket kejujuran yang disusun diujicobakan dan dianalisis menggunakan

software SPSS ver.18 untuk mengetahui koefisien reliabilitas hasil ukur skala

psikologi. Hal ini perlu dilakukan karena menurut Azwar (2000a: 83) bahwa

reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil

ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Uyanto (2009:

273-274) menyatakan bahwa dengan analisis reliabilitas akan didapatkan nilai

alpha Cronbach yang merupakan indeks internal consistency dari skala

pengukuran secara keseluruhan. Skala pengukuran yang reliabel sebaiknya

(36)

instrumen berupa angket diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,86. Dengan

demikian angket layak digunakan dalam penelitian.

3. Lembar observasi kejujuran dimaksudkan untuk memperoleh data tentang

kejujuran siswa selama proses internalisasi kejujuran melalui model integratif

pembelajaran matematika.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakana dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Data dari hasil angket yang diisi oleh guru menggunakan statistik deskriptif

tendensi sentral modus yang disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.

2. Data hasil observasi pembelajaran matematika dideskripsikan secara naratif.

3. Data tentang nilai kejujuran awal siswa dan kejujuran selama observasi pada

uji coba terdiri 10 item dengan pilihan ya atau tidak. Jika pernyataannya

negatif, maka pilihan ya diberi skor 0 dan pilihan tidak diberi skor 1. Jika

pernyataannya positif, maka pilihan ya diberi skor 1 dan pilihan tidak diberi

skor 0. Dengan demikian skor minimum adalah 0 dan skor maksimum adalah

10, dan kemudian dikonversi ke dalam nilai skala 100. Jadi nilai kejujuran

yang diperoleh adalah (skor perolehan : skor maksimum) x 100. Indeks

kejujuran (perbandingan banyak siswa jujur dengan banyaknya responden),

sehingga diperoleh indeks terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 1. Dengan

demikian indeks kejujuran berada dalam interval dari 0 sampai dengan 1.

(37)

indeks kesukaran dalam teori evaluasi dapat dibuat kategori kejujuran sebagai

berikut:

Tabel 3.4

Kategori Indeks Kejujuran

Interval Skor Indeks Kualifikasi

< 0,30 Kurang Jujur (KJ) 0,30 – 0,70 Cukup Jujur (CJ)

>0,70 Jujur (J)

Adaptasi klasifikasi pengembangan pendidikan budaya dan karakter dapat

dibuat perkembangan kejujuran seperti pada tabel berikut.

Tabel 3.5

Klasifikasi Perkembangan Kejujuran

Nilai Perkembangan Kualifikasi

0 - 20 Belum Tampak (BT) 21 - 40 Mulai Tampak (MT) 41 - 60 Mulai Berkembang (MB) 61 – 80 Sudah Berkembang (SB) 81 – 100 Menjadi Kebiasaan (MK) (Adaptasi dari Kemendiknas, 2010: 23)

4. Data nilai kejujuran (awal dan akhir) pada kelas uji coba pertama dianalisis

menggunakan T-Test tipe Paired Samples Test , sedangkan data nilai

(38)

implementasi model menggunakan T-Tes tipe Independent Samples Test.

Semua data diolah dengan fasilitas software SPSS versi.18.

Langkah-langkah uji-t adalah uji normalitas, uji homogenitas, dan uji-t

dengan kriteria penolakan hipotesis nol adalah jika p-value ≤ 0,05.

Menurut Furqon (2001: 168-169) bahwa uji-t dapat digunakan dengan

memadai walaupun distribusi data setiap kelompok yang dibandingkan tidak

normal, bukan berarti kita langsung menggunakan uji-t. Uji-t dapat

dipertahankan jika penyimpangan data dari distribusi normal tidak terlalu

ekstrim. Dampak pelanggaran terhadap asumsi homogenitas adalah peluang

kekeliruan tipe I dan tipe II bergantung pada banyaknya data kedua

kelompok. Jika jumlah subjek pada kedua kelompok sama besar, maka

dampak pelanggaran atas asumsi homogenitas varians terhadap uji-t dapat

diabaikan.

