• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAATNYA BERBALIK HALUAN DALAM PARADIGMA PENGENDALIAN BANJIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAATNYA BERBALIK HALUAN DALAM PARADIGMA PENGENDALIAN BANJIR"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Ir. Kuntjoro, MT.

Dosen Diploma Teknik Sipil FTSP ITS Email : kuntjoro@ce.its.ac.id

ABSTRAK

Laju perkembangan pemukiman, ketidak–taatan pembangunan kepada tata ruang dan kemiskinan memicu berkembang–luasnya genangan / banjir kota. Kapasitas sungai dan sarana drainase banyak yang tak mampu lagi melayani tingginya run – off yang ada. Pengendalian dampak langsung dan tidak langsung memerlukan biaya yang sangat besar.

Menyadari bahwa Tuhan menurunkan hujan sebagai rahmat alam semesta bisa di mana saja tanpa pilih kasih dan air merupakan sumberdaya yang mengalir (flow resources) tanpa mengenal batas administrasi dan batas pemilikan lahan. Sehingga perlu adanya solusi terintegrasi antara lahan penghasil run – off sampai dengan lahan korban run – off. Yaitu penyadaran hak dan kuwajiban pemilik lahan dalam mengendalikan run – off nya sendiri.

Sebagai usulan untuk mengatasi masalah banjir dan genangan kota adalah dengan menumbuh-kembangkan tata nilai dalam mengatur run – offnya sendiri, maka perlu Peraturan Daerah tentang Hak dan Kuwajiban pemilik lahan dalam mengendalikan run – off nya sendiri. Sebagai tindakan pengendalian run – off di lahannya sendiri diusulkan metode retarding parsial dan injection infiltrate tank.

1. PENDAHULUAN

Setiap manusia sangat mendambakan timpat tinggal yang aman dan nyaman, laju perkembangan pemukiman, ketidak–taatan pembangunan kepada tata ruang dan kemiskinan memicu berkembang–luasnya genangan / banjir kota dari tahun ke tahun. Banjir di Jakarta 2007 dan 2008 melumpuhkan lalu lintas ke bandara Soekarno-Hatta, mengalihkan penerbangan internasional ke bandara Halim Perdana Kusuma, kerusakan ruas–ruas jalan Jakarta. Adakah solusi pintar untuk masalah seperti ini ? atau akan ada pengulangan kejadian yang semakin parah setiap tahun.

Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta dengan luas + 30.000 ha dengan jumlah penduduk lebih dari 4 juta jiwa. Sebagian besar wilayah kota Surabaya terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian 3-6 m, sedang daerah kota sebelah barat merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 25-50 m di atas permukaan laut. Di beberapa tempat di kota

Surabaya, pada musim penghujan terjadi genangan-genangan. Dengan kasus banjir lumpur Lapindo Brantas Porong, Sidoarjo, kans besar untuk membuang lumpur ke Kanal Porong. Kondisi kapasitas Kanal Porong 1.500 m3/detik sudah sangat kritis untuk mengendalikan banjir DAS Brantas sendiri. Hal ini memungkinkan untuk pengalihan aliran ke arah Kali Surabaya. Diperlukan paradigma baru dalam mengendalikan banjir yang berbasis pada kesadaran pengendalian run–off dari lahan masing–masing pemilik lahan.

2. MASALAH

Ketidak sadaran para pemilik lahan bahwa run–off yang dihasilkan oleh pemilik lahan akan mengganggu dan merugikan pemilik lahan yang lain yang lebih rendah. Kerugian akibat run–off ini bisa bersifat langsung dan tidak langsung, seperti diuraikan sebagai berikut :

(2)

2.1. Kerugian langsung misalnya:

• Hilangnya harta benda bahkan nyawa.

Gambar 1 Hilangnya kesempatan kerja, belajar dll

Gambar 2 Transportasi putus

2.2. Kerugian tidak langsung :

• Timbulnya wabah penyakit : DB, muntaber dll

Pemkot Surabaya tahun 2004 telah

mengalokasikan anggaran senilai Rp 6 miliar untuk penanggulangan wabah DB.

Gambar 3

• Rusaknya fasilitas umum : jaringan listrik, telephon, sarana jalan dll

3. TUTUPAN LAHAN DAN RUN–OFF

Perubahan tutupan lahan digambarkan secara umum sebagai perubahan yang dinamik, kondisi tutupan lahan yang dipicu oleh perubahan sosial politik dan ekonomi serta kedewasaan masyarakat, yang mana perubahan tutupan lahan tersebut bisa digambarkan sebagai kondisi hulu dan hilir dari sebuah DAS yang solusinya tak mungkin dipisahkan.

Hulu : penebangan hutan dan tumbuhnya hunian, infiltrasi rendah, run – off tinggi, debit banjir tinggi, probabilitas terjadi longsoran dan erosi semakin besar. Hilir : tanah kosong, sawah dan tegalan berubah menjadi hunian dan penggunaan yang lain, infiltrasi rendah, permitable retarding duration mendekati nol, endapan tinggi; kapasitas sungai, saluran, drainase dan badan air menjadi kecil.

