Muhammad Royani, 2013
Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
(STUDI DI SEKOLAH DASAR KOTA BANJARMASIN)
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
Dalam Bidang Pendidikan Umum
OLEH:
MUHAMMAD ROYANI
NIM 0908539
JURUSAN PENDIDIKAN UMUM/NILAI
S E K O L A H P A S C A S A R J A N A
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
B A N D U N G
Muhammad Royani, 2013
Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika
Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif
Pembelajaran Matematika
(Studi di Sekolah Dasar Kota Banjarmasin)
Oleh
Muhammad Royani
Drs. FKIP Unlam Banjarmasin, 1991
M.Pd. Universitas Negeri Malang, 2003
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Pendidikan Umum/Nilai Sekolah Pascasarjana UPI
Bandung
© Muhammad Royani 2013
Universitas Pendidikan Indonesia
Juli 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Disertasi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,
Muhammad Royani, 2013
INTERNALISASI KEJUJURAN MELALUI MODEL INTEGRATIF
PEMBELAJARAN MATEMATIKA (STUDI DI SEKOLAH DASAR KOTA BANJARMASIN)
Disertasi Muhammad Royani dengan Tim Promotor Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd., Bana G. Kartasasmita, Ph.D., Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D.
Belajar matematika dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan kemampuan mengeluarkan pendapat dengan singkat dan tepat, berpikir rasional, dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-unsur kedisiplinan yang terdapat di dalam matematika merupakan sarana untuk menanamkan, mengembangkan dan membina karakter karena bahasa simbol matematika yang universal sarat dengan nilai-nilai sosial universal. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang mendasar dalam matematika. Kejujuran dapat ditanamkan dengan membiasakan menyebutkan sifat, rumus, teorema yang digunakan. Siswa yang belajar matematika dengan sadar atau tidak ia mempraktekkan kebenaran dan kejujuran. Kebenaran dan kejujuran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan bertindak merupakan kebaikan yang diperoleh secara tidak langsung dari belajar matematika. Akan tetapi masih banyak kita temukan perilaku ketidakjujuran siswa seperti berbohong terhadap teman, mengambil milik teman, melihat pekerjaan teman, bertanya atau nyontek pada saat tes dan kecurangan lainnya. Belajar matematika selama ini hanya dari aspek kognitif saja dan belum menyentuh aspek afektifnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: gambaran kejujuran siswa sebagai akibat dari pembelajaran matematika dilaksanakan guru, proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi kejujuran, serta pengaruh model integratif pembelajaran matematika terhadap internalisasi kejujuran siswa.
Metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
Pretest-Postest Design dan Quasi Experimental Design. Teknik pengumpulan data
menggunakan angket, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data pada uji coba pertama dan kedua menggunakan T-Test tipe Paired Samples Test, sedangkan uji coba ketiga menggunakan T-Tes tipe Independent Samples Test. Semua data diolah dengan fasilitas software SPSS ver.18.
Muhammad Royani, 2013
INTERNALIZING HONESTY THROUGH INTEGRATIVE MATHEMATICS TEACHING MODEL (STUDY IN ELEMENTARY SCHOOLS IN THE CITY OF BANJARMASIN)
Disertation. Muhammad Royani. Promoters: Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.; Bana G. Kartasasmita, Ph.D.; Prof. Ace Suryadi, M.Sc., Ph.D.
Learning mathematics can develop concentration, improve the skill to express opinion concisely and precisely, and encourage rational thingking and accurate decision making. The aspects of self-discipline in mathematics accommodate character development, cultivation, and guidance because the universal symbols of mathematics abound with universally social values. Veracity and honesty are the two principles in mathematics. Honesty can be developed by habituating properties, formulations, and theorems used. Students learning mathematics, whether unconsciously or not, are practicing veracity and honesty. Veracity and honesty in thinking, speaking, writing, and acting are direct benefits from learning mathematics. Nevertheless, dishonesty among students still prevails, such as lying to their friends,
taking others’ property, peeking at friends’ work, asking or cheating during test, and
other dishonesty behaviors. Until recently, learning mathematics has been focused on the cognitive, not the affective aspect. Thus, the research aimed to find the
descriptions of students’ honesty as a result of learning mathematics with teachers,
the process of how the model of integrative mathematics teaching learning internalizes honesty, and the impact of the model of integrated mathematics teaching
learning on the internalization of students’ honesty.
The research employed experimental method with pretest-posttest design and quasi experimental design. Data collection techniques employed were questionnaires, observation, and documentation. Data from the first and second tests were analyzed usingPaired Samples t-Test, while the analysis of the third test used Independent Samples t-Test. All data were processed using the software of SPSS version18. The results demonstrate that: (1) There was still a large number of students who were not honest, especially to their friends, siblings, parents, and teachers, and the dilemmatic situations began to surface and develop; (2) The process of integrated mathematics teaching learning model is the expression and emphasis on the value of honesty in each moment of the teaching learning, starting from mathematical problems containing socio-cultural values, grouping for assignment, field study, group and class discussion, conclusion and reward; (3) The integrated mathematics
teaching learning model had an impact on the internalization of students’ honesty,
Muhammad Royani, 2013
Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika
Halaman
B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………….. C. Definisi Operasional ………... D. Karakter Jujur dalam Kajian Pendidikan Umum ……… E. Hasil Kajian yang Relevan dengan Kejujuran dan Model Integratif …………..
BAB III. PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian ………
B. Langkah-langkah Penelitian ………
C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian……….. D. Teknik Pengumpulan
E. Pengembangan Instrumen
F. Teknik Analisis Data………..……
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Tempat Penelitian
B. Deskripsi Kejujuran dari Proses Pembelajaran Konvensional ……….……….. C. Deskripsi Model Integratif
Muhammad Royani, 2013
Internalisasi Kejujuran Melalui Model Integratif Pembelajaran Matematika Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Umum ………..……
B. Kesimpulan Khusus ……….……
C. Rekomendasi………
DAFTAR PUSTAKA ……….
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……….
217 219 219
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kita tidak ingin anak-anak kita berbohong, menyontek dalam ujian, atau
mengambil apa yang bukan menjadi miliknya, tetapi kita ingin agar mereka
berbicara jujur, berlaku adil, sopan, menghormati para orangtua dan guru mereka,
menyelesaikan pekerjaan rumah mereka, dan bersikap baik satu sama lain.
Singkatnya, walaupun kita berada dalam sebuah lingkungan di mana
masyarakatnya memiliki makna nilai yang bertentangan, kepedulian, tanggung
jawab, dan manifestasi kehidupan kitalah yang sebenarnya menjadi dasar dari
kehidupan moral kita. Mengenal pemikiran dasar yang secara umum dapat
diterima oleh seluruh masyarakat adalah langkah awal yang paling utama dalam
memberikan pendidikan tentang nilai di sekolah (Lickona, 1991:74). Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti kejujuran, berani bertindak,
dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Menurut Lickona (1992: 70) ada
tiga kelompok karakter yang baik, yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral
action.
Pada masyarakat sekarang ini, setiap orang dituntut untuk memiliki
tingkat literasi matematika yang memadai (Hayat & Yusuf, 2010: 211).
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi
daya pikir manusia, oleh karena itu untuk menguasai dan mencipta teknologi di
masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Departemen
Pendidikan Nasional, 2006). Hal ini senada dengan pendapat Zhang (2005)
bahwa matematika merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat modern, secara faktual pendidikan matematika merupakan suatu
kekuatan yang mendorong masyarakat untuk maju, oleh karena itu reformasi
pendidikan matematika tidak boleh berhenti. Pemerintah mencoba mereformasi
pendidikan dengan mengubah paradigma proses pendidikan dari paradigma
pengajaran ke paradigma pembelajaran (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan
potensi peserta didik. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap dan bertindak.