Teknik analisis data kejujuran berdasarkan SES (Social Economic Status)

menggunakan uji regresi dengan kriteria penolakan hipotesis nol adalah jika

(39)
(40)

LANGKAH-LANGKAH MODEL INTEGRATIF

Matematika

• Fakta (apa, siapa, kapan, berapa, di mana sesuai kenyataan)

• Konsep (defenisi, identifikasi, klasifikasi, ciri-ciri)

• Prinsip (dalil, hukum, rumus)

• Prosedur (langkah pekerjaan secara urut)

• Nilai (sikap dan perilaku)

Pendekatan

• Problem Solving

• Kontekstual

• Realistik

• Berbasis Pendidikan Nilai

Karakter Jujur

• Berpikir (moral knowing)

• Bersikap(moral feeling)

• Berperilaku (moral action)

Konfirmasi

Presentasi Diskusi Kelas

Elaborasi

Diskusi Kelompok Diskusi Kelompok

Eksplorasi

(41)

Masalah

Pengelompokan

Studi Lapangan

Diskusi Kelompok

Diskusi Kelas

Membuat Kesimpulan

(42)

DESKRIPSI LANGKAH-LANGKAH MODEL INTEGRATIF

1. Masalah: diawali dengan mengemukakan dan menjelaskan masalah (masalah

matematika yang memuat nilai sesuai konteks dan realitas kehidupan siswa

yang relevan dengan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur bahan ajar).

Contoh masalah: Guru mengemukakan masalah dengan bercerita tentang

korban peristiwa kebakaran dekat sekolah mereka yang banyak menimbulkan

kerugian materi berupa rumah, pakaian, perlengkapan sekolah, dan lain-lain.

Sebagai wujud kepedulian kita terhadap warga lingkungan sekolah yang

menjadi korban kebakaran, apa yang bisa kita perbuat dalam rangka

meringankan beban korban kebakaran tersebut? Bagaimana kalau kita

mengumpulkan bantuan berupa uang sesuai dengan kemampuan dan

keihlasan masing-masing. Karena sekolah kita memiliki 12 kelas, maka kita

bentuk kelompok sebanyak 12 kelompok yang terdiri dari 2 atau 3 orang.

Setiap kelompok setelah selesai mengumpulkan bantuan harus melaporkan

banyaknya bantuan yang diberikan masing-masing kelas.

2. Pengelompokan: membentuk kelompok dengan anggota masing-masing 3

4 siswa (heterogen kemampuan dan gender).

(43)

3. Studi Lapangan: masing-masing siswa mengumpulkan data (sesuai petunjuk

LOS), menyajikan data, membaca data, dan mengolah data (sesuai petunjuk

LKS).

4. Diskusi Kelompok: masing-masing kelompok melakukan diskusi (sesuai

petunjuk LKK).

5. Diskusi kelas: diskusi kelas melalui presentasi masing-masing kelompok

dalam bentuk display LKK dan penjelasan.

6. Membuat kesimpulan: siswa membuat kesimpulan dengan arahan dan

bantuan guru sesuai dengan tujuan yang termuat dalam RPP.

7. Tes: tes dilakasanakan dalam rangka mengetahui ketercapain tujuan.

8. Pemberian penghargaan: pemberian penghargaan didasarkan pada

pengamatan guru terhadap aktivitas fisik dan mental siswa secara kelompok

dari studi lapangan hingga membuat kesimpulan melalui lembar pengamatan

sesuai kategori penghargaan: (1) kerja sama terbaik, (2) penyajian terbaik, (3)

penyelesaian masalah terbaik, (4) perilaku terbaik. Pemberian penghargaan ini

dimaksudkan untuk lebih memotivasi siswa dalam belajar berikutnya.

Langkah-langkah pembelajaran matematika berbasis nilai:

Kegiatan Pendahuluan (5 menit)

1. Guru menyampaikan SK, KD, Indikator, dan Tujuan pembelajaran (kognitif,

(44)

2. Menyampaikan apersepsi sesuai prasyarat materi yang akan dipelajari.

Kegiatan Inti (60 menit)

1. Guru mengemukakan dan menjelaskan masalah matematika berbasis nilai

sesuai konteks dan realitas kehidupan siswa yang relevan dengan bahan ajar.

(5 menit)

2. Guru membentuk kelompok belajar terdiri dari 3- 4 siswa yang anggotanya

heterogen berdasarkan kemampuan dan jenis kelamin, dilanjutkan pembagian

LOS (Lembar Observasi Siswa) dan LKS (Lembar Kerja Siswa) untuk setiap

siswa, serta LKK (Lembar Kerja Kelompok) untuk setiap kelompok. (5

menit)

3. Siswa dalam kelompok masing-masing memahami petunjuk dan perintah

yang ada pada LOS, LKS, dan LKK, serta menanyakan hal-hal yang kurang

jelas kepada anggota kelompoknya atau guru. (5 menit)