4. SOLUSI PENGENDALIAN BANJIR KONVENSIONAL

• Peningkatan Kapasitas Fasilitas Drainase Peningkatan kapasitas sarana drainase dimaksudkan agar peningkatan debit banjir bisa diimbangi dengan kapasitas drainase sehingga debit banjir bisa disalurkan menuju ke daerah pembuangan dengan lancar. Sarana drainase yang dimaksud bisa berupa : saluran, sungai, pompa banjir dan lain sebaginya.

• .

(3)

Pengurugan Daerah Genangan

Pengurugan daerah genangan merupakan usaha untuk mepertinggi elevasi suatu areal agar tidak terjangkau oleh elevasi banjir sehingga areal tersebut akan terhindar dari banjir.

• Pengalihan aliran.

Pengalihan aliran dimaksudkan untuk melindungi areal tertentu dari ancaman banjir kiriman dari daerah lain dengan jalan mengalihkan aliran melewati daerah lain yang aman.

Pengendalian banjir konvensional di atas merupakan pengendalian banjir akibat run – off yang dihasil – produksikan oleh lahan. Hanya memikirkan akibat tanpa mempertimbangkan sebab.

5. RUN-FF OLEH LAHAN ADALAH TANGGUNG JAWAB PEMILIK LAHAN-NYA SENDIRI

Dengan gambaran meningkatnya run – off yang diakibatkan oleh perubahan tutupan lahan seperti di atas, sangatlah sulit dan memerlukan biaya yang sangat besar untuk mengendalikan banjir dengan memperbesar kapasitas sungai, fasilitas drainase dan badan – badan air, apa lagi di daerah perkotaan dengan topografi yang sangat datar.

Untuk mengendalikan tingginya debit banjir akibat run – off sudah seharusnya masyarakat pemilik lahan ikut bertanggung jawab dalam menekan debit banjir dengan jalan mengatur pembuangan run – off dari lahannya sendiri. Hal ini didasarkan atas sifat alamiah dan perilaku air yang hakiki yaitu :

1. air hujan bisa jatuh di mana saja. 2. air bisa mengalir ke mana saja ke

bagian yang lebih rendah.

Sehingga pengendalian banjir untuk kepentingan bersama, timbul hak dan kuwajiban pemilik lahan sebagai berikut :

• Hak :

1. menerima hujan di lahannya sendiri sesuai dengan kondisi alam.

2. mengelola air hujan yang jatuh di lahannya sendiri.

3. mendapat insentif dari Pemerintah (Pemerintah Daerah) bagi yang melestarikan air hujan, menurut perundangan yang berlaku.

• Kewajiban :

1. mengatur pembuangan air hujan yang jatuh di lahannya sesuai dengan perundangan yang berlaku. 2. melestarikan air hujan yang jatuh di

lahannya sendiri.

3. membayar denda bagi pencemar dan atau pembuang air ke saluran umum tidak sesuai dengan perundangan yang berlaku.

6. TINDAKAN

6.1. Retarding Parsial

Pengendalian run–off di setiap petak pemilikan lahan untuk kondisi lahan yang padat bangunan dan infiltrasi sudah tidak memungkinkan, disarankan oleh Suharjoko dalam risetnya 2005 untuk menggunakan

retarding parsial seperti dijelaskan pada

Gambar 1 berikut.

(4)

6.2. Infiltasi Injeksi

Untuk kondisi lahan dengan tanah dan muka air tanah masih memungkinkan adanya infiltasi disarankan oleh Kuntjoro dalam risetnya tahun 2007, dengan menggunakan injection infiltrate tank seperti yang jelaskan Gambar 2

a dan b berikut ini.

7. KESIMPULAN

• Hujan merupakan rahmat bagi makhluk hidup bisa jatuh di mana saja, dan menjadi hak bagi pemilik lahan di mana hujan itu jatuh. • Pembuangan air hujan dari lahan ke

sarana drainase umum akan menjadi masalah bagi pemilik lahan yang

lain, sehingga perlu adanya peraturan dalam pembuangan air ke sarana drainase umum.

• Air merupakan benda sosial yang mempunyai nilai ekonomi yang tidak bisa digantikan dengan benda lain, ketiadaannya dan keberadaaannya yang berlebihan bisa mendatangkan bencana. Oleh karena itu timbul hak dan kuwajiban setiap pemilik lahan akan pengelolaan dan pelestarian air yang jatuh di lahannya sendiri. • Dengan perubahan sosial, ekonomi

dan politik maka dinamika perubahan tutupan lahan tidak bisa dihindari, masalah banjir dan pengendaliannya akan menjadi masalah yang sangat kompleks. • Secara umum perubahan tutupan

lahan merupakan perubahan terintegrasi saling terkait antara hulu – hilir, instream – offstream dan dari waktu ke waktu yang tak mungkin dipisahkan dalam penyelesaiannya.