Sujono (1988:19-20) menyatakan bahwa dengan belajar matematika maka
karakter atau watak seseorang dapat dibina atau dikembangkan. Ini terjadi karena
belajar matematika dapat mengembangkan daya konsentrasi, meningkatkan
kemampuan mengeluarkan pendapat dengan singkat dan tepat, berpikir rasional,
dan mengambil keputusan secara tepat. Unsur-unsur kedisiplinan yang terdapat di
dalam matematika ternyata merupakan sarana yang baik untuk membina dan
mengembangkan karakter. Kebenaran dan kejujuran dua hal yang mendasar
memeriksa kembali hasil kerjanya. Jika dari hasil pemeriksaan kembali ternyata
hasilnya salah, maka dengan tulus hati dan kejujuran siswa yakin bahwa ia
berbuat salah. Kejujuran juga ditanamkan melalui pelajaran matematika. Dalam
pelajaran ini siswa dibiasakan menyebutkan sifat, rumus, teorema yang
digunakan. Ini berarti bahwa dalam diri siswa ditanamkan kebiasaan untuk
mengetahui dan menghargai bantuan orang lain. Matematika adalah bidang studi
penuh kebenaran dan kepastian. Bila seseorang mencintai maka ia mencintai
kebenaran. Siswa yang mempelajari matematika dengan sadar atau tidak ia
mempraktekkan kebenaran. Kebenaran dalam berpikir, bertutur kata, menulis dan
bertindak merupakan kebaikan yang diperoleh secara tidak langsung dari belajar
matematika. Cinta akan kebenaran dan kejujuran, dua nilai terpuji ini ditanamkan
dalam jiwa siswa melalui pelajaran matematika.
Menurut Soedjadi (2000:66-67) bahwa pembelajaran matematika tidak
hanya mengandung nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga
nilai edukasi yang membantu membentuk pribadi siswa. Memang untuk dapat
mengetahui apakah nilai edukasi pembentuk pribadi siswa telah tercapai tidaklah
mudah, lebih-lebih dalam waktu yang singkat. Untuk itu diperlukan upaya
terencana, kontinu dan pengamatan yang cukup lama. Selama ini nilai-nilai yang
terkandung dalam pembelajaran matematika diharapkan akan tercapai dengan
sendirinya. Melalui pembelajaran matematika diharapkan dengan sendirinya para
siswa akan cermat dalam melakukan pekerjaan, akan kritis dan konsisten dalam
Akan tetapi sekarang kita lebih memerlukan perencanaan pembelajaran
matematika yang secara sengaja memasukkan pembelajaran nilai-nilai tersebut
yang disebut pembelajaran by-design. Dalam pembelajaran ini perlu dilengkapi
dengan tujuan domain afektif maupun psikomotor yang memerlukan instrumen
pengukurnya.
Menurut Mulyana (2004: 179) secara ideal pembelajaran matematika
semestinya mengembangkan kognisi, afeksi dan psikomotor sebagai komponen
esensial. Dalam pemahaman seperti itu, maka pengembangan nilai dan etika
dalam pembelajaran matematika tidak tepat lagi jika hanya diposisikan sebagai
komponen krusial atau kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Nilai, moral
dan etika harus secara eksplisit dijabarkan dan diperkaya dalam setiap topik
pembelajaran. Melalui pembelajaran seperti itu, keseimbangan antara
kepemilikan pengetahuan, kompetensi teknologi, moral individu dan apresiasi
terhadap nilai-nilai sosial dan budaya dapat ditingkatkan. Pembelajaran
matematika perlu juga diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan yang
berdiversifikasi. Beberapa tujuan yang harus dicapai dalam pendidikan
matematika adalah membangkitkan peserta didik agar memiliki dorongan untuk
tahu dan paham, memiliki kemampuan mengumpulkan data, menemukan makna,
berpikir logis, memilih alternatif pilihan beserta akibatnya, memahami manusia
pada posisi manusiawi, dan menghargai perbedaan pendapat.
Pembelajaran matematika yang disertai oleh pengembangan nilai, moral,
yang dicapai dalam pembelajaran konvensional. UNESCO mencatat bahwa
pembelajaran matematika yang dilakukan secara terpadu dengan kebutuhan
pendidikan nilai akan mampu merubah makna belajar dan meningkatkan
kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek, mengembangkan
minat mereka dalam belajar, dan memiliki sikap ilmiah yang jelas. Karena itu,
materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai pada materi-materi
esensial yang terkandung di dalamnya. Materi esensial adalah pokok-pokok
bahasan tentang matematika yang di dalamnya terkandung nilai, moral, dan etika
yang harus dimiliki oleh peserta didik dan dianggap krusial andai kata hal
tersebut tidak disampaikan dalam proses pembelajaran (Mulyana, 2004:179-180).
Dengan demikian perlu pengintegrasian nilai, moral dan etika ke dalam
pembelajaran matematika dengan menggunakan model terintegrasi yang disebut
model integratif. Model integratif adalah model pembelajaran yang
mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai kemanusiaan ke dalam
mata pelajaran.
Pembelajaran matematika seperti telah dikemukakan di atas selain dapat
memperluas wawasan berpikir siswa tentang matematika, namun juga dapat
menanamkan dan mengembangkan kesadaran akan nilai-nilai yang secara
esensial terdapat di dalamnya. Pemahaman tentang substansi materi matematika
tidak ditempatkan sebagai akhir proses pembelajaran. Cara seperti itu sesuai apa
yang dikatakan Brameld (1975) sebagai education of power yang menekankan
mampu berpikir, bersikap, dan bertindak lebih matang. Sebaliknya ketika
pembelajaran matematika lebih mengutamakan substansi materi dengan tidak
terlalu berurusan pada kesadaran nilai, maka proses pembelajaran berpihak pada
knowledge as power.
Kemendiknas (2010:4) mengemukakan bahwa pengembangan pendidikan
budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan
bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui
perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta
pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan
karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan
secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata
pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
Menurut Soedarsono (2009: 23) pada umumnya kita akan sepakat tentang
kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang sedang menghadapi hal serius, yaitu
masalah moral dan sosial yang akar permasalahannya memerlukan solusi yang
sistemik. Diantara kita pasti akan sudah sampai pada kesimpulan bahwa ternyata
ada hubungan yang sangat erat antara kehidupan masyarakat dan pendidikan
karakter individu. Hal yang tak mungkin pernah terjadi ialah memenuhi hasrat
untuk mengembangkan masyarakat yang penuh dengan kepemilikan nilai, tanpa
kita mengembangkan kebajikan dalam hati, pikiran, dan jiwa dalam diri manusia
secara individual. Oleh karena itu pula, pendidikan karakter itu harus kita mulai
yang lebih luas, dan bangsa secara nasional. Masing-masing komponen di atas
harus mengambil inisiatif dan proaktif mengambil bagian dalam membangun
budaya berkarakter. Keluarga, sekolah, dan masyarakat yang berkarakter akan
sangat ditentukan oleh kesungguhan kita untuk berkomitmen pada pendidikan
karakter.
Persepsi bahwa matematika sulit tidak terlepas dari proses pembelajaran
matematika yang disajikan guru di kelas yang kurang menarik, kurang realistik,
kurang kontekstual, sehingga seolah-olah tidak terkait dengan masalah kehidupan
dan bukan realitas. Padahal dalam gerak gerik kehidupan manusia tidak lepas dari
matematika, baik kehidupan pribadi, sosial, berbangsa, bernegara, maupun
beragama. Menurut Sobel & Maletsky (2004: 2) banyak sekali guru yang
menggunakan waktunya untuk membahas tugas yang lalu, memberi pelajaran
baru, dan memberi tugas baru, padahal pendekatan ini dikategorikan 3M, yaitu
membosankan, menghambat, merusak minat siswa. Menurut Turmudi (2009: 8)
bahwa kenyataannya belajar matematika tanpa pemahaman berlangsung cukup
lama, padahal visi matematika sekolah didasarkan kepada belajar matematika
dengan pemahaman.
Pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru harus memperhatikan
karakteristik siswa yang belajar dan karakteristik matematika yang dipelajari.
Pembelajaran matematika selama ini kurang memperhatikan kedua karakteristik
tersebut, dan lebih cenderung pada pola pembelajaran yang sama, baik
tinggi. Pola pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru dikelas cenderung
mengikuti pola yang dimulai dengan penjelasan konsep atau prinsip yang disebut
rumus, dilanjutkan dengan pemberian contoh penggunaan rumus yang bersifat
prosedural/mekanistik, kemudian siswa diberi latihan agar lebih paham, dan
diakhiri dengan pemberian pekerjaan rumah (PR). Secara singkat polanya adalah
jelaskan, contoh, latihan, dan PR
Pada saat ini pola pembelajaran matematika seperti itu masih banyak
dipakai oleh guru, dan masih sedikit guru yang menggunakan hasil
inovasi-inovasi pembelajaran yang terbaru untuk meningkatkan pemahaman siswa.
Orientasi pembelajaran matematika selama ini nampak jelas hanya untuk
menguasai matematika itu dari aspek kognitif, tanpa memperhatikan aspek afektif
dan psikomotrik. Dengan kata lain belajar matematika hanya untuk kepentingan
pengembangan daya pikir siswa tanpa memperhatikan bagaimana bersikap dan
berperilaku sesuai dengan kondisi lingkungan hidup dan perkembangan
peradaban manusia.
Menurut Zamroni (2000:45) usaha meningkatkan kualitas pendidikan di
tingkat manapun juga akan sulit terlaksana, apabila kualitas pendidikan yang
lebih rendah tidak ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas
pendidikan di tingkat dasar merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk
meningkatkan mutu lulusan pendidikan menengah. Guru yang
(2006:49) melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa
berpartisipasi dalam mengelola semua fungsi kelas.
Pembelajaran yang bermutu adalah pembelajaran yang mampu
memfasilitasi peserta didik untuk terlibat secara fisik dan mental dalam proses
belajar untuk memperoleh pengetahuan, dan pada akhirnya dapat membentuk
kepribadian peserta didik yang baik. Akan tetapi menurut Aunillah (2011:47)
bahwa banyak persoalan yang terjadi di negara kita saat ini antara lain disebabkan
oleh semakin menipisnya kejujuran. Padahal dapat dikatakan bahwa kejujuran
termasuk salah satu sendi utama yang bisa menopang tegaknya sendi-sendi
kehidupan. Sebagai contoh, pejabat yang tidak jujur menyebabkan ia korupsi,
pelajar yang tidak jujur menyebabkan ia suka menyontek. Hasil penelitian Hakam
(2010: 287) menunjukkan bahwa bentuk-bentuk sikap dan perbuatan immoral
yang umum terjadi di sekolah seperti nyontek pada saat ulangan, tidak
mengerjakan PR, malak adik kelas, mencuri makanan di kantin, mencuri buku
perpustakaan, berkelahi. Kadang-kadang juga terjadi bias nilai moral oleh warga
sekolah secara spontan dihadapan siswa.
Sekolah telah berupaya dengan berbagai cara untuk bisa melatih atau
proses pembiasaan berperilaku sesuai dengan nilai, moral dan norma-norma yang
berlaku, baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti yang dilakukan
oleh sekolah-sekolah yang ada di kota Banjarmasin, pesan-pesan moral secara
langsung sering disampaikan pada akhir pembelajaran atau momen-momen
materi yang dipelajari atau dampak strategi yang digunakan). Sedangkan pesan
moral secara tidak langsung melalui berbagai media, diantaranya tulisan-tulisan
berbentuk poster seperti kalimat “Biasakan LISA (Lihat Sampah Ambil)” yang di
tempatkan di depan pintu masuk halaman sekolah, kalimat “Jadilah Anak Yang
Jujur” yang ditempatkan di Kantin Kejujuran. Hasil dari upaya yang telah
dilakukan belum maksimal karena hanya berupa himbauan, karena belum
menyentuh tentang dampak apa yang ia ketahui, yang ia rasakan dan apa yang ia
lakukan.
Banyak sekolah di kota Banjarmasin yang membuka kantin kejujuran
(tanpa ada yang menjaga). Namun banyak yang gagal atau bangkrut, ada juga
kantinnya dijaga oleh petugas seperti yang terjadi di SDN Antasan Besar 7
Banjarmasin, SDN Mawar 7 Banjarmasin tidak memiliki kantin kejujuran lagi,
SDN Telaga Biru 1 Banjarmasin dan SD Kristen Kanaan Banjarmasin selalu ada
petugas yang menjaganya. Hal ini mengindikasikan mulai hilangnya kejujuran.
Kebangkrutan kantin kejujuran merupakan salah satu indikator ketidakjujuran
telah terjadi dalam lingkungan sekolah apapun alasannya. Hal ini menunjukkan
adanya warga sekolah yang tidak jujur. Di samping itu, dari hasil wawancara
dengan guru dikatakan bahwa ketidakjujuran kadang terjadi pada saat tes seperti
ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dengan nyontek
pekerjaan teman, dan bahkan pada saat ujian akhir sekolah berstandar nasional
(UASBN) maupun ujian nasional (UN) sering kita dengar terjadi kecurangan oleh
bahwa kejujuran dalam penyelenggaraan sekolah saat ini dapat kita identifikasi
ketika sekolah menghadapi Ujian Nasional (UN). Banyak dugaan bahwa
pelaksanaan UN banyak dimanipulasi oleh penyelenggara sekolah itu sendiri,
bahkan beberapa kepala sekolah dan guru mengakui akan hal itu. Jika anak
mempersepsikan ketidakjujuran dalam UN ini sebagai hal yang biasa, maka telah
terbentuk dalam diri anak karakter toleran terhadap kebohongan, bahkan
menganggap “harus berbohong” . Tentu saja hal ini sangat berbahaya untuk
penguatan karakter anak. Persolaan tersebut menurut Aunillah (2011:18) hampir
terjadi setiap tahun, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Dari
berbagai media, kita sering kali mendengar ada lembaga pendidikan yang sengaja
melakukan kecurangan demi memperoleh nilai yang bagus bagi peserta didiknya.
Mengingat kejujuran merupakan salah satu sikap yang penting dimiliki
oleh semua lapisan masyarakat, maka perlu bagi sekolah-sekolah untuk
menanamkan sikap ini kepada peserta didik agar mereka memahami pentingnya
bersikap jujur sejak dini. Menanamkan kejujuran bagi para peserta didik sejak
dini tentu saja dapat dilakukan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.
Terkait itu, banyak pihak yang berpendapat bahwa sekolah dasar dinilai menjadi
wadah utama dalam pembentukan karakter (Aunillah, 2011:48)
Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, perlu suatu model
pembelajaran matematika berdiversifikasi yang dapat menginternalisasikan
kejujuran kepada peserta didik secara terintegrasi dengan pengetahuan
B. Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
dapat diidentifkasi beberapa masalah yang ada di sekolah dasar kota Banjarmasin
berikut.
1. Dalam setiap kelas selalu ada siswa yang berperilaku kurang terpuji seperti
berbicara dengan berteriak, mengejek teman, membuang sampah
sembarangan, menyalin PR pekerjaan teman, menunggu dan berharap bantuan
teman bahkan nyontek pada saat tes.
2. Guru belum melaksanakan kebijakan pemerintah tentang pengitegrasian
pendidikan karakter melalui mata pelajaran, karena mengalami kesulitan dan
mempertanyakan bagaimana cara mengintegrasikannya ke dalam mata
pelajaran matematika.
