BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masa remaja adalah masa peralihan, yang bukan hanya dalam arti
psikologis, tetapi juga fisiknya. Peralihan dari anak ke dewasa ini meliputi
semua aspek perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa
dewasa. Dalam masa peralihan itu remaja sedang mencari identitasnya. Dalam
proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan
dirinya, remaja membutuhkan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat
dengannya terutama orang tua dan keluarganya. Hurlock (1999) menyatakan
bahwa masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar
antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang
tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada dirinya baik secara
fisik, psikis, maupun secara sosial.
Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan masa
krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang.
Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku
yang mengganggu (Ekowarni, dalam Ulfah 2007). Melihat kondisi tersebut
apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat
keperibadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai
penyimpangan perilaku dan perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar
aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan
kenakalan remaja.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke
dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah
sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai
aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku
menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat
membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku
menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang
harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah
menyimpang.
Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu
membedakan adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang
disengaja, diantaranya karena pelaku kurang memahami aturan-aturan yang
ada, perilaku menyimpang yang disengaja, bukan karena pelaku tidak
mengetahui aturan. Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku
tersebut, adalah mengapa seseorang melakukan penyimpangan, padahal
seseorang tahu apa yang dilakukan melanggar aturan. Becker (dalam
Soekanto, 1988) mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan
hanya orang yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat
demikian. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya setiap manusia pasti
mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu, tetapi mengapa
pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang berwujud
penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan diri
dari dorongan-dorongan untuk menyimpang.
Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17
tahun sangat beragam mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak
dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja
tersebut seperti : kabur dari rumah, membawa senjata tajam, dan
kebut-kebutan di jalan, sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan
kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti ; pembunuhan,
perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian obat-obatan terlarang, dan
tindak kekerasan lainnya yang sering diberitakan media-media masa.
Hampir setiap hari kasus kenakalan remaja selalu kita temukan di
media-media massa, dimana sering terjadi di Kota-kota besar seperti Jakarta,
Surabaya dan Medan, salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran
yang dilakukan oleh para pelajar atau remaja. Data di Jakarta tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183
kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan
korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada
230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun
berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke
tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering
tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat
sekaligus (Tambunan, dalam e-psikologi, 2001). Lebih jauh dijelaskan bahwa
dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya
dilakukan oleh remaja, selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah
prostitusi anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi
bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60% dari
71.281 orang. Unicef Indonesia menyebut angka 30% dari 40-150.000, dan
Irwanto menyebut angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks
(Dep.Sos, 2004).
Berdasarkan hasil beberapa penelitian ditemukan bahwa salah satu
faktor penyebab timbulnya kenakalan remaja adalah tidak berfungsinya
orangtua sebagai figur teladan bagi anak (Hawari, 1997). Selain itu suasana
keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta
hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis
bagi setiap usia terutama pada masa remaja. Menurut Hirschi (dalam Mussen
dkk, 1994) orangtua dari remaja nakal cenderung memiliki aspirasi yang
minim mengenai anak-anaknya, menghindari keterlibatan keluarga dan
kurangnya bimbingan orangtua terhadap remaja. Sebaliknya, suasana keluarga
yang menimbulkan rasa aman dan menyenangkan akan menumbuhkan
kepribadian yang wajar dan begitu pula sebaliknya.
Gerungan (2004) menunjukkan bahwa sifat-sifat dalam keluarga dan
kebiasaan-kebiasaan orang tua maupun cara-cara bersikap dalam pergaulan
memegang peranan sangat penting dalam perkembangan sosial remaja.
Keluarga merupakan kelompok kecil dengan tujuan tujuannya,
struktur-strukturnya, norma dan dinamika termasuk cara-cara kepemimpinannya sangat
mempengaruhi individu yang menjadi kelompok. Suasana keluarga yang
mendukung pertumbuhan adalah keharmonisan keluarga. Hal ini penting
sebab dengan keluarga yang harmonis keseimbangan internalisasi nilai-nilai
dan perilaku terhadap anak dapat tercapai.
