• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Needs)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Needs)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO

(Andrographis paniculata Needs)

Bagem Br. Sembiring

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

ABSTRAK

Teknologi pasca panen sambiloto belum tersedia di tingkat petani maupun industri skala menengah. Teknologi pasca panen memiliki peranan penting dalam menentukan mutu setelah panen maupun dalam pengolahan. Selain mutu teknologi pasca panen juga dapat memberikan nilai tambah dari tanaman sam-biloto. Kegiatan pasca panen terdiri dari penanganan bahan mentah (segar) dan pengolahan menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi. Sambiloto mengandung zat pahit yang disebut dengan zat andrographolid. Tanaman sambiloto memiliki segudang manfaat baik untuk kesehatan manusia maupun ternak. Sambiloto dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, teh, serbuk, kapsul, infuse dan eks-trak. Panen sambiloto yang optimal adalah pada umur 3-4 bulan setelah tanaman. Setelah dipanen dikeringkan menggunakan sinar mata-hari yang dikombinasikan dengan alat. Setelah kering simplisia digiling sehingga dihasilkan serbuk ukuran 60 mesh. Kemudian untuk pengolahan (ekstraksi), teknologi yang diguna-kan adalah ukuran bahan 60 mesh, jenis pelarut etanol 70%, perbandingan bahan dengan pelarut 1:10 dan lama ekstraksi 6 jam dan menghasil-kan kadar andrographolid sebesar 6,86%. Selain teknik ekstraksi, faktor penyimpanan juga mempengaruhi mutu simplisia, ekstrak maupun produk dari ekstrak.

PENDAHULUAN

Peranan teknologi pasca panen akan terus meningkat dan sangat di-butuhkan untuk meningkatkan mutu produk sesuai dengan standar dalam mendukung perkembangan pertanian khususnya dibidang komoditas

ta-naman obat. Selain untuk meningkat-kan mutu, teknologi pasca panen perlu dikembangkan karena dapat memberi-kan nilai tambah dari tanaman obat, juga dapat memperluas lapangan kerja sekaligus membentuk sistem agro-industri.

Kegiatan pasca panen mencakup dua hal yaitu penanganan (handling) bahan mentah dan pengolahan

(pro-cessing) bahan mentah menjadi bahan

setengah jadi dan bahan jadi. Kendala yang sering dihadapi baik ditingkat petani maupun industri adalah tekno-logi pasca panen sambiloto yang stan-dar belum tersedia sehingga mutu pro-duk hasil olahan yang dihasilkan belum memenuhi standar.

Perkembangan pemanfaatan ta-naman obat di Indonesia telah ber-kembang dengan pesat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional dan fitofarmaka. Meski demikian masih banyak faktor yang ha-rus disempurnakan, seperti masalah pe-nanganan bahan baku, masalah produk dan manajemen. Masalah bahan baku dan produk berhubungan dengan tek-nologi pasca panen. Menurut Utoro (1992), industri obat tradisional masih memiliki kendala yang tidak mudah untuk diatasi, antara lain masalah pro-duksi, masalah manajemen termasuk distribusi dan masalah bahan baku.

(2)

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada petani maupun skala industri mengenai teknik penanganan pasca panen dan pengolahan sambiloto yang baik. Dengan teknik penanganan yang baik diharapkan dapat menghindari ke-hilangan hasil panen, baik dalam jum-lah maupun mutu serta menghasilkan produk sambiloto yang bermutu serta memiliki nilai tambah. Dengan demi-kian perlu kiranya dilakukan suatu sosialisasi teknologi/pelatihan mulai dari penanganan bahan sampai diolah menjadi suatu produk baik dalam ben-tuk simplisia maupun ekstrak yang ter-standar.

Sambiloto (Andrographis

pani-culata Needs) merupakan salah satu

komoditas tanaman obat yang memiliki segudang manfaat baik untuk kese-hatan manusia maupun ternak. Sambi-loto merupakan salah satu tanaman obat yang diperioritaskan oleh Badan POM untuk dikembangkan. Sambiloto mengandung zat pahit yang disebut dengan zat andrographolid (C20H30O5).

Kegunaan dari tanaman tersebut antara lain meningkatkan ketahanan tubuh ter-hadap infeksi kuman, anti diare, mala-ria, gatal-gatal, diabetes, anti bakteri, kolesterol, tekanan darah tinggi, bron-chitis dan lain-lain (Rusli et al., 2004). Menurut Nugroho dan Nafrialdi (2001), ekstrak sambiloto pada dosis 160 mg/100 g berat badan dapat menu-runkan kadar kolesterol total, triglise-rida. Sambiloto aman untuk dikonsum-si selama tiga bulan berturut-turut tidak menimbulkan efek toksik. Hal ini ber-dasarkan hasil uji toksisitas akut,

sub-kronis dan mutagenik. Pemanfaatan ta-naman sambiloto sebagai obat dapat digunakan baik dalam bentuk segar, simplisia, teh, kapsul, serbuk, infus dan kapsul ekstrak (Winarno, 2003).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU SIMPLISIA DAN EKSTRAK

SAMBILOTO

Mutu simplisia dipengaruhi oleh karakter genetik (varietas) dan ekologi (budidaya, kondisi lahan, ekofisiologi serta penanganan pasca panen) (Gupta 1991 dan Vijesekera, 1991). Setiap ta-naman menghendaki kondisi lingkung-an tumbuh tertentu agar dapat ber-produksi dengan baik. Selain dan ling-kungan tumbuh, produksi juga ditentu-kan oleh cara budidaya tanaman. Apa-bila cara budidaya kurang tepat, maka hasil produksi kurang optimal baik dari segi mutu atau kuantitasnya. Diharap-kan cara budidaya mengikuti (GAP/ Good Agricultural Practices). Menurut Emmyzar et al. (1996) mutu simplisia sambiloto tertinggi diperoleh pada pe-mupukan dengan dosis 100 jg urea + 100 kg TSP + 50 kg KCl per hektar dengan jarak tanam 40 x 20 cm.

Pengaruh ekosistem dominan pa-da tanaman sambiloto. Kualitas pa-dan kuantitas komponen aktif sambiloto dipengaruhi oleh faktor ekosistem yaitu kandungan air dalam media tumbuh (Naiola et al. 1996), ketingian tempat, kualitas cahaya dan temperatur (Vanhaelen et al. 1991). Oleh karena itu faktor ekofisiologi harus optimal supaya supaya menghasilkan simplisia yang berkualitas (Gupta, 1991 dan

(3)

Vanhaelen et al. 1991), sehingga sin-tetis metabolit sekundernya dapat me-ningkat. Menurut Januwati dan Yusron (2004) tanaman sambiloto dapat dibu-didayakan didaerah basah (Bogor) pada lahan tanpa naungan sampai naungan sedang (0-30%). Diatas naungan 30%, produksi akan menurun sekitar 50%. Sedangkan untuk kandungan air dalam media, untuk menghasilkan mutu sim-plisia tinggi maka pemberian air per-tanaman yang optimal adalah 4 mm/ hari. Dari hasil tersebut dihasilkan pro-duksi simplisia sebanyak 6,39 g/tan atau 357,84 kg/ha (Januwati et al., 2005).

Panen merupakan salah satu ta-hapan dalam proses budidaya tanaman obat. Waktu dan cara panen merupakan periode kritis sehingga sangat menentu-kan kualitas dan kuantitas hasil panen. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang berbeda. Pema-nenan tanaman sambiloto dapat dila-kukan pada umur 3-4 bulan setelah tanam dengan cara dipangkas dengan menggunakan gunting stek. Pada saat itu tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan ba-han aktifnya yang tinggi.

Selain waktu panen, waktu pengangkutan juga harus diperhatikan, diusahakan bahan hasil panen tidak terkena panas yang berlebihan. Jika terkena panas maka kemungkinan ba-han mengalami fermentasi dan hal ini dapat menyebabkan bahan busuk se-hingga mutu simplisia kurang baik.

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh mutu simplisia, peralatan yang

digu-nakan serta prosedur ekstraksi (ukuran bahan, jenis pelarut, konsentrasi pe-larut, nisbah bahan dengan pepe-larut, suhu, lama ekstraksi, pengisatan, pe-murnian dan pengeringan ekstrak (Vijesekera, 1991).

Ukuran partikel bahan yang di-gunakan dalam ekstraksi berpengaruh terhadap bahan aktif ekstrak. Penge-cilan ukuran bahan bertujuan untuk memperbesar luas permukaan pori-pori simplisia, sehingga kontak antra parti-kel simplisia dengan pelarut semakin besar. Jaringan simplisia dapat mempe-ngaruhi efektifitas ekstraksi. Simplisia yang memiliki jaringan yang longgar akan lebih mudah diekstraksi diban-dingkan dengan bahan yang memiliki jaringan yang kompak. Menurut Sumaryono (1996), simplisia yang me-miliki jaringan yang kompak sebelum diekstraksi perlu dibasahi atau dikem-bangkan terlebih dahulu. Untuk sambi-loto, menurut Sembiring et al. (2005), ukuran simplisia sambiloto untuk eks-traksi yang optimal adalah ukuran 60 mesh.

Pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Jenis pelarut yang digunakan harus me-miliki daya larut yang tinggi dan tidak berbahaya atau beracun. Menurut Depkes (1986), pelarut yang dipilih harus menguntungkan artinya dalam jumlah sedikit sudah dapat melarutkan zat aktif suatu bahan. Selain itu waktu untuk menguapkan pelarut lebih sing-kat sehingga kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas dapat dikurangi. Jenis pelarut yang digunakan menurut Kirk dan Othmer (1957) adalah murah dan

(4)

selektif terhadap bahan aktif yang diinginkan. Menurut Sembiring et al., (2005) jenis pelarut yang optimal untuk mengekstrak sambiloto adalah etanol 70%.

Jumlah bahan dan jumlah pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat mempengaruhi rendemen ekstrak yang dihasilkan. Semakin tinggi jumlah pelarut yang digunakan, maka kemam-puan pelarut untuk mengekstrak suatu bahan semakin tinggi karena kontak antara bahan dengan pelarut semakin besar. Menurut Suryandari (1891), se-makin besar volume pelarut yang digu-nakan maka jumlah oleoresin yang ter-ekstraksi semakin banyak dan akan bertambah terus sampai larutan jenuh. Perbandingan antara bahan dengan pe-larut untuk ekstraksi sambiloto adalah 1:10 (Sembiring et al., 2005).

Lama ekstraksi berpengaruh ter-hadap mutu ekstrak. Semakin lama waktu ekstraksi, maka kesempatan ba-han bersentuba-han dengan pelarut sema-kin lama hingga larutan mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981). Untuk men-dapatkan residu kadar bahan aktif di-bawah satu persen, maka dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih lama (Bernardini,1983). Untuk simplisia sambiloto lama ekstraksi untuk meng-hasilkan rendemen dan kadar bahan aktif optimal adalah 6 jam (Sembiring et al, 2005).

Sisa pelarut dipengaruhi oleh kondisi pemisahan dan penguapan pe-larut dalam alat vacuum rotary dan oven vacuum pump. Sisa pelarut dalam ekstrak dapat mempengaruhi kualitas produk. Menurut FDA (Food and Drug

Association), batasan sisa pelarut dalam ekstrak adalah sebesar 1,046%. Penguapan sisa pelarut dalam ekstrak dilakukan sampai bobot tetap. Menurut Ma’mun et al. (2005), sisa pelarut yang terdapat dalam ekstrak sambiloto ada-lah sebesar 5,59%.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN

SAMBILOTO Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilang-kan air dari suatu bahan dengan meng-gunakan energi panas (Buckle et al., 1987). Tujuan dari pengeringan yaitu untuk memperoleh bahan dengan masa simpan panjang. Menurut Henderson dan Pery (1976) pengeringan dapat memberikan beberapa keuntungan an-tara lain, memperpanjang masa simpan dan mengurangi penurunan mutu sebe-lum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam proses pengangkutan, menim-bulkan aroma khas pada bahan tertentu dan mutu hasil lebih baik serta me-miliki nilai ekonomi lebih tinggi.

Sambiloto yang baru dipanen langsung disortir, kemudian dicuci sampai bersih dengan menggunakan air bersih. Pencucian dilakukan secara ber-ulang-ulang sampai bahan benar-benar bersih. Selanjutnya bahan ditiriskan ke-mudian siap untuk dikeringkan/dije-mur. Penjemuran sambiloto dapat dila-kukan dengan menggunakan sinar ma-tahari, oven, fresh dryer maupun kom-binasi matahari dengan alat/blower. Menurut Rusli et al. (2004), pengering-an kombinasi pengering-antara matahari dengpengering-an

(5)

alat blower menghasilkan mutu sim-plisia yang lebih baik dibandingkan dengan jenis pengering matahari dan alat blower. Hal ini dilihat dari kadar sari air dan kadar sari alkohol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan alat pengering yang lain, seperti pada Tabel 1.

Pada waktu pengeringan yang perlu diperhatikan adalah suhu dan kadar air bahan, karena pengeringan dengan menggunakan panas yang ber-lebihan dapat merusak mutu produk yang dihasilkan. Mutu yang dimaksud adalah warna, tekstur, flavor dan kara-kteristik mutu produk. Suhu penge-ringan untuk tanaman sambiloto maksi-mum 50˚C dan kadar air simplisianya maksimal 10%. Mutu simplisia meru-pakan salah satu faktor penentu utama untuk mendapatkan ekstrak sambiloto yang berkualitas. Ciri-ciri simplisia yang baik adalah warna tidak jauh beda dengan warna sebelum dikeringkan, yaitu warna hijau sesuai dengan warna aslinya.

Penggilingan

Penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan sehingga mempermudah dalam pengemasan dan lebih praktis dalam penggunaan. Peng-gilingan/penepungan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggiling/ penepung, seperti alat hummer mills. Dalam penggilingan, ukuran bahan harus disesuaikan dengan keperluan penggunaan, misalnya jika pengguna-annya dengan cara diseduh atau digo-dok ukurannya cukup (20-40 mesh) ka-rena sebelum dikonsumsi disaring ter-lebih dahulu. Tetapi jika ingin dibuat produk kapsul, maka ukuran serbuknya harus halus yaitu 80-100 mesh supaya jika dikonsumsi dapat larut semua da-lam tubuh. Selanjutnya untuk keper-luan ekstraksi, menurut Sembiring, et

al. (2005) ukuran serbuk sambiloto

yang baik untuk ekstraksi adalah 60 mesh (Tabel 2). Menurut Purseglove (1981), besar ukuran bahan yang dipa-kai untuk keperluan ekstraksi adalah 50 mesh dan yang terhalus adalah ukuran 60 mesh.

Tabel 1. Karakteristik mutu simplisia sambiloto dari beberapa jenis pengering Parameter Jenis Pengering

Matahari Matahari/Blower Blower Kadar air (%) 10,35 10,40 8,70 Kadar abu (%) 8,25 7,93 7,68 Kadar abu tak larut

asam (%)

0,04 0,06 0,07 Kadar sari air (%) 21,40 26,83 20,46 Kadar sari alkohol (%) 12,39 14,42 11,55

(6)

Pengolahan sambiloto

Pengolahan sambiloto bertujuan untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah dari produk serta memper-mudah dalam pemakaian. Sambiloto dalam penggunaannya dapat berbentuk segar, simplisia, serbuk, ekstrak baik ekstrak kental maupun ekstrak kering dan dalam bentuk kapsul ataupun tablet.

Ekstrak kental/oleoresin

Ekstrak merupakan hasil peng-olahan lanjutan dari serbuk sambiloto, dimana serbuk dicampur dengan pela-rut kemudian diaduk beberapa jam lalu didiamkan semalam besoknya baru disaring. Hasil dari penyaringan diper-oleh filtrat/sari yang selanjutnya diuap-kan dengan menggunadiuap-kan alat rota-vapor atau menggunakan wadah yang permukaannya luas sehingga pelarut cepat menguap. Setelah pelarut meng-uap, maka yang tertinggal adalah sari sambiloto yang berbentuk pasta dan sering disebut dengan nama ekstrak kental/oleoresin.

Pemakaian sambiloto dalam ben-tuk ekstrak akan lebih praktis pema-kaiannya sebagai obat fitofarmaka dan dosisnya lebih akurat. Menurut Sembiring et al. (2005), untuk men-dapatkan ekstrak yang bermutu, perlu dirperhatikan teknik ekstraksinya. Un-tuk sambiloto teknik ekstraksi yang optimal yaitu menggunakan serbuk sambiloto berukuran 60 mesh, jenis pelarut etanol 70%, perbandingan ba-han dengan pelarut 1:10 dan lama eks-traksi 6 jam. Dari perlakuan tersebut dihasilkan kadar andrograpolid ekstrak sebesar 6,86% (Gambar 1). Selain fak-tor teknik ekstraksi, mutu ekstrak juga dipengaruhi oleh faktor biologis, kimia-wi, faktor internal, seperti senyawa aktif, komposisi kualitatif dan kuan-titatif senyawa aktif (Sinambela, 2003). Tabel 2. Karakteristik mutu serbuk sambiloto

Parameter Ukuran serbuk * Standar MMI 40 mesh 60 mesh

Kadar sari air (%) 31,20 38,00 Min 18,00 Kadar sari alkohol (%) 16,12 19,81 Min 9,70 Kadar abu (%) 0,58 0,39 Maks 12,00

Sumber :*Materia Medika Indonesia (1979) Sembiring et al. (2005)

(7)

Sambiloto

(Campuran batang dan daun) Penjemuran

Simplisia Penggilingan

Pengayakan 80 mesh Pengayakan 60 mesh Serbuk Ekstraksi Penimbangan Penguapan Analisis mutu Ekstraksi kental Formulasi Pengeringan Pengapsulan Ekstraksi kering

Penggilingan Formulasi

Pengkapsulan Gambar 1. Diagram alir pembuatan ekstrak sambiloto

(8)

Ekstrak kering

Ekstrak kering merupakan hasil pengolahan lanjutan dari ekstrak kental/ oleoresin. Pembuatan ekstrak kering dapat dilakukan dengan cara menge-ringkan ekstrak kental. Pengeringan da-pat dilakukan baik menggunakan sinar matahari, oven, frezee dryer maupun spray dryer. Menurut Sembiring et al. (2005), pengeringan ekstrak sambiloto dengan menggunakan sinar matahari memakan waktu yang lama dan hasil-nya kurang higienis. Selanjuthasil-nya pe-ngeringan menggunakan oven, freeze dryer dan spray dryer menghasilkan ekstrak kering yang lebih higienis. Dari semua jenis pengering yang lebih higie-nis adalah alat frezee drayer dan eks-trak yang dihasilkan lebih baik mutu-nya. Tetapi alat pengering tersebut memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama untuk mengeringkan ekstrak yaitu minimal 15 jam karena alat tersebut suhunya rendah sekali yaitu -67o C.

Untuk menghasilkan ekstrak ke-ring bermutu, dalam pembuatan ekstrak kering perlu ditambahkan bahan peng-isi yang bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan dan tekstur serbuk yang dihasilkan lebih baik dan lebih kering. Pengeringan ekstrak kental tan-pa penambahan bahan pengisi datan-pat dilakukan dengan menggunakan alat pengering frezee dryer tetapi hasilnya cepat higroskopis. Penambahan bahan pengisi (amilum) kedalam ekstrak ken-tal lebih kurang 30-50%. Penambahan amilum pada konsentrasi tersebut dapat mempersingkat waktu pengeringan ya-itu 2-3 hari pada suhu 40-50o C. Dari

semua jenis pengering yang lebih aman terhadap resiko terjadinya degradasi senyawa dalam ekstrak yang relatif ter-molabil adalah alat pengering frezee dryer (pengering beku) (Sumaryono, 1996).

Ekstrak sambiloto yang sudah kering digiling kemudian diayak se-hingga diperoleh serbuk ekstrak yang seragam ukurannya. Selanjutnya ser-buk yang sudah diayak siap untuk disimpan atau diolah lebih lanjut baik untuk produk kapsul maupun tablet ataupun dicampur dengan bahan lain.

Gambar 3. Alat pengering ekstrak sambiloto (frezee dryer)

Gambar 3. Serbuk ekstrak kering sambiloto

Penyimpanan

Simplisia atau serbuk yang diha-silkan sebelum diolah lebih lanjut dapat disimpan untuk sewaktu-waktu diperlu-kan. Permasalahan yang perlu

(9)

men-dapat perhatian adalah adanya kemung-kinan perubahan kimiawi selama penyimpanan. Penyimpanan bahan yang telah diolah baik dalam bentuk simplisia maupun serbuk, sering ter-kontaminasi baik oleh bakteri maupun kapang sehingga terjadi penurunan be-rat, mutu bahkan dapat menghasilkan toksin (beracun). Untuk mengatasi masalah tersebut sebelum penyimpan-an perlu dilakukpenyimpan-an pengawetpenyimpan-an terha-dap bahan yang disimpan.

Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan bahan tanpa merubah mutu produk. Berbagai cara untuk mengawetkan produk ma-kanan salah satunya adalah menggu-nakan bahan kimia. Tetapi cara ini me-miliki kelemahan yaitu dapat mening-galkan toksik pada produk, juga diper-lukan karantina dalam waktu yang lama untuk menurunkan toksiknya baru boleh dikonsumsi. Selanjutnya melalui pemanasan pada suhu tinggi, ini dapat merusak zat aktif yang terkandung di dalam produk karena sebagian zat yang terkandung dalam produk sensitif ter-hadap panas, sehingga dapat menurun-kan mutu. Cara yang lain adalah me-lalui iradiasi dan ini merupakan jenis pengawetan yang baik untuk saat ini. Teknologi ini telah banyak diaplikasi-kan untuk pengawetan produk madiaplikasi-kan- makan-an, kosmetik, obat maupun alat-alat kedokteran yang membutuhkan sterili-sasi tinggi. Proses iradiasi merupakan proses fisika sederhana hanya melewat-kan sinar gamma yang dihasilmelewat-kan oleh Cobalt 60 atau Cesium 137. Sinar gam-ma dikatakan memiliki kegam-mampuan mereduksi mikroba karena dapat

me-nyerang molekul Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) sehingga pembelahan molekul akan dihambat dan akibatnya sel tidak dapat berkembang biak.

Menurut Ma’mun et al. (2005), penyimpanan ekstrak sambiloto baik dalam bentuk ekstrak kental/oleoresin maupun kering tahan disimpan sampai penyimpanan umur 6 bulan tanpa me-rubah mutu dari ekstrak. Menurut Amin (1993) dalam Subandrio dan Danur (1996), membuktikan bahwa iradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 3 kGy, 5 kGy dan 7 kGy tidak berpengaruh terhadap kestabilan struk-tur kurkuminoid serbuk utuh, serbuk tanpa minyak atsiri dan oleoresin temu-lawak.

ARAH DAN STRATEGI PENELITIAN

Untuk kedepannya teknologi pasca panen sambiloto lebih ditingkat-kan lagi sehingga dihasilditingkat-kan simplisia dan ekstrak sambiloto yang terstandar untuk dijadikan sebagai bahan baku fitofarmaka. Untuk menghasilkan mutu produk yang berkualitas berawal dari ekosistem yang baik, teknik budidaya yang baik serta teknik pasca panen yang baik. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, sehingga untuk kedepannya perlu dibuat suatu SOP (standar opera-sional penelitian).

Untuk memantapkan arah pe-ngembangan pasca panen sambiloto perlu dilakukan suatu penelitian kerja-sama dengan pemerintah maupun non pemerintah. Seperti sektor pertanian, perguruan tinggi, perdagangan,

(10)

perin-dustrian, kesehatan, pengusaha, industri pengolahan dan perdagangan.

KESIMPULAN

Teknologi pasca panen sambi-loto ditingkat petani maupun industri skala menengah belum tersedia. Tekno-logi pasca panen berpengaruh terhadap mutu bahan segar, simplisia dan eks-trak sambiloto. Dengan teknologi yang baik dihasilkan simplisia dan ekstrak sambiloto terstandar untuk digunakan sebagai bahan baku fitofarmaka. Sam-biloto dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, serbuk, ekstrak kental atau oleoresin maupun dalam bentuk ekstrak kering. Selain teknik pasca pa-nen, faktor penyimpanan ekstrak juga berpengaruh terhadap mutu produk selama penyimpanan.

DAFTAR PUSTAKA

Bernardini, E., 1983. oil Seed, Oil and Fats. Vol. I. Raw Materials and Extraction Techniques. Publishing House, rome.

Bombardelli, E., 1991. Technologies for processing of Medicinal Plants. In the Medicinal Plant Industry. CRC. Press. Florida USA.

Buckle, K.A, RA. Edwards, G., Fleet dan M. Wooton, 1987. Ilmu Pa-ngan, terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Depkes RI., 1986. Sediaan Galenik. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

Emmyzar, R. Suryadi, M. Iskandar dan Ngadimin, 1996. Pengaruh dosisi pupuk NPK dan umur panen ter-hadap pertumbuhan dan produksi terna tanaman sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol. III. hal. 31-32.

Gupta, R., 1991. Agrotechnology of Medicinal Plants. In the Medicinal Plant Industry. CRC press. Florida, USA. P:43-57.

Henderson, S.M. dan Perry, R.L., 1976. Agricultural Process Engineering. The AVI Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.

Hilmy, N. Dan Suryaputra, 1980. Ra-diopasteurisasi Jamu. Proc. Diskusi Panel Penggunaan Radiasi untuk Menyucihamakan Alat Kedokter-an, Sediaan Farmasi dan Kosmeti-ka, BATAN. Jakarta. hal. 1-7. Kirk, R.E. dan D.F. Othmer, 1951.

Encyclopedia of Chemical of Tech-nology. The Interscience encyclo-pedia. Inc., New York.

Ma’mun, Bagem S., Feri Manoi, Shinta Suhirman, Tritianingsih dan Abdul Gani, 2005. Perbaikan metode eks-traksi dan penyimpanan ekstrak ter-standar sambiloto. Laporan Teknis Penelitian. Balittro. Buku 2. hal. 91-109.

Materia Medika Indonesia, 1979. Jilid III. Departemen Kesehatan Repub-lik Indonesia. hal. 21-25.

M. Januwati, E. Rini Pribadi, M. Yusron dan Nur Maslahah, 2005. Pengaruh tingkat kebutuhan air

(11)

ter-hadap mutu dan produksi sam-biloto. Laporan Teknis Penelitian Balittro. Buku 2. hal. 25-37.