3. Pengembangan diri melalui kegiatan ekstra kurikuler yang dilaksanakan
sekolah seperti pramuka, usaha kesehatan sekolah (UKS), kegiatan
keagamaan dan lain-lain dalam rangka mendukung penanaman nilai-nilai
kemanusiaan belum berjalan dengan baik sebagaimana yang diharapkan.
4. Budaya sekolah yang dikembangkan nampaknya hanya sekedar formalitas
ritual yang harus dilakukan seperti berbaris saat mau masuk kelas (nilai
disiplin) namun pada saat belanja di kantin rebutan, berdoa sebelum memulai
pelajaran (nilai religius) namun pada saat makan di kantin tidak berdoa
bahkan makan sambil bercanda, guru mengatakan pada saat tes tidak boleh
berharap bantuan teman bahkan nyontek bila ada kesempatan. Dengan kata
lain budaya sekolah yang dikembangkan belum mampu menanamkan
nilai-nilai kemanusian dengan baik pada siswa.
5. Belum ada kesinambungan komitmen guru dalam integrasi nilai-nilai
kemanusiaan antara budaya sekolah dan pengembangan diri yang
dilaksanakan dengan kegiatan pembelajaran di kelas secara terencana,
walaupun ada sifatnya spontanitas.
6. Kejujuran siswa diragukan bahkan dipertanyakan walaupun pihak sekolah
sudah berupaya menciptakan budaya sekolah dan melakukan sosialisasi
melalui berbagai kesempatan (nasehat-nasehat pada saat upacara) dan media
banner yang dipasang di dalam dan di luar kelas sebagai pengingat.
7. Suasana pembelajaran matematika kurang menyenangkan, pendekatan dan
strategi yang digunakan guru terlalu berorientasi pada substansi matematika
(instructional effect) dan terabaikannya nilai-nilai kemanusian (nurturant effect).
8. Belum adanya model pembelajaran terintegrasi antara pendidikan nilai
dengan mata pelajaran, khususnya mata pelajaran matematika yang dapat
membantu guru dalam mengimplementasikannya dengan langkah-langkah
yang sederhana dan jelas.
Masalah utama dalam penelitian ini adalah: mengapa pembelajaran
matematika di sekolah dasar belum mampu menginternalisasi karakter jujur pada
model integratif dapat menginternalisasikan kejujuran pada peserta didik? Agar
masalah penelitian lebih rinci, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran kejujuran siswa sebagai akibat dari proses
pembelajaran konvensional?
2. Bagaimana proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini?
3. Bagaimana proses model integratif pembelajaran matematika menginternalisasi
kejujuran?
4. Bagaimanakah efektivitas model integratif pembelajaran matematika dalam
menginternalisasi kejujuran?
5. Apakah status sosial ekonomi siswa berpengaruh langsung terhadap kejujuran
siswa?
C. Definisi Operasional
Untuk mempertegas variabel dalam penelitian ini, dikemukakan definisi
operasional penelitian berikut:
1. Internalisasi kejujuran adalah proses mengalirkan atau menanamkan sifat jujur
(lurus, hati tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas) yang didasarkan
pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
berkata dan berperilaku terhadap teman, saudara, orang tua, guru, dan situasi
2. Model Integratif adalah model integrasi matematika ke dalam pendidikan nilai,
yaitu rangkaian langkah-langkah pembelajaran yang memfasilitasi terjadinya
interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar
dengan suasana dan nuansa pembelajaran matematika yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektivitas model integratif pembelajaran matematika dalam
menginternalisasikan kejujuran. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk:
1. Menggambarkan keadaan kejujuran siswa sebagai akibat dari proses
pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini.
2. Mendeskripsikan pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama
ini.
3. Mendeskripsikan proses model integratif pembelajaran matematika
menginternalisasi kejujuran.
4. Mengetahui ada tidaknya perbedaan kejujuran antara siswa yang belajar
matematika menggunakan model integratif dengan siswa yang belajar
matematika secara konvensional.
5. Menguji pengaruh status sosial ekonomi terhadap kejujuran siswa.
Fitrah manusia menurut perspektif agama adalah cenderung kepada
kebaikan, namun masih mengakui adanya pengaruh lingkungan yang dapat
mengganggu proses tumbuhnya fitrah. Hal ini memberikan pembenaran perlunya
faktor nurture atau lingkungan budaya, pendidikan, dan nilai-nilai yang perlu
disosialisasikan kepada anak-anak. Oleh karena itu Tuhan menurunkan para
Nabi/Rasul atau orang-orang bijak untuk mendidik dan mengingatkan kembali
akan perlunya menjalankan prinsip-prinsip kebajikan agar manusia dapat
memelihara fitrahnya (Megawangi, 2004:26). Kebajikan terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat kepada orang lain. Baik buruknya perbuatan tergantung pada niat (Shubhi,
2001: 266). Dengan demikian guru sebagai orang yang dipercaya dalam
menanamkan kebajikan memegang peranan yang sangat penting dalam
pembentukan akhlak mulia peserta didik. Mengingatkan dan menempatkan niat
yang benar dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku melalui berbagai
kesempatan termasuk pada saat pembelajaran berlangsung dengan materi apapun.
Nilai-nilai dasar budaya (akal-pikiran) dan kebudayaan (Perilaku, nilai, norma)
diletakkan melalui proses sosialisasi, enkulturasi, dan internalisasi
(Koentjaraningrat, 1990:227).
Internalisasi atau penanaman nilai kejujuran melalui dua jalur, jalur di luar
sekolah dan jalur sekolah. Pada jalur di luar sekolah melalui keluarga dan
masyarakat. Sedangkan jalur sekolah sesuai dengan kebijakan pemerintah bisa
melalui kegiatan ekstra kurekuler dan budaya sekolah yang dikembangkan oleh
semua warga sekolah. Dengan demikian guru memiliki tugas untuk
mengintegrasikan kejujuran melalui mata pelajaran dan salah satunya adalah
matematika. Tujuan pembelajaran matematika tidak hanya pada aspek kognitif
saja (cerdas matematika), tetapi juga aspek afektif (memiliki nilai-nilai sosial
budaya). Akan tetapi guru mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan
pendidikan nilai pada umumnya dan khususnya kejujuran melalui pembelajaran
matematika. Pertanyaan yang sering muncul dari guru pada berbagai kesempatan
pertemuan peneliti dengan guru adalah “bagaimana caranya”. Karena belum ada
model-model pembelajaran yang secara eksplisit dalam langkah-langkahnya
mengintegrasikan secara langsung, terutama berdasarkan analisis bahan ajar atau
materi dalam perencanaannya memuat nilai-nilai sosial budaya atau nilai-nilai
kemanusiaan, serta pengungkapan dan penekanan nilai-nilai tersebut selama
pembelajaran berlangsung. Walaupun dalam praktiknya ada, akan tetapi masih
bersifat implisit atau hidden, misalnya pada saat guru menggunakan model
kooperatif secara tidak langsung mempraktikkan nilai kepedulian, demokrasi,
kerjasama. Namun nilai-nilai tersebut jarang diungkapkan dan kurang mendapat
penekanan dari guru matematika, karena guru lebih fokus pada matematikanya.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas dapat dibuat kerangka berpikir
KERANGKA BERPIKIR
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis sebagai sumbangan akademis terhadap konsep dan
pengembangan pendidikan nilai di sekolah pada umumnya dan pendidikan
matematika pada khususnya dalam rangka membangun manusia Indonesia
yang berakhlak mulia dan cerdas.
2. Secara praktis turut serta membantu guru dalam menyelesaikan masalah
dapat dijadikan sebagai salah satu model integrasi pendidikan karakter melalui
mata pelajaran.