Keberadaan siswa sebagai sosok individu berkaitan erat dengan sistem
pergaulan dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memiliki tempat
khusus dalam kehidupan keluarga dan lingkungannya, dalam hal ini
masing-masing orang tua seharusnya mampu memberi contoh dan teladan yang baik
kepada putra-putrinya. Selanjutnya setiap anggota keluarga perlu membina
hubungan yang harmonis dengan anggota keluarga lainnya. Keluarga yang
harmonis adalah keluarga yang mampu mengembangkan potensi dan
kepribadian dari masing-masing anggota keluarga secara optimal.
Conger (dalam Monks dkk, 2002) menyatakan bahwa remaja nakal
biasanya mempunyai sifat memberontak, ambivalen terhadap otoritas,
mendendam, curiga, implusif dan menunjukan kontrol batin yang kurang.
Dengan demikian remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang kurang
harmonis kemungkinan memiliki kecenderungan yang lebih besar menjadi
remaja nakal dibandingkan remaja yang dibesarkan dalam keluarga harmonis.
Tidak diragukan bahwa keluarga memegang peranan penting dalam
pembentukan pribadi remaja dan menentukan masa depannya. Mayoritas
remaja yang terlibat dalam kenakalan atau melakukan tindak kekerasan
biasanya berasal dari keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak harmonis
dimana pertengkaran ayah dan ibu menjadi santapan sehari-hari remaja. Bapak
yang otoriter, pemabuk, suka menyiksa anak, atau ibu yang acuh tak acuh, ibu
yang lemah kepribadian dalam arti kata tidak tegas menghadapi remaja,
kemiskinan yang membelit keluarga, kurangnya nilai-nilai agama yang
diamalkan, semuanya menjadi faktor yang mendorong remaja melakukan
tindak kekerasan dan kenakalan.
Bila rumah tangga terus menerus dipenuhi konflik yang serius, menjadi
retak, dan akhirnya mengalami perceraian, maka mulailah serentetan kesulitan
bagi semua anggota keluarga, terutama anak-anak. Pecahlah harmonis dalam
keluarga, dan anak menjadi sangat bingung, dan merasakan ketidakpastian
emosional. Dengan rasa cemas, marah dan risau anak mengikuti pertengkaran
antara ayah dengan ibu. Anak tidak tahu harus memihak kepada siapa. Batin
anak menjadi sangat tertekan, sangat menderita, dan merasa malu akibat ulah
orang tuanya. Ada perasaan ikut bersalah dan berdosa, serta merasa malu
terhadap lingkungan.
Banyak penelitian yang dilakukan para ahli menemukan bahwa remaja
yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis
mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik
dengan lingkungan di sekitarnya (Hurlock, 1991). Selanjutnya Tallent (dalam
Hurlock, 1993) menambahkan anak yang mempunyai penyesuaian diri yang
baik di sekolah, biasanya memiliki latar belakang keluarga yang harmonis,
menghargai pendapat anak dan hangat. Hal ini disebabkan karena anak yang
berasal dari keluarga yang harmonis akan mempersepsi rumah sebagai suatu
tempat yang membahagiakan karena semakin sedikit masalah antara orangtua,
maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya
jika anak mempersepsi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka
anak akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orangtuanya
tersebut.
Ulfah (2007) meneliti tentang peran persepsi keharmonisan keluarga dan
konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Hasil hipotesis
menunjukkan, keharmonisan keluarga dan konsep diri secara bersama-sama
memberikan peran terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Berdasarkan
hasil perhitungan analisis regresi tersebut maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini dapat diterima yaitu ada peran persepsi keharmonisan keluarga
dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja, dengan
sumbangan efektif masing-masing prediktor yaitu konsep diri memiliki peran
30,5% sedangkan keharmonisan keluarga yaitu 7,2 %.
Hasil penelitian Atmoko (2010) menunjukkan koefisien korelasi ( rxy )
= -0,615 dengan p≤0,01, yang berarti ada hubungan negatif yang sangat
signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan perilaku delinkuensi
pada remaja. Semakin tinggi persepsi terhadap keharmonisan keluarga maka
semakin rendah perilaku delinkuensi pada remaja, dan begitu pula sebaliknya.
