• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL di RSUP H. Adam Malik Medan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No.4 • Desember 2017 I181

Beberapa Faktor Resiko pada Pasien dengan Infeksi oleh

E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL

di RSUP H. Adam Malik Medan

Selastri Agnes*, Ricke L, Muzahar

Departemen Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara

Email : [email protected]

Abstrak

Pendahuluan Pengidentifikasian faktor resiko terhadap infeksi oleh bakteri penghasil ESBL sangat

penting dalam mencegah penyebaran ESBL dan menurunkan mortalitas.

Tujuan Umum Mengetahui faktor resiko infeksi oleh E. coli atau K. pneumoniae penghasil ESBL di RSUP

H. Adam Malik Medan

Metode Penelitian analitik dengan pendekatan potong lintang ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik

Medan pada Januari–Maret 2014. Sampel dibagi 2 kelompok berpasangan: ESBL (n=27) dan Non ESBL

(n=27). Faktor resiko yang dibandingkan adalah lamanya rawatan di rumah sakit, pemakaian alat invasif

medis dan penyakit komorbid. Tes kepekaan antibiotik pada kedua kelompok juga ikut dievaluasi.

Hasil Berdasarkan analisa statistik, didapatkan: faktor resiko yang bermakna secara signifikan adalah

lama rawatan > 1minggu OR 8.594 (1,680-43.953) p value 0.004, kateter vena perifer OR 0.156

(0.045-0.539) p value 0.002, kateter urin OR 0.116 (0.023-0.595) p value 0.004, ventilator mekanik OR 0.091

(0.011-0.793) p value 0.002, pipa nasogastrik OR 0.160 (0.31-0.831) p value 0.018; penyakit komorbid

OR 15.625 (3.067-79.594) p value <0.001. Sedangkan pemakaian vena sentral dan pembedahan

merupakan faktor resiko yang tidak bermakna. Antibiotik yang paling sensitif terhadap bakteri E. coli atau

K. pneumoniae penghasil ESBL adalah meropenem dan imipenem (92.6%) diikuti oleh amikasin (85.2%).

Simpulan Faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi ESBL adalah lama rawatan > 1 minggu,

pemakaian kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik dan selang nasogastrik dan penyakit

komorbid. Golongan karbapenem masih merupakan antibiotik pilihan dalam menangani infeksi ESBL.

Kata Kunci: E

xtended spectrum β-lactamase, Faktor resiko, E. coli, K. pneumoniae

Abstract

Introduction Identification of risk factors for ESBL-producing bacteria infection are very important to avoid

spread of ESBL and to decreased mortality. The aim of this study is to identify risk factors for infection

ESBL-producing E. coli or K. pneumoniae

Method An analytical study with cross sectional approach was conducted at H. Adam Malik hospital

Medan from January-March 2014. Samples were divided into 2 groups of pairs: ESBL (n = 27) and

non-ESBL (n = 27). The length of hospital stay, utilization of invasive medical devices, comorbid disease, and

surgery procedure are the risk factors that being analyzed. Antibiotic sensitivity tests in both groups also

evaluated.

Results: Based on the statistical analysis we found that the risk factors that have a significant relationship

with ESBL infection was duration of hospital stay > 1 week

OR 8.594 (1.680-43.953) p value 0.004,

the

use of peripheral venous catheters

OR 0.156 (0,045-0,539) p value 0.002,

urinary catheters

OR 0.116

(0.023-0.595) p value 0.004,

mechanical ventilator

OR 0.091 (0.011-0.793) p value 0.002, nasogastric

tube OR 0.160 (0.31-0.831) p value 0.018 and comorbid disease OR 15.625 (3.067-79.594).

There was

no significant correlation in utilization of CVC and surgery procedure

.

The ESBL-producing Escherichia

coli or Klebsiella pneumoniae

showed very good susceptibility to

meropenem, imipenem (92.6%) and

amikacin(85.2%).

Conclusions: Risk factors associated with ESBL infections are duration of hospital stay > 1 week, the use

of of invasive medical devices (peripheral venous catheters, urinary catheters, nasogastric tube and

mechanical ventilator) and comorbid disease. Carbapenem is still an option for ESBL infection

(2)

182I The Journal of Medical School, Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan

Sejak pertama kali ditemukan yaitu pada pertengahan tahun 1980-an, ESBL telah semakin cepat menyebar dan bermutasi menjadi beberapa tipe.1 Meskipun ESBL telah banyak ditemukan pada berbagai Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae di berbagai belahan dunia, namun mereka paling sering teridentifikasi dalam Klebsiella pneumoniae dan Escherechia coli.1-5 Pada berbagai belahan dunia 10-40% strain Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae mengekspresikan ESBL.1,2

Peningkatan penyebaran ESBL ini diduga oleh karena beberapa faktor resiko. Banyak sekali faktor resiko yang diduga berhubungan dengan kejadian ESBL, antara lain; tingkat keparahan dari penyakit, lamanya rawatan di rumah sakit, lamanya mendapat perawatan di ruang rawat intensif, mendapat prosedur-prosedur invasif, pemakaian selang infus, pemakaian kateter vena sentral, pemakaian ventilator, pemberian nutrisi secara parenteral, pemakaian kateter urin, usia, hemodialisa, pemakaian antibiotik yang tidak tepat, berat lahir rendah dan status gizi yang kurang.6 ESBL menimbulkan banyak masalah, yaitu tingginya tingkat mortalitas, lamanya rawatan dan beban ekonomis. Kompleksnya masalah resistensi pada ESBL menyebabkan sulitnya pengobatan karena terbatasnya pilihan antibiotik. Keterlambatan pemberian terapi antibiotik yang tepat diduga merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada infeksi oleh organisme penghasil ESBL, yaitu mencapai 42-100%.6 Pengidentifikasian dan pengendalian faktor resiko ESBL sangat penting dalam menekan angka kejadian infeksi oleh ESBL dan masalah yang ditimbulkannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor resiko pada pasien dengan infeksi oleh E. coli dan K. pneumoniae Penghasil ESBL serta pola sensitivitasnya di RSUP. H. Adam Malik Medan.

Metode

Populasi terjangkau penelitian ini adalah isolat yang diterima di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah : 1) Setiap pasien yang dimasukkan ke dalam kelompok kasus adalah yang dari isolatnya teridentifikasi sebagai bakteri E.coli atau K. pneumoniae penghasil ESBL, 2) Pasien yang dimasukkan dalam kelompok kontrol adalah yang dari isolatnya teridentifikasi sebagai bakteri E. coli atau K.pneumoniae yang tidak menghasilkan ESBL, dan 3) Memiliki data rekam medis yang jelas. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah : 1) Sampel yang tidak representatif (Label tidak cocok/ tidak lengkap, transportasi terlalu lama, penampung tidak sesuai atau tidak steril, penampung pecah/retak, jumlah tidak cukup), 2) Jika pada pasien dijumpai lebih dari satu jenis isolat yang teridentifikasi sebagai E. coli atau K. pneumoniae, maka hanya satu isolat yang diambil dan isolat lainnya tidak digunakan, dan 3) Data rekam medis yang tidak lengkap.

Pada sampel yang memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan dan kesediaan menandatangani informed consent untuk mengikuti penelitian ini. Pemeriksaan identifikasi dan tes kepekaan antibiotik setiap sampel dilakukan dengan menggunakan sistem BD Phoenix. Selanjutnya sampel dibagi menjadi dua kelompok : kelompok pertama (kelompok ESBL) adalah setiap pasien yang dari isolatnya teridentifikasi sebagai bakteri E.coli atau K. pneumoniae penghasil ESBL, sedangkan kelompok kedua (kelompok Non ESBL)

adalah pasien yang dari isolatnya teridentifikasi sebagai bakteri E. coli atau K.pneumoniae yang tidak menghasilkan ESBL. Kedua kelompok ini dipasangkan dengan rasio 1 : 1 berdasarkan dua variabel yaitu spesies organisme yang menginfeksi dan waktu dari masuknya isolat.

Pemeriksaan dengan BD PHOENIX.7 Pemeriksaan dengan BD PHOENIX menggunakan software, panel disposable, ID broth, AST broth, dan AST indicator. Metode identifikasi melalui ID broth merupakan metode konvensional fluorogenik dan kromogenik yang telah dimodifikasi. Metode AST phoenix merupakan uji mikrodilusi berbasis kaldu. Sistem phoenix menggunakan indikator redoks untuk mendeteksi pertumbuhan organisme dengan keberadaan agen antimiroba. Penelitian ini menggunakan panel NMIC/ID-26. Suspensi bakteri yang akan diperiksa dibuat dalam 0.5 McFarland. CrystalSpec Nephelometer digunakan untuk memastikan densitas suspensi dan 25μL suspensi ini dimasukkan ke AST broth. Sebelumnya satu tetes AST indicator telah dicampurkan ke AST broth tersebut. Lalu, suspensi ID broth diinokulasikan ke dalam sumur ID pada panel dan suspensi AST broth diinokulasikan ke dalam sumur AST. Setelah itu panel tersebut dimasukkan ke dalam instrumen untuk kemudian dibaca setiap interval 20 menit. Konsentrasi hambat minimal (MIC) dan identifikasi bakteri akan didapatkan kemudian. Hasil akhir biasanya didapatkan 2-12 jam untuk identifikasi bakteri dan 4-16 jam untuk tes kepekaan antibiotik. Sistem Phoenix juga terdiri dari sistem BDXpert yang menganalisis hasil tertentu yang memerlukan tindakan lanjutan, misalnya penanda resistensi seperti ESBL.

Prinsip konfirmasi ESBL oleh sistem Phoenix sama dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh CLSI (broth microdilution confirmatory tes) yaitu jika terjadi resistensi terhadap antibiotik golongan penicillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam (kecuali cephamycin dan carbapenem).

Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences, Chicago, IL, USA) 22.0 untuk Windows. Untuk melihat ada tidaknya hubungan setiap faktor resiko dengan kejadian infeksi ESBL pada E.coli atau K. pneumoniae digunakan cara Chi-Square dan dilanjutkan dengan penghitungan odds ratio.

Hasil

Pada penelitian ini, jumlah sampel yang didapatkan adalah masing-masing 27 sampel baik untuk kelompok ESBL maupun kelompok Non ESBL. Karakteristik subjek pada kedua kelompok adalah sebagai berikut :

Tabel. 1. Karakteristik responden

Karakteristik Kelompok ESBL (n=27) Kelompok non ESBL (n=27) p-value Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 13 14 7 20 0.091

Usia (interval) 0 - 59 tahun 0 – 55 tahun 0.734 Lamanya rawatan

(hari)

22.45 

17.61 11.25  9.36 0.049

Pada kedua kelompok didapati tidak ada perbedaan yang signifikan pada jenis kelamin dan usia.

(3)

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No.4 • Desember 2017 I183

Namun ada perbedaan yang signifikan pada lama rawatan antara kedua kelompok dengan p value 0.049. Pasien-pasien dengan infeksi ESBL memiliki rawatan yang lebih lama daripada pasien tanpa infeksi ESBL. Pada penelitian ini didapatkan bahwa bakteri penyebab ESBL pada pasien rawat inap kebanyakan adalah K. pneumoniae (59%) dan pada pasien rawat jalan adalah E. coli (60%).

Tabel.2. Pola Tes Kepekaan Antibiotik Kelompok ESBL

Jenis antibiotik Sensitif (%) Resisten (%) Amikasin 85.2 14.8 Gentamycin 14.8 85.2 Tobramycin 7.4 92.6 Ertapenem 51.9 48.1 Imipenem 92.6 7.4 Meropenem 92.6 7.4 Cefazolin 0 100 Cefoxitin 40.7 59.3 Ceftazidim 0 100 Cefotaxime 0 100 Ceftriaxon 0 100 Cefepime 0 100 Aztreonam 0 100 Ampicillin 14.8 85.2 Amoksilin-clavulanat 14.8 85.2 Piperacillin-tazobactam 18.5 81.5 Trimethroprim-sulfamethoxazole 48.1 51.9 Nitrofurantoin 7.4 92.6 Ciprofloxacin 18.5 81.5 Levofloxacin 14.8 85.2 Tetracycline 14.8 85.2

Pada tabel 2. dapat dilihat bahwa kebanyakan E.coli atau K. pneumoniae penghasil ESBL sensitif terhadap imipenem dan meropenem (92.6%), namun tidak pada golongan ertapenem yang sudah mulai menurun kepekaannya (51.9%). Antibiotik lain yang masih peka adalah amikasin (85.2%). Sedangkan antibiotik lainnya didapati kurang sensitif (<60%). Bahkan hanya 7.4% kuman ESBL yang masih sensitif terhadap tobramycin dan ciprofloxacin.

Tingkat resisten tertinggi adalah pada golongan tobramycin dan ciprofloxacin (92.6%), diikuti oleh gentamycin, amoksilin-clavulanat, piperacillin-tazobactam, dan tetracycline (85.2%). Pada penelitian ini juga sudah ditemukan tingkat resistensi kuman ESBL terhadap imipenem dan meropenem (7.4%).

Tabel 3. Beberapa Faktor Resiko Pada Pasien dengan

Infeksi yang disebabkan oleh E. coli atau K. pneumoniae penghasil ESBL Parameter Faktor Resiko Kelompok ESBL (n) Kelompok non ESBL (n) OR (95%CI) p-value Lama rawatan > 1 minggu <= 1 minggu 11 16 2 25 8.594 (1.680-43.953) 0.004 Pemakaian kateter vena sentral Ada Tidak ada Pemakaian Kateter vena perifer Ada Tidak ada Pemakaian kateter urin Ada Tidak ada Pemakaian ventilator mekanik Ada Tidak ada Pemakaian pipa nasogastrik Ada Tidak Ada 8 19 22 5 11 16 8 19 9 18 4 23 11 16 2 25 1 26 2 25 0.413 (0.198- 1.568) 0.156 (0.045- 0.539) 0.116 (0.023- 0.595) 0.091 (0.011- 0.793) 0.160 (0.31- 0.831) 0.190 0.002 0.004 0.002 0.018 Penyakit komorbid Ada Tidak ada 15 12 2 25 15.625 (3.067-79.594) <0.001 Tindakan pembedahan Ada Tidak Ada 5 22 1 26 5.909 (0.641-54.542) 0.096

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa faktor resiko yang bermakna secara signifikan terhadap infeksi ESBL adalah lama rawatan > 1 minggu OR 8.594 (1.680-43.953) p value 0.004, pemakaian kateter vena perifer OR 0.156 (0.045-0.539) p value 0.002, pemakaian kaateter urin OR 0.116 (0.023-0.595) p value 0.004, pemakaian ventilator mekanik OR 0.091 (0.011-0.793) p

value 0.002, pemakaian pipa nasogastrik OR 0.160

(0.31-0.831) p value 0.018, dan penyakit komorbid OR 15.625 (3.067-79.594) p value <0.001. Pemakaian kateter vena sentral dan tindakan pembedahan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan infeksi ESBL dengan p value 0.190 dan 0.096.

Diskusi

Masalah serius yang ditimbulkan oleh ESBL adalah tingginya tingkat mortalitas, lamanya rawatan dan beban ekonomis. Kompleksnya masalah resistensi pada ESBL menyebabkan sulitnya pengobatan karena terbatasnya pilihan antibiotik. Oleh karenanya, pengidentifikasian faktor resiko dan adanya pola sensitivitas antibiotik terhadap infeksi oleh penghasil ESBL sangat diperlukan dalam menekan angka kejadian ESBL dan berbagai masalah yang ditimbulkannya

Pada tabel 6. bakteri penghasil ESBL lebih banyak pada K. pneumoniae (555%) daripada E. coli (45.5%). Hasil yang hampir serupa didapatkan juga oleh Shobha K L dkk (2009) dimana didapati bakteri penghasil ESBL

(4)

184I The Journal of Medical School, Universitas Sumatera Utara

adalah K. Pneumoniae (51.28%), E. coli (41.02%), dan Pseudomonas (7.7%).8 Pada penelitian ini didapatkan bahwa bakteri penyebab ESBL pada pasien rawat inap kebanyakan adalah K. pneumoniae (59%) dan pada pasien rawat jalan adalah E. coli (60%). Hal ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Husam S. Khanfar dkk, dimana mereka mendapatkan bahwa E. coli merupakan bakteri terbanyak penghasil ESBL baik pada rawat inap (76.2%) maupun pada rawat jalan (87.9%).5

Dari hasil uji kepekaan antibiotik dengan menggunakan BD Phoenix 100, didapati bahwa pada keseluruhan isolat ESBL, imipenem dan meropenem merupakan antibiotik yang paling sensitif (92.6%). Winarto (2005) melakukan studi penelitian di RSUP Kariadi tahun 2004-2005 menemukan bahwa bahwa sensitifitas kuman ESBL terhadap meropenem >82% ( E. coli sebesar 92.4% dan K. pneumoniae 83.3%).9 Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian-penelitian di luar negeri dimana rata-rata sensitifitas kuman ESBL terhadap meropenem yaitu lebih dari 95% bahkan mencapai 100%.8-11 Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa kuman ESBL mulai menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap ertapenem (51.9%). Keadaan resisten Ertapenem namun sensitif terhadap meropenem dan imipenem sering terjadi pada K. pneumoniae penghasil ESBL, hal serupa juga didapatkan pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena gangguan permeabilitas pada K. pneumoniae terjadi hanya pada porin OmpK35 dan tidak melibatkan OmpK36 sebagaimana biasanya pada K. pneumoniae penghasil ESBL.13 Namun secara keseluruhan berdasarkan berbagai penelitian, carbapenem merupakan antibiotik pilihan dalam menghadapi berbagai infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.11 Penggunaan antibiotik golongan carbapenem terbukti menurunkan angka mortalitas pada infeksi serius yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL.14

Golongan aminoglikosida memberikan aktivitas yang berbeda. Dari semua isolat, 85.2% sensitif terhadap amikasin, dan hanya 14.8 yang sensitif terhadap gentamycin dan 7.4% yang sensitif terhadap tobramycin. Pada studi yang dilakukan oleh Iraj Alipourfard dkk, isolat E. coli atau K.pneumoniae ESBL sensitif 93.9% terhadap amikasin, dimana hanya 31.3% yang sensitif terhadap gentamycin dan 20 % terhadap tobramycin.10 Dari antara semua aminogikosida, amikasin menunjukkan angka sensitivitas yang cukup baik. di Amerika Serikat, amikasin merupakan alternatif lain sebagai terapi empirik ketika agen yang lain tidak dapat digunakan. Sebagian besar organisme penghasil ESBL sudah resisten terhadap gentamisin sehubungan dengan co-transfer oleh plasmid.14

Tingkat resistensi isolat ESBL terhadap berbagai antibiotik lainnya cenderung tinggi. Bahkan semua isolat menunjukkan resisten 100% terhadap chepalosporin (generasi 1-4) kecuali pada cefoxitin (40.7%). Tingkat resistensi isolat ESBL ini ditunjukkan pula pada ciprofloxacin (92.6%). Hal ini juga perlu diwaspadai oleh para klinisi dalam pemberian terapi antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan semakin meningkatkan tingkat resistensi kuman ESBL.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa lamanya rawatan > 1 minggu berhubungan dengan infeksi ESBL. Hal yang serupa didapatkan oleh M Shanthi dan Uma Sekar.15

Sedangkan Tam (2013) mendapatkan lama rawatan > 4 minggu merupakan faktor resiko ESBL (p value 0.004).16 Patterson menyimpulkan dari berbagai studi bahwa lamanya rawatan 11-67 hari meningkatan resiko infeksi ESBL.6

Pemakaian berbagai alat invasif medis juga dinyatakan berkaitan dengan terjadinya infeksi ESBL. Pada penelitian ini didapatkan pemakaian kateter vena perifer (p value 0.002), kateter urin (p value 0.004), ventilator mekanik (p value 0.002) dan pipa nasogastrik (p value 0.018) berhubungan secara signifikan dengan infeksi oleh ESBL. Memang telah banyak dinyatakan bahwa pemakaian alat invasif medis apalagi dalam waktu yang lama cenderung menimbulkan kolonisasi dan menjadi port d entre kuman untuk menginfeksinya. Namun, pada penelitian ini pemakaian kateter vena sentral tidak berhubungan dengan infeksi ESBL (p value 0.190). Hasil ini berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan sebelumnya.15,17 Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena pemasangan kateter vena sentral di RSUP H. Adam Malik Medan dilakukan oleh dokter ahli anestesi dengan standar operasional tertentu dan dilakukan di ruang yang steril juga. Sedangkan pemasangan alat medis lain seperti selang kateter vena perifer, kateter urin, dan pipa nasogastrik lebih sering dilakukan oleh paramedis dan kemungkinan kurang sterilnya peralatan yang digunakan sangat besar. Sangat perlu untuk memberikan edukasi yang benar dan standar operasi yang lebih ketat bagi para petugas paramedis dalam melakukan pemasangan alat-alat invasif medis, misalnya dengan hand hygiene.

Adanya penyakit komorbid merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan infeksi ESBL. Hal ini serupa dengan beberapa temuan pada studi-studi terdahulu. Sedangkan tindakan pembedahan bukan merupakan faktor resiko ESBL, hasil yang sama ditemukan juga oleh Lautenbach dkk. 17

Masih banyak faktor resiko lain yang belum dinilai, misalnya ada tidaknya riwayat pemakaian antibiotik, jenis antibiotik prior yang digunakan, tingkat keparahan penyakit, dan status nutrisi pasien. Untuk selanjutnya sangat penting dilakukan penelitian lanjutan akan hal ini dengan faktor resiko yang lain sehingga semakin berguna dalam pengontrolan dan pencegahan infeksi ESBL.

Kesimpulan

Beberapa hal yang merupakan faktor resiko pada pasien dengan infeksi ESBL yang didapatkan pada penelitian ini adalah adanya penyakit komorbid, lama rawatan > 1 minggu dan pemakaian alat invasif medis, seperti : pemakaian kateter vena perifer, kateter urin, ventilator mekanik, pemakaian pipa nasogastrik. Meropenem dan imipenem masih merupakan antibiotik pilihan dalam menangani infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL.

Daftar Pustaka

1. Rupp ME, Fey PD. Extended Spectrum β-Lactamase (ESBL)-Producing Enterobacteriaceae Considerations for Diagnosis, Prevention and Drug Treatment. Adis International Limited. 2003. p: 353-365

2. Bradford PA, Dean CR. Resistance of Gram-Negative Bacilli to Antimicrobials. In : Antimicrobial Resistance and Implication in 21th Century. Springer. 2008. p : 99

(5)

Majalah Kedokteran Nusantara • Volume 50 • No.4 • Desember 2017 I185

3. Al-Jasse AM. Extended-Spectrum Beta-Lactamases (ESBLs): A Global Problem. Kuwait Medical Journal 2006. p: 171-185.

4. S Umadevi, G Kandhamukari, M N Joseph, et all. Prevalence and antimicrobial susceptibility pattern of ESBL producing Gram Negative Bacilli. Journal of Clinical and Diagnostic Research. Vol-5(2). 2011 Apr. p:236-239.

5. Khanfar HS, Bindayna KM, Senok AC. Extended spectrum beta-lactamases (ESBL) in Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae: trends in the hospital and community settings.

6. Paterson DL. Resistance in gram-negative bacteria: Enterobacteriaceae. The Association for Professionals in Infection Control and Epidemiology, Inc. and Elsevier. AJIC. Vol. 34 No. 5 Supplement 1. June 2006. P:s20-s26

7. BD PhoenixTM. System User’s Manual. USA. 2009. p:8-2 – 8-11

8. Shobha K L , Ramachandra L,et al. Extended Spectrum Beta-Lactamases (ESBL) In Gram Negative Bacilli At A Tertiary Care Hospital. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2009Feb;(3)1307-1312.

9. Winarto .Prevalensi Kuman ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase)dari Material Darah di RSUP Dr. Kariadi Tahun 2004-2005. Media Medikana Indonesiana Vol 43 No 5. 2009. p:260-267

10. Alipourfard, Nili NY. Antibiogram of Extended Spectrum Beta-lactamase (ESBL) producing Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae isolated from Hospital Samples. Bangladesh J Med Microbiol 2010; 04 (01): 32-36.

11. Mumtaz et al. Prevalence of extended spectrum beta lactamases (ESBL) in clinical isolates from a teaching hospital in Peshawar, Pakistan. African Journal of Microbiology Research Vol. 5(19), pp. 2880-2884, 23 September, 2011.

12. Suryawanshi NM et al. Extended Spectrum Beta - Lactamase Producing Escherichia coli at a Tertiary Care Hospital in Maharashtra, India: Phenotypic Detection and Antimicrobial Sensitivity Pattern. 13. García-Ferna´ndez A et al. An Ertapenem-Resistant

Extended-Spectrum-_-Lactamase-Producing Klebsiella pneumoniae Clone Carries a Novel OmpK36 Porin Variant. Antimicrobial Agents adn Chemotherapy. Oct. 2010, p. 4178–4184

14. Ramphal R, Ambrose PG. Extended-Spectrum b-Lactamases and Clinical Outcomes: Current Data. The Infectious Diseases Society of America. 2006. p:164-72

15. Shanthi M, Sekar U. Extended Spectrum Beta Lactamase Producing Escherichia Coli and Klebsiella pneumoniae: Risk Factors for Infection and Impact of Resistance onOutcomes. Supplement to JAPI. December 2010. VOL. 58 16. Tamm Johan. Extended-Spectrum

Beta-Lactamase-Producing Enterobacteriaceae: Epidemiology, Risk Factors, and Duration of Carriage.LUND university. 2012

17. Lautenbach E et all, Extended-Spectrum b-Lactamase–Producing Escherichia coli and Klebsiella pneumoniae: Risk Factors for Infection and Impact of Resistance on Outcomes. CID. 2001

Referensi

Dokumen terkait

Dari peraturan-peraturan tersebut dapat kita ke- tahui bahwa pemerintah dalam mendngani peninggalan seja­ rah dan purbakala itu tidak hanya diserahkan pada satu

ADLN Pepustakaan Universitas Airlangga.. DISERTASI IMUNOPATOGENESIS KERUSAKAN

Permasalahan selanjutnya yang terjadi di lapangan adalah bahwasannya pada perjanjian kredit dalam hal pemberian pinjaman terhadap anggota koperasi, dalam hal

• Aturan Pembulatan untuk Perkalian atau Pembagian: Bulatkan jawaban anda dengan angka significant digit yang sama dengan angka yang jumlah significant digit terkecil

Pembagiaa Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi Dalam Rangka Otonomi Khusus Triwulan IV Tahun 2013 kepada Kabupaten/Kota

[r]

Based on these results, we altered our balloon rigging in the following way: within 1 m of the electric field meter or particle charge sensor, waxed nylon line is used; farther

Sepanjang tahun 2013, Bank Kalteng telah berupaya menjaga kepatuhan terhadap PBI dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, standar-standar kepatuhan lainnya