3. Sebagai bahan masukan bagi penulis buku ajar, buku pengayaan, dan lembar
130
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap eksplorasi dan tahap eksperimen. Pada tahap eksplorasi menggunakan
metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Pada tahap eksplorasi dimaksudkan
untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang perilaku kejujuran siswa SD
dan pembelajaran matematika yang dilakukan guru selama ini sebagai dasar
dalam merancang model integratif pembelajaran berdasarkan analisis model
faktual yang diperoleh. Pada tahap eksperimen menggunakan metode eksperimen
dengan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2009: 107) menyatakan bahwa metode
penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi
yang terkendalikan. Sedangkan menurut Creswell (2010: 27-28) strategi
eksperimen ini diterapkan untuk menilai perilaku-perilaku, baik sebelum maupun
sesudah proses eksperimen dan data dikumpulkan menggunakan insrumen khusus
yang dirancang untuk menilai perilaku-perilaku, kemudian data dianalisis
menggunakan prosedur statistik dan pengujian hipotesis.
Eksperimen ini menggunakan dua model eksperimen, yaitu pada uji coba
pertama implementasi model integratif menggunakan Pretest-Postest Design
Sedangkan uji coba kedua implementasi model integratif menggunakan Quasi
Experimental Design (menggunakan kelas kontrol) yang dilaksanakan di tiga
sekolah berbeda, dan masing-masing dua kelas. Eksperimen yang dilakukan
dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menguji efektivitas atau pengaruh
penggunaan model integratif pembelajaran matematika dalam menginternalisasi
kejujuran siswa SD.
B. Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua tahap, yaitu tahap eksplorasi dan tahap eksperimen. Tahap eksplorasi
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum tentang pembelajaran
matematika yang dilaksanakan selama ini, profil sekolah terkait pendidikan
karakter/pendidikan nilai, dan kondisi awal kejujuran siswa. Sedangkan tahap
eksperimen dimaksudkan untuk menguji hasil internalisasi kejujuran melalui
model integratif pembelajaran matematika.
1. Tahap Eksplorasi
Langkah-langkah penelitian pada tahap studi eksplorasi meliputi:
a. Menyebarkan Angket kepada Guru
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang (1)
pengembangan silabus dan penyusunan RPP, (2) model pembelajaran
yang sering digunakan guru dalam mengajar matematika selama ini, (3)
pendekatan pembelajaran yang digunakan selama ini, (4) pengetahuan
implementasi integrasi pendidikan karakter melalui pembelajaran dan
nilai-nilai yang ditanamkan kepada siswa.
b. Dokumentasi Profil Sekolah
Dokumentasi profil sekolah ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi
terkait dengan upaya sekolah terhadap pembentukan karakter peserta
didik, seperti visi, misi, tujuan, program kerja, budaya sekolah,
pengembangan diri, tata nilai, dan lain-lain.
c. Observasi Kelas Matematika
Observasi kelas matematika ini dimaksudkan untuk memperoleh
gambaran riil dalam pembelajaran matematika sebagai informasi
tambahan dan perbandingan hasil angket guru yang diperoleh
sebelumnya.
d. Menyebarkan Angket Kejujuran kepada Siswa
Angket kejujuran yang disebarkan kepada siswa ini dimaksudkan untuk
memperoleh gambaran kondisi kejujujuran awal siswa sebelum diberikan
perlakuan (treatment) pembelajaran matematika dengan model integratif.
2. Tahap Eksperimen
a. Selama tahap eksperimen implementasi model integratif pembelajaran
matematika ini dilakukan observasi kejujuran siswa, baik kelas
eksperimen maupun kelas kontrol. Langkah-langkah penelitian pada tahap
eksperimen model integratif pembelajaran matematika meliputi dua kali
tanpa kelas kontrol dilaksanakan di tiga sekolah dasar berbeda
masing-masing satu kelas. Uji coba kedua menggunakan kelas kontrol
dilaksanakan di tiga sekolah dasar berbeda dan masing-masing dua kelas.
Kelas yang dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada
masing-masing sekolah dengan klasifikasi SD Negeri Percontohan, SD
Negeri RSBI, SD Negeri Biasa, dan SD Swasta ditetapkan seperti pada tabel
rancangan eksperimen berikut.
Tabel 3.1 Rancangan Eksperimen
SD Kelas Banyak Siswa Kelompok Uji Coba
A VI U 36 Eksperimen Pertama tanpa control
B VI A 30 Eksperimen Kedua
VI B 31 Kontrol Kedua
VI C 30 Eksperimen Pertama tanpa control
C VI A 27 Eksperimen Pertama tanpa control
VI B 26 Eksperimen Kedua
VIC 27 Kontrol Kedua
D VI A 28 Eksperimen Kedua
VI B 27 Kontrol Kedua
Keterangan:
1. SD A: Sekolah Dasar Negeri Percontohan Antasan Besar 7 Banjarmasin. 2. SD B: Sekolah Dasar Negeri RSBI Telaga Biru 1 Banjarmasin.
3. SD C: Sekolah Dasar Swasta Kristen Kanaan Banjarmasin. 4. SD D: Sekolah Dasar Negeri Mawar 7 Banjarmasin.
konsep atau rumus, memberikan contoh, siswa mengerjakan latihan, dan diakhiri dengan pemberian PR.
6. Kelompok eksperimen adalah kelas dengan pembelajaran matematika menggunakan model integratif yang dimulai dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya, pengelompokan untuk penugasan, studi lapangan untuk pengumpulan informasi berupa data, diskusi kelompok dan diskusi kelas, membuat kesimpulan dan pemberian penghargaan.
Langkah-langkah penelitian ini sesuai tahapannya dapat digambarkan
Gambar 3.1
Langkah-langkah Penelitian
C. Populasi dan Sampel/Subjek Penelitian
Populasi dan sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian pada
tahap eksplorasi dan tahap eksperimen.
1. Populasi dan sampel tahap eksplorasi
Populasi guru, kelas, dan siswa pada tahap studi pendahuluan ini adalah
seluruh guru, kelas dan siswa SD di Kota Banjarmasin yang tersebar di 283
SD negeri dan swasta. Sampel guru sebanyak 125 orang guru sebagai
responden pengisian angket yang sedang mengikuti KKG (Kelompok Kerja
Guru) di dua tempat yakni SD Pasar Lama 3 Banjarmasin dan SD Antasan
Besar 1 Banjarmasin. Sampel kelas matematika untuk observasi awal
melibatkan 4 kelas dari sekolah yang berbeda seperti pada tabel berikut.
Tabel 3.2
Daftar Sekolah Kelas Observasi Awal
No Nama Sekolah Kelas Observasi Materi 1 SDN Percontohan
Antasan Besar 7
V Unggulan Penjumlahan Pecahan
2 SDN Mawar 4 VB KPK
3 SDN Mawar 7 VIB Operasi Hitung
Bilangan Bulat
4 SDN Basirih 3 VIA Penyajian Data
Sedangkan sampel siswa yang terlibat dalam eksplorasi ini adalah siswa kelas
VI SD sebanyak 262 orang sebagai responden pengisian angket kejujuran
awal dari empat sekolah yang dijadikan tempat penelitian pada tahap
eksperimen. Kelas yang di observasi adalah Distribusi sampel kelas dan
sampel siswa pada eksperimen disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.3
Distribusi Sampel Siswa
No SD Banyaknya Kelas Banyaknya Siswa
1 A 1 36
2 B 3 91
3 C 3 80
4 D 2 55
J u m l a h 9 262
2. Populasi dan sampel tahap eksperimen
Populasi kelas, dan siswa pada tahap eksperimen ini adalah seluruh kelas,
dan siswa SD di Kota Banjarmasin yang tersebar di 283 SD negeri dan
swasta. Guru yang dilibatkan pada tahap eksperimen ini sebanyak empat
orang guru. Sedangkan sampel kelas sebanyak sembilan kelas dari empat
sekolah yang berbeda. Sampel siswa yang dilibatkan dalam eksperimen ini
berlangsung. Distribusinya sampel kelas dan sampel siswa seperti pada tabel
3.3 di atas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan angket,
dokumentasi, dan observasi langsung.
a. Angket yang dibuat ada 2, yaitu angket siswa untuk memperoleh data
kejujuran awal siswa dan angket guru untuk memperoleh gambaran tentang
pengembangan silabus dan penyusunan RPP, model dan pendekatan
pembelajaran yang sering digunakan guru dalam mengajar, pengetahuan dan
implementasi kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran.