4. Secara individual siswa mengumpulkan, menyajikan, membaca dan mengolah

data sesuai tema dan petunjuk pada LOS dan LKS tentang fakta, konsep,

prinsip dan prosedur yang bernilai jujur (tahap eksplorasi). 15 menit

5. Siswa berdiskusi dalam kelompok masing-masing yang dimulai dari

klarifikasi data yang diperoleh masing-masing anggota kelompok dan

dilanjutkan pengisian LKK (tahap elaborasi). 10 menit

6. Masing-masing kelompok menampilkan dan menyampaikan hasilnya pada

(45)

keterkaitan nilai jujur pada fakta, konsep, prinsip dan prosedur matematika

(tahap konfirmasi). 20 menit

Kegiatan Penutup (5 menit)

Siswa membuat kesimpulan dengan bimbingan guru dan diakhiri dengan

pemberian penghargaan kepada kelompok berupa bintang kelas (dan bingkisan

sederhana jika memungkinkan) dengan empat kategori: (1) kerja sama terbaik, (2)

penyajian terbaik, (3) penyelesaian masalah terbaik, (4) perilaku terbaikan

LANDASAN TEORI LANGKAH-LANGKAH DAN TUJUAN MODEL INTEGRATIF

No Langkah-langkah Landasan Teori Tujuan

1 Masalah Polya, Ausubel Melatih dalam

menyelesaikan masalah matematika kontekstual realitas kehidupan

2 Pengelompokan Slavin Melatih kerjasama untuk

saling membantu, memberi dan menerima

3 Studi lapangan Bruner, Gagne, Menumbuhkan rasa ingin tahu, kejujuran melalui pengumpulan berbagai informasi berupa fakta dalam bentuk data

4 Diskusi kelompok Slavin Menumbuhkan keberanian

berargumentasi dengan penalaran yang mudah dipahami orang lain

(46)

tanggungjawab keberanian berargumentasi dengan penalaran yang mudah dipahami orang lain dan 6 Kesimpulan Ausubel, Polya

7 Penghargaan Slavin Menumbuhkan motivasi

belajar dan memiliki daya saing (kompetetif)

LEMBAR PENILAIAN 4: AKTIVITAS SISWA

Tujuan: Agar pembelajaran berpusat pada siswa berhasil, antara lain siswa harus aktif dan saling membantu satu sama lain. Pengamatan ini akan memusat pada bagaimana perilaku siswa pada saat berada di dalam kelas atau di dalam kelompok mereka.

Petunjuk: Amati suatu kelas mulai dari pendahuluan sampai dengan penutup. Untuk aktivitas 1 sd 5 amati salah satu kelompok tertentu. Untuk aktivitas 6 sd 8 amati seluruh kelas. Setiap 2 menit, bubuhkan tanda toil pada perilaku berikut ini yang teramati. Sebagai pengamat, Anda seyogyanya mengambil tempat di dekat satu kelompok yang Anda amati.

--- 1. Membaca (mencari informasi dan sebagainya)

--- 2. Mendiskusikan tugas

--- 3. Mencatat

--- 4. Mendengarkan ceramah/penjelasan guru

--- 5. Melakukan pengamatan, percobaan, atau bekerja

--- 6. Bertanya kepada guru

(47)

--- 8. Perilaku tidak relevan

---

Pengamat

( )

Diadaptasi oleh Mohamad Nur. 2005. PSMS Unesa.

(48)

217 BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan Umum

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan

pada bab IV, maka dirumuskan kesimpulan secara umum sesuai dengan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Keadaan kejujuran siswa sebagai akibat dari pembelajaran konvensional

selama ini adalah:

a. Berdasarkan indeks kejujuran, setiap sekolah memiliki siswa yang kurang

jujur, cukup jujur, dan jujur secara variatif, dan sebagaian besar siswa

belum jujur.

b. Masih banyak siswa yang belum jujur, terutama terhadap teman

dilanjutkan secara berurutan terhadap saudara di rumah, orang tua, situasi

dilematis, dan guru.

c. Masih sedikit siswa menjadikan kejujuran sebagai suatu kebiasaan, dan

sebagian besar masih dalam tahap berkembang, walaupun masih ada yang

belum tampak.

d. Dari penilaian siswa guru menempati posisi tertinggi sebagai orang yang

dipercaya.

e. Perkembangan kejujuran siswa cukup variatif untuk masing-masing

(49)

baru mencapai 15% dan sudah berkembang 34%, sisanya baru mulai

berkembang, mulai tampak dan bahkan belum tampak.

2. Model pembelajaran matematika yang digunakan guru selama ini cenderung

model pembelajaran langsung yang berpusat pada guru dan belum

mengintegrasikan nilai ke dalam pembelajaran, serta lebih berorientasi pada

penguasaan aspek kognitif dengan langkah jelaskan konsep dan rumus, beri

contoh, latihan, dan diakhiri dengan pemberian PR.

