TZNJAUAN PUSTAKA
Kegemukan d a n Obesitas Pada Anak
Istilah kegemukan (overweight) dan obesitas (obesity) seringkali dianggap sama, walaupun sebenarnya berbeda. Kegemukan menurut Rimbawan dan Siagian (2004) adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak untuk pria melebihi 20% dan wanita 25% dari berat tubuh. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Meilany (2001) bahwa overweight adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berat badan seseorang melebihi berat badan normal. Sedangkan obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan terjadinya penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan atau menempatkan seorang individu pada resiko masalah kesehatan. Misnadiarly (2007) menyatakan manifestasi klinis dan komplikasi yang sering ditemukan pada penderita obesitas antara lain penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, hipertensi, infeksi saluran pemafasan, perlemakan hati dan hipertrigliserid. Anak yang meuderita obesitas pasti mengalami ovenveight, tetapi anak yang mengalami ovenveight belum tentu menderita obesitas (Khomsan 2004).
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), kegemukan dan obesitas dapat , terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Juvenil obesity, adalah
obesitas yang terjadi pada usia muda (anak-anak). Orang yang menderita kegemukan di usia muda memiliki resiko lebih tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan orang yang memiliki berat tubuh normal. Fukuda et al. (2001) menyatakan bahwa umur 10-12 tahun merupakan masa kritis terakhir dalam terjadinya obesitas. Risiko ini lebih besar pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Kurang lebih 30% obesitas wanita dewasa berasal dari obesitas pada awal masa remaja, sedangkan pada pria hanya 10%.
Arora (2008) menyatakan bahwa obesitas sebenamya merupakan konsekuensi dari ketidakseimbangan energi karena asupan energi lebih besar dibandingkan jumlah energi yang dikeluarkan. Keseimbangan energi adalah selisih antara energi yang didapat dari konsumsi pangan dengan penggunaan energi untuk metabolisme dan aktifitas otot (Almatsier 2002). Menurut Sizer &
Whitney (2000), dua variabel yang membentuk persamaan keseimbangan energi (energy balanced) yaitu pemasukan energi (energy in) dan pengeluaran energi (energy our). Pemasukan energi diperoleh dari makanan dan minuman, sedangkan komponen pengeluaran energi adalah energi metabolisme basal dan energi aktivitas fisik. Hasil penelitian Risma (2005) bahwa keseimbangan energi pada anak obes menunjukkan hasil yang positif pada hari sekolah dan hari libur.
Subardja et al. (2000) menyatakan bahwa pola makan dan aktivitas fisik yang kurang, berhubungan erat dengan terjadinya obesitas pada anak-anak sekolah dasar. Sama halnya dengan pernyataan Hill et al. (2003) bahwa memelihara keseimbangan antara asupan energi dan pengeluaran energi mempakan faktor penting dalam pengaturan berat badan. Jadi beberapa faktor yang dapat meningkatkan asupan energi atau menumnkan pengeluaran energi akan berdampak pada te jadinya ovenveighr dan obesitas. Khomsan (2004) menyatakan bahwa penyebab kegemukan ada yang bersifat eksogenous dan endogenous. Penyebab eksogenous misalnya kegemaran makan secara berlebihan terutama makanan tinggi energi tanpa diimbangi oleh aktivitas fisik yang cukup sehingga surplus energinya kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab endogenous adalah adanya gangguan metabolik dalam tubub, misalnya kejadian tumor pada hipotalamus yang dapat menyebabkan hiperfagia atau nafsu makan berlebihan.
Menurut Meilany (2001), kriteria untuk menentukan obesitas pada prinsipnya ada dua cam, yaitu secara medis dalam pelayanan kesehatan individu anak dan cam antropometri pada populasi anak. Berdasarkan antropometri, kegemukan dan obesitas dapat ditentukan berdasarkan : 1) berat badan terhadap tinggi badan. Cara ini lebih mencenninkan proporsi atau penampilan tubuh. Hasil pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan, bila lebih dari 120% tergolong obesitas. Interpretasi IMT tergantung pada umur dan jenis kelamin anak, karena anak laki-laki dan perempuan memiliki lemak tubuh yang berbeda 2) pengukuran langsung lemak subkutan dengan mengukur lipatan kulit (tebal lipatan kulitt TLK). Pengukuran tersebut dilakukan di empat bagian tubuh untuk mendapatkan proporsi lemak tubuh yaitu biceps (daerah tengah lengan bagian depan), triceps (daerah tengah lengan bagian belakang), subscapzrlar (daerah
bagian bawah bahu belakang) dan strprailiac (daerah pinggang bagian depan) 3) metode yang lebih kompleks, misalnya densitometri, hidrometri dan spektrometri sinar gamma. Cara ini tidak digunakan pada anak-anak karena sulit secara teknis dan tidak praktis.