Dari hasil angket siswa dan guru diperoleh informasi awal adanya masalah
kejujuran awal siswa dan gambaran pembelajaran matematika.
b. Dokumentasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran profil sekolah terkait
dengan upaya sekolah dalam membentuk karakter peserta didik melalui
budaya sekolah yang dikembangkan dan pengembangan diri yang
dilaksanakan.
c. Observasi dilakukan sebanyak dua kali. Observasi pertama terhadap
pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru selama ini, yang
dimaksudkan untuk memperoleh gambaran faktual proses pembelajaran
matematika yang dilaksanakan oleh guru selama ini sebagai informasi
terhadap proses internalisasi kejujuran siswa selama eksperimen implementasi
model integratif pembelajaran matematika dilaksanakan.
E. Pengembangan Instrumen
Instrumen yang dikembangkan dan digunakan dalam penelitian ini adalah
angket untuk guru dan angket untuk siswa serta lembar observasi.
1. Angket pembelajaran guru dimaksudkan untuk memperoleh data yang
menggambarkan tentang model pembelajaran yang digunakan selama ini
dalam pembelajaran matematika dan informasi awal tentang pengintegrasian
pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, serta pengetahuan guru tentang
kebijakan integrasi pendidikan karakter melalui mata pelajaran.
2. Angket kejujuran siswa dimaksudkan untuk memperoleh informasi awal
tentang kejujuran siswa.
Angket kejujuran yang disusun diujicobakan dan dianalisis menggunakan
software SPSS ver.18 untuk mengetahui koefisien reliabilitas hasil ukur skala
psikologi. Hal ini perlu dilakukan karena menurut Azwar (2000a: 83) bahwa
reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil
ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Uyanto (2009:
273-274) menyatakan bahwa dengan analisis reliabilitas akan didapatkan nilai
alpha Cronbach yang merupakan indeks internal consistency dari skala
pengukuran secara keseluruhan. Skala pengukuran yang reliabel sebaiknya
instrumen berupa angket diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0,86. Dengan
demikian angket layak digunakan dalam penelitian.
3. Lembar observasi kejujuran dimaksudkan untuk memperoleh data tentang
kejujuran siswa selama proses internalisasi kejujuran melalui model integratif
pembelajaran matematika.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakana dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Data dari hasil angket yang diisi oleh guru menggunakan statistik deskriptif
tendensi sentral modus yang disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.
2. Data hasil observasi pembelajaran matematika dideskripsikan secara naratif.
3. Data tentang nilai kejujuran awal siswa dan kejujuran selama observasi pada
uji coba terdiri 10 item dengan pilihan ya atau tidak. Jika pernyataannya
negatif, maka pilihan ya diberi skor 0 dan pilihan tidak diberi skor 1. Jika
pernyataannya positif, maka pilihan ya diberi skor 1 dan pilihan tidak diberi
skor 0. Dengan demikian skor minimum adalah 0 dan skor maksimum adalah
10, dan kemudian dikonversi ke dalam nilai skala 100. Jadi nilai kejujuran
yang diperoleh adalah (skor perolehan : skor maksimum) x 100. Indeks
kejujuran (perbandingan banyak siswa jujur dengan banyaknya responden),
sehingga diperoleh indeks terendah adalah 0 dan tertinggi adalah 1. Dengan
demikian indeks kejujuran berada dalam interval dari 0 sampai dengan 1.
indeks kesukaran dalam teori evaluasi dapat dibuat kategori kejujuran sebagai
berikut:
Tabel 3.4
Kategori Indeks Kejujuran
Interval Skor Indeks Kualifikasi
< 0,30 Kurang Jujur (KJ) 0,30 – 0,70 Cukup Jujur (CJ)
>0,70 Jujur (J)
Adaptasi klasifikasi pengembangan pendidikan budaya dan karakter dapat
dibuat perkembangan kejujuran seperti pada tabel berikut.
Tabel 3.5
Klasifikasi Perkembangan Kejujuran
Nilai Perkembangan Kualifikasi
0 - 20 Belum Tampak (BT) 21 - 40 Mulai Tampak (MT) 41 - 60 Mulai Berkembang (MB) 61 – 80 Sudah Berkembang (SB) 81 – 100 Menjadi Kebiasaan (MK) (Adaptasi dari Kemendiknas, 2010: 23)
4. Data nilai kejujuran (awal dan akhir) pada kelas uji coba pertama dianalisis
menggunakan T-Test tipe Paired Samples Test , sedangkan data nilai
implementasi model menggunakan T-Tes tipe Independent Samples Test.
Semua data diolah dengan fasilitas software SPSS versi.18.
Langkah-langkah uji-t adalah uji normalitas, uji homogenitas, dan uji-t
dengan kriteria penolakan hipotesis nol adalah jika p-value ≤ 0,05.
Menurut Furqon (2001: 168-169) bahwa uji-t dapat digunakan dengan
memadai walaupun distribusi data setiap kelompok yang dibandingkan tidak
normal, bukan berarti kita langsung menggunakan uji-t. Uji-t dapat
dipertahankan jika penyimpangan data dari distribusi normal tidak terlalu
ekstrim. Dampak pelanggaran terhadap asumsi homogenitas adalah peluang
kekeliruan tipe I dan tipe II bergantung pada banyaknya data kedua
kelompok. Jika jumlah subjek pada kedua kelompok sama besar, maka
dampak pelanggaran atas asumsi homogenitas varians terhadap uji-t dapat
diabaikan.
Teknik analisis data kejujuran berdasarkan SES (Social Economic Status)
menggunakan uji regresi dengan kriteria penolakan hipotesis nol adalah jika
LANGKAH-LANGKAH MODEL INTEGRATIF
Matematika
• Fakta (apa, siapa, kapan, berapa, di mana sesuai kenyataan)
• Konsep (defenisi, identifikasi, klasifikasi, ciri-ciri)
• Prinsip (dalil, hukum, rumus)
• Prosedur (langkah pekerjaan secara urut)
• Nilai (sikap dan perilaku)
Pendekatan
• Problem Solving
• Kontekstual
• Realistik
• Berbasis Pendidikan Nilai
Karakter Jujur
• Berpikir (moral knowing)
• Bersikap(moral feeling)
• Berperilaku (moral action)
Konfirmasi
Presentasi Diskusi Kelas
Elaborasi
Diskusi Kelompok Diskusi Kelompok
Eksplorasi
Masalah
Pengelompokan
Studi Lapangan
Diskusi Kelompok
Diskusi Kelas
Membuat Kesimpulan
DESKRIPSI LANGKAH-LANGKAH MODEL INTEGRATIF
1. Masalah: diawali dengan mengemukakan dan menjelaskan masalah (masalah
matematika yang memuat nilai sesuai konteks dan realitas kehidupan siswa
yang relevan dengan fakta, konsep, prinsip, dan prosedur bahan ajar).
Contoh masalah: Guru mengemukakan masalah dengan bercerita tentang
korban peristiwa kebakaran dekat sekolah mereka yang banyak menimbulkan
kerugian materi berupa rumah, pakaian, perlengkapan sekolah, dan lain-lain.
Sebagai wujud kepedulian kita terhadap warga lingkungan sekolah yang
menjadi korban kebakaran, apa yang bisa kita perbuat dalam rangka
meringankan beban korban kebakaran tersebut? Bagaimana kalau kita
mengumpulkan bantuan berupa uang sesuai dengan kemampuan dan
keihlasan masing-masing. Karena sekolah kita memiliki 12 kelas, maka kita
bentuk kelompok sebanyak 12 kelompok yang terdiri dari 2 atau 3 orang.