Rerata hipotetik persepsi keharmonisan keluarga sebesar 82,5 dengan rerata
empirik sebesar 93,910 yang disimpulkan bahwa persepsi terhadap
keharmonisan keluarga remaja di Sragen katagorisasinya tinggi, sedangkan
rerata hipotetik perilaku delinkuensi sebesar 87,5 dengan rerata empirik
sebesar 87,200 yang disimpulkan bahwa perilaku delinkuensi remaja di
Sragen katagorosasinya sedang. Peranan persepsi keharmonisan keluarga
terhadap perilaku delinkuensi sebesar 37,9%. Penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa ada hubungan negaatif yang sangat signifikan antara persepsi
keharmonisan keluarga dengan perilaku delinkuensi pada remaja, bahwa
semakin tinggi persepsi keharmonisan keluarga maka semakin rendah perilaku
delinkuensi pada remaja, sebaliknya semakin rendah persepsi terhadap
keharmonisan keluarga maka semakin tinggi perilaku delinkuensi pada
remaja.
Penelitian yang sejenis dilakukan oleh Irmawati (2008) dengan judul
hubungan antara keluarga harmonis dengan kecenderungan kenakalan remaja
pada siswa kelas XI SMU Al Islam I Surakarta. Hasil analisis menunjukkan
besarnya koefisien korelasi r = - 0,106 dengan p = 0,147 ( p < 0,05 ). Hal ini
berarti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara
keluarga harmonis dengan kecenderungan kenakalan remaja, sehingga
hipotesis yang diajukan ditolak.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas, maka penulis tertarik
untuk meneliti kembali mengenai hubungan keharmonisan keluarga dengan
kenakalan remaja. Selain itu dari data yang menyebutkan di Kota-kota besar
seperti Jakarta, Surabaya dan Medan sering terjadi kenakalan remaja, penulis
ingin melihat kenakalan remaja di daerah-daerah, khususnya di SMP Negeri 2
Geyer Kabupaten Grobogan. Dimana dari hasil wawancara dengan guru BK
dan beberapa guru mata pelajaran di sekolah tersebut serta masyarakat
setempat terdapat kecenderungan kenakalan remaja yang relatif tinggi
terutama tidak patuh pada peraturan sekolah, membolos bahkan pernah ada
kasus perkelahian dan pencurian. Penulis juga sering melihat beberapa siswa
kebut-kebutan di jalan waktu mengendarai sepeda motor. Selain itu beberapa
siswa di sekolah tersebut berasal dari keluarga yang mempunyai status
ekonomi menengah ke bawah. Penulis mendapat data ini dari grafik yang ada
di ruang BK, yaitu 70 % orang tua siswa bermatapencahariaan sebagai petani,
20 % buruh, 5 % wiraswasta dan 5 % PNS. Sehingga penulis tertarik ingin
mengadakan penelitian dengan judul “ Hubungan antara Keharmonisan
Keluarga dengan Kenakalan Remaja Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 2 Geyer
Kabupaten Grobogan Tahun Pelajaran 2011 / 2012 “.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan yang signifikan antara
keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja siswa kelas VIII di SMP
Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2011 / 2012 ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara keharmonisan keluarga
dengan kenakalan remaja siswa kelas VIII di SMP Negeri 2 Geyer Kabupaten
Grobogan tahun pelajaran 2011 / 2012.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi
wahana perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan dan
psikologi sosial terutama yang berhubungan dengan kenakalan remaja.
Jika hasil penelitian ini menunjukkan hubungan negatif yang signifikan
antara keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja siswa kelas VIII SMP
Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan, maka penelitian ini akan sejalan dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan Atmoko (2010). Namun jika hasil
penelitian ini ditemukan tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara
keharmonisan keluarga dengan kenakalan remaja siswa kelas VIII SMP
Negeri 2 Geyer Kabupaten Grobogan, maka penelitian ini sejalan dengan
penelitian Irmawati (2008).
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan orangtua,
pendidik, dan remaja mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan
remaja. Bila penelitian ini terbukti maka hasil penelitian ini juga dapat
digunakan untuk preventif terhadap kenakalan remaja dengan meningkatkan
keharmonisan dalam keluarga.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Kajian pustaka berisi tentang teori – teori yang mendukung
dalam pelaksanaan penelitian dan hipotesis.
Bab III : Metode penelitian berisi tentang jenis penelitian, identifikasi
variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel penelitian,
metode pengumpulan data, uji coba instrumen penelitian, dan metode analisis
data.
Bab IV : Hasil penelitian dan pembahasan berisi tentang gambaran subyek
penelitian, pelaksanaan penelitian, analisis data, hasil penelitian dan
pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan saran berisi tentang kesimpulan hasil peneliti dan
saran – saran peneliti.