M. Januwati dan Yusron, 2004. Pro-duksi dan mutu sambiloto

(Andro-graphis paniculata ness) pada

be-berapa tingkat naungan. Makalah pada seminar Nasional tumbuhan Obat Indonesia XXVI, tanggal 7-8 September 2004 di Padang. 7 hal. Nugroho, Y.A. dan Nafrialdi, 2001.

Sambiloto tumbuhan obat Indone-sia penurun kadar lipid darah. Pro-siding seminar Nasional XIX. Tumbuhan Obat Indonesia. POK-JANAS TOI. hal. 353-358.

Naiola, B.P.T. Murtiningsih dan Chairil, 1996. Pengaruh stress air terhadap kualitas dan kuantitas komponen aktif pada sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. III. hal. 15-17.

Purseglove, J.W., 1981. spices. Vol. II, Longman Inc. New york.

Rusli, S., Ma’mun, Sintha Suhirman dan Bagem Br Sembiring, 2004. Standarisasi simplisia dan pem-buatan ekstrak pekat terstandar sambiloto (Andrographis

panicu-lata Need). Laporan Teknis. hal.

1-9.

Sembiring, B., Fery Manoi dan M. Januwati, 2005. Pengaruh nisbah bahan dengan pelarut dan lama ekstraksi terhadap mutu ekstrak sambiloto (Andrographis

panicu-lata Nees). Prosiding Seminar

Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. XXVIII. Sinambela, J.M., 2003. Standardisasi

Sediaan Obat Herba. Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXIII. Universitas Pancasila, 25-26 Maret. Jakarta.

Subandrio, T. Dan I.A. Irastina Danur, 1996. Iradiasi pangan dan aplika-sinya pada jamu dan tumbuhan obat. Warta Tumbuhan Obat Indo-nesia. Penerbit Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indo-nesia. Vol. 3 No. 1. hal. 4-6. Sumaryono, W., 1996. Teknologi

pem-buatan sediaan fitofarmaka skala industri. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Kelompok Kerja Nasio-nal Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta. Vol. 3 No. 1. hal. 6-9. Suryandari, S., 1981. Pengambilan

oleoresin jahe dengan cara solvent extraction, BBIHP, Bogor.

Utoro, H., 1992. Prospek dan pengem-bangan jamu di Indonesia. Skripsi pada Jurusan Ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian. Fakultas Per-tanian. IPB. Bogor.

Vijesekera, R.O.B., 1991. Plant derived medicines and their role in global health. In the medicinal plant industry. CRC press. Florida, USA. p. 1-18.

Winarto, W.P., 2003. Sambiloto, Budi-daya dan Pemanfaatan untuk Obat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Gambar

Gambar 2. Ekstrak kental/oleoresin sambiloto

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dan desain sistem penentuan prospektif pada agroindustri kelapa memiliki empat sequence chart sesuai dengan case yang terdapat dalam use case yaitu perencanaan

disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang dilakukan oleh individu yang dinyatakan sebagai perasaan mampu, berhasil dan berharga, memperoleh kepuasan terhadap

Orang tua akan marah jika anak melakukan sesuatu tidak sesuai dengan yang diinginkannya, hal ini juga dapat dilihat pada pertanyaan yang diberikan kepada orang

Penelitian ini menggunakan model DEA CCR primal input- oriented, dimana model ini bertujuan untuk mengurangi jumlah input yang digunakan agar dapat mendapatkan hasil

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi bakteri endofit dalam mengendalikan nematoda parasit Meloidogyne incognita penyebab penyakit kuning pada tanaman

Dapat terlihat juga pada Gambar 4, individu yang ditemukan pada stratifikasi 4-6 mil (G-6) cenderung memiliki ukuran lebar karapas yang relatif lebih lebar

Akibat hukum yang ditimbulkan dari persamaan ini adalah pembeli boleh memilih antara mengembalikan barang dan meminta kembali harga pembelian atau tetap memiliki barang tersebut