• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relationship Context Among Young Adulthood

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Relationship Context Among Young Adulthood"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan  Peran  Jender  Dengan  Emosi  Malu  dan  Besalah  Dalam  Konteks  Hubungan   Romantis  Pada  Kelompok  Dewasa  Muda

Correlations Between Gender Role With Shame and Guilt in Romantic

Relationship Context Among Young Adulthood

Okky Dwiana

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian   ini   dilakukan   untuk   melihat   korelasi   antara   peran   gender   yang   dimiliki   oleh   seorang  individu  dengan  emosi  malu  dan  bersalah  dala  konteks  hubungan  romantis  pada   kelompok   dewasa   muda.   Instrumen   yang   digunakan   untuk   mengukur   kedua   variabel   adalah   Test   of   Self   -­‐Consciousness   Affect   3   (TOSCA-­‐3)   untuk   mengukur   emosi   malu   dan   bersalah  serta  Bem  Sex  Role  Inventory  (BSRI)  untuk  mengklasifikasikan  peran  gender  yang   dimiliki   oleh   individu.   Partisipan   yang   digunakan   dalam   penelitian   ini   untuk   mewakili   kelompok  populasi  dewasa  muda  adalah  220  mahasiswa  Universitas  Indonesia  yang  terdiri   dari  128  laki-­‐laki  dan  98  perempuan.  Hasil  dari  penelitian  ini  membuktikan  adanya  korelasi   antara  peran  gender  dengan  emosi  malu  dan  bersalah  dalam  konteks  hubungan  romantis.   Lebih  lanjut,  pada  perbandigan  nilai  rata-­‐rata  skor  TOSCA  tiap  kelompok  ditemukan  bahwa   hanya  kelompok  peran  gender  feminine  dan  kelompok  peran  gender  maskulin  saja  lah  yang   memiliki  perbedaan  yang  signikan  diantara  perbandingan  empat  kelompok  peran  gender. Kata  kunci:  emosi  malu,  emosi  bersalah,  peran  gender,  hubungan  romantis

ABSTRACT

This  study  was  conducted  to  see  the  correlation  between  gender  role  and  shame  and  guilt  in   romantic  relationship  among  Indonesian  young  adulthood.  Instruments  that  used  in  this  study   are  Test  of  Self  Consciousness  Affect  3  (TOSCA-­‐3)  for  assessing  shame  and  guilt  variable  and   Bem   Sex   Role   Inventory   (BSRI)   for   classifying   participant’s   gender   roles.   220   University   of   Indonesia  collages  which  involve  98  female  collages  and  121  male  collages  have  been  used  as   samples  in  this  study  to  represent  young  adulthood  population.  The  result  indicates  there  is   significant   correlation   between   gender   role   and   shame   and   guilt   in   romantic   relationship   context  among  young  people.  In  addition,  the  study  proposed  that  only  masculine  group  and   feminine  group  among  four  gender  role  groups  that  have  significant  difference  in  compared   mean  process.

Key  words:  shame,  guilt,  gender  role,  romantic  relationship 1. Latar Belakang

Ketika seorang individu memasuki usia dewasa muda, baik pria dan wanita biasanya mulai berpacaran. Mereka mulai mencari kesempatan untuk membina hubungan yang

(2)

mengandung aspek-aspek kedekatan emosi, persamaan minat, persamaan dalam cara memandang masa depan serta keintiman seksual (Newman & Newman, 2011). Hal ini sejalan dengan pernyataan, Teori Psikosial dari Erikson (1959, dalam Miller, 2011; Papalia, Olds, & Feldsman, 2009) yang mengatakan bahwa pada usia dewasa muda, prioritas sebagian besar individu adalah membina hubungan yang lebih intim dalam berpasangan dan pertemanan.

Ciri relasi dalam berpacaran adalah keintiman, yaitu suatu perasaan timbal balik yang didalamnya terdapat penerimaan, kepercayaan, perasaan terhubung satu sama lain, serta sikap pengertian terhadap kesalahan pribadi yang dilakukan oleh orang lain (Cheney, 2009). Pada hubungan antara pria dan wanita, keintiman umumnya diiringi dengan perasaan cinta yang kemudian dapat menimbulkan sebuah hubungan romantis. Hubungan romantis ini dapat terbina mulai dari hubungan berpacaran hingga pernikahan. Pada hubungan seperti ini umumnya kedua belah pihak akan berperilaku yang menunjukan afeksi baik secara fisik, emosi, intelektual maupun sosial. Namun, cara setiap individu menampilkan perilaku tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti latar belakang budaya dan juga peran jender (DeGenova, et al., 2009).

Akan tetapi, pada setiap individu, antara pria dan wanita ternyata memiliki perbedaan persepsi mengenai hubungan romantis (Rubin, 1983; Cancian, 1987; Rubin, 1985 dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008; Watkins, 2010). Perbedaan persepsi tersebut oleh banyak peneliti disinyalir disebabkan oleh adanya perbedaan peran jender antara pria dan wanita (McGill, 1985; Bascow, 1992 dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008). Peran gender yang berbeda antara pria dan wanita seringkali menimbulkan perbedaan persepsi, tidak hanya terkait hal-hal berbau hubungan romantis, tetapi juga pandangan dan cara hidup seseorang. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menimbulkan terjadinya perbedaan pendapat antara pria dan wanita yang sedang membina sebuah hubungan romantis. Dalam perbedaan pendapat tersebut dapat saja terjadi kesalahan komunikasi (miskomunikasi), yang jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan konflik. Umumnya, setelah terjadi konflik akibat adanya masalah, muncul perasaan-perasaan tertentu seperti rasa malu dan bersalah. Hal ini dikarenakan emosi malu dan bersalah merupakan emosi yang tipikal muncul ketika seorang individu memiliki masalah dalam hubungan dengan orang lain (Lewis, 1990; Tangney 1991). Selain itu, kedua emosi tersebut merupakan emosi moral yang memberikan dorongan motivasional untuk melakukan hal baik dan menghindari hal buruk (Kroll & Egan 2004, dalam Tangney, Stuewerg & Mashek, 2007). Baik emosi malu

(3)

maupun bersalah muncul ketika individu merasa perilaku yang ia tampilkan tidak sesuai dengan standar diri ataupun sosial yang telah ditetapkan (Tangney, 1999; Tracy & Robins, 2004).

Akan tetapi, adanya peran jender yang menyebabkan persepsi yang berbeda diantara pria dan wanita, juga menyebabkan kedua belah pihak memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal-hal yang dianggap sebagai konflik oleh kedua belah pihak pun menjadi berbeda. Dengan perbedaan konflik tersebut, situasi dan hal-hal yang dianggap dapat membuat individu merasa malu atau bersalah bisa jadi berbeda antara pihak perempuan dan laki-laki. Jadi dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara peran jender dengan emosi malu dan bersalah. Misalnya saja, pria akan mengalami emosi malu dan bersalah ketika ia tidak dapat menunjukkan kemampuan fisiknya dan akan memberikan respon agresif baik secara langsung atau tidak, defensif, dan menampilkan perilaku-perilaku yang merugikan pihak lain (O’connor, Berry, & Weis, 1999). Berbeda pada wanita, ia akan cenderung merasakan emosi malu dan bersalah ketika gagal membina hubungan dengan orang lain. Saat merasa malu dan bersalah ini, wanita akan cenderung menyalahkan diri sendiri dan menampilkan perilaku-perilaku yang merugikan diri sendiri (Ickhes, 1993). Sejumlah besar penelitian juga membuktikan adanya korelasi erat antara peran jender dengan tingkat intensitas emosi malu dan bersalah yang dirasakan oleh individu (Efthim, Kenny&Mahalik, 2001; McQuoid&Burshik, 2005; Silfver, 2007). Banyak peneliti berpendapat bahwa wanita dilaporkan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam merasakan emosi malu dan bersalah dibandingkan laki-laki (Lewis, 1992; Tangney, 1994; Brody, 1996; Reimer, 1997; Edmondson, 2002).

Jika emosi malu dan bersalah yang berbeda karena adanya peran jender pada laki-laki dan perempuan ini tidak dapat saling dimengerti oleh masing-masing pasangan, maka dapat terjadi miskomunikasi yang menyebabkan sulitnya membina hubungan romantis yang berkualitas. Miskomunikasi diantara pasangan yang berlangsung terus menerus akan memicu pertengkaran diantara pasangan. Pasangan akan terus merasa bahwa pasangannya tidak dapat mengerti pandangannya dan tidak bereaksi sesuai harapannya dalam menghadapi masalah. Akibat terburuk dari situasi ini tentu saja berakhirnya hubungan romantis yang telah terbina diantara pasangan. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Covert, Tangey, Maddux, dan Heleno (2007) yang mengatakan bahwa saat seseorang mengalami emosi malu, ia tidak akan bisa menghasilkan solusi yang efisien untuk menyelesaikan masalah hubungan yang ia hadapi, sehingga menyebabkan

(4)

orang-orang yang memiliki kecendrungan merasakan emosi malu sulit memiliki hubungan romantis yang berkualitas.

Hal-hal di atas mengindikasikan pentingnya dilakukan penelitan mengenai hubungan antara peran jender dengan emosi malu dan bersalah dalam konteks hubungan romantis. Dengan adanyanya hasil penelitian ini diharapkan masing-masing individu dapat lebih memahami pandangan yang berbeda terkait hal yang dianggap sebagai konflik oleh jender yang berbeda dari dirinya. Pemahaman yang lebih baik mengenai masing-masing jender, akan menciptakan hubungan antara pria dan wanita yang lebih berkualitas, termasuk dalam hubungan romantis. Masing-masing pihak dalam hubungan romantis juga dapat mengantisipasi situasi-situasi yang dipersepsi sebagai pemicu emosi malu dan bersalah sehingga dapat meminimalisir timbulnya masalah dalam hubungan romantis yang dibina. Hasil penelitian ini juga dapat diaplikasikan oleh para konselor pernikahan dalam mengembangkan program-program konseling bagi pasangan.

2. Tinjauan Teori

Emosi malu dapat didefinisikan sebagai suatu emosi negatif yang dialami seseorang saat ia gagal memenuhi aturan sosial yang ia internalisasi, termasuk aturan moral, kemampuan dan juga estetika (Tangney, Gramzow & Wagner 1989). Emosi malu juga dapat didefinisikan sebagai sebuah harapan untuk tetap dicintai (dinilai baik) dan ketakutan ketika orang lain benar-benar mengenal individu, mereka akan menemukan kekurangan individu tersebut (penilaian buruk) (Smith, 1997 dalam Shweder, 2003). Selain itu, menurut Kim, Thibodeau, dan Jorgensen (2011), rasa malu adalah perasaan rendah diri, perasaan tidak mampu, penghinaan terhadap diri, perasaan tidak berharga, pengalaman tidak berdaya, kegagalan personal dan inferioritas.

Emosi malu secara negatif menyerang sistem diri, seperti konsep diri (self concept), penghargaan diri (self esteem), gambaran diri (self image) dan banyak lainnya. Selain itu, malu juga merupakan emosi yang kuat, sehingga ketika individu dihadapkan untuk merasakan emosi tersebut, satu-satunya hal yang dapat ia lakukan adalah berusaha menghilangkan perasaan itu dari dirinya (Lewis, 1995). Namun, emosi malu bukan lah suatu emosi yang mudah diabaikan untuk dirasakan, hal ini menyebabkan individu cenderung menampilkan tingkah laku yang dapat dianggap abnormal dalam usahanya untuk mengabaikan dan menghilangkan emosi tersebut. Tingkah laku abnormal tersebut, seperti individu dengan karakter narsisitik yang sering meninggi-ninggikan diri sendiri sebenarnya merupakan usaha menghindari perasaan malu yang sangat besar yang mungkin ia rasakan. Berbeda dengan individu dengan karakteristik depresi, ia

(5)

akan sangat menyadari emosi malu tersebut hingga ke tahap merasa diri tidak berharga, tidak berdaya dan tidak memiliki harapan (Lewis, 1995).

Sedangkan, Emosi bersalah adalah emosi yang muncul ketika seorang individu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang terinternalisaisi ke dalam dirinya, meskipun tidak ada orang lain yang melihat perbuatannya tersebut (Tangney & Fischer, 1995). Menurut Kim, Thibodeu, dan Jorgensen (2011), emosi bersalah juga dapat didefinisikan sebagai perasaan menyesal, dimana individu memiliki rasa tanggung jawab untuk memperbaiki kegagalan yang telah ia perbuat, seperti pengakuan dan permintaan maaf, rasa menyesal, dan tindakan menyalahkan diri sendiri. Saat individu merasakan emosi bersalah, ia meyakini bahwa perbuatan yang telah ia lakukan memiliki efek negatif bagi pihak-pihak lain. Jenkins (1950) menyatakan emosi bersalah dapat didefinisikan sebagai suatu emosi yang menimbulkan rasa sakit, seperti rasa tidak berharga, berhubungan dengan adanya diskrepansi antara perilaku yang ditampilkan dengan moral atau nilai-nilai strandar etis yang telah ditetapkan oleh individu itu sendiri.

Berbeda dengan emosi malu, walaupun emosi bersalah juga melibatkan emosi negatif dari hasil evaluasi, namun yang menjadi objek penilaian secara spesifik merujuk pada perilaku yang telah dilakukan yang menyalahi standar internal individu, bukan penilaian diri keseluruhan (Tangney, 1992). Hal ini didukung oleh pernyataan Lewis (1995) bahwa emosi bersalah muncul dari atribusi spesifik yang dilakukan oleh individu terhadap kegagalan yang terjadi. Individu merasa bersalah ketika ia menginterpretasikan suatu perilakunya sebagai kegagalan, namun fokus dari interpretasinya tersebut terpusat pada fitur spesifik dari diri yang menyebabkan kegagalan tersebut. Dalam hal ini maksudnya, orang yang merasa bersalah memang menyesali perbuatan yang ia lakukan dan berkeinginan untuk mempebaikinya, tetapi tidak menganggap bahwa dirinya adalah pribadi yang buruk (Covert, Tangney, Maddux & Heleno, 2003).

Oleh karena atribusi yang dilakukan individu tertuju pada perilaku spesifik yang menyebabkan kegagalan, kekuatan negatif yang dirasakan dari emosi ini tidak sekuat yang dirasakan pada emosi malu. Hal ini mengakibatkan individu tidak mengalami efek kebingungan dan kehilangan arah untuk melakukan tindakan. Bahkan, emosi bersalah oleh para psikolog diasosiasikan dengan tindakan perbaikan, seperti meminta maaf dan mengakui kesalahan (Lewis, 1995).

(6)

Gender role atau peran jender di sisi lain merujuk pada perilaku, minat, sikap,

keterampilan, dan karakteristik yang dianggap pantas oleh budaya untuk dimiliki dalam diri pria dan wanita (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Selain itu, Defrain dan Olson (2006) mendefinisikan gender role sebagai harapan mengenai sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh seorang individu berdasar pada apakah ia pria atau wanita. Dari kedua definisi tersebut dapat diberikan contoh: wanita diharapkan memiliki sikap yang berorientasi pada perasaan dan laki-laki diharapkan memiliki sikap yang berorientasi pada tujuan (Ichkes, 1993).

Secara tradisional, peran jender dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori maskulin dan feminin yang dipandang sebagai dua kutub yang berlawanan. Pandangan ini dikenal dengan nama bipolar gender model, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (Strong, DeVault, & Cohen, 2008). Model ini memiliki pandangan bahwa kategori peran jender terbagi menjadi dua, yaitu maskulin dan feminine (Bem, 1977). Peran jender maskulin yang berorientasi pada tujuan dan prestasi secara eksklusif hanya dimiliki oleh kelompok jender laki-laki dan merupakan kategori yang berada dalam satu dimensi yang kontinum dengan peran jender feminine yang berorientasi pada pembinaan hubungan interpersonal yang secara eksklusif hanya dimiliki oleh perempuan. (Bem, 1977).

Bem (1974) mencetuskan sebuah pandangan baru yang menolak pandangan tradisional ini. Dikatakan bahwa kategori peran jender maskulin dan feminin berada dalam dua dimensi yang terpisah (Bem, 1974 dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008), dimana kedua kategori tersebut sama-sama memiliki rentang rendah hingga tinggi (Bem, 1974 dalam Baron & Byrne, 2006) dan dapat dimiliki oleh individu secara sekaligus, sebagai dua golongan yang saling melengkapi (Bem, 1977).

Dari pandangan bahwa kategori maskulin dan feminin berada pada dua dimensi yang terpisah, Bem (1974) memperkenalkan konsep androgini untuk menambahkan dua kategori sebelumnya (maskulin dan feminin) yang sudah ada pada pandangan bipolar jender model. Bem (1977) menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki peran jender androgini sebagai orang-orang yang dapat secara fleksibel menampilkan karakteristik feminin atau maskulin atau bahkan keduanya di saat bersamaan sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi. Sebagai contoh, orang-orang dengan karakteristik androgini dapat dengan tegas namun tetap penuh pengertian menyampaikan pemutusan hubungan kerja terhadap seorang karyawannya.

(7)

Pada awalnya, kategori androgini merujuk pada kelompok individu yang memiliki karakteristik maskulin dan feminin yang tinggi dan kelompok individu dengan karakteristik maskulin dan feminin yang rendah. Hal ini berubah setelah Bem (1976) melakukan penelitian berdasarkan pandangan (Spence et al., 1975 dalam Bem, 1976; Spence et al., dalam Bem 1977) dan kemudian mencetuskan sebuah kategori peran jender baru, yaitu undifferentiated. Kategori undifferentiated merujuk pada kelompok individu yang memiliki karakteristik maskulin dan feminin yang rendah, sehingga sejak saat itu kategori androgini hanya dimaksudkan bagi kelompok individu dengan karakteristik maskulin dan feminin yang tinggi saja.

Metode Penelitian

Dalam melakukan klasifikasi peran jender, peneliti menggunakan adaptasi alat ukur BSRI (Bem Sex Role Inventory) (Bem, 1974) ke dalam bahasa Indonesia (Vitria, 2005). Adaptasi BSRI terdiri dari 38 item yang meliputi 14 item yang mewakili karakteristik maskulin, 15 item yang mewakili karakteristik item feminin, dan 9 item netral dengan dua buah angka skor, yaitu skor M (maskulin) dan skor F (feminin). Alat ukur ini sudah teruji reliable dan valid dengan nilai cronbach alpha sebesar 0.72 untuk skala M dan 0.86 untuk skala F

Dengan menggunakan alat ukur ini dalam proses pengukuran, akan didapatkan empat kategori peran jender, yaitu maskulin, feminin, androgini, dan undifferentiated. Individu dapat diklasifikasikan berada dalam kategori maskulin adalah ketika ia memiliki skor maskulin yang lebih tinggi di bandingkan skor femininnya. Kategori feminin ditujukan pada orang-orang dengan skor feminin yang lebih tinggi dibandingkan skor maskulin, sedangkan individu yang diklasifikasikan ke dalam kategori androgini diklasifikasikan bagi orang-orang dengan skor maskulin dan feminin yang sama-sama tinggi. Terakhir adalah kategori undifferentiated yang merujuk pada individu dengan skor maskulin dan feminin yang sama-sama rendah.

Sedangkan  dalam  mengukur  emosi  malu  dan  bersalah,  digunakan  adaptasi  alat  ukur   TOSCA   3   (Tangney,  Dearing, Wagner dan Gramzow, 2000) ke dalam bahasa Indonesia   (Royanto, dkk, 2013) dengan sedikit melakukan modifikasi, yaitu memasukkan konteks hubungan romantis pada setiap skenario. Jumlah skenario yang digunakan dalam alat ukur ini sebanyak 17 skenario dengan 34 item reaksi yang terdiri dari 17 item emosi malu dan 17 item emosi bersalah. Adaptasi TOSCA-3 ini memiliki nilai koefisien reliabilitas untuk emosi malu sebesar 0.789 dan untuk emosi bersalah sebesar 0.856.

(8)

3. Hipotesis penelitian 3.1 Hipotesis Alternatif (Ha)

1. Terdapat korelasi antara masing-masing klasifikasi peran jender dengan tingkat emosi malu dalam konteks hubungan romantis pada kelompok dewasa muda.

2. Terdapat korelasi antara masing-masing klasifikasi peran jender dengan tingkat emosi bersalah dalam konteks hubungan romantis pada kelompok dewasa muda.

3.2 Hipotesis Null (Ho)

1. Tidak terdapat korelasi antara masing-masing klasifikasi peran jender dengan tingkat emosi malu dalam konteks hubungan romantis pada kelompok dewasa muda.

2. Tidak terdapat korelasi antara masing-masing klasifikasi peran jender dengan tingkat emosi bersalah dalam konteks hubungan romantis pada kelompok dewasa muda.

4.  Hasil

Berikut  merupakan  gambaran  umum  dari  partisipan  penelitian  ini: Tabel 4.1Gambaran Umum Sampel Berdasarkan Jender

Jender Frekuensi Persentasi

Perempuan 98 45

Laki-laki 121 55

Total 219 100

Pada tabel 4.1, ditunjukkan bahwa laki-laki cenderung mendominasi jumlah sampel yang diambil, yaitu sekitar 121 orang (55%), dibandingkan dengan kelompok jender perempuan yang hanya berjumlah 98 orang (45%)

Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia Umur Frekuensi Persentasi

(9)

20-22 153 74.4

Total 219 100.0

Dari data di atas, dapat dilihat bahwa sampel pada penelitian ini sebagian besar responden berusia di atas 20 tahun yaitu sebanyak 153 orang atau 74,4% dari jumlah keseluruhan sampel penelitian, sedangkan hanya 56 orang atau 25.6% yang merupakan partisipan dengan usia

dibawah 20 tahun.

Tabel 4.3 Gambaran Umum Sampel Berdasarkan Suku Suku Frekuensi Persentasi

Sumatera 45 20.5 Jawa 167 76.3 Kalimantan 1 .5 Bali 1 .5 Tionghoa 5 2.2 Total 219 100.0

Disamping itu, peneliti juga memasukan pengolahan data statistik untuk melihat variasi suku budaya dari kelompok sampel. Berdasarkan tabel 4.3 ditunjukkan bahwa sebagian besar sampel adalah orang-orang bersuku Jawa yaitu sebanyak 167 orang (76,3%) yang kemudian diikuti oleh Suku Sumatera sebagai suku terbanyak kedua dalam kelompok sampel yaitu berjumlah 45 orang atau sekitar 20.5%. Di luar itu, adalah sampel penelitian berasal dari Suku Tionghoa, Kalimantan dan Bali.

Tabel 4.6 Gambaran Umum Emosi Malu dan Emosi Bersalah Pada Kelompok Dewasa Muda

Emosi N Min Max Rata-rata SD

Malu 219 17 69 51.28 8.904

Bersalah 219 32 78 59.90 9.703

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dapat terlihat bahwa nilai rata-rata skor total emosi malu pada kelompok sampel sebesar 51.28. Nilai minimum untuk skor total emosi malu sebesar 17, sedangkan nilai maksimumnya sebesar 69. Standar deviasi untuk emosi malu sebesar 8,904.

(10)

Sedangkan, untuk emosi bersalah, dapat terlihat dari tabel 4.6 bahwa nilai rata-rata skor total emosi bersalah pada kelompok sampel sebesar 59.9. Nilai minimum untuk skor total emosi bersalah sebesar 32, sedangkan nilai maksimumnya sebesar 78. Standar deviasi untuk emosi bersalah sebesar 9,703.

Tabel 4.7 Gambaran Umum Peran Jender Pada Kelompok Dewasa Muda Peran Jender Frekuensi Persentasi

Feminin 76 34.7 Maskulin 118 53.9 Androgini 17 7.7 Undifferentiated 8 3.7

Tabel 4.7 ini menunjukkan bahwa dari 219 orang Mahasiswa Universitas Indonesia usia 17-22 tahun, terdapat 118 orang yang memiliki peran jender maskulin, 76 orang dengan peran jender feminin, 17 orang berada dalam klasifikasi androgini, dan 8 orang berada dalam kelompok yang tidak bisa digolongkan. Dari hasil ini, terlihat bahwa sebagian besar dewasa muda, tanpa melihat jender, saat ini sudah memiliki sikap dan karakteristik yang secara tradisional dianggap pantas untuk laki-laki.

Tabel 4.12 Hasil Perbandingan Nilai Rata-rata Antara Skor Peran Jender Dengan Emosi Malu dan Bersalah Dalam Konteks Hubungan Romantis pada Kelompok Mahasiswa Dewasa Muda

Variabel Feminin Maskulin Adrogini Undifferentiated F Sig.

M(SD) M(SD) M(SD) M(SD)

Malu 52.57a 48,99b 53.59abc 49.00abc 3.161 P<.05

(51.23,53.95) (46.61,51.39) (48.43,58.75) (42.03,55.97)

Bersalah 59.82a 49.00b 57.41abc 58.13abc 3,079 P<.05

(57.35,62.28) (41.01,56,99) (51.47,63.35) (56.51,59.74)

Perhitungan menggunakan One-Way ANOVA dilakukan untuk melihat hubungan antar peran jender dengan kecenderungan mengalami emosi malu. Berdasarkan tabel 4.12 di atas dapat dilihat nilai signifikansi sebesar (F (3,216)=3,161, p<.05). Dengan demikian dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan antara kelompok-kelompok peran jender dengan kecenderungan merasakan emosi malu.

(11)

Pada tabel 4.12 juga menunjukkan perhitungan untuk membandingkan rata-rata skor total emosi bersalah dari tiap kelompok variasi sampel dengan menggunakan metode One-Way ANOVA. Berdasarkan tabel 4.10 ini, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi ANOVA sebesar (F(3,216) = 3,079, p<.05), yang berarti signifikan, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan antara peran jender dengan kecenderungan emosi bersalah dalam konteks hubungan romantis pada mahasaiswa dewasa muda berusia 18-22 tahun di Universitas Indonesia.

5. Kesimpulan

Dari hasil perbandingan rata-rata skor total emosi malu pada masing-masing kelompok klasifikasi peran jender tanpa memperhatikan jender yang dimiliki oleh responden penelitian, ditemukan perbedaan signifikan nilai rata-rata total skor emosi malu diantara kelompok feminin dengan kelompok maskulin. Dengan demikian, dari hasil perbandingan keempat kelompok klasifikasi peran jender dengan emosi malu, terdapat perbedaan skor yang signifikan pada perbandingan antar kelompok klasifikasi peran jender feminin dengan maskulin, sehingga Ho1 berhasil ditolak dan Ha1 diterima. Hal ini membuktikan terdapat korelasi antara peran jender dengan emosi malu dalam konteks hubungan romantis pada kelompok dewasa muda.

Pada perbandingan rata-rata skor total emosi bersalah antara kelompok kategori feminin dengan kelompok kategori maskulin, androgini dan undifferentiated juga ditemukan perbedaan yang signifikan pada perbanding rata-rata skor total emosi bersalah kelompok kategori maskulin, namun tidak ditemukan perbedaan signifikan dengan kelompok-kelompok kategori lainnya. Kesemua hasil perbandingan skor emosi bersalah antara setiap kelompok klasifikasi peran jender tersebut menunjukkan bahwa Ho2 berhasil untuk ditolak dan Ha2 diterima, Dari sini dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kategori peran jender feminin dengan emosi bersalah pada kelompok dewasa muda.

6. Diskusi

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara peran jender dengan emosi malu dan bersalah dalam konteks hubugan romantis pada kelompok dewasa muda. Hasil ini secara tidak langsung mendukung hasil-hasil penelitian selama ini bahwa wanita ditemukan memiliki kecenderungan merasakan emosi malu (shame-proneness) dan kecenderungan emosi bersalah yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Evans, 1984; Ferguson & Crowley, 1997; Ferguson, Eyre, & Ashbaker, 2000; Lutwak & Ferrari, 1996 dalam McQuoid & Bursik, 2005). Meskipun terdapat beberapa perbedaan nilai yang dtanamkan pada pengembangan peran

(12)

jender di Indonesia, misalnya saja pada kebudayaan Minang yang memberikan kekuasaan dan kekuatan pada para kaum Hawa karena menjunjung nilai-nilai matrilineal (Djiwatampu, 2009), dari penelitian ini terbukti bahwa masih terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat emosi malu dan bersalah yang dirasakan dengan peran jender yang diiternalisasikan oleh masing-masing individu.

Bagaimana pengaruh emosi malu dan bersalah terhadap dinamika hubungan romantis pada kelompok dewasa muda belum terlihat jelas dalam penelitian ini yang menjadi hal yang sangat disayangkan dan perlu digali lebih dalam lagi. Seperti yang dikatakan oleh Lewis (1990), emosi malu merupakan emosi yang sangat negatif yang terbukti dapat membawa pengaruh buruk pada pasangan yang sedang membina hubungan romantis. Hal tersebut dikarenakan individu dengan kecendrungan emosi malu ketika dihadapkan dengan suatu masalah dalam hubungan romantisnya, umumnya akan lebih menampilkan perilaku yang berfokus untuk menghindari rasa sakit dari emosi malu dibandingkan memikirkan pemecahan dan solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Berbeda dengan orang yang lebih cenderung untuk merasakan emosi bersalah akan berfokus untuk mencari solusi yang efisien dalam menghadapi masalah ataupun konflik yang terjadi dalam hubungan romantisnya (Covert, Maddux, Tangney & Heleno, 2007). Hal ini lah yang menyebabkan pada penelitian Covert, Maddux, Tangney dan Heleno (2007) dikatakan bahwa orang-orang yang cenderung merasakan emosi besalah (guilt-phroness

people) memiliki kualitas hubungan romantis yang lebih baik dengan orang-orang yang

cenderung merasakan emosi malu (shame-phroness people).

Dalam perbandingan dengan keempat variasi peran jender yang dilakukan dalam analisis post hoc dengan menggunakan metode perhitungan Tuckey, tidak semua variasi tersebut memiliki perbedaan mean yang signifikan. Dari ke empat kelompok peran jender yang digagas oleh Bem (1974) tersebut, hanya kelompok maskulin dan feminin sajalah yang secara signifikan memiliki perbedaan rata-rata nilai total skor emosi malu. Hal yang sama juga terjadi dalam penghitungan yang dilakukan untuk melihat hubungan antara peran jender dengan emosi bersalah. Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa walaupun peran jender terbukti memiliki hubungan dengan emosi malu dan bersalah, namun hubungan tersebut tidak dimiliki oleh semua variasi yang ada pada variabel peran jender.

Dari data juga diperlihatkan bahwa sebagian besar responden laki-laki berada dalam kelompok maskulin dan sebagian bersar responden perempuan berada dalam kelompok peran

(13)

jender feminin. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat memegang nilai-nilai tradisional yang berkaitan dengan identitas jendernya, baik perempuan maupun laki-laki. Hal ini juga didukung dengan fakta di lapangan seperti, kebijakan pemerintah mengenai pernikahan dalam UU perkawinan nomor 1 Tahun 1974, yang mengatur mengenai kapasistas istri di dalam kehidupan sehari-hari ataupun sistem pada kepolisian Indonesia yang mengharuskan polisi wanita yang menikahi sesama polisi, tidak boleh memiliki jabatan yang lebih tinggi dari suaminya (Sarwono, 2005). Selain itu, nilai budaya yang masih sangat kental di Indonesia juga menjadi faktor pendukung dalam pengembangan peran jender, misalnya saja nilai Jawa yang mengharuskan wanita bertutur kata lembut dan laki-laki menjadi pelindung (Marzuki, 2006). Hal-hal seperti itu tanpa disadari masih berakar kuat dalam pandangan dan cara hidup kita sehari-hari, sehingga tidak mengherankan bila sebagian besar perempuan akan cenderung berada dalam kelompok peran jender feminin dan laki-laki pada kelompok maskulin.

Walaupun penelitian ini berhasil membuktikan adanya korelasi antara peran jender dengan emosi malu dan emosi bersalah, penelitian lebih lanjut untuk melihat kekuatan korelasi diantara variabel-variabel ini masih harus dilakukan. Hal ini didasari oleh temuan-temuan dari banyak penelitian yang menyatakan bahwa bentuk alat tes untuk mengukur emosi malu dan bersalah pun menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi. Pada Harder (1995) dinyatakan bahwa penggunaan alat ukur emosi malu dan bersalah dalam bentuk inventori justru memunculkan hasil bahwa laki-laki memiliki tingkat kecenderungan merasa bersalah yang jauh lebih besar dibandingan dengan perempuan. Pada Edmondson (2002) juga dikemukakan bahwa penggunaan TOSCA sebagai alat ukur untuk memeriksa tingkat kecenderungan emosi malu dan bersalah dapat merugikan bagi kelompok jender perempuan dikarenakan beberapa skenario yang dipakai dalam TOSCA hanya bersifat negatif bagi nilai-nilai yang dikandung dalam peran jender milik perempuan. Dalam penelitian ini yang hanya menggunakan TOSCA sebagai satu-satunya alat ukur untuk variabel emosi malu dan bersalah, tentu hal ini dianggap sebagai kekurangan dari penelitian ini, sehingga perlu adanya penelitian lanjutan.

Selain itu, limitasi lain dari penelitian ini ada pada proses pengambilan data, dimana peneliti mengambil data terbatas hanya pada Mahasiswa Universitas Indonesia dengan proporsi yang kurang sempurna, sekitar 10 pasangan di setiap fakultas. Begitu pula dengan ketidak telitian selama proses teknis pengambilan data, sehingga terdapat beberapa data yang terpaksa tidak bisa digunakan dikarenakan responden tidak mengisi kuesioner dengan lengkap. Alasan lain terdapat

(14)

beberapa data yang harus dieliminasi adalah karena tidak cocoknya karakteristik responen yang diambil dengan karakteristik sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini. Keterbatasan-keterbatasan tersebut tentu saja memberikan pengaruh terhadap hasil penelitian, terkait dengan isu effect size. Seperti yang dikatakan oleh Kumar (2005) effect size adalah kemampuan sebuah penelitian untuk dapat menggambarkan populasi dengan mengambil sampel dalam jumlah yang banyak, karena semakin banyak sampel yang dapat dikumpulkan, semakin representatif terhadap populasi hasil penelitian yang akan didapatkan. Kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini seperti adanya variasi dari peran jender yang tidak memiliki perbedaan perbandingan nilai rata-rata antar kelompok yang signifikan bisa saja disebabkan karena isu effect size tersebut.

Di luar segala keterbatasannya, penelitian ini juga memiliki beberapa kelebihan, seperti topik penelitian yang diambil dapat dikatakan merupakan topik baru di Indonesia yang belum pernah diteliti karena peneliti memasukkan konteks hubungan romantis ke dalamnya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat memberikan perspektif baru terkait kedua variabel yang dibahas, yaitu emosi malu dan bersalah serta peran jender. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan langkah awal bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan penelitian lanjutan dalam memahami dinamika emosi malu dan bersalah serta hubungannya dengan peran jender di masyarakat Indonesia.

Kekuatan lain dari penelitian ini adalah pada proses uji coba alat ukur TOSCA-3 dimana alat ukur tersebut telah mengalami proses adaptasi berupa FGD oleh peneliti sebelumnya sehingga memberikan pandangan aktual mengenai situasi yang menimbulkan emosi malu dan bersalah dan kemudian diuji cobakan lagi pada penelitian ini dengan jumlah sampel yang cukup banyak, yaitu 100 orang. Dengan kedua proses tersebut, adaptasi TOSCA-3 peneliti yakini memiliki reliabilitas dan validitas yang baik, setara dengan alat ukur aslinya yang dikembangkan oleh Tangney (2000).

(15)

Daftar Pustaka

Athenstaedt,   U.,   Haas,   E.   &   Schwab,   S.   (2004).   Gender   role   self-­‐concept   and   gender-­‐typed   communication  behavior  in  mixed-­‐sex  and  same-­‐sex  dyads.  Sex  Roles,  50,  37-­‐52.

Baron,   R.   A.,   Branscombe,   N.   R.,   &   Byrne,   D.   (2006).   Social   Psychology.   Boston:   Allyn   &   Bacon.

Barry,  H.,  Bacon,  M.K.,  and  Child,  I.L.  (1957).  A  cross-­‐cultural  survey  of  some  sex  differences   in  socialization.  The  Journal  of  Abnormal  and  Social  Psychology,  55,  327-­‐332.

Baumeister, R., Stiilwell, A., & Heatherton, T. (1994). Personal Narratives About Guilt: Role in Action Control and Interpersonal Relationships. Basic and Applied Social Psychology, 77(1 & 2), 173-198.

Bem, Sandra L., Lennet, Ellen. (1976). Sex Typing and The Avoidance of Cross-Sex Behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 33,1,48-54

Bem, Sandra L. (1977) On The Utility of Alternative Procedures for Asssesing Psychological for Assessing Psychological Androgyny, Journal of Consulting and Clinical Psychology, 45, 2, 196-205

Bem, Sandra L. (1981) Gender Schema Theory: A Cognitive Account of Sex Typing. Psychological Review, 88, 4, 354-364

Bem, S. L. (1993). The lenses of gender: Transforming the debate on sexual inequality. New Haven: Yale University Press.

Brainerd, Gary. (2003). Stages in Relationship. Diunduh dari: http://www.relationship-help.com/articlesdetail.asp?id=64

Brody, L.R. (1996). Gender, emotions, and parent-child boundaries. In R. Kavanaugh, B. Zimmerberg-Glick, & S. Fein (Eds.) Emotion: Interdisciplinary Perspectives, pp. 139 -170. N.J.: Lawrence Erlbaum Associates.

Covert, M. V., Tangney, J. P., Maddux, J. E., & Heleno, N. M. (2003). Shame- proneness, guilt-proneness, and interpersonalproblem solving: A social cognitive analysis. Journal of Social and Clinical Psychology, 22, 1-12.

DeGenova, Mary Kay. (2009). Intimate Relationship, Marriages, and Families. Mountain View: Mayfield Publishing Company

Djiwatampu, Lalita. (2009). Happy and shameful experiences among ethnic groups in Indonesia: Cognitive, affective and behavioral Dimensions. Psychology, 16, 2, 175-184.

Edmondson, Shawn R. (2002). Identifying the bases for gender differences in gulit and shame. Logan: Utah State University

(16)

Efthim, D. W., Kenny, M. E., & Mahalik, J. R. (2001). Gender role stress in relation to shame, guilt, and externalization. Journal of Counseling & Development, 79, 430–438.

Evans, E. G. (1984). Hostility and sex guilt: Perceptions of self and others as a function of gender and sex role orientation. Sex Roles, 10, 207–215.

Ferguson, T. J., Eyre, H. L., & Ashbaker, M. (2000). Unwanted identities: A key variable in shame-­‐anger  links  and  gender  differences  in  shame.  Sex  Roles,42,  33-­‐157.

Ferguson, T. J., Van Dusen, L. M., van Beek, Y., Crowley, S. L. & Olthof, T. (1998). Emotional competence and attributional style as risk or protective factors in the development of depression? Presentation of a model, review of evidence, and 28, 41 – 55.

Gibbons, Judith L., Beverly A. Hamby and Wanda D. Dennis. 1997. "Researching Gender- Role Ideologies Internationally and Cross-Culturally." Psychology of Women Quarterly 21:151-70.

Graveter, F.J., & Forzano, L.B. (2007) Research Methods for The Behavioral Science. Belmont: Wadsworth.

Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th ed). Singapore: McGraw-Hill, Inc.

Guastello,   D.D.,   &   Guastello,   S.J.   (2003).   Androgyny,   gender   role   behavior,   and   emotional   intelligence  among  college  students  and  their  parents.  Sex  roles,  49,  663-­‐673.

Gutek, B. A., Searle, S., & Klepa, L. 1991. Rational Versus Gender Role Explanations for Work-Family Conflict. Journal of Applied Psychology, 76: 560-568.

Haidt, J. (2003). The moral emotions. In R. J. Davidson, K. R. Scherer, & H. H. Goldsmith (Eds.), Handbook of affective sciences. Oxford: Oxford University Press.(pp. 852-870).

Hynie, M., MacDonald, T. K., & Marques, S. (2006). Conscious Emotions and Self-Regulation in the Promotion of Condom Use. Personality and Social Psychology Bulletin, 32, 1072-1084.

Ickes. W. (1985). Sex-role influences on compatibility in relationships. In W. Ickes (Ed.). Compatible and incompatible relationships (pp. 187-208). New York; Springer-Verlag.

Ickes. W., & Barnes, R. D.( 1978). Boys and girls together—and alienated: On enacting stereotyped sex roles in mind-sex dyads. Journal of Personality and Social Psychology. iA, 669-683.

Ickes, William. (1993). Traditional gender roles: Do They Make, and Then Break, our Relationships?. Journal of Social Issues, 49, 1993, 71-85

(17)

Idrus, Muhammad. (2005). Konstruksi Gender Dalam Budaya. Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada.

Jenkins, R. L. (1950). Guilt feelings-their function and dysfunction. In Feelings and Emotions. Martin L. Rayment, ed. New York: McGraw Hill (353-361).

Kail, R., Cavanaugh, J. (2007). Human Development: A Life Span Perspective. 6th edition. USA : Wadsworth.

Kim, S., Thibodeau, R., Jorgensen, R. (2011). Shame, guilt, and depressive symptoms: A meta-analytic review. Psychological Bulletin 137.1 (Jan 2011): 68-96.

Kompas. (14 Februari 2010). Wah, Gaya Berpacaran Remaja Kian Bebas. Diunduh dari: http://regional.kompas.com/read/2010/02/14/15415059/Wah.Gaya.Berpacaran.Remaja.Kian. Bebas.

Kompas. (4 Juni 2012). Permasalahan Gender di Indonesia. Diunduh dari: http://sosbud.kompasiana.com/2012/06/04/permasalahan-gender-di-indonesia-467221.html

Kumar, R. (1996). Research methodology: A step-by-step gude for beginners. London: Sage Publications.

Lazarus, Richard. (1991). Emotion and Adaptation. New York : Oxford University Press. Lemme, Barbara Hansen. (1995). Development in Adulthood. Boston: Allyn and Bacon. Lewis M. (1992). Shame, The Expose Self. New York: Free Press

Lewis, Michael. (1995). Self Conscious Emotion. American Scientist.83,1, 68-78

Lutwak N, Ferrari JR (1996) Moral affect and cognitive processes. Pers Individ Differ 21:891-896.

Nathanson, Donald L. (1992), Shame and Pride: Affect, Sex, and the Birth of the Self, New York: W.W. Norton

Newman, Barbara M., Newman, Philip R. (2011). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Belmont: Wadsworth

Marzuki. (2008). Studi Tentang Kesejahteraan Gender Dalam Berbagai Aspek. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

McQuoid, Jessica Benetti, Bursik, Krisanne.(2005). Individual Differences in Experiences of and Responses to Guilt and Shame: Examining the Lenses of Gender and Gender Role. Sex Roles, 53

(18)

Oakley, Ann ed. (1985).Sex, Gender, and Society. Rev. ed. New York: Harper and Row O'Connor, L.E., Berry, J.W., & Weiss, J. (1999). Interpersonal guilt, shame, and

psychological problems. Journal of Social and Clinical Psychology, 18, 181-203. Olson, David H.;Defrain, John. (2006). Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and

Strengths. Ney York: McGraw Hill

Orth, U., Robins, R., & Soto, C. (2010). Tracking the Trajectory of Shame, Guilt, and Pride Across the Life Span. Journal of Personality and Social Psychology.. 99, 6, 1061–1071.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Reimer. M. S. (1997). Feeling from the self: Assesing shame and its implications in adolescent development. Doctoral dissertation, Temple University, Philadelphia PA. Rostyaningsih, Dewi. (2010). Konsep Gender. Semarang: Lembaga Penelitian dan

Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Dipenogoro.

Rudman, Laurie A., Glick, Peter. (2008). The Social Psychology of Gender: How Power and Intimacy Shape Gender Relations. New York: The Guilford Press.

Shweder, Richard A. (2003). Toward A Deep Cultural Psychology of Shame. Social Research: An International Quarterly, 70, 4, 1109-1129.

Strong, Bryan, DeVault Christine, Cohen, Theodore F. (2008). The Marriage and Family Experience. Belmont: Wadsworth

Sidanius, J., Cling, B. J., & Pratto, F. (1991). Ranking and linking as a function of sex and gender role attitudes Journal of Social Issues. 47,(3), 131-149.

Silfver, M. (2007). Gender differences in value priorities, guilt, and shame among Finnish and Peruvian adolescents. Sex Roles, 56, 601-609.

Su,  Chang.  (2011).  A  cross-­‐cultural  study  on  the  experience  and  self-­‐regulation  of  shame   and  guilt.  ProQuest  Disertasi  dan  Tesis.

Tangney  JP,  Wagner  P,  Gramzow  R.  1989.  The  Test  of  Self-­‐Conscious  Affect  (TOSCA).   Fairfax,  VA:  George  Mason  Univ.

Tangney  JP.  1992.  Situational  determinants  of  shame  and  guilt  in  young  adulthood.  

(19)

Tangney  JP.  1994.  The  mixed  legacy  of  the  superego:  adaptive  and  maladaptive  aspects  of   shame  and  guilt.  In  Empirical  Perspectives  on  Object  Relations  Theory,  ed.  JM  Masling,   RF  Bornstein,  pp.  1–28.  Washington,  DC:  Am.  Psychol.  Assoc.

Tangney,  J.  P.  (1999).  The  self-­‐conscious  emotions:  Shame,  guilt,  embarrassment  and  pride.   In  T.  Dalgleish  &  M.  J.  Power  (Eds.),  Handbook  of  cognition  and  emotion  (pp.  541-­‐568).   Chichester,  England:  John  Wiley  &  Sons.

Tangney,  J.,  &  Fischer,  K.  (1995).  Self-­‐  Concious  Emotions.  NY  :  The  Guilford  Press.

Tangney,  June.,  &Dearing,  Ronda.  (2002).  Shame  and  Guilt.  NY  :  The  Guilford  Press.  Tangney,   J.,  Stuewig,  J.,  &  Mashek,  D.  (2007).  Moral  Emotions  and  Moral  Behavior.  Annual

Review  of  Psychology,  58,  345–372.

Tempo.   (19   April   2012).   Kesenjangan   Sosial   Prempuan   dan   Laki   Masih   Tinggi.   Diunduh   dari:   http://www.tempo.co/read/news/2012/04/19/173398104/   Kesenjangan-­‐ Sosial-­‐Perempuan-­‐dan-­‐Laki-­‐Masih-­‐Tinggi

Tracy,  J.,  &  Robins,  R.  (2004).  Putting  the  Self  Into  Self-­‐Conscious  Emotions:  A  Theoretical   Model.   Psychological   Inquiry:   An   International   Journal   for   the   Advancement   of   Psychological  Theory,  15,  2,  103-­‐125)

Tracy,  J.,  Robins,  R.,  Tangney,  J.  (2007).  The  Self-­‐Conscious  Emotion.  NY  :  The  Guilford  Press. Wilkins,  R.,  &  Gareis,  E.  (2006).  Emotion  expression  and  the  locution  “I  love  you”:  A  cross-­‐

cultural   study.   International   Journal   of   Intercultural   Relations,   30,   51-­‐75.   doi:10.1016/j.ijintrel.2005.07.003

Williams,  J.  E.,  &  Best,  D.  L.  (1990).  Sex  and  psyche:  Gender  and  self  viewed  cross-­‐culturally.   Newbury  Park,  CA:  Sage.

Yi,  Sunghwan.  (2012).  Shame-­‐prone  gamblers  and  their  coping  with  gambling  loss.  Journal   of  Gambling  Issues

Gambar

Tabel 4.1Gambaran Umum Sampel Berdasarkan Jender  Jender  Frekuensi  Persentasi
Tabel 4.3 Gambaran Umum Sampel Berdasarkan Suku
Tabel 4.7 Gambaran Umum Peran Jender Pada Kelompok Dewasa Muda  Peran Jender  Frekuensi  Persentasi

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan judul penelitian, yaitu “ Soft skills terhadap Pembelajaran di Kampus dan Pelaksanaan Program Latihan Profesi Mahasiswa Pendidikan Teknik..

Karena rata-rata kemampuan berpikir matematik dan karakter mahasiswa kelas eksperimen lebih besar dari kelas kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

Sedangkan Sistem Informasi Geografi (SIG), adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau

* Jika masih ada artikel ke-2 dan seterusnya, uraikan pada lembar tambahan.. BUKU AJAR Buku ke-1 Judul: Penulis:

: Economic Value Added ( � ) berpengaruh terhadap Return Saham pada Perusahaan Perkebunan yang terdaftar di BEI. Nilai t hitung variabel economic value added diperoleh

untuk lahan parkir adalah ... Pada hari Minggu Andi pergi ke obyek wisata yang berada di daerahnya. Suatu bangun datar dengan ciri-ciri sebagai berikut:.. 1)

Pada menu bar klik Tools – Letters and Mailings – Mail Merge – pada Select document type klik Letters – Next – pada Select starting document klik Use the

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ Strategi Optimalisasi Pembangunan Infrastruktur Desa Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus