KETATANEGARAAN PASKA 1998 DAN
TANTANGANNYA BAGI PRAKTEK LITIGASI
UNTUK KEPENTINGAN PUBLIK
DR. Bambang Widjojanto Konferensi Nasional
Public Interest Lawyer Network (PIL-Net), Jakarta, 3 Agustus 2010
PENDAHULUAN
•
Perubahan suatu keniscayaan dalam dinamika
yg terjadi pada masyarakat, pasar dan negara;
•
Pada tahun 1998 Æ Indonesia mengalami
perubahan Æ politik, hukum & ekonomi?
•
Amandemen Konstitusi, pembentukan lembaga
baru (MK, KY, KPK, ORI), dan perubahan
perundangan, serta adanya fakta dan potensi
penyalahgunaan kewenangan;
•
Apakah perubahan ditujukan dan didesain untuk
sebesar-besarnya kemaslahatan publik?
•
Apakah perubahan memberikan ruang bagi
publik untuk melindungi kepentingannya
PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN
dan PERUNDANGAN
•
Konstitusi paska amandemen Æ “kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD” serta “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”
•
Konstitusi sebelum amandemen Æ “kedaulatan
di tangan rakyat” tetapi dilaksanakan oleh MPR.
•
Perubahan frasa kata “…dilaksanakan oleh …”
menjadi “…dilaksanakan menurut …” membawa
konsekwensi hukum yang berbeda.
•
Frasa “Kedaulatan Rakyat” dimaksud haraus
diletakkan dan dikaitkan dengan konteks Negara
Hukum;
•
Ada konvergensi antara “daulat hukum” dan
“daulat rakyat”.
•
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan
”...menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis...”.
•
Rechts Idee Æ Negara hukum atau “daulat
hukum” seharusnya berpijak dan berpucuk pada
“daulat rakyat”.
•
Hal ini juga ditegaskan dalam pembukaan UUD
1945 Æ “… kemerdekaan kebangsaan
Indonesia disusun di dalam suatu Undang
Undang Dasar Negara Indonesia yang
”...terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat...”
•
Kedaulatan rakyat dijalankan oleh UUD Æ Itu
dapat dimaknai Æ Kedaulatan rakyat harus
didasarkan atas dasar prinsip HAM;
•
Prinsip HAM diatur secara eksplisit pada Bab XA
Konstitusi Æ yang mengatur HAM di dalam
sekitar 10 pasal dan 25 ayat
•
Pasal 18B ayat (2) Konstitusi Æ ”Negara
mengakui dan menghormati kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup ...”;
•
Hukum harus berpijak pada ”daulat rakyat” dan
penghormatan daulat rakyat dng ditegakkannya
prinsip HAM;
•
Faktanya Æ Kajian ELSAM bahwa “35 dari total
193 undang-undang yang dihasilkan dalam
periode 2004-2009, hampir separuhnya belum
sejalan dengan hak asasi manusia”;
•
Ada beberapa indikasi lainnya dari
perkembangan legislasi yang juga menarik untuk
dilihat:
– Ada perluasan kewenangan di berbagai lembaga yang diatur UU yang tidak sepenuhnya disertai dengan
sistem akuntabilitas penggunaan kewenangan;
– Adanya inharmonisasi diantara berbagai perundangan; – Adanya pelemahan di dalam pengaturan kewenangan
lembaga tertentu sehingga tidak mempunyai daya enforceable yang optimal;
– Belum cukup komprehensifnya pengaturan suatu
perundangan sehingga tidak cukup mengatur masalah dan dinamika yang muncul;
•
Ada kerangka dan sistem perundangan yang
cukup ”solid” mengatur perihal Anti Korupsi;
•
Ada beberapa perundangan yang dapat
dikualifikasi sebagai Core of Law, yaitu:
– UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001;
– UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
– UU No. 28 tahun 1999 tentang Pemerintah yang Bersih dan Bebas dari KKN; dan
– UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;
– UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tinndak Pidana Korupsi;
– UU No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nation Against Corruption 2003;
•
Perundangan lainnya yang mempunyai sangat
penting untuk dorong pemberantasan korupsi.
•
Adapun perundangan dimaksud, yaitu antara
lain sebagai berikut:
– UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
– UU No. 5 Tahun 1999 tentang Monopolidan Praktik Usaha Tidak Sehat;
– UU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik; – UU tentang Komisi Ombudsman Nasional;
– UU Undang tentang Komisi Yudisial
– Keputusan Presiden No. 80 tahun 2001 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
– Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
TANTANGAN PRAKTEK LITIGASI
BAGI KEPENTINGAN PUBLIK
• Kajian ELSAM tersebut di atas Æ “35 dari 193 undang-undang (2004-2009), belum sejalan dengan hak asasi manusia” adalah tantang yg kongkrit;
• Fakta ini hendak menegaskan Æ Rechts Idee yang menjadi dasar dari suatu Negara Hukum belum
sepenuhnya diwujudkan di dalam sistem hukum dan secara konsisten diterapkan;
• Perundangan yang secara diametral bertentanga
dengan konstitusi, baik dalam konteks Rechts Idee dan perumusan serta maskud dan tujuan yg tidak sesuai dengan UUD dapat dijadikan obyek untuk diuji secara materiil di MK
•
Ada berbagai lembaga Negara yang tersebut di
dalam konstitusi, yaitu: Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial;
•
Ada juga pembentukan berbagai lembaga
lainnya, yaitu: KPK, Ombudsman, PPATK,
LPSK, KPPU serta lembaga pengawasan
penegakkan hukum lainnya;
•
Lembaga di atas dapat ”digunakan” untuk
menguji, mengadukan dan mempersoalkan
berbagai masalah yang bertentangan dengan
Rechts Idee pembentukan Negara hukum
maupun potensi penyalahgunaan kewenangan
dari kekuasaan;
•
Lembaga di atas juga ”dapat didayagunakan”
untuk melindungi kepentingan publik;
TANTANGAN ATAS FAKTA KEJAHATAN
DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN
• Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Kepres No.37/2010) publikasikan suatu dokumen Æ modus operandi mafia
hukum di dalam Mafia Hukum: Modus Operandi, Akar Permasalahan dan Strategi Penanggulangan.
• Inilah kali pertama, negara melalui pemerintah Æ keluarkan dokumen dari suatu assessment yang merinci tahap
kejahatan, pola dan modus operandi serta pelaku kejahatan di lingkungan peradilan
• Dipetakan sekitar 79 (tujuh puluh sembilan) pola kejahatan dan sekitar 136 modus operandi kejahatan yang khusus terjadi di dunia peradilan.
• Dokumen ini Æ justifikasi pemerintah atau Satgas atas fakta adanya kejahatan yg bekerja secara ”masif, sistematis, dan terstruktur” di lembaga hukum, termasuk di institusi
peradilan; dan sekaligus menolak pernyataan dari kalangan penegekan hukum yang sejak semula selalu menolaknya.
•
Para Pelaku Kejahatan:
– Pelaku yang potensial terlibat di dalam kejahatan mafia hukum, yaitu: meliputi:
• petugas registerasi perkara, pantera, panitera pengganti, hakim, ketua pengadilan;
• Jaksa, advokat, para piahk, dan terdakwa serta para calo.
•
Pola dan Modus Operandinya:
– Kesatu Æ negosiasi putusan/penetapan, permintaan uang lelah atau uang terima kasih dan penipuan;
– Kedua Æ hakim atau melalui perantara meminta uang pada salah satu pihak dengan imbalan berupa
putusan perkara yang menguntungkan salah satu
pihak/ terdakwa/ korban, mengatur besaran ganti rugi, memutus perkara tidak dapat diterima;
•
Ketiga Æ Hakim menunda-nunda pembacaan
putusan, dilelangnya amar putusan (baik
dilakukan sendiri maupun dengan
perantara),dilakukannya negosiasi putusan, dan
adanya permintaan uang lelah atau terima kasih;
•
Keempat Æ salah satu pihak yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung di dalam
persidangan meminta uang dalam jumlah tertentu
kepada korban (terdakwa atau pihak berpekara)
dengan cara menipu dan mengatasnamakan
kepentingan hakim
•
Fakta kejahatan atau indikasi “judicial corruption”
di atas menjadi penyebab utama yang
menghambat masyarakat miskin mendapatkan
keadilan.
PROBLEM & TANTANGAN DI DAERAH
•
Hasil pemeriksaan LKPD 2008 menunjukkan
adanya kerugian daerah sebanyak 1.152
kasus senilai Rp. 337,49 miliar terdiri dari:
– 68 kasus belanja atau pengadaan barang/jasa fiktif senilai Rp. 25,92 miliar;
– 29 kasus rekanan pengadaan barang/jasa tidak menyelesaikan pekerjaan senilai Rp.19,99 miliar;
– 264 kasus kekurangan volume pekerjaan senilai Rp. 62,99 miliar;
– 78 kasus pemahalan harga (mark up) senilai Rp. 29,01 miliar;
– 62 kasus penggunaan uang/barang untuk kepenti ngan pribadi senilai Rp. 22,26 miliar;
– 85 kasus pembayaran honorarium dan/atau biaya perjalanan dinas ganda senilai Rp.16,13 miliar;
– 44 kasus spesifi kasi barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan kontrak senilai Rp.10,75 miliar;
– 301 kasus pembebanan biaya ti dak sesuai atau melebihi ketentuan senilai Rp. 89,36 miliar;
– 5 kasus pengembalian pinjaman/piutang atau dana bergulir macet senilai Rp. 2,11 miliar;
– 2 kasus penjualan/pertukaran aset daerah tidak
sesuai ketentuan dan merugikan daerah senilai Rp. 581,93 juta;
– 140 kasus kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan senilai Rp. 21,31 miliar; dan
– 74 kasus lain-lain senilai Rp. 37,03 miliar diantaranya adanya kegiatan-kegiatan yang tidak dapat
dipertanggungjawaban sehingga harus menyetor ke kas daerah, adanya tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan dan adanya jaminan pelaksanaan yang tidak dapat dicairkan.
•
Hasil pemeriksaan atas LKPD menunjukkan
adanya potensi kerugian daerah sebanyak 273
kasus senilai Rp. 803,84 miliar yg terdiri dari:
– 3 kasus hasil pengadaan barang/jasa tidak sesuai atau kurang dari kontrak namun pembayaran
pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya senilai Rp. 7,23 miliar;
– 51 kasus aset dikuasai pihak lain senilai Rp. 333,65 miliar;
– 89 kasus piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi ti dak tertagih senilai Rp. 231,90 miliar; – 4 kasus pembelian aset yang berstatus sengketa
senilai Rp. 7,78 miliar;
– 10 kasus rekanan belum melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan senilai Rp. 3,42 miliar;
– 11 kasus pemberian jaminan pelaksanaan dalam pelaksanaan pekerjaan, pemanfaatan barang dan
pemberian fasilitas tidak sesuai ketentuan senilai Rp. 7,04 miliar;
– 16 kasus pihak ketiga belum melaksanakan
kewajiban untuk menyerahkan aset kepada daerah senilai Rp. 8,70 miliar;
– 12 kasus aset tetap tidak diketahui keberadaannya senilai Rp88,97 miliar;
– 2 kasus penghapusan piutang tidak sesuai ketentuan senilai Rp. 468,10 juta; dan
– 65 kasus lain-lain senilai Rp. 114,64 miliar, diantara: belum disetorkannya penyertaan modal, pemberian kredit tanpa agunan, pemberian ganti rugi atas
pembebasan tanah tidak sesuai ketentuan, dan pertanggungjawaban belum lengkap dan sah.
KONTEKS PERAN SERTA MASYARAKAT
• Peran serta Masyarakat diatur secara eksplisit di dalam UU;
• Misalnya di dalam Pasal 8 dan 9 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN dan Pasal 41 & 42 dari UU No. 31 Tahun 1999. • Peran serta dimaksud di dalam penyelenggaraan negara
serta di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPK;
• Wujud Peran serta Masyarakat meliputi:
– a. hak mencari. memperoleh. dan memberikan informasi;
– b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil;
– c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab;
•
Kedua perundangan menyatakan tata cara
pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
Penyelenggara Negara diatur lebih lanjut
dengan PP);
•
Yang membedakan antara peran serta
masyarakat di kedua perundangan adalah:
– hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; – Pemerintah memberikan penghargaan kepada
anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi akan diatur di dalam PP.
•
UU No. 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCAC
juga memberikan perhatian tentang partisipasi
publik, yaitu antara lain menyatakan:
– Sektor swasta turut lakukan pencegahan korupsi: tingkatkan standar akuntansi & audit, penerapan sanksi yang tegas, pencegahan penyalahgunaan prosedur yang mengatur badan hukum perdata, termasuk prosedur pemberian subsidi & periizinan, mencegah benturan kepentingan, membangun
sistem dalam lembaga pengawasan yang efektif. – Partisipasi aktif pihak di luar sektor publik :
meningkatkan kesadaran mengenai kegawatan dan ancaman dari korupsi yg antara lain meliputi:
kontribusi publik dalam pembuatan keputusan, akses yang efektif pada informasi, program pendidikan
untuk menyebarkan sikap non toleransi atas korupsi serta mempromosikan dan melindungi kebebasan untuk mencari, mendapatkan, menerbitkan dan menyebarkan informasi tentang korupsi.
KESIMPULAN
• Amandemen konsititusi dan Rechts Idee yang berada di dalamnya harus terus menerus ditantang untuk dpt
diterapkan secara konsisten;
• Formulasi & revisi perundangan tidak sepenuhnya berpihak & ditujukan pada kepentingan publik sehingga harus ada upaya untuk terus mengkajinya dan mengujinya di MK maupun MA;
• Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Auxilaries Bodies lainnya harus senantiasa didorong untuk menjadi bagian dari dan bersama untuk mewujudkan kedaulatan rakyat; • Adanya mafia hukum dan fakta serta potensi kerugian di
daerah dalam pengelolaan keuangan negara
mengindikasikan tantangan yang dihadapi sangat besar; • Keseluruhan problem di atas bersifat masif, sistemik dan
terstruktur serta sangat merugikan masyarakat; • Pada konteks itu, kehadiran Public Interst Lawyer
memperoleh dasar relevansi dan justifikasi untuk