Setiap kelompok setelah selesai mengumpulkan bantuan harus melaporkan
banyaknya bantuan yang diberikan masing-masing kelas.
2. Pengelompokan: membentuk kelompok dengan anggota masing-masing 3 –
4 siswa (heterogen kemampuan dan gender).
3. Studi Lapangan: masing-masing siswa mengumpulkan data (sesuai petunjuk
LOS), menyajikan data, membaca data, dan mengolah data (sesuai petunjuk
LKS).
4. Diskusi Kelompok: masing-masing kelompok melakukan diskusi (sesuai
petunjuk LKK).
5. Diskusi kelas: diskusi kelas melalui presentasi masing-masing kelompok
dalam bentuk display LKK dan penjelasan.
6. Membuat kesimpulan: siswa membuat kesimpulan dengan arahan dan
bantuan guru sesuai dengan tujuan yang termuat dalam RPP.
7. Tes: tes dilakasanakan dalam rangka mengetahui ketercapain tujuan.
8. Pemberian penghargaan: pemberian penghargaan didasarkan pada
pengamatan guru terhadap aktivitas fisik dan mental siswa secara kelompok
dari studi lapangan hingga membuat kesimpulan melalui lembar pengamatan
sesuai kategori penghargaan: (1) kerja sama terbaik, (2) penyajian terbaik, (3)
penyelesaian masalah terbaik, (4) perilaku terbaik. Pemberian penghargaan ini
dimaksudkan untuk lebih memotivasi siswa dalam belajar berikutnya.
Langkah-langkah pembelajaran matematika berbasis nilai:
Kegiatan Pendahuluan (5 menit)
1. Guru menyampaikan SK, KD, Indikator, dan Tujuan pembelajaran (kognitif,
2. Menyampaikan apersepsi sesuai prasyarat materi yang akan dipelajari.
Kegiatan Inti (60 menit)
1. Guru mengemukakan dan menjelaskan masalah matematika berbasis nilai
sesuai konteks dan realitas kehidupan siswa yang relevan dengan bahan ajar.
(5 menit)
2. Guru membentuk kelompok belajar terdiri dari 3- 4 siswa yang anggotanya
heterogen berdasarkan kemampuan dan jenis kelamin, dilanjutkan pembagian
LOS (Lembar Observasi Siswa) dan LKS (Lembar Kerja Siswa) untuk setiap
siswa, serta LKK (Lembar Kerja Kelompok) untuk setiap kelompok. (5
menit)
3. Siswa dalam kelompok masing-masing memahami petunjuk dan perintah
yang ada pada LOS, LKS, dan LKK, serta menanyakan hal-hal yang kurang
jelas kepada anggota kelompoknya atau guru. (5 menit)
4. Secara individual siswa mengumpulkan, menyajikan, membaca dan mengolah
data sesuai tema dan petunjuk pada LOS dan LKS tentang fakta, konsep,
prinsip dan prosedur yang bernilai jujur (tahap eksplorasi). 15 menit
5. Siswa berdiskusi dalam kelompok masing-masing yang dimulai dari
klarifikasi data yang diperoleh masing-masing anggota kelompok dan
dilanjutkan pengisian LKK (tahap elaborasi). 10 menit
6. Masing-masing kelompok menampilkan dan menyampaikan hasilnya pada
keterkaitan nilai jujur pada fakta, konsep, prinsip dan prosedur matematika
(tahap konfirmasi). 20 menit
Kegiatan Penutup (5 menit)
Siswa membuat kesimpulan dengan bimbingan guru dan diakhiri dengan
pemberian penghargaan kepada kelompok berupa bintang kelas (dan bingkisan
sederhana jika memungkinkan) dengan empat kategori: (1) kerja sama terbaik, (2)
penyajian terbaik, (3) penyelesaian masalah terbaik, (4) perilaku terbaikan
LANDASAN TEORI LANGKAH-LANGKAH DAN TUJUAN MODEL INTEGRATIF
No Langkah-langkah Landasan Teori Tujuan
1 Masalah Polya, Ausubel Melatih dalam
menyelesaikan masalah matematika kontekstual realitas kehidupan
2 Pengelompokan Slavin Melatih kerjasama untuk
saling membantu, memberi dan menerima
3 Studi lapangan Bruner, Gagne, Menumbuhkan rasa ingin tahu, kejujuran melalui pengumpulan berbagai informasi berupa fakta dalam bentuk data
4 Diskusi kelompok Slavin Menumbuhkan keberanian
berargumentasi dengan penalaran yang mudah dipahami orang lain
tanggungjawab keberanian berargumentasi dengan penalaran yang mudah dipahami orang lain dan 6 Kesimpulan Ausubel, Polya
7 Penghargaan Slavin Menumbuhkan motivasi
belajar dan memiliki daya saing (kompetetif)
LEMBAR PENILAIAN 4: AKTIVITAS SISWA
Tujuan: Agar pembelajaran berpusat pada siswa berhasil, antara lain siswa harus aktif dan saling membantu satu sama lain. Pengamatan ini akan memusat pada bagaimana perilaku siswa pada saat berada di dalam kelas atau di dalam kelompok mereka.
Petunjuk: Amati suatu kelas mulai dari pendahuluan sampai dengan penutup. Untuk aktivitas 1 sd 5 amati salah satu kelompok tertentu. Untuk aktivitas 6 sd 8 amati seluruh kelas. Setiap 2 menit, bubuhkan tanda toil pada perilaku berikut ini yang teramati. Sebagai pengamat, Anda seyogyanya mengambil tempat di dekat satu kelompok yang Anda amati.
--- 1. Membaca (mencari informasi dan sebagainya)
--- 2. Mendiskusikan tugas
--- 3. Mencatat
--- 4. Mendengarkan ceramah/penjelasan guru
--- 5. Melakukan pengamatan, percobaan, atau bekerja
--- 6. Bertanya kepada guru
--- 8. Perilaku tidak relevan
---
Pengamat
( )
Diadaptasi oleh Mohamad Nur. 2005. PSMS Unesa.
217 BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Umum
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan
pada bab IV, maka dirumuskan kesimpulan secara umum sesuai dengan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Keadaan kejujuran siswa sebagai akibat dari pembelajaran konvensional
selama ini adalah:
a. Berdasarkan indeks kejujuran, setiap sekolah memiliki siswa yang kurang
jujur, cukup jujur, dan jujur secara variatif, dan sebagaian besar siswa
belum jujur.
b. Masih banyak siswa yang belum jujur, terutama terhadap teman
dilanjutkan secara berurutan terhadap saudara di rumah, orang tua, situasi
dilematis, dan guru.
c. Masih sedikit siswa menjadikan kejujuran sebagai suatu kebiasaan, dan
sebagian besar masih dalam tahap berkembang, walaupun masih ada yang
belum tampak.
d. Dari penilaian siswa guru menempati posisi tertinggi sebagai orang yang
dipercaya.
e. Perkembangan kejujuran siswa cukup variatif untuk masing-masing
baru mencapai 15% dan sudah berkembang 34%, sisanya baru mulai
berkembang, mulai tampak dan bahkan belum tampak.
2. Model pembelajaran matematika yang digunakan guru selama ini cenderung
model pembelajaran langsung yang berpusat pada guru dan belum
mengintegrasikan nilai ke dalam pembelajaran, serta lebih berorientasi pada
penguasaan aspek kognitif dengan langkah jelaskan konsep dan rumus, beri
contoh, latihan, dan diakhiri dengan pemberian PR.
3. Proses model integratif pembelajaran matematika adalah pengungkapan dan
penekanan nilai kejujuran pada setiap momen pembelajaran yang dimulai
dengan masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya,
pengelompokan untuk penugasan yang memuat nilai, studi lapangan untuk
pengumpulan informasi berupa data atau fakta yang terkait dengan nilai,
diskusi kelompok dan diskusi kelas yang sarat dengan nilai, kesimpulan dan
penghargaan sebagai apresiasi terhadap nilai.
4. Ada perbedaan yang signifikan nilai kejujuran siswa antara siswa yang
belajar matematika menggunakan model integratif dengan siswa yang belajar
matematika secara konvensional. Dengan kata lain bahwa model integratif
pembelajaran matematika berbasis nilai terbukti efektif dalam
menginternalisasi kejujuran siswa SD.
5. Regresi berganda variabel kejujuran dengan variabel SES (anak ke,
banyaknya saudara kandung, banyaknya anggota keluarga, etnis, pendidikan
pekerjaan ibu, penghasilan ibu) secara statistik tidak signifikan. Artinya
variasi kejujuran sebagai dependent variable tidak dapat dijelaskan oleh
perubahan dalam variabel SES sebagai independent variable. Dengan kata
lain bahwa kejujuran siswa tidak dipengaruhi langsung oleh status social
ekonominya.
B. Kesimpulan Khusus
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan
pada bab IV, maka dirumuskan kesimpulan khusus sesuai dengan tujuan
penelitian sebagai berikut:
1. Situasi dilematis bisa menyebabkan siswa tidak jujur karena ada kepentingan
dan kesempatan.
2. Guru lebih dipercaya oleh siswa dibandingkan teman, saudara maupun orang
tua.
3. Matematika adalah kebenaran dan kejujuran yang dapat membentuk akhlak
mulia manusia.
4. Pengungkapan dan penekanan nilai pada saat pembelajaran adalah kunci
keberhasilan model integratif.
5. Status sosial ekonomi siswa tidak berpengaruh langsung terhadap kejujuran
siswa.
Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, dapat direkomendasikan
beberapa hal berikut:
1. Peran guru sangat diperlukan dan menjadi ujung tombak pembentukan
karakater, karena guru adalah orang yang lebih dipercaya oleh siswa.
2. Pelajaran matematika dapat dijadikan sebagai sarana atau kendaraan dalam
melakukan internalisasi kejujuran dan nilai-nilai moral lainnya.
3. Berpikir positif terhadap matematika, karena pada hakikatnya adalah
kejujuran yang menggerakkan setiap denyut nadi kehidupan sebagai
pembentuk karakter manusia yang manusiawi.
4. Para pengambil kebijakan, baik dinas pendidikan, kepala sekolah, dan guru
dapat mengambil perannya masing-masing dalam sosialisasi dan
implementasi internalisasi melalui model integratif pembelajaran matematika.
5. Model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif model pembelajaran dalam menginternalisasi
nilai-nilai sosial dan budaya di sekolah.
6. Model integratif pembelajaran matematika berbasis nilai masih perlu
dikembangkan dan diimplementasikan tidak hanya di sekolah dasar.
7. Model integratif dapat dijadikan salah satu alternatif model pendidikan
karakter melalui mata pelajaran.
8. Implementasi model integratif pembelajaran matematika memerlukan daya
siswa berbasis masalah matematika yang memuat nilai-nilai sosial budaya
atau nilai-nilai kehidupan.
9. Perlu penelitian lanjutan untuk penyempurnaan model integratif pembelajaran
221
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. (2006). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Rosda Karya.
Agustian AG. (2009). Bangkit dengan 7 Budi utama. Jakarta: PT Arga Publishing.
Al-Hasyimi, A.M. (2006). Kepribadian Seorang Muslim. Riyadh: International Islamic Publishing House (IIPH).
Alisah,E. & Dharmawan, P.E. (2007). Filsafat Dunia Matematika. Pengantar untuk
Memahami Konsep-konsep Matematika. Jakarta: Prestasi Pustaka. Al-Qur’an Digital
Alwasilah, A.C. (2012). Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: Kiblat & SPs UPI.
Amril, M. (2005). Etika dan Pendidikan.Yogyakarta: Aditya Media, dan Pekanbaru: LSFK2P.
Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R. (Ed). (2010). Kerangka Landasan untuk
Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Penerjemah Agung Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
---. (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of
Bloom’s Taxonomy of Educational Objective. New York: Addison Wesly Longman, Inc.
Arend R.I. (2008). Learning to Teach (Belajar untuk Mengajar). Penerjemah Helly Prajitno S. & Sri Mulyantini S. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arcaro J.S. (2006). Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsi-prinsip Perumusan dan Tata
Langkah Penerapan. Penerjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aunillah, N.I. (2011). Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana.
Azwar, S. (2000a). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--- (2000b). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
222
BSNP. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 pembelajaran by-chance. Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: BSNP.
Borba, M. (2001). Building Moral Intelligence (The Seven Essensial Virtues That Teach
Kids to Do the Right Thing. Alih bahasa Lina Jusuf. (2008).Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Budimansyah, D. (2011). Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter. Bandung: Program Studi Pendidikan Umum/Nilai SPs UPI.
Burhanuddin. (2010). Internalisasi Nilai-nilai Ibadah Saum di Pondok Pesantren (Studi
Kasus Kesalehan Sosial di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta).
Disertasi: UPI Bandung.
Case, K.A.N. Reagan, T.G. & Case, C.W. (2009). Guru Profesional: Penyiapan dan
Pembimbingan Praktisi Pemikir. Jakarta: Indeks.
Creswell, J.W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahar, R.W. (1988). Teori-teori Belajar. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
---. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.41
Tahun 2007tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Tersedia: http://www.bnsp-indonesia.org/ standar-proses.php.
---. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Jakarta Press.
Djahiri, Kosasih. (1996). Menelusuri Dunia Afektif untuk Moral dan Pendidikan Nilai
Moral. Bandung:LPPMP.
Eggen P. & Kauchak D. (2012). Strategi dan Model Pembelajaran. Penerjemah Satrio Wahono. Jakarta: Indeks
Elias, J.J. (1989). Moral Education: Secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc.
Elmubarok, Z. (2007). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.
223
Fadillah. (2010). Pengembangan Model Pembinaan Nilai Kejujuran Melalui Pendidikan
Matematika Sebagai Upaya Meningkatkan Kecerdasan Moral Peserta Didik.
Disertasi. UPI Bandung
Gagne, R.M. (1983). The Conditions of Learning. Tokyo: Holt-Saunders.
Gardner, H. (2003). Multiple Intelligences(Kecerdasan Majemuk: Teori dalam Praktek). Alih Bahasa Alexander Sindoro. Batam: Interaksa.
Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: FreudentalInstitute.
Gredler M.E.B. (1991). Belajar dan Membelajarkan. Terjemahan Munandir. Jakarta:
Rajawali.
Gulo. (2008). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Grasindo
Hadi R. (2012). Pengembangan Model Internalisasi Nilai Kejujuran Melalui
Pembelajaran Kewirausahaan Berbasis Etika Bisnis. Disertasi: UPI Bandung.
Hakam, A.K. (2000). Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press.
---. (2010). Pengembangan Model Pembudayaan Nilai Moral di Sekolah Dasar
(Studi Kasus pada SDN Bandungrejosari I Kota Malang). Disertasi: UPI
Bandung.
Hayat, B. & Yusuf, S. (2010). Bencmark Internasional Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Hergenhahn B.R. & Olson M.H. (2008). Theories of Learing (Teori Belajar). Alih Bahasa Tri Wibowo. Jakarta: Kencana.
Hollingsworth, P. & Lewis, G. 2008. Pembelajaran Aktif: Meningkatkan Keasyikan
Kegiatan di Kelas. Pengalih Bahasa Dwi Wulandari. Jakarta: Indeks.
Howard, Craig C. (1991). Theories of General Education: A Critical Approach. London: Macmillan.
Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: PPLPTK Dirjen Dikti Depdibud.
---. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: UM Press.