• Dengan adanya perubahan sosial, ekonomi dan politik maka pengendalian banjir tidak bisa dilakukan dengan hanya cara konvensional saja yaitu dengan meningkatkan/memperbesar

kapasitas fasilitas drainase, tetapi juga harus dibarengi dengan pengaturan tata nilai di masyarakat yang berupa perundang – undangan / peraturan.

• Perlu perundangan/peraturan untuk mengatur hak dan kuwajiban pemilik lahan dalam mengelola dan melestarikan air serta pembuangan air hujan dari lahannya sendiri, yang spesifik disesuaikan dengan kondisi alamiah setempat namun tetap menunjang herarkhi perundangan yang berlaku.

Gambar 5.a: Pengendalian run off dengan Injection Infiltrate tank

Original water table

Run – off

Se epage line

Beton porous Tu tupan kedap

Recha rge area

Gambar 5.3. pengisian mela lui tank dengan penekanan Su mber : Reka yasa Kuntjoro ‘03

Beton kedap

Head penekanan

Pizometric line

Gambar 5.b: Injection Infiltrate tank

(5)

8. KEPUSTAKAAN

1. Utomo, Imam Gubernur Jawa Timur (2004) Penanggulangan Banjir Kota

Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Gresik

dan Mojokerto Secara Terpadu,

Seminar Nasional Penanganan Banjir, 29 September 2004.

2. Jawa Pos koran harian, Kondisi Banjir Surabaya, 3 Januari 2005

3. Jawa Pos koran harian, Banjir dan Genangan Kota Surabaya, 8 Maret 2005 4. Kuntjoro (2001) Pengaruh Permitable

Retarding Duration Terhadap Debit Banjir Surabaya Timur, Lemlit ITS

5. Media Indonesia Online. Jum'at, 19 Agustus 2005 22:14 WIB

6. Donald, Mott Mac Cambridge (1999),

Surabaya Drainage Master Plan 2018,

Laporan Akhir

7. Siswoko, Ir., Dipl. HE., “Banjir,

Masalah Banjir dan Upaya

Mengatasinya” Dipresentasikan pada

Seminar Internasional EARLY WARNING SYSTEM FOR REDUCING NATURAL DISASTER di ITS 24 Maret 2004.

8. Suharjoko (2004), Perilaku Banjir pada

Kota Padat Bangunan dan manakan

Hidrograf adalah cara efektif

pengendaliannya, Seminar Nasional

Penanganan Banjir, 29 September 2004.

9. Sri Hernowo, Ir., Dipl. HE,

Pengembangan dan pengelolaan

Sumberdaya Air, Pengenalan PJT II

10. Stefanus Lawuyan MPH dr. H. :

Pembasmian DBD : Sekretaris Badan

Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, www.freewebtown.com. 2007

11. Sunaryo. T. M. Ir., M.Eng,

Korporatisasi Sumberdaya Air,

Pengenalan PJT I

12. PP. No. 47. Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

13. UU. No. 11 tahun 1974 tentang Pengairan

14. UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

15. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

16. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang Nasional

17. wikipedia.org//wiki/Mosquito : Mosquitos Life Cycle

Gambar

Gambar 2  Transportasi putus
Gambar 4: Pengendalian run off
Gambar 5.a: Pengendalian run off  dengan Injection Infiltrate tank

Referensi

Dokumen terkait

Data tersebut menunjukkan bahwa mencit 1 dengan perlakuan kontrol negative lebih banyak memberikan efek geliat, hal ini disebabkan karena pada mecit 1 tidak diberikan

Burung merpati dengan ranting zaitun di paruhnya mengungkapkan tentang janji keselamatan dan kehidupan dari Allah (bnd. Jadi sekalipun Gereja mengalami berbagai ancaman,

didasar pada dokumen sumber dan dokumen pendukung berikut ini : “Pencatatan terjadinya piutang didasarkan atas faktur penjualan yang didukung dengan surat order pengiriman dan

Faktor genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh.Gangguan perkembangan otak ini menyebabkan terjadinya gangguan pada kemampuan bahasa, kemampuan kognitif

tropicalis dengan waktu inokulasi patogen 7 hsp menyebabkan rata-rata tinggi tanaman yang berbeda nyata dengan kontrol (+) waktu inokulasi 7 hsp baik pada pengamatan

[r]

Peneliti ini bertujuan untuk menegetahui apakah sektor pertanian menjadi sektor basis dalam perekonomian di Kabupaten Blitar dan untuk mengetahui perubahan posisi

peningkatan jumlah bakteri dalam starter sampai umur penyimpanan 30 hari (2,17 x 10 9 sel/ml koloni bakteri, tabel 5.1) dari jumlah koloni bakteri awal yang