3. Proses model integratif pembelajaran matematika adalah pengungkapan dan

penekanan nilai kejujuran pada setiap momen pembelajaran yang dimulai

dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya,

pengelompokan untuk penugasan yang memuat nilai, studi lapangan untuk

pengumpulan informasi berupa data atau fakta yang terkait dengan nilai,

diskusi kelompok dan diskusi kelas yang sarat dengan nilai, kesimpulan dan

penghargaan sebagai apresiasi terhadap nilai.

4. Ada perbedaan yang signifikan nilai kejujuran siswa antara siswa yang

belajar matematika menggunakan model integratif dengan siswa yang belajar

matematika secara konvensional. Dengan kata lain bahwa model integratif

pembelajaran matematika berbasis nilai terbukti efektif dalam

menginternalisasi kejujuran siswa SD.

5. Regresi berganda variabel kejujuran dengan variabel SES (anak ke,

banyaknya saudara kandung, banyaknya anggota keluarga, etnis, pendidikan

(50)

pekerjaan ibu, penghasilan ibu) secara statistik tidak signifikan. Artinya

variasi kejujuran sebagai dependent variable tidak dapat dijelaskan oleh

perubahan dalam variabel SES sebagai independent variable. Dengan kata

lain bahwa kejujuran siswa tidak dipengaruhi langsung oleh status social

ekonominya.

B. Kesimpulan Khusus

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan

pada bab IV, maka dirumuskan kesimpulan khusus sesuai dengan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Situasi dilematis bisa menyebabkan siswa tidak jujur karena ada kepentingan

dan kesempatan.

2. Guru lebih dipercaya oleh siswa dibandingkan teman, saudara maupun orang

tua.

3. Matematika adalah kebenaran dan kejujuran yang dapat membentuk akhlak

mulia manusia.

4. Pengungkapan dan penekanan nilai pada saat pembelajaran adalah kunci

keberhasilan model integratif.

5. Status sosial ekonomi siswa tidak berpengaruh langsung terhadap kejujuran

siswa.

(51)

Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, dapat direkomendasikan

beberapa hal berikut:

1. Peran guru sangat diperlukan dan menjadi ujung tombak pembentukan

karakater, karena guru adalah orang yang lebih dipercaya oleh siswa.

2. Pelajaran matematika dapat dijadikan sebagai sarana atau kendaraan dalam

melakukan internalisasi kejujuran dan nilai-nilai moral lainnya.

3. Berpikir positif terhadap matematika, karena pada hakikatnya adalah

kejujuran yang menggerakkan setiap denyut nadi kehidupan sebagai

pembentuk karakter manusia yang manusiawi.

4. Para pengambil kebijakan, baik dinas pendidikan, kepala sekolah, dan guru

dapat mengambil perannya masing-masing dalam sosialisasi dan

implementasi internalisasi melalui model integratif pembelajaran matematika.

5. Model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai dapat dijadikan

sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dalam menginternalisasi

nilai-nilai sosial dan budaya di sekolah.

6. Model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai masih perlu

dikembangkan dan diimplementasikan tidak hanya di sekolah dasar.

7. Model integratif dapat dijadikan salah satu alternatif model pendidikan

karakter melalui mata pelajaran.

8. Implementasi model integratif pembelajaran matematika memerlukan daya

(52)

siswa berbasis masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya

atau nilai-nilai kehidupan.

9. Perlu penelitian lanjutan untuk penyempurnaan model integratif pembelajaran

(53)

221

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. (2006). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Rosda Karya.

Agustian AG. (2009). Bangkit dengan 7 Budi utama. Jakarta: PT Arga Publishing.

Al-Hasyimi, A.M. (2006). Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: International Islamic Publishing House (IIPH).

Alisah,E. & Dharmawan, P.E. (2007). Filsafat Dunia Matematika. Pengantar untuk

Memahami Konsep-konsep Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka. Al-Qur’an Digital

Alwasilah, A.C. (2012). Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat & SPs UPI.

Amril, M. (2005). Etika dan Pendidikan.Yogyakarta: Aditya Media, dan Pekanbaru: LSFK2P.

Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (Ed). (2010). Kerangka Landasan untuk

Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Penerjemah Agung Prihantoro.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

---. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of

Bloom’s Taxonomy of Educational Objective. New York: Addison Wesly Longman, Inc.

Arend R.I. (2008). Learning to Teach (Belajar untuk Mengajar). Penerjemah Helly Prajitno S. & Sri Mulyantini S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arcaro J.S. (2006). Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsi-prinsip Perumusan dan Tata

Langkah Penerapan. Penerjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Aunillah, N.I. (2011). Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana.

Azwar, S. (2000a). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

--- (2000b). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(54)

222

BSNP. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2007 pembelajaran by-chance. Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: BSNP.

Borba, M. (2001). Building Moral Intelligence (The Seven Essensial Virtues That Teach

Kids to Do the Right Thing. Alih bahasa Lina Jusuf. (2008).Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Budimansyah, D. (2011). Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter. Bandung: Program Studi Pendidikan Umum/Nilai SPs UPI.

Burhanuddin. (2010). Internalisasi Nilai-nilai Ibadah Saum di Pondok Pesantren (Studi

Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta).

Disertasi: UPI Bandung.

Case, K.A.N. Reagan, T.G. & Case, C.W. (2009). Guru Profesional: Penyiapan dan

Pembimbingan Praktisi Pemikir. Jakarta: Indeks.

Creswell, J.W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahar, R.W. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

---. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.41

Tahun 2007tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-proses.php.

---. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Jakarta Press.

Djahiri, Kosasih. (1996). Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai

Moral. Bandung:LPPMP.

Eggen P. & Kauchak D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Penerjemah Satrio Wahono. Jakarta: Indeks

Elias, J.J. (1989). Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.

Elmubarok, Z. (2007). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

(55)

223

Fadillah. (2010). Pengembangan Model Pembinaan Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan

Matematika Sebagai Upaya Meningkatkan Kecerdasan Moral Peserta Didik.

Disertasi. UPI Bandung

Gagne, R.M. (1983). The Conditions of Learning. Tokyo: Holt-Saunders.

Gardner, H. (2003). Multiple Intelligences(Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktek). Alih Bahasa Alexander Sindoro. Batam: Interaksa.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: FreudentalInstitute.

Gredler M.E.B. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan Munandir. Jakarta:

Rajawali.

Gulo. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo

Hadi R. (2012). Pengembangan Model Internalisasi Nilai Kejujuran Melalui

Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Etika Bisnis. Disertasi: UPI Bandung.

Hakam, A.K. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press.

---. (2010). Pengembangan Model Pembudayaan Nilai Moral di Sekolah Dasar

(Studi Kasus pada SDN Bandungrejosari I Kota Malang). Disertasi: UPI

Bandung.

Hayat, B. & Yusuf, S. (2010). Bencmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Hergenhahn B.R. & Olson M.H. (2008). Theories of Learing (Teori Belajar). Alih Bahasa Tri Wibowo. Jakarta: Kencana.

Hollingsworth, P. & Lewis, G. 2008. Pembelajaran Aktif: Meningkatkan Keasyikan

Kegiatan di Kelas. Pengalih Bahasa Dwi Wulandari. Jakarta: Indeks.

Howard, Craig C. (1991). Theories of General Education: A Critical Approach. London: Macmillan.

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud.

---. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.

Gambar

Tabel 3.1 Rancangan Eksperimen
Tabel 3.2   Daftar Sekolah Kelas Observasi Awal
Tabel 3.3 Distribusi Sampel Siswa

Referensi

Dokumen terkait

Proksi untuk tingkat imbalan bebas risiko menggunakan data Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang diperoleh dari laman http://www.bi.go.id. Data historis yang sama tersedia

8 The poten sial risk factors for this study were sociodemo graphic characteristics (gender, age, education, occupation and mode of payment) and charac teristic of

Hasil pengujian signifikansi parameter secara serentak terhadap model akhir dari regresi logistik menunjukkan nilai statistik uji sebesar 16,316 dan p-value

Salah satu permasaalahan yang ada di Gardu Induk Waru adalah gangguan hubung singkat sering terjadi pada jaringan 20 kV yaitu antara fasa (3 fasa atau 2 fasa) atau gangguan

PLN (Persero) gardu induk Gondangrejo. Data diperoleh mengikuti prosedur sesuai yang diarahkan instansi, yaitu dengan mengirim proposal dan surat izin dari kampus

Pemikiran seperti ini keliru dan salah, sebab menurut pandangan Allah bahwa untuk membuat manusia bisa datang dan berjumpa dengan Allah, maka manusia harus melalui

Berkaitan dengan sebidang tanah/lahan yang digunakan untuk suatu kegiatan, misal: untuk perumahan, perindustrian dan lain- lain, dan bagaimana intensitas kegiatan

organisasi, jika karyawan tidak puas dengan pekerjaan mereka, karyawan cenderung akan meninggalkan organisasi, sebaliknya jika karyawan percaya bahwa mereka diperlakukan