Para ahli antropometri di Amerika sekarang ini menyarankan penggunaan indeks massa tubuh menurut umur (IMTIU) untuk menilai overweight (? persentil ke-95) dan resiko overweight (? persentil ke-85
-
< persentil ke-95) pada anak-anak dan remaja prepubescent (sebelum periode peralihan perkembangan karakteristik seksual sekunder dari pola anak-anak ke pola dewasa). Pada bulan Juni tahun 2000 ini telah dibuat referensi indeks massa tubuh menurut umur yang terbaru untuk Amerika Serikat, yang memuat IMTIU dari umur 2-20 tahun (Riyadi 2001). Sedangkan berdasarkan berat badan (BB) terhadap tinggi badan (TB), obesitas pada anak dibagi ke dalam tiga kategori yaitu obes ringan jika BBmB >120%-170%, obes sedang BBITB >170%-240% dan obes berat jika BB/TB >240% (Subardja 2004). Cut08
point untukmenggambarkan status gizi menurut Centers for Disease Control and Prevention atau CDC (2000) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Cut ofpoint untuk menggambarkan status gizi anak dan remaja umur 2-20 tahun berdasarkan IMTIU
Status Gizi Cut
Off
PoiiztUndenveight < Persentil ke-5
Normal ? Persentil ke-5
-
< Persentil ke-85At
Risk
of Ovenveight>
Persentil ke-85-
< Persentil ke-95Ovenveight ? Persentil ke-95
Surnber : CDC (2000)
Komposisi tubuh terdiri atas komponen massa lemak dan massa bukan lemak. Massa bukan lemak tubuh terdiri dari otot (protein), tulang (mineral), dan air. Lemak merupakan bentuk simpanan euergi utama dalam tubuh dan sensitjf terhadap malnutrisi yang akut. Untuk menilai obesitas anak dapat dilakukan dengan cara mengukur Tebal Lipatan Lemak di Bawah Kulit. Seseorang dikatakan obes jika lemak tubuh lebih besar dari 20% untuk pria, sedangkan untuk wanita lebih besar dari 30% (Riyadi 2001).
Faktor-Faktor Penyebab Kegemukan
Kegemukan berkaitau dengan banyak faktor antara lain sosial ekonomi (pendapatan, pengetahuan gizi, pendidikan) yang me~npengaruhi daya beli dan pemilihan makanan, konsumsi pangan, kebiasaan makan, ketersediaan informasi tentang makanan berenergi tinggi seperti fast food, frekuensi konsumsi fast food, berkurangnya aktivitas fisik, serta faktor lain yang bersifat internal yaitu keturunan, metabolisme, kerja enzim dan hormon.
Konsumsi Pangan
Menurut Madanijah (2004b) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan dapat berlainan dari tiap individu serta masyarakat. Faktor-faktor tersebut antara lain kuantitas dan ragam pangan yang tersedia dan diproduksi, pendapatan serta tingkat pengetahuan gizi (Harper et al. 1986). Konsep mengenai makanan dan pemilihan makanan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan antara lain : I) kebutuhan biogenik yaitu dalam memilih makanan tidak sembaraug untuk memenuhi rasa laparnya tetapi yang sesuai baginya, 2) kebutuhan psikogenik yaitu untuk memenuhi rasa laparnya seseorang akan mencari makanan yang disukainya, kebutuhan ini berkaitan dengan aspek-aspek seperti, tekstur, rasa, aroma dan warna makanan, 3) kebutuhan sosiogenik yaitu bila seseorang merasa lapar maka akan mencari makanan yang sesuai menurut keyakinannya dan tidak bertentangan dengan sistem sosial, budaya dan agama dimana ia hidup dan dibesarkan (Sanjur 1982).
Konsumsi pangan berlebih yang tidak diiringi aktivitas fisik merupakan faktor resiko tejadinya obesitas (Crawford & Ball 2002). Wiensier dan Butterworth Jr (1981) diacu dalam Aktaria (2004) menyatakan bahwa adanya perbedaan respon terhadap makanan antara orang yang obes dan tidak obes. Orang yang tidak obes lebih berespon terhadap rangsangan internal seperti gerakan lambung dan hipoglikemia sedangkan orang obes lebih karena
rangsangan ekstemal seperti bau, rasa makanan, pengartih iklan dan ukuran porsi makanan yang ada dihadapannya.
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa cukup tidaknya konsumsi inakanan ditentukan dengan menganalisis kandungan zat gizinya, kemudian dibandingkan dengan standar yang dianjurkan untuk mencapai suatu tingkat gizi dan kesehatan yang optimal. Standar yang dimaksud adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui (Muhilal & Hardinsyah 2004).
Hardinsyah dan Tambunan (2004) mengartikan Angka Kecukupan Energi (AKE) adalah rata-rata tingkat konsumsi energi dari pangan yang seimbang dengan pengeluaran energi pada kelompok umur, jenis kelarnin, ukuran tubuh (berat) dan tingkat kegiatan fisik agar hidup sebat dan dapat melakukan kegiatan ekonomi dan sosial yang diharapkan. Selanjutnya Angka Kecukupan Protein (AKP) dapat diartikan rata-rata konsumsi protein untuk menyeimbangkan protein yang hilang ditambah sejumlah tertentu, agar mencapai hampir semua populasi sehat (97.5%) di suatu kelompok umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh tertentu pada tingkat aktivitas sedang. Angka kecukupan energi dan protein pada anak usia sekolah dapat dilihat pada Tabel 2.
Pria 10-12
1
35.01
138.01
2050I
50Tabel 2 Angka kecukupan energi dan protein pada anak usia sekolah
Deutsch dan Morril (1993) diacu dalam Susanti (1999) aktivitas fisik Umur
(tahun)
7-9
Wanita 10-12
mempengaruhi kebutuhan zat gizi, terutama kebutuhan energi. Kebutuhan energi untuk aktivitas sedentari adalah 50% dari kebutuhan energi basal, untuk aktivitas
Tinggi Badan (cm) 120.0 Berat Badan
fk)
25.0sangat berat adalah 80% dan untuk aktivitas ekstrim adalah 90-100%. Kebutuhan Surnber : Hardinsyah dan Tarnbunan (2004) diacu dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VI11,2004 38.0 Angka Kecukupan Energi (kkaUorang1hari) 1800 Angka Kecukupan Protein (gram/orang/hari) 45 145.0 2050 50
energi yang meningkat sejalan dengan beratnya aktivitas memicu konsumsi pangan lebih banyak. Kebutuhan energi menurut Depkes (2002) dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan sumber karbohidrat, protein dan lemak. Kecukupan masukan energi bagi seseorang ditandai oleh berat badan yang normal. Konsumsi energi yang melebihi kecukupan akan disimpan sebagai cadangan di dalam tubuh berbentuk lemak. Apabila keadaan ini berlanjut akan menyebabkan kegemukan disertai berbagai gangguan kesehatan (jantung, diabetes mellitus, tekanan darah tinggi dan lain-lain)
Kebiasaan Makan Anak
Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dalam jangka waktu relatif lama akan menjadi suatu pola hidup (Punvati et al. 2005). Kebiasaan makan menurut Suhardjo (1989) adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi dan sosial budaya. Kebiasaan makan yang berpengaruh terhadap pemilihan makanan, konsumsi energi dan intik zat gizi, umumnya terbentuk pada masa kanak-kanak dan sebagian pada masa remaja. Walaupun mmah dan lingkungan sekolah memegang peranan terbesar dalam pembentukan pola konsumsi, namun terdapat peningkatan tendensi pada anak, terutama remaja, untuk memilih makanannya sendiri di luar mmah dan lingkungan sekolah. Namun tidak selamanya makanan yang dipilih tersebut sesuai dengan kaidah gizi yang seimbang (Kbumaidi 1989).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pola makan meliputi perubahan persediaan makanan, meningkatnya kepercayaan terhadap makanan yang dikonsumsi di luar rumah karena adanya pengamh iklan makanan. Selain itu beberapa keluarga yang kedua orang tuanya bekerja dan waktu yang terbatas menjadi faktor penting dalam menentukan jenis-jenis makanan yang dikonsumsi (St-Onge et 01. 2003). Soelistijani dan Herlianty (2003) menyatakan kebiasaan makan yang tidak baik (kalori tinggi) pada anak-anak tanpa asupan zat gizi yang seimbang, dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan kelebihan berat badan. Jika kondisi ini berlanjut maka dapat menimbulkan kegemukan.
Pola makan dengan frekuensi terlalu sering, disertai adanya gangguan regulasi di pusat hipotalamus sehingga membuat seseorang makan secara
berlebihan dapat berdampak pada terjadinya kegemukan dan obesitas (Misnadiarly 2007). Khomsan (2006) menganjurkan frekuensi makan sebaiknya 3 kali sehari untuk menghindari kekosongan lambung. Lebih lanjut Khomsan menyatakan bahwa kebiasaan minum susu sebaiknya dilakukan sepanjang hayat. Hal ini dikarenakan susu yang kaya kalsium akan membuat tulang kerangka tidak mudah keropos. Retensi kalsium untuk mencegah keropos tulang tidak hanya tejadi pada masa an&-an& dan remaja, tetapi juga pada usia dewasa. Menghindari sarapan dapat memicu terjadinya kegemukan. Hal ini terjadi karena menurut Punvati et al. (2005) umumnya orang mengompensasikan sarapan
dengan makan siang yang berlebih atau memakan makanan kecil yang tinggi lemak dan kalori dalam jumlah yang relatif banyak. Melihat kondisi seperti ini, jika dihitung jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak bila dibandingkan dengan melakukan sarapan.
Kebiasaan jajan dan kebiasaan mengkonsumsi camilan juga dapat mempengaruhi asupan energi, khususnya makanan yang mengandung energi tinggi. Madanijah (1994) diacu dalam Aktaria (2004) bahwa ada tiga alasan mengapa anak suka jajan yaitu tidak sempat sarapan, adanya uang saku dan kebutuhan biologis untuk kegiatan fisik. Jenis makanan jajanan yang dikonsumsi anak sekolah tersebut hampir semuanya merupakan pangan sumber energi (chiki, roti, bakso, siomay, gorengan dan sebagainya). Mengemil merupakan kegiatan makan diluar waktu makan. Bila tidak dikontrol ha1 ini akan menyebabkan kegemukan karena jenis makanan yang dikonsumsi adalah makanan tinggi kalori yang umumnya rasanya gurih, manis dan digoreng (Purwati et al. 2005).
Menurut Hui (1985) diacu dalam Adiningrum (2008) sayuran dan juga buah- buahan dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak. Selain itu, dapat membantu memperlancar pencemaan dan dapat mencegah konstipasi pada anak.
Aktivitas Fisik Anak
Aktivitas fisik menurut Subardja (2004) adaiah setiap gerakan fisik sebagai hasil dari adanya kontraksi ;tot skeletal dan diukur sebagai pengeluaran energi. Gaya hidup yang sedikit menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh
terhadap kondisi tubuh seseorang. Berkurangnya aktivitas fisik dan gaya hidup sedentaris berpengaruh terhadap terjadinya obesitas. Sesuai dengan pernyataan Miller et al. (2004) bahwa telah terjadi perubahan gaya hidup (lifes~le) di seluruh dunia khususnya pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan penurunan aktivitas fisik dan peningkatan konsumsi energi. Lebih lanjut Miller menyatakan bahwa anak-anak lebih banyak menggunakan kendaraan atau alat-alat yang otomatis (lift dan eskalator) dibandingkan dengan menaikki tangga atau berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat lain. Punvati et al. (2005) menambahkan bahwa aktivitas fisik akan membakar energi dari dalam tubuh. Sementara itu kemajuan teknologi banyak menciptakan alat-alat yang mampu menghemat pengeluaran energi dari dalam tubuh seperti mesin cuci, blender, eskalator, lift, mobil, bus dan sebagainya. Selain itu, kesibukan rutinitas kerja yang semakin meningkat menyebabkan seseorang tidak mempunyai waktu untuk berolah raga. Dengan demikian jika asupan energi ke dalam tubuh berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang tinggi, maka tubuh akan mengalami kegemukan.
Anak-anak sekolah memiliki aktivitas yang berbeda pada hari sekolah dengan hari libur. Penelitian yang dilakukan Bahren (2000) menunjukkan bahwa kegiatan di sekolah adalah kegiatan utama anak pada hari sekolah dengan total waktu 300 menit. Alokasi waktu anak sekolah meliputi bagaimana seorang anak sekolah yang tugas utamanya adalah belajar dapat mengatur waktunya antara kegiatan di sekolah, di luar sekolah, kegiatan di rumah dan di luar rumah baik pada hari sekolah dan hari libur. Kegiatan tersebut antara lain tidur, sekolah, belajar, bennain, nonton TV, olah raga dan seni, serta kegiatan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian Aktaria (2004) walaupun anak-anak mengikuti kurikulum olah raga di sekolah, namun mereka lebih tidak aktif setelah pulang sekolah. Kegiatan umum setelah pulang sekolah antara lain tidur, nonton TV, mendengarkan musik, dan main playstation atau komputer. Menurut Proctor et al. (2003), anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton TV dan main komputer daripada berolahraga. Menonton TV menyebabkan obesitas 8 kali lebih besar pada anak-anak yang menonton TV lebih dari 5 jamlhayi dibandingkan dengan yang menonton TV hanya 2 jamlhari atau kurang.
Faktor Genetik
Masih banyak kontroversi sejauh mana sebetulnya peranan faktor genetik (keturunan) dalam terjadinya kegemukan pada individu. Menurut Ebbeling et al. (2002), seseorang sering menghubungkan berat badannya dengan faktor genetik, karena gen dapat mempengaruhi kecenderungan peningkatan berat badan. Akan tetapi pengaruh gen tersebut hanya sedikit, karena tidak hanya genetik saja tapi juga faktor kebiasaan dan lingkungan berperan penting dalam terjadinya obesitas anak. Faktor keturunan telah diketahui mempunyai peranan kuat sebagai parentalfatness, anak yang obesitas biasanya berasal dari keluarga yang obesitas (Meilany 2001). Punvati et al. 2005 menyatakan bahwa anak-anak dari orang tua dengan berat badan normal mempunyai peluang 10% menjadi gemuk. Bila salah satu orang tuanya menderita kegemukan, maka peluang itu akan meningkat menjadi 40-50%. Bila kedua orang tuanya menderita kegemukan, peluang faktor keturunan meningkat menjadi 70-80%.
Pernyataan yang sama dari Khomsan (2004) orang yang menderita kegemukan lebih sering mempunyai orang tua yang gemuk pula. Apabila salah satu orang tua gemuk maka anak-anaknya mempunyai kemungkinan 40% menjadi gemuk. Bila kedua orang tuanya gemuk maka anaknya mempunyai peluang 80% menjadi gemuk. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Whitaker el al. (1997) menemukan bahwa obesitas pada orangtua secara signifikan menyebabkan resiko obesitas pada masa dewasa untuk anak yang obes dan tidak obes, terutama bagi mereka yang usianya di bawah 10 tahun. Peningkatan resiko menjadi obesitas pada satu atau kedua orangtua, mempengaruhi obesitas pada ketumnan mereka karena faktor gen dan juga faktor lingkungan dalam keluarga itu sendiri. Whitaker (2004) juga menyatakan prevaiensi obesitas pada anak usia 2, 3, dan 4 tahun yang mempunyai ibu obes masing-masing 9.5%, 12.5%, dan 14.8%. Resiko obesitas pada anak ini dikaitkan dengan obesitas ibu pada trimester pertama kehamilan.
Selain itu Wirakusumah (1994) menyatakan bahwa apabila ada fsktor keturunan obesitas, maka ada kecendemngan pada seseorang untuk membangufi lemak lebih banyak dari orang lain karena ada sifat metabolisme yang ditumnkan, misalnya ada gen bawaan pada kode untuk enzim Adipose Tissue
Lipoprotein Lipase lebih aktif. Enzim ini berperan dalam menghidrolisis
triasilgliserol lipoprotein dalam jaringan yang akan disintesis menjadi lemak lagi atau dibakar.
Konsumsi Fast food
lstilah fast food pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar
tahun 1950-an dan menjadi pola makan yang dominan diantara anak-anak. Jumlah restoran fast food sampai saat ini diperkirakan ada 247.1 15 unit di seluruh
negara (Bowman et al. 2004). Menurut Bertram (1975) diacu dalam Hayati
(2000), fast food merupakan istilah yang mengandung dua arti berbeda, namun
keduanya sama-sama mengacu pada penghidangan dan konsumsi makanan secara cepat. Kedua arti tersebut adalah sebagai berikut: 1) Fast food dapat diartikan
sebagai makanan yang dapat dihidangkan dan dikonsumsi dalam waktu seminimal mungkin, 2) Fast food juga dapat diartikan sebagai makanan yang
dapat dikonsumsi secara cepat. Pada umumnya restoran-restoran &st food yang
ada di Indonesia menggunakan pola Franchising atau waralaba dan biasanya
menggunakan nama atau merek yang sudah mendunia seperti Mc Donald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut dan sebagainya (Hayati 2000).
Menurut Khomsan (2006), pangan di restoran fast food tersusun dari
berbagai jenis bahan yang sudah dikenal. Sumber karbohidrat utamanya adalah nasi, kentang dan terigu. Sedangkan sumber protein didominasi oleh daging (ayam d m sapi), ikan, telur dan susu. Produk fart food dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu produk fast food yang berasal dari Barat dan lokal. Fast food yang
berasal dari Barat sering disebut fast food moderen seperti fried chicken (ayam
goreng), french fries potatoes (kentang goreng), burger, pizza, hotdog, cheesebtirgers, sandtvich, salad, dan sebagainya. Sedangkan fast food lokal
disebut dengan istilah fast food tradisional seperti warung tegal (Warteg),
restoran Padang, warung sunda, dan sejenisnya. Makanan yang biasa dihidangkan berupa ketoprak, gado-gado, dan sejenisnya (Hayati 2000).
Kehadiran fast food juga didukung oleh manajemen yang handal d m juga
dilakukannya terobosan yang membuat konsumen semakin terpikat. Misalnya, desain interior restoran yang dibuat rapi, menarik dan bersih. Untuk anak-anak
disediakan tempat bermain yang representatif. Pada waktu-waktu tertentu restoran fast food memberikan hadiah mainan anak-anak yang membuat mereka menjadi pelanggan setia (Khomsan 2006). Fasilitas-fasilitas tersebut dapat menarik konsumen khususnya anak-anak untuk lebih sering mengunjungi restoran fast food bersama keluarga maupun teman sebayanya. Meilany (2001) menyatakan bahwa frekuensi makan di luar rumah cenderung meningkat, terutama dilakukan oleh anak-anak usia sekolah. Makanan jajanan yang tersedia dan sering menjadi pilihan para orang tua maupun anak adalah fast food. Bahkan keberadaan fast food dewasa ini bagi masyarakat perkotaan mempunyai daya tarik gaya hidup, di mana orang yang makan di restoran tersebut ingin tampak
wlesternized dan modern. Banyaknya keluarga dengan kedua orang tua bekerja, tejadi peningkatan ketergantungan terhadap makanan cepat saji fist food). Makanan semacam ini cenderung tinggi lemak sehingga merugikan kesehatan, karena temyata adipositas pada manusia berkorelasi positif dengan kandungan lemak makanan dan berkorelasi negatif dengan kandungan karbohidrat dan protein nabati (Subardja 2004)
Menurut Punvati et al. (2005), salah satu penyebab kegemukan adalah kesalahan dalam memilih makanan (makanan cepat saji) hanya karena prestise atau gengsi semata. Makanan cepat saji @st food) tersebut banyak mengandung lemak, kalori, dan gula berlebih. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Misnadiarly (2007) bahwa mengkonsumsi makanan cepat saji dan minuman bersoda memiliki andil dalam peningkatan berat badan. Makanan dan minuman seperti ini biasanya memiiiki kandungan kalori, gula atau garam yang tinggi.
Penelitian-penelitian menemukan adanya kaitan antara riwayat kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi energi dan lemak, dengan meningkatnya kegemukan dan obesitas. Padmiari dan Hadi (2003) melaporkan bahwa semakin banyak jenis fast food (3 4 jenis) yang dikonsumsi, maka semakin tinggi risiko anak untuk menderita obesitas (OR = 9.66). Hal ini berkaitan dengan jumlah energi dari fast food yang dikonsumsi berpengaruh-terhadap tejadinya obesitas. Menurut Ebbeling ef al. (2002) beberapa faktor makanan yang berkaitan dengan obesitas antara lain porsi yang berlebihan, kandungan energi yang tinggi, palatabilitas (kesukaan terhadap rasa lemak, gula dan garam), kandungan lemak
jenuh, tingginya indeks glikemik, dan kandungan serat yang rendah. Meilany (2001), fenomena makanan cepat saji Vast food) menjadi salah satu penyebab utama terjadinya obesitas. Makanan yang cepat saji ini mengandung energi yang sangat tinggi, karena 40%-50%-nya adalah lemak. Padahal kebutuhan tubuh terhadap lemak hanya sekitar 15% saja. Sebagian besar kebutuhan tubuh semestinya adalah karbohidrat yang mencapai 60% dan protein sekitar 20%.
Bowman et al. (2004) menyatakan bahwa anak-anak yang makan fast
food, mengkonsumsi energi rata-rata 187 kkal per hari lebih banyak dibandingkan yang tidak mengkonsumsi fast food. Menurut Pereira et al. (2003) odd rasio menjadi obes periode lebih dari 15 tahun meningkat 86% di antara retnaja kulit putih (tidak termasuk kulit hitam) yang mengunjungi restoran fast
food lebih dari dua kali seminggu. Dibandingkan dengan mereka yang mengunjungi restoran fast food hanya satu kali seminggu. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh French et al. (2001) melaporkan bahwa 75% remaja makan di restoran fast food selama beberapa minggu sebelumnya. Siswa laki-laki dan perempuan yang mengunjungi restoran fast food 2 3 kali dalam seminggu memiliki asupan energi masing-masing sebesar 40% dan 37% lebih tinggi dari siswa yang tidak makan di restoran fast food.
Bowman et al. (2004) melaporkan bahwa anak-anak dan remaja yang mengkonsumsi fast food pada hari tertentu dibandingkan dengan yang tidak akan mengkonsumsi lebih banyak energi, lemak jenuh, garam dan sedikit serat (dietary
Jiber). Hal ini terjadi karena kandungan fast food yang tinggi energi, lemak
jenuh, garam akan tetapi rendah serat. Oleh sebab itu jenis makanan lain yang dikonsumsi oleh konsumen fast food hams dipilih dengan baik untuk mensuplai kebutuhan zat gizi dan serat yang kurang dalam fast food (Hartati 1999).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Fast Food
Aspek Sosiai Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi dalam kaitannya dengan gizi dapat ditinjau dari tingkat pendidikan formal, pengetahuan gizi, pendapatan dan besar keluarga. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin besar (Engel et al. 1994). Selain itu menurut hasil
penelitian Madanijah (2004a), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cendemng mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.
Jenis pekerjaan akan mempengaruhi pendapatan seseorang. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga juga tergantung pada jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga lainnya (Susanti 1999). Tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi energi keluarganya. Perubahan pendapatan secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Orangtua yang mempunyai pendapatan perbulannya cukup tinggi akan mempunyai daya beli yang tinggi, sehingga memberi peluang yang lebih besar untuk membeli makanan berenergi tinggi @st food). Holman (1987) diacu dalam Novitasari (2005) menyatakan bahwa sesuai dengan hukum Bennet semakin meningkat pendapatan seseorang maka konsumsi pangan akan bergeser ke arah konsumsi pangan dengan harga kalori yang lebih mahal, seperti pangan hewani yang kandungan lemaknya lebih tinggi. Madanijah (2004b) juga menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan dengan keluarga dengan tingkat pendapatan rendah.
Penelitian Meilany (2001), subyek penelitiannya sebanyak 51.8% yaitu anak obes berasal dari keluarga dengan tingkat pendapatan menengah ke atas, dengan pendapatan perkapita tingkat tinggi. Hasil penelitian Bowman et al.
lebih banyak, oleh sebab itu kelnampuan untuk membeli fast food yang kandungan energi tinggi lebih besar.
Menurut Sanjur (1982) besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Dikatakan pula bahwa besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga juga mempengaruhi pengeluaran pangan. Suhardjo (1989) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang sangat nyata antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi, khususnya bagi keluarga yang berpenghasilan rendah pemenuban makan akan lebih mudah jika jumlah anggota keluarganya sedikit. Pada taraf ekonomi yang sama, keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.
Umumnya penyelenggaraan makan di rumah tangga sehari-bari dikelola oleh seorang ibu. Dengan demikian tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan erat dengan makanan yang dikonsumsi keluarga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Padmiari dan Hadi (2003) bahwa pengetahuan gizi mempunyai peranan sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Akan tetapi Sanjur (1982) menambahkan bahwa pengaruh pengetahuan gizi terhadap konsumsi makanan tidak selalu linier, artinya semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga, belum tentu konsumsi makanan menjadi baik. Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahun gizi secara tersendiri, tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi.
Informasi Pangan
Informasi sangat menentukan bagi konsumen dalam menjatuhkan pilihan pada produk yang akan dibelinya. Selain itu tinggi rendahnya pemahaman konsumen terhadap suatu produk sangat tergantung pada informasi yang disampaikan oleh produsen. Informasi tersebut dapat berupa keterangan lisan, brosur, pamflet, majalah, iklan radio maupun televisi (Laksono 1997). Selain
pengaruh reaksi indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi makin terpengaruh oleh pendekatan melalui media massa. Radio, TV, pamflet, iklan, dan bentiik media massa lain, beberapa diantaranya kini telah mencapai daerah pedesaan, efektif dalam merubah kebiasaan makan (Harper ei al. 1986).
Menurut Engel et al. (1994) kemampuan iklan untuk menciptakan sikap
memilih suatu produk mungkin sering bergantung pada sikap konsumen terhadap iklan itu sendiri. Iklan yang disukai atau dievaluasi secara menguntungkan dapat menghasilkan sikap yang lebih positif terhadap produk. Iklan yang tidak disukai mungkin menurunkan evaluasi produk oleh konsumen. Sumber informasi yang berkenaan dengan makanan dapat berupa iklan, promosi, pengalaman masa lalu maupun pengaruh orang-orang terkemuka serta lingkungan sosial terdekat yang dijumpai.
Dari berbagai sumber informasi yang ada pada saat ini, iklan yang terdapat pada media televisi merupakan sumber informasi yang cukup efektif dalam menyampaikan informasi tentang produk makanan. Seperti yang diungkapkan oleh The Henry J. Kaiser Family Foundation (2004) menonton
televisi secara signifikan berkaitan dengan asupan energi anak-anak, karena adanya permintaan mereka mempengaruhi pembelanjaan orang tua terhadap makanan yang diiklankan di televisi. Hasil penelitian Nikmah (2007) terhadap restoran McDonald's menyatakan bahwa promosi yang dilakukan oleh McDonald's bertujuan untuk mengkomunikasikan informasi dari produsen ke konsumen sehingga menarik minat konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Selain itu promosi juga berfungsi menciptakan kesadaran konsumen akan merek McD, meningkatkan citra merek McD dan meningkatkan nilai penjualan produk serta mengembangkan pangsa pasar. Kegiatan promosi tersebut diantaranya adalah beriklan baik di media cetak maupun elektronik, billboard,
spanduk, brosur, leajet dan banner. Selain televisi lingkungan sekolah juga
dapat dijadikan sebagai sumber informasi pangan, dengan menyediakan menu kantin maupun katering makan siang dengan menu fast food. Selain iklan yang
terdapat dalam media cetak maupun elektronik, teman dan keluarga juga merupakan sumber informasi penting tentang produk makanan baru, karena
seseorang cenderung lebih mudah menerima informasi pangan dari orang-orang terdekat khususnya keluarga.
Kesukaan
Manusia menerima jenis pangan yang dapat dimakan dan menolak pangan yang tidak dapat dimakan. Di antara jenis pangan yang dapat dimakan akan terbentuk kesukaan atas dasar reaksi panca indera dan karakteristik budaya. Reaksi panca indera yang meliputi faktor psiko-fisikal, kognitif, dan afektif akan membentuk perbedaan rasa dan pemilihan terhadap pangan. Karakteristik budaya yang mencakup faktor simbolik, sosial dan ekonomi akan berinteraksi dengan panca indera dan preferensi akan membentuk pola makan dan mempengaruhi pemilihan pangan (Berg 1986).
Kesukaan terhadap makanan diperoleh dari pengalaman di lingkungan keluarga sejak masih kecil yang dilanjutkan sampai tumbuh dewasa. Makanan yang disukai anggota keluarga biasanya akan disukainya dan yang tidak disukai anggota keluarganya mungkin tidak disukainya juga. Pengalaman yang menjadi dasar terbentuknya pemilihan terhadap makanan meliputi tekstur, bau, rupa dan rasa terhadap suatu makanan (Sanjur 1982). Apakah suatu makanan dianggap memenuhi selera atau tidak tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial budaya tetapi juga dari sifat fisiknya. Reaksi indera rasa terhadap makanan sangat berbeda dari orang ke orang. Penampilan yang meliputi wama dan bentuk juga mempengaruhi sikap terhadap pangan (Harper et al. 1986). Setiap masyarakat
mempunyai aturan-aturan, rasa suka dan tidak suka serta mengalami perubahan sehingga membatasi konsumsi terhadap jenis-jenis makanan. Televisi juga menyajikan iklan produk makanan yang dapat mempengaruhi kesukaan maupun pilihan makanan